OLEH:
2023
A. Definisi
Epilepsi merupakan penyakit syarat yang ditandai dengan episode kejang dapat
disertai hilangnya kesadaran (kristanto, 2017). Berdasarkan internasional league against
epilepsy (ILAE) pada tahun 2005, epilepsy yang didefinisikan secara konseptual
merupakan kelainan otak dengan ditandai kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan
epileptic secara terus menerus dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, dan sosial
dari kondisi ini (Fisher et al.,2014)
B. Anatomi fisiologi
Sistem saraf tersusun oleh berjuta-juta sel saraf yang mempunyai bentuk
bervariasi. Sistem ini meliputi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Dalam
kegiatannya, saraf mempunyai hubungan kerja seperti mata rantai (berurutan) antara
reseptor dan efektor. Reseptor adalah satu atau sekelompok sel saraf dan sel lainnya
yang berfungsi mengenali rangsangan tertentu yang berasal dari luar atau dari dalam
tubuh. Efektor adalah sel atau organ yang menghasilkan tanggapan terhadap
rangsangan. Contohnya otot dan kelenjar
a) Sel Saraf
Sistem saraf terdiri dari jutaan sel saraf (neuron). Fungsi sel saraf adalah
mengirimkan pesan (impuls) yang berupa rangsang atau tanggapan.
b) Struktur Sel Saraf
Setiap neuron terdiri dari satu badan sel yang di dalamnya terdapat
sitoplasma dan inti sel. Dari badan sel keluar dua macam serabut saraf, yaitu
dendrit dan akson (neurit). Dendrit berfungsi mengirimkan impuls ke badan sel
saraf, sedangkan akson berfungsi mengirimkan impuls dari badan sel ke jaringan
lain. Akson biasanya sangat panjang. Sebaliknya, dendrit pendek.
Setiap neuron hanya mempunyai satu akson dan minimal satu dendrit.
Kedua serabut saraf ini berisi plasma sel. Pada bagian luar akson terdapat
lapisan lemak disebut mielin yang merupakan kumpulan sel Schwann yang
menempel pada akson. Sel Schwann adalah sel ganglia yang membentuk
selubung lemak di seluruh serabut saraf mielin. Membran plasma sel Schwann
disebut neurilemma. Fungsi mielin adalah melindungi akson dan memberi
nutrisi. Bagian dari akson yang tidak terbungkus mielin disebut nodus
Ranvier, yang berfungsi mempercepat penghantaran impuls.
Berdasarkan struktur dan fungsinya, sel saraf dapat dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu sel saraf sensori, sel saraf motor, dan sel saraf intermediet
(asosiasi).
a) Sel saraf sensori
Fungsi sel saraf sensori adalah menghantar impuls dari reseptor ke sistem
saraf pusat, yaitu otak (ensefalon) dan sumsum belakang (medula
spinalis). Ujung akson dari saraf sensori berhubungan dengan saraf
asosiasi (intermediet).
b) Sel saraf motor
Fungsi sel saraf motor adalah mengirim impuls dari sistem saraf pusat ke
otot atau kelenjar yang hasilnya berupa tanggapan tubuh terhadap
rangsangan. Badan sel saraf motor berada di sistem saraf pusat.
Dendritnya sangat pendek berhubungan dengan akson saraf asosiasi,
sedangkan aksonnya dapat sangat panjang.
c) Sel saraf intermediet
Sel saraf intermediet disebut juga sel saraf asosiasi. Sel ini dapat
ditemukan di dalam sistem saraf pusat dan berfungsi menghubungkan sel
saraf motor dengan sel saraf sensori atau berhubungan dengan sel saraf
lainnya yang ada di dalam sistem saraf pusat. Sel saraf intermediet
menerima impuls dari reseptor sensori atau sel saraf asosiasi lainnya.
Otak dan sumsum tulang belakang mempunyai 3 materi esensial yaitu: 1. badan
sel yang membentuk bagian materi kelabu (substansi grissea) 2. serabut saraf
yang membentuk bagian materi putih (substansi alba) 3. sel-sel neuroglia, yaitu
jaringan ikat yang terletak di antara sel-sel saraf di dalam sistem saraf pusat
Walaupun otak dan sumsum tulang belakang mempunyai materi sama tetapi
susunannya berbeda. Pada otak, materi kelabu terletak di bagian luar atau kulitnya
(korteks) dan bagian putih terletak di tengah. Pada sumsum tulang belakang
bagian tengah berupa materi kelabu berbentuk kupu-kupu, sedangkan bagian
korteks berupa materi putih.
1) Otak
Otak mempunyai lima bagian utama, yaitu: otak besar (serebrum), otak tengah
(mesensefalon), otak kecil (serebelum), sumsum sambung (medulla oblongata), dan
jembatan varol.
a) Otak besar (serebrum)
Otak besar mempunyai fungsi dalam pengaturan semua aktifitas
mental, yaitu yang berkaitan dengan kepandaian (intelegensi), ingatan
(memori), kesadaran, dan pertimbangan. Otak besar merupakan sumber
dari semua kegiatan/gerakan sadar atau sesuai dengan kehendak, walaupun
ada juga beberapa gerakan refleks otak.
Pada bagian korteks serebrum yang berwarna kelabu terdapat bagian
penerima rangsang (area sensor) yang terletak di sebelah belakang area
motor yang berfungsi mengatur gerakan sadar atau merespon rangsangan.
Selain itu terdapat area asosiasi yang menghubungkan area motor dan
sensorik. Area ini berperan dalam proses belajar, menyimpan ingatan,
membuat kesimpulan, dan belajar berbagai bahasa.
Di sekitar kedua area tersebut adalah bagian yang mengatur kegiatan
psikologi yang lebih tinggi. Misalnya bagian depan merupakan pusat
proses berfikir (yaitu mengingat, analisis, berbicara, kreativitas) dan
emosi. Pusat penglihatan terdapat di bagian belakang.
2) Otak tengah (mesensefalon)
Otak tengah terletak di depan otak kecil dan jembatan varol. Di depan otak
tengah terdapat talamus dan kelenjar hipofisis yang mengatur kerja kelenjar-
kelenjar endokrin. Bagian atas (dorsal) otak tengah merupakan lobus optikus
yang mengatur refleks mata seperti penyempitan pupil mata, dan juga
merupakan pusat pendengaran.
3) Otak kecil (serebelum)
Serebelum mempunyai fungsi utama dalam koordinasi gerakan otot yang
terjadi secara sadar, keseimbangan, dan posisi tubuh. Bila ada rangsangan
yang merugikan atau berbahaya maka gerakan sadar yang normal tidak
mungkin dilaksanakan.
4) Jembatan varol (pons varoli)
Jembatan varol berisi serabut saraf yang menghubungkan otak kecil bagian
kiri dan kanan, juga menghubungkan otak besar dan sumsum tulang belakang.
5) Sumsum sambung (medulla oblongata)
Sumsum sambung berfungsi menghantar impuls yang datang dari medula
spinalis menuju ke otak. Sumsum sambung juga mempengaruhi
jembatan, refleks fisiologi seperti detak jantung, tekanan darah, volume dan
kecepatan respirasi, gerak alat pencernaan, dan sekresi kelenjar pencernaan.
Selain itu, sumsum sambung juga mengatur gerak refleks yang lain seperti
bersin, batuk, dan berkedip.
6) Sumsum tulang belakang (medulla spinalis)
Pada penampang melintang sumsum tulang belakang tampak bagian luar
berwarna putih, sedangkan bagian dalam berbentuk kupu-kupu dan berwarna
kelabu. Pada penampang melintang sumsum tulang belakang ada bagian
seperti sayap yang terbagi atas sayap atas disebut tanduk dorsal dan sayap
bawah disebut tanduk ventral. Impuls sensori dari reseptor dihantar masuk ke
sumsum tulang belakang melalui tanduk dorsal dan impuls motor keluar dari
sumsum tulang belakang melalui tanduk ventral menuju efektor. Pada tanduk
dorsal terdapat badan sel saraf penghubung (asosiasi konektor) yang akan
menerima impuls dari sel saraf sensori dan akan menghantarkannya ke saraf
motor.
Pada bagian putih terdapat serabut saraf asosiasi. Kumpulan serabut saraf
membentuk saraf (urat saraf). Urat saraf yang membawa impuls ke otak
merupakan saluran ascenden dan yang membawa impuls yang berupa perintah
dari otak merupakan saluran descenden.
C. Etiologi
Etilogi epilepsy ada beberapa, yaitu: structural, genetic, infeksi, metabolic, imunitas,
dan tidak diketahui. Pasien epilepsy bisa diklasifikasikan lebih dari satu kategori
etiologi (Scheffer et al.,2017)
a. Structural
Konsep dari etiologi structural adalah bahwa kelainan structural yang secara
substansial meningkatkan risiko terkait dengan epilepsy berdasarkan rancangan
studi yang tepat. Etiologi structural mungkin diperoleh (acquired), seperti stroke,
trauma, infeksi, atau genetic seperti banyak malformasi pada perkembangan
kortikal.
b. Genetic
Konsep dari genetic epilepsy adalah bahwa epilepsy hasil secara langsung yang
diketahui atau diduga dari mutasi genetic, gejala inti dari gangguan ini adalah
kejang. Epilepsy yang melibatkan etiologi genetic cukup beragam, pada beberapa
kasus, gen yang mendasarinya belum diketahui (Scheffer et al.,2017)
Etiologi genetic tidak mengecualikan kontribusi lingkungan. Diterima dengan
baik bahwa faktor lingkungan berkontribusi pada kejang, sebagai contoh, banyak
individu dengan epilepsy lebih mungkin untuk memiliki kejang dengan kurang
tidur, stress, dan sakit. Etiologi genetic mengacu pada varian pathogen (mutasi
efek yang signifikan dalam menyebabkan epepsi pada individu (Scheffer et al.,
2017)
c. Infeksi
Etiologi yang paling umum diseluruh dunia adalah epilepso terjadi sebagai akibat
dari infeksi. Konsep dari etiologi infeksi adalah epilepsy terjadi sebagai hasil
secara langsung dari infeksi yang diketahui bahwa kejang adalah gejala utama dari
gangguan tersebut. Contoh umum di wilaya spesifik di dunia termasuk
neurocysticercosis, tuberculosis, HIV, cerebral malaria, subacute sclerosing
panencephalitis, cerebral toxoplasmosis, dan infeksi kongenital seperti zika dan
cytomegalovirus. Etiologi infeksi mungkin mengacu pada perkembangan menjadi
epilepsy pasca infeksi, seperti ensefalitis viral menyebabkan kejang akibat dari
infeksi akut (Scheffer et al., 2017)
d. Metabolic
berbagai gangguan metabolism dikaitkan dengan epilepsy. Konsep dari epilepsy
metabolic adalah epilepsy terjadi sebagai hasil langsung yang diketahui dan
diduga dari gangguan metabolic dengan kejang adalah gejala utama dari gangguan
tersebut. Penyebab metabolic mengacu pada digambarkan dengan baik defek
metabolic dengan menifestasi atau perubahan biokimia di seluruh tubuh seperti
porfiria, dan uremia. Kemungkinan besar epilepsy metabolic memiliki dasar
genetic, tetapi sebagian mungkin diperoleh defisiensi serebral folat. Identifikasi
spesifik metabolic yang menyebabkan epilepsy sangatlah penting untuk terapi
spesifik dan pencegahaan penurunan intelektual (Scheffer et al., 2017)
e. imunitas
konsep dari imunitas epilepsy adalah epilepsy merupakan hasil langsung dari
ganggian imunitas dengan kejang merupakan gejala utama dari gangguan tersebut.
Etiologi imunitas bisa dikonsepkan adanya bukti autoimun memediasi inflamasi
sistem saraf pusat (Scheffer et al., 2017)
f. tidak diketahui
penyebab etiologi belum diketahui. Pada kategori ini belum mungkin membuat
diagnosis yang pastis elain dari basis elektroklinikal seminologi (Scheffer et
al.,2017)
D. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta
neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas
listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps
terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit
ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat
merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan
terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga
sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium
ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk
ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang
mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis
kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik
atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan
tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar
bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak
memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun
dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam
gama-aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas
neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan
listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah
otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama
karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh
berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan
struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan
fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus
kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter
fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
E. Tanda Gejala
1. gejala kejang yang spesifik akan tergantung pada macam kejangnya. Jenis kejang
dapat bervariasi antara pasien, namun cenderung serupa
2. kejang komplek parsial dapat termasuk gambaran somatosensory atau motor fokal
3. kejang komplek parsial dikaitkan dengan perubahan kesadaran
4. ketiadaan kejang dapat tampak relative ringan, dengan periode perubahan
kesadaran hanya sangat singkat (detik)
5. kejang tonik klonik umum merupakan episode konvulsif utama dan selalu
dikaitkan dengan kehilangan kesadaran
Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, Kejang pada epilepsy dibagi menjadi:
1. kejang umum (generakized seizure): jika aktivasi terjadi pada kedua hemister otak
secara Bersama-sama. Kejang umum terbagi atas:
a. tonic-clonic convulsion (grand mal)
merupakan bentuk paling banyak terjadi pasien tiba tiba jatuh, kejang, nafas
terengah engah, keluar air liur, bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit
lidah terjadi beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit
kepala
b. abscense attacks/lena (petit mal)
jenis yang jarang umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal
remaja penderita tiba-tiba melotot, atau maanya berkedip-kedip, dengan
kepala terkulai kejadiannya Cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak
disadari.
c. myoclonic seizure
biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien mengalami
sentakan yang tiba-tiba. Jenis yang sama ( tapi non-epileptik) bisa terjadi pada
pasien normal.
d. atonic seizure
jarang terjadi pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot jatuh, tapi bisa segera
recovered
2. kejang parsial/focal jika dimulai dari daerah tertentu dari otak.kejang parsial
terbagi menjadi
a. simple partial siezures
pasien tidak kehilangan kesadaran terjadi sentakan-sentakan pada bagian
tertentu dari tubuh
b. complex partial seizures
pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali; gerakan mengunyah
meringis, dan lain-lain tanpa kesadaran
F. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum :
Pemeriksaan fisik umum dilakukan untuk mencari tanda-tanda gangguan yang
berkaitan dengan epilepsy, misalnya : trauma kepala, tanda-tanda infeksi, kelainan
kongenital, kelainan pada kulit (neurofakomatosis), lingkar kepala, dan tanda-
tanda keganasan. (PERDOSSI, 2014).
a. Pengkajian Keperawatan
1. Kepala
- Palpasi : raba dan tentukan ada benjolan apa tidak, ada bekas trauma
atau tidak, bentuk ubun-ubung (besar atau tidak)
- Inspeksi : simetris atau tidak, ukur lingkar kepala
2. Kuku
- Inspeksi : catat mengenai warna biru : sianosis
3. Mata
- Inspeksi : pupil (miosis atau midrasis)
4. Hidung
- Inspeksi : simetris atau tidak
5. Telinga
- Inspeksi : daun telinga simetris atau tidak, ukuran, warna
- Palpasi : tekan daun telinga adakah respon nyeri atau tidak serta rasakan
kelunturan kartaliago
6. Mulut dan Faring
- Inspeksi : apakah ada buih pada mulut (bila kondisi pasien tidak sadar),
bagian bibir apakah ada kelainan congential (bibir sumbing) kesimetrisan,
warna pembengkakan, lesi, kelembapan
- Palpasi : pegang dan tekan pelan daerah pipi kemudian rasakan ada
masa atau tumor, oedematau nyeri
7. Leher
- Inspeksi : amati bentuk, warna kulit, jarring perut, kelenjar tiroid dan
kesimetrisan leher dan dari depan belakang dan samping
- Palpasi : kelenjar tiroid
8. Dada
- Inspeksi : bentuk dada dan pergerakan dada kanan dan kiri, adanya
retraksi intrecosta pergerakan paru
- Auskultasi : mengetahui ada atau tidaknya suara tambahan nafas, veskuler,
wheezing, clecies atau ronchi
9. Abdomen
- Inspeksi : bentuk perut secara umum, warna, ada tidaknya retraksi,
benjolan simetrisan, serta ada atau tidaknya asietas
- Auskultasi : mendengarkan bising usus minimal 15x/menit
10. Muskulokelektal
- Isnpeksi : dapat terjadi tremor saat menggerakan anggota tubuh
1. Phenobarbital
Digunakan untuk epilepsi umum dan parsial. Dosis 4-6 mg/kg/hari
terbagi dalam dua dosis (Wijaya et al.,2020). Efek sampingnya adalah
mengantuk, pusing, agresif hiperaktivitas paradoksikal pada anak (IAP, 2014).
2. Phenytoin
Digunakan untuk epilepsi umum dan persial. Dosis 5-7 mg/kg/hari
terbagi dalam dua dosis (Wijaya et al.,2020). Efek sampingnya adalah
hyperplasia gingiva dan hirsutism pada anak-anak dengan penggunaan
jangkapanjang (IAP,2014)
3. Valproic acid
Digunakan untuk epilepsi umum, parsial dan absans. Dosis 15-40
mg/kg/hari terbagi dalam 2-3 dosis (Wijaya et al.,2020). Efek sampingnya
adalah peningkatan berat badan, gangguan kognitif, dan gangguan fungsi hati
(IDAI,2016)
4. Carbamazepine
Digunakan untuk epilepsi persial. Dosis 10-30 mg/kg/hari terbagi dalam
2-3 dosis (Wijaya et al.,2020). Efek sampingnya adalah sakit kepala, diplopia,
penglihatan kabur, kemerahan, gangguan pencernaan, hyponatremia, dan
neutropenia (IAP,2014).
a. Tatalaksana non medikamentosa
1. Diet ketogenic
Jenis diet ketogenik yang digunakan untuk terapi epilepsi yang paling sering
digunakan adalah diet ketogenik yang dikenakan oleh Wilder pada tahun
1921, dengan pemberian lemak jenuh rantai panjang, serta presentase protein
dan karbohidrat yang rendah. Protokol ini terdiri dari lemak dan rasio 4:1
dengan gabungan protein dan karbohidrat.
2. Tindakan bedah
Tindakan bedah saraf dapat dipertimbangkan pada Sebagian kecil penyandang
epilepsi yang tetap megalami kejang meskipun telah mendapat terapi
kombinasi OAE, terdapat kontraindikasi atau gagal dengan diet ketogenic.
Tindakan bedah boleh dilaksanakan jika tidak ada sumber epilepsi lain di luar
area yang direncanakan akan direksi. Tindakan tersebut dapat berupa
pengangkatan area tempat kejang bermula atau pengangkatan lesi yang
menjadi focus epilepsy (IDAI,2016)
H. Pemeriksaan diagnostic
a. Fungsi Lumbar
Fungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di
otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis.
Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi.
Pada anak dengan usia > 18 bulan, fungsi lumbar dilakukan jika tampak
tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan
infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima
terapi antibiotik sebelumnya,gejala meningitis dapat tertutup, karena itu pada
kasus seperti itu fungsi lubar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
b. EEG (elektroensefalogram)
Merupakan pemeriksaan yang mengukur aktivitas listrik di dalam otak.
Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak memiliki resiko.
Elektroda ditempelkan pada kulit kepala untuk mengukur impuls listrik di dalam
otak.
c. EKG (elektrokardiogram)
Dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan irama jantung sebagai akibat
dari tidak adekuatnya aliran darah ke otak, yang bisa menyebabakan seseorang
mengalami pingsan.
d. Pemeriksaan CT scan dan MRI
Dilakukan untuk menilai adanya tumor atau kanker otak, stroke, jaringan
perut dan kerusakan karena cedera kepala.
e. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, darah tepi dan lainnya sesuai indikasi misalnya
kadar gula darah, elektrolit. Pemeriksaan cairan serebrospinalis (bila perlu) untuk
mengetahui tekanan, warna, kejernihan, perdarahan, jumlah sel, hitung jenis sel,
kadar protein, gula NaCl dan pemeriksaan lain atas indikasi.
f. Pemeriksaan Radiologis
Foto tengkorak untuk mengetahui kelainan tulang tengkorak, destruksi tulang,
klasifikasi intrakranium yang abnormal, tanda peninggian TIK seperti pelebaran
sutura, erosi sela tursika dan sebagainya.
g. Arteriografi
Untuk mengetahui pembuluh darah di otak : anomali pembuluh darah otak,
penyumbatan, neoplasma/hematoma/abses.
I. Analisa data
Risiko Cedera
2. DS : Kejang Hipertermia
Ibu pasien mengatakan anaknya
demam Singkat < 15 menit
DO : Hiperkapni
- Pasien gelisah
- Akral teraba hangat Demam meningkat
- Suhu : 38,2° C
TD : 120/90 mmHg Hipertermia
Nadi : 100 x/menit
RR : 30 x/menit
DO : Metabolisme meningkat
- Nafas pendek
- Takipnea Evaporesis
- Sianosis
- Suhu : 38,2° C Hipotensi
TD : 120/90 mmHg
Nadi : 100 x/menit Syok
RR : 30 x/menit
Risiko perfusi perifer tidak efektif
J. Diagnosa keperawatan
1. Risiko Cedera
2. Hipertermia
3. Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif
4. Risiko Perfusi Perifer Tidak Efektif
K. Intervensi
Edukasi
- Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
bronkodilator, bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika
perlu
4. Risiko Setelah dilakukan tindaka Pencegahan Syok - Untuk mengetahui status
Perfusi keperawatan selama 3x24 Observasi kardiopulmonal
Perifer Tidak diharapkan perfusi perifer - Monitor status - Untuk mengetahui status
Efektif meningkat dengan kardiopulmonal (frekuensi dan oksigenasi
Kriteria hasil : kekuatan nadi, frekuensi nafas, - Untuk mengetahui status
- Kekuatan nadi meningkat TD, MAP) cairan
- Warna kulit pucat - Monitor status oksigenasi - Untuk mengetahui tingkat
menurun (oksimetri nadi, AGD) kesadaran dan respon pupil
- Pengisian kapiler - Monitor status cairan - Untuk mengetahui jika ada
membaik (masukan dan haluaran, turgor riawayat alergi
- Akral membaik kulit, CRT) - Agar klien dapat
- Turgor kulit membaik -Monitor tingkat kesadaran dan memenuhi kebutuhan
respon pupil pernapasannya
- Pemeriksaan riwayat alergi
Terapeutik
- Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi
oksigen > 94%
- Lakukanskin test untuk
mencegah reaksi alergi
Edukasi
- Jelaskan penyebab/factor
resiko syok
- Jelaskan tanda dan gejala
awal syok
- Anjurkan melapor jika
menemukan/merasakan tanda
dan gejala awal syok
- Anjurkan memperbanyak
asupan oral
- Anjurkan menghindari alergi
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian IV,
jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Fisher, R. S., Acevedo, C., Arzimanoglou, A., Bogacz., A., Cross, J. H., Elger, C. E.,
Junior, J. E., Forsgren, L., French, J. A., Glynn, M., Hesdorffer, D. C., Lee, B. I.,
Marthern, G. W., Moshe, S. L., Perucca, E., Scheffer, I. E., Tomson, T., Watanabe, M, &
Wiebe, S. 2014, ‘A practical clinical definition of epillepsy’, Epilepsia, vol. 55, no. 4, pp.
475-482.
Fuadi, Bahtera, T, & Wijayahadi, N. 2010, ‘Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam
pada Anak’, Sari Pediatri, vol. 12, no. 3, pp. 142-149.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2016. Rekomendasi Penatalaksaan Kejang
Demam, Isamael, S., Pusponegoro, H. D., Widodo, D. P., Mangunatmadja, I. &
Handryasturi, S. (ed), Badan penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2016, Epilepsi pada Anak, Mangunatmadja, I.,
Handryastuti. S. & Risan N. M. (ed), Badan penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jakarta.
PPNI, tim pokja S. D. (2017) Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. 1 nd edn. Jakarta
Selatan: PPNI
PPNI, tim pokja S. D. (2018) Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. 2 nd edn. Jakarta
Selatan: PPNI
2nd
PPNI, tim pokja S. D. (no date) Standar Luaran Keperawatan Indonesia. edn. Jakarta
Selatan: PPNI