Anda di halaman 1dari 64

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

MODUL REPRODUKSI
PEMICU 1

KELOMPOK DISKUSI 7
1. Desya Osselia Irvani I11112064
2. Yuda Prawira I1011151003
3. Virga Azzania Ashari I1011151004
4. Bayu Wendy Ary I1011151005
5. Shintya Dewi I1011151012
6. Ariesta Nurfitria Khansa I1011151027
7. Aprilia Tri Wahyuningsih I1011151033
8. Rhaina Dhifa Maswibowo I1011151036
9. Ade Cahyo Islami I1011151060
10. Ulfa Tunisak I1011151068
11. Tasia Risma Lidya Simaremare I1011151075

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Seorang laki-laki 22 tahun datang ke IGD dengan keluhan baal pada kedua
tungkai bawah pada awalnya,namun lama kelamaaan keluhan terasa semakin
bertambah sehingga kedua tungkai menjadi lemah dan sulit berjalan dalam 3
hari terakhir.Tidak ada keluhan BAB dan BAK ,riwayat trauma pun
disangkal.Dua minggu yang lalu,pasien ada riwayat batuk pilek.Keluhan ini
belum pernah dialami sebelumnya.Pada pemeriksaan fisik didapatkan kondisi
pasien afebrile,nadi 99x/menit,tekanan darah 120/80 mmHg.Pada jantung,paru
dan abdomen tidak ditemukan kelainan.
Pada pemeriksaan neurologis didapatkan sistem motorik pada kedua
tungkai bawah : tidak ada atrofi maupun fasikulasi,ditemukan hipotonia
general,kekuatan otot 2/5,reflek patella dan achiles negative.Sensorik tidak
ada keluhan,koordinasi tidak bisa dinilai.Tidak ditemukan kelainan pada saraf
kranial maupun tungkai atas.

1.2 Klarifikasi dan Definisi


-
1.3 Kata Kunci
1. Laki-laki 22 tahun
2. Keluhan baal pada kedua tungkai bawah
3. Riwayat batuk pilek
4. Lemah dan sulit beerjalan 3 hari terakhir
5. Pemeriksaan fisik :
a. Afebril
b. Nadi 99x/menit
c. Tekanan darah 120/80
d. Jantung,paru dan abdomen (-)
6. Pemeriksaan neurologis sistem motorik pada kedua tungkai bawah :a
a. Hipotonia general
b. Kekuatan otot 2/5
c. Koodinasi tidak bisa dimulai
d. Reflek patell dan achilles negative

1.4 Rumusan Masalah


Laki-laki 22 tahun,awalnya mengeluh baal pada kedua tungkai bawah dan
lama kelamaan kedua tungkai lemah dan sulit berjalan.
1.5 Analisis Masalah
Laki-laki 22 tahun

Anamnesis

Keluhan utama : Riwayat : Pemeriksaan umum: Pemeriksaan neurologis :

Tungkai baal,lalu Batuk pilek 2 minggu lalu Afebrile Hipotonia general


menjadi lemah dan
Trauma disangkal Nadi 99x/menit Kekuatan otot 2/5
sulit berjalan
TD 120/80 Reflek patella & achilles (-)

Koordinasi tidak dapat


dinilai

Gangguan gerak

Tulang Saraf Otot

Sensorik Motorik

SSP SST

Lesi

Degenerasi

Infeksi

Trauma/cedera

Penurunan fungsi
1.6 Hipotesis
Laki-laki tersebut mengalami gangguan penurunan fungsi pada sistem
saraf motoriknya,khususnya pada lower motor neuron

1.7 Learning Issue


1. Sistem saraf pusat (area motorik)
a. Anatomi
b. Histologi
c. Fisiologi
2. Sistem saraf tepi (Upper Motor Neuron Lower Motor Neuron)
a. Anatomi
b. Histologi
c. Fisiologi
3. Neuromuscular junction
a. Fisiologi
b. Neurotransmitter
4. GBS
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Etiologi
d. Klasifikasi
e. Patofisiologi
f. Manifestasi klinis
g. Pemeriksaan penunjang
h. Tatalaksana
i. Komplikasi
j. Prognosis
5. Perbedaan manifestasi Upper Motor Neuron dan Lower Motor Neuron !
6. Lesi Upper Motor Neuron dan Lower Motor Neuron !
7. Intradural,ekstradural dan intramedullar !
8. Traktus
9. Studi kasus
a. Pemeriksaan penunjang pada kasus !
b. Penilaian kekuatan otot !
c. Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan gangguan pada sistem
saraf motorik !
d. Mekanisme mati rasa (baal) pada kasus !
e. Penatalaksanaan pada kasus !
f. Mekanisme gerak !
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sistem saraf pusat (area motorik)


2.1.1 Anatomi 1

Area motorik merupakan area pada otak yang bertanggungjawab


dalam kontrol motorik. Di otak terdapat 2 area utama yang menjalankan
fungsi motorik yaitu area korteks somatotor primer yang bertanggung
jawab pada gerakan otot yang dikontrol secara somatik dan pusat area
Broca yang bertanggung jawab dalam gerakan motorik saat seseorang
berbicara.

Paulsen F & Waschke J. Sobotta Atlas of Human Anatomy, Head, Neck,


and Neuroanatomy. 15th Ed. German: Urban and Fischer Elsevier; 2015.

2.1.2 Histologi 2
Tiga kelompok utama neuron dalam sistem saraf adalah
multipolar, bipolar, dan unipolar Klasifikasi anatomiknya berdasarkan
pada jumlah dendrit dan akson yang keluar dari badan sel.
a. Neuron multipolar (neuron multipolare).
Ini adalah jenis yang paling banyak terdapat di dalam SSP
dan mencakup semua neuron motorik (motoneuron) dan
interneuron otak, serebelum, dan medula spinalis. Banyak dendrit
bercabang terjulur dari badan sel neuron multipolar. Di sisi lain
yang berlawanan dari neuron terdapat satu cabang, yaitu akson.
b. Neuron bipolar (neuron bipolare).
Sel ini lebih sedikit dan merupakan neuron sensorik
(neuron sensorium) murni. Pada neuron bipolar, terdapat satu
dendrit dan satu akson yang keluar dari badan sel. Neuron bipolar
ditemukan di retina mata, organ pendengaran dan keseimbangan di
telinga dalam, dan epitel olfaktorius di bagian atas hidung (dua
yang terakhir ditemukan di SST).
c. Neuron unipolar (neuron unipolare).
Sebagian besar neuron pada dewasa memperlihatkan hanya
satu tonjolan keluar dari badan sel yang pada awalnya adalah
neuron bipolar selama masa perkembangan mudigah. Kedua
tonjolan neuron kemudian menyatu dan membentuk satu tonjolan.
Neuron unipolar (dahulu disebut neuron pseudounipolar) juga
bersifat sensorik. Neuron unipolar terdapat di banyak ganglion
sensorik sarafkranialis dan spinalis.
Menurut Eroschenko (2008), otak dan medula spinalis
dilindungi oleh tulang, jaringan ikat, dan cairan serebrospinalis. Di
dalam kranium dan foramen vertebrale terdapat meninges, yaitu
suatu jaringan ikat yang terdiri dari tiga lapisan, yaitu dura mater,
araknoid mater, dan pia mater. Di antara araknoid mater dan pia
mater terdapat spatium subarachnoideum, tempat beredarnya cairan
serebrospinalis yang membasahi dan melindungi otak dan medula
spinalis. Sel struktural dan fungsional jaringan saraf adalah neuron.
Setiap neuron terdiri dari soma atau badan sel, banyak dendrit, dan
satu akson. Badan sel atau soma mengandung nukleus, nukleolus,
berbagai organel, dan sitoplasma atau perikarion. Dari badan sel
muncul tonjolan-tonjolan sitoplasma yang disebut dendrit yang
membentuk percabangan dendritik. Neuron dikelilingi oleh sel
yang lebih kecil dan lebih banyak yaitu neuroglia, yaitu sel
penunjang nonneural yang memiliki banyak percabangan di SSP
dan mengelilingi neuron, akson, dan dendrit. Sel ini tidak
terangsang atau menghantarkan impuls karena secara morfologis
dan fungsional berbeda dari neuron. Sel neuroglia dapat dibedakan
dari ukurannya yang jauh lebih kecil dan nukleus yang berwarna
gelap dan jumlahnya sekitar sepuluh kali lipat lebih banyak
daripada neuron.

Empat jenis sel neuroglia adalah astrosit, oligodendrosit,


mikroglia, dan sel ependimal. Astrosit adalah sel neuroglia terbesar
dan paling banyak ditemukan di substansia grisea. Astrosit terdiri
dari dua jenis, yaitu astrosit fibrosa dan astrosit protoplasmik.
Oligodendrosit membentuk selubung mielin akson di SSP.
Mikroglia berasal dari sumsum tulang dan fungsi utamanya mirip
dengan makrofag jaringan ikat. Sel ependimal adalah sel epitel
kolumnar pendek atau selapis kuboid yang melapisi ventrikel otak
dan kanalis sentralis medula spinalis.
Otak dan medula spinalis mengandung substansia grisea
dan substansia alba. Substansia grisea terdiri dari neuron-neuron,
dendrit-dendritnya, dan neuroglia, sedangkan substansia alba tidak
mengandung badan sel neuron dan terutama terdiri dari akson
bermielin, sebagian akson tidak bermielin, dan oligodendrosit
penunjang.
Eroschenko, V. P., 2008, Atlas Histologi d iFiores deng an Korela si Fun gsion
al , EGC, Jakarta,

2.1.3 Fisiologi
Sel saraf motorik merupakan bagian dari struktur dan fungsi sistem
saraf yang berfungsi Mengirim implus dari sistem saraf pusat ke otot
atau kelenjar yang hasilnya berupa tanggapan tubuh terhadap rangsangan.
Mekanisme penghantaran informasi antara reseptor dengan sistem saraf
pusat terjadi melalui proses penghantaran impuls dengan kode irama dan
frekuensi tertentu. saraf eferen di sebut sebagai saraf motorik terdiri dari
dua bagian yaitu saraf motorik somatik dan saraf somatik autonom. Saraf
motorik somatik membawa implus dari pusat ke otot rangka sebagai
organ efektor.melalui proses komunikasi secara biolistrik di saraf dan
proses komunikasi melalui neurotransmitor di hubungkan saraf-otot,
dapat terbangkit kontraksi otot. Baik kekuatan maupun jenis kontraksi
oto rangka dapat dikendalikan oleh sistem saraf pusat maupun sistem
saraf tepi. Sistem saraf somatik turut berperan dalam proses
pengendalian kinerja otot rangka yang diperlukan untuk
menyelengarakan berbagai sikap dan gerakan tubuh. Saraf-saraf kepala
terdiri dari 12 pasang saraf kepala yang meninggalkan permukaan
ventral otak. Sebagian besar saraf-saraf kepala ini mengontrol fungsi
sensoris dan motorik di bagian kepala dan leher.3,4
Saraf motorik autonom merupakan salah satu komponen sistem
saraf autonom yang menegendalikan otot polos, otot jantung dan
kelenjar. Sistem saraf autonom (SSAU) termasuk berbagai pusat
pengendali di otak, pada dasarnya melaksanakan kegiatan secara
independen dan tidak langsung dikendalikan oleh kesadaran. Sistem
saraf autonom terutama mengendalikan berbagai fungsi organ viseral
yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan, antara lain
fungsi jantung dalam mengatur volume curah jantung (cardiac ouput),
fungsi pembuluh darah dalam mengatur aliran darah keberbagai organ,
dan fungsi pencernaan. Saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang
berasal dari otak maupun dari sumsum tulang belakang dan menuju
organ yang bersangkutan. Dalam sistem ini terdapat beberapa jalur dan
masing-masing jalur membentuk sinapsis yang kompleks dan juga
membentuk ganglion. Urat saraf yang terdapat pada pangkal ganglion
disebut urat saraf pra ganglion dan yang berada pada ujung ganglion
disebut urat saraf post ganglion.3,4

1. Guyton, A. C. & Hall, A. J. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke 11.


Jakarta: ECG; 2007.
2. Nani Cahyani Sudarsono. Pengantar Motorik Somatik. Departemen Ilmu
Faal, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2004.

2.2 Sistem saraf tepi (Upper Motor Neuron Lower Motor Neuron)
2.2.1 Anatomi
Upper motor neurons (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf
motorik yang menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik
sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu
anterior medula spinalis. Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik
kelompok UMN dibagi dalam susunan piramidal dan susunan
ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari traktus kortikospinal dan
traktus kortikobulbar. Traktus kortikobulbar fungsinya untuk geraakan-
gerakan otot kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal fungsinya
untuk gerakan-gerakan otot tubuh dan anggota gerak 5.
Melalui lower motor neuron (LMN), yang merupakan kumpulan
saraf-saraf motorik yang berasal dari batang otak, pesan tersebut dari
otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang. Kedua saraf
motorik tersebut mempunyai peranan penting di dalam sistem
neuromuscular tubuh. Sistem ini yang memungkinkan tubuh kita untuk
bergerak secara terencana dan terukur. 5
Tulang belakang atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang
membentuk punggung yang mudah digerakkan. terdapat 33 tulang
punggung pada manusia, 7 tulang cervical, 12 tulang thorax (thoraks
atau dada), 5 tulang lumbal, 5 tulang sacral, dan 4 tulang membentuk
tulang ekor (coccyx). Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian
yakni bagian anterior yang terdiri dari badan tulang atau corpus
vertebrae, dan bagian posterior yang terdiri dari arcus vertebrae .6
Gambar 1. Tulang belakang

Ketika tulang belakang disusun, foramen ini akan membentuk


saluran sebagai tempat sumsum tulang belakang atau medulla spinalis.
Dari otak medula spinalis turun ke bawah kira-kira ditengah punggung
dan dilindungi oleh cairan jernih yaitu cairan serebrospinal. Medula
spinalis terdiri dari berjuta-juta saraf yang mentransmisikan informasi
elektrik dari dan ke ekstremitas, badan, oragan-organ tubuh dan kembali
ke otak. Otak dan medula spinalis merupakan sistem saraf pusat dan
yang mehubungkan saraf-saraf medula spinalis ke tubuh adalah sistem
saraf perifer . 7,8
Medula spinalis mulai dari akhir medulla oblongata di
foramenmagnum sampai konus medullaris di level Tulang Belakang L1-
L2. Medulla Spinalis berlanjut menjadi Kauda Equina (di Bokong) yang
lebih tahan terhadap cedera. Medula spinalis terdiri atas traktus ascenden
(yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak seperti rangsang
raba, suhu, nyeri dan gerak posisi) dan traktus descenden (yang
membawa informasi dari otak ke anggota gerak dan mengontrol fungsi
tubuh). 7,8
Medula spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteri yang
mempunyai hubungan istemewa, yaitu arteri spinalis dan arteri
radikularis. Arteri spinalis dibagi menjadi arteri spinalis anterior dan
posterior yang berasal dari arteri vertebralis, sedangkan arteri radikularis
dibagi menjadi arteri radikularis posterior dan anterior yang dikenal juga
ramus vertebromedularis arteria interkostalis. 9
Medula Spinalis disuplai oleh arteri spinalis anterior dan arteri
spinalis posterior. Nervus spinalis/akar nervus yang berasal dari medula
spinalis melewati suatu lubang di vertebra yang disebut foramen dan
membawa informasi dari medula spinalis samapi ke bagian tubuh dan
dari tubuh ke otak. Ada 31 pasang nervus spinalis dan dibagi dalam
empat kelompok nervus spinalis, yaitu. 7,8,9
a. nervus servikal : (nervus di leher) yang berperan dalam pergerakan dan
perabaan pada lengan, leher, dan anggota tubuh
bagian atas

b. nervus thorak : (nervus di daerah punggung atas) yang mempersarafi


tubuh dan perut

c. nervus lumbal dan nervus sakral : (nervus didaerah punggung bawah)


yang mempersarafi tungkai,
kandung kencing, usus dan
genitalia.

Ujung akhir dari medula spinalis disebut conus medularis yang


letaknya di L1 dan L2. Setelah akhir medula spinalis, nervus spinalis
selanjutnya bergabung membentuk cauda equina . 7,8
Gambar 2. Hubungan nervus spinalis dengan vertebrata
1. Arthur J. Vander (1986). Human Physiology, 4th ed. Mc Graw: Hill
Internasional Editions.

2. Razak. Datu (2004). Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Unhas.


Jakarta: Gitamedia.

3. Kus. Irianto (2004). Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk


Paramedis. Gramedia: Jakarta.
4. Setiadi.2007.Anatomi Fisiologi Manusia. Yogyakarta. Graham Ilmu
5. Wulangi. S Kartolo (2000). Prinsip-prinsip Fisiologi Manusia.
DepDikBud: Bandung

2.2.2 Histologi 10
Sistem saraf tepi adalah kumpulan serat saraf (akson) yang
terletak diluar sistem saraf pusat (SSP) dan kelilingi oleh selubung
jaringan ikat. Kumpulan serat saraf (fasikulus)ini mungkin dapat diamati
dengan mata telanjang; tampak berwarna putih karena dibungkus oleh
selubung mielin. Umumya setiap kumpulan serat saraf tanpa
memperhatikan ukuran, terdiri atas unsur motorik dan sensorik.
Selubung jaringan ikat serat saraf tepi terdiri atas epineurium,
perineurium, dan endoneurium. Epineurium adalah lapisan terluar dari
tiga lapis jaringan ikat pembungkus serat saraf. Epineurium dibentuk
oleh jaringan ikat kolagen yang padat dan ireguler serta mengandung
serat-serat elastin tebal yang melingkupi seluruh saraf. Serat kolagen di
dalam selubung akan mencegah terjadinya kerusakan saraf akibat
peregangan yang berlebihan. Epineurium merupakan lapisan paling tebal
yang akan melanjutkan diri menjadi dura meter yang membungkus SSP
pada medula spinalis dan otak, tempat keluarnya saraf spinal dan kranial.
Epineurium menjadi tipis ketika serat saraf bercabang menjadi serat
yeng lebih kecil yang akhirnya akan menghilang.
Gambar 2.4 Mikrograf cahaya potongan melintang saraf tepi (x123).
perhatikan akson (A) dan perineurium (P) membungkus fasikulus.5
Perineurium, merupakan lapisan tengah selubung jaringan ikat
pembungkus berkas serat saraf (fasikulus) pada jaringan saraf tepi.
Perineurium disusun oleh jaringan ikat padat tetapi lebih tipis
dibandingkan epineurium. Permukaan dalam perineurium dilapisi oleh
beberapa lapis sel epiteloid yang disatukan oleh zona okludens dan
dikelilingi lamina basalis yang mengisolasinya dari lingkungan sekitar.
Seray kolagen tipis yang berjalan secara longitudinal diselingi dengan
serat elastin yang terletak diantara lapisan sel epiteloid. ketebalan
perineurium makin berkurang hingga tinggal selapis sel berbentuk
gepeng.
Gambar 2.5 : Struktur berkas saraf

Endoneurium merupakan lapisan tedalam selubung jaringan ikat


yang membungkis setiap satu serat saraf. lapisan ini disususn oleh
jaringan ikat longgar yang mengandung seratserat retikulin (dihasilkan
oleh sel Schwann yag terletak di bawahnya), fibroblas yang tersebar,
makrofag yang menetap, kapiler darah dan sel mast yang terletak
disekitarpembuluh darah. Endoneurium berhubungan dengan lamina
basalis sel Schwann. jadi endoneurium terletak dalam suatu daerah
terisolasi dari perineurium dan sel Schwann, keadaan terisolasi ini
merupakan faktor penting dalam regulasi lingkungan mikro serat saraf.

1. Gartner LP & Hiatt JL. Buku Ajar Berwarna Histologi. Edisi ke-3. Jakarta:
Saunder Elseviers; 2015
2.2.3 Fisiologi 11
Upper Motor Neuron (UMN) adalah neuron-neuron motorik
yang berasal dari korteks motorik serebri atau batang otak yang
seluruhnya (dengan serat saraf-sarafnya ada di dalam sistem saraf pusat.
Lower motor neuron (LMN) adalah neuron-neuron motorik yang berasal
dari sistem saraf pusat tetapi serat-serat sarafnya keluar dari sistem saraf
pusat dan membentuk sistem saraf tepi dan berakhir di otot rangka.
Untuk mencapai otot tubuh, pusat perintah motorik di sistem saraf pusat
harus melewati upper motor neuron dan bersinaps dengan lower motor
neuron.
Upper motor neuron merupakan rangkaian awal neuron yang
belum meninggalkan sistem saraf pusat, terletak di korteks motorik.
Traktus piramidalis merupakan bagian dari upper motor neuron yang
penting.
Lower motor neuron membawa pesan ke seluruh otot tubuh,
terletak di anterior medula spinalis. Lower motor neuron sendiri terdiri
dari saraf-saraf kranial dan saraf-saraf spinal. Badan sel neuron ini
berada di batang otak tapi aksonnya meninggalkan sistem saraf pusat
dan bersinaps dengan otot-otot tubuh. Saraf-saraf kranial tidak
seluruhnya memiliki komponen lower motor neuron; seperti N I, N II,
dan N VIII tidak memiliki komponen motorik.
a. Upper Motor Neuron (UMN)
Berasal dari area motoric girus presentralis dan bagian
korteks lain, terutama area premotorik lobus frontalis. Pada girus
presentalis, bagian-bagian tubuh direpresentasikan secara terbalik
dengan daerah yang besar untuk kepala pada bagian bawah, daerah
besar untuk tangan di atas daerah untuk kepala kemudian daerah
yang lebih kecil untuk lengan, badan, tungkai, dan perineum.
Makin halus gerakan suatu bagian makin besar jumlah korteks
yang bertanggung jawab untuk itu.
Upper motor neuron membentuk traktur piramidalis.
Terdiri dari serat kortikonuklear yang berjalan hanya sampai
batang otak, untuk berhubungan dengan serat nervus kranialis yang
memiliki fungsi motoric, dan serat kortikospinal yang berjalan
menuju medulla spinalis. Traktus piramidalis berjalan ke bawah
dan ke dalam melalui hemisfer serebri, dan kemudian melalui otak
tengah, pons, dan medulla onlongata, membentuk rigi panjang di
dalam medulla, pyramis, sesuai dengan namanya. Di dalam
medulla, sebagian besar serat menyilang ke sisi lain dan berjalan ke
bawah dalam kolumna anterior, tetapi mereka juga akan
menyebrang. Berdasarkan hal itu, satu sisi otak mengarahkan dan
mengontrol gerakan sisi tubuh lain.Pada medulla spinalis, serat
motoric berakhir dengan bersinaps denga sel motoric dalam kornu
anterior substansia grisea.
b. Sistem Motorik Perifer/Lower Motor Neuron (LMN)
Sistem motorik perifer merupakan saraf-saraf yang
menyalurkan impuls motorik pada bagian perjalanan terakhir ke sel
otot skeletal. Serabut-serabut traktus ekstrapiramidalis beserta
serabut-serabut aferennya memasuki medulla spinalis melalui
kornu posterior untuk berakhir langsung di badan sel atau dendrit
sel motor neuron alfa dan gamma; atau melalui neuron internunsial,
asosiasi dan komisural aparat neuronal intrinsic medulla spinalis.
Di dalam kornu anterior, neuron-neuron ini tersusus dalam kolom-
kolom sesuai dengan susunan somatotropik. Pada daerah servikal
neuron-neuron kornu anterior kolom lateral akan meninervasi tagan
dan lengan, sedangkan bagian medialnya untuk otot leher dan
toraks. Pada daerah lumbal, neuron yng menginervasi kaki dan
tngkai akan terletak pada kolom lateral. Akson-akson dari kornu
anterior medulla spinalis akan keluar sebagai serabut radikular
yang pada tiap-tiap segmen sebagai radiks anterior atau radiks
ventral. Tiap radiks anterior akan bergabung dengan radiks
posterior tepat di bagian distal ganglion spinalis dan selanjutnya
membentuk saraf spinalis perifer.
Sumber :
Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology. 6th ed. New York: Mc-
Graw Hill Co ; 2007. p.1089-1094.

2.3 Neuromuscular junction


2.3.1 Fisiologi 12
Serabut otot skelet dipersarafi oleh serabut saraf bermielin alfa
yang besar, yang berasal dari neuron motorik besar di cornuanterius
substantia grisea medullae spinalis atau dari nuklei motorik nervi
craniales. Pada saat serabut bermielin sampai ke otot skelet, serabut akan
membentuk banyak cabang. Jumlah cabang bergantung pada ukuran unit
motoriknya. Selanjutnya, sebuah cabang akan berakhir pada otot skelet
di tempat yang disebut neuromuscular junction atau motor end plate.
Sebagian besar serabut otot hanya dipersarafi oleh satu motor end
plate. Saat mencapai serabut otot, saraf kehilangan selubung mielinnya
dan membentuk cabang-cabang halus. Masing-masing saraf berakhir
sebagai akson yang terbuka dan membentuk unsur saraf dari motor end
plate.
Suatu impuls saraf (potensial aksi), pada saat mencapai membran
prasinaptik motor end plate, membuka saluran voltaged0gated Ca2+
yang memungkinkan ion-ion Ca2+ masuk ke dalam akson. Keadaan ini
menstimulasi penggabungan beberapa vesikel sinaptik dengan membran
prasinaptik dan menyebabkan pelepasan asetilkolin ke dalam celah-celah
sinaptik. Selanjutnya asetilkolin dilepaskan ke celah sinaptik melalui
proses eksositosis dan segera menyebar ke dalam celah untuk mencapai
reseptor aseltilkolin tipe nikotinik di membran pascasinaptik junctional
fold. Membran pascasinaptik mempunyai banyak pintu saluran Ach.
Begitu pintu saluran Ach dibuka, membran pascasinaptik menjadi
lebih permeabel terhadap ion-ion Na+ yang mengalir ke dalam sel-sel
otot dan terjadi potensial lokal yang disebut potensial end-plate. Pintu
saluran Ach juga peka terhadap ion-ion K+ yang keluar dari sel, namun
dalam jumlah yang lebih kecil. Jika potensial ens plate sudah cukup
besar, saluran votage-gated untuk ion-ion Na+ terbuka, dan timbul
potensial aksi yang menyebar sepanjang permukaan membran plasma
(sarkolema). Gelombang depolarisasi diteruskan ke serabut otot oleh
sistem tubulus T menuju miofibril yang kontraktil. Hal ini menyebabkan
pelepasan ion-ion Ca2+ dari retikulum sarkoplasmik yang menimbulkan
kontraksi otot.
Urutan kejadian yang terjadi pada motor end-plate akibat stimulasi
saraf motorik adalah sebagai berikut:
ACH reseptor Ach tipe nikotinik, pintu saluran ACh terbuka
influks Na+ potensial end-plate.
Potensial end plate (bila cukup besar) pintu saluran Na+ terbuka
influks Na+ timbul potensial aksi.
Potensial aksi pelepasan ion Ca2+ meningkat kontraksi
serabut otot.
Segera terjadi hidrolisis asetilkolin oleh AchE pintu saluran Ach
tertutup repolarisasi serabut otot.

Snell, Richard S. Anatomi Klinik ed. 7. EGC : Jakarta. 2011.

2.3.2 Neurotransmitter
Neuromuscular junction adalah tempat dalam tubuh tempat akson
dari saraf motorik bertemu dengan otot dalam upaya transmisi sinyal
dari otak yang memerintahkan otot untuk berkontraksi atau berelaksasi.
Potensial aksi masuk ke serabut otot melalui sinapsis antara serabut
saraf dan otot. Di dalam synaptic knob terdapat synaptic vesicles yang
mengandung asetilcolin sebagai neurotransmitter. Pada saat ada sinyal
dari otak untuk berkontraksi, vesicles berisi neurotransmitter melebur ke
membran synaptic melepas asetilkolin. Asetilkolin berdifusi melewati
synaptic cleft dan diterima oleh molekul reseptornya yang berupa
channel ion Na+ dalam membran sel serabut otot. Kombinasi keduanya
membuka channel Na+ dan menyebabkan peningkatan permeabilitas
membran sel terhadap ion Na+ dan menghasilkan influx Na+ dalam
inisiasi serabut saraf pada potensial aksi serabut otot. Asetilkolin yang
telah mempolarisasi serabut otot dan menghasilkan potensial aksi
kemudian merambatkan potensial aksi tersebut hingga ke dalam tubula
transversal. Di dalam sel otot, potensial aksi menginisiasi terlepasnya
Ca2+ dari retikulum sarkoplasmik ke dalam sitoplasma. Ca2+ memulai
peluncuran filamen dengan memicu pengikatan miosisn ke aktin.
Ototpun berkontraksi. Asetilkolin kemudian dilepas ke synaptic cleft dan
serabut otot dan dihancurkan dengan bantuan enzim asetilkolineterase.
Enzim ini menghancurkan struktur satu aksi potensi dalam sel saraf. 13,14
Asetilkolin merupakan molekul ester-kolin (choline ester) yang
pertama diidentifikasi sebagai neurotansmitter. ACh dibuat di dalam
susunan saraf pusat oleh saraf yang badan selnya terdapat pada batang
otak dan forebrain, selain itu disintesis juga dalam saraf lain di otak.
ACh beraksi pada sistem saraf otonom di perifer dan di pusat, dan
merupakan transmitter utama pada saraf motorik di neuromuscular
junction pada vertebrata. ACh dilepaskan dari ujung saraf motor dalam
jumlah yang konstan, yang disebut quanta (atau vesikel). Perkiraan
jumlah ACh dalam vesikel sinaptik berkisar antara 1.000-50.000
molekul setiap vesikel. Dalam satu ujung saraf motor terdapat 300.000
atau lebih vesikel.13,14
Asetilkolin merupakan substansi transmitter yang
disintesis diujung presinap dari koenzim asetil A dan kolin dengan
menggunakan enzim kolin asetiltransferase. Kemudian substansi ini
dibawa ke dalam gelembung spesifiknya. Ketika kemudian gelembung
melepaskan asetilkolin ke dalam celah sinap, asetilkolin dengan
cepat memecah kembali asetat dan kolin dengan bantuan enzim
kolinesterase, yang berikatan dengan reticulum proteoglikan dan
mengisi ruang celah sinap. Kemudian gelembung mengalami daur ulang
dan kolin juga secara aktif dibawa kembali ke dalam ujung sinap untuk
digunakan kembali bagi keperluan sintesis asetilkolin baru. Aseltilkolin
biasanya merangsang penembakan neuron dan terlibat dalam aksi otot-
otot, belajar dan ingatan. ACh ditemukan di seluruh sistem saraf pusat
dan parifer. Nikotin merangsang reseptor ACh. Penderita Alzheimer,
gangguan otak degenerative yang melibatkan penurunan ingatan,
memiliki kekurangan asetilkolin. Beberapa obat meredakan gejala-
gejala penyakit alzheimer dengan mengompensasikan kehilangan
pasokan aseltilkolin dari otak. 13,14

1. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC; 2001.


2. Snell RS. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke-5.
Jakarta: EGC; 2001.

2.4 GBS
2.4.1 Definisi 15
Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu polineuropati yang
bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3
minggu setelah infeksi akut. SGB merupakan suatu sindrom klinis yang
ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan
dengan proses autoimun diman targetnya adalah saraf perifer,radiks, dan
nervus kranialis.
Japardi I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available from :
URL : http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf.[diakses
tanggal 3 September 2009]. Last update ; 2002.

2.4.2 Epidemiologi 16
Angka kejadian penyakit GBS kurang lebih 0,6-1,6 setiap 10.000-40.000
penduduk. Perbedaan angka kejadian di negara maju dan berkembang tidak
nampak. Kasus ini cenderung lebih banyak pada pria dibandingkan wanita.
Data RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan pada akhir tahun
2010-2011 tercatat 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai varian
jumlahnya per bulan. Pada Tahun 2012 berbagai kasus di RSCM mengalami
kenaikan sekitar 10%. Keadaan tersebut di atas menunjukkan walaupun kasus
penyakit GBS relatif jarang ditemukan namun dalam beberapa tahun terakhir
ternyata jumlah kasusnya terus mengalami peningkatan. Meskipun bukan
angka nasional negara Indonesia, data RSCM tidak dapat dipisahkan dengan
kasus yang terjadi di negara ini, karena RSCM merupakan salah satu Rumah
Sakit pusat rujukan nasional.
Berdasarkan fakta di atas perlu kita mengenal penyakit GBS secara lebih rinci.
Guillain Barre Syndrom (GBS) Penyebab GBS awalnya tidak diketahui sehingga
penyakit ini mempunyai nama lain Acute idiophatic polineuritis atau polineuritis
idiopatik akut. Idiopatik berasal dari kata idiot atau tidak tahu. Bersama jalannya
waktu diketahui bahwa GBS dapat disebabkan oleh kerusakan sistem kekebalan.
Kerusakan sistem kekebalan tersebut menimbulkan pembengkakan syaraf
peripheral, sehingga mengakibatkan tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan
gerakan yang dapat diterima oleh otot yang terserang. Apabila banyak syaraf yang
terserang, di mana salah satunya adalah syaraf sistem kekebalan, sehingga sistem
kekebalan tubuh kita pun akan kacau, dengan tidak diperintah dia akan
mengeluarkan cairan sistem kekebalan tubuh di tempat-tempat yang tidak
diinginkan. Pengobatan akan menyebabkan sistem kekebalan tubuh akan berhenti
menyerang syaraf dan bekerja sebagaimana mestinya dan gejala hilang dan bisa
pulih sehat seperti semula.
Beberapa kasus menunjukkan orang mengalami gejala GBS setelah beberapa hari
atau minggu mengalami sakit dengan gejala diare atau gangguan pernapasan. Infeksi
bakteri Campylobacter jejeni bisa sebagai pemicu gejala GBS. Selain itu, GBS bisa
terjadi setelah orang tersebut mengalami flu atau infeksi virus lainnya seperti
Cytomegalovirus dan virus Epstein Barr. Walaupun sangat jarang terjadi, penyakit
GBS bisa dipicu vaksinasi atau pembedahan yang dilakukan beberapa hari atau
minggu sebelum serangan penyakit tersebut. Kasus penyakit GBS pada tahun 1976
meningkat karena penggunaan vaksin flu babi. Baru pada tahun 2003 The Institute
of Medicine (IOM) mengemukakan beberapa teori tentang kemungkinan mengapa
hai ini terjadi, tetapi belum dapat menjelaskan secara pasti. Setiap orang bisa
terkena GBS tetapi pada umumya lebih banyak terjadi pada orang tua. Orang
berumur 50 tahun keatas merupakan golongan paling tinggi risikonya untuk
mengalami GBS. Namun, menurut ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI) dr. Darma Imran, Sp S(K) mengatakan bahwa GBS dapat
dialami semua usia mulai anak-anak sampai orang tua, tapi puncaknya adalah pada
pasien usia produktif.
Sidarta,P.2014.Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta. Penerbit Dian Rakyat.

2.4.3 Etiologi 17
Penyebab GBS awalnya tidak diketahui sehingga penyakit ini
mempunyai nama lain Acute idiophatic polineuritis atau polineuritis
idiopatik akut. Idiopatik berasal dari kata idiot atau tidak tahu.
Bersama jalannya waktu diketahui bahwa GBS dapat disebabkan oleh
kerusakan sistem kekebalan. Kerusakan sistem kekebalan tersebut
menimbulkan pembengkakan syaraf peripheral, sehingga mengakibatkan
tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat
diterima oleh otot yang terserang. Apabila banyak syaraf yang terserang,
di mana salah satunya adalah syaraf sistem kekebalan, sehingga sistem
kekebalan tubuh kita pun akan kacau, dengan tidak diperintah dia akan
mengeluarkan cairan sistem kekebalan tubuh di tempat-tempat yang
tidak diinginkan. Pengobatan akan menyebabkan sistem kekebalan tubuh
akan berhenti menyerang syaraf dan bekerja sebagaimana mestinya dan
gejala hilang dan bisa pulih sehat seperti semula. Beberapa kasus
menunjukkan orang mengalami gejala GBS setelah beberapa hari atau
minggu mengalami sakit dengan gejala diare atau gangguan pernapasan.
Infeksi bakteri Campylobacter jejeni bisa sebagai pemicu gejala
GBS. Selain itu, GBS bisa terjadi setelah orang tersebut mengalami flu
atau infeksi virus lainnya seperti Cytomegalovirus dan virus Epstein
Barr. Walaupun sangat jarang terjadi, penyakit GBS bisa dipicu
vaksinasi atau pembedahan yang dilakukan beberapa hari atau minggu
sebelum serangan penyakit tersebut. Kasus penyakit GBS pada tahun
1976 meningkat karena penggunaan vaksin flu babi. Baru pada tahun
2003 The Institute of Medicine (IOM) mengemukakan beberapa teori
tentang kemungkinan mengapa hai ini terjadi, tetapi belum dapat
menjelaskan secara pasti. Setiap orang bisa terkena GBS tetapi pada
umumya lebih banyak terjadi pada orang tua. Orang berumur 50 tahun
keatas merupakan golongan paling tinggi risikonya untuk mengalami
GBS (CDC, 2012). Namun, menurut ketua Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) dr. Darma Imran, Sp S(K)
mengatakan bahwa GBS dapat dialami semua usia mulai anak-anak
sampai orang tua, tapi puncaknya adalah pada pasien usia produktif.
Mikail,B.2012. Penderita Guillain Barre Syndrome (GBS) meningkat di
Kalangan Usia Produktif.
http://health.kompas.com/read/2012/04/14/09265323/Penderita Guillain
Barre Syndrome(GBS).Meningkat.di.Kalangan.Usia.Produktif.

2.4.4 Klasifikasi 15
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat
diklasifikasikan, yaitu:
a. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
b. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
c. Acute motor axonal neuropathy
d. Acute motor sensory axonal neuropathy
e. Fishers syndrome
f. Acute pandysautonomia
Japardi I. Sindroma Guillain-Barre. Medan: FK Universitas Sumatera
Utara; 2002.
2.4.5 Patofisiologi
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai
reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti
bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan
mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit,
sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan
mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan,
yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan
merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu
bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring
dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur
secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang;
transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga
mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan
otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari,
termasuk berjalan.10 Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga
apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti
dan pasien akan kembali pulih.18,19
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada
otak dan medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer,
yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer
mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari
otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat
diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom
(involunter). Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga
muncul kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan
sensorik, kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut.
Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer. GBS dapat
dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila
selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur, transmisi
sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga
timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi;
dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.18,19
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju
sel saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar
akson dalam beberapa lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri
akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada
pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal
saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga
timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh
saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan
memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson
membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang
sembuh lebih cepat. Tipe campuran merusak baik akson dan myelin.
Paralisis jangka panjang pada penderita diduga akibat kerusakan
permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan
saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf
kranialis dapat juga ikut terlibat.18,19
1. Gutierrez Amparo, Sumner Austin J. Electromyography in
neurorehabilitation. In: Selzer ME, Clarke Stephanie, Cohen LG,
Duncan PW, Gage FH. Textbook of neural repair and rehabilitation
Vol. II: Medical neurorehabilitation. UK: Cambridge University
Press; 2006. p.49-55.
2. Victor Maurice, Ropper Allan H. Adams and Victors Principles of
neurology. 7th edition. USA: the McGraw-Hill Companies; 2001.
p.1380-87.

2.4.6 Manifestasi klinis 15


1) Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending
dan simetris secara natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya
terkena duluan sebelum tungkai atas. Otot- otot proksimal mungkin
terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh, bulbar, dan otot
pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot pernapasan dengan
sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan
berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat
berkisar dari kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan
ventilasi.
2) Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan
SGB. Saraf kranial III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh.
Keluhan umum mungkin termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa
menampakkan palsy Bell), Diplopias, Dysarthria, Disfagia,
Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan wajah dan
orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena.
Varian Miller-Fisher dari SGB adalah unik karena subtipe ini dimulai
dengan defisit saraf kranial.
3) Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus,
kehilangan sensori cenderung minimal dan variabel. Kebanyakan pasien
mengeluh parestesia, mati rasa, atau perubahan sensorik serupa. Gejala
sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia umumnya dimulai
pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya
tidak melebar keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki.
Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir.
4) Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan SGB, 89%
pasien melaporkan nyeri yang disebabkan SGB pada beberapa waktu
selama perjalanannya. Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah
bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan
sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau
berdenyut. Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien
selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan
sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih
umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias
dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri
lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan SGB adalah
sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait
dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus
dekubitus).
5) Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem
simpatis dan parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB.
Perubahan otonom dapat mencakup sebagai berikut; Takikardia,
Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi paroksimal, Hipotensi ortostatik.
Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan
dismotilitas usus dapat ditemukan.
6) Pernapasan
Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan
pernafasan atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan
adalah sebagai berikut; Dispnea saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan
menelan, Bicara cadel. Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan
pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga dari pasien di beberapa
waktu selama perjalanan penyakit mereka.
Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
- Protein CSS meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial;
- jumlah sel CSS < 10 MN/mm3; Varian ( tidak ada peningkatan
protein CSS setelah 1 minggu gejala dan Jumlah sel CSS: 11-50
MN/mm3 ).
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnose adalah
perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya
kecepatan hantar kurang 60% dari normal.

2.4.7 Pemeriksaan penunjang 20


1) Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein
(1 1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh
Guillain (1961) disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan
cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan
hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu
pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan
menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic
dissociation).
2) Pemeriksaan EMG
Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal,
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir
minggu kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan
adanya perbaikan. Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat
adanya keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls,
gelombang F yang memanjang dan latensi distal yang memanjang. Bila
pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan terlihat adanya
penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan menurunnya
kecepatan konduksi saraf motorik.
3) Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika
dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan
memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini
dapat terlihat pada 95% kasus SGB.
a) Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat
sedikit.
b) Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada
stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya
denervation atrophy.

Stoll BJ, Kliegman RM. Behrman-Nelson Pediatric Textbook.


Pennsylvania : Saunders inc, 2004.

2.4.8 Tatalaksana 21
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan
secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini
dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup
lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga
pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah
mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui
sistem imunitas (imunoterapi).
a. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan
preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk
terapi SGB.
b. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk
mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain
plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik,
berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat
bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih
pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml
plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat
bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama)
Pengobatan imunosupresan:
a) Imunoglobulin IV Pengobatan dengan gamma globulin intervena
lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek
samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4
gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
b) Obat sitotoksik Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
1) 6 merkaptopurin (6-MP)
2) azathioprine
3) cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan
sakit kepala

Guillain-Barre Syndrome, an overview for the Layperson, 9th ed.


Guillain-Barre Syndrome Foundation International 2000.

2.4.9 Komplikasi 22
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi
makanan atau cairan kedalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko
terjadinya infeksi, trombosis vena dalam, paralisis permanen pada
bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi.
Morariu M.A. 1979. major Neurological syndrome. Illinois : Charles C. Thomas
Publisher
2.4.10 Prognosis 22
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi
pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala
sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan
bila dengankeadaan antara lain:
a) Pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
b) Mendapat terapi plasma paresis dalam 4 minggu mulai saat onset
c) Progresifitas penyakit lambat dan pendek
d) Pada penderita berusia 30-60 tahun
Guillain-Barre Syndrome, an overview for the Layperson, 9th ed.
Guillain-Barre Syndrome Foundation International 2000.

2.5 Perbedaan manifestasi UMN dan LMN 23

Walshe.T.M.2008. Manual of Neurologic Therapetic.Boston.Little Brown.

2.6 Lesi Upper Motor Neuron dan Lower Motor Neuron 12


2.6.1 Lesi upper motor neuron
Lesi Tractus Corticospinales (Tractus Pyramidales),lesi yang
terbatas pada tractus corticospinales menimbulkan tanda-tanda klinis
sebagai berikut :
1) Terdapat tanda Babinski.Terjadi dorsofleksi ibu jari,kaki,dan jari-
jari lainnya bergerak keluar sebagai respons terhadap goresan pada
kulit telapak kaki sepanjang sisi lateral.Respon yang normal adalah
plantarfleksi seluruh jari-jari.Ingatlah bahwa tanda Babinski
normal ditemukan sampai setahun pertama setelah kelahiran karena
tractus corticospinalis tidak bermielin sampai akhir tahun pertama
kehidupan.Penjelasan untuk respons Babinski diduga sebagai
berikut.Normalnya tractus corticospinalis menyebabkan
plantarfleksi jari-jari kaki sebagai respons terhadap stimulus
sensorik pada kulit telapak kaki.Jika tractus corticospinales tidak
berfungsi,pengaruh tractus desendens lainnya pada jarimenjadi
terlihat dan timbul refleks withdrawal sebagai respons terhadap
stimulus ditelapak kaki,yaitu ibu jari kaki dalam keadaan
dorsofleksi dan jari lainnya bergerak keluar.
2) Tidak ada refleks abdominalis superficialis.Otot-otot abdomen
tidak berkontraksi ketika kulit abdomen digores.Refleks ini
bergantung pada keutuhan tractus corticospinales yang
menggunakan penggaruh eksitasi tonik terhadap neuron-neuron
penghubung.
3) Tidak ada refleks cremaster.Otot cremaster tidak dapat
berkontraksi saat kulit sisi medial paha digores.Lengkung refleks
ini berjalan melalui segmen lumbal pertama medulla
spinalis.Refleks ini tergantung pada keutuhan tractus
corticospinales,yang menggunakan pengaruh eksitasi tonik
terhadap neuron-neuron penghubung.
4) Terdapat kehilangan penampilan gerakan-gerakan terlatih halus.Ha
ini terutama terjadi pada ujung-ujung distal ekstremitas.
Lesi tractus desendens selain dari tractus corticospinales (tractus
extrapyramidales).Tanda-tanda klinis dibawah ini ditemukan pada lesi
yang terbatas pada tractus desendens lainnya.
1. Paralisis berat dengan sedikit atau tidak ada atrofi otot (keculi
atrofi sekunder karena tidak digunakan,disuse atrofi).
2. Spasitisitas atau hipertonisitas otot.Ekstremitas inferior
dipertahankan dalam posisi ekstensi dan ekstremitas superior
dalam posisi fleksi.
3. Peningkatan refleksi otot dalam serta klonus dapat ditemukan pada
otot-otot fleksor jari-jari,M.quadriceps femoris dan otot-otot betis.
4. Reaksi pisau-lipat.Ketika dilakukan gerakan pasif pada
sendi,terdapat resistensi yang disebabkan oleh spastisitas otot.Pada
waktu diregangkan,tiba-tiba tahanan otot menghilang karena
adanya inhibisi pada organ neurotendinosa.
Harus ditekankan bahwa dalam praktik klinis jarang ditemukan
lesi organik yang hanya terbatas pada tractus pyramidales,atau hanya
pada tractus extrapyramidales.Biasanya kedua tractus ini terkena,tapi
dalam tingkat yang berbeda sehingga menimbulkan tanda-tanda klinis
dari kedua kelompok tersebut. Oleh karena normalnya tractus
pyramidales cenderung meningkatkan tonus otot dan tractus
extrapyramidalis menghambat tonus otot,keseimbangan antara kedua
efek yang berlawanan ini dapat berubah,sehingga menimbulkan derajat
tonus otot yang berbeda.

2.6.2 Lesi lower motor neuron


Trauma,infeksi (poliomielitis),penyakit vaskular,penyakit
degeneratif dan neoplasma dapat menimbulkan lesi lower motor neuron
dengan merusak badan sel didalam columna grisea anterior atau axonnya
di dalam radix anterioratau nervus spinalis.Tanda-tanda klinis dibawah
ini ditemukan pada lesi lower neuron :
1. Paralisis flasid pada otot-otot yang dipersarafi.
2. Atrofi otot-otot yang dipersarafi.
3. Hilangnya refleks otot-otot yang dipersarafi.
4. Fasikulasi otot.Fasikulasi merupakan kedutan otot (twitching) yang
hanya terlihat bila terjadi destruksi lambat pada lower motor
neuron.
5. Kontraktur otot.Kontraktur merupakan pemendekan otot yang
mengalami paralisis. Lebih sering terjadi pada otot antagonis yang
fungsinya tidak lagi dihambat oleh otot yang mengalami paralisis.
6. Reaksi degenerasi.Dalam keadaan normal,otot-otot yang dipersrafi
memberikan respons terhadap stimulasi menggunakan arus faradik
(terputus-putus) dan kontraksi terus terjadi selama arus tetap
berjalan.Arus galvanik atau arus langsung menimbulkan kontraksi
hanya bila arus dinyalakan atau dimatikan.Bila lower motor neuron
dipotong,otot tidak lagi bereaksi terhadap stimulasi listrik yang
terputus-putus dalam waktu 7 hari setelah saraf dipotong,walaupun
masih bereaksi terhadap arus langsung. Setelah 10 hari,reaksi
terhadap arus langsung juga hilang.Perubahan respons otot
terhadap stimulasi listrik ini dikenal sebagai reaksi degenerasi.
Snell R.S. Clinical Neuroanatomy.7th ed.Philadelphia,PA : Lippinocott Williams
& Wilkins.2010
2.7 Traktus pada sistem saraf 12
1. Traktus Spinothalamicus Anterior
Akson-akson memasuki medula spinalis melalui ganglion radix
posterior dan menuju ujung columna ganglion radix posterior, kemudian
terbagi menjadi dua menjadi cabang asendens dan desendens. cabang-
canag ini berjalan sejauh satu atau dua segmen medulla spinalis, dan
memberikan kontribusi pada traktus posterolateralis Lissauer. Serabut
neuron tingat pertama ni diduga berakhir fdengan bersinaps pada sel-sel
di dalam kelompok subtansia gelatinosa columna grisea posterior.
Selanjutnya, akson-akson neuron tingkat kedua menyilang
dengan sangat miring ke sisi kontra-lateral di subtansia grisea anterior
dan comissura alba di dalam beberapa segmen medulla spinalis, dan naik
d dalam columna alba anterolateral sisi kontra-lateral sebagai traktus
spinolthalamicus anterior. Saat traktus spinothalamicus anterior naik
melalui medulla spinalis, terjadi penambahan serabut-serabut baru pada
aspek medial traktus ini sehingga pada segmen cervical atas medulla
spinalis, serabut sacralis terletak paling lateral dan segmen cervical
paling medial.
Ketika traktusa spinothalamicus anterior naik melalui medulla
onlongata, traktus ini diikuti oleh traktus spinothalamicus lateralis dan
traktus spinotectalis; yang secara bersam-sama membentuk lemnicus
spinalis.
Lemnicus spinalis terus naik melalui bagian posterior pons,
tegmentum mesencephali dan serabut-serabut traktus spinothalamicus
anterior berakhir dan membentuk sinaps dengan neuron tingkat ketiga di
nucleus ventralis posterolateralisthalami. Rasa raba dan tekan diakini
dapat diapresiasikan disini.
Selanjutnya, akson-akson dari neuron tingkat ketiga pada nucleus
ventralis posterolateralis thalami berjalan melalui crus posterior capsulae
internae dan corona radiate untuk mencapai area somestasia di gyrus
postcentralis cortex cerebri. Setengah bagian kontralateral tubuh diwakili
secara terbalik, yaitu dengan tangan dan mulut terletak pada bagian
inferior, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. kesadaran mengenai
apresiasi sensasi raba dan tekan bergantung pada aktivitas cortex cerebri.
Sensasi hanya dapat ditentukan lokasi secara kasar, dan intensitasnya
hanya dapat sedikit dibedakan.
2. Tractus spinocerebellaris posterior
Akson-akson yang memasuki medulla spinalis dari ganglion
radix posterior masuk ke columna grisea posterior, berakhir dan
bersinaps dengan neuron-neuron tingkat kedua di dasar columna grisea
posterior. Neuron-neuron ini secara kolektif disebut nucleus dorsalis
(columna clarke). Akson-akson tingkat kedua masuk ke bagian
posterolateral columna alba lateralis sisi yang sana dan berjalan ke atas
sebagai traktus spinocerebellaris posterior menuju medulla oblongata.
Disini, traktus tersebut bergabung dengan pedunculus cerebellarus
inferior dan berakhir pada cortex cerebelli. Perhatikan bahwa serabut ini
tidak naik ke cortex cerebri. Oleh karena nucleu dorsalis (columna clarke)
hanya terbentang dari segmen cervical ke delapan ke arah kaudal sampai
segmen lumbal ketiga atau keempat, maka akson-akson yang memasuki
medulla spinalis dari radices posterior segemn lumbal bawah dan sacral
berjalan ke atas di dalam columna alba posterior hingga mencapai
segmen lumbal ketiga atau keempat, kemudian masuk ke nucleus
dorsalis.
Serabut spinocerebellaris posterior menerima informasi dari otot
sendi, muscle spindle, organ-organ tendon, dan reseptor-reseptor sendi
badan dan ekstremitas inferior. Informasi ini mencakup tegangan tendon
otot serta pergerakkan otot dan sendi yang digunakan oleh cerebellum
untuk mengkoordinasikan gerakan ekstremitas dan mempertahankan
postur.

3. Tractus Spinocerebellaris anterior


Akson-akson yang memasuki medulla spinalis dari ganglion
radix posterior berakhir secara bersinaps dengan neuron-neuron tingkat
kedua di nucleus dorsalis pada dasar columna grisea posterior. Sebagian
besar akson neuron tingkat kedua menyilang menuju sisi kontralateral
dan berjalan ke atas sebagai tractus spinocerebellaris anterior di columna
alba sisi kontralateral; sebagian kecil akson naik sebagai tractus
spinocerebellaris anterior di columna alba pada sisi yang sama. serabut-
serabut, setelah naik melalui medulla oblongata dan pons, masuk ke
dalam cerebellum melalui pedunculus cerebellaris superior dan berakhir
pada cortex cerebri.

4. Tractus Cuneocerebellaris
Serabut saraf ini berasal dari nucleus cuneatus dan masuk ke
cerebellum melalui pedunculus cerebellaris inferior pada sisi yang sama.
serabut-serabut ini dikenal sebagai fibrae arcuatae externae posteriores
dan berfungsi meneruskan informasi sensasi otot sendi ke cerebellum.
5. Tractus Spinotectalis
Akson-akson masuk ke medula spinalis dari ganglion radix
posterior dan berjalan ke substansia grisea dan bersinaps dengan neuron
tingkat kedua yang tidak diketahui. Akson-akson neuron tingkat kedua
menyilang bidang median dan berjalan ke atas sebagai tractus
tetcospinalis dalam columna alba anterolateral dan terletak dekat tractus
spinothalamicus latralis. Setelah melalui medulla oblongata dan pons,
serabut ini berakhir dan bersinaps dengan neuron di colliculus superior
mesencephalon. Jaras ini membawa informasi aferent untuk refleks
spinovisual dan menimbulkan pergerakan mata dan kepala ke arah
sumber stimulasi.

6. Tractus Spinoreticularis
Akson-akson masuk ke medula spinalis dari ganglion radix
posterior danberakhir pada neuron-neuron tingkat kedua yan tidak
dikenal di substansia grisea. Akson-akson neuron tingkat kedua ini
berjalan ke atas di dalam medula spinalis sebagai tractus spinoretikularis
dalam columna alba lateralis yang bergabung dengan tractus
spinothalamicus lateralis. Sebagian besar serabut-serabut ini tidak
menyilang serta berakhir dan bersinaps dengan neuron-neuron formatio
retikularis di medula oblongata, pons, dan mesencephalon. Tractus
spinoreticularis merupakan jaras aferen formatio reticularis yang
berperan penting dalam mempengaruhi tingkat kesadaran.
7. Tractus Spino-olivarius
Akson-akson masuk ke medula spinalis dari ganglion radix
posterior dan berakhir pada neuron-neuron tingkat kedua yan tidak
dikenal di substansia grisea posterior. Akson-akson neuron tingkat kedua
menyilang garis dan berjalan ke atas sebagai tractus spino-olivarius di
dalam substansia alba pada pertemuan antara columna anterior dan
lateralis. Akson-akson berakhir dan bersinaps dengan neuron-neuron
tingkat ketiga pada nuclei olivarius inferior di medulla oblongata.
Akson-akson neuron tingkat ketiga menyilang garis tengah dan masuk
ke cerebellum melalui pedunculus cerebelli inferior. Tractus Spino-
olivarius meneruskan informasi dari kulit dan organ-organ proproseptif
menuju cerebellum.

8. Traktus Kortikospinal
Serabut traktus kortikospinal muncul sebagai akson sel-sel
pyramid yang terletak di lapisan kelima korteks serebri. Sekitar sepertiga
serabut ini berasal dari korteks motoric primer, sepertiga dari korteks
motorik sekunder, dan sepertiga dari lobus parietalis. Jadi dua pewa area
yang mengatur wajah terletak di inferior dan area yang mengatur
ekstremitas inferiorrtiga serabut traktus kortikospinal berasal dari gyrus
presentralis menimbulkan gerakan pada bagian tubuh yang berbeda di
sisi kontralateral, kita dapat menggambarkan bagian-bagian tubuh di
area korteks ini. Homonkulus tersebut diperlihatkan pada gambar 4-21.
Perhatikan bah terletak di bagian superior dan permukaan medial
hemisfer. Homonkulus merupakan sebuah gambaran distorsi tubuh,
dengan berbagai bagian yang memiliki ukuran proporsional terhadap
fungsi pengendaliannya di korteks serebri. Menarik untuk diketahui
bahwa sebagian besar serabut kortikospinalis yang bermielin merupakan
serabut-serabut kecil yang relatif menghantarkan impuls secara lambat.
Serabut-serabut desendens mengumpul di korona radiata,
kemudian berjalan melalui crus posterius capsulae internae. Di sini
serabut-serabut ditata sedemikian rupa sehingga yang terletak paling
dekat dengan genu yang mengurus bagian cervical tubuh, sedangkan
yang terletak lebih ke posterior mengontrol ekstremitas inferior.
Selanjutnya, traktus melanjutkan perjalanan melalui tiga-perlima medial
basis pedunculi mesencephali. Di sini serabut yang mengurus bagian
servikal tubuh terletak di medial, sedangkan yang mengendalikan
tungkai terletak di sebelah lateral. Saat memasuki pons, traktus terbagi
menjadi banyak berkas oleh fibrae pontocerebellares transversae. Di
dalam
9. Traktus reticulospinales
Di seluruh mesencephalon, pons, dan medulla oblongata terdapat
kelompok-kelompok sel saraf dab serabut saraf yang tersebar, yang
secara bersama-sama dikenal sebagai formation reticularis. Neuron-
neuron ini mengirimkan akson yang kebanyakan tidak menyilang dari
pons, turun ke medulla spinalis dan membentuk traktus
pontoreticulospinalis. Neuron-neuron yang sama mengirimkan akson,
baik yang menyilang maupun tidak dari medulla ke medulla spinalis dan
membentuk tractus reticulospinalis medullaris.
Serabut reticulospinalis dari pons turun melalui columna alba
anterior, sedangkan serabut dari medulla turun melalui columna alba
lateralis. Kedua kelompok serabut ini masuk columnae albae anteriores
medulla spinalis serta dapat mengaktifkan atau menghambat aktivitas
neuron motorik alfa dan gamma. Dengan cara ini, tractus reticulospinalis
mempengaruhi gerakan-gerakan volunter dan aktivitas reflex. Saat ini,
serabut reticulospinalis diduga di dalamnya termasuk serabut desendens
otonomik. Dengan demikian, tractus reticulospinales merupakan jaras
agar hipotalamus dapat mengatur aliran simpatis dan aliran parasimpatis
dari daerah sacralis.

10. Traktus tectospinalis


Traktus tectospinalis serabut traktus ini berasal dari sel-sel
neuron di dalam colliculus superior mesencephali. Sebagian besar
serabut ini menyilang garis tengah segera setelah keluar dari tempat
asalnya dan turun melalui batang otak dekat dengan fasciculus
longitudinalis medialis. Tractus tectospinalis turun di dalam columna
alba anterior medulla spinalis dekat fissure mediana anterior. Umunya,
serabut berakhir di columna grisea anterior di segmen cervical atas
medulla spinalis dan bersinaps dengan neuron-neuron penghubung.
Serabut-serabut ini diduga berkaitan dengan gerakan reflex postural
sebagai respons terhadap stimulus visual.

11. Tractus rubrospinalis


Nucleus ruber terletak di dalam segmentum mesencephali
setinggi colliculus superior. Akson neuron-neuron di dalam nucleus ini
menyilang garis tengah setinggi nucleus ini dan berjalan turun sebagai
tractus rubrospinalis melalui pons dan medulla oblongata untuk masuk
ke dalam columna alba lateralis medulla spinalis. Serabut-serabut
berakhir dengan bersinaps pada neuron-neuron penghubung di dalam
columna grisea anterior medulla spinalis.
Neuron-neuron nucleus ruber menerima impuls aferen melalui
hubungan dengan cortex cerebri dan cerebellum. Hal ini diyakini
merupakan jaras tidak langsung yang penting dan melalui jaras ini cortex
cerebri dan cerebellum dapat mempengaruhi aktivitas neuron motorik
alfa dan gamma medulla spinalis. Traktus ini menfasilitasi aktivitas otot
fleksor dan menghambat aktivitas otot ekstensor atau antigravitasi.

12. Tracktus vestibulospinalis


Nuclei vestibulares terletak di dalam pons dan medulla oblongata
di bawah lantai ventriculus quartus. Nuclei vestibulares menerima
serabut-serabut aferen dari telinga dalam melalui nervus vestibularis dan
dari cerebellum. Neuron-neuron nucleus vestibularis lateralis
memberikan akson-akson yang akan membentuk traktus
vestibulospinalis. Traktus ini berjalan turun tidak menyilang melalui
medulla dan melalui seluruh panjang medulla spinalis di dalam columna
alba anterior. Serabut-serabut ini berakhir dengan cara bersinaps pada
neuron-neuron penghubung di columna grisea anterior medulla spinalis.
Melalui traktus ini, telinga dalam dan cerebellum menfasilitasi
aktivitas otot esktensor dan menghambat aktivitas otot fleksor untuk
menjaga keseimbangan.

13. Traktus olivospinalis


Traktus olivospinalis diduga berasal dari nucleus olivarius
inferior dan turun di dalam columna alba lateralis medulla spinalis untuk
memengaruhi aktivitas neuron-neuron motorik di dalam columna grisea
anterior. Saat ini, traktus olivospinalis diragukan keberadaannya.

2.8 Studi kasus


2.8.1 Pemeriksaan penunjang pada kasus
Dalam pemeriksaan neurologis, ada beberapa elemen yang harus
diperiksa, yakni keadaan mental, saraf kranial, motoric, reflex, sensorik,
koordinasi, serta gaya berjalan (gait). 24
Elemen-elemen dalam pemeriksaan neurologis .

Mental Status
Attention Serial backward tasks (month of the year, digit span)
Fluency of speech, repetition, comprehension of
Language
commands, naming object, reading, writing.
Memory Three words in 5 minutes
Visuospasial function Drawing clock, copying complex figure.
Negect Line bisection, double simultaneous stimulation
Frontal lobe function Generating word lists, learning a motor sequence.
Cranial Nerves
II Visual aculty, fields, pupils, funduscopic exam.
III, IV, VI Extraocular movement.
V, VII Facial sensation and movement.
IX, X, XII Palate and tongue movement.
Motor
Bulk Palpation for acrophy.
Tone Evaluation for rigicity, spasticity.
Observational tests (pronator drift, arising from
Power chair, walking on heels, and toes), direct
confrontation strength testing
Reflexes
Muscles stretch
Biceps, brachioradialis, triceps, knee, ankle
reflexes
Babinski sign Stroking lateral of foot
Sensory
Pinprick and
Pin, cold tunning fork.
temperature
Vibration and joint Tunning fork and moving digits.
position sense
Coordination
Accuracy of targeting Finger - to - nose, heel - to - skin.
Rapid alternating movement, rhytmic finger or heel
Rhythm of movement
tapping
Gait
Stance Narrow of wide base.
Romberg's sign Steadiness with food together and eyes closed.
Stride and arm swing Assessment of shuffling, decreased arm swing
Ataxia Ability to tandem walk.
*dapus : Drislane, Frank W. Blueprints in Neurology. Blackwell Science,
Inc. Massachussets
Tonus otot, yaitu resistensi yang terdeteksi oleh pemeriksa saat
menggerakkan sendi secara pasif, seringkali terganggu jika terdapat
gangguan sistrm saraf. Gangguan UMN menigkatkan tonus otot,
sedangakan gangguan LMN menurunkan tonus otot.Beberapa Perubahan
Fungsi Motorik disebabkan oleh Gangguan Neurologis.25
Gangguan Otot Temuan Klinis Gangguan neurologis
Distonia Posisi bagian-bagian Gangguan
tubuh bertahan dalam ekstrapiramidal
keadaan abnormal Penyakit Wilson
dengan sedikit tahanan Neuropati fenotiasin
sewaktu dilakukan Infeksi virus pada otak
gerakan pasif.
Paratonia (gegenhalten) Tahanan terhadap Penyakit lobus frontalis
gerakan pasif pada
seluruh gerakan
Kekakuan deserebrasi Ekstensi dan pronasi Cedera otak berat di
lengan dan ekstensi atas pons
dari tungaki
Hipotonia Peningkatan gerakan Gangguan sereberal
sendi (ekstensi dan
fleksi berlebihan)
Hemibalismus Gerakan unilateral, Penyempitan pembuluh
mengenai bagian yang darah otak mengenai
berlawanan dengan nucleus subtalamikus.
lesi, mencakup gerakan
sendi proksimal yang
kasar dan mengayun.
Tremor Ritmik involuntary, Lesi pada jaras
gerakan tremor halus sereberal.
Tremor istirahat : lebih
nyata pada saat
istirahat.
Tremor intensional
(gerakan bertujuan) :
memburuk bila
penderita menggapai
suatu objek.
Kelompok otot utama diamati untuk melihat adanya tanda-tanda
kelemahan, fasikulasi atau kontraktur. Kekuatan otot dapat diperiksa
dengan membandingkan otot satu sisi dengan otot sisi lainnya sewaktu
penderita mencoba melawan tekanan yang berlawanan dari pemeriksa.
Dalam mengevaluasi tes-tes ini harus dipertimbangkan factor usia, seks
dan keadaan fisiknya. Penderita harus diperiksa akan kemungkinan adanya
gerakan involunter yaitu tremor, korea, dan hemibalismus.25
Refleks tendon dalam dapat ditimbulkan dengan mengetukkan palu
reflex secara cepat dan kuat pada tendon yang teregang sebagian.Refleks
tendon dalam (disebut juga reflex regang otot) yang sering diperiksa
adalah reflexbiseps, reflex trisep dan reflex brakioradialis, reflex patella,
serta reflex Achilles. Respon reflex dibagi dalam berbagai tingkatan yang
bervareasi dari 0 sampai +4. 25
Refleks superficial diperiksa dengan menggores kulit dengan benda
keras (mis ; ujung palu reflex atau aplikator) yang menyebabkan otot
berkontraksi. Refleks tersebut antara lain reflex abdominal, reflex
kremaster, reflex plantar, reflek gluteal. Refleks ini akan mengalami
perubahan bila UMN dan LMN terserang penyakit.25
Paralisis neuran motorik atas disebabkan oleh terputusnya jaras
motorik desendens pada satu sisi segmen medulla spinalis. Segera setelah
terjadi lesi, reflex tendon dalam akan tertekan untuk sementara waktu.
Keadaan ini disebut arefleksia. Selain itu, otot yang lumpuh akan lumpuh
(flaksid). Beberapa minggu atau bulan setelah lesi, reflex tendon
dalam menjadi hiperaktif. Refleks superficial hilang dan reflex babinski
positif.25
Sumber: Diagnosis topik Neurologi, Peter duus, EGC, 2007

2.8.2 Penilaian kekuatan otot 26


Kriteria hasil pengkajian menurut Berman dkk (2009) adalah sebagai
berikut:

Nilai Kriteria Penjelasan


0 Zero Kontrakasi otot tidak dapat dipalpasi.
1 Trace Tidak ada gerakan sendi, namun kontraksi otot dapat dipalpasi.
2 Poor Luas gerak sendi penuh tanpa melawan gravitasi.
3 fair (50%) Luas gerak sendi penuh dan melawan gravitasi tanpa tahanan.
4 good (75%) Luas gerak sendi penuh, melawan gravitasi, dan melawan
tahanan sedang.
5 normal (100%) Luas gerak sendi penuh, melawan gravitasi, dan melawan
tahanan maksimal.
Penulisan nilai hasil pengkajian:

tangan kanan tangan kiri


(jari)-(pergelangan tangan)-(siku)-(bahu) (bahu)-(siku)-(pergelangan
tangan)-(jari)

kaki kanan kaki kiri


(jari)-(pergelangan kaki)-(lutut)-(pinggul) (pinggul)-(lutut)-(pergelangan
kaki)-(jari)

Sumber Pustaka:
Berman, et.al. (2009). Buku ajar praktik keperawatan klinis Kozier & Erb (ed. ke-
5, penerjemah Eny Meiliya, Esty Wahyuningsih, Devi Yulianti). Jakarta:
EGC.

2.8.3 Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan gangguan pada sistem


saraf motorik 27
Motor Neuron Disease (MND) adalah suatu penyakit mematikan
yang sudah dikenal sejak abad ke-19. Penyakit ini unik karena
ditemukannya tanda-tanda Upper Motor Neuron (UMN) dan Lower
Motor Neuron (LMN) secara bersamaan pada seorang penderita. Karena
relatif jarang ditemukan
Pada MND dijumpai adanya degenerasi progresif yang khas dari
medulla spinalis, batang otak dan 1korteks serebri. Gejala klinisnya
bervariasi dengan gambaran khas berupa disfungsi safar tipe UMN
maupun LMN.
Motor Neuron Disease digolongkan atas :
1. Amyotrophic Lateral Sclerosis (80%)
2. Progressive bulbar palsy (10%).
3. Progressive muscular atrophy (8%)
4. Primary lateral sclerosis (2%)
5. Juvenile MND.
6. Monomelic MND.
7. Familial MND.
Swash M, Schwartz MS. Motor Neuron Disease: The Clinical Syndrome. In :
Leigh PN., Swash M.editors. Motor Neuron Disease Biology and Management.
London: Springer-Verlag ; 2009.p.1-17.

2.8.4 Mekanisme mati rasa (baal) pada kasus 28


Gangguan sensorik superfisial atau gangguan eksteroseptif yang
negatif merupakan salah satu manifestasi sindrom neurologi. Secara
singkat gangguan sensorik negatif itu disebut defisit sensorik.
Tergantung pada kedudukan lesi, apakah di saraf perifer, di radiks
posterior atau di lintasan sentralnya, daerah permukaan tubuh yang
anastetik atau baal dan sebagainya memperlihatkan pola yang khas
sesuai dengan penataan anatomi susunan somestesia.
Mengenal pola defisit sensorik itu berarti mengetahui lokasi lesi
yang mendasarinya. Untuk mempermudah pembahasan defisit sensorik,
maka istilah anestesia dan hipestesia digunakan secara bebas sebagai
sinonim dari defisit sensorik.
a) Hemihipestesia
Hemihipestesia merupakan hipestesia yang dirasakan sesisi tubuh
saja. Ditinjau dari sudut patofisiologiknya, maka keadaan itu terjadi
karena korteks sensorik primer tidak menerima impuls sensorik dari
belahan tubuh kontralateral. Di dalam klinik hemihipestesia merupakan
gejala utama atau gejala pengiring penyakit perdarahan serebral. Infark
yang menduduki seluruh krus posterior kapsula interna sesisi,
mengakibatkan hemiplegia kontralateral yang disertai hemihipestesis
kontralateral juga. Pada penyumbatan arteri serebri anterior tidak
dijumpai hemihipestesia kontralateral, melainkan hipestesia yang
terbatas pada kulit tungkai kontralateral yang lumpuh.
b) Hipestesia alternans
Hipestesia alternans merupakan hipestesia pada belahan wajah
ipsilateral terhadap lesi yang bergandengan dengan hipestesia pada
belahan badan kontralateral terhadap lesi. Lesi yang mendasari pola
defisit sensorik itu menduduki kawasan jaras spinotalamik dan traktus
spinalis nervi trigemini di medulla oblongata.
c) Hipestesia tetraplegik
Hipestesia tetraplegik ialah hipestesia pada seluruh tubuh kecuali
kepala dan wajah. Defisit sensorik itu timbul akibat lesi transversal yang
memotong medulla spinalis di tingkat servikalis. Jika lesi menduduki
segmen medulla spinalis di bawah tingkat T1, maka defisit sensorik yang
terjadi dinamakan hipestesia paraplegi.
d) Hipestesia selangkangan (saddle hipestesia)
Hipestesia selangkangan ialah hipestesi pada daerah kulit
selangkangan. Lesi yang mengakibatkannya merusak kauda ekuina.
e) Hemihipestesia sindrom brown sequard
Hemihipestesia sindrom brown sequard ialah hemihipestesia
pada belahan tubuh kontralateral terhadap hemilesi di medulla spinalis.
f) Hipestesia radikular atau hipestesia dermatomal
Hipestesia radikular ialah hipestesia yang terjadi akibat lesi di
radiks posterior. Dalam hal itu daerah yang hipestetik ialah dermatome
yang disarafi oleh serabut-serabut radiks posterior yang terkena lesi.
g) Hipestesia perifer
Hipestesia perifer ialah hipestesia pada kawasan saraf perifer
yang biasanya mencakup bagian-bagian beberapa dermatom.
Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar: Patofisiologi Somestesia.
Jakarta: Dian Rakyat.
2.8.5 Penatalaksanaan pada kasus 29
Penatalaksanaan kelumpuhan untuk menghilangkan penyebab
utamanya. Penurunan fungsi disebabkan kelumpuhan dalam waktu lama
dapat diatasi melalui program rehabilitasi. Rehabilitasi termasuk :
1. Terapi fisik
Terapi fisik difokuskan pada pergerakan. Terapi fisik
membantu mengembangkan cara untuk mengimbangi paralisis
melalui penggunaan otot yang masih mempunyai fungsi normal,
membantu mempertahankan dan membentuk adanya kekuatan dan
mengontrol bekas yang dipengaruhinya pada otot dan membantu
mempertahankan ROM dalam mempengaruhi anggota badan untuk
mencegah otot dari pemendekan ( kontraktur ) dan terjadinya
kecacatan. Jika pertumbuhan kembali saraf yang diharapkan, terapi
fisik menggunakan retrain yang mempengaruhi anggota badan
selama pemulihan. Terapi fisik juga menggunakan peralatan yang
sesuai seperti penyangga badan dan kursi roda.
2. Terapi kerja ( occupational therapy ):
Fokus terapi kerjaa dalah pada aktivitas sehari hari seperti
makan dan mandi. Terapi kerja mengembangkan alat dan tehnik
khusus yang mengijinkan perawatan sendiri dan jalan memberi
kesan untuk memodifikasi rumah dan tempat kerja bahwa pasien
dengan kelemahannya bisa hidup normal.
3. Terapi khusus lainnya
Pasien membutuhkan pelayanan terapi pernafasan, konselor
bagian rahabilitasi, pekerja sosial, nutrisi, berbicara, guru pengajar
khusus, terapi rekreasi atau klinik.
Terapi polineuropati tergantung dari penyebabnya. Neuropati
akibat inflamasi umumnya harus ditangani di pusat spe-sialistik.
Polineuropati demielinasi inflamasi akut (sindrom Guillain-Barre)
merupakan keadaan neurologis yang berpotensi gawat darurat.
Polineuropati demielinasi inflamasi kronik dan neuropati vaskulitis
membutuhkan terapi kortikosteroid dan/atau imunomodulator yang
meliputi obat-obat imunosupresan (azatioprin, siklofosfamid, atau
siklosporin), imunoglobulin intravena, atau pertukaran plasma. Terapi
simtomatik dapat mengurangi komplikasi neuropatik seperti gambaran
otonom dan nyeri. Sangat penting untuk membedakan antara sindrom
Guillain-Barre dan polineuropati demielinasi inflamasi kronik, karena
keduanya merupakan gangguan pada saraf perifer, akibat
demielinasi pada SSP.

Sunardi. Penatalaksanaan kelumpuhan (Paralysis therapy). Jakarta; 2008.

2.8.6 Mekanisme gerak 28


Kontraksi otot terjadi karena adanya rangsangan. Namun, untuk
menggerakan otot biasanya diperlukan suatu rangkaian rangsangan yang
berurutan. Rangsangan pertama akan diperkuat oleh rangsangan kedua,
rangsangan kedua akan diperkuat oleh rangsangan ketiga, dan begitu
seterusnya. Maka dengan demikian akan terjadi tonus, atau ketegangan,
yang maksimum. Tiap rangsangan yang diberikan akan menimbulkan
potensi aksi, yang akan menghasilkan kontraksi otot tunggal pada
serabut otot. Jika setelah berkontraksi otot tersebut mencapai relaksasi
penuh, kemudian potensi aksi kedua diberikan, akan terjadi kontraksi
tunggal yang kekuatanya sama dengan kontraksi yang pertama tadi. Jika
potensi aksi yang kedua diberikan saat otot belum mencapai relaksasi
penuh dari relaksasi pertama akan terjadi kontraksi tambahan pada
puncak kontraksi pertama. Ini dinamakan penjumlahan kontraksi. bila
otot diberikan rangsangan yang sangat cepat, tetapi masih ada relaksasi
diantara dua rangsangan, akan terjadi keadaan yang dinamakan tetanus
tidak sempurna. Jika tidak ada kesempatan relaksasi diantara kedua
rangsangan, akan terjadi kontraksi dengan kekuatan maksimum yang
disebut tetanus sempurna.
Dalam sistem mekanisme kerja otot, komponen yang berperan
dalam kontraksi otot adalah duat set filamen, yaitu filamen aktin yang
tipis dan filamen miosin yang tebal. Kedua jenis filamen tersebut
menyusun sebuah serabut otot. Setiap serabut otot diatur sebagai ikatan
unit kontraktil yang disebut sarkomer. Sarkomer ini yang membuat
penampakan bergaris atau lurik pada otot rangka atau otot jantung.
Sarkomer terdiri dari beberapa daerah. Ujung tiap sarkomer disebut garis
Z; terdapat daerah gelap yang disebut daerah A yang hanya terdiri dari
filamen miosin, berselang seling dengan daerah terang yang disebut
daerah I yang hanya terdiri dari aktin; ditepi daerah A filamin aktin dan
miosin saling tumpang tindih; sedangkan daerah tengah hanya terdiri
dari miosin yang terdiri dari zona H; filamen aktin terikat; filamen
miosin terikat pada garis M di bagian tengah sarkomer.
Saat kontraksi filamen aktin bergeser di antara miosin kedalam
zona H, Sehingga serabut otot memendek. Panjang pita A tetap,
sedangkan pita I dan zona H menjadi lebih pendek. Filamen tebal otot
terdiri dari beberapa ribu miosin yang tersusun secara pararel. Ujung
miosin mengikat ATP kemudian mengubahnya menjadi ADP,
melepaskan beberapa energi ke miosin yang kemudian berubah bentuk
menjadi konfigurasi energi tinggi. Miosin berenergi tinggi tersebut
berikatan dengan aktin dengan kedudukan tertentu yang akan
membentuk jembatan silau. Lalu energi yang terdapat pada miosin
dilepaskan, dari ujung miosin beristirahat dengan energi rendah.
Keadaan inilah yang dinamakan relaksasi. Relaksasi tersebut, mengubah
sudut perlekatan yang sebelumnya ada di ujung miosin menjadi di ekor
miosin. Ikatan antara miosin energi rendah dan aktin akan terpecah saat
molekul ATP baru bergabung dengan ujung miosin. Kemudian proses
kontraksi akan terjadi lagi berulang membentuk siklus.
Kus. Irianto (2004). Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk Paramedis.
Gramedia: Jakarta.
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Laki-laki tersebut mengalami gangguan penurunan fungsi pada sistem
saraf motoriknya,khususnya pada lower motor neuron.
DAFTAR PUSTAKA

1. Paulsen F & Waschke J. Sobotta Atlas of Human Anatomy, Head, Neck,


and Neuroanatomy. 15th Ed. German: Urban and Fischer Elsevier; 2015.
2. Eroschenko, V. P.,Atlas Histologi d iFiores deng an Korela si Fun
gsion al , EGC, Jakarta.2008
3. Guyton, A. C. & Hall, A. J. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke
11. Jakarta: ECG; 2007.
4. Nani Cahyani Sudarsono. Pengantar Motorik Somatik. Departemen
Ilmu Faal, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2004.
5. Arthur J. Vander. Human Physiology, 4th ed. Mc Graw: Hill
Internasional Editions.1986

6. Razak. Datu . Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Unhas. Jakarta:


Gitamedia.2004

7. Kus. Irianto . Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk Paramedis.


Gramedia: Jakarta.2004
8. Setiadi.Anatomi Fisiologi Manusia. Yogyakarta. Graham Ilmu.2007
9. Wulangi. S Kartolo . Prinsip-prinsip Fisiologi Manusia. DepDikBud:
Bandung.2000
10. Gartner LP & Hiatt JL. Buku Ajar Berwarna Histologi. Edisi ke-3.
Jakarta: Saunder Elseviers; 2015
11. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology. 6th ed.
New York: Mc-Graw Hill Co ; 2007. p.1089-1094.
12. Snell, Richard S. Anatomi Klinik ed. 7. EGC : Jakarta. 2011.

13. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC; 2001.
14. Snell RS. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke-
5. Jakarta: EGC; 2001.
15. Japardi I. Sindroma Guillain-Barre. Medan: FK Universitas Sumatera
Utara; 2002.
16. Sidarta,P.Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta. Penerbit
Dian Rakyat.2014
17. Mikail,B. Penderita Guillain Barre Syndrome (GBS) meningkat di
Kalangan Usia Produktif. 2012.
http://health.kompas.com/read/2012/04/14/09265323/Penderita
Guillain Barre
Syndrome(GBS).Meningkat.di.Kalangan.Usia.Produktif.
18. Gutierrez Amparo, Sumner Austin J. Electromyography in
neurorehabilitation. In: Selzer ME, Clarke Stephanie, Cohen LG,
Duncan PW, Gage FH. Textbook of neural repair and rehabilitation Vol.
II: Medical neurorehabilitation. UK: Cambridge University Press; 2006.
p.49-55.
19. Victor Maurice, Ropper Allan H. Adams and Victors Principles of
neurology. 7th edition. USA: the McGraw-Hill Companies; 2001.
p.1380-87.
20. Stoll BJ, Kliegman RM. Behrman-Nelson Pediatric Textbook.
Pennsylvania : Saunders inc, 2004.
21. Guillain-Barre Syndrome, an overview for the Layperson, 9th ed.
Guillain-Barre Syndrome Foundation International 2000.
22. Morariu M.A. major Neurological syndrome. Illinois : Charles C.
Thomas Publisher.1979
23. Walshe.T.M.Manual of Neurologic Therapetic.Boston.Little
Brown.2008
24. Drislane, Frank W. Blueprints in Neurology. Blackwell Science, Inc.
Massachussets.2002
25. Diagnosis topik Neurologi, Peter duus, EGC, 2007
26. Berman, et.al. Buku ajar praktik keperawatan klinis Kozier & Erb (ed.
ke-5, penerjemah Eny Meiliya, Esty Wahyuningsih, Devi Yulianti).
Jakarta: EGC.2009
27. Swash M, Schwartz MS. Motor Neuron Disease: The Clinical
Syndrome. In : Leigh PN., Swash M.editors. Motor Neuron Disease
Biology and Management. London: Springer-Verlag ; 2009.p.1-17.
28. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar: Patofisiologi
Somestesia. Jakarta: Dian Rakyat.

29. Sunardi. Penatalaksanaan kelumpuhan (Paralysis therapy). Jakarta;


2008.

Anda mungkin juga menyukai