DISUSUN OLEH :
Tifus abdominalis ( demam tifoid, enteric fever ) adalah penyakit infeksi akut yan
g biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu ming
gu,gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005).
Menurut Suriadi, 2006,tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasany
a terdapat
pada saluran cerna dengangejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan k
esadaran.
Wikipedia, 2000,tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat
gangguan kesadaran yangdisebabkan oleh infeksi bakteri salmonella typhi.
Menurut Nursalam et al. (2008), demam tipoid adalah penyakit infeksi akut yang
biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu,
gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran.
Demam typhoid atau Typhus abdominalis adalah suatu penyakit infeksi akut yang
biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu
minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Price A. Sylvia &
Lorraine M. Wilson,2015).
II ANATOMI FISIOLOGI
III PATOFISIOLOGI
Makanan atau minuman yang telah terkontaminasi oleh kuman Salmonella Typhosam
ask kedalamlambung,
selanjutnya lolos dari sistem pertahanan lambung, kemudian masuk keusus halus, mel
alui folikel limpa masuk kesaluran limpatik dan sirkulasi darah sistemik, sehinggaterj
adi bakterimia.
Bakterimia pertama-tama menyerang Sistem Retikulo Endoteleal (RES) yaitu:
hati,lien dan tulang
kemudian selanjutnya mengenai seluruh organ di dalam tubuh antara lainsistem syaraf
pusat, ginjal dan jaringan limpa.
Cairan empedu yang dihasilkan oleh hati masuk kekandung empedu sehingga terjadi
Kolesistitis .Cairan Empedu akan masuk ke duodenum dan dengan virulensi kuman
yang
tinggi akan menginfeksi intestin kembali khususnya bagian illeumdimana akan terben
tuk ulkus yang
lonjong dan dalam. Masuknya kuman ke dalam intestin terjadi pada minggu pertama
dengan tanda
dan gejala suhu tubuh naik turun khususnya suhu akan naik pada malam hari dan akan
menurun
menjelang pagi hari. Demam yang terjadi pada masa inidisebut demam intermiten (su
hu yang tinggi,naik turun dan turunnya dapat mencapai normal).Disamping peningkat
an suhu tubuh juga akan terjadi obstipasi sebagai akibat penurunan motilitas
suhu, namun ini tidak selali terjadi dapat pula terjadi sebaliknya. Setelah kuman
melewati fase awal intestinal, kemudian masuk ke sirkulasi sistemik dengan tanda
peningkatan suhu tubuh yang sangat tinggi dan tanda-tanda infeksi pada RES
seperti nyeri perut kanan atas,splenomegali dan hepatomegali.Pada minggu selanjutny
a dimana infeksi Focal Intestinal terjadidengan tanda-tanda suhu tubuh masih tetap
tinggi, tetapi nilainya lebih rendah dari fase bakterimia dan berlangsung terus-
menerus (demam kontinue), lidah kotor,
tepi lidah hiperemis, penurunan peristaltik, gangguan digesti dan absorbsi sehingga ak
an terjadi
distensi, diare dan pasien merasa tidak nyaman, pada masa ini dapat terjadi perdaraha
n usus, perforasi dan peritonitis dengan ditandai distensi abdomen berat, peristaltik
menurun bahkan hilang, melena, syok dan penurunan kesadaran.
(Agus Waluyo. 2004 )
Pathway
Salmonella
thyposa
Saluran
pencernaan
Pendarahan dan
Nyeri perabaan Mual & tidak
perforasi
nafsu makan
Perubahan nutrisi
Gejala klinik thyphus abdominalis pada pasien dewasa biasanya lebih berat diban
dingkan anak.Masa tunas ratarata 1020 hari.Yang tersingkat 4 hari jika infeksi melalui m
akanan, sedangkanyang terlama sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama ma
sa inkubasi ditemukangejala prodromal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepa
la, pusing, nafsu makan berkurang dan tidak bersemangat
Gejala klinis yang biasa ditemukan ialah :
1. Demam.
Pada kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remitens dan s
uhu tidak terlalu tinggi. Selama minggu pertama, suhu badan berangsur-angsur
naik setiap hari,
biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Da
lam minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan demam. Pada minggu ketiga
suhu badan berangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu keempat.
2. Gangguan pada saluran pencernaan.
Pada mulut terdapat bau nafas tidak sedap (halitosis), bibir kering dan pecah-pecah
(rhagaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue), ujung dantepi lidah
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen ditemukan keadaan perut kembu
ng(meteorismus)Hati dan limpa membesar diserta nyeri pada perabaan. Defekasi bi
asanyakonstipasi, mungkin normal dan kadang-kadang diare.
3. Gangguan kesadaran.
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak dalam, yaitu apatis
sampai
somnolen,jarang terjadi sopor, koma atau gelisah (kecuali penyakitnya berat dan
terlambat mendapatkan pengobatan).
4. Disamping gejala diatas, pada punggung atau anggota gerak dapat ditemukan roseo
la, yaitu bintikbintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit terutama di
temukan padaminggu pertama demam. Kadang-kadang ditemukan pula bradikardi
dan epitaksis (Ngastiyah,2005
V PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk membuat diagnosa pasti perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan darah tepi
Didapatkan adanya anemi oleh karena intake makanan yang terbatas, terjadi ganggu
an
absorbsi,hambatan pembentukan darah dalam sumsum dan penghancuran sel darah
merah dalam peredaran darah. Leukopenia dengan jumlah lekosit antara 3000-4000 /
mm3 ditemukan padafase demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran lekosit ole
h endotoksin. Aneosinofilia yaituhilangnya eosinofil dari darah tepi. Trombositopeni
a terjadi pada stadium panas yaitu padaminggu pertama. Limfositosis umumnya jum
lah
limfosit meningkat akibat rangsanganendotoksin. Laju endap darah meningkat.
2. Pemeriksaan urine
Didapatkan proteinuria ringan ( < 2 gr/liter) juga didapatkan peningkatan lekosit dal
am urine.
3. Pemeriksaan tinja
Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya perdarahan usus dan
perforasi.
4. Pemeriksaan bakteriologis.
Diagnosa pasti ditegakkan apabila ditemukan kuman salmonella dan biakan darah ti
nja, urine,cairan empedu atau sumsum tulang.
5. Pemeriksaan serologis
Yaitu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin ). Adapun antibodi yan
g dihasilkantubuh akibat infeksi kuman salmonella adalah antobodi O dan H. Apabil
a titer antibodi O adalah 1 : 20 atau lebih pada minggu pertama atau terjadi peningka
tan titer antibodi yang progresif(lebih dari 4 kali). Pada pemeriksaan ulangan 1 atau
2 minggu kemudian menunjukkan diagnosa positif dari infeksi Salmonella typhi.
6. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau komplikasi akibat dema
m tifoi ( Sutedjo. 2008 ).
VI MENEJEMEN MEDIS
1. Pengobatan Obat-obat anti mikroba yang sering digunakan adalah :
a. Kloramfenikol : Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasie
n demam
tifoid.Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau intraven
a,sampai 7
hari bebas demam.Penyuntikan kloramfenikol siuksinat intramuskuler tidak dian
urkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tepat suntikan terasa
nyeri. Dengan kloramfenikol ,demam pada demam thypoid dapat turun rata-rata
5 hari.
b. Tiamfenikol : Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan
kloramfenikol.Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jara
ng daripadaklloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada dema
m tiofoid dapat turun rata-rata 5-6 hari.
c. Ko-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol) : Efektivitas ko-
trimoksazol
kurang lebih sama dengan kloramfenikol,Dosis untuk orang dewasa,2 kali 2 tabl
etsehari,
digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80 mg trimetopri
m dan 400mg sulfametoksazol).dengan ko-trimoksazol demam rata-
rata turun d setelah 5-6 hari.
d. Ampicillin dan Amoxicillin : Dalam hal kemampuan menurunkan demam, efekt
ivitas ampicillindan amoxicillin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol.
Indikasi mutlak penggunannnyaadalah pasien demam tifoid dengan leukopenia.
Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150mg/kgBB sehari, digunakan
sampai 7 hari bebas demam. Dengan Amoxicillin dan Ampicillin, demam rata-
rata turun 7-9 hari.
e. Sefalosporin generasi ketiga : Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalospo
rin generasi
ketiga antara lain cefoperazon, ceftriaxon, dan cefotaxime efektif untuk demam
tifoid tetapi dosis
dan lama pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti.
f. Fluorokinolon : Fluorokinolon efektif untuk demam tifoid tetapi dosis dan lama
pemberian belum diketahui dengan pasti.
2. Keperawatan
a. Penderita dirawat dengan tujuan untuk isolasi, observasi, dan pengobatan. Klien
harus tetap berbaring sampai minimal 7 hari bebas demam atau 14 hari untuk m
encegah terjadinyakomplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.
b. Pada klien dengan kesadaran menurun, diperlukan perubahan-perubahan posisi
berbaring untukmenghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.
c. Diet
Pada mulanya klien diberikan bubur saring kemudian bubur kasar untuk menghi
ndari
komplikasi perdarahan usus dan perforasi usus.Hasil penelitian menunjukkan ba
hwa pemberian makanan padat secara dini yaitu nasi, lauk pauk yang rendah
sellulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman
kepada klien (Anonim, 2009)
VII MANAJEMEN KEPEREWATAN
Pengkajian
1. Sering ditemukan pada anak berumur di atas 1 tahun
2. Keluhan utama berupa perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,
pusing, kurang bersemangat, dan nafsu makan kurang
3. Pada kasus yang khas demam berlangsung tiga minggu, bersifat febris
remiten, dan suhu tidak tinggi sekali.
4. Umunya kesadaran pasien menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis atau somnolen.
5. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan reseola. Kadang
ditemukan pula bradikardi dan epistaksis pada anak besar
6. Pemeriksaan fisik
a. Terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah-pecah.
Lidah tertutup selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan, jarang
disertai tremor
b. Abdomen dapat ditemukan keadaan perut kembung. Bisa terjadi
konstipasi dapat juga diare atau normal
c. Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan
7. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah tepi terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relative, dan
aneosinofilia pada permukaan sakit
b. Darah untuk kultur (biakan, empedu) dan widal
c. Biakan empedu basil salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah
pasien pada minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan
dalam urine dan feses
d. Pemeriksaan widal. Untuk membuat diagnosis yang diperlukan ialah
titer zat anti terhadap antigen O. titer yang bernilai 1/200 atau lebih
menunjukkan kenaikan yang progresif
Diagnose keperawatan
1. Ketidakefektifan termoregulasi b/d penyakit
2. Nyeri akut b/d agen cedera biologis (infeksi)
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang
tidak adekuat
4. Resiko kekurangan volume cairan b/d intake yang tidak adekuat dan
hipertermi
5. Konstipasi b/d penurunan motilitas traktus gastrointestinal
Intervensi Keperawatan
1. Ketidakefektifan termoregulasi b/d penyakit
a. Kaji tanda dan gejala hipotermia serta hipertermi
b. Perbanyak asupan cairan oral
c. Untuk hipertermi : batasi aktivitas pada hari yang panas, dan lepaskan
baju yang berlebihan
d. Untuk hipotermi : tingkatkan aktivitas dan pertahankan nutrisi yang
adekuat
e. Laporkan kepada dokter jika hidrasi adekuat tidak dapat dipertahankan
f. Berikan obat antipiretik jika perlu
2. Nyeri akut b/d agen cedera biologis (infeksi)
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
b. Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan
c. Berikan informasi tentang nyeri
d. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis
e. Kolaborasikan pemberian analgetik, jika perlu
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang
tidak adekuat
a. Timbang pasien pada interval yang tepat
b. Identifikasi faktor yang mempengaruhi kehilangan selera makan
c. Berikan makanan sedikit tapi sering
d. Tawarkan kudapan yang sesuai jika perlu
e. Kolaborasikan pemberian obat antiemetic atau analgetik, jika perlu
4. Resiko kekurangan volume cairan b/d intake yang tidak adekuat dan
hipertermi
a. Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan
b. Pantau status hidrasi
c. Tingkatkan asupan oral
d. Berikan cairan sesuai kebutuhan
5. Konstipasi b/d penurunan motilitas traktus gastrointestinal
a. Identifikasi faktor yang mempengaruhi konstipasi
b. Ajarkan kepada pasien dan keluarga tentang efek diet pada eleminasi
c. Tingkatkan pemasukan cairan oral
d. Minta program dari dokter untuk pemberian bantuan eleminasi seperti
pemberian laksatif dan supositoria
VIII EVIDENCE BASED
ABSTRAK
Demam tifoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Salmonellatyphi. Penderita demam tifoid di Indonesia mencapai 81% per 100.000.
Demam tifoid dapat diberikan terapi farmakologis maupun non farmakologis yang
bertujuan untuk mempercepat penyembuhan, meminimalkan komplikasi sekaligus
untuk mencegah penyebaran penyakit. Metode yang digunakan dalam pengerjaan
literatur review ini adalah studi literatur yang bersumber dari jurnal, e-book, dan
artikel ilmiah nasional maupun internasional dengan tahun terbit maksimal 5 tahun
terakhir. Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada penderita demam tifoid yaitu
terapi antibiotik seperti penggunaan Ciprofloxacin, Cefixime, Kloramfenikol,
Tiamfenikol, Azitromisin, Ceftriaxone dan terapi kortikosteroid seperti penggunaan
Dexametasone. Namun, perlu diperhatikan dalam penggunaan antibiotik maupun
kortikosteroid dalam pengobatan demam tifoid. Penggunaan secara sembarangan
menyebabkan peningkatan kejadian demam tifoid yang resistensi terhadap antibiotik
maupun timbulnya efek samping terhadap antibiotik maupun kortikosteroid yang
justru memperburuk kondisi penderita demam tifoid.Terapi non farmakologis untuk
demam tifoid yaitu tirah baring, diet lunak rendah serat serta menjaga kebersihan.
Kajian terapi farmakologis diperlukan dalam pemilihan jenis obat yang akan sangat
menentukan kualitas penggunaan obat dalam pemilihan terapi dan kajian non
farmakologis diperlukan untuk mendukung keberhasilan terapi.
Kata Kunci: Demam tifoid, terapi farmakologis, terapi non farmakologis
IX DAFTAR PUSTAKA