DEMAM TYPHOID
Disusun oleh :
Paryoto S.Kep
1202308187
D. Patofisiologi
Kuman masuk ke dalam mulut melalui makanan atau minuman yang tercemar
oleh salmonella (biasanya >10.000 basil kuman). Sebagian kuman dapat dimusnahkan
oleh asam hcl lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Jika respon imunitas
humoral mukosa (igA) usus kurang baik, maka basil salmonella akan menembus sel-
sel epitel (sel m) dan selanjutnya menuju lamina propia dan berkembang biak di
jaringan limfoid plak peyeri di ileum distal dan kelejar getah bening mesenterika.
Jaringan limfoid plak peyeri dan kelenjar getah bening mesenterika
mengalami hiperplasia. Basil tersebut masuk ke aliran darah (bakterimia) melalui
ductus thoracicus dan menyebar ke seluruh organ retikulo endotalial tubuh, terutama
hati, sumsum tulang, dan limfa melalui sirkulasi portar dari usus.
Hati membesar (hepatomegali) dengan infiltrasi limfosit, zat plasma, dan sel
mononuclear. Terdapat juga nekrosis fokal dan pembesaran limfa (splenomegali). Di
organ ini, kuman salmonlla thypi berkembang biak dan masuk sirkulasi darah lagi,
sehingga mengakibatkan bakterimia kedua yang disertai tanda dan gejala infeksi
sistemik (demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, dan
gangguan mental koagulasi).
Pendarahan saluran cerna terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak
peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia. Proses patologis ini dapat
berlangsung hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan mengakibatkan perforasi usus.
Endotoksin basil menempel di reseptor sel endotel kapiler dan dapat mengakibatkan
komplikasi, seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler, pernapasan, dan
gangguan organ lainnya. Pada minggu pertama timbulnya penyakit, terjadi
hyperplasia plak peyeri.
Disusul kemudian, terjadi nekrosis pada minggu kedua dan ulserasi plak
peyeri pada minggu ketiga. Selanjutnya, dalam minggu ke empat akan terjadi proses
penyembuhan ulkus dengan meninggalkan sikatriks (jaringan parut).
Sedangkan penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara,
yang dikenal dengan 5F yaitu Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus
(muntah), Fly(lalat), dan melalui Feses.
Salmonella Typhi
E. Pathway
Inflamansi usus
Gangguan termogulasi anoreksia Tonus otot ↓
Gangguan saluran
Ketidakampuan
↑ metaboisme Mual, muntah Kelemahan fisik pencernaan
mencerna makana
NYERI AKUT
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan hematologi pada demam tifoid tidak spesifik. Dapat ditemukan
anemia normokromik normositer dalam beberapa minggu setelah sakit. Anemia
dapat terjadi antara lain oleh karena pengaruh beberbagai sitokin dan mediator
sehingga terjadi depresi sumsum tulang, penghentian tahap pematangan eritrosit
maupun kerusakan langsung pada eritrosit. Hitung leukosit umumnya rendah,
berhubungan dengan demam dan toksisitas penyakit, memilik variasi yang lebar,
leukopenia, jarang dibawah 2500/mm3 Leukositosis dapat mencapai 20.000-
25.000 mm3 . Trombositopenia dapat merupakan suatu tanda penyakit yang berat
serta terjadinya suatu gangguan koagulasi intravaskuler. (Sucipta, 2015).
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT pada demam thypoid sering kali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid.
3. Biakan Darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan
darah negatif tidak menutup kemungkinan terjadi demam typhoid. Hal ini karena
hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor yaitu :
a. Teknik pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan.
Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi, yaitu
pada saat Bakterimia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Biakan darah terdapat Sallmonella typhi terutama positif pada minggu pertama
dan berkurang pada minngu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biarkan
darah dapat positif kembali.
c. Vaksinasi dimasa lampau
Vaksinasi terdapat demam typhoid dimasa lampau dapat menimbulkan
antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakterimia sehingga
biakan darah negatif.
d. Pengobatan dengan obat antimikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif.
4. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien
dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen
yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita tifoid Uji widal
dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella typhi.
Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada
pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam
sekali pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr empedu merupakan diagnosa
pasti demam tifoid bila hasilnya positif, namun demikian, bila hasil kultur negatif
belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa alasan, yaitu
pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi. Sesuai dengan
kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis
klinis demam tifoid diklasifikasikan atas:
a. Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala
demam, gangguan saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan
hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid belum lengkap. Diagnosis ini
hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.
b. Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap,
serta didukung oleh gambaran laboraorium yang menyokong demam tifoid
(titer widal O > 1/160 atau H > 1/160 satu kali pemeriksaan).
c. Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan
atau positif S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titer Widal
4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H >
1/640 (pada pemeriksaan sekali)
G. Penatalaksanaan
1. Terapi Farmakologi
a. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah
dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kapan saja
penderita sudah tidak mengalami mual lagi.
b. Pemberiam antimikroba Pada demam tifoid, obat pilihan yang digunakan
dibagi menjadi lini pertama dan lini kedua. Kloramfenikol, kotrimosazol, dan
amoksisilin/ampisilin adalah obat demam tifoid lini pertama. Lini kedua
adalah kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak dibawah 18 tahun), sefiksim,
dan seftriakson. Kloramfenikol dengan dosis 4 x 500 mg per hari dapat
diberikan secara oral maupun intravena, diberikan sampai dengan 7 hari bebas
panas. Kloramfenikol bekerja dengan mengikat unit ribosom dari kuman
salmonella, menghambat pertumbuhannya dengan menghambat sintesis
protein. Sementara kerugian penggunaan kloramfenikol adalah angka
kekambuhan yang tinggi (5-7%), penggunaan jangka panjang (14 hari), dan
seringkali menyebabkan timbulnya karier. Tiamfenikol, dosis dan
efektifitasnya pada demam tofoid sama dengan kloramfenikol yaitu 4 x 500
mg, dan demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6. Komplikasi
hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol. Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan
untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan kloramfenikol, dengan
dosis 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu. Trimetroprimsulfamethoxazole,
(TMPSMZ) dapat digunakan secara oral atau intravena pada dewasa pada
dosis 160 mg TMP ditambah 800 mg SMZ dua kali tiap hari pada dewasa.
Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu seftriakson dengan dosis 3- 4 gram dalam
dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan
selama 3-5 hari. Golongan Flurokuinolon (norfloksasin, siprofloksasin).
Secara relatif obat – obatan golongan ini tidak mahal, dapat ditoleransi dengan
baik, dan lebih efektif dibandingkan obat – obatan lini pertama sebelumnya
(kloramfenikol, ampisilin, amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole).
Flurokuinolon memiliki kemampuan untuk menembus jaringan yang baik,
sehingga mampu membunuh S.thypi yang berada dalam stadium statis dalam
monosit/makrofag dan dapat mencapai level obat yang lebih tinggi dalam
kantung empedu dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini mampu
memberikan respon terapeutik yang cepat, seperti menurunkan keluhan panas
dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari. Penggunaan obat golongan
flurokuinolon juga dapat menurunkan kemungkinan kejadian karier pasca
pengobatan. Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan
tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Pada
wanita hamil, kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 karena
menyebabkan partus prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome
pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena
memiliki efek teratogenik. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin,
amoksisilin, dan seftriakson.
H. Komplikasi
1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan usus
b. Perporasi usus
c. Ilius paralitik
2. Komplikasi Ekstra Intestinal
a. Kom. Kardiovaskuler : Kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), Miocarditis,
Trombosis, Tromboplebitis.
b. Kom. Darah : anemia hemolitik, trombositopenia, dan syndroma uremia
hemolitik.
c. Kom. Paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Kom. Hepar dan kandung kemih : hepatitis, kolestitis.
e. Kom. Ginjal : glomerulus nefritis, pyelonefritis dan perinepritis.
f. Kom. Tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis, dan artritis.
g. Kom. Neuropsikiatrik : derilium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, sindroma guillain bare dan sindroma katatonia.
I. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Riwayat kesehatan dahulu Apakah pasien pernah mengalami riwayat demem
thypoid atau yang lainnya sebelumnya
b. Riwayat kesehatan sekarang Pasien dengan demam thypoid biasanya
mengeluh perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak
bersemangat, demam, gangguan pada saluran pencernaan, sampai dengan
gangguan kesadaran.
c. Riwayat kesehatan keluarga Apakah keluarga ada yang pernah mengalami
demam typoid atau yang lainnya
d. Riwayat Tumbuh Kembang Yang dimaksud dengan riwayat tumbuh kembang
adalah kelaian-kelainan fisik atau kematangan dari perkembangan dan
pertumbuhan seseorang yang dapat mempengarui keadaan penyakit, misalnya
pernah ikterus saat proses kelahiran yang lama atau lahir prematur.
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum Biasanya pasien dengan thypoid mengalami demam, badan
lemah, muka pucat, merasa mual dan perut tidak enak.
b. Kepala Konjungtiva anemis, mata cowong. muka pucat, bibir kering, lidah
kotor, dan hidung terjadi epistaksis.
c. Sistem kardiovaskuler Biasanya pasien dengan thypoid ditemukan adanya
tekanan darah yang meningkat akan tetapi bisa didapatkan takikardi ketika
mengalami peningkatan suhu tubuh.
d. Sistem integumen Turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, akral
hangat, kadangkadang terdapat juga bintik bintik merah di kulit
e. Sistem abdomen Perut kembung dan terdapat nyeri tekan
f. Sistem eliminasi Pasien thypoid kadang-kadang mengalami diare atau bisa
juga konstipasi, produk kemih pasien bisa mengalami penurunan
g. Sistem persarafan Ada beberapa pasien dengan demam thypoid akan
memunculkan gejala sampai dengan penurunan kesadaran
3. Data psikologi dan sosial
a. Riwayat psikososial Demam thypoid biasanya membuat anak gelisah sampai
menangis karena efek dari gejala yang menyebabkan badan terasa tidak enak.
b. Lingkungan dan tempat tinggal Mengkaji mengenai kebersihan lingkungan,
tempat tinggal, area lingkungan rumah, dan kebiasaan anak yang dapat
ditanyakan ke keluarga
J. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermi (D.0130) d.d proses penyakit d.d suhu tubuh diatas normal, kulit
merah, kejang, takikardi, takipnea, kulit terasa hangat
2. Hipovolemi (D.0023) d.d kekurangan intake cairan d.d mersa lemah, merasa haus,
nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, crt menurun.
3. Defisit Nutrisi (D.0019) d.d nafsu makan menurun, berat badan turun, bisisng
usus hiperaktif, sariawan, diare.
K. Perencanaan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
Hipertermi (D.0130) d.d proses Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Hipertermia
penyakit d.d suhu tubuh diatas selama ........x24 jam, maka Terogulasi membaik, Observasi:
normal, kulit merah, kejang, dengan kriteria hasil sebagai berikut: Identifikasi penyebab hipertermia (mis.
takikardi, takipnea, kulit terasa Termogulasi (L.14134) dehidrasi, terpapar lingkungan panas,
hangat 1. Menggigil skor 2 penggunaan inkubator)
2. Kulit merah skor 2 Monitor suhu tubuh
3. Pucat skor 2 Monitor kadar elektrolit
4. Takikardi dkor 2 Monitor haluaran urine
5. Suhu tubuh skor 4 Monitor komplikasi akibat hipertermia
6. Suhu kulit skor 4 Terapeutik:
7. Pengisian kapiler skor 4 Sediakan lingkungan yang dingin
Longgarkan atau lepaskan pakaian
Basahi dan kipasi permukaan tubuh
Berikan cairan oral
Hindari pemberian antipiretik atau asprin
Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena, jika perlu
Hipovolemi (D.0023) d.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Hipovolemia
kekurangan intake cairan d.d selama ........x24 jam, maka status cairan membaik, Observasi:
mersa lemah, merasa haus, nadi dengan kriteria hasil sebagai berikut: Periksa tanda dan gejala hypovolemia
meningkat, nadi teraba lemah, Status Cairan (L.03028) (mis. frekuensi nadi meningkat, nadi
tekanan darah menurun, crt 1. Kekuatan nadi skor 4 teraba lemah, tekanan darah menurun,
menurun. 2. Turgor kulit skor 4 tekanan nadi menyempit, turgor kulit
3. Output urin skor 4 menurun, membran mukosa, kering,
4. Tekanan darah skor 4 volume urin menurun, hematokrit
5. Membran mukosa skor 4 meningkat, haus, lemah)
6. Intake cairan skor 4 Monitor intake dan output cairan
Terapeutik
Hitung kebutuhan cairan
Berikan posisi modified trendelenburg
Berikan asupan cairan oral
Edukasi
Anjurkan memperbanyak asupan cairan
oral
Anjurkan menghindari perubahan posisi
mendadak
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian cairan IV isotons
(mis. Nacl, RL)
Kolaborasi pemberian cairan IV
hipotonis (mis. glukosa 2,5%, Nacl
0,4%)
Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis.
albumin, plasmanate)
Kolaborasi pemberian produk darah
Defisit Nutrisi (D.0019) d.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nutrisi
nafsu makan menurun, berat selama ........x24 jam, maka status nutrisi Observasi:
badan turun, bisisng usus membaik, dengan kriteria hasil sebagai berikut: Identifikasi status nutrisi
hiperaktif, sariawan, diare. Status Nutrisi (L.03030) Identifikasi alergi dan intoleransi
1. Porsi makanan yang dihabiskan skor 4 makanan
2. Perasaan cepat kenyang skor 4 Identifikasi perlunya penggunaan selang
3. Nyeri abdomen skor 4 nasogastric
4. Nafsu makan skor 4 Monitor asupan makanan
Monitor berat badan
Terapeutik:
Lakukan oral hygiene sebelum makan,
Jika perlu
Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yang sesuai
Hentikan pemberian makanan melalui
selang nasogastric jika asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi
Anjurkan posisi duduk, jika mampu
Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan
DAFTAR PUSTAKA
Levani, Yelvi dan Aldo Prastya. 2020. “DEMAM TIFOID : MANIFESTASI KLINIS,
PILIHAN TERAPI DAN PANDANGAN DALAM ISLAM.” JURNAL BERKALA
ILMIAH KEDOKTERAN 3:10–16.
Rahayu, E. 2013. Sensitivitas uji widal dan tubex untuk diagnosis demam tifoid berdasarkan
kultur darah. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang
Sucipta A.A Made. 2015. Baku Emas Pemeriksaan Labolatorium Demam Tifoid pada Anak.
Jurnal Skala Husada 12 (1): 22-26
Tambayong Jan. 2020. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta :
PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : PPNI
Ulfa, Farissa dan Oktia Handayani. 2018. “KEJADIAN DEMAM TIFOID DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS PAGIYANTEN.” HIGEIA JOURNAL OF PUBLIC HEALTH
RESEARCH AND DEVELOPMENT 2:227–38
.
Wulandari, Dewi dan Meira Erawati. 2016. BUKU AJAR KEPERAWATAN. Pustaka Pelajar.