Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN EPILEPSI DI RUANG ASTRER RUMAH SAKIT DAERAH


dr. SOEBANDI
KABUPATEN JEMBER

Oleh :
Bagus Zulfana Aditya Arveo
2201031035

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2022
2

BAB I

TINJAUAN KASUS

1. Konsep Dasar Medis

a. Pengertian Epilepsi

Epilepsi adalah golongan penyakit saraf yang gejala-gejalanya

timbul mendadak dalam serangan-serangan berulang, pada

sebagian besar disertai penurunan kesadaran, dan dapat disertai

atau disertai kejang (Markam, Soemarmo, 2018).

Epilepsi adalah kejang yang menyerang seseorang yang

tampak sehat sebagai suatu ekserbasi dalam kondisi sakit kronis

sebagai akibat oleh disfungsi otak sesaat dimanifestasikan

sebagai fenomena motoric, sensorik, otonomik, atau psikis yang

abnormal. Epilepsy merupakan akibat dari gangguan otak kronis

dengan serangan kejang spontan yang berulang (Satyanegara,

2018) dalam Nurarif & Kusuma, 2019, hal.193).

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang

dicirikan oleh terjadinya serangan yang bersifat spontan dan

berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak

yang bersifat mendadak dan sepintas yang berasal dari

sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama

(Sukarmin, dan Riyadi, 2018).


9

Epilepsi adalah sekelopok sindrom yang ditandai dengan

gangguan otak sementara yang bersifat paroksimal yang

dimanifestasikan beruba gangguan atau penurunan kesadaran

yang episodik, fenomena motorik yang abnormal, gangguan

psikis, sensorik, dan sistem otonom : gejala-gejalanya disebabkan

oleh aktivitas listrik otak (Fransisca, 2018).

b. Anatomi Fisiologi

Anatomi fisiologi sistem saraf (Mutaqqin, 2018)

Gambar 2.1 Anatomi sistem saraf

a. Otak

Otak terdiri dari otak besar yaitu disebut cerebrum, otak kecil

disebut cerebellum dan batang otak disebut

brainstem.Beberapa karakteristik khas otak orang anak yaitu

mempunyai berat lebih kurang 2% dari berat badan dan


10

mendapat sirkulasi darah sebanyak 20 % dari cardiac output

dan membutuhkan kalori sebesar 400 kkal setiap hari.

Otak mempunyai jaringan yang paling banyak menggunakan

energi yang didukung oleh metabolisme oksidasi

glukosa.Kebutuhan oksigen dan glukosa otak relatif konstan, hal

ini disebabkan oleh metabolisme otak yang merupakan proses

yang terus menerus tanpa periode istirahat yang berarti.Bila

kadar oksigen dan glukosa kurang dalam jaringan otak maka

metabolisme menjadi terganggu dan jaringan saraf akan

mengalami kerusakan. Secara struktural,cerebrum terbagi

menjadi bagian korteks yang disebut korteks cerebri dan sub

korteks yang disebut struktural subkortikal.Korteks cerebri terdiri

atas korteks sensorik yang berfungsi untuk

mengenal,interpretasi inpuls sensorik yang diterima sehingga

individu merasakan,menyadari adanya suatu sensasi

rasa/indera tertentu.Korteks sensorik juga menyimpan sangat

banyak data memori sebagai hasil rangsang sensorik selama

manusia hidup.Korteks motorik berfungsi untuk memberi

jawaban atas rangsangan yang diterimanya.

1) Cerebrum (otak besar)

Cerebrum terdiri dari dua belahan yang disebut

hemispherium cerebri dan keduanya dipisahkan oleh fisura

longitudinalis. Hemisperium cerebri terbagi hemisper kanan


11

dan kiri.Hemisper kanan dan kiri ini dihubungkan oleh

bangunan yang disebut corpus callosum.Hemisper cerebri

dibagi menjadi lobus - lobus yang diberi nama sesuai

dengan tulang diatasnya,yaitu:

a) Lobus Frontalis,bagian cerebrum yang berada dibawah

tulang frontalis

b) Lonbus Parietalis,bagian cerebrum yang berada dibawah

tulang parietalis

c) Lobus Occipitalis,bagian cerebrum yang berada dibawah

tulang occipitalis

d) Lobus Temporalis,bagian cerebrum yang berada di

bawah tulang temporalis.

2) Cerebelum (otak kecil)

Cerebelum (otak kecil) terletak di bagian belakang

cranium menempati fosa cerebri posterior dibawah lapisan

durameter tentorium cerebelli.Dibagian depannya terletak

batang otak. Berat cerebellum sekitar 150 gr atau 88 % dari

berat batang otak seluruhnya. Cerebellum dapat dibagi

menjadi hemisper cerebelli kanan dan kiri yang dipisahkan

oleh Vermis. Fungsi cerebellum pada umumnya adalah

mengkoordinasikan gerakan-gerakan otot sehingga gerakan

dapat,terlaksana,dengan,sempurna. .
12

3) Batang otak atau brainstern

Batang otak terdiri atas diencephalon, midbrain, pons dan

medulla oblongata merupakan tempat berbagai macam

pusat vital seperti pusat pernapasan, pusat vasomotor, pusat

pengatur kegiatan jantung dan pusat muntah. Menurut

syaifuddi (2019) batang otak terdiri dari :

a) Dianzefalon, bagian batang otak paling atas terdapat di

antara cerebellum dengan dengan meansefalon.

Kumpilan dari sel-sel yang terdapat di bagian lobus

temporal terdapat kapsula interna dengan sudut

menghadap ke samping.

b) Meansefalon, terdiri dari 4 bagian yang menonjol ke atas,

2 disebelah atas disebut korpus kudrigeminus inferior

serat saraf okulomotorius berjalan ke ventrikel bagian

medial, serat nervus troklearis berjalan kea rah dorsal

garis tengah ke sisi lain.

c) Pons varoli, brakium pontis yang menghubungkan

meansefalon dengan pons varoli

d) Medulla oblongata, merupakan bagian dari batang otak

yang paling bawah yang menghubungkan pons varoli

dengan,medullaspinalis.
13

b. Medula Spinalis

Medula spinalis merupakan perpanjangan modulla oblongata

ke arah kaudal di dalam kanalis vertebralis cervikalis I

memanjang hingga setinggi cornu vertebralus lumbalias I-II.

Terdiri dari 31 segmen yang setiap segmenya terdiri dari satu

pasang saraf spinal. Dari medulla spinallis bagian cervical

keluar 8 pasang, dari bagian thorakal 12 pasang, dari bagian

lumbal 5 pasang dan dari bagian sakral 5 pasang serta dari

coxigeus keluar 1 pasang saraf spinalis. Seperti halnya

otak,medula spinalis pun terbungkus oleh selaput meningen

yang berfungsi melindungi saraf spinal dari benturan atau

cedera.

Salah satu fungsi medula spinalis sebagai sistem saraf pusat

adalah sebagai pusat refleks. Fungsi tersebut diselenggarakan

oleh substansi grisea medula spinalis. Refleks adalah jawaban

individu terhadap rangsang melindung tubuh terhadap berbagai

perubahan yang terjadi baik di lingkungan eksternal. Kegiatan

refleks terjadi melalui suatu jalur tertentu yang disebut lengkung

refleks.

Fungsi medula spinalis:

1) Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu di kornu motorik

atau kornu ventralis.

2) Mengurus kegiatan refleks spinalis dan reflek tungkai


14

3) Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi

menuju cerebellum

4) Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua

bagian tubuh.

Fungsi Lengkung Reflek:

1) Reseptor : penerima rangsang

2) Aferen: sel saraf yang mengantarkan impuls dari reseptor ke

system saraf pusat (ke pusat refleks)

3) Pusat Refleks : area di sistem saraf pusat (di medula spinalis

substansia grisea ) tempat terjadinya sinap(hubungan antara

neuron dengan neuron dimana terjadi pemindahan

/penerusan impuls)

4) Eferen: sel saraf yang membawa impuls dari pusat refleks ke

sel efektor. Bila sel efektornya berupa otot,maka eferen

disebut juga neuron motorik (sel saraf/penggerak)

5) Efektor : sel tubuh yang memberikan jawaban terakhir

sebagai jawaban refleks.Dapat berupa sel otot (otot jantung,

otot polos atau otot rangka), sel kelenjar.

c. Sistem Saraf Tepi

Kumpulan neuron di luar jaringan otak dan medula spinalis

membentuk sistem saraf tepi (SST). Secara anatomik di

golongkan ke dalam saraf-saraf otak sebanyak 12 pasang dan


15

31 pasang saraf spinal. Secara fungsional, SST di golongkan ke

dalam :

1) Saraf sensorik (aferen) somatik : membawa informasi dari

kulit, otot rangka dan sistem saraf pusat

2) Saraf motorik (eferen) somatik : membawa informasi dari

sistem saraf pusat ke otot rangka

3) Saraf sensorik (aferen) viseral : membawa informasi dari

dinding visera ke sistem saraf pusat

4) Saraf motorik (aferen) viseral : membawa informasi dari

sistem saraf pusat ke otot polos, otot jantung dan kelenjar.

5) Saraf eferen viseral di sebut juga sistem saraf otonom.

c. Etiologi

Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari

kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau

yang lebih sering kita sebut sebagai kelainan idiopatik.2 Terdapat

dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang umum.

Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :

Tabel 2.1 : Etiologi Epilepsi

Kejang Fokal Kejang Umum


a. Trauma kepala a. Penyakit metabolic
b. Stroke b. Reaksi obat
c. Infeksi c. Idiopatik
d. Malformasi vaskuler d. Faktor genetic
e. Tumor (Neoplasma) e. Kejang fotosensitif
f. Displasia
16

g. Mesial Temporal Sclerosis

d. Klasifikasi

Pada tahun 1981 International Laegue Against Epilepsi (ILAE)

membagi kejang menjadi kejang umum dan kejang fokal/ parsial.

Berdasarkan tipe bangkitan (diobservasi secara klinis maupun hasil

pemeriksaan elektrofisiologi), apakah aktivitas kejang dimulai dari 1

bagian otak, melibatkan banyak area atau melibatkan kedua

hemisfer otak. ILAE membagi kejang menjadi kejang umum dan

kejang pasial dengan definisi sebagai berikut, Kejang umum adalah

gejala awal kejang dan/ atau gambaran EEG menunjukkan

keterlibatan kedua hemisfer; Kejang parsial (fokal) adalah gejala

awal kejang dan/atau gambaran EEG menunjukkan aktivitas pada

neuron terbatas pada satu hemisfer saja. Klasifikasi epilepsi terus

berkembang sejak tahun 1960 ILAE telah mengeluarkan beberapa

kali klasifikasi epilepsi. Klasifikasi epilepsi yang saat ini dianut

adalah klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 2017. Klasifikasi ini

terdiri dari 3 tingkatan (tabel 2.1) dimana tingkatan ini dirancang

untuk melayani pengelompokan epilepsi dilingkungan klinis yang

berbeda. Klasifikasi ini memungkinan penentuan etiologi penyebab

epilepsi sudah mulai dipikirkan pada saat pertama kali kejang

epilepsi,diagnosis.
17

Tabel 2.2 Klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 2017

a. Klasifikasi tipe kejang (dipergunakan bila tidak terdapat EEG,


Imaging, video)

1) Onset Fokal

2) Onset General

3) Unknown Onset

b. Berdasarkan tipe epilepsi (dipergunakan pada fasilitas dengan


akses pemeriksaan penunjang diagnostik epilepsi)

1) Onset Fokal

2) Onset General

3) Combine focal and general onset

4) Unknown Onset

c. Berdasarkan sindrom epilepsi

Ditegakkan saat ditemukan secara bersamaan jenis kejang


dengan gambaran EEG atau imaging tertentu, bahkan sering
diikuti dengan gambaran usia, variasi diurnal, trigger tertentu,
dan terkadang prognosis.
Sumber : Scheffer, dkk. Classification of the epilepsies, 2017

Klasifikasi bangkitan epilepsi menurut International League

Against Epilepsi (2017):

a. Bangkitan parsial

1) Bangkitan parsial sederhana

a) Motorik

b) Sensorik
18

c) Otonom

d) Psikis

2) Bangkitan parsial kompleks

a) Bangkitan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran

b) Bangkitan parsial disertai gangguan kesadaran saat awal

bangkitan

3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder

a) Parsial sederhana menjadi umum tonik-klonik

b) Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik

c) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian

menjadi umum tonik-klonik

b. Bangkitan umum

1) Absans (lena)

2) Mioklonik

3) Klonik

4) Tonik

5) Tonik-klonik

6) Atonik

c. Tak tergolongkan

Klasifikasi sindroma epilepsi menurut ILAE 2018 (Rudzinski dan

Shih, 2019):

a. Berkaitan dengan letak fokus a.

1) Idiopatik (primer)
19

a) Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di

sentrotemporal (Rolandik benigna)

b) Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

c) Primary reading epilepsy

2) Simtomatik (sekunder)

a) Epilepsi kronik progresif parsialis kontinua pada anak

(Sindrom Kojewnikow)

b) Epilepsi lobus temporalis

c) Epilepsi lobus frontalis

d) Epilepsi lobus parietalis

e) Epilepsi lobus oksipitalis

3) Kriptogenik

b. Umum

1) Idiopatik (primer)

a) Kejang neonatus familial benigna

b) Kejang neonatus benigna

c) Epilepsi mioklonik benigna pada bayi

d) Epilepsi absans pada anak

e) Epilepsi absans pada remaja

f) Epilepsi mioklonik pada remaja

g) Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga

h) Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak


20

2) Kriptogenik atau simtomatik

a) Sindroma West (spasme infantil dan hipsaritmia)

b) Sindroma Lennox Gastaut

c) Epilepsi dengan kejang mioklonik astatik

d) Epilepsi dengan absans mioklonik

3) Simtomatik

a) Etiologi non spesifik

(1) Ensefalopati mioklonik neonatal

(2) Sindrom Ohtahara

b) Etiologi atau sindroma spesifik

(1) Malformasi serebral

(2) Gangguan metabolisme

c. Epilepsi dan sindroma yang tidak dapat ditentukan

1) Serangan umum fokal

a) Kejang neonatal

b) Epilepsi mioklonik berat pada bayi

c) Sindroma Taissinare

d) Sindroma Landau Kleffner

2) Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

d. Epilepsi berkaitan dengan situasi

1) Kejang demam

2) Berkaitan dengan alcohol

3) Berkaitan dengan obat-obatan


21

4) Eklamsi

5) Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek

epilepsi)

e. Manifestasi klinis

Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari

epilepsi, yaitu :

a. Kejang parsial

Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian

kecil dari otak atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada

satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita

umumnya masih baik.

1) Kejang parsial sederhana

Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal,

femnomena halusinatorik, psikoilusi, atau emosional

kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran

penderita masih baik.

2) Kejang parsial kompleks

Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial

sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan

kesadaran,dan,otomatisme.
22

b. Kejang umum

Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian

besar dari otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi

pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya

menurun.

1) Kejang Absans

Hilangnya kesadaran sesaat (beberapa detik) dan

mendadak disertai amnesia. Serangan tersebut tanpa

disertai peringatan seperti aura atau halusinasi, sehingga

sering tidak terdeteksi.

2) Kejang Atonik

Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot

anggota badan, leher, dan badan. Durasi kejang bias sangat

singkat atau lebih lama.

3) Kejang Mioklonik

Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang

cepat dan singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau

berulang.

4) Kejang Tonik-Klonik

Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran

hilang dengan cepat dan total disertai kontraksi menetap dan

masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase

tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik


23

yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik,

tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi

pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.

5) Kejang Klonik

Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang

mioklonik, tetapi kejang yang terjadi berlangsung lebih lama,

biasanya sampai 2 menit.

6) Kejang Tonik

Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita

sering mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan

f. Patofisiologi

Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal

ini terjadi karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat

di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini

menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron

yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan neuron lain melalui

akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat

eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang

berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan

hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi

kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim


24

sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron

lain.

Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang

terlibat dalam munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme

yang terlibat dalam perubahan otak yang normal menjadi otak yang

mudah-kejang (epileptogenesis).

a. Mekanisme iktogenesis

Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis.

Eksitasi yang berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri,

lingkungan neuron, atau jaringan neuron.

1) Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya

perubahan fungsional dan struktural pada membran

postsinaptik; perubahan pada tipe, jumlah, dan distribusi

kanal ion gerbang-voltase dan gerbang-ligan; atau

perubahan biokimiawi pada reseptor yang meningkatkan

permeabilitas terhadap Ca2+, mendukung perkembangan

depolarisasi berkepanjangan yang mengawali kejang.

2) Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat

berasal dari perubahan fisiologis dan struktural. Perubahan

fisiologis meliputi perubahan konsentrasi ion, perubahan

metabolik, dan kadar neurotransmitter. Perubahan struktural

dapat terjadi pada neuron dan sel glia. Konsentrasi Ca2+

ekstraseluler menurun sebanyak 85% selama kejang, yang


25

mendahului perubahan pada konsentasi K2+.

Bagaimanapun, kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal

daripada kadar K2+.

3) Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat

eksitasi di sepanjang sel granul akson pada girus dentata;

kehilangan neuron inhibisi; atau kehilangan neuron eksitasi

yang diperlukan untuk aktivasi neuron inhibisi.

b. Mekanisme epileptogenesis

1) Mekanisme nonsinaptik

Perubahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi,

peningkatan kadar K2+ ekstrasel atau penurunan kadar

Ca2+ ekstrasel. Kegagalan pompa Na+-K+ akibat hipoksia

atau iskemia diketahui menyebabkan epileptogenesis, dan

keikutsertaan angkutan Cl--K+, yang mengatur kadar Cl-

intrasel dan aliran Cl- inhibisi yang diaktivasi oleh GABA,

dapat menimbulkan peningkatan eksitasi. Sifat eksitasi dari

ujung sinaps bergantung pada lamanya depolarisasi dan

jumlah neurotransmitter yang dilepaskan. Keselarasan

rentetan ujung runcing abnormal pada cabang akson di sel

penggantian talamokortikal memainkan peran penting pada

epileptogenesis.
26

2) Mekanisme sinaptik

Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan

penurunan inhibisi GABAergik dan peningkatan eksitasi

glutamatergik.

a) GABA

Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS

(cairan serebrospinal) pasien dengan jenis epilepsi

tertentu, dan pada potongan jaringan epileptik dari pasien

dengan epilepsi yang resisten terhadap obat,

memperkirakan bahwa pasien ini mengalami penurunan

inhibisi.

b) Glutamat

Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar

menunjukkan peningkatan kadar glutamat ekstrasel yang

terus-menerus selama dan mendahului kejang. Kadar

GABA tetap rendah pada hipokampus yang

epileptogenetik, tapi selama kejang, konsentrasi GABA

meningkat, meskipun pada kebanyakan hipokampus

yang non-epileptogenetik. Hal ini mengarah pada

peningkatan toksik di glutamat ekstrasel akibat

penurunan inhibisi di daerah yang epileptogenetik (Eisai,

2018).
27

g. Pemeriksaan penunjang

a. Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang

paling sering dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien

epilepsi untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat dua

bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG

menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak.

Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan

kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.

Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang

sama di kedua hemisfer otak

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih

lambat dibanding seharusnya

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak

normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-

ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul

secara paroksimal

Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan

prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya pengobatan

dengan,obat,anti,epilepsi(OAE).
28

b. Neuroimaging

Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai

pemeriksaan radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak

dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang sering

digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan) dan

Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan

CT Scan maka MRI lebih sensitive dan secara anatomik akan

tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan

hippocampus kiri dan kanan (Consensus Guidelines on the

Management of Epilepsy, 2019).

h. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal

menurut (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy,

2018) yaitu :

a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)

Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan

oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera

mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari faktor

penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan

berhenti sendiri.

Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan

diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak <

10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang


29

masih belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5

menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali

pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka

penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit

b. Pengobatan epilepsy

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang

dengan epilepsi (ODE) terbebas dari serangan epilepsinya,

terutama terbebas dari serangan kejang sedini mungkin. Setiap

kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai beberapa

menit maka akan menimbulkan kerusakan sampai kematian

sejumlah sel-sel otak. Apabila hal ini terus-menerus terjadi,

maka dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan

intelegensi penderita. Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan

ODE dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat

dicegah atau penyakit ini menjadi terkontrol dengan obat-

obatan.

Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi

menjadi 4 bagian: penggunaan obat antiepilepsi (OAE),

pembedahan fokus epilepsi, penghilangan faktor penyebab dan

faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental. Tapi

secara umum, penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua,

yaitu:

1) Terapi medikamentosa
30

Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang

dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru

terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan, pendekatan yang

“mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat (start low,

go slow)” akan mengurangi risiko intoleransi obat.

Penatalaksanaan epilepsi sering membutuhkan pengobatan

jangka panjang. Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati

pasien epilepsi, memberikan keberhasilan yang sama dan

tolerabilitas yang unggul dibandingkan politerapi (Louis,

Rosenfeld, Bramley, 2018). Pemilihan OAE yang dapat

diberikan dapat dilihat pada tabel.

Tabel 2.3 : Daftar OAE yang umum digunakan dan


indikasinya

Tipe kejang Lini pertama Lini kedua


Kejang parsial
Parsial sederhana, Carbamazepine Acetazolamide
Parsial kompleks, Lamotrigine Clonazepam
Umum sekunder Levetiracetam Gabapentin
Oxcarbazepine Phenobarbitone
Topiramate Phenytoin
Valproate
Kejang umum
Tonik-klonik, Carbamazepine Acetazolamide
Klonik Lamotrigine Levetiracetam
Topiramate Phenobarbitone
31

Valproate Phenytoin

Absans Ethosuximide Acetazolamide


Lamotrigine Clonazepam
Valproate
Absans atipikal, Valproate Acetazolamide
Atonik, Clonazepam
Tonik Lamotrigine
Phenytoin
Topiramate
Mioklonik Valproate Acetazolamide
Clonazepam
Lamotrigine
Levetiracetam
Sumber: (Consensus Guidelines on the Management of
Epilepsy, 2018)

2) Terapi bedah epilepsi

Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan

kejang dan meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi

yang refrakter. Pasien epilepsi dikatakan refrakter apabila

kejang menetap meskipun telah diterapi selama 2 tahun

dengan sedikitnya 2 OAE yang paling sesuai untuk jenis

kejangnya atau jika terapi medikamentosa menghasilkan

efek samping yang tidak dapat diterima. Terapi bedah

epilepsi dilakukan dengan membuang atau memisahkan

seluruh daerah epileptogenik tanpa mengakibatkan risiko


32

kerusakan jaringan otak normal didekatnya (Consensus

Guidelines on the Management of Epilepsy, 2019).


33

DAFTAR PUSTAKA

Batticaca,Fransisca. 2018. Asuhan Keperawatan pada Klien Gangguan Sistem

Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Jhon. 2018. Emergency Departement Design Guidelines. Third Edition.

Australian College for Emergency

Kartika, Unoviana. 2019. Penyakit Epilepsi Makin Banyak Terdeteksi.

http://health.kompas.com/read/2013/06/27/1730364/Penyakit.Epilepsi.Ma

kin.Banyak.Terdeteksi. Diakses pada tanggal 21 Januari 2019.

Markam, Sumarmo. 2018. Penuntun Neurologi. Tangerang Selatan : Binarupa

Aksara

Muttaqin, A. 2017. Buku Ajar Asuha Keperawatan Klien Dengan Gangguang

Sistem persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Persatuan Dokter Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2015. Penegakan Diagnosis

Pada Pasien Epilepsi. Jakarta : PERDOSSI

Putri, Mustika Anggiane. 2018. Prevalensi Epilepsi di Poliklinik Saraf RSUP

Fatmawati Jakarta. Skripsi Fakultas Kedokteran & Ilmu Kesehatan. Jakarta: UIN

Syarif Hidayatullah
34
35

Anda mungkin juga menyukai