Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN A DENGAN


GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN : THYPOID FEVER, DI RUANG ANGGREK
RUMAH SAKIT TK III SLAMET RIYADI SURAKARTA

OLEH :

NAMA : DIKA SABETTA UTAMI


NIM : 19121089

POLITEKNIK KESEHATAN BHAKTI MULIA


PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2021
BAB I : LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Demam thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang
terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Thypoid adalah penyakit infeksi akut
usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A, B,
C. (Simanjuntak, C.H, 2015).
Thypoid abdominalis adalah penyakit adalah penyakit infeksi akut infeksi akut usus
halus usus halus yang yang disebabkan oleh kuman disebabkan oleh kuman Salmonella
Thypi yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari
7 hari, gangguan pada  pencernaan dan gangguan kesadaran (Arief, M. 2012).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa demam thypoid adalah
suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A, B dan C yang
dapat menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi.

B. Klasifikasi
1. Demam Septik
Suhu badan berangsur naik ketingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan
turun kembali ketingkat diatas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan
menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ketingkat yang
normal dinamakan juga demam hektik.  
2. Demam Remiten
Suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan
normal. Penyebab suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak
sebesar perbedaan suhu yang dicatat demam septic.
3. Demam Intermiten
Suhu badan turun ketingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari.
Bila demam seperti ini terjadi dalam dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi
dua hari terbebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana.
4. Demam Intermiten
Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat
demam yang terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.
5. Demam Siklik
Terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh beberapa
periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu
seperti semula.
Suatu tipe demam kadang-kadang dikaitkan dengan suatu penyakit tertentu misalnya
tipe demam intermiten untuk malaria. Seorang pasien dengan keluhan demam mungkin
dapat dihubungkan segera dengan suatu sebab yang jelas seperti abses, pneumonia,
infeksi saluran kencing, malaria, tetapi kadang sama sekali tidak dapat dihubungkan
segera dengan suatu sebab yang jelas. Dalam praktek 90% dari para pasien dengan
demam yang baru saja dialami, pada dasarnya merupakan suatu penyakit yang self-
limiting seperti influensa atau penyakit virus sejenis lainnya.

C. Etiologi
Salmonella thypi dengan Salmonela yang lain adalah bakteri Gram negative,
mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang
terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polosakarida. Mempunyai
makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel
dan dinamakan endotoksin. Salmonella thypi  juga dapat memperoleh plasmid factor-R
yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotic. (Nanda Nic-Noc, 2013)

D. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala dari demam thypoid sebagai berikut (Nanda NIC NOC. 2013) :  
1. Gejala pada anak : Inkubasi antara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14 hari.
2. Demam meninggi sampai akhir minggu pertama.
3. Demam turun pada minggu ke empat, kecuali demam tidak tertangani akan
menyebabkan shock, stupor dan koma.
4. Ruam muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.
5. Nyeri kepala
6. Nyeri perut
7. Kembung
8. Mual muntah
9. Diare
10. Konstipasi
11. Pusing
12. Nyeri otot
13. Batuk
14. Epistaksis
15. Bradikardi
16. Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepid dan ujung merah serta tremor)
17. Hepatomegali dan splenomegali
18. Meteroismus
19. Gangguan mental berupa samnolen
20. Delirium atau psikosis
21. Dapat timbul dengan gejala yang tidak tipikal terutama pada bayi muda sebagai
penyakit demam akut dengan diseryai syok dan hipotermia.

E. Patofisiologi
Kuman Salmonella masuk bersama makanan atau minuman. Setelah berada dalam
usus halus kemudian mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama Plak
Peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrose
setempat, kuman lewat pembuluh limfe masuk ke aliran darah (terjadi bakteremi primer)
menuju ke organ-organ terutama hati dan limfa. Kuman yang tidak difagosit akan
berkembang biak dalam hati dan dan limfa sehingga organ tersebut membesar disertai
nyeri pada perabaan.
Pada akhir masa inkubasi (5-9 hari) kuman kembali masuk dalam darah (bakteremi
sekunder) dan menyebar keseluruh tubuh terutama kedalam kelenjar limfoid usus halus,
menimbulkan tukak berbentuk lonjong di atas Plak kelenjar limfoid usus halus,
menimbulkan tukak berbentuk lonjong di atas Plak Peyer. Tukak tersebut dapat
mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Pada masa bakteremi ini, kuman
mengeluarkan endotoksin yang mempunyai peran membantu proses peradangan lokal
dimana kuman ini berkembang.
Demam thypoid disebabkan karena Salmonella Typhosa dan endotoksinnya
merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang yang
meradang. Zat pirogen ini akan beredar dalam darah dan mempengaruhi pusat
termoregulator di hipotalamus yang menimbulkan gejala demam.
F. Pathway

Kuman Salmonella typhi yang


masuk ke saluran gastrointestinal Lolos dari asam Dimusnahkan oleh asam lambung

Pembuluh darah limfe Bakteri masuk usus halus

Peredaran darah (bakterimia promer) Masuk retikulo endothelial (RES) terutama hati dan limfa

Berkembang biak di hati dan limfa Masuk ke aliran darah (bakterimia sekunder)

Empedu Endotoksin

Rongga usus pada kelenjar limfoid halus Terjadi kerusakan sel

Merangsang melepas zat epirogen oleh leukosit


Pembesaran hati Pembesaran limfe
Mempengaruhi pusat
Hepatomegali Splenomegali thermoreguator di hipotalamus

Lase plak peyer Penurunan / peningkatan MK : Hypertermi


mobilitas usus
MK : Resiko kekurangan
Erosi
volume cairan
Penurunan / peningkatan
MK : Nyeri
peristaltic usus

Perdarahan masif
MK : Konstipasi / diare Peningkatan asam lambung
Komplikasi perforasi
dan perdarahan usus Anoreksia mual muntah

MK : Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan
(Nanda NIC-NOC, 2013)
tubuh
G. Komplikasi
1. Komplikasi intestinal
a. Perdarahan usus
b. Perporasi usus
c. Ilius paralitik
2. Komplikasi extra intestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : Kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis,
trombosis, tromboplebitis.
b. Komplikasi darah : Anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia
hemolitik.
c. Komplikasi paru : Pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : Hepatitis, kolesistitis.
e. Komplikasi ginjal : Glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
f. Komplikasi pada tulang : Osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
g. Komplikasi neuropsikiatrik : Delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis
perifer, sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia.

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium,
yang terdiri dari :
1. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia
dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai.
Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun
tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
Pemeriksaan SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat
kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
3. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan
darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini
dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
a. Teknik pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang dengan
laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media
biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat
demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan
dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah
dapat positif kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi
dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah
negatif.
4. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif
5. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan
typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang
digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan
diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita thypoid. Akibat infeksi oleh
salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel
kuman).
c. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai
kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita thypoid. Uji widal
dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella typhi. Uji
widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada
pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali
pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr empedu merupakan diagnosa pasti
demam thypoid bila hasilnya positif, namun demikian, bila hasil kultur negatif belum
menyingkirkan kemungkinan thypoid karena beberapa alasan, yaitu pengaruh
pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi. Sesuai dengan kemampuan
SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam thypoid, maka diagnosis klinis demam
thypoid diklasifikasikan atas :
a. Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam,
gangguan saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan hepato/splenomegali.
hepato/splenomegali. Sindrom demam thypoid belum lengkap, diagnosis ini hanya
dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.
b. Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta
didukung oleh gambaran laboratorium yang menyokong demam thypoid (titer
widal O > 1/160 atau H > 1/160 menyokong demam tifoid (titer widal O > 1/160
atau H > 1/160 satu kali pemeriksaan).
c. Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan atau
positif S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titer Widal 4 kali
lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, H > 1/640
(pada  pemeriksaan sekali).

I. Penatalaksanaan
1. Keperawatan
a. Istirahat dan perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah
baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum,
mandi, dan BAB atau BAK. Posisi pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan
pnemonia orthostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
b. Diet dan terapi penunjang
Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat.
1) Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala
meteorismus, dan diet bubur saring pada penderita dengan meteorismus. Hal
ini dilakukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna dan
perforasi usus. Gizi penderita juga juga diperhatikan agar meningkatkan
keadaan umum dan mempercepat proses penyembuhan.  
2) Cairan yang adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diare.
3) Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah
dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kapan saja
penderita sudah tidak mengalami mual lagi.
2. Medis
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan dalam melakukan tatalaksana tifoid
adalah :
a. Pada demam typhoid obat pilihan yang digunakan adalah chloramphenicol dengan
dosis 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara oral maupun intravena, diberikan
sampai dengan 7 hari bebas panas. Chloramphenicol bekerja dengan mengikat
unit ribosom dari kuman salmonella, menghambat pertumbuhannya dengan
menghambat sintesis protein. Chloramphenicol memiliki spectrum gram negatif
dan positif. Efek samping penggunaan klorampenikol terjadi agranulositosis.
Sementara kerugian penggunaan klorampenikol adalah angka kekambuhan
Sementara kerugian penggunaan klorampenikol adalah angka kekambuhan yang
tinggi (5-7%), penggunaan jangka panjang (14 hari), dan seringkali menyebabkan
timbulnya karier.
b. Tiamfenikol, dosis dan efektifitasnya pada demam thypoid sama dengan
kloramfenikol yaitu 4 x 500 mg, dan demam rata-rata menurun pada hari ke-5
sampai ke-6. Komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia
aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol.
c. Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol, dengan dosis 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu.
d. Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMP-SMZ) dapat digunakan secara oral atau
intravena pada dewasa pada dosis 160 mg TMP ditambah 800 mg SMZ dua kali
tiap hari pada dewasa. Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu ceftriaxon dengan dosis
3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari,
diberikan selama 3-5 hari.
e. Golongan Flurokuinolon (Norfloksasin, siprofloksasin). Secara relatif obat-obatan
golongan ini tidak mahal, dapat ditoleransi dengan baik lebih efektif dibandingkan
obat-obatan sebelumnya (klorampenicol, ampicilin, amoksisilin dan trimethoprim-
sulfamethoxazole). Fluroquinolon memiliki kemampuan untuk menembus
jaringan yang baik, sehingga mampu membunuh S.Thypi yang berada dalam
stadium statis dalam monosit atau makrophag dan dapat mencapai level obat yang
lebih tinggi dalam gallblader dibanding dengan obat yang lain. obat yang lebih
tinggi dalam gallblader dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini
mampu memberikan respon terapeutik yang cepat, seperti menurunkan keluhan
panas dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari. Penggunaan obat golongan
fluriquinolon dapat menurunkan kemungkinan kejadian karier pasca pengobatan.
f. Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan tertentu seperti
toksik thypoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Pada wanita hamil,
kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 karena menyebabkan partus
prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus.
Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek
teratogenik. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan ceftriaxon.

J. Fokus Pengkajian
1. Pengumpulan data
a. Identitas klien
Meliputi nama,, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku atau bangsa, agama,
status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa medik
b. Keluhan utama
Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak turun-turun,
nyeri perut, pusing, mual, muntah, anoreksia, diare serta penurunan kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Peningkatan suhu tubuh karena tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi
ke dalam tubuh. dalam tubuh.
d. Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pernah sakit demam thypoid.
e. Riwayat penyakit keluarga
Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.
f. Pola-pola fungsi kesehatan
1) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan muntah saat
makan sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak makan sama sekali.
2) Pola eliminasi
Eliminasi alvi, klien dapat mengalami konstipasi karena tirah baring lama.
Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna urine
menjadi kuning kecoklatan. Klien dengan demam thypoid terjadi peningkatan
suhu tubuh yang berakibat keringat banyak keluar dan merasa haus, sehingga
dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh.
3) Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total agar tidak terjadi
komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.
4) Pola tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.
5) Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan penyakit
anaknya.
6) Pola sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan umumnya
tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham pada klien.
7) Pola hubungan dan peran
Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat di rumah
sakit dan klien harus bed rest total.
8) Pola penanggulangan stress
Biasanya orang tua akan nampak cemas.
g. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38-41◦C, muka
kemerahan.
2) Tingkat kesadaran
Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).
3) Sistem respirasi
Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan gambaran
seperti bronchitis.
4) Sistem kardiovaskuler
Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin rendah.
5) Sistem integumen
Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut agak kusam.
6) Sistem gastrointestinal
Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas), mual,
muntah, anoreksia dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak,
peristaltik usus meningkat.
7) Sistem musculoskeletal
Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.
8) Sistem abdomen
Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi lunak
serta nyeri tekan pada abdomen. Pada perkusi didapatkan perut kembung serta
pada auskultasi peristaltik usus meningkat.

K. Fokus Intervensi
1. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi kuman salmonella typhi.
Definisi : Peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal.
Tujuan : Thermoregulation
Kriteria hasil :
a. Suhu tubuh dalam rentang normal.
b. Nadi dan RR dalam rentang normal.
c. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing.
Intervensi :
a. Observai tanda-tanda vital.
b. Anjurkan kompres hangat pada lipatan paha dan aksila.
c. Anjurkan banyak minum air putih.
d. Berikan antiperetik dan antibiotic
(Nanda NIC-NOC. 2013)
2. Nyeri berhubungan dengan agens cedera biologis.
Definisi : Pengalaman sensori dan emosional yang muncul akibat kerusakan jaringan
yang aktual atau potensial.
Tujuan :
a. Pain level
b. Pain control
c. Comfort level
Kriteria hasil :
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan).
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri.
c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri).
d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri tulang berkurang.
Intervensi :
a. Pain management
1) Lakukan pengakjian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor prespitasi.
2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
3) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non faramakologi dan
interpersonal).
4) Ajarkan tentang teknik non faramakologi.
5) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
6) Tingkatkan istirahat.
(Nanda NIC-NOC. 2013)
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat.
Definisi : Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolic.
Tujuan :
a. Nutritional status
b. Nutritional status : Food and fluid intake
c. Intake
d. Weight control
Kriteria hasil :
a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan.
b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan.
c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi.
d. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi.
e. Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan.
f. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti.
Intervensi :
a. Nutrition Management
1) Kaji adanya alergi makanan.
2) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien.
3) Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe.
4) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C.
b. Nutrition Monitoring
1) Monitor adanya penurunan berat badan.
2) Monitor lingkungan selama makan
3) Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi.
4) Monitor turgor kulit.
5) Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht.
(Nanda NIC-NOC. 2013)
4. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat dan
peningkatan suhu tubuh.
Definisi : Beresiko mengalami dehidrasi vaskluar, selular, atau intraseluler.
Tujuan :
a. Fluid balance
b. Hydration
c. Nutritional status : Food and fluid intake
Kriteria hasil :
a. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT
normal.
b. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal.
c. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik, membrane mukosa
lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan.
Intervensi :
a. Fluid Management
1) Monitor vital sign.
2) Monitor masukan makanan atau cairan dan hitung intake kalori harian.
3) Kolaborasikan pemberian cairan intravena.
b. Hypovolemia Management
1) Monitor status cairan termasuk intake dan output cairan.
2) Monitor hemoglobin dan hematokrit.
3) Dorong pasien untuk menambah intake ora.
(Nanda NIC-NOC. 2013)
5. Konstipasi berhubungan dengan faktor fisiologis (perubahan pola makan).
Definisi : Penurunan pada frekuensi normal defekasi yang disertai oleh kesulitan atau
pengeluaran tidak lengkap feses atau pengeluaran feses yang kering, keras, dan
banyak.
Tujuan :
a. Bowel elimination
b. Hydration
Kriteria hasil :
a. Mempertahankan bentuk feses lunak setiap 1-3 hari.
b. Bebas dari ketidaknyamanan dan konstipasi.
c. Mengidentifikasi indikator untuk mencegah konstipasi.
d. Feses lunak dan berbentuk.
Intervensi :
a. Monitor tanda dan gejala konstipasi.
b. Monitor bising usus.
c. Identifikasi faktor penyebab dan kontribusi konstipasi.
d. Dukung intake cairan.
e. Kolaborasikan pemberian laktasif.
f. Anjurkan pasien atau keluarga untuk diet tinggi serat.
(Nanda NIC-NOC. 2013)
6. Nausea berhubungan dengan rasa makanan atau minuman yang tidak enak di lidah.
Defenisi : Sensasi seperti gelombang di belakang tenggorokan, epigastrium, atau
abdomen yang bersifat subyektif yang mengarah pada keinginan atau desakan untuk
muntah.
Tujuan :
a. Nausea
b. Fluid volume, Risk For Dificient
Kriteria hasil :
a. Pasien menyatakan penyebab mual dan muntah.
b. Pasien mengambil langkah untuk mengatasi episode mual dan muntah.
c. Pasien mengingesti gizi yang cukup untuk mempertahankan kesehatan.
d. Pasien mengambil langkah untuk meyakinkan nutrisi yang adekuat pada saat mual
e. Pasien mempertahan berat badan dalam rentang tertentu yang diharapkan.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan makan klien.
b. Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering.
c. Berikan nutrisi dengan diet lunak, tinggi kalori tinggi protein.
d. Anjurkan untuk menghindari makanan yang menusuk hidung dan berbau tidak
sedap.
e. Berikan obat antiemetic sesuai anjuran.
f. Ajarkan teknik relaksasi dan bantu pasien untuk menggunakan teknik tersebut
selama waktu makan.
(Nanda NIC-NOC. 2013)
DAFTAR PUSTAKA

Arief TQ, M. 2012. Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu Kesehatan.


Edisi ke-2. Surakarta : LPP UNS dan UNS Press. Hal: 54-76
Bulechek,dkk. 2016. Nursing Intervention classification (NIC) Edisi keenam.
Singapore: Elsevier Icn.
Herdman, T. H. dan S. K. (2018). Nanda Internasional Diagnosis Keperawatan NIC NOC:
Definisi dan Klasifikasi 2018-2020 (Edisi 11). Jakarta: EGC.
Moorhead, dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC) Pengukuran
Outcomes Kesehatan Edisi kelima. Singapore: Elsevier Icn.
Nurarif & Kusuma, (2013). Aplikasi Asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa
medis dan NANDA Nic-Noc. Yogyakarta
Simanjuntak, C.H., 2015, “Demam Tifoid, Epidemiologi, Dan Perkembangan
Penelitiannya” Cermin Dunia Kedokteran, 1 (83).

Anda mungkin juga menyukai