Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN

DEMAM TYPHOID

Disusun oleh :

Paryoto S.Kep

1202308187

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUTE TEKNOLOGI SAINS DAN KESEHATAN
PKU MUHAMMADYAH SURAKARTA
A. Pengertian
Typhoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh
Salmonella tipe A, B, dan C yang dapat menular melalui oral, fekal, makanan, dan
minumanyang terkontaminasi (Wulandari dan Erawati 2016).
Demam typhoid adalah penyakit infeksi bakteri yang menyerang sistem
pencernaan manusia yang disebabkan oleh Salmonella typhi dengan gejala demam
satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau
tanpa gangguan kesadaran (Ulfa dan Handayani 2018).

B. Penyebab dan Faktor Predisposisi


1. Penyebab
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif,
tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak
dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam
bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan
pemanasan (suhu 600C) selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi. Salmonella typhi adalah bakteri batang gram negatif yang
menyebabkan demam tifoid. Salmonella typhi merupakan salah satu penyebab
infeksi tersering di daerah tropis, khususnya di tempat-tempat dengan higiene
yang buruk. Terdapat ratusan jenis bakteri Salmonella, tetapi hanya 4 jenis yang
dapat menimbulkan typhoid yaitu Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A,
Salmonella paratyphi B, Salmonella paratyphi C . Pada typhoid yang disebabkan
Salmonella paratyphi C typhoid ditularkan melalui feses dan urin dari penderita
carier atau orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih terus
mengekskresikan Salmonella typhi dalam feses dan urin selama lebih dari satu
tahun (Rahayu E., 2013).
2. Factor Predisposisi
a. Mengkonsumsi makanna yang kurang matang
b. Bersentuhan dengan ekskresi (zat-zat sisa metabolisme yang tidak digunakan
lagi oleh tubuh) pasien demam Tifoid
c. Tinggal di daerah padat penduduk dan sanitasi yang buruk.
d. Kebersihan tangan yang kurang
e. Kebiasaan jajan makanan di luar rumah yang kurang bersih.
C. Manifestasi Klinis
Tanda gejala umum yang biasanya muncul pada penderita typhoid adalah
demam yang biasanya lebih dari 5 hari terutama pada malam hari, menggil, nyeri
abdomen, lidah kotor dengan tepian merah, konstipasi selama beberapa hari
(Tambayong, 2020). Berikut merupakan gejala demam typhoid yang khas :
1. Minggu pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama
dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan
yaitu setinggi 39ºC hingga 40ºC, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia,
mual , muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah,
pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan
merasa tidak enak, sedangkan diare dan sembelit dapat terjadi bergantian. Pada
akhir minggu pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah
kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat
dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika
penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan
gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam
kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah
satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari,
kemudian hilang dengan sempurna (Brusch, 2014).
2. Minggu kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari,
yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam
hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam
keadaan tinggi/demam. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Gejala
toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami
delirium. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering,merah
mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan
diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi
perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi.
Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi
dan lain-lain (Supriyono, 2015).
3. Minggu ketiga
Pada minggu ketiga, demam semakin memberat dan terjadi anoreksia dengan
pengurangan berat badan yang signifikan. Konjungtiva terinfeksi, dan pasien
mengalami takipnu dengan suara crakcles di basis paru. Jarang terjadi distensi
abdominal. Beberapa individu mungkin akan jatuh pada fase toksik yang ditandai
dengan apatis, bingung, dan bahkan psikosis. Nekrosis pada Peyer’s patch
mungkin dapat menyebabkan perforasi saluran cerna dan peritonitis. Degenerasi
miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita
demam tifoid pada minggu ketiga (Brusch, 2014).
4. Minggu keempat
Pada minggu ke empat demam turun perlahan secara lisis, kecuali jika fokus
infeksi terjasi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan
menetap. Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemah,kekambuhan dapat terjadi dan
berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari
serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi
primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid.

D. Patofisiologi
Kuman masuk ke dalam mulut melalui makanan atau minuman yang tercemar
oleh salmonella (biasanya >10.000 basil kuman). Sebagian kuman dapat dimusnahkan
oleh asam hcl lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Jika respon imunitas
humoral mukosa (igA) usus kurang baik, maka basil salmonella akan menembus sel-
sel epitel (sel m) dan selanjutnya menuju lamina propia dan berkembang biak di
jaringan limfoid plak peyeri di ileum distal dan kelejar getah bening mesenterika.
Jaringan limfoid plak peyeri dan kelenjar getah bening mesenterika
mengalami hiperplasia. Basil tersebut masuk ke aliran darah (bakterimia) melalui
ductus thoracicus dan menyebar ke seluruh organ retikulo endotalial tubuh, terutama
hati, sumsum tulang, dan limfa melalui sirkulasi portar dari usus.
Hati membesar (hepatomegali) dengan infiltrasi limfosit, zat plasma, dan sel
mononuclear. Terdapat juga nekrosis fokal dan pembesaran limfa (splenomegali). Di
organ ini, kuman salmonlla thypi berkembang biak dan masuk sirkulasi darah lagi,
sehingga mengakibatkan bakterimia kedua yang disertai tanda dan gejala infeksi
sistemik (demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, dan
gangguan mental koagulasi).
Pendarahan saluran cerna terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak
peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia. Proses patologis ini dapat
berlangsung hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan mengakibatkan perforasi usus.
Endotoksin basil menempel di reseptor sel endotel kapiler dan dapat mengakibatkan
komplikasi, seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler, pernapasan, dan
gangguan organ lainnya. Pada minggu pertama timbulnya penyakit, terjadi
hyperplasia plak peyeri.
Disusul kemudian, terjadi nekrosis pada minggu kedua dan ulserasi plak
peyeri pada minggu ketiga. Selanjutnya, dalam minggu ke empat akan terjadi proses
penyembuhan ulkus dengan meninggalkan sikatriks (jaringan parut).
Sedangkan penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara,
yang dikenal dengan 5F yaitu Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus
(muntah), Fly(lalat), dan melalui Feses.
Salmonella Typhi

E. Pathway

Masuk ke dalam darah Peristaltik usus ↓ Masuk ke saluran


pencernaan

Bakteri endotoksin ↑asam lambung

Masuk ke usus halus


↑ peradangan Bising usus ↓

Inflamansi usus
Gangguan termogulasi anoreksia Tonus otot ↓

Gangguan saluran
Ketidakampuan
↑ metaboisme Mual, muntah Kelemahan fisik pencernaan
mencerna makana

HIPERTERMIA DEFISIT NUTRISI Kehilangan cairan aktif imobilisasi


DIARE

Asupan cairan ↓ INTOLERANSI


AKTIFITAS Malaise
HIPOVOLEMI

NYERI AKUT
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan hematologi pada demam tifoid tidak spesifik. Dapat ditemukan
anemia normokromik normositer dalam beberapa minggu setelah sakit. Anemia
dapat terjadi antara lain oleh karena pengaruh beberbagai sitokin dan mediator
sehingga terjadi depresi sumsum tulang, penghentian tahap pematangan eritrosit
maupun kerusakan langsung pada eritrosit. Hitung leukosit umumnya rendah,
berhubungan dengan demam dan toksisitas penyakit, memilik variasi yang lebar,
leukopenia, jarang dibawah 2500/mm3 Leukositosis dapat mencapai 20.000-
25.000 mm3 . Trombositopenia dapat merupakan suatu tanda penyakit yang berat
serta terjadinya suatu gangguan koagulasi intravaskuler. (Sucipta, 2015).
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT pada demam thypoid sering kali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid.
3. Biakan Darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan
darah negatif tidak menutup kemungkinan terjadi demam typhoid. Hal ini karena
hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor yaitu :
a. Teknik pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan.
Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi, yaitu
pada saat Bakterimia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Biakan darah terdapat Sallmonella typhi terutama positif pada minggu pertama
dan berkurang pada minngu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biarkan
darah dapat positif kembali.
c. Vaksinasi dimasa lampau
Vaksinasi terdapat demam typhoid dimasa lampau dapat menimbulkan
antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakterimia sehingga
biakan darah negatif.
d. Pengobatan dengan obat antimikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif.
4. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien
dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen
yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita tifoid Uji widal
dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella typhi.
Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada
pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam
sekali pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr empedu merupakan diagnosa
pasti demam tifoid bila hasilnya positif, namun demikian, bila hasil kultur negatif
belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa alasan, yaitu
pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi. Sesuai dengan
kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis
klinis demam tifoid diklasifikasikan atas:
a. Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala
demam, gangguan saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan
hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid belum lengkap. Diagnosis ini
hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.
b. Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap,
serta didukung oleh gambaran laboraorium yang menyokong demam tifoid
(titer widal O > 1/160 atau H > 1/160 satu kali pemeriksaan).
c. Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan
atau positif S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titer Widal
4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H >
1/640 (pada pemeriksaan sekali)

G. Penatalaksanaan
1. Terapi Farmakologi
a. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah
dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kapan saja
penderita sudah tidak mengalami mual lagi.
b. Pemberiam antimikroba Pada demam tifoid, obat pilihan yang digunakan
dibagi menjadi lini pertama dan lini kedua. Kloramfenikol, kotrimosazol, dan
amoksisilin/ampisilin adalah obat demam tifoid lini pertama. Lini kedua
adalah kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak dibawah 18 tahun), sefiksim,
dan seftriakson. Kloramfenikol dengan dosis 4 x 500 mg per hari dapat
diberikan secara oral maupun intravena, diberikan sampai dengan 7 hari bebas
panas. Kloramfenikol bekerja dengan mengikat unit ribosom dari kuman
salmonella, menghambat pertumbuhannya dengan menghambat sintesis
protein. Sementara kerugian penggunaan kloramfenikol adalah angka
kekambuhan yang tinggi (5-7%), penggunaan jangka panjang (14 hari), dan
seringkali menyebabkan timbulnya karier. Tiamfenikol, dosis dan
efektifitasnya pada demam tofoid sama dengan kloramfenikol yaitu 4 x 500
mg, dan demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6. Komplikasi
hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol. Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan
untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan kloramfenikol, dengan
dosis 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu. Trimetroprimsulfamethoxazole,
(TMPSMZ) dapat digunakan secara oral atau intravena pada dewasa pada
dosis 160 mg TMP ditambah 800 mg SMZ dua kali tiap hari pada dewasa.
Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu seftriakson dengan dosis 3- 4 gram dalam
dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan
selama 3-5 hari. Golongan Flurokuinolon (norfloksasin, siprofloksasin).
Secara relatif obat – obatan golongan ini tidak mahal, dapat ditoleransi dengan
baik, dan lebih efektif dibandingkan obat – obatan lini pertama sebelumnya
(kloramfenikol, ampisilin, amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole).
Flurokuinolon memiliki kemampuan untuk menembus jaringan yang baik,
sehingga mampu membunuh S.thypi yang berada dalam stadium statis dalam
monosit/makrofag dan dapat mencapai level obat yang lebih tinggi dalam
kantung empedu dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini mampu
memberikan respon terapeutik yang cepat, seperti menurunkan keluhan panas
dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari. Penggunaan obat golongan
flurokuinolon juga dapat menurunkan kemungkinan kejadian karier pasca
pengobatan. Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan
tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Pada
wanita hamil, kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 karena
menyebabkan partus prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome
pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena
memiliki efek teratogenik. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin,
amoksisilin, dan seftriakson.

2. Terapi Non Farmakologi


a. Istirahat dan perawatan,bertujuan untuk mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan dilakukan
sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, dan bab/bak. Posisi
pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan pnemonia orthostatik serta
higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
b. Diet dan terapi penunjang. Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang
adekuat, yaitu berupa:
c. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala
meteorismus, dan diet bubur saring pada penderita dengan meteorismus. Hal
ini dilakukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna dan
perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan agar meningkatkan keadaan
umum dan mempercepat proses penyembuhan.
d. Cairan yang adekuat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diare.

H. Komplikasi
1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan usus
b. Perporasi usus
c. Ilius paralitik
2. Komplikasi Ekstra Intestinal
a. Kom. Kardiovaskuler : Kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), Miocarditis,
Trombosis, Tromboplebitis.
b. Kom. Darah : anemia hemolitik, trombositopenia, dan syndroma uremia
hemolitik.
c. Kom. Paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Kom. Hepar dan kandung kemih : hepatitis, kolestitis.
e. Kom. Ginjal : glomerulus nefritis, pyelonefritis dan perinepritis.
f. Kom. Tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis, dan artritis.
g. Kom. Neuropsikiatrik : derilium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, sindroma guillain bare dan sindroma katatonia.

I. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Riwayat kesehatan dahulu Apakah pasien pernah mengalami riwayat demem
thypoid atau yang lainnya sebelumnya
b. Riwayat kesehatan sekarang Pasien dengan demam thypoid biasanya
mengeluh perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak
bersemangat, demam, gangguan pada saluran pencernaan, sampai dengan
gangguan kesadaran.
c. Riwayat kesehatan keluarga Apakah keluarga ada yang pernah mengalami
demam typoid atau yang lainnya
d. Riwayat Tumbuh Kembang Yang dimaksud dengan riwayat tumbuh kembang
adalah kelaian-kelainan fisik atau kematangan dari perkembangan dan
pertumbuhan seseorang yang dapat mempengarui keadaan penyakit, misalnya
pernah ikterus saat proses kelahiran yang lama atau lahir prematur.

2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum Biasanya pasien dengan thypoid mengalami demam, badan
lemah, muka pucat, merasa mual dan perut tidak enak.
b. Kepala Konjungtiva anemis, mata cowong. muka pucat, bibir kering, lidah
kotor, dan hidung terjadi epistaksis.
c. Sistem kardiovaskuler Biasanya pasien dengan thypoid ditemukan adanya
tekanan darah yang meningkat akan tetapi bisa didapatkan takikardi ketika
mengalami peningkatan suhu tubuh.
d. Sistem integumen Turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, akral
hangat, kadangkadang terdapat juga bintik bintik merah di kulit
e. Sistem abdomen Perut kembung dan terdapat nyeri tekan
f. Sistem eliminasi Pasien thypoid kadang-kadang mengalami diare atau bisa
juga konstipasi, produk kemih pasien bisa mengalami penurunan
g. Sistem persarafan Ada beberapa pasien dengan demam thypoid akan
memunculkan gejala sampai dengan penurunan kesadaran
3. Data psikologi dan sosial
a. Riwayat psikososial Demam thypoid biasanya membuat anak gelisah sampai
menangis karena efek dari gejala yang menyebabkan badan terasa tidak enak.
b. Lingkungan dan tempat tinggal Mengkaji mengenai kebersihan lingkungan,
tempat tinggal, area lingkungan rumah, dan kebiasaan anak yang dapat
ditanyakan ke keluarga

J. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermi (D.0130) d.d proses penyakit d.d suhu tubuh diatas normal, kulit
merah, kejang, takikardi, takipnea, kulit terasa hangat
2. Hipovolemi (D.0023) d.d kekurangan intake cairan d.d mersa lemah, merasa haus,
nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, crt menurun.
3. Defisit Nutrisi (D.0019) d.d nafsu makan menurun, berat badan turun, bisisng
usus hiperaktif, sariawan, diare.
K. Perencanaan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
Hipertermi (D.0130) d.d proses Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Hipertermia
penyakit d.d suhu tubuh diatas selama ........x24 jam, maka Terogulasi membaik, Observasi:
normal, kulit merah, kejang, dengan kriteria hasil sebagai berikut:  Identifikasi penyebab hipertermia (mis.
takikardi, takipnea, kulit terasa Termogulasi (L.14134) dehidrasi, terpapar lingkungan panas,
hangat 1. Menggigil skor 2 penggunaan inkubator)
2. Kulit merah skor 2  Monitor suhu tubuh
3. Pucat skor 2  Monitor kadar elektrolit
4. Takikardi dkor 2  Monitor haluaran urine
5. Suhu tubuh skor 4  Monitor komplikasi akibat hipertermia
6. Suhu kulit skor 4 Terapeutik:
7. Pengisian kapiler skor 4  Sediakan lingkungan yang dingin
 Longgarkan atau lepaskan pakaian
 Basahi dan kipasi permukaan tubuh
 Berikan cairan oral
 Hindari pemberian antipiretik atau asprin
 Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena, jika perlu
Hipovolemi (D.0023) d.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Hipovolemia
kekurangan intake cairan d.d selama ........x24 jam, maka status cairan membaik, Observasi:
mersa lemah, merasa haus, nadi dengan kriteria hasil sebagai berikut:  Periksa tanda dan gejala hypovolemia
meningkat, nadi teraba lemah, Status Cairan (L.03028) (mis. frekuensi nadi meningkat, nadi
tekanan darah menurun, crt 1. Kekuatan nadi skor 4 teraba lemah, tekanan darah menurun,
menurun. 2. Turgor kulit skor 4 tekanan nadi menyempit, turgor kulit
3. Output urin skor 4 menurun, membran mukosa, kering,
4. Tekanan darah skor 4 volume urin menurun, hematokrit
5. Membran mukosa skor 4 meningkat, haus, lemah)
6. Intake cairan skor 4  Monitor intake dan output cairan
Terapeutik
 Hitung kebutuhan cairan
 Berikan posisi modified trendelenburg
 Berikan asupan cairan oral
Edukasi
 Anjurkan memperbanyak asupan cairan
oral
 Anjurkan menghindari perubahan posisi
mendadak
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian cairan IV isotons
(mis. Nacl, RL)
 Kolaborasi pemberian cairan IV
hipotonis (mis. glukosa 2,5%, Nacl
0,4%)
 Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis.
albumin, plasmanate)
 Kolaborasi pemberian produk darah
Defisit Nutrisi (D.0019) d.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nutrisi
nafsu makan menurun, berat selama ........x24 jam, maka status nutrisi Observasi:
badan turun, bisisng usus membaik, dengan kriteria hasil sebagai berikut:  Identifikasi status nutrisi
hiperaktif, sariawan, diare. Status Nutrisi (L.03030)  Identifikasi alergi dan intoleransi
1. Porsi makanan yang dihabiskan skor 4 makanan
2. Perasaan cepat kenyang skor 4  Identifikasi perlunya penggunaan selang
3. Nyeri abdomen skor 4 nasogastric
4. Nafsu makan skor 4  Monitor asupan makanan
 Monitor berat badan
Terapeutik:
 Lakukan oral hygiene sebelum makan,
Jika perlu
 Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yang sesuai
 Hentikan pemberian makanan melalui
selang nasogastric jika asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi
 Anjurkan posisi duduk, jika mampu
 Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan
DAFTAR PUSTAKA

Brusch, J.L. 2014. Typhoid Fever Clinical Presentation.


http://emedicine.medscape.com/article/231135-clinical

Levani, Yelvi dan Aldo Prastya. 2020. “DEMAM TIFOID : MANIFESTASI KLINIS,
PILIHAN TERAPI DAN PANDANGAN DALAM ISLAM.” JURNAL BERKALA
ILMIAH KEDOKTERAN 3:10–16.

Rahayu, E. 2013. Sensitivitas uji widal dan tubex untuk diagnosis demam tifoid berdasarkan
kultur darah. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang

Sucipta A.A Made. 2015. Baku Emas Pemeriksaan Labolatorium Demam Tifoid pada Anak.
Jurnal Skala Husada 12 (1): 22-26

Tambayong Jan. 2020. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta :
PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : PPNI

Ulfa, Farissa dan Oktia Handayani. 2018. “KEJADIAN DEMAM TIFOID DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS PAGIYANTEN.” HIGEIA JOURNAL OF PUBLIC HEALTH
RESEARCH AND DEVELOPMENT 2:227–38
.
Wulandari, Dewi dan Meira Erawati. 2016. BUKU AJAR KEPERAWATAN. Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai