Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN DIAGNOSA TENSION PNEUMOTORAX


DI RUANG UGD RSUD HAJI MAKASSAR

OLEH
ATTIIN NUR HIDAYAH, S.KEP
NS0621060

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( Faisal Asdar, S.Kep., Ns., M.Biomed )


NIDN. NIDN.

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES NANI HASANUDDIN MAKASSAR
2022
LAPORAN PENDAHULUAN

1. 1 Konsep Medis
1.1.1. Definisi
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang
disebabkan oleh Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di
berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan
subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,
kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang
buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih
rendah.
Thypoid abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan oleh kuman Salmonella Thypi (yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari,
gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran.
Tifoid merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus
yang disebabkan oleh salmonella thypii, penyakit ini dapat ditularkan
melaui kuman, mulut atau minuman yang terkontaminasi oleh kuman
salmonella thypii.
Thypoid abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu
minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran.
Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan
oleh kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A, B, C. Sinonim
dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis. Tifoid
adalah penyakit infeksi pada usus halus, tifoid disebut juga paratyphoid
fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis.
1.1.2. Etiologi
Salmonella thypi dengan Salmonela yang lain adalah bakteri Gram
negative, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,
fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope
antigen (K) yang terdiri dari polosakarida. Mempunyai makromolekuler
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel
dan dinamakan endotoksin. Salmonella thypi juga dapat memperoleh
plasmid factor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple
antibiotic.

1.1.3. Tanda Dan Gejala


Tanda dan gejala dari demam thypoid sebagai berikut :
1. Gejala pada anak : Inkubasi anatara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14
hari.
2. Demam meninggi sampai akhir minggu pertama
3. Demam turun pada minggu ke empat, kecuali demam tidak
tertangani akan menyebabkan shock, Stupor dan koma.
4. Ruam muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selam 2-3 hari
5. Nyeri kepala
6. Nyeri perut
7. Kembung
8. Mual muntah
9. Diare
10. Konstipasi
11. Pusing
12. Nyeri otot
13. Batuk
14. Epistaksis
15. Bradikardi
16. Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepid an ujung merah serta
tremor)
17. Hepatomegali
18. Splenomegali
19. Meteroismus
20. Gangguan mental berupa samnolen
21. Delirium atau psikosis
22. Dapat timbul dengan gejala yang tidak tipikal terutama pada bayi
muda sebagai penyakit demam akut dengan diseryai syok dan
hipotermia.

1.1.4. Patofisiologi
Kuman Salmonella masuk bersama makanan/minuman. Setelah
berada dalam usus halus kemudian mengadakan invasi ke jaringan
limfoid usus halus (terutama Plak Peyer) dan jaringan limfoid
mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrose setempat,
kuman lewat pembuluh limfe masuk ke aliran darah (terjadi bakteremi
primer) menuju ke organ-organ terutama hati dan limfa. Kuman yang
tidak difagosit akan berkembang biak dalam hati dan limfa sehingga
organ tersebut membesar disertai nyeri pada perabaan.
Pada akhir masa inkubasi (5-9 hari) kuman kembali masuk dalam
darah (bakteremi sekunder) dan menyebar keseluruh tubuh terutama
kedalam kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak berbentuk
lonjong di atas Plak Peyer. Tukak tersebut dapat mengakibatkan
perdarahan dan perforasi usus. Pada masa bakteremi ini, kuman
mengeluarkan endotoksin yang mempunyai peran membantu proses
peradangan lokal dimana kuman ini berkembang.
Demam tifoid disebabkan karena Salmonella Typhosa dan
endotoksinnya merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit
pada jaringan yang meradang. Zat pirogen ini akan beredar dalam darah
dan mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus yang
menimbulkan gejala demam. (PPNI Klaten. 2009)

Pathway Demam Thypoid


E. PATHWAY

Kuman Salmonella typhi yang


Lolos dari asam Dimusnahkan oleh asam
masuk ke saluran
gastrointestinal lambung

Pembuluh darah limfe Bakteri masuk usus halus

Peredaran darah (bakterimia Masuk retikulo endothelial


promer) (RES) terutama hati dan limfa

Masuk kealiran darah


Berkembang biak di hati dan
(bakteremia sekunder)
limfa

Empedu Endotoksin

Terjadi kerusakan sel


Rongga usus pada
kel. Limfoid halus
Merangsang melepas zat
epirogen oleh leukosit
Pembesaran hati Pembesaran limfe

Mempengaruhi pusat
Hepatomegali Splenomegali
thermoregulator
dihipotalamus

Lase plak peyer Penurunan /


peningkatan mobilitas Hypertermi
usus

Erosi Resiko kekurangan


Penurunan / peningkatan
volume cairan
peristaltic usus

Nyeri

Konstipasi / diare Peningkatan asam


Perdarahan masif lambung

Anoreksia mual muntah

Komplikasi perforasi dan Ketidakseimbangan nutrisi


perdarahan usus kurang dari kebutuhan tubuh

(Nanda Nic-Noc.2015)

1.1.5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


Menurut widodo 2007 Pemeriksaan penunjang pada klien dengan
typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari :
1. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid
terdapat leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya
leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam
typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-
batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun
tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam
typhoid.
2. Pemeriksaan Sgot Dan Sgpt
Sgot Dan Sgpt pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi
dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
3. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi
bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi
demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung
dari beberapa faktor :
a. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan
laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik
dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah
yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat
bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada
minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu
berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif
kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat
menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat
menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti
mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan
hasil biakan mungkin negatif.
5. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi
terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang
yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal
adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita tifoid.
Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau
aglutinin yaitu :
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal
dari tubuh kuman).
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal
dari flagel kuman).
c. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal
dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin
besar klien menderita tifoid.
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap
kuman Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat
kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari)
atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan)
Gall kultur dengan media carr empedu merupakan diagnosa pasti
demam tifoid bila hasilnya positif, namun demikian, bila hasil kultur
negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa
alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak
mencukupi. Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan
penyakit demam tifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid
diklasifikasikan atas:
1. Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik
didapatkan gejala demam,gangguan saluran cerna, gangguan
pola buang air besar dan hepato/splenomegali. Sindrom demam
tifoid belum lengkap. Diagnosis ini hanya dibuat pada pelayanan
kesehatan dasar.
2. Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau
hampir lengkap, serta didukung oleh gambaran laboratorium
yang menyokong demam tifoid (titer widal O > 1/160 atau H >
1/160 satu kali pemeriksaan).
3. Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada
pemeriksaan biakan ataupositif S.Thypi pada pemeriksaan PCR
atau terdapat kenaikan titerWidal 4 kali lipat (pada pemeriksaan
ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H > 1/640 (pada
pemeriksaan sekali).

1.1.6. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi
penatalaksanaan yang meliputi : istirahat dan perawatan, diet dan terapi
penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta pemberian
antimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam
tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal.
1. Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya
di tempat seperti makan, minum, mandi, dan BAB/BAK. Posisi
pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan pnemonia orthostatik
serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
2. Diet dan Terapi Penunjang
Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat.
a. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa
gejala meteorismus, dan diet bubur saring pada penderita dengan
meteorismus. Hal ini dilakukan untuk menghindari komplikasi
perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Gizi penderita juga
diperhatikan agar meningkatkan keadaan umum dan
mempercepat proses penyembuhan.
b. Cairan yang adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah
dan diare.
c. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala
mual muntah dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan
dapat dihentikan kapan saja penderita sudah tidak mengalami
mual lagi.
3. Pemberian Antimikroba
Obat – obat antimikroba yang sering digunakan dalam melakukan
tatalaksana tifoid adalah:
Pada demam typhoid, obat pilihan yang digunakan adalah
chloramphenicol dengan dosis 4 x 500 mg per hari dapat diberikan
secara oral maupun intravena, diberikan sampai dengan 7 hari bebas
panas. Chloramphenicol bekerja dengan mengikat unit ribosom dari
kuman salmonella, menghambat pertumbuhannya dengan
menghambat sintesis protein. Chloramphenicol memiliki spectrum
gram negative dan positif. Efek samping penggunaan klorampenikol
adalah terjadi agranulositosis. Sementara kerugian penggunaan
klorampenikol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%),
penggunaan jangka panjang (14 hari), dan seringkali menyebabkan
timbulnya karier.
Tiamfenikol, dosis dan efektifitasnya pada demam tofoid sama
dengan kloramfenikol yaitu 4 x 500 mg, dan demam rata-rata
menurun pada hari ke-5 sampai ke-6. Komplikasi hematologi seperti
kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan
dengan kloramfenikol.
Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan untuk menurunkan
demam lebih rendah dibandingkan kloramfenikol, dengan dosis 50-
150 mg/kgBB selama 2 minggu.
Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMP-SMZ) dapat digunakan
secara oral atau intravena pada dewasa pada dosis 160 mg TMP
ditambah 800 mg SMZ dua kali tiap hari pada dewasa.
Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu ceftriaxon dengan dosis 3-4 gram
dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali
sehari, diberikan selama 3-5 hari.
Golongan Flurokuinolon (Norfloksasin, siprofloksasin). Secara
relatif obat – obatan golongan ini tidak mahal, dapat ditoleransi
dengan baik, dan lebih efektif dibandingkan obat – obatan lini
pertama sebelumnya (klorampenicol, ampicilin, amoksisilin dan
trimethoprim-sulfamethoxazole). Fluroquinolon memiliki
kemampuan untuk menembus jaringan yang baik, sehingga mampu
membunuh S. Thypi yang berada dalam stadium statis dalam
monosit/makrophag dan dapat mencapai level obat yang lebih tinggi
dalam gallblader dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini
mampu memberikan respon terapeutik yang cepat, seperti
menurunkan keluhan panas dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari.
Penggunaan obat golongan fluriquinolon juga dapat menurunkan
kemungkinan kejadian karier pasca pengobatan.
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan
tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok
septik. Pada wanita hamil, kloramfenikol tidak dianjurkan pada
trimester ke-3 karena menyebabkan partus prematur, kematian fetus
intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak
dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik.
Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan ceftriaxon.
(Yudhistira.W.2019)

1.1.7. Pengkajian
a. Pengumpulan data
1) Identitas klien
Meliputi nama,, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan,
suku/bangsa, agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah
sakit, nomor register dan diagnosa medik.
2) Keluhan utama
Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang
tidak turun-turun, nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah,
anoreksia, diare serta penurunan kesadaran.
3) Riwayat penyakit sekarang
Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella
typhi  ke dalam tubuh.
4) Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pernah sakit demam tifoid.
5) Riwayat penyakit keluarga 
Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.
6) Pola-pola fungsi kesehatan
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan
muntah  saat makan  sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak
makan  sama sekali.
c. Pola eliminasi
Eliminasi alvi.  Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah
baring lama.  Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan,
hanya warna urine menjadi kuning kecoklatan.   Klien dengan
demam tifoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat
banyak keluar dan merasa haus, sehingga dapat meningkatkan
kebutuhan cairan tubuh. 
d. Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar
tidak terjadi komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.
e. Pola tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan
suhu tubuh.
f. Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan
penyakitanaknya.
g. Pola sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan
umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu
waham pad klien. 
h. Pola hubungan dan peran
Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat di
rumah sakit dan klien harus bed rest total.
i. Pola penanggulangan stress
Biasanya orang tua akan nampak cemas.
j. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Didapatkan  klien   tampak   lemah,   suhu   tubuh   meningkat    
38 – 410 C, muka kemerahan.
b. Tingkat kesadaran
Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).
c. Sistem respirasi
Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam
dengan gambaran seperti bronchitis.
d.  Sistem kardiovaskuler
Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin
rendah.
e. Sistem integumen
Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut
agak kusam
f.  Sistem gastrointestinal
Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor
(khas), mual, muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut
terasa tidak enak, peristaltik usus meningkat.
g. Sistem muskuloskeletal
Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.
h. Sistem abdomen
Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan
konsistensi lunak serta nyeri tekan pada abdomen.  Pada perkusi
didapatkan perut kembung serta pada auskultasi peristaltik usus
meningkat.

1.1.8. Diagnosa Keperawatan


1. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi kuman salmonella
thypii.
2. Nyeri berhubungan dengan agens cidera biologi.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan mual muntah
4. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat dan peningkatan suhu tubuh.
5. Konstipasi berhubungan dengan factor fisiologis (perubahan pola
makan)
6. Nausea berhubungan dengan rasa makanan/minuman yang tidak
enak di lidah.
1.1.9. Intervensi Keperawatan
1. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi kuman salmonella
thypii.
Defenisi : peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal
Tujuan : thermoregulation
Criteria hasil :
a. Suhu tubuh dalam rentang normal
b. Nadi dan RR dalam rentang normal
c. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing
Intervensi :
a. Observai tanda-tanda vital
b. Anjurkan kompres hangat pada lipatan paha dan aksila
c. Anjurkan banyak minum air putih
d. Berikan antiperetik dan antibiotic
2. Nyeri berhubungan dengan agens cedera biologis
Defenisi : Pengalaman sensori dan emosional yang muncul
akibat kerusakan jaringan yang aktual atau                       potensial.
Tujuan :
a. Pain level
b. Pain control
c. Comfort level
Kriteria hasil :
a. Mampu mngontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan).
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri)
d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri tulang berkurang
Intervensi :
1. Pain management
a. Lakukan pengakjian nyeri secara komprehensif termasuk
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
prespitasi.
b. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
c. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non
faramakologi dan interpersonal)
d. Ajarkan tentang teknik non faramakologi
e. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
f. Tingkatkan istirahat
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan intake yang tidak adekuat.
Defenisi : asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolic
Tujuan :
a. Nutritional status
b. nutristional status : food and fluid intake
c. Intake
d. Weight control
Kriteri hasil :
a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
d. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
e. Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
f. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
Intervensi :
1. Nutrition Management
a. Kaji adanya alergi makanan
b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien
c. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake fe
d. Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C

2. Nutrition Monitoring
a. Monitor adanya penurunan berat badan
b. Monitor lingkungan selama makan
c. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
d. Monitor turgor kulit
e. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht.
4. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat dan peningkatan suhu tubuh.
Defenisi : Beresiko mengalami dehidrasi vaskluar, selular,
atau intraseluler.
Tujuan :
a. Fluid balance
b. Hydration
c. Nutritional status : food and Fluid intake
Criteria hasil :
a. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ
urine normal, HT normal
b. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
c. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik,
membrane mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
Intervensi :
1. Fluid Management
a. Monitor vital sign
b. Monitor masukan makanan/caoran dan hitung intake kalori
harian
c. Kolaborasikan pemberian cairan intravena
2. Hypovolemia Management
a. Monitor status cairan termasuk intake dan output cairan
b. Monitor hb dan hematokrit
c. Dorong pasien untuk menambah intake oral
5. Konstipasi berhubungan dengan factor fisiologis (perubahan pola
makan)
Defenisi : penurunan pada frekwensi normal defekasi yang disertai
oleh kesulitan atau pengeluaran tidak lengkap feses/atau pengeluaran
feses yang kering, keras, dan banyak.
Tujuan :
a. Bowel elimination
b. Hydration
Criteria hasil :
a. Mempertahankan bentuk feses lunak setiap 1 – 3 hari
b. Bebas dari ketidaknyamanan dan konstipasi
c. Mengidentifikasi indicator untuk mencegah konstipasi
d. Feses lunak dan berbentuk
Intervensi :
a. Monitor tanda dan gejala konstipasi
b. Monitor bising usus
c. Identifikasi factor penyebab dan kontribuais konstipasi
d. Dukung intake cairan
e. Kolaborasikan pemberian laktasif
f. Anjurkan pasien/keluarga untuk diet tinggi serat.
6. Nausea berhubungan dengan rasa makanan/minuman yang tidak
enak di lidah
Defenisi : Sensasi seperti gelombang di belakang
tenggorokan, epigastrium, atau abdomen yang
bersifat subyektif yang mengarah pada                                  
keinginan atau desakan untuk muntah.

Tujuan :
a. Nausea
b. Fluid volume, Risk For Dificient
Criteria hasil :
a. Pasien menyatakan penyebab mual dan muntah
b. Pasien mengambil langkah untuk mengatasi episode mual dan
muntah
c. Pasien mengingesti gizi yang cukup untuk mempertahankan
kesehatan
d. Pasien mengambil langkah untuk meyakinkan nutrisi yang
adekuat pada saat mual
e. Pasien mempertahan berat badan dalam rentang tertentu yang
diharapkan.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan makan klien
b. Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering
c. Berikan nutrisi dengan diet lunak, tinggi kalori tinggi protein
d. Anjurkan untuk menghindari makanan yang menusuk hidung
dan berbau tidak sedap
e. Berikan obat antiemetic sesuai anjuran
f. Ajarkan teknik relaksasi dan bantu pasien untuk menggunakan
teknik tersebut selama waktu makan.

DAFTAR PUSTAKA
Black, J. M. (2019). Medical Surgical Nursing, Clinical Management for Continuity of
Care. Surabaya: Saunders Company.

Carpenito, L. J. (2021). Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Doengoes, M. E. (2022). Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian


Perawatan Pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Evelyn. C. Pearce (2019). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Cetakan ke-22, J. P.
(n.d.).

Pearce, E. C. (2020). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Umum.

Price, S. A. (2018). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4 buku


2. Jakarta: EGC.

Suddarth, B. a. (2020). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai