NIM : PO714241204027
PRODI : PROFESI FISIOTERAPI TK. II
2) Saraf Otonom
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak maupun
dari sumsum tulang belakang dan menuju organ yang bersangkutan. Dalam sistem
ini terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur membentuk sinapsis yang
kompleks dan juga membentuk ganglion. Urat saraf yang terdapat pada pangkal
ganglion disebut urat saraf pra ganglion dan yang berada pada ujung ganglion
disebut urat saraf post ganglion.
Sistem saraf otonom dapat dibagi atas sistem saraf simpatik dan sistem
saraf parasimpatik. Perbedaan struktur antara saraf simpatik dan parasimpatik
terletak pada posisi ganglion. Saraf simpatik mempunyai ganglion yang terletak di
sepanjang tulang belakang menempel pada sumsum tulang belakang sehingga
mempunyai urat pra ganglion pendek, sedangkan saraf parasimpatik mempunyai
urat pra ganglion yangpanjang karena ganglion menempel pada organ yang
dibantu.
Fungsi sistem saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan (antagonis).
Sistem saraf parasimpatik terdiri dari keseluruhan "nervus vagus" bersama cabang-
cabangnya ditambah dengan beberapa saraf otak lain dan saraf sumsum sambung.
2. PENGERTIAN EPILEPSI
a. Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat reversibel (Tarwoto, 2007)
b. Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang
datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan
listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi
(Arif, 2000)
c. Epilepsi adalah suatu gejala atau manifestasi lepasnya muatan listrik yang berlebihan
di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan
involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas otonom dan berbagai
gangguan fisik (Doenges, 2000).
d. Kesimpulan: gangguan kronik otak yang disebabkan lepasnya muatan
listrikabnormal di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya
kesadaran, gerakan involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas
otonom dan berbagai gangguan fisik.
3. ETIOLOGI
Perlu diketahui bahwa epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi suatu gejala yang
dapat timbul karena penyakit. Secara umum serangan epilepsi dapat timbul jika terjadi
pelepasan aktifitas energi yang berlebihan dan mendadak dalam otak, sehingga
mengganggu kerja otak. Otak akan segera mengkoreksinya dan kembali normal
dalam beberapa saat.
a. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan
pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat
kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. Faktor genetik
dimana bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4%
anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan
anaknya epilepsi menjadi 20%-30%.
b. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Faktor herediter , seperti neurofibromatosis, hipoparatiroidisme,
hipoglikemia.
Faktor genetik seperti pada kejang demam
Kelainan congenital otak seperti atropi, agenesis korpus kolosum
Gangguan metabolic seperti hipoglikemia, hipoklasemia, hiponatremia,
hipernatremia
Infeksi seperti radang yang disebabkan virus atau bakteri pada otak dan
selaputnya seperti toksoplasmosis, meningitis
Trauma seperti contusio cerebri, hematoma sub arachnoid, hematoma subdural
Neoplasma otak dan selaputnya
Kelainan pembuluh darah, malformasi dan penyakit kolagen
Keracunan oleh timbal, kamper/kapur barus, fenotiazin
Lain-lain seperti penyakit darah, gangguan keseimbangan hormon, degenerasi
cerebral
Faktor precipitasi atau faktor pencetus atau yang mempermudah terjadinya gejala
Faktor sensoris seperti cahaya yang berkedip-kedip (fotosensitif), bunyi-bunyi
yang mengejutkan, air, dan lain-lain.
Faktor sistemis seperti demam, penyakit infeksi, obat-obatan tertentu
(fenotiazin, klorpropamid, barbiturat, valium), perubahan hormonal
(hipoglikemia), kelelahan fisik.
Faktor mental seperti stress, gangguan emosional, kurang tidur.
Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mengakibatkan kejang epilepsi
klinik, walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron di serebellum di bagian
bawah batang otak dan di medulla spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan muatan
listrik berlebihan, namun posisi mereka menyebabkan tidak mampu mengakibatkan kejang
epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa yang mencetuskan
sel-sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan.
4. PATOFISIOLOGI
Konduksi atau hantaran merupakan proses aktif yang bekerja sendiri dan
memerlukan penggunaan energi oleh saraf. Konduksi impuls saraf walaupun cepat, namun
berlangsung lebih lambat daripada listrik, karena jaringan saraf merupakan konduktor pasif
yang relatif sangat buruk. Saraf memerlukan potensial beberapa volt untuk dapat
menghasilkan impuls, sebab sel saraf mempunyai ambang yang rendah terhadap
perangsangan (impuls). Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan
beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun
dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
c. Peningkatan suhu tubuh misalnya pada kasus kejang demam dapat mengakibatkan
peningkatan metabolisme basal 10-15% sehingga kebutuhan akan oksigen dalam
metabolisme tersebut pun akan ikut meningkat hingga 20%. Hal tersebut yang
menyebabkan terganggunya keseimbangan membran sel neuron. Seperti yang kita
ketahui bahwa membrane sel neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion
kalium dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium.
Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan
konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari
Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini
memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi
karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola
yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
d. Defisiensi vitamin B6, konsumsi MSG berlebih, dan adanya cedera kepala dapat
mengakibatkan sinkronisasi dalam aliran listrik dalam otak. Sinkronisasi ini dapat
terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori
sinkronisasi ini dapat terjadi.
1) Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin)
kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2) Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat)
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
e. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
f. Hipoglikemia merupakan salah satu penyakit akibat gangguan metabolisme yang
dapat mengakibatkan epilepsi. Kekurangan glukosa dapat mempengaruhi suplai ke
otak khususnya bagi metabolisme sel glia pada otak. Epilepsi terjadi akibat adanya
kerusakan membran pada sel glia otak. Sel glia merupakan bagian dari sel otak yang
multi fungsi. Salah satu fungsi penting dari sel glia bila dikaitkan dengan penyakit
epilepsi ini adalah fungsi sel glia sebagai pensuplai nutrisi dan reservoar dari
elektrolit seperti ion K, Ca dan Na. Ketidakseimbangan pada sel ini akan
menyebabkan permasalahan pada sel saraf. Proses epileptogenik akan terjadi bila
ada pelepasan muatan paroksiman karena mekanisme intrinsik dari membran neuron
yang menjaga kestabilan ambang lepas muatan terganggu sehingga bisa terjadi
depolarisasi secara terus menerus yang selanjutnya menyebabkan timbulnya letupan
potensial aksi (paroksismal depolarisasi shif).
g. Tumor atau neoplasma pada otak mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial sehingga suplai oksigen ke otak melali pembuluh darah pun terganggu.
Oksigen yang diperlukan juga dalam metabolisme sel glia akan berkurang. Begitu
juga halnya dengan infeksi yang terjadi pada otak seperti meningitis akan
menggangu aliran darah pada pembuluh darah otak yang kaya akan nutrisi dan
elektrolit. Kedua hal tersebutlah yang mengakibatkan metabolisme sel glia
terganggu dan oleh karenanya kestabilan ambang lepas muatan pun akan terganggu
sehingga terjadi epilepsi.
h. Beberapa penyelidikan menunjukkan peranan acetilkolin sebagai zat yang
merendahkan potensial membran prosinaptik dalam hal terlepasnya muatan listrik
yang terjadi sewaktu-waktu saja sehingga manisfestasi klinisnya pun muncul
sewaktu-waktu. Bila asetilkolin sudah cukup tertimbun dipermukaan otak, maka
pelepasan muatan listrik sel-sel saraf kortikal dipermudah. Asetilkolin diproduksi
oleh sel-sel saraf kolinergik dan merembes keluar dari permukaan otak. Pada
kesadaran awas waspada lebih banyak asetilkolin yang merembes keluar dari
permukaan otak daripada selama tidur. Pada jejas otak lebih banyak asetilkolin
daripada dalam otak sehat. Pada tumor cerebri atau adanya sikatriks setempat pada
permukaan otak sebagai gejala sisa dari meningitis, encephalitis, kontusio atau
trauma lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari asetilkolin.
5. MANIFESTASI KLINIS
a. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan
penginderaan.
b. Kelainan gambaran EEG.
c. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen.
d. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura
dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak,
mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya).
e. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar.
f. Raut muka pucat dan badannya berkeringat.
g. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus
atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak
normal seperti pada keadaan normal.
h. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang
individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat.
i. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara
tiba- tiba.
j. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang-
menendang.
k. Gigi geliginya terkancing.
l. Bola matanya berputar- putar.
m. Terkadang keluar busa dari mulut dan diikuti dengan buang air kecil.
n. klien sadar kembali dengan lesu, nyeri otot dan sakit kepala.
6. KOMPLIKASI
a. Retradasi mental
b. IQ rendah
c. Kerusakan otak akibat hipoksia jaringan otak
d. Hal ini akan menyebabkan efek samping pada penurunan prestasi belajar terutama
bagi penderita yang masih dalam masa belajar.
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Elektrolit : tidak seimbang dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada
aktivitas kejang
2) Glukosa : hipoglikemi, dapat menjadi presipitasi (pencetus kejang)
3) Ureum atau kreatinin : meningkat, dapat meningkatkan resiko timbulnya
aktivitas kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrotoksik yang berhubungan
dengan pengobatan.
4) Pungsi lumbal (PL) : untuk mendeteksi tekanan abnormal dari CSS,
tanda-tanda infeksi, perdarahan (hemoragik subarachnoid, subdural) sebagai
penyebab kejang tersebut.
b. Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG sangat berguna untuk diagnosis epilepsi. Rekaman EEG
dapat menentukan fokus serta jenis epilepsi apakah fokal, multifokal, kortikal atau
subkortikal dan sebagainya. Harus dilakukan secara berkala (kira-kira 8-12 %
pasien epilepsi mempunyai rekaman EEG yang normal).
c. MRI : melokalisasi lesi-lesi fokal.
d. Pemeriksaan radiologis
Foto tengkorak untuk mengetahui kelainan tulang tengkorak, destruksi
tulang, kalsifikasi intrakranium yang abnormal, tanda peninggian TIK seperti
pelebaran sutura, erosi sela tursika dan sebagainya
Pneumoensefalografi dan ventrikulografi untuk melihat gambaran ventrikel,
sisterna, rongga sub arachnoid serta gambaran otak. Arteriografi untuk mengetahui
pembuluh darah di otak : anomali pembuluh darah otak, penyumbatan, neoplasma
dan hematoma.
8. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan medis
1) Farmakoterapi : Anti kovulsion untuk mengontrol kejang
2) Pembedahan : Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya
anomali vaskuler
3) Jenis obat yang sering digunakan
a) Phenobarbital (luminal).
Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.
b) Primidone (mysolin)
Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid.
c) Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).
Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH.
Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.
Tak berhasiat terhadap petit mal.
Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus, ataxia, hiperlasi gingiva dan
gangguan darah.
d) Carbamazine (tegretol).
Mempunyai khasiat psikotropik yang mungkin disebabkan pengontrolan
bangkitan epilepsi itu sendiri atau mungkin juga carbamazine memang
mempunyai efek psikotropik.
Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering
disertai gangguan tingkah laku.
Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri,
ataxia, depresi sumsum tulang dan gangguan fungsi hati.
e) Diazepam.
Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status
konvulsi.).
Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya
lambat. Sebaiknya diberikan i.v. atau intra rektal.
f) Nitrazepam (Inogadon).
Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.
g) Ethosuximide (zarontine)
Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal
h) Na-valproat (dopakene)
Obat pilihan kedua pada petit mal
Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai.
Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.
Efek samping mual, muntah, anorexia
i) Acetazolamide (diamox).
Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan
epilepsi.
Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak
menurun, influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan
hiperpolarisasi.
j) ACTH
Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil.
b. Penatalaksanaan keperawatan
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
1) Selama Kejang
Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam
atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk
mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara
giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien
melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan
sampai menutupi jalan pernapasannya.
Ajarkan penderita untuk mengenali tanda-tanda awal munculnya epilepsi atau
yang biasa disebut “aura”. Jika Penderita mulai merasakan aura, maka
sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan
untuk langsung beristirahat atau tidur.
Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka
berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2) Setelah Kejang
Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan
bahwa jalan napas tidak mengalami gangguan.
Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal.
Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang.
Pasien pada saat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yang hilang selama kejang
dan biarkan penderita beristirahat.
Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk
menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang
lembut
Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk
pemberian pengobatan oleh dokter.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan
medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana
meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan
keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi.
9. PENCEGAHAN
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk
pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat
antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu
banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula
kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi
keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup
aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang
mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan,
pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat
selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering
terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan
program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan
secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan
ini.