Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN THYPOID

DI RUANG TERATAI RSUD dr. SOEDIRAN MANGUN


SUMARSO WONOGIRI

Disusun Oleh :

Nama : Dina Mukhorimah

NIM : P27220018012

Kelas : 2A D-III Keperawatan

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA

2019
A. PENGERTIAN

Demam thypoid adalah suatu penyakit infeksi oleh bakteri Salmonella typhii dan
bersifat endemik yang termasuk dalam penyakit menular (Cahyono, 2010)

Demam thypoid (enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran pencernaan pada usus halus dengan gejala demam satu minggu
atau lebih di sertai gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran yang di
sebabkan infeksi salmonella typhi (Sodikin., 2012)

Demam thypoid adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella
Thypii (Elsiver Aramitasari, 2013.)

B. ETIOLOGI
(NANDA, 2015)
Salmonella typhi sama dengan salmonella yang lain adalah bakteri gram
negatif, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari gliko sakarida, flagella
antigen (H) yang terdiri dari protein dan evelope antigen (K) yang terdiri dari
polisakarida. Mempunyai makromakuler lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella
typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multiple antibiotic.

C. MANIFESTASI KLINIS

Umumnya perjalanan perjalanan penyakit berlangsung dalam jangka


waktu pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu. Gejala klinis yang sering
terjadi pada demam tifoid adalah sebagai berikut (Dewi Pudiastuti R, 2010).
a. Demam
Demam atau panas merupakan gejala utama demam tifoid. Ciri-ciri
demam yang khas yaitu:

2
1) Demam dapat mencapai 39-40 ºC. Awalnya, demam hanya samar-samar saja,
selanjutnya suhu tubuh turun-naik, pada pagi hari lebih rendah atau normal
sedangkan pada sore dan malam hari lebih tinggi.
2) Intensitas demam akan semakin tinggi, yang disertai gejala lain seperti:
a) Mual dan muntah
b) Diare,
c) Sakit kepala,
d) Nyeri otot,
e) Insomnia,
f) Pegal, dan
g) anoreksia.

b. Gangguan saluran pencernaan


1) Bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama
2) Bibir kering dan terkadang pecah-pecah
3) Sering mengeluh nyeri perut, terutama nyeri ulu hati, disertai mual dan
muntah
4) Pada penderita anak, lebih sering mengalami diare.
c. Hepatosplenomegali
Hepatosplenomegali adalah hati dan atau limpa sering membesar. Hati
terasa kenyal dan nyeri bila ditekan.
d. Gangguan kesadaran
Terdapat gangguan kesadaran berupa penurunan kesadaran ringan. Sering
ditemui kesadaran apatis. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium
(mengigau) lebih menonjol. Bila gejala klinis berat, penderita sampai somnolen
dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis.
e. Bradikardia relatif dan gejala lain
Bradikardia relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh
peningkatan frekuensi nadi. Patokannya adalah bahwa setiap peningkatan 1 ºC
tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Gejala-gejala

3
lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot (bintik kemerahan
pada kulit), yang biasanya di perut bagian atas, jarang ditemukan pada anak.

D. PATOFISIOLOGI
Kuman masuk ke dalam mulut melalui makanan atau minuman yang
tercemar oleh salmonella (biasanya >10.000 basil kuman). Sebagian kuman dapat
dimusnahkan oleh asam hcl lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Jika
respon imunitas humoral mukosa (igA) usus kurang baik, maka basil salmonella
akan menembus sel-sel epitel (sel m) dan selanjutnya menuju lamina propia dan
berkembang biak di jaringan limfoid plak peyeri di ileum distal dan kelejar getah
bening mesenterika.
Jaringan limfoid plak peyeri dan kelenjar getah bening mesenterika
mengalami hiperplasia. Basil tersebut masuk ke aliran darah (bakterimia) melalui
ductus thoracicus dan menyebar ke seluruh organ retikulo endotalial tubuh,
terutama hati, sumsum tulang, dan limfa melalui sirkulasi portar dari usus.
Hati membesar (hepatomegali) dengan infiltrasi limfosit, zat plasma, dan
sel mononuclear. Terdapat juga nekrosis fokal dan pembesaran limfa
(splenomegali). Di organ ini, kuman salmonlla thypi berkembang biak dan masuk
sirkulasi darah lagi, sehingga mengakibatkan bakterimia kedua yang disertai tanda
dan gejala infeksi sistemik (demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vaskuler, dan gangguan mental koagulasi).
Pendarahan saluran cerna terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar
plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia. Proses patologis ini
dapat berlangsung hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan mengakibatkan
perforasi usus. Endotoksin basil menempel di reseptor sel endotel kapiler dan
dapat mengakibatkan komplikasi, seperti gangguan neuropsikiatrik
kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organ lainnya. Pada minggu pertama
timbulnya penyakit, terjadi hyperplasia plak peyeri.
Disusul kemudian, terjadi nekrosis pada minggu kedua dan ulserasi plak
peyeri pada minggu ketiga. Selanjutnya, dalam minggu ke empat akan terjadi
proses penyembuhan ulkus dengan meninggalkan sikatriks (jaringan parut).

4
Sedangkan penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara,
yang dikenal dengan 5F yaitu Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus
(muntah), Fly(lalat), dan melalui Feses.

PATHWAY
Kuman Salmonella Thypii

Masuk tubuh melalui mulut bersama makanan dan minuman

Masuk sampai ke usus halus

Organ Tubuh, Limfe, Peredaran Bakteri melakukan Gangguan penurunan


Hati, Empedu Darah multiplikasi di usus absorbsi pada usus besar

Hati membesar Demam Gejala mual muntah, nafsu


Konstipasi
Kembung Muka merah makan menurun
Perut tegang Kulit kering
Nyeri tekan Suplai tidak adekuat

Hipertermia Kurang intake


cairan Risiko defisit nutrisi

Nyeri Akut Gerak kurang

Lemah, lesu, aktivitas


Risiko ketidakseimbangan Penekanan terlalu lama di dibantu
Cairan
punggung, kemerahan,
Intoleransi aktivitas
lecet, panas

(Mardisupriyansah, 2013)

5
E. Pemeriksaan Penunjang
(Bangun, 2015)
1. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah
sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada
sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang
terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh
karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam
typhoid.
2. Pemeriksaan SGOT Dan SGPT
SGOT Dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat
kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
3. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila
biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid.
Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
a. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium
yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media
biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah
pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada
minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya.
Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat
menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat
menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.

6
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti
mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan
hasil biakan mungkin negatif.
e. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi
terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang
yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal
adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita tifoid
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap
kuman Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat
kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari)
atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan)
Gall kultur dengan media carr empedu merupakan diagnosa pasti
demam tifoid bila hasilnya positif, namun demikian, bila hasil kultur
negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa
alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak
mencukupi. Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan
penyakit demam tifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid
diklasifikasikan atas:
1. Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik
didapatkan gejala demam, gangguan saluran cerna, gangguan
pola buang air besar dan hepato/splenomegali. Sindrom demam
tifoid belum lengkap. Diagnosis ini hanya dibuat pada pelayanan
kesehatan dasar.
2. Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir
lengkap, serta didukung oleh gambaran laboraorium yang

7
menyokong demam tifoid (titer widal O > 1/160 atau H > 1/160
satu kali pemeriksaan).
3. Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada
pemeriksaan biakan atau positif S.Thypi pada pemeriksaan PCR
atau terdapat kenaikan titer Widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan
ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H > 1/640 (pada
pemeriksaan sekali)

F. Penatalaksanaan
(Bangun, 2015)
1) Medis
a. Anti Biotik (Membunuh Kuman) :
1) Klorampenicol
2) Amoxicilin
3) Kotrimoxasol
4) Ceftriaxon
5) Cefixim
b. Antipiretik (Menurunkan panas) :
1) Paracetamol
2) Keperawatan
a. Observasi dan pengobatan
b. Pasien harus tirah baring absolute sampai 7 hari bebas demam atau
kurang lebih dari selam 14 hari. MAksud tirah baring adalah untuk
mencegah terjadinya komplikasi perforasi usus.
c. Mobilisasi bertahap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya kekuatan
pasien.
d. Pasien dengan kesadarannya yang menurun, posisi tubuhnya harus
diubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi
pneumonia dan dekubitus.
e. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang
terjadi konstipasi dan diare.

8
f. Diet
Diet demam thypoid adalah diet yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan makan penderita thypoid dalam bentuk makanan lunak rendah
serat. Tujuan utama diet demam thypoid adalah memenuhi kebutuhan
nutrisi penderita demam thypoid dan mencegah kekambuhan. Penderita
penyakit demam thypoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti
petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di komunikasi,
antara lain :
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.
b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk
memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin
meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi volume feses, dan tidak
merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga ditujukan untuk
menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi
usus. Syarat-syarat diet sisa rendah adalah:
1. Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas
2. Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total
3. Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
4. Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total
5. Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan serat
maksimal 8 gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi
perorangan
6. Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai
dengan toleransi perorangan.
7. Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam
dan berbumbu tajam.
8. Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak terlalu
panas dan dingin

9
9. Makanan sering diberikan dalam porsi kecil
10. Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus,
diet perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan formula, atau
makanan parenteral.
Makanan yang dianjurkan antara lain :
1. Sumber karbohidrat : beras dibubur/tim, roti bakar, kentang rebus,
krakers, tepung tepungan dibubur atau dibuat puding
2. Sumber protein hewani: daging empuk, hati, ayam, ikan direbus,
ditumis, dikukus,diungkep, dipanggang; telur direbus, ditim, diceplok air,
didadar, dicampur dalam makanan dan minuman; susu maksimal 2 gelas
per hari
3. Sumber protein nabati : tahu, tempe ditim, direbus, ditumis; pindakas;
susu kedelai
4. Sayuran : sayuran berserat rendah dan sedang seperti kacang panjang,
buncis muda, bayam, labu siam, tomat masak, wortel direbus, dikukus,
ditumis
5. Buah-buahan : semua sari buah; buah segar yang matang (tanpa kulit
dan biji) dan tidak banyak menimbulkan gas seperti pepaya , pisang, jeruk,
alpukat
6. Lemak nabati : margarin, mentega, dan minyak dalam jumlah terbatas
untuk menumis, mengoles dan setup
7. Minuman : teh encer, sirup
8. Bumbu : garam, vetsin, gula, cuka, salam, laos, kunyit, kunci dalam
jumlah terbatas
Sedangkan makanan yang tidak dianjurkan adalah :
1. Sumber karbohidrat : beras ketan, beras tumbuk/merah, roti whole
wheat, jagung, ubi, singkong, talas, tarcis, dodol dan kue-kue lain yang
manis dan gurih
2. Sumber protein hewani : daging berserat kasar (liat), serta daging,
ayam, ikan diawetkan, telur mata sapi, didadar

10
3. Sumber protein nabati : Kacang merah serta kacang-kacangan kering
seperti kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, dan kacang tolo
4. Sayuran : sayuran yang berserat tinggi seperti : daun singkong, daun
katuk, daun pepaya, daun dan buah melinjo, oyong,timun serta semua
sayuran yang dimakan mentah
5. Buah-buahan : buah-buahan yang dimakan dengan kulit seperti apel,
jambu biji, jeruk yang dimakan dengan kulit ari; buah yang menimbulkan
gas seperti durian dan nangka
6. Lemak : minyak untuk menggoreng, lemak hewani, kelapa dan santan
7. Minuman : kopi dan teh kental; minuman yang mengandung soda dan
alkohol
8. Bumbu : cabe dan merica

G. KOMPLIKASI
Komplikasi Intestinal
1. Perdarahan usus
2. Perporasi usus
3. Ilius paralitik
Komplikasi Ekstra Intestinal
1. Kom. Kardiovaskuler : Kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis),
Miocarditis, Trombosis, Tromboplebitis.
2. Kom. Darah : anemia hemolitik, trombositopenia, dan syndroma
uremia hemolitik.
3. Kom. Paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4. Kom. Hepar dan kandung kemih : hepatitis, kolestitis.
5. Kom. Ginjal : glomerulus nefritis, pyelonefritis dan perinepritis.
6. Kom. Tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis, dan artritis.
7. Kom. Neuropsikiatrik : derilium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, sindroma guillain bare dan sindroma katatonia.

11
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

a. Identitas klien

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa,


agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan
diagnosa medik.

b. Keluhan utama

Keluhan utama demam thypoid adalah panas atau demam yang tidak
turun-turun, nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta
penurunan kesadaran.

c. Riwayat penyakit sekarang

Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi ke


dalam tubuh.

d. Riwayat penyakit dahulu

Apakah sebelumnya pernah sakit demam thypoid.

e. Riwayat penyakit keluarga

Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.

f. Pola-pola fungsi kesehatan

1) Pola nutrisi dan metabolisme

Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan


muntah saat makan sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak makan
sama sekali.

2) Pola eliminasi

Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring lama.


Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna urine
menjadi kuning kecoklatan. Klien dengan demam thypoid terjadi
peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak keluar dan merasa
haus, sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh.

3) Pola aktivitas dan latihan

12
Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar
tidak terjadi komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.

4) Pola tidur dan istirahat

Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu


tubuh.

5) Pola persepsi dan konsep diri

Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan


penyakit anaknya.

6) Pola sensori dan kognitif

Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan


umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham
pada klien.

7) Pola hubungan dan peran

Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat


di rumah sakit dan klien harus bed rest total.

8) Pola penanggulangan stress

Biasanya orang tua akan nampak cemas.

g. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan umum

Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38 – 410C,


muka kemerahan.

2) Tingkat kesadaran

Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).

3) Sistem respirasi

Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam


dengan gambaran seperti bronchitis.

4) Sistem kardiovaskuler

13
Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin
rendah.

5) Sistem integumen

Kulit kering, turgor kulit menurun, muka tampak pucat, rambut


agak kusam

6) Sistem gastrointestinal

Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas),


mual, muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak
enak, peristaltik usus meningkat.

7) Sistem muskuloskeletal

Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.

8) Sistem abdomen

Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan


konsistensi lunak serta nyeri tekan pada abdomen. Pada perkusi
didapatkan perut kembung serta pada auskultasi peristaltik usus
meningkat.

B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI, 2017) :

a. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit.


b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis.
c. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas gastrointestinal.
d. Risiko defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna
makanan
e. Risiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan disfungsi
intestinal
f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan

C. Intervensi
Perencanaan yang disesuaikan dengan diagnosa, berdasarkan Standar intervensi
keperawatan indonesia (SIKI, 2018) dan Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI, 2018) :

14
NO DIAGNOSA TUJUAN RENCANA RASIONAL
KEPERAWATAN

1. Hipertermi Setelah O: Mengidentifik


b/d proses
dilakukan - identifikasi penyebab asi dan
penyakit.
intervensi - monitor suhu tubuh mengelola
keperawatan - monitor kadar elektrolit peningkatan
selama ... x - monitor haluaran urine suhu tubuh
24 jam maka - monitor komplikasi akibat
hipertermia N: disfungsi
membaik - sediakan lingkungan yang termoregulasi,
dengan dingin
kriteria hasil : - longgarkan atau lepaskan
-suhu tubuh pakaian Mengurangi
membaik - basahi atau kipasi bagian terjadinya
-suhu kulit tubuh peningkatan
membaik - berikan cairan oral panas,
-kadar - ganti linen dengan lebih
glukosa darah sering
membaik - lakukan pendinginan Membantu
eksternal mempercepat
E: pemulihan
- anjurkan tirah baring
C:
-kolaborasi pemberian Mempercepat
cairan dan elektrolit penurunan
intravena panas

2.. Nyeri akut Setelah O:


b/d agen
dilakukan Identifikasi Untuk
pencedera
fisiologis. intervensi -lokasi, karakteristik, durasi, mengidentifika

15
keperawatan frekuensi, kualitas, si adanya
selama ... x intensitas nyeri, skala nyeri, pemberat atau
24 jam maka respon nyeri non verbal, penyebab
nyeri faktor pemberat, pengaruh timbulnya
menurun budaya, pengaruh nyeri. nyeri,
dengan -monitor keberhasilan mengetahui
kriteria hasil : terapi, efek samping tingkat
-keluhan penggunaan analgetik keberhasilan
nyeri N: perawatan
menurun -berikan teknik non Untuk
-meringis farmakologis mengontrol
menurun -kontrol lingkungan tingkat nyeri
-gelisah -fasilitasi istirahat dan tidur
menurun -pertimbangkan jenis dan
-mual sumber nyeri
menurun E:
-muntah -jelaskan penyebab, periode, Untuk
menurun pemicu, dan strategi menambah
-TTV meredakan nyeri pengetahuan
membaik -anjurkan monitor nyeri pasien
secara mandiri terhadap sakit
-anjurkan penggunaan yang ia
analgetik secara tepat rasakan
-ajarkan teknik
nonfarmakologis
C: Untuk
-kolaborasi dalam mempercepat
pemberian analgetik penyembuhan

16
3. Konstipasi Setelah O: Mengidentifik
b/d
dilakukan -identifikasi faktor risiko asi penyebab
penurunan
motilitas intervensi konstipasi konstipasi
gastrointestin
keperawatan -monitor tanda dan gejala
al.
selama ... x konstipasi
24 jam maka -identifikasi status kognitif
eliminasi -identifikasi penggunaan
fekal obat-obatan penyebab
membaik konstipasi
dengan N:
kriteria hasil : -batasi minuman yang Untuk
-distensi mengandung kafein dan mengurangi
abdomen alkohol keluhan dan
menurun -jadwalkan rutinitas BAK keparahan
-mengejan -lakukan masase abdomen konstipasi
saat defekasi -berikan terapi akupresur
menurun E:
-peristaltik -jelaskan penyebab dan Untuk
usus faktor risiko konstipasi menambah
membaik -Anjurkan minum air putih pengetahuan
-konsistensi sesuai kebutuhan pasien
feses -anjurkan mengkonsumsi terhadap
membaik makanan berserat konstipasi
-anjurkan meningkatkan
aktivitas fisik
-anjurkan berjalan 15-20
menit 1-2 x/hr
-anjurkan berjongkok untuk
memfasilitasi proses BAB
C: Untuk
-kolaborasi dengan ahli gizi mengatasi dan

17
konsultasi cara
mengatasi
konstipasi
4. Risiko defisit Setelah O: Untuk
nutrisi b/d
dilakukan -monitor asupan dan mengidentifika
ketidakmam
puan intervensi keluarnya makanan dan si asupan
mencerna
keperawatan cairan serta kebutuhan makanan
makanan
selama ... x kalori
24 jam maka N:
status nutrisi -timbang BB secara rutin Untuk
membaik -diskusikan perilaku makan mengontrol
dengan dan jumlah aktivitas dan mencegah
kriteria hasil : -lakukan kontrak perilaku terjadinya
-porsi makan -dampingi ke kamar mandi defisit nutrisi
yang -berikan penguatan positif
dihabiskan terhadap keberhasilan
meningkat -berikan konsekuensi bila
-IMT tidak mencapai target
membaik -rencanakan program
-nafsu makan pengobatan untuk perawatan
membaik di rumah
-frekuensi E:
makan -anjurkan membuat catatan Untuk
membaik harian menambah
-ajarkan pengaturan diet pengetahuan
yang tepat dan membantu
-ajarkan ketrampilan koping pengaturan diit
untuk menyelesaikan
masalah perilaku makan
C:
-kolaborasi dengan ahli gizi Untuk

18
konsultasi diit

5. Risiko Setelah O: Untuk


ketidakseimb
dilakukan -monitor status hidrasi mengidentifika
angan cairan
b/d disfungsi intervensi -monitor BB harian si status nutrisi
intestinal
keperawatan Monitor BB sebelum dan
selama ... x sesudah dialisis
24 jam maka -monitor hasil pemeriksaan
keseimbanga lab
n cairan -monitor status
meningkat hemodinamik
dengan N:
kriteria hasil : -catat intake-output dan Untuk
-asupan hitung balance mengontrol
cairan -berikan asupan cairan dan mencegah
meningkat sesuai kebutuhan ketidakseimba
-haluaran -berikan cairan intravena ngan cairan
urin E:
meningkat -kolaborasi pemberian Mencukupi
Kelembaban diuretik kebutuhan
mukosa
meningkat
-TTV
membaik
6. Intoleransi Setelah O: Untuk
b/d
dilakukan -identifikasi gangguan mengetahui
kelemahan
intervensi fungsi tubuh perkembangan
keperawatan -monitor kelelahan fisik dan kondisi pasien
selama ... x emosional
24 jam maka -monitor pola dan jam tidur

19
toleransi -monitor lokasi dan
aktifitas ketidaknyamanan selama
meningkat melakukan aktivitas
dengan N:
kriteria hasil : -sediakan lingkungan Untuk
-kemudahan nyaman dan rendah stimulus meningkatkan
dalam -lakukan latihan rentang kemampuan
beraktivitas gerak pasif atau aktif aktivitas
meningkat -berikan aktivitas distraksi pasien
-kekuatan yang menenangkan
tubuh -fasilitasi duduk di sisi
meningkat tempat tidur
-TTV E:
membaik -anjurkan tirah baring Untuk
-anjurkan melakukan menambah
aktivitas secara bertahap pengetahuan
-anjurkan kepada perawat pasien
apabila tanda gejal tidak
berkurang Untuk
-ajarkan strategi coping mengatasi
untuk mengurangi kelelahan gejala dan
C : kolaborasi dengan ahli penyebab
gizi

D. Implementasi
Melakukan intervensi yang sudah direncanakan dengan pasien sesuai jadwal
dan bertahap agar diperoleh hasil yang diharapkan.

20
E. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan
yaitu :
a. Hipertermia membaik
b. Nyeri menurun
c. Eliminasi fekal membaik
d. Status nutrisi membaik
e. Toleransi aktivitas meningkat

21
DAFTAR PUSTAKA

Bangun, A. (2015). laporan pendahuluan thypoid. Gombong: Stikes


Muhammadiyah Gombong.

Cahyono, J. S. (2010). Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Elsiver Aramitasari, Q. P. (2013.). Faktor Resiko Kejadian Penyakit. Philadelphia,


Pa: Saunder Elsiver.

Mardisupriyansah. (2013). phatway thypoid. Jakarta: UI.

NANDA. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017.


Jakarta: EGC.

SDKI, T. S. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan


Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.

SIKI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan


Pengurus Pusat PPNI .

SLKI, T. P. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan


Pengurus Pusat PPNI.

Sodikin. (2012). Gangguan pencernaan. Jakarta: EGC.

22

Anda mungkin juga menyukai