OLEH
ATTIIN NUR HIDAYAH, S.KEP
NS0621060
CI LAHAN CI INSTITUSI
1. 1 Konsep Medis
1.1.1. Definisi
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang
disebabkan oleh Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di
berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan
subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,
kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang
buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih
rendah.
Thypoid abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan oleh kuman Salmonella Thypi (yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari,
gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran.
Tifoid merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus
yang disebabkan oleh salmonella thypii, penyakit ini dapat ditularkan
melaui kuman, mulut atau minuman yang terkontaminasi oleh kuman
salmonella thypii.
Thypoid abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu
minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran.
Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan
oleh kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A, B, C. Sinonim
dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis. Tifoid
adalah penyakit infeksi pada usus halus, tifoid disebut juga paratyphoid
fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis.
1.1.2. Etiologi
Salmonella thypi dengan Salmonela yang lain adalah bakteri Gram
negative, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,
fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope
antigen (K) yang terdiri dari polosakarida. Mempunyai makromolekuler
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel
dan dinamakan endotoksin. Salmonella thypi juga dapat memperoleh
plasmid factor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple
antibiotic.
1.1.4. Patofisiologi
Kuman Salmonella masuk bersama makanan/minuman. Setelah
berada dalam usus halus kemudian mengadakan invasi ke jaringan
limfoid usus halus (terutama Plak Peyer) dan jaringan limfoid
mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrose setempat,
kuman lewat pembuluh limfe masuk ke aliran darah (terjadi bakteremi
primer) menuju ke organ-organ terutama hati dan limfa. Kuman yang
tidak difagosit akan berkembang biak dalam hati dan limfa sehingga
organ tersebut membesar disertai nyeri pada perabaan.
Pada akhir masa inkubasi (5-9 hari) kuman kembali masuk dalam
darah (bakteremi sekunder) dan menyebar keseluruh tubuh terutama
kedalam kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak berbentuk
lonjong di atas Plak Peyer. Tukak tersebut dapat mengakibatkan
perdarahan dan perforasi usus. Pada masa bakteremi ini, kuman
mengeluarkan endotoksin yang mempunyai peran membantu proses
peradangan lokal dimana kuman ini berkembang.
Demam tifoid disebabkan karena Salmonella Typhosa dan
endotoksinnya merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit
pada jaringan yang meradang. Zat pirogen ini akan beredar dalam darah
dan mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus yang
menimbulkan gejala demam. (PPNI Klaten. 2009)
Empedu Endotoksin
Mempengaruhi pusat
Hepatomegali Splenomegali
thermoregulator
dihipotalamus
Nyeri
(Nanda Nic-Noc.2015)
1.1.6. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi
penatalaksanaan yang meliputi : istirahat dan perawatan, diet dan terapi
penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta pemberian
antimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam
tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal.
1. Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya
di tempat seperti makan, minum, mandi, dan BAB/BAK. Posisi
pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan pnemonia orthostatik
serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
2. Diet dan Terapi Penunjang
Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat.
a. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa
gejala meteorismus, dan diet bubur saring pada penderita dengan
meteorismus. Hal ini dilakukan untuk menghindari komplikasi
perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Gizi penderita juga
diperhatikan agar meningkatkan keadaan umum dan
mempercepat proses penyembuhan.
b. Cairan yang adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah
dan diare.
c. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala
mual muntah dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan
dapat dihentikan kapan saja penderita sudah tidak mengalami
mual lagi.
3. Pemberian Antimikroba
Obat – obat antimikroba yang sering digunakan dalam melakukan
tatalaksana tifoid adalah:
Pada demam typhoid, obat pilihan yang digunakan adalah
chloramphenicol dengan dosis 4 x 500 mg per hari dapat diberikan
secara oral maupun intravena, diberikan sampai dengan 7 hari bebas
panas. Chloramphenicol bekerja dengan mengikat unit ribosom dari
kuman salmonella, menghambat pertumbuhannya dengan
menghambat sintesis protein. Chloramphenicol memiliki spectrum
gram negative dan positif. Efek samping penggunaan klorampenikol
adalah terjadi agranulositosis. Sementara kerugian penggunaan
klorampenikol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%),
penggunaan jangka panjang (14 hari), dan seringkali menyebabkan
timbulnya karier.
Tiamfenikol, dosis dan efektifitasnya pada demam tofoid sama
dengan kloramfenikol yaitu 4 x 500 mg, dan demam rata-rata
menurun pada hari ke-5 sampai ke-6. Komplikasi hematologi seperti
kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan
dengan kloramfenikol.
Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan untuk menurunkan
demam lebih rendah dibandingkan kloramfenikol, dengan dosis 50-
150 mg/kgBB selama 2 minggu.
Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMP-SMZ) dapat digunakan
secara oral atau intravena pada dewasa pada dosis 160 mg TMP
ditambah 800 mg SMZ dua kali tiap hari pada dewasa.
Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu ceftriaxon dengan dosis 3-4 gram
dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali
sehari, diberikan selama 3-5 hari.
Golongan Flurokuinolon (Norfloksasin, siprofloksasin). Secara
relatif obat – obatan golongan ini tidak mahal, dapat ditoleransi
dengan baik, dan lebih efektif dibandingkan obat – obatan lini
pertama sebelumnya (klorampenicol, ampicilin, amoksisilin dan
trimethoprim-sulfamethoxazole). Fluroquinolon memiliki
kemampuan untuk menembus jaringan yang baik, sehingga mampu
membunuh S. Thypi yang berada dalam stadium statis dalam
monosit/makrophag dan dapat mencapai level obat yang lebih tinggi
dalam gallblader dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini
mampu memberikan respon terapeutik yang cepat, seperti
menurunkan keluhan panas dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari.
Penggunaan obat golongan fluriquinolon juga dapat menurunkan
kemungkinan kejadian karier pasca pengobatan.
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan
tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok
septik. Pada wanita hamil, kloramfenikol tidak dianjurkan pada
trimester ke-3 karena menyebabkan partus prematur, kematian fetus
intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak
dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik.
Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan ceftriaxon.
(Yudhistira.W.2019)
1.1.7. Pengkajian
a. Pengumpulan data
1) Identitas klien
Meliputi nama,, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan,
suku/bangsa, agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah
sakit, nomor register dan diagnosa medik.
2) Keluhan utama
Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang
tidak turun-turun, nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah,
anoreksia, diare serta penurunan kesadaran.
3) Riwayat penyakit sekarang
Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella
typhi ke dalam tubuh.
4) Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pernah sakit demam tifoid.
5) Riwayat penyakit keluarga
Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.
6) Pola-pola fungsi kesehatan
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan
muntah saat makan sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak
makan sama sekali.
c. Pola eliminasi
Eliminasi alvi. Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah
baring lama. Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan,
hanya warna urine menjadi kuning kecoklatan. Klien dengan
demam tifoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat
banyak keluar dan merasa haus, sehingga dapat meningkatkan
kebutuhan cairan tubuh.
d. Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar
tidak terjadi komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.
e. Pola tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan
suhu tubuh.
f. Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan
penyakitanaknya.
g. Pola sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan
umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu
waham pad klien.
h. Pola hubungan dan peran
Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat di
rumah sakit dan klien harus bed rest total.
i. Pola penanggulangan stress
Biasanya orang tua akan nampak cemas.
j. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat
38 – 410 C, muka kemerahan.
b. Tingkat kesadaran
Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).
c. Sistem respirasi
Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam
dengan gambaran seperti bronchitis.
d. Sistem kardiovaskuler
Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin
rendah.
e. Sistem integumen
Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut
agak kusam
f. Sistem gastrointestinal
Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor
(khas), mual, muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut
terasa tidak enak, peristaltik usus meningkat.
g. Sistem muskuloskeletal
Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.
h. Sistem abdomen
Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan
konsistensi lunak serta nyeri tekan pada abdomen. Pada perkusi
didapatkan perut kembung serta pada auskultasi peristaltik usus
meningkat.
2. Nutrition Monitoring
a. Monitor adanya penurunan berat badan
b. Monitor lingkungan selama makan
c. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
d. Monitor turgor kulit
e. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht.
4. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat dan peningkatan suhu tubuh.
Defenisi : Beresiko mengalami dehidrasi vaskluar, selular,
atau intraseluler.
Tujuan :
a. Fluid balance
b. Hydration
c. Nutritional status : food and Fluid intake
Criteria hasil :
a. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ
urine normal, HT normal
b. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
c. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik,
membrane mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
Intervensi :
1. Fluid Management
a. Monitor vital sign
b. Monitor masukan makanan/caoran dan hitung intake kalori
harian
c. Kolaborasikan pemberian cairan intravena
2. Hypovolemia Management
a. Monitor status cairan termasuk intake dan output cairan
b. Monitor hb dan hematokrit
c. Dorong pasien untuk menambah intake oral
5. Konstipasi berhubungan dengan factor fisiologis (perubahan pola
makan)
Defenisi : penurunan pada frekwensi normal defekasi yang disertai
oleh kesulitan atau pengeluaran tidak lengkap feses/atau pengeluaran
feses yang kering, keras, dan banyak.
Tujuan :
a. Bowel elimination
b. Hydration
Criteria hasil :
a. Mempertahankan bentuk feses lunak setiap 1 – 3 hari
b. Bebas dari ketidaknyamanan dan konstipasi
c. Mengidentifikasi indicator untuk mencegah konstipasi
d. Feses lunak dan berbentuk
Intervensi :
a. Monitor tanda dan gejala konstipasi
b. Monitor bising usus
c. Identifikasi factor penyebab dan kontribuais konstipasi
d. Dukung intake cairan
e. Kolaborasikan pemberian laktasif
f. Anjurkan pasien/keluarga untuk diet tinggi serat.
6. Nausea berhubungan dengan rasa makanan/minuman yang tidak
enak di lidah
Defenisi : Sensasi seperti gelombang di belakang
tenggorokan, epigastrium, atau abdomen yang
bersifat subyektif yang mengarah pada
keinginan atau desakan untuk muntah.
Tujuan :
a. Nausea
b. Fluid volume, Risk For Dificient
Criteria hasil :
a. Pasien menyatakan penyebab mual dan muntah
b. Pasien mengambil langkah untuk mengatasi episode mual dan
muntah
c. Pasien mengingesti gizi yang cukup untuk mempertahankan
kesehatan
d. Pasien mengambil langkah untuk meyakinkan nutrisi yang
adekuat pada saat mual
e. Pasien mempertahan berat badan dalam rentang tertentu yang
diharapkan.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan makan klien
b. Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering
c. Berikan nutrisi dengan diet lunak, tinggi kalori tinggi protein
d. Anjurkan untuk menghindari makanan yang menusuk hidung
dan berbau tidak sedap
e. Berikan obat antiemetic sesuai anjuran
f. Ajarkan teknik relaksasi dan bantu pasien untuk menggunakan
teknik tersebut selama waktu makan.
DAFTAR PUSTAKA
Black, J. M. (2019). Medical Surgical Nursing, Clinical Management for Continuity of
Care. Surabaya: Saunders Company.
Evelyn. C. Pearce (2019). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Cetakan ke-22, J. P.
(n.d.).
Pearce, E. C. (2020). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Umum.
Suddarth, B. a. (2020). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.