Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

EPILEPSI PADA ANAK

(Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Pencapaian Stase Keperawatan Anak)

OLEH:

Gebby Shantya Rahma Yanti 1490123143

Gevin Tabaru 1490123117

Gilbert Jose Tomasoa 1490123092

PROGRAM STUDI PROFESI NERS XXXI

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN

INSTITUT KESEHATAN IMMANUEL BANDUNG

2023
A. Definisi

Epilepsi merupakan penyakit syarat yang ditandai dengan episode kejang dapat
disertai hilangnya kesadaran (kristanto, 2017). Berdasarkan internasional league against
epilepsy (ILAE) pada tahun 2005, epilepsy yang didefinisikan secara konseptual
merupakan kelainan otak dengan ditandai kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan
epileptic secara terus menerus dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, dan sosial
dari kondisi ini (Fisher et al.,2014)

B. Anatomi fisiologi
Sistem saraf tersusun oleh berjuta-juta sel saraf yang mempunyai bentuk
bervariasi. Sistem ini meliputi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Dalam
kegiatannya, saraf mempunyai hubungan kerja seperti mata rantai (berurutan) antara
reseptor dan efektor. Reseptor adalah satu atau sekelompok sel saraf dan sel lainnya
yang berfungsi mengenali rangsangan tertentu yang berasal dari luar atau dari dalam
tubuh. Efektor adalah sel atau organ yang menghasilkan tanggapan terhadap
rangsangan. Contohnya otot dan kelenjar
a) Sel Saraf
Sistem saraf terdiri dari jutaan sel saraf (neuron). Fungsi sel saraf adalah
mengirimkan pesan (impuls) yang berupa rangsang atau tanggapan.
b) Struktur Sel Saraf
Setiap neuron terdiri dari satu badan sel yang di dalamnya terdapat
sitoplasma dan inti sel. Dari badan sel keluar dua macam serabut saraf, yaitu
dendrit dan akson (neurit). Dendrit berfungsi mengirimkan impuls ke badan sel
saraf, sedangkan akson berfungsi mengirimkan impuls dari badan sel ke jaringan
lain. Akson biasanya sangat panjang. Sebaliknya, dendrit pendek.

Setiap neuron hanya mempunyai satu akson dan minimal satu dendrit.
Kedua serabut saraf ini berisi plasma sel. Pada bagian luar akson terdapat
lapisan lemak disebut mielin yang merupakan kumpulan sel Schwann yang
menempel pada akson. Sel Schwann adalah sel ganglia yang membentuk
selubung lemak di seluruh serabut saraf mielin. Membran plasma sel Schwann
disebut neurilemma. Fungsi mielin adalah melindungi akson dan memberi
nutrisi. Bagian dari akson yang tidak terbungkus mielin disebut nodus
Ranvier, yang berfungsi mempercepat penghantaran impuls.
Berdasarkan struktur dan fungsinya, sel saraf dapat dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu sel saraf sensori, sel saraf motor, dan sel saraf intermediet
(asosiasi).
a) Sel saraf sensori
Fungsi sel saraf sensori adalah menghantar impuls dari reseptor ke sistem
saraf pusat, yaitu otak (ensefalon) dan sumsum belakang (medula
spinalis). Ujung akson dari saraf sensori berhubungan dengan saraf
asosiasi (intermediet).
b) Sel saraf motor
Fungsi sel saraf motor adalah mengirim impuls dari sistem saraf pusat ke
otot atau kelenjar yang hasilnya berupa tanggapan tubuh terhadap
rangsangan. Badan sel saraf motor berada di sistem saraf pusat.
Dendritnya sangat pendek berhubungan dengan akson saraf asosiasi,
sedangkan aksonnya dapat sangat panjang.
c) Sel saraf intermediet
Sel saraf intermediet disebut juga sel saraf asosiasi. Sel ini dapat
ditemukan di dalam sistem saraf pusat dan berfungsi menghubungkan sel
saraf motor dengan sel saraf sensori atau berhubungan dengan sel saraf
lainnya yang ada di dalam sistem saraf pusat. Sel saraf intermediet
menerima impuls dari reseptor sensori atau sel saraf asosiasi lainnya.

Kelompok-kelompok serabut saraf, akson dan dendrit bergabung dalam satu


selubung dan membentuk urat saraf. Sedangkan badan sel saraf berkumpul
membentuk ganglion atau simpul saraf.

a. Sistem Saraf Pusat


Sistem saraf pusat meliputi otak (ensefalon) dan sum-sum tulang
belakang (Medula spinalis). Keduanya merupakan organ yang sangat lunak,
dengan fungsi yang sangat penting maka perlu perlindungan. Selain tengkorak dan
ruas-ruas tulang belakang, otak juga dilindungi 3 lapisan selaput meninges. Bila
membran ini terkena infeksi maka akan terjadi radang yang disebut meningitis.
Ketiga lapisan membran meninges dari luar ke dalam adalah sebagai berikut :
1) Durameter: merupakan selaput yang kuat dan bersatu dengan tengkorak
2) Araknoid: disebut demikian karena bentuknya seperti sarang laba-laba.
Di dalamnya terdapat cairan serebrospinalis; semacam cairan limfa yang
mengisi sela-sela membran araknoid. Fungsi selaput araknoid adalah sebagai
bantalan untuk melindungi otak dari bahaya kerusakan mekanik.
3) Piameter: Lapisan ini penuh dengan pembuluh darah dan sangat dekat
dengan permukaan otak. Lapisan ini berfungsi untuk memberi oksigen dan
nutrisi serta mengangkut bahan sisa metabolisme.

Otak dan sumsum tulang belakang mempunyai 3 materi esensial yaitu: 1. badan
sel yang membentuk bagian materi kelabu (substansi grissea) 2. serabut saraf
yang membentuk bagian materi putih (substansi alba) 3. sel-sel neuroglia, yaitu
jaringan ikat yang terletak di antara sel-sel saraf di dalam sistem saraf pusat
Walaupun otak dan sumsum tulang belakang mempunyai materi sama tetapi
susunannya berbeda. Pada otak, materi kelabu terletak di bagian luar atau kulitnya
(korteks) dan bagian putih terletak di tengah. Pada sumsum tulang belakang
bagian tengah berupa materi kelabu berbentuk kupu-kupu, sedangkan bagian
korteks berupa materi putih.
1) Otak
Otak mempunyai lima bagian utama, yaitu: otak besar (serebrum), otak tengah
(mesensefalon), otak kecil (serebelum), sumsum sambung (medulla oblongata), dan
jembatan varol.
a) Otak besar (serebrum)
Otak besar mempunyai fungsi dalam pengaturan semua aktifitas
mental, yaitu yang berkaitan dengan kepandaian (intelegensi), ingatan
(memori), kesadaran, dan pertimbangan. Otak besar merupakan sumber
dari semua kegiatan/gerakan sadar atau sesuai dengan kehendak, walaupun
ada juga beberapa gerakan refleks otak.
Pada bagian korteks serebrum yang berwarna kelabu terdapat bagian
penerima rangsang (area sensor) yang terletak di sebelah belakang area
motor yang berfungsi mengatur gerakan sadar atau merespon rangsangan.
Selain itu terdapat area asosiasi yang menghubungkan area motor dan
sensorik. Area ini berperan dalam proses belajar, menyimpan ingatan,
membuat kesimpulan, dan belajar berbagai bahasa.
Di sekitar kedua area tersebut adalah bagian yang mengatur kegiatan
psikologi yang lebih tinggi. Misalnya bagian depan merupakan pusat
proses berfikir (yaitu mengingat, analisis, berbicara, kreativitas) dan
emosi. Pusat penglihatan terdapat di bagian belakang.
2) Otak tengah (mesensefalon)
Otak tengah terletak di depan otak kecil dan jembatan varol. Di depan otak
tengah terdapat talamus dan kelenjar hipofisis yang mengatur kerja kelenjar-
kelenjar endokrin. Bagian atas (dorsal) otak tengah merupakan lobus optikus
yang mengatur refleks mata seperti penyempitan pupil mata, dan juga
merupakan pusat pendengaran.
3) Otak kecil (serebelum)
Serebelum mempunyai fungsi utama dalam koordinasi gerakan otot yang
terjadi secara sadar, keseimbangan, dan posisi tubuh. Bila ada rangsangan
yang merugikan atau berbahaya maka gerakan sadar yang normal tidak
mungkin dilaksanakan.
4) Jembatan varol (pons varoli)
Jembatan varol berisi serabut saraf yang menghubungkan otak kecil bagian
kiri dan kanan, juga menghubungkan otak besar dan sumsum tulang belakang.
5) Sumsum sambung (medulla oblongata)
Sumsum sambung berfungsi menghantar impuls yang datang dari medula
spinalis menuju ke otak. Sumsum sambung juga mempengaruhi
jembatan, refleks fisiologi seperti detak jantung, tekanan darah, volume dan
kecepatan respirasi, gerak alat pencernaan, dan sekresi kelenjar pencernaan.
Selain itu, sumsum sambung juga mengatur gerak refleks yang lain seperti
bersin, batuk, dan berkedip.
6) Sumsum tulang belakang (medulla spinalis)
Pada penampang melintang sumsum tulang belakang tampak bagian luar
berwarna putih, sedangkan bagian dalam berbentuk kupu-kupu dan berwarna
kelabu. Pada penampang melintang sumsum tulang belakang ada bagian
seperti sayap yang terbagi atas sayap atas disebut tanduk dorsal dan sayap
bawah disebut tanduk ventral. Impuls sensori dari reseptor dihantar masuk ke
sumsum tulang belakang melalui tanduk dorsal dan impuls motor keluar dari
sumsum tulang belakang melalui tanduk ventral menuju efektor. Pada tanduk
dorsal terdapat badan sel saraf penghubung (asosiasi konektor) yang akan
menerima impuls dari sel saraf sensori dan akan menghantarkannya ke saraf
motor.
Pada bagian putih terdapat serabut saraf asosiasi. Kumpulan serabut saraf
membentuk saraf (urat saraf). Urat saraf yang membawa impuls ke otak
merupakan saluran ascenden dan yang membawa impuls yang berupa perintah
dari otak merupakan saluran descenden.

b. Sistem Saraf Tepi


Sistem saraf tepi terdiri dari sistem saraf sadar dan sistem saraf tak sadar
(sistem saraf otonom). Sistem saraf sadar mengontrol aktivitas yang kerjanya
diatur oleh otak, sedangkan saraf otonom mengontrol aktivitas yang tidak dapat
diatur otak antara lain denyut jantung, gerak saluran pencernaan, dan sekresi
keringat.
1) Sistem Saraf Sadar
Sistem saraf sadar disusun oleh saraf otak (saraf kranial), yaitu saraf-saraf
yang keluar dari otak, dan saraf sumsum tulang belakang, yaitu saraf-saraf
yang keluar dari sumsum tulang belakang. Saraf otak ada 12 pasang yang
terdiri dari :
a) Tiga pasang saraf sensori, yaitu saraf nomor 1, 2, dan 8
b) lima pasang saraf motor, yaitu saraf nomor 3, 4, 6, 11, dan 12
c) empat pasang saraf gabungan sensori dan motor, yaitu saraf nomor 5, 7, 9,
dan 10.
Saraf sumsum tulang belakang berjumlah 31 pasang saraf gabungan.
Berdasarkan asalnya, saraf sumsum tulang belakang dibedakan atas 8 pasang
saraf leher, 12 pasang saraf punggung, 5 pasang saraf pinggang, 5 pasang saraf
pinggul, dan satu pasang saraf ekor.
Beberapa urat saraf bersatu membentuk jaringan urat saraf yang
disebut pleksus. Ada 3 buah pleksus yaitu sebagai berikut.
a) Pleksus cervicalis merupakan gabungan urat saraf leher yang
mempengaruhi bagian leher, bahu, dan diafragma.
b) Pleksus brachialis mempengaruhi bagian tangan.
c) Pleksus Jumbo sakralis yang mempengaruhi bagian pinggul dan kaki.
2) Saraf Otonom
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak
maupun dari sumsum tulang belakang dan menuju organ yang bersangkutan.
Dalam sistem ini terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur membentuk
sinapsis yang kompleks dan juga membentuk ganglion. Urat saraf yang
terdapat pada pangkal ganglion disebut urat saraf pra ganglion dan yang
berada pada ujung ganglion disebut urat saraf post ganglion.
Sistem saraf otonom dapat dibagi atas sistem saraf simpatik dan sistem
saraf parasimpatik. Perbedaan struktur antara saraf simpatik dan parasimpatik
terletak pada posisi ganglion. Saraf simpatik mempunyai ganglion yang
terletak di sepanjang tulang belakang menempel pada sumsum tulang
belakang sehingga mempunyai urat pra ganglion pendek, sedangkan saraf
parasimpatik mempunyai urat pra ganglion yangpanjang karena ganglion
menempel pada organ yang dibantu.
Fungsi sistem saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan
(antagonis). Sistem saraf parasimpatik terdiri dari keseluruhan "nervus vagus"
bersama cabang-cabangnya ditambah dengan beberapa saraf otak lain dan
saraf sumsum sambung.

c. Mekanisme Penghantar Impuls


Impuls dapat dihantarkan melalui beberapa cara, di antaranya melalui sel saraf
dan sinapsis. Berikut ini akan dibahas secara rinci kedua cara tersebut :
1) Penghantaran Impuls Melalui Sel Saraf
Penghantaran impuls baik yang berupa rangsangan ataupun tanggapan
melalui serabut saraf (akson) dapat terjadi karena adanya perbedaan potensial
listrik antara bagian luar dan bagian dalam sel. Pada waktu sel saraf
beristirahat, kutub positif terdapat di bagian luar dan kutub negatif terdapat di
bagian dalam sel saraf. Diperkirakan bahwa rangsangan (stimulus) pada indra
menyebabkan terjadinya pembalikan perbedaan potensial listrik sesaat.
Perubahan potensial ini (depolarisasi) terjadi berurutan sepanjang serabut
saraf. Kecepatan perjalanan gelombang perbedaan potensial bervariasi antara
1 sampai dengan 120 m per detik, tergantung pada diameter akson dan ada
atau tidaknya selubung mielin.
Bila impuls telah lewat maka untuk sementara serabut saraf tidak dapat
dilalui oleh impuls, karena terjadi perubahan potensial kembali seperti semula
(potensial istirahat). Untuk dapat berfungsi kembali diperlukan
waktu 1/500 sampai 1/1000 detik. Energi yang digunakan berasal dari hasil
penapasan sel yang dilakukan oleh mitokondria dalam sel saraf.
Stimulasi yang kurang kuat atau di bawah ambang (threshold) tidak akan
menghasilkan impuls yang dapat merubah potensial listrik. Tetapi bila
kekuatannya di atas ambang maka impuls akan dihantarkan sampai ke ujung
akson. Stimulasi yang kuat dapat menimbulkan jumlah impuls yang lebih
besar pada periode waktu tertentu daripada impuls yang lemah.

2) Penghantaran Impuls Melalui Sinapsis


Titik temu antara terminal akson salah satu neuron dengan neuron lain
dinamakan sinapsis. Setiap terminal akson membengkak membentuk tonjolan
sinapsis. Di dalam sitoplasma tonjolan sinapsis terdapat struktur kumpulan
membran kecil berisi neurotransmitter yang disebut vesikula sinapsis. Neuron
yang berakhir pada tonjolan sinapsis disebut neuron pra-sinapsis. Membran
ujung dendrit dari sel berikutnya yang membentuk sinapsis disebut post-
sinapsis. Bila impuls sampai pada ujung neuron, maka vesikula bergerak dan
melebur dengan membran pra-sinapsis. Kemudian vesikula akan
melepaskan neurotransmitter berupa asetilkolin.
Neurontransmitter adalah suatu zat kimia yang dapat menyeberangkan
impuls dari neuron pra-sinapsis ke post-sinapsis. Neurontransmitter ada
bermacam-macam misalnya asetilkolin yang terdapat di seluruh tubuh,
noradrenalin terdapat di sistem saraf simpatik, dan dopamin serta serotonin
yang terdapat di otak. Asetilkolin kemudian berdifusi melewati celah sinapsis
dan menempel pada reseptor yang terdapat pada membran post-sinapsis.
Penempelan asetilkolin pada reseptor menimbulkan impuls pada sel saraf
berikutnya. Bila asetilkolin sudah melaksanakan tugasnya maka akan
diuraikan oleh enzim asetilkolinesterase yang dihasilkan oleh membran post-
sinapsis.

d. Terjadinya Gerak Biasa dan Gerak Refleks


Gerak merupakan pola koordinasi yang sangat sederhana untuk menjelaskan
penghantaran impuls oleh saraf. Gerak pada umumnya terjadi secara sadar,
namun, ada pula gerak yang terjadi tanpa disadari yaitu gerak refleks. Impuls pada
gerakan sadar melalui jalan panjang, yaitu dari reseptor, ke saraf sensori, dibawa
ke otak untuk selanjutnya diolah oleh otak, kemudian hasil olahan oleh otak,
berupa tanggapan, dibawa oleh saraf motor sebagai perintah yang harus
dilaksanakan oleh efektor.
Gerak refleks berjalan sangat cepat dan tanggapan terjadi secara otomatis
terhadap rangsangan, tanpa memerlukan kontrol dari otak. Jadi dapat dikatakan
gerakan terjadi tanpa dipengaruhi kehendak atau tanpa disadari terlebih dahulu.
Contoh gerak refleks misalnya berkedip, bersin, atau batuk.
Pada gerak refleks, impuls melalui jalan pendek atau jalan pintas, yaitu
dimulai dari reseptor penerima rangsang, kemudian diteruskan oleh saraf sensori
ke pusat saraf, diterima oleh set saraf penghubung (asosiasi) tanpa diolah di dalam
otak langsung dikirim tanggapan ke saraf motor untuk disampaikan ke efektor,
yaitu otot atau kelenjar. Jalan pintas ini disebut lengkung refleks.
Gerak refleks dapat dibedakan atas refleks otak bila saraf penghubung
(asosiasi) berada di dalam otak, misalnya, gerak mengedip atau mempersempit
pupil bila ada sinar dan refleks sumsum tulang belakang bila set saraf penghubung
berada di dalam sumsum tulang belakang misalnya refleks pada lutut.

C. Etiologi

Etilogi epilepsy ada beberapa, yaitu: structural, genetic, infeksi, metabolic, imunitas,
dan tidak diketahui. Pasien epilepsy bisa diklasifikasikan lebih dari satu kategori
etiologi (Scheffer et al.,2017)
a. Structural
Konsep dari etiologi structural adalah bahwa kelainan structural yang secara
substansial meningkatkan risiko terkait dengan epilepsy berdasarkan rancangan
studi yang tepat. Etiologi structural mungkin diperoleh (acquired), seperti stroke,
trauma, infeksi, atau genetic seperti banyak malformasi pada perkembangan
kortikal.
b. Genetic
Konsep dari genetic epilepsy adalah bahwa epilepsy hasil secara langsung yang
diketahui atau diduga dari mutasi genetic, gejala inti dari gangguan ini adalah
kejang. Epilepsy yang melibatkan etiologi genetic cukup beragam, pada beberapa
kasus, gen yang mendasarinya belum diketahui (Scheffer et al.,2017)
Etiologi genetic tidak mengecualikan kontribusi lingkungan. Diterima dengan
baik bahwa faktor lingkungan berkontribusi pada kejang, sebagai contoh, banyak
individu dengan epilepsy lebih mungkin untuk memiliki kejang dengan kurang
tidur, stress, dan sakit. Etiologi genetic mengacu pada varian pathogen (mutasi
efek yang signifikan dalam menyebabkan epepsi pada individu (Scheffer et al.,
2017)
c. Infeksi
Etiologi yang paling umum diseluruh dunia adalah epilepso terjadi sebagai akibat
dari infeksi. Konsep dari etiologi infeksi adalah epilepsy terjadi sebagai hasil
secara langsung dari infeksi yang diketahui bahwa kejang adalah gejala utama dari
gangguan tersebut. Contoh umum di wilaya spesifik di dunia termasuk
neurocysticercosis, tuberculosis, HIV, cerebral malaria, subacute sclerosing
panencephalitis, cerebral toxoplasmosis, dan infeksi kongenital seperti zika dan
cytomegalovirus. Etiologi infeksi mungkin mengacu pada perkembangan menjadi
epilepsy pasca infeksi, seperti ensefalitis viral menyebabkan kejang akibat dari
infeksi akut (Scheffer et al., 2017)

d. Metabolic
berbagai gangguan metabolism dikaitkan dengan epilepsy. Konsep dari epilepsy
metabolic adalah epilepsy terjadi sebagai hasil langsung yang diketahui dan
diduga dari gangguan metabolic dengan kejang adalah gejala utama dari gangguan
tersebut. Penyebab metabolic mengacu pada digambarkan dengan baik defek
metabolic dengan menifestasi atau perubahan biokimia di seluruh tubuh seperti
porfiria, dan uremia. Kemungkinan besar epilepsy metabolic memiliki dasar
genetic, tetapi sebagian mungkin diperoleh defisiensi serebral folat. Identifikasi
spesifik metabolic yang menyebabkan epilepsy sangatlah penting untuk terapi
spesifik dan pencegahaan penurunan intelektual (Scheffer et al., 2017)
e. imunitas
konsep dari imunitas epilepsy adalah epilepsy merupakan hasil langsung dari
ganggian imunitas dengan kejang merupakan gejala utama dari gangguan tersebut.
Etiologi imunitas bisa dikonsepkan adanya bukti autoimun memediasi inflamasi
sistem saraf pusat (Scheffer et al., 2017)

f. tidak diketahui
penyebab etiologi belum diketahui. Pada kategori ini belum mungkin membuat
diagnosis yang pastis elain dari basis elektroklinikal seminologi (Scheffer et
al.,2017)

D. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta
neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas
listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps
terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit
ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat
merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan
terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.

Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga
sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium
ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk
ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang
mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis
kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik
atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan
tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar
bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak
memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun
dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam
gama-aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas
neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan
listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah
otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama
karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh
berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan
struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan
fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus
kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter
fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
E. Tanda Gejala
1. gejala kejang yang spesifik akan tergantung pada macam kejangnya. Jenis kejang
dapat bervariasi antara pasien, namun cenderung serupa
2. kejang komplek parsial dapat termasuk gambaran somatosensory atau motor fokal
3. kejang komplek parsial dikaitkan dengan perubahan kesadaran
4. ketiadaan kejang dapat tampak relative ringan, dengan periode perubahan
kesadaran hanya sangat singkat (detik)
5. kejang tonik klonik umum merupakan episode konvulsif utama dan selalu
dikaitkan dengan kehilangan kesadaran

Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, Kejang pada epilepsy dibagi menjadi:

1. kejang umum (generakized seizure): jika aktivasi terjadi pada kedua hemister otak
secara Bersama-sama. Kejang umum terbagi atas:
a. tonic-clonic convulsion (grand mal)
merupakan bentuk paling banyak terjadi pasien tiba tiba jatuh, kejang, nafas
terengah engah, keluar air liur, bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit
lidah terjadi beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit
kepala
b. abscense attacks/lena (petit mal)
jenis yang jarang umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal
remaja penderita tiba-tiba melotot, atau maanya berkedip-kedip, dengan
kepala terkulai kejadiannya Cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak
disadari.
c. myoclonic seizure
biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien mengalami
sentakan yang tiba-tiba. Jenis yang sama ( tapi non-epileptik) bisa terjadi pada
pasien normal.
d. atonic seizure
jarang terjadi pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot jatuh, tapi bisa segera
recovered
2. kejang parsial/focal jika dimulai dari daerah tertentu dari otak.kejang parsial
terbagi menjadi
a. simple partial siezures
pasien tidak kehilangan kesadaran terjadi sentakan-sentakan pada bagian
tertentu dari tubuh
b. complex partial seizures
pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali; gerakan mengunyah
meringis, dan lain-lain tanpa kesadaran

F. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum :
Pemeriksaan fisik umum dilakukan untuk mencari tanda-tanda gangguan yang
berkaitan dengan epilepsy, misalnya : trauma kepala, tanda-tanda infeksi, kelainan
kongenital, kelainan pada kulit (neurofakomatosis), lingkar kepala, dan tanda-
tanda keganasan. (PERDOSSI, 2014).

a. Pengkajian Keperawatan
1. Kepala
- Palpasi : raba dan tentukan ada benjolan apa tidak, ada bekas trauma
atau tidak, bentuk ubun-ubung (besar atau tidak)
- Inspeksi : simetris atau tidak, ukur lingkar kepala
2. Kuku
- Inspeksi : catat mengenai warna biru : sianosis
3. Mata
- Inspeksi : pupil (miosis atau midrasis)
4. Hidung
- Inspeksi : simetris atau tidak
5. Telinga
- Inspeksi : daun telinga simetris atau tidak, ukuran, warna
- Palpasi : tekan daun telinga adakah respon nyeri atau tidak serta rasakan
kelunturan kartaliago
6. Mulut dan Faring
- Inspeksi : apakah ada buih pada mulut (bila kondisi pasien tidak sadar),
bagian bibir apakah ada kelainan congential (bibir sumbing) kesimetrisan,
warna pembengkakan, lesi, kelembapan
- Palpasi : pegang dan tekan pelan daerah pipi kemudian rasakan ada
masa atau tumor, oedematau nyeri
7. Leher
- Inspeksi : amati bentuk, warna kulit, jarring perut, kelenjar tiroid dan
kesimetrisan leher dan dari depan belakang dan samping
- Palpasi : kelenjar tiroid
8. Dada
- Inspeksi : bentuk dada dan pergerakan dada kanan dan kiri, adanya
retraksi intrecosta pergerakan paru
- Auskultasi : mengetahui ada atau tidaknya suara tambahan nafas, veskuler,
wheezing, clecies atau ronchi
9. Abdomen
- Inspeksi : bentuk perut secara umum, warna, ada tidaknya retraksi,
benjolan simetrisan, serta ada atau tidaknya asietas
- Auskultasi : mendengarkan bising usus minimal 15x/menit
10. Muskulokelektal
- Isnpeksi : dapat terjadi tremor saat menggerakan anggota tubuh

G. Penatalaksanaan medis dan keperawatan


a. Terlaksana Mediakamentosa
Prinsip pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan monoterapi lini pertama,
menggunakan OAE sesuai jenis bangkitan : dimulai dari dosis rendah dan
dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. Jika
bangkitan tidak dapat dihentikan dengan OAE lini pertama dosis maksimal,
monoterapi lini kedua dimulai (Wijaya et al. 2020).

1. Phenobarbital
Digunakan untuk epilepsi umum dan parsial. Dosis 4-6 mg/kg/hari
terbagi dalam dua dosis (Wijaya et al.,2020). Efek sampingnya adalah
mengantuk, pusing, agresif hiperaktivitas paradoksikal pada anak (IAP, 2014).
2. Phenytoin
Digunakan untuk epilepsi umum dan persial. Dosis 5-7 mg/kg/hari
terbagi dalam dua dosis (Wijaya et al.,2020). Efek sampingnya adalah
hyperplasia gingiva dan hirsutism pada anak-anak dengan penggunaan
jangkapanjang (IAP,2014)
3. Valproic acid
Digunakan untuk epilepsi umum, parsial dan absans. Dosis 15-40
mg/kg/hari terbagi dalam 2-3 dosis (Wijaya et al.,2020). Efek sampingnya
adalah peningkatan berat badan, gangguan kognitif, dan gangguan fungsi hati
(IDAI,2016)
4. Carbamazepine
Digunakan untuk epilepsi persial. Dosis 10-30 mg/kg/hari terbagi dalam
2-3 dosis (Wijaya et al.,2020). Efek sampingnya adalah sakit kepala, diplopia,
penglihatan kabur, kemerahan, gangguan pencernaan, hyponatremia, dan
neutropenia (IAP,2014).
a. Tatalaksana non medikamentosa
1. Diet ketogenic
Jenis diet ketogenik yang digunakan untuk terapi epilepsi yang paling sering
digunakan adalah diet ketogenik yang dikenakan oleh Wilder pada tahun
1921, dengan pemberian lemak jenuh rantai panjang, serta presentase protein
dan karbohidrat yang rendah. Protokol ini terdiri dari lemak dan rasio 4:1
dengan gabungan protein dan karbohidrat.
2. Tindakan bedah
Tindakan bedah saraf dapat dipertimbangkan pada Sebagian kecil penyandang
epilepsi yang tetap megalami kejang meskipun telah mendapat terapi
kombinasi OAE, terdapat kontraindikasi atau gagal dengan diet ketogenic.
Tindakan bedah boleh dilaksanakan jika tidak ada sumber epilepsi lain di luar
area yang direncanakan akan direksi. Tindakan tersebut dapat berupa
pengangkatan area tempat kejang bermula atau pengangkatan lesi yang
menjadi focus epilepsy (IDAI,2016)

b. Cara menanggulangi kejang epilepsi


Selama Kejang
1. Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonoton yang ingin tahu
2. Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
3. Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendah keras, tajam
atau panas. Jauhkan dari temapt/benda berbahaya.
4. Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk
mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
5. Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara
giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien
melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan
sampai menutupi jalan pernapasannya.
6. Ajarkan penderita untuk mengenali tanda-tanda awal munculnya epilepsi atau
yang biasa disebut “aura”. Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti
perasaan bingung, melayang-layang, tidak focus pada aktvitas, mengantuk,
dan mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika penderita mulai
merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada
saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.
7. Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka
berat, bawah ke Dokter atau Rumah Sakit terdekat.
Setelah Kejang

1. Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi


2. Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi, yakinkan
bahwa jalan napas paten.
3. Biasanya terdapat periode ekonfusi selama atau secara tiba-tiba setelah kejang
4. Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba-tiba setelah kejang
5. Pasien pada saat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
6. Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yang hilang selama kejang
dan biarkan penderita beristirahat
7. Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postictal), coba unutk
menangani situasi dengan pendekatan yang lembut.
8. Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk
pemberian pengobatan oleh Dokter.

H. Pemeriksaan diagnostic
a. Fungsi Lumbar
Fungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di
otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis.
Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi.
Pada anak dengan usia > 18 bulan, fungsi lumbar dilakukan jika tampak
tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan
infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima
terapi antibiotik sebelumnya,gejala meningitis dapat tertutup, karena itu pada
kasus seperti itu fungsi lubar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
b. EEG (elektroensefalogram)
Merupakan pemeriksaan yang mengukur aktivitas listrik di dalam otak.
Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak memiliki resiko.
Elektroda ditempelkan pada kulit kepala untuk mengukur impuls listrik di dalam
otak.
c. EKG (elektrokardiogram)
Dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan irama jantung sebagai akibat
dari tidak adekuatnya aliran darah ke otak, yang bisa menyebabakan seseorang
mengalami pingsan.
d. Pemeriksaan CT scan dan MRI
Dilakukan untuk menilai adanya tumor atau kanker otak, stroke, jaringan
perut dan kerusakan karena cedera kepala.
e. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, darah tepi dan lainnya sesuai indikasi misalnya
kadar gula darah, elektrolit. Pemeriksaan cairan serebrospinalis (bila perlu) untuk
mengetahui tekanan, warna, kejernihan, perdarahan, jumlah sel, hitung jenis sel,
kadar protein, gula NaCl dan pemeriksaan lain atas indikasi.
f. Pemeriksaan Radiologis
Foto tengkorak untuk mengetahui kelainan tulang tengkorak, destruksi tulang,
klasifikasi intrakranium yang abnormal, tanda peninggian TIK seperti pelebaran
sutura, erosi sela tursika dan sebagainya.
g. Arteriografi
Untuk mengetahui pembuluh darah di otak : anomali pembuluh darah otak,
penyumbatan, neoplasma/hematoma/abses.
I. Analisa data

No. Data Etiologi Masalah

1. DS : Demam Risiko Cedera


Ibu pasien mengatakan pada saat
kejang lengan anaknya kaku dan Kebutuhan O2 meningkat sampai
kakinya menendan-nendang 20%

DO : Perubahan difusi Na+ dan K+


- Pasien gelisah
- Mulut berbuih Perubahan beda potensial
- Gigi mengunci membrane sel neuron
- Pasien tampak biru
- Suhu : 38,2° C Pelepasan muatan listrik semakin
TD : 120/90 mmHg meluas ke seluruh sel maupun
Nadi : 100 x/menit membrane sel sekitarnya dengan
RR : 30 x/menit bantuan neurotransiter
- Pasien mengompol
Kejang

Risiko Cedera

2. DS : Kejang Hipertermia
Ibu pasien mengatakan anaknya
demam Singkat < 15 menit

DO : Hiperkapni
- Pasien gelisah
- Akral teraba hangat Demam meningkat
- Suhu : 38,2° C
TD : 120/90 mmHg Hipertermia
Nadi : 100 x/menit
RR : 30 x/menit

3. DS : Kejang Bersihan Jalan Nafas Tidak


Ibu pasien mengatakan anaknya Efektif
sesak napas dan tampak biru > 15 menit

DO : Denyut jantung meningkat


- Pasien gelisah
- Pasien tampak biru (bibir dan Kerusakan neuron otak
wajah)
- Mulut berbuih Gangguan saraf otonom
- Gigi mengunci
- Suhu : 38,2° C Bersihan jalan nafas tidak efektif
TD : 120/90 mmHg
Nadi : 100 x/menit
RR : 30 x/menit

4. DS : Kejang Risiko Perfusi Perifer Tidak


Ibu pasien mengatakan anaknya Efektif
tampak gelisah Kontraksi otot meningkat

DO : Metabolisme meningkat
- Nafas pendek
- Takipnea Evaporesis
- Sianosis
- Suhu : 38,2° C Hipotensi
TD : 120/90 mmHg
Nadi : 100 x/menit Syok
RR : 30 x/menit
Risiko perfusi perifer tidak efektif

J. Diagnosa keperawatan
1. Risiko Cedera
2. Hipertermia
3. Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif
4. Risiko Perfusi Perifer Tidak Efektif
K. Intervensi

No. Diagnosa Tujuan/Kriteria Hasil Intervensi Rasional


Keperawatan
1. Risiko Setelah dilakukan tindakan Manajemen Kejang - Monitor terjadinya kejang
Cedera keperawatan selama 3x24 berulang
jam diharapakn tingkat Observasi - Memonitor karakteristik
cedera menurun dengan - Monitor terjadinya kejang kejang (mis. Aktivitas
Kriteria hasil : berulang motoric, dan progresi
- kejadian cedera menurun - Monitor karakteristik kejang kejang)
- ketegangan otot menurun (mis. Aktivitas motoric, dan - Memonitor status
- ekpresi wajah membaik progresi kejang) neurologis
- kesakitan menurun - Monitor status neurologis - Memonitor tanda-tanda
- frekuensi nadi membaik - Monitor tanda-tanda vital vital
- frekuensi nafas membaik Teraupeutik - Membaringkan pasien agar
- Baringkan pasien agar tidak tidak terjatuh
terjatuh - Memberikan alas empuk
- Berikan alas empuk dibawah dibawah kepala, jika
kepala, jika memungkingkan memungkingkan
- Pertahankan kepatenan jalan - Mertahankan kepatenan
napas jalan napas
- Longgarkan pakaian, - Melonggarkan pakaian,
terutama dibagian leher terutama dibagian leher
- Dampingi selama periode - Mendampingi selama
kejang periode kejang
- Jauhkan benda-benda - Menjauhkan benda-benda
berbahaya terutama benda berbahaya terutama benda
tajam tajam
- Catat durasi kejang - Mencatat durasi kejang
- Reorientasikan selama - Meorientasikan selama
periode kejang periode kejang
- Dokumentasikan periode -Mendokumentasikan
terjadinya kejang periode terjadinya kejang
- Pasang akses IV, jika perlu - Memasang akses IV, jika
- Berikan oksigen, jika perlu perlu
Edukasi - Memberikan oksigen, jika
- Anjurkan kepada keluarga perlu
menghindari memasukkan - Menganjurkan kepada
apapun ke dalam mulut pasien keluarga menghindari
saat periode kejang memasukkan apapun ke
Kolaborasi dalam mulut pasien saat
- Kolaborasi pemberian periode kejang
antikonvulsan, jika perlu - Berkolaborasi pemberian
antikonvulsan, jika perlu
2. Hipertermia Setelah dilakukan tidakan Manajemen Hipertermia - Untuk mengetahui
keperawatan selama 3x24 Observasi penyebab terjadinya
jam diharapkan - Identifikasi penyebab hipertermia
hipertermia dapat menurun hipertermia (mis. dehidrasi, - Untuk mengetahui
dengan terpapar lingkungan panas, kenaikan atau menurun suhu
Kriteria hasil : penggunaan inkubator) tubuh
- Menggigil menurun - Monitor suhu tubuh - Untuk mengetahui volume
- Suhu tubuh membaik - Monitor haluaran urine urine yang keluar
- Suhu kulit membaik - Monitor komplikasi akibat - Untuk mengetahui adanya
- Tekanan darah membaik hipertermia komplikasi akibat
hipertermia
Terapeutik - Untuk memberikan
- Sediakan lingkungan yang lingkungan yang nyaman
dingin bagi pasien hipertermia
- Longgarkan atau lepaskan - Untuk membantu proses
pakaian penurunan suhu tubuh
- Berikan cairan oral - Untuk menurun suhu
tubuh
Edukasi - Untuk memberikan
- Anjurkan tirah baring kenyamanan pasien saat
beristirahat
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian cairan
dan elektrolit intravena, jika
perlu
3. Bersihan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas - Untuk mengetahui apakah
Jalan Nafas keperawatan selama 3x24 Observasi adanya gangguan pada pola
Tidak Efektif jam masalah bersihan jalan - Monitor pola napas napas
nafas teratasi dengan (frekuensi, kedalaman, usaha - Untuk menegtahui apakah
Kriteria hasil : napas) terdapat bunyi napas
- Batuk efektif meningkat - Monitor bunyi napas tambahan
- Produksi sputum tambahan (mis. gurgling, - Untuk mengetahui apakah
menurun mengi, wheezing, ronkhi terdapat perubahan warna
- Dispnea menurun kering) dan aroma pada sputum
- Gelisah menurun - Monitor sputum (jumlah, - Agar kepatenan jalan
- Frekuensi napas warna, aroma) napas tetap terjaga
membaik - Agar pasien tidak terlalu
- Pola napas membaik Terapeutik merasakan sesak yang
- Pertahankan kepatenan jalan dialami
napas dengan head-tlit dan - Untuk mengurangi rasa
chin-lift (jaw-thrust jika curiga sakit yang di rasakan
trauma servikal) - Untuk mengeluakan
- Posisikan semi fowler atau sputum
fowler - Agar dapat diberikan obat
- Lakukan fisioterapi dada bila pernapasan sesuai anjuran
perlu dokter

Edukasi
- Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
bronkodilator, bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika
perlu
4. Risiko Setelah dilakukan tindaka Pencegahan Syok - Untuk mengetahui status
Perfusi keperawatan selama 3x24 Observasi kardiopulmonal
Perifer Tidak diharapkan perfusi perifer - Monitor status - Untuk mengetahui status
Efektif meningkat dengan kardiopulmonal (frekuensi dan oksigenasi
Kriteria hasil : kekuatan nadi, frekuensi nafas, - Untuk mengetahui status
- Kekuatan nadi meningkat TD, MAP) cairan
- Warna kulit pucat - Monitor status oksigenasi - Untuk mengetahui tingkat
menurun (oksimetri nadi, AGD) kesadaran dan respon pupil
- Pengisian kapiler - Monitor status cairan - Untuk mengetahui jika ada
membaik (masukan dan haluaran, turgor riawayat alergi
- Akral membaik kulit, CRT) - Agar klien dapat
- Turgor kulit membaik -Monitor tingkat kesadaran dan memenuhi kebutuhan
respon pupil pernapasannya
- Pemeriksaan riwayat alergi

Terapeutik
- Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi
oksigen > 94%
- Lakukanskin test untuk
mencegah reaksi alergi

Edukasi
- Jelaskan penyebab/factor
resiko syok
- Jelaskan tanda dan gejala
awal syok
- Anjurkan melapor jika
menemukan/merasakan tanda
dan gejala awal syok
- Anjurkan memperbanyak
asupan oral
- Anjurkan menghindari alergi

Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian IV,
jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Fisher, R. S., Acevedo, C., Arzimanoglou, A., Bogacz., A., Cross, J. H., Elger, C. E.,
Junior, J. E., Forsgren, L., French, J. A., Glynn, M., Hesdorffer, D. C., Lee, B. I.,
Marthern, G. W., Moshe, S. L., Perucca, E., Scheffer, I. E., Tomson, T., Watanabe, M, &
Wiebe, S. 2014, ‘A practical clinical definition of epillepsy’, Epilepsia, vol. 55, no. 4, pp.
475-482.
Fuadi, Bahtera, T, & Wijayahadi, N. 2010, ‘Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam
pada Anak’, Sari Pediatri, vol. 12, no. 3, pp. 142-149.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2016. Rekomendasi Penatalaksaan Kejang
Demam, Isamael, S., Pusponegoro, H. D., Widodo, D. P., Mangunatmadja, I. &
Handryasturi, S. (ed), Badan penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2016, Epilepsi pada Anak, Mangunatmadja, I.,
Handryastuti. S. & Risan N. M. (ed), Badan penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jakarta.
PPNI, tim pokja S. D. (2017) Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. 1 nd edn. Jakarta
Selatan: PPNI
PPNI, tim pokja S. D. (2018) Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. 2 nd edn. Jakarta
Selatan: PPNI
2nd
PPNI, tim pokja S. D. (no date) Standar Luaran Keperawatan Indonesia. edn. Jakarta
Selatan: PPNI

Anda mungkin juga menyukai