Anda di halaman 1dari 72

BAB II

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERSYARAFAN

1.  Pengertian Sistem Saraf


Sistem saraf merupakan salah satu sistem koordinasi yang bertugas menyampaikan
rangsangan dari reseptor untuk dideteksi dan direspon oleh tubuh. Sistem saraf
memungkinkan makhluk hidup tanggap dengan cepat terhadap perubahan-perubahan
yang terjadi di lingkungan luar maupun dalam. Sistem saraf terdiri dari jutaan sel saraf
(neuron). Fungsi sel saraf adalah mengirimkan pesan (impuls) yang berupa rangsang
atau tanggapan.Untuk menanggapi rangsangan, ada tiga komponen yang harus dimiliki
oleh sistem saraf, yaitu:

1. Reseptor, adalah alat penerima rangsangan atau impuls. Pada tubuh kita yang
bertindak sebagai reseptor adalah organ indera.
2. Penghantar impuls, dilakukan oleh saraf itu sendiri. Saraf tersusun dari berkas
serabut penghubung (akson). Pada serabut penghubung terdapat sel-sel khusus
yang memanjang dan meluas. Sel saraf disebut neuron.
3. Efektor, adalah bagian yang menanggapi rangsangan yang telah diantarkan oleh
penghantar impuls. Efektor yang paling penting pada manusia adalah otot dan
kelenjar.
a. Sel Saraf (Neuron)
Sistem saraf terdiri atas sel-sel saraf yang disebut neuron. Neuron bergabung
membentuk suatu jaringan untuk mengantarkan impuls (rangsangan). Satu sel
saraf tersusun dari badan sel, dendrit, dan akson.
b. Badan sel
Badan sel saraf merupakan bagian yang paling besar dari sel saraf Badan sel
berfungsi untuk menerima rangsangan dari dendrit dan meneruskannya

1
keakson. Pada badan sel saraf terdapat inti sel, sitoplasma, mitokondria,
sentrosom, badan golgi, lisosom, dan badan nisel. Badan nisel merupakan
kumpulan retikulum endoplasma tempat transportasi sintesis protein.
c. Dendrit
Dendrit adalah serabut sel saraf pendek dan bercabang- cabang. Dendrit
merupakan perluasan dari badan sel. Dendrit berfungsi untuk menerima dan
mengantarkan rangsangan ke badan sel.
d. Akson
Akson disebut neurit. Neurit adalah serabut sel saraf panjang yang merupakan
perjuluran sitoplasma badan sel. Di dalam neurit terdapat benang-benang halus
yang disebut neurofibril. Neurofibril dibungkus oleh beberapa lapis selaput
mielin yang banyak mengandung zat lemak dan berfungsi untuk mempercepat
jalannya rangsangan. Selaput mielin tersebut dibungkus oleh sel- selsachwann
yang akan membentuk suatu jaringan yang dapat menyediakan makanan untuk
neurit dan membantu pembentukan neurit. Lapisan mielin sebelah luar disebut
neurilemma yang melindungi akson dari kerusakan. Bagian neurit ada yang tidak
dibungkus oleh lapisan mielin. Bagian ini disebut dengan nodus ranvier dan
berfungsi mempercepat jalannya rangsangan.

Berdasarkan struktur dan fungsinya, sel saraf dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu sel
saraf sensori, sel saraf motor, dan sel saraf intermediet (asosiasi).

a)    Sel saraf sensori

Fungsi sel saraf sensori adalah menghantar impuls dari reseptor ke sistem saraf
pusat, yaitu otak (ensefalon) dan sumsum belakang (medula spinalis). Ujung akson dari
saraf sensori berhubungan dengan saraf asosiasi (intermediet).

b)  Sel saraf motor

Fungsi sel saraf motor adalah mengirim impuls dari sistem saraf pusat ke otot
atau kelenjar yang hasilnya berupa tanggapan tubuh terhadap rangsangan. Badan sel
saraf motor berada di sistem saraf pusat. Dendritnya sangat pendek berhubungan
dengan akson saraf asosiasi, sedangkan aksonnya dapat sangat panjang.

2
c) Sel saraf intermediet

Sel saraf intermediet disebut juga sel saraf asosiasi. Sel ini dapat ditemukan di
dalam sistem saraf pusat dan berfungsi menghubungkan sel saraf motor dengan sel
saraf sensori atau berhubungan dengan sel saraf lainnya yang ada di dalam sistem saraf
pusat. Sel saraf intermediet menerima impuls dari reseptor sensori atau sel saraf
asosiasi lainnya.

Kelompok-kelompok serabut saraf, akson dan dendrit bergabung dalam satu selubung
dan membentuk urat saraf. Sedangkan badan sel saraf berkumpul membentuk ganglion
atau simpul saraf.

1. Sistem Saraf Pusat

a) Otak

Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting dan sebagai pusat pengatur dari
segala kegiatan manusia. Otak terletak di dalam rongga tengkorak, beratnya lebih
kurang 1/50 dari berat badan. Bagian utama otak adalah otak besar (Cerebrum), otak
kecil (Cerebellum), dan batang otak.

b) Otak Besar ( cerebrum )

Otak besar merupakan pusat pengendali kegiatan tubuh yang disadari. Yaitu 
Berpikir, berbicara, melihat, bergerak, mengingat, dan mendengar termasuk kegitan
tubuh yang disadari. Otak besar dibagi menjadi dua belahan, yaitu belahan kanan dan
belahan kiri. Masing-masing belahan pada otak tersebut disebut hemister. Otak besar
belahan kanan mengatur dan mengendalikan kegiatan tubuh sebelah kiri,
sedangkan otak belahan kiri mengatur dan mengendalikan bagian tubuh sebelah kanan.

3
c) Otak tengah ( Mesensefalon )

Otak tengah merupakan pebghubung antara  otak depan dan otak belakang,
bagian otak tengah yang berkembang adalah lobus optikus yang berfungsi sebagai pusat
refleksi pupil mata, pengatur gerak bola mata, dan refleksi akomodasi mata.

d) Otak kecil ( cerebellum )

Otak kecil terletak di bagian belakang otak besar, tepatnya di bawah otak besar.
Otak kecil terdiri atas dua lapisan, yaitu lapisan luar berwarna kelabu dan lapisan dalam
berwarna putih. Otak kecil dibagi menjadi dua bagian, yaitu belahan kiri dan belahan
kanan yang dihubungkan oleh jembatan varol.  Otak kecil berfungsi sebagai pengatur
keseimbangan tubuh dan mengkoordinasikan kerja otot ketika seseorang akan
melakukan kegiatan. Dan pusat keseimbangan tubuh. Otak kecil dibagi tiga daerah yaitu
otak depan, otak tengah, dan otak belakang.

1)      Otak depan meliputi :

a)    Hipotalamus, merupakan pusat pengatur suhu, selera makan, keseimbangan cairan


tubuh, haus, tingkah laku, kegiatan reproduksi, meregulasi pituitari.

b)   Talamus, merupakan pusat pengatur sensori, menerima semua rangsan yang


berasal dari sensorik cerebrum.

c)    Kelenjar pituitary, sebagai sekresi hormon.

2)      Otak Tengah dengan bagian atas merupakan lobus optikus yang merupakan pusat
refleks mata.

3)      Otak Belakang, terdiri atas dua bagian yaitu otak kecil dan medulla oblongata.
Medula oblongata berfungsi mengatur denyut jantung, tekanan darah, mengatur
pernafasan, sekresi ludah, menelan, gerak peristaltic, batuk, dan bersin.

1. Sumsum lanjutan (medula oblongata)

sumsum lanjutan atau sumsum penghubung. terbagi menjadi dua lapis, yaitu lapisan
dalam dan luar berwarna kelabu karena banyak mengandung neuron. Lapisan luar
berwarna putih, berisi neurit dan dendrit. Fungsi sumsum tulang belakang adalah

4
mengatur reflex fisiologis, seperti kecepatan napas, denyut jantung, suhu tubuh,
tekanan, darah, dan kegiatan lain yang tidak disadari.

2. Sumsum Tulang Belakang (Medula Spinalis)

Sumsum tulang belakang terletak memanjang didalam rongga tulang belakang,


mulai dari ruas-ruas tulang leher sampai ruas-ruas tulang pinggang yang kedua.
Sumsum tulang belakang terbagi menjadi dua lapis, yaitu lapisan luar berwana putih
dan lapisan dalam berwarna kelabu. Lapisan luar mengandung serabut saraf dan
lapisan dalam mengandung badan saraf. Di dalam sumsum tulang belakang terdapat
saraf sensorik, saraf motorik, dan saraf penghubung. Fungsinya adalah sebagai
penghantar impuls dari otak dan ke otak serta sebagai pusat pengatur gerak refleks. 

a. Sistem Saraf Tepi

Sistem saraf tepi tersusun dari semua saraf yang membawa pesan dari dan ke
sistem saraf pusat. Kerjasama antara sistem pusat dan sistem saraf tepi membentuk
perubahan cepat dalam tubuh untuk merespon rangsangan dari lingkunganmu. Sistem
saraf ini dibedakan menjadi sistem saraf somatis dan sistem saraf otonom.

b. Sistem saraf somatic ( saraf sadar )

sistem saraf somatis disebut juga dengan sistem saraf sadar.  Sistem saraf
somatis terdiri dari 12 pasang saraf kranial dan 31 pasang saraf sumsum tulang
belakang ( spinal ) Kedua belas pasang saraf otak akan menuju ke organ tertentu,
misalnya mata, hidung, telinga, dan kulit. Saraf sumsum tulang belakang keluar melalui
sela-sela ruas tulang belakang dan berhubungan dengan bagian-bagian tubuh, antara
lain kaki, tangan, dan otot lurik. Saraf-saraf dari sistem somatis menghantarkan
informasi antara kulit, sistem saraf pusat, dan otot-otot rangka. Proses ini dipengaruhi
saraf sadar, berarti kamu dapat memutuskan untuk menggerakkan atau
tidak menggerakkan bagian-bagian tubuh di bawah pengaruh sistem ini.

Contoh dari sistem saraf somatis adalah sebagai berikut.

a).Ketika kita mendengar bel rumah berbunyi, isyarat dari telinga akan sampai ke otak.
Otak menterjemahkan pesan tersebut dan mengirimkan isyarat ke kaki untuk berjalan
mendekati pintu dan mengisyaratkan ke tangan untuk membukakan pintu.

5
b).Ketika kita merasakan udara di sekitar kita panas, kulit akan menyampaikan
informasi tersebut ke otak. Kemudian otak mengisyaratkan pada tangan untuk
menghidupkan kipas angin.

c).Ketika kita melihat kamar berantakan, mata akan menyampaikan informasi tersebut
ke otak, otak akan menterjemahkan informasi tersebut dan mengisyaratkan tangan dan
kaki untuk bergerak membersihkan kamar.

c.  Sistem saraf otonom

Ketika kejatuhan cicak,kita kaget, ketakutan, dan menjerit keras. Jantungmu berdetak
dengan cepat. Pikiranmu kacau. Reaksi yang membuat responmu dalam situasi
ketakutan ini dikontrol oleh sistem saraf otonom. Sistem saraf otonom mengatur kerja
jaringan dan organ tubuh yang tidak disadari atau yang tidak dipengaruhi oleh
kehendak kita. Jaringan dan organ tubuh diatur oleh sistem saraf otonom adalah
pembuluh darah dan jantung. Sistem saraf otonom terdiri atas sistem saraf
simpatik dan sistem saraf parasimpatik.

a)      Sistem saraf simpati

Disebut juga sistem saraf torakolumbar, karena saraf preganglion keluar dari tulang
belakang toraks ke-1 sampai dengan ke-12. Sistem saraf ini berupa 25 pasang ganglion
atau simpul saraf yang terdapat di sumsum tulang belakang. Fungsi dari sistem saraf
simpatik adalah sebagai berikut.

 Mempercepat denyut jantung.


 Memperlebar pembuluh darah.
 Memperlebar bronkus.
 Mempertinggi tekanan darah.
 Memperlambat gerak peristaltis.
 Memperlebar pupil.
 Menghambat sekresi empedu.
 Menurunkan sekresi ludah.
 Meningkatkan sekresi adrenalin.

6
b)      Sistem saraf parasimpatik

Disebut juga dengan sistem saraf kraniosakral, karena saraf preganglion keluar dari
daerah otak dan daerah sakral. Susunan saraf parasimpatik berupa jaring-jaring yang
berhubung-hubungan dengan ganglion yang tersebar di seluruh tubuh. Urat sarafnya
menuju ke organ tubuh yang dikuasai oleh susunan saraf simpatik. Sistem saraf
parasimpatik memiliki fungsi yang berkebalikan dengan fungsi sistem saraf simpatik.
Misalnya pada sistem saraf simpatik berfungsi mempercepat denyut jantung, sedangkan
pada sistem saraf parasimpatik akan memperlambat denyut jantung.

1. Mekanisme kerja saraf

Neuron mampu menerima dan merespon terhadap rangsang. Rangsang dari


dendrit ke badan sel saraf oleh akson akan diteruskan ke dendrite akson yang lain. Bila
sampai di ujung akson, maka ujung akson akan mengeluarkan neurohumor yang
memacu dendrit yang berhubungan dengan akson tadi.

a. Penghantaran Inpuls

Rangsangan yang diterima oleh neuron sensorik akan dihantarkan melalui sel saraf dan
sinapsis.

b. Penghantaran lewat sel saraf

Sel saraf bila dalam keadaan istirahat, muatan listrik di luar sel saraf positif (+),
sedangkan muatan listrik di dalam membran (-). Keadaan ini disebut polarisasi

c Penghantaran lewat Sinapsis

1)  Bila impuls sampai di tombol sinapsis, akan mengakibatkan peningkatan


permiabelitas membran prasinapsis terhadap ion Ca.

2) Gelembung sinapsis melebur dengan membran prasinapsis sambil mengeluarkan


neurotransmiter ke celah sinapsis.

3) Neurotransmiter membawa impuls ke membran postsinapsis. Setelah itu


neurotransmitter dihidrolisis oleh enzim asetil kolinesterase menjadi setil dan asam
stanont. Zat ini disimpan dalam gelembung sinapsis untuk dipergunakan lagi.

7
B. PENGKAJIAN GANGGUAN NEUROLOGI
I. Riwayat Penyakit sekarang
a) Keluhan utama, Mengevaluasi kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, Trauma
kepala; Hipertensi, Jantung, Migrain, Sakit kepala, Epilepsi, Obesitas, Kanker,
Hiperlipidemia, Diabetes, Infeksi dan lain – lain.
b) Riwayat Keluarga
Hipertensi, Jantung, Obesitas, Stroke, Kanker, Retradasi Mental, Epilepsi atau gangguan
kejang lainnya.

2. Review Sistem :

a. Susunan Saraf Pusat : vertigo, Paralisis, Pingsan, Insomnia

b. Sistem Kardio Respiratori: Palpitasi, dada tegang

c. Sistem Gastro Intestinal : gangguan mengunyah dan menelan ; Sistem Saluran Kemih :
gangguan mengontrol spinkter, polyuri.

Glasgow coma scale atau GCS adalah skala yang dipakai untuk mengetahui
tingkat kesadaran seseorang.

1. E ( Membuka mata ) :


4=Membuka secara spontan, 
3=Membuka mata karena suara,
2=Membuka mata dengan rangsangan nyeri atau bahaya,
1=Tidak ada respon, tidak dapat membuka mata karena edema atau balutan.
2. M ( Motorik / Gerakan ) :
6=Mematuhi perintah sederhana,
5=Melokalisasi nyeri / menunjuk arah nyeri berasal,
4=Menarik fleksi ( bila ada rangsangan nyeri) ;
3=Fleksi abnormal ( bila ada rangsangan nyeri ), rigiditas dekortikasi,
2=Ekstensi abnormal ( nyeri ), rigiditas desebrasi,
1=Tidak terdapat respon motorik.
3. V ( Verbal ) :
5=Berorientasi bila di tanya,

8
4=Bingung,
3=Mengatakan kata – kata yang tidak tepat / ngelantur,
2=Menyuarakan suara / bunyi yang tidak bermakna / menggumam,
1=Tidak terdapat respon verbal.

C. MENGKAJI GERAK MOTORIK KEKUATAN DAN KORDINASI

Melakukan pengukuran kekuatan otot secara tradisional artinya  mengukur


kekuatan otot pasien dengan memakai skala klasik 0,1,2,3,4,5. antara lain;  
 Skala 0.
 artinya otot tak  mampu bergerak, misalnya jika tapak tangan dan jari mempunyai
skala 0 berarti tapak tangan dan jari tetap aja ditempat walau sudah diperintahkan
untuk bergerak.
 Skala 1.
 jika otot ditekan masih terasa ada kontraksi atau kekenyalan ini berarti otot masih
belum atrofi atau belum layu.
 Skala 2,
dapat mengerakkan otot atau bagian yang lemah sesuai perintah misalnya tapak
tangan disuruh telungkup atau lurus bengkok tapi jika ditahan sedikit saja sudah tak
mampu bergerak
 Skala 3,
dapat menggerakkan otot dengan tahanan minimal misalnya dapat menggerakkan
tapak tangan dan jari
 Skala4,
 Dapat bergerak dan dapat melawan hambatan yang ringan.
 Skala 5,
 bebeas bergerak dan dapat melawan tahanan yang setimpal
 
Skala diatas pada umumnya dipakai  untuk memeriksa  penderita yang mengalami
kelumpuhan selain mendiagnosa status kelumpuhan juga dipakai untuk melihat apakah
ada kemajuan yang diperoleh selama menjalani perawatan atau sebaliknya apakah
terjadi perburukan pada seseorang penderita.

9
Menjabat tangan pasien dapat juga di gunakan untuk mengukur kekuatan ototnya,
dengan cara  mengajak berjabat tangan  dan menganjurkan pasien untuk mengerahkan
tenaga memencet jari-jari kita. Kalau lemah akan terasa tangan pasien tak mampu
meremas kuat tangan kita. Kesulitannya adalah kalau pasien cewek yang tak pernah
menggunakan tenaga otot jari tangan, remasannya terasa kurang kuat walaupun sudah
dipaksakan untuk itu dapat diperiksa lebih jauh dengan hati-hati

1. PENGKAJIAN FISIK DAN TEST DIAGNOSTIK


Pemeriksan fisik sehubungan dengan sistem persarafan untuk mendeteksi gangguan
fungsi persarafan. Dengan cara inspeksi, palpasi dan perkusi menggunakan refleks
hammer.
Pemeriksaan pada sistem persarafan secara menyeluruh meliputi : status mental,
komunikasi dan bahasa, pengkajian saraf kranial, respon motorik, respon sensorik dan
tanda-tanda vital
Secara umum dalam pemeriksaan fisik klien gangguan sistem persarafan, dilakukan
pemeriksaan :
a) Status mental :
Masalah persarafan sering berpengaruh pada status mental, kadang-kadang
perawat mengalami kesulitan memperoleh riwayat kesehatan yang akurat langsung
dari klien. Status mental, termasuk kemampuan berkomunikasi dan berbahasa serta
tingkat kesadaran dilakukan dengan pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS).
b) Orientasi
 Tanyakan tentang tahun, musim, tanggal, hari dan bulan.
Tanyakan “kita ada dimana” seperti : nama rumah sakit yang ia tempati, negara, kota,
asal daerah, dan alamat rumah. Berikan point 1 untuk masing-masing jawaban yang
benar
 Registration (memori)
Perlihatkan 3 benda yang berbeda dan sebutkan nama benda-benda tersebut masing-
masing dalam waktu 1 detik. Kemudian suruh orang coba untuk mengulang nama-nama
benda yang sudah diperlihatkan. Berikan point 1 untuk masing-masing jawaban benar
Perhatian dan perhitungan
Tanyakan angka mulai angka 100 dengan menghitung mundur. Contoh angka 100 selalu
dikurangi 7. berhenti setelah langkah ke 5.

10
Untuk orang coba yang tidak bisa menghitung dapat menggunakan kata yang dieja.
Contoh kata JANDA, huruf ke 5, ke 4, ke 3 dst. berikan skor 1 unuk masing-masing
jawaban benar
c) Daya ingat (recall)
Sebutkan tiga benda kemudian suruh Orang coba mengulangi nama benda tersebut.
Nilai 1 untuk masing-masing jawaban benar

d) Bahasa :
 Memberikan nama
Tunjukkan benda (pensil dan jam tangan) pada Orang coba, dan tanyakan nama benda
tersebut (2 point)
 Pengulangan kata
Ucapkan sebuah kalimat kemudian Suruh Orang coba mengulang kalimat tersebut.
Contoh ‘saya akan pergi nonton di bioskop’ (skor 1)
 Tiga perintah berurutan
Berikan Orang coba selembar kertas yang berisi 3 perintah yang berurutan dan ikuti
perintah tersebut seperti contoh. Ambil pensil itu dengan tangan kananmu, lalu
pindahkan ke tangan kirimu kemudian letakkan kembali dimeja. (skor tiga)
e) Membaca
Sediakan kertas yang berisi kalimat perintah contoh. (tutup matamu). Suruh Orang coba
membaca dan melakukan perintah tersebut (skor 1)
f) Menulis
Suruh Orang coba menulis sebuah kalimat pada kertas kosong (skor 1)
g) Mengkopi(menyalin)
Gambarlah suatu objek kemudian suruh orang coba meniru gambar tersebut (nilai 1)
Skor maksimun pada test ini adalah 30, sedangkan rata-rata normal dengan nilai 27.
Gangguan berbahasa (afasia) :
    Afasia motorik, karena lesi di area Broca, klien tidak mampu menyatakan pikiran
dengan kata-kata, namun mengerti bahasa verbal dan visual serta dapat melaksanakan
sesuatu sesuai perintah.
    Afasia sensorik / perseptif, karena lesi pada area Wernicke, ditandai dengan
hilangnya kemampuan untuk mengerti bahasa verbal dan visual tapi memiliki

11
kemampuan secara aktif mengucapkan kata-kata dan menuliskannya. Apa yang
diucapkan dan ditulis tidal mempunyai arti apa-apa.
      Disatria, gangguan pengucapan kata-kata secara jelas dan tegas karena lesi pada
upper motor neuron (UMN) lateral bersifat ringan dan lesi UMN bilateral bersifat berat.

2. TINGKAT KESADARAN
 Alert : Composmentis / kesadaran penuh
Pasien berespon secara tepat terhadap stimulus minimal, tanpa stimuli individu terjaga
dan sadar terhadap diri dan lingkungan.
 Lethargic : Kesadaran
Klien seperti tertidur jika tidak di stimuli, tampak seperti enggan bicara.Dengan
sentuhan ringan, verbal, stimulus minimal, mungkin klien dapat berespon dengan
cepat.Dengan pertanyaan kompleks akan tampak bingung.
 Obtuned
Klien memerlukan rangsangan yang lebih besar agar dapat memberikan respon
misalnya rangsangan sakit, respon verbal dan kalimat membingungkan.
 Stuporus
Klien dengan rangsang kuat tidak akan memberikan rangsang verbal.Pergerakan tidak
berarti berhubungan dengan stimulus.
 Koma
Tidak dapat memberikan respon walaupun dengan stimulus maksimal, tanda vital
mungkin tidak stabil.

3. PEMERIKSAAN SYARAF CRANIAL


1) Test nervus I (Olfactory)
Fungsi penciuman
Test pemeriksaan, klien tutup mata dan minta klien mencium benda yang baunya
mudah dikenal seperti sabun, tembakau, kopi dan sebagainya.
Bandingkan dengan hidung bagian kiri dan kanan.
2) Test nervus II ( Optikus)
Fungsi aktifitas visual dan lapang pandang
Test aktifitas visual, tutup satu mata klien kemudian suruh baca dua baris di koran,
ulangi untuk satunya.

12
Test lapang pandang, klien tutup mata kiri, pemeriksa di kanan, klien memandang
hidung pemeriksa yang memegang pena warna cerah, gerakkan perlahan obyek
tersebut, informasikan agar klien langsung memberitahu klien melihat benda tersebut,
ulangi mata kedua.
3) Test nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlear dan Abducens)
Fungsi koordinasi gerakan mata dan kontriksi pupil mata (N III).
4) Test N III (respon pupil terhadap cahaya), menyorotkan senter kedalam tiap pupil
mulai menyinari dari arah belakang dari sisi klien dan sinari satu mata (jangan
keduanya), perhatikan kontriksi pupil kena sinar.
5) Test N IV,
Kepala tegak lurus, letakkan obyek kurang lebih 60 cm sejajar mid line mata, gerakkan
obyek kearah kanan. Observasi adanya deviasi bola mata, diplopia, nistagmus.
6) Test N VI,
Minta klien untuk melihat kearah kiri dan kanan tanpa menengok.
7) Test nervus V (Trigeminus)
Fungsi sensasi, caranya : dengan mengusap pilihan kapas pada kelopak mata atas dan
bawah.
Refleks kornea langsung maka gerakan mengedip ipsilateral.
Refleks kornea consensual maka gerakan mengedip kontralateral.
Usap pula dengan pilihan kapas pada maxilla dan mandibula dengan mata klien
tertutup. Perhatikan apakah klien merasakan adanya sentuhan.
Fungsi motorik, caranya : klien disuruh mengunyah, pemeriksa melakukan palpasi pada
otot temporal dan masseter.
8) Test nervus VII (Facialis)
Fungsi sensasi, kaji sensasi rasa bagian anterior lidah, terhadap asam, manis, asin pahit.
Klien tutup mata, usapkan larutan berasa dengan kapas/teteskan, klien tidak boleh
menarik masuk lidahnya karena akan merangsang pula sisi yang sehat.
Otonom, lakrimasi dan salvias
Fungsi motorik, kontrol ekspresi muka dengancara meminta klien untuk : tersenyum,
mengerutkan dahi, menutup mata sementara pemeriksa berusaha membukanya
9) Test nervus VIII (Acustikus)
Fungsi sensoris :

13
Cochlear (mengkaji pendengaran), tutup satu telinga klien, pemeriksa berbisik di satu
telinga lain, atau menggesekkan jari bergantian kanan-kiri.
Vestibulator (mengkaji keseimbangan), klien diminta berjalan lurus, apakah dapat
melakukan atau tidak.
10) Test nervus IX (Glossopharingeal) dan nervus X (Vagus)
N IX, mempersarafi perasaan mengecap pada 1/3 posterior lidah, tapi bagian ini sulit di
test demikian pula dengan M.Stylopharingeus. Bagian parasimpatik N IX mempersarafi
M. Salivarius inferior.
11) N X, mempersarafi organ viseral dan thoracal, pergerakan ovula, palatum lunak,
sensasi pharynx, tonsil dan palatum lunak.
 Test : inspeksi gerakan ovula (saat klien menguapkan “ah”) apakah simetris dan
tertarik keatas.
 Refleks menelan : dengan cara menekan posterior dinding pharynx dengan tong
spatel, akan terlihat klien seperti menelan.
12)   Test nervus XI (Accessorius)
Klien disuruh menoleh kesamping melawan tahanan. Apakah Sternocledomastodeus
dapat terlihat ? apakah atropi ? kemudian palpasi kekuatannya.
Minta klien mengangkat bahu dan pemeriksa berusaha menahan —- test otot trapezius.
13)    Nervus XII (Hypoglosus)
Mengkaji gerakan lidah saat bicara dan menelan
Inspeksi posisi lidah (mormal, asimetris / deviasi)
Keluarkan lidah klien (oleh sendiri) dan memasukkan dengan cepat dan minta untuk
menggerakkan ke kiri dan ke kanan.

4. FUNGSI SENSORIK

Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara pemeriksaan


sistem persarafan yang lain, karena sangat subyektif sekali. Oleh sebab itu sebaiknya
dilakukan paling akhir dan perlu diulang pada kesempatan yang lain (tetapi ada yang
menganjurkan dilakukan pada permulaan pemeriksaan karena pasien belum lelah dan
masih bisa konsentrasi dengan baik).
Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan sebagai perasaan geli
(tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas (burning), rasa dingin (coldness)

14
atau perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang keluhan motorik
(kelemahan otot, twitching / kedutan, miotonia, cramp dan sebagainya) disajikan oleh
klien sebagai keluhan sensorik. Bahan yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik
meliputi:
 Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada
perlengkapan reflex hammer), untuk rasa nyeri superfisial.
 Kapas untuk rasa raba.
 Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu
 Garpu tala, untuk rasa getar.
 Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti :
 Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.
 Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya), untuk
pemeriksaan stereognosis
 Pen / pensil, untuk graphesthesia.

5. SISTEM MOTORIK

Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks cerebri,
impuls berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus pyramidal medulla
spinalis dan bersinaps dengan lower motor neuron.
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan kekuatan.
 Massa otot :
hypertropi, normal dan atropi
 Tonus otot :
Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada berbagai persendian
secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara berganti-ganti dan berulang
dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan pergerakan pasif
sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot.
Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi. Keadaan otot disebut kaku.
Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah, melainkan tetap sama. Pada tiap gerakan
pasif dinamakan kekuatan spastis. Suatu kondisi dimana kekuatan otot tidak tetap tapi
bergelombang dalam melakukan fleksi dan ekstensi extremitas klien.

15
Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test untuk menguji tahanan
terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan sendi pergelangan tangan.
Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan halus.
 Kekuatan otot :
Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara aktif menahan
tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot yang diuji biasanya dapat dilihat dan
diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan skala Lovett’s (memiliki nilai
0 – 5)

6. AKTIFITAS REFLEK :

Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks


hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :
0 = tidak ada respon
1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan ( + )
2 = normal ( ++ )
3=lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap
abnormal ( +++ )
4 = hyperaktif, dengan klonus ( ++++)

Refleks-refleks yang diperiksa adalah :


 Refleks patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang lebih 300.
Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul dengan refleks
hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari lutut.
 Refleks biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan lengan bawah
ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada tendon m.
biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks hammer.

16
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi sebagian
dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan fleksi pada
lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
 Refleks triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 ,tendon triceps diketok dengan refleks
hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi
ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebar keatas sampai otot-otot
bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.
 Refleks Achilles
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini kaki yang
diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral.Tendon
achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan plantar fle
 Refleks abdominal
Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau digores
seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah yang digores.
 Refleks Babinski
Merupakan refleks yang paling penting . Ia hanya dijumpai pada penyakit traktus
kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-kuat bagian lateral telapak kaki
dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian melintasi bagian jantung kaki. Respon
Babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar.
Respon yang normal adalah fleksi plantar semua jari kaki.

7. PEMERIKSAAN KHUSUS SISTEM PERSYARAFAN


Untuk mengetahui rangsangan selaput otak (misalnya pada meningitis) dilakukan
pemeriksaan :
 Kaku kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat menempel
pada dada —- kaku kuduk positif (+).
 Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain didada klien
untuk mencegah badan tidak terangkat. Kemudian kepala klien difleksikan kedada

17
secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi
panggul dan sendi lutut.
 Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggul secara pasif
akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan lutut.
 Tanda Kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut.
Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 1350 terhadap tungkai atas.
Kernig + bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap hambatan.
 Test Laseque
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri sepanjang m.
ischiadicus.
 Mengkaji abnormal postur dengan mengobservasi :
Decorticate posturing, terjadi jika ada lesi pada traktus corticospinal. Nampak kedua
lengan atas menutup kesamping, kedua siku, kedua pergelangan tangan dan jari fleksi,
kedua kaki ekstensi dengan memutar kedalam dan kaki plantar fleksi.
 Decerebrate posturing, terjadi jika ada lesi pada midbrain, pons atau
diencephalon.
Leher ekstensi, dengan rahang mengepal, kedua lengan pronasi, ekstensi dan menutup
kesamping, kedua kaki lurus keluar dan kaki plantar fleksi.

18
D. DOLL EYE FENOMENA ATAU TES REFLEKS OKULOSELFALIK / GERAKAN MATA
BONEKA

A.    Gerakan Mata


               Gerakan okular adalah indeks yang penting dari  aktifitas fungsional yang 
berada pada formasi retikular  batang otak. Bila pasien cukup alert untuk mengikuti 
perintah  sederhana, pergerakan mata lengkap mudah  didapat, dan integritas sistem
motor okular keseluruhan didalam batang otak dapat dipastikan. Pada keadaan 
kesadaran yang tertekan, gerak mata volunter menghilang,  Ini  mungkin disfungsi
pengaktifasi struktur neural  gerakan mata. Pada keadaan ini respons okulosefalik  atau
okulovestibular digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya  gangguan gerak mata.
Untuk melakukan  tes  ini,harus mengerti hubungan anatomi respons yang norma.

B.      Anatomi. 
               Klinisi sudah lama mengetahui bahwa  pusat conjugate gaze mengatur gerak
mata cepat horizontal (saccades) dan respons vestibular terdapat didalam formasi
retikular pontin paramedian bawah. Regio ini  termasuk pengatur denyut untuk gerak
mata cepat dan integrator saraf yang menentukan posisi diam mata. Penelitian  terakhir
pada kucing memperlihatkan  bagian  kaudal pusat  horizontal gaze meluas ke bagian
kaudal  nukleus prepositus hipoglossi pada rostral medulla dan ia jelas berperan-serta 
pada gerak mata lambat  vestibular  dan volunter saccadic. Jadi penelitian klinis dan
hewan menunjukkan  bahwa jalur bersama akhir dari  semua  gerak  mata  horizontal 
konjugata ipsilateral  terletak  pada tegmentum sambungan pontomedullari
paramedian. Dari sini,  sinyal untuk gerak mata horizontal dihantarkan  ke nukleus 
abdusen ipsilateral berdekatan  dan  menyilang garis  tengah diregio para-abdusen
untuk naik di  fasikulus longitudinal medial kontralateral ke neuron  rektus medial
dinukleus okulomotor.

19
C.     Respons  okulosefalik.
               Pada pasien  cedera  kepala tidak sadar, hilangnya gerak mata horizontal 
menunjukkan perlunya pemeriksaan diagnostik yang mendesak. Bila fraktur  leher
sudah disingkirkan, fungsi  pusat  gaze pontin harus segera ditentukan dengan
manuver  okulosefalik.  Kepala ditinggikan 30O dari posisi  baring  dan dengan cepat
diputar to and fro pada bidang horizontal. Pada  respons doll's eye normal, setiap mata 
cenderung mempertahankan posisinya terhadap ruangan dengan  gerak berlawanan
terhadap rotasi kepala dan secara horizontal menuju posisi lateral dan medial yang
sesuai pada orbita. Ketika manuver ini dilakukan, kelopak mata  mungkin harus
diretraksi secara manual untuk melihat gerak bola mata  lebih baik. Impuls aferen dari
akar  saraf  leher dan kanal semisirkuler berperan pada refleks kompensasi normal
yang menggeser mata pada arah berlawanan  dengan rotasi kepala. Terganggunya atau
tiadanya respons  okulosefalik  mungkin  akibat  malposisi  atau   pemutaran kepala
yang inadekuat. Beberapa pasien dengan  gangguan respons  okulosefalik terganggu
atau tiada, akan  memiliki  respons kalorik normal. Karenanya,  semua  pasien dengan 
gangguan respons okulosefalik, dan juga  dimana  fraktura leher belum bisa ditentukan
hingga tidak  bias diperiksa tes respons tersebut, harus dilakukan  stimu lasi kalorik
dari jalur okulovestibuler.
Respons  okulovestibuler.
               Stimulasi dilakukan  dengan  air  es  dan  hanya  membutuhkan  sedikit  waktu.
Obstruksi  didalam kanal auditori eksternal oleh  darah atau serumen harus
dibersihkan.  Terbatasnya gerak otot mata terjadi pada pasien dengan edema orbital.
Pembengkakan  intraorbital biasanya jelas tampak  namun  tidak menghalangi
pemeriksaan tes okulosefalik atau  kalorik. Banyaknya informasi tetap menguntungkan.
Gerakan  endolimfe  didalam  kanal semisirkuler  horizontal  bekerja terutama terhadap
gerak konjugasi dari otot rektus  medial dan lateral.  Untuk mendapatkan pergeseran 
maksimal cairan ini selama stimulasi kalorik, kanal horizontal diletakkan pada bidang
vertikal dengan  meninggikan kepala pasien 30o dari posisi baring. Gradien suhu 
antara  cairan irigasi dan endolimfe menimbulkan  gerakan endolimfe dalam kanal
semisirkuler. Dalam keadaan  normal, terjadi dalam 20 hingga 60 detik dan berakhir 
dalam beberapa menit. Irigasi air hangat kanal  eksternal menyebabkan  naiknya cairan 
endolimfatik,  menimbulkan deviasi tonik kontralateral dari mata.

20
D.    Cara pemeriksaan
Gerakan Bola Mata
1.     Perhatikan sikap bola mata, fenomena ‘mata-boneka’ (doll’s eye)
2.     Bola mata dibuka, kepala diputar dr samping kiri ke kanan, dan sebaliknya, kemudian
ditekuk dan ditengadah.
a.       Reaksi (+) :
 bila pada pemutaran kepala ke kanan mata berdeviasi ke kiri
 mata berdeviasi keatas bila kepala ditekuk ke leher 
 mata dengan cepat kembali ke posisi semula walaopun kepala masih dalam sikap
berputar / terfleksi
b.      Reaksi (-) :
 bola mata tidak bergerak/gerakan asimetrik 
 dijumpai pada kerusakan pontin-mesensefalon
 Kontra indikasi :fraktur tulang servikal tes tdk boleh dilakukan
              
            Respon mata boneka (doll eyes’s) atau okulosefalik merupakan gerakan reflek
yang diuji dengan menggerakkan kepala secara vertical atau dari sisi yang satu ke sisi
yang lainnya, yang mula-mula dilakukan perlahan-lahan dan kemudian secara cepat ;
gerakan bola mata terjadi dengan arah yang berlawanan terhadap gerakan kepala.
Respon ini diperantarai oleh mekanisme batang otak yang berasal dari dalam labirin
dan propioseptor servikal. Respons tersebut dalam keadaan normal akan disupresi oleh
fiksasi visual yang dimediasi hemisfer serebri pada pasien yang sadar ; namun respon
ini akan muncul jika hemisfer serebri mengalami supresi atau inaktif. Lintasan neuron
untuk gerakan reflexs bola mata yang horizontal memerlukan keutuhan daerah
disekitar nervus kranialis VI dan dihubungan dengan nervus kranialis III kontralateral
lewat fasikulus longitudinalis medialis. 

E. REFLEKS VESTIBULO-OKULAR( VOR )

Refleks vestibulo okular adalah refleks, di mana aktivasi sistem vestibular telinga
bagian dalam menyebabkan pergerakan mata. Refleks ini berfungsi untuk
menstabilkan gambar pada retina (ketika tatapan tetap stabil pada suatu lokasi)

21
selama gerakan kepala dengan menghasilkan gerakan mata ke arah yang
berlawanan dengan gerakan kepala, sehingga menjaga gambar pada bagian tengah
bidang visual. Misalnya, ketika kepala bergerak ke kanan, mata bergerak ke kiri, dan
sebaliknya. Karena sedikit gerakan kepala hadir sepanjang waktu, VOR diperlukan
untuk menstabilkan penglihatan: pasien yang VORnya terganggu merasa sulit untuk
membaca menggunakan cetakan, karena mereka tidak dapat menstabilkan mata
selama getaran kepala kecil, dan juga karena kerusakan pada VOR dapat
menyebabkan nystagmus vestibular.

VOR tidak tergantung pada input visual. Ini dapat ditimbulkan oleh stimulasi kalori
(panas atau dingin) pada telinga bagian dalam, dan bekerja bahkan dalam kegelapan
total atau ketika mata tertutup. Namun, di hadapan cahaya, refleks viksasi juga
ditambahkan ke gerakan.

VOR memiliki aspek rotasi dan translasi. Ketika kepala berputar tentang sumbu apa
pun (horizontal, vertikal, atau torsional) gambar visual yang jauh distabilkan dengan
memutar mata tentang sumbu yang sama, tetapi dalam arah yang berlawanan. Saat
kepala menerjemahkan, misalnya saat berjalan, titik fiksasi visual dipertahankan
dengan memutar arah pandangan ke arah yang berlawanan , dengan jumlah yang
tergantung pada jarak.

 Kecepatan

Refleks vestibulo-okuler harus cepat: untuk penglihatan yang jelas, gerakan kepala
harus segera dikompensasi; jika tidak, penglihatan berhubungan dengan foto yang
diambil dengan tangan gemetar. Untuk mencapai penglihatan yang jelas, sinyal-sinyal
dari kanal setengah lingkaran dikirimkan secara langsung ke otot-otot mata: koneksi
hanya melibatkan tiga neuron, dan secara bersamaan disebut tiga arc neuron .
Menggunakan koneksi langsung ini, gerakan mata memperlambat gerakan kepala
kurang dari 10 ms, dan dengan demikian refleks vestibulo-okular adalah salah satu
refleks tercepat dalam tubuh manusia.

22
 VOR suppression

Selama pengejaran target bergerak bebas kepala, VOR kontraproduktif dengan tujuan
mengurangi retina offset. Penelitian menunjukkan bahwa ada mekanisme untuk
menekan VOR menggunakan umpan balik visual aktif. Dengan tidak adanya umpan
balik visual, seperti selama oklusi, kami menggunakan sinyal antisipatif (ekstra-retina)
untuk melengkapi gerakan pengejaran kami dengan penekanan VOR.

 Menguji

Refleks ini dapat diuji dengan tes impuls kepala cepat atau tes Halmagyi-Curthoys , di
mana kepala dengan cepat dipindahkan ke samping dengan kekuatan, dan dikendalikan
jika mata berhasil tetap melihat ke arah yang sama. Ketika fungsi sistem keseimbangan
kanan berkurang, karena penyakit atau kecelakaan, gerakan kepala cepat ke kanan
tidak dapat dirasakan dengan baik lagi. Sebagai akibatnya, tidak ada gerakan mata
kompensasi yang dihasilkan, dan pasien tidak dapat menentukan titik di ruang selama
gerakan kepala yang cepat ini.

Tes impuls kepala dapat dilakukan di sisi tempat tidur dan digunakan sebagai alat
skrining untuk masalah dengan sistem vestibular seseorang. Ia juga dapat diuji secara
diagnostik dengan melakukan tes kepala video (VHIT). Dalam tes diagnostik ini,
seseorang memakai kacamata yang sangat sensitif yang mendeteksi perubahan cepat
dalam pergerakan mata. Tes ini dapat memberikan informasi spesifik situs tentang
sistem vestibular dan fungsinya.

Cara lain untuk menguji respons VOR adalah tes refleks kalori , yang merupakan
upaya untuk menginduksinystagmus (gerakan mata kompensasi tanpa gerakan kepala)
dengan menuangkan air dingin atau hangat ke dalam telinga. Juga tersedia irigasi
kalorik udara bi-termal, di mana udara hangat dan dingin dimasukkan ke dalam telinga.

 Berperan dalam mendiagnosis kematian batang otak

Refleks vestibulo-okular diuji dengan uji kalori. Tidak ada gerakan mata yang
terlihat selama atau setelah injeksi lambat setidaknya 50 ml air dingin di atas 60 detik
ke masing-masing meatus auditorius eksternal. Akses yang jelas ke membran timpani

23
harus ditetapkan dengan inspeksi langsung, dan kepala harus pada 30 ° ke bidang
horizontal, kecuali jika posisi ini dikontraindikasikan oleh adanya cedera tulang
belakang yang tidak stabil. Pengujian refleks merupakan bagian dari konfirmasi
diagnosis kematian batang otak. Mendiagnosis kematian batang otak memerlukan kode
praktik tertentu, yang ditulis oleh Academy of Medical Royal Colleges.

 refleks servico-okular

Ringkasan: Refleks serviks-okuler, juga dikenal dengan akronimnya COR,


melibatkan pencapaian stabilisasi target visual dan gambar pada retina, melalui
penyesuaian pandangan yang dipengaruhi oleh leher dan, atau gerakan kepala atau
rotasi. Proses ini bekerja bersama dengan refleks vestibulo-okular (VOR).

F. ALAT DIAGNOSTIK KOLABORATIF

Untuk memantapkan diagnosisnya, dokter spesialis neurologi sering menyarankan


pasiennya untuk melakukan pemeriksaan tambahan, seperti:

 Pemeriksaan laboratorium: tes urine, tes darah, dan analisa cair otak
 Pemeriksaan radiologi: CT scan, MRI, PET scan, angiografi, Rontgen,
pemeriksaan USG.
 Tes listrik saraf: pemerikaan ini termasuk pemeriksaan gelombang listrik otak
(EEG) listrik saraf otot (elektromigrafi/EMG), pemeriksaan saraf mata dan organ
keseimbangan (elektronistagmorafi/ENG).
 Biopsi: biasanya dokter akan menyaranan pemeriksaan biopsi jaringan otak dan
saraf untuk kasus tumor pada sistem saraf. Pemeriksaan ini berguna untuk
menentukan apakah tumor bersifat ganas atau tidak.

Usai melakukan diagnosis, dokter spesialis neurologi akan menentukan metode


pengobatan apa yang sesuai dengan kondisi pasien. Umumnya, langkah pengobatan
pertama yang diberikan dokter neurologi adalah pemberiaan obat-obatan untuk
mengurangi gejala yang muncul. Jika pasien memerlukan tindakan pembedahan pada
saraf, maka dokter neurologi akan merujuk pasiennya ke dokter spesialis bedah saraf.

24
G. OBAT – OBATAN YANG MEMBANTU MERINGANKAN GEJALA KEGAWATAN
NEUROLOGIS
1) Terapi obat kejang
Terapi medikamentosa :
Hentikan kejang dan koreksi komplikasi
 Tahap premonitoring : diazepam 10 mg iv/per rektal
 Tahap 1 tahap kompensasi (0-30 menit) Diazepam 10 mg iv /per rektal, jika
status berlanjut,ulang pemberian setelah 15 menit
 Tahap II tahap dekompensasi (30-60 menit)
Jika status berlanjut setelah 30 menit, maka :
Rawat intensif
 Fenitoin iv dalam NaCl 0,9 % dosis 15-18 mg/kg kec 50 mg/menit awasi TD
 EKG atau fenobarbital 10- 20 mg/kg sampai 100 mg/menit dengan pengawasan
TD dan respirasi
 Tahap III tahap refrakter (>60 menit)
Anastesi umum dengan propofol atau tiopental di ICU

2) PENATALAKSANAAN STROKE
1.Posisi kepala & badan 2O “-30’
2. Pasang infus
3. Bebaskan jalan nafas
(berikan O2 1-2 L/1’ sampai ada hasil pemeriksaan gas darah)
4. Kandung kemih dikosongkan (kateterisasi intermitten)
5. Penatalaksanaan tekanan darah secara khusus
6. Hiperglikemia atau hipoglikemia segera dikoreksi
7. Suhu tubuh dipertahankan normal
8. Asupan nutrisi per oral (hasil fungsi menelan baik) , bila
gangguan menelan (+) / penurunan kesadaran pasang NGT
(1500 kalori)
9. Keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan
10. Pemberian cairan IV 24 jam I
11. Mobilisasi & rehabilitasi dini bila kontra indikasi (-)

25
H. REFLEK TENDON DALAM RESPOIN LAINYA
A.Pengertian Gerak Reflek
Gerak pada umumnya terjadi secara sadar, namun ada pula gerak yang terjadi
tanpa disadari yaitu gerak refleks. Impuls pada gerakan sadar melalui jalan panjang,
yaitu dari reseptor, ke saraf sensori, dibawa ke otak untuk selanjutnya diolah oleh otak,
kemudian hasil olahan oleh otak, berupa tanggapan, dibawa oleh saraf motor sebagai
perintah yang harus dilaksanakan oleh efektor. Gerak refleks berjalan sangat cepat dan
tanggapan terjadi secara otomatis terhadap rangsangan, tanpa memerlukan kontrol
dari otak. Jadi dapat dikatakan gerakan terjadi tanpa dipengaruhi kehendak atau tanpa
disadari terlebih dahulu. Contoh gerak refleks misalnya berkedip, bersin, atau batuk.
           B.     Alat Yang Dibutuhkan
• Palu perkusi
• Lampu Senter
• Kapas
• Jarum
           C.    Cara Kerja
a.  Refleks kulit perut
Orang coba berbaring telentang dengan kedua lengan terletak lurus di samping badan.
Goreslah kulit daerah abdomen dari lateral kea rah umbilicus. Respon yang terjadi
berupa kontraksi otot dinding perut.
b.  Refleks kornea
Sediakanlah kapas yang digulung menjadi bentuk silinder halus. Orang coba
menggerakkan bola mata ke lateral yaitu dengan melihat ke salah satu sisi tanpa
menggerakkan kepala. Sentuhlah dengan hati-hati sisi kontralateral kornea dengan
kapas. Respon berupa kedipan mata secara cepat.
c.       Refleks cahaya
Cahaya senter dijatuhkan pada pupil salah satu mata orang coba. Respons berupa
konstriksi pupil holoateral dan kontralateral. Ulangi percobaan pada mata lain.
d.      Refleks Periost Radialis
Lengan bawah orang coba setengah difleksikan pada sendi siku dan tangan sedikit
dipronasikan. Ketuklah periosteum pada ujung distal os radii. Respons berupa fleksi
lengan bawah pada siku dan supinasi tangan.

26
e.       Refleks Periost Ulnaris
Lengan bawah orang coba setengah difleksikan pada sendi siku dan tangan antara
pronasi dan supinasi. Ketuklah pada periost prosessus stiloideus. Respons berupa
pronasi tangan.
f. Stretch Reflex (Muscle Spindle Reflex=Myotatic Reflex)
1)    Knee Pess Reflex (KPR)
Orang coba duduk pada tempat yang agak tinggi sehingga kedua tungkai akan
tergantung bebas atau orang coba berbaring terlentang dengan fleksi tungkai pada
sendi lutut. Ketuklah tendo patella dengan Hammer sehingga terjadi ekstensi tungkai
disertai kontraksi otot kuadrisips.
2)    Achilles Pess Reflex (ACR)
Tungkai difleksikan pada sendi lutut dan kaki didorsofleksikan. Ketuklah pada tendo
Achilles, sehingga terjadi plantar fleksi dari kaki dan kontraksi otot gastronemius.
3)     Refleks biseps
Lengan orang coba setengah difleksikan pada sendi siku. Ketuklah pada tendo otot
biseps yang akan menyebabkan fleksi lengan pada siku dan tampak kontraksi otot
biseps.
4)      Refleks triseps
Lengan bawah difleksikan pada sendi siku dan sedikit dipronasikan. Ketuklah pada
tendo otot triseps 5 cm di atas siku akan menyebabkan ekstensi lengan dan kontraksi
otot triseps.
5)      Withdrawl Reflex
Lengan orang coba diletakkan di atas meja dalam keadaa ekstensi. Tunggulah pada saat
orang coba tidak melihat saudara, tusuklah dengan hati-hati dan cepat kulit lengan
dengan jarum suntik steril, sehalus mungkin agar tidak melukai orang coba. Respons
berupa fleksi lengan tersebut menjauhi stimulus.

27
            D.    Jenis - jenis Reflek
Pada manusia, ada dua jenis refleks yaitu refleks fisiologis dan patologis. Refleks
fisiologis normal jika terdapat pada manusia, sebaliknya refleks patologis normal jika
tidak terdapat pada manusia.

a.      Refleks fisiologis


Pada percobaan refleks kulit perut, orang coba berbaring terlentang dengan kedua
lengan terletak lurus samping badan. Kulit di daerah abdomen dari lateral ke arah
umbilikus digores dan respon yang terjadi berupa kontraksi otot dinding perut. Namun
pada orang lanjut usia dan sering hamil, tidak terjadi lagi kontraksi otot dinding perut
karena tonus otot perutnya sudah kendor. Pada refleks kornea atau refleks mengedip,
orang coba menggerakkan bola mata ke lateral yaitu dengan melihat salah satu sisi
tanpa menggerakkan kepala. Kemudian sisi kontralateral kornea orang coba disentuh
dengan kapas yang telah digulung membentuk silinder halus. Respon berupa kedipan
mata secara cepat.
Pada percobaan tentang refleks cahaya akan dilihat bagaimana respon pupil mata
ketika cahaya senter dijatuhkan pada pupil. Ternyata repon yang terjadi berupa
kontriksi pupil homolateral dan kontralateral. Jalannya impuls cahaya sampai terjadi
kontriksi pupil adalah berasal dari pupil kemudian stimulus diterima oleh N. Opticus,
lalu masuk ke mesencephalon, dan kemudian melanjutkan ke N . Oculomotoris dan
sampai ke spingter pupil.
Untuk mengetahui fungsi nervus, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan, misalnya
untuk memeriksa nervus IX (nervus glossopharingeus) dapat dilihat pada saat spatula
dimasukkan ke dalam mulut, maka akan timbul refleks muntah, sedangkan nervus XII
dapat dilakukan pemeriksaan pada lidah, dan beberapa nervus dapat diperiksa dengan
malihat gerakan bola mata. Nervus penggerak mata antara nervus IV, abduscens, dan
oculomotoris. Nervus XI (nervus accesoris) dapat diuji dengan menekan pundak orang
coba, jika ada pertahanan, artinya normal.
Respon motorik kasar melibatkan seluruh koordinasi sistem saraf. Respon ini dapat
dilihat saat orang diminta menunjuk anggota secara bergantian. Orang normal akan
menunjuk dengan tepat, sebaliknya orang yang koordinasi sistem sarafnya tidak normal
maka dia tidak akan menunjuk dengan tepat.

28
5. Refleks
a.Refleks superficial
• Refleks dinding perut :
Cara : goresan dinding perut daerah epigastrik, supra umbilikal, umbilikal, intra
umbilikal dari lateral ke medial
Respon : kontraksi dinding perut

• Refleks cremaster
Cara : goresan pada kulit paha sebelah medial dari atas ke bawah
Respon : elevasi testes ipsilateral
• Refleks gluteal
Cara : goresan atau tusukan pada daerah gluteal
Respon : gerakan reflektorik otot gluteal ipsilateral
Refleks tendon / periosteum
• Refleks Biceps (BPR):
Cara : ketukan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m.biceps brachii,
posisi lengan setengah diketuk pada sendi siku.
Respon : fleksi lengan pada sendi siku
• Refleks Triceps (TPR)
Cara : ketukan pada tendon otot triceps, posisi lengan fleksi pada sendi siku dan sedikit
pronasi
Respon : ekstensi lengan bawah pada sendi siku
• Refleks Periosto radialis
Cara : ketukan pada periosteum ujung distal os radial, posisi lengan setengah fleksi dan
sedikit pronasi
Respon : fleksi lengan bawah di sendi siku dan supinasi krena kontraksi
m.brachiradialis
• Refleks Periostoulnaris
Cara : ketukan pada periosteum prosesus styloid ilna, posisi lengan setengah fleksi dan
antara pronasi supinasi.
Respon : pronasi tangan akibat kontraksi m.pronator quadrates
• Refleks Patela (KPR)
Cara : ketukan pada tendon patella

29
Respon : plantar fleksi kaki karena kontraksi m.quadrisep femoris
• Refleks Achilles (APR)
Cara : ketukan pada tendon Achilles
Respon : plantar fleksi kaki krena kontraksi m.gastroenemius
• Refleks Klonus lutut
Cara : pegang dan dorong os patella ke arah distal
Respon : kontraksi reflektorik m.quadrisep femoris selama stimulus berlangsung
• Refleks Klonus kaki
Cara : dorsofleksikan kki secara maksimal, posisi tungkai fleksi di sendi lutut.Respon :
kontraksi reflektorik otot betis selama stimulus berlangsung

b. Refleks patologis
 Hoffmann Tromer
Tangan pasein ditumpu oleh tangan pemeriksa. Kemudian ujung jari tangan
pemeriksa yang lain disentilkan ke ujung jari tengah tangan penderita. Reflek positif jika
terjadi fleksi jari yang lain dan adduksi ibu jari
 Rasping
Gores palmar penderita dengan telunjuk jari pemeriksa diantara ibujari dan telunjuk
penderita. Maka timbul genggaman dari jari penderita, menjepit jari pemeriksa. Jika
reflek ini ada maka penderita dapat membebaskan jari pemeriksa. Normal masih
terdapat pada anak kecil. Jika positif pada dewasa maka kemungkinan terdapat lesi di
area premotorik cortex
 Reflek palmomental
Garukan pada telapak tangan pasien menyebabkan kontraksi muskulus mentali
ipsilateral. Reflek patologis ini timbul akibat kerusakan lesi UMN di atas inti saraf VII
kontralateral
 Reflek snouting
Ketukan hammer pada tendo insertio m. Orbicularis oris maka akan menimbulkan
reflek menyusu. Menggaruk bibir dengan tongue spatel akan timbul reflek menyusu.
Normal pada bayi, jika positif pada dewasa akan menandakan lesi UMN bilateral
 Mayer reflek

30
Fleksikan jari manis di sendi metacarpophalangeal, secara halus normal akan timbul
adduksi dan aposisi dari ibu jari. Absennya respon ini menandakan lesi di tractus
pyramidalis
 Reflek babinski
Lakukan goresan pada telapak kaki dari arah tumit ke arah jari melalui sisi lateral.
Orang normal akan memberikan resopn fleksi jari-jari dan penarikan tungkai. Pada lesi
UMN maka akan timbul respon jempol kaki akan dorsofleksi, sedangkan jari-jari lain
akan menyebar atau membuka. Normal pada bayi masih ada.
 Reflek Oppenheim
Lakukan goresan pada sepanjang tepi depan tulang tibia dari atas ke bawah, dengan
kedua jari telunjuk dan tengah. Jika positif maka akan timbul reflek seperti babinski
 Reflek Gordon
Lakukan goresan/memencet otot gastrocnemius, jika positif maka akan timbul reflek
seperti babinski
 Reflek Schaefer
Lakukan pemencetan pada tendo achiles. Jika positif maka akan timbul refflek
seperti Babinski
 Reflek caddock
Lakukan goresan sepanjang tepi lateral punggung kaki di luar telapak kaki, dari
tumit ke depan. Jika positif maka akan timbul reflek seperti babinski.
 Reflek rossolimo
Pukulkan hammer reflek pada dorsal kaki pada tulang cuboid. Reflek akan terjadi fleksi
jari-jari kaki.
 Reflek mendel-bacctrerew
Pukulan telapak kaki bagian depan akan memberikan respon fleksi jari-jari kaki. 

31
I. ICP DAN BRAIN HERNIATION
a) Definisi
Peningkatan tekanan intracranial atau TIK (intracranial pressure, ICP) didefinisikan
sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis.
b) Patofisiologi
Ruang intracranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap
bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intracranial
normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan
normal, tekanan intracranial dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat
meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari pada normal.
Beberapa aktivitas tersebut adalah pernapasan abdominal dalam, batuk, dan mengedan
atau valsalva maneuver. Kenaikan sementara TIK tidak menimbulkan kesukaran, tetapi
kenaikan tekanan yang menetap mengakibatkan rusaknya kehidupan jaringan otak.

Ruang intracranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya
dengan unsure yang tidak dapat ditekan: otak (1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75
ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur
utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsure lainnya dan
menaikan tekanan intracranial..
Tumor otak, cedera otak, edema otak, dan obstruksi aliran darah CSF berperan
dalam peningkatan TIK. Edema otak (mungkin penyebab tersering peningkatan TIK)
disebabkan oleh banyak hal (termasuk peningkatan cairan intrasel, hipoksia, iskemia
otak, meningitis, dan cedera). Pada dasarnya efeknya sama tanpa melihat factor
penyebabnya.
TIK pada umumnya meningkat secara bertahap. Setelah cedera kepala, edema
terjadi dalam 36 hingga 48 jam hingga mencapai maksimum. Peningkatan TIK hingga 33
mmHg (450 mmH2O) menurunkan secara bermakna aliran darah ke otak (cerebral
blood flow, CBF). Iskemia yang terjadi merangsang pusat vasomotor, dan tekanan darah
sistemik meningkat. Rangsangan pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan
bradikardia dan pernapasan menjadi lebih lambat. Mekanisme kompensasi ini dikenal
sebagai reflek cushing, membantu mempertahankan aliran darah otak. (akan tetapi,
menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi CO2 dan mengakibatkan vasodilatasi
otak yang membantu menaikan tekanan intracranial). Tekanan darah sistemik akan

32
terus meningkat sebanding dengan peningkatan TIK, walaupun akhirnya dicapai suatu
titik ketika TIK melebihi tekanan arteria dan sirkulasi otak berhenti yang
mengakibatkan kematian otak. Pada umumnya, kejadian ini didahului oleh tekanan
darah arteria yang cepat menurun.

c) Vasodilatasi dan Edema otak Trauma kepala


Siklus deficit neurologik progresif yang menyertai kontusio dan edema otak (atau setiap
lesi massa intracranial yang membesar). Seperti pada gambar dibawah
Trauma otak menyebabkan menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontosio,
menyebabkan rusaknya sawar darah otak (Blood brain barrier, BBB), disertai
vasodilatasi dan eksudasi cairan sehinggaq timbhul edema. Edema menyebabkan
peningkatan tekanan pada jaringan dan akhirnya meningkatkan TIK, yang pada
gilirannya akan menurunkan CBF, iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan pH dan
peningkatan PaCO2), dan kerusakan BBB lebih lanjut. Siklus ini akan terus berlanjut
sehingga terjadi kematian sel dan bertambahnya edema secara progresif kecuali bila
dilakukan intervensi.
Peningkatan TIK dan intervensinya,Factor
 Fisiologi
 Intervensi
 Rasional & Edema serebral
Dapat disebabkan oleh kontosio, tumor atau abses; intoksikasi air (hipoosmolalitas);
perubahan barier otak darah (kebocoran protein ke dalam jaringan menyebabkan air
mengalir)

 Pemberian diuretic osmotic sesuai ketentuan (pantau osmolalitas serum)


 Mempertahankan kepala tempat tidur setinggi 30°
 Mempertahankan kesejajaran kepala
 Meningkatkan aliran balik vena
 Mencegah kerusakan aliran vena melalui vena jugularis

d) Hipoksia
Penurunan PaO2 menyebabkan vasodilatasi serebral kurang dari 60 mmHg. 

 Mempertahankan PaCo2 lebih dari 60 mmHg

33
 Mempertahankan terapi O2
 Memantau analisis gas darah
 Penghisapan bila diperlukan
 Mempertahankan jalan napas pasien
 Mencegah hipoksia dan vasodilatasi
 Hiperkapnia (peningkatan CO2)
 Menyebabkan vasodilatasi
 Pertahankan PaCO2 (normalnya 25-30 mmHg) dengan hiperventilasi
 Menurunkan PaCO2 mencegah vasodilatasi dan karenanya menurunkan volume
darah serebral
 Kerusakan aliran balik vena
 Meningkatkan volume darah serebral

1. Mempertahankan kesejajaran kepala


2. Tinggikan kepala tempat tidur 30° 

Hiperekstensi, rotasi atau hiperfleksi bagian leher menyebabkan penurunan aliran


darah vena 
Peningkatan tekanan abdomen atau intratorakal 
Peningkatan tekanan ini karena batuk, PEEP, valsalva maneuver yang menyebabkan
penurunan aliran balik vena 

 Pantau analisis gas darah dan pertahankan PEEP serendah mungkin


 Berikan O2 lembab
 Berikan laksatif sesuai ketentuan 

e) Proses keperawatan
Pasien peningkatan tekanan intracranial 
 Pengkajian
Tingkat kesadaran pasien dikaji sebagai dasar dalam mengidentifikasi criteria Skala
Koma Glasgow. Pasien dengan peningkatan TIK memperlihatkan perubahan lain yang
dapat mengarah pada peningkatan TIK berat. Hal ini termasuk perubahan yang tidak
terlihat, perubahan tanda vital, sakit kepala, perubahan pupil, dan muntah.

34
Perubahan samar. Gelisah, sakit kepala, pernapasan cepat, gerakan tidak tertuju
dan mental berkabut dapat merupakan indikasi klinis dini dari peningkatan TIK.
Indicator pertama TIK adalah perubahan tingkat kesadaran.
Perubahan tanda vital. Perubahan tanda vital mungkin tanda akhir dari
peningkatan TIK. Pada peningkatan TIK, frekuensi nadi dan pernapasan menurun dan
tekanan darah serta suhu meningkat. Tanda-tanda spesifik yang diobservasi termasuk
adanya tekanan tinggi pada arteri, bradikardia dan respirasi tidak teratur serta adanya
tanda lain yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pernapasan tidak teratur
yangdikaji termasuk pernapasan cheyne stokes (frekuensi dan kedalaman pernapasan
bergantian dengan periode singkat apnea) dan pernapasan ataksia (pernapasan tidak
teratur dengan urutan kedalaman yang acak dan pernapasan dangkal).
Tanda vital pasien berkompensasi selama sirkulasi otak dipertahankan. Bila,
sebagai akibat dari kompresi , sirkulasi utama mulai gagal, nadi dan pernapasan mulai
cepat dan suhu biasanya meningkat tetapi tidak diikuti pola yang konsisten. Tekanan
nadi (perbedaan antara tekanan sistolik dan diastolic) melebar, keadaan ini
berkembang serius. Perubahan cepat pada respons klinik sebelumnya selalu berada
pada periode di mana fluktuasi nadi menjadi cepat, dengan kecepatan yang bervariasi
dari lambat sampai cepat. Intervensi pembedahan adalah penting untuk mencegah
kematian.
Tanda vital tidak selalu berubah, pada keadaan peningkatan TIK. Pasien dikaji
terhadap perubahan dalam tingkat responsivitas dan adanya syok, manifestasi ini
membantu dalam evaluasi. 

Sakit kepala. Sakit kepala konstan, yang meningkat intensitasnya, dan diperberat
oleh gerakan atau mengejan.Perubahan pupil dan ocular. Peningkatan tekanan atau
menyebarnya bekuan darah pada otak dapat mendesak otak pada saraf okulomotorius
dan optikal, yang menimbulkan perubahan pupil.Muntah. Muntah berulang dapat
terjadi pada peningkatan tekanan pada pusat refleks muntah di medulla.
Pengkajian klinis tidak selalu diandalkan dalam menentukan peningkatan TIK,
terutama pasien koma. Pada situasi tertentu, pemantauan TIK adalah bagian esensial
dari penatalaksanaan.

35
f) Diagnosis keperawatan
Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan utama untuk pasien tersebut
adalah sebagai beriku:

 Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan TIK.


 Pola napas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi (kompresi batang otak,
perubahan posisi struktur)
 Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekresi
sekunder akibat depresi pada tingkat penurunan respons
 Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan prosedur dehidrasi.
 Perubahan elminasi perkemihan dan defekasi berhubungan dengan pengaruh
obat, pemasangan kateter uretra menetap, dan penurunan asupan
makan/minum
 Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan system pemantauan kateter
intraventrikular.

g) Masalah kolaborasi/komplikasi potensial


Berdasarkan data pengkajian, komplikasi potensial meliputi:

1. Herniasi batang otak diakibatkan dari peningkatan tekanan intracranial yang


berlebihan, bila tekanan bertambah di dalam ruang cranial dan penekanan
jaringan otak kearah batang otak. Tingginya tekanan pada batang otak
menyebabkan penghentian aliran darah ke otak dan menyebabkan anoksia otak
yang tidak dapat pulih dan mati otak.
2. Diabetes insipidus merupakan hasil dari penurunan sekresi hormone
antidiuretik. Urine pasien berlebihan. Terapi yang diberikan terdiri dari volume
cairan, elektrolit pengganti dan terapi vasopressin.

h) Sindrom ketidaktepatan hormone antidiuretik (SIADH), adalah akibat dari


peningkatan sekresi hormone antidiuretik. Pasien mengalami volume berlebihan
dan menurunnya jumlah urin yang keluar. Pengobatan SIADH berupa
pembatasan cairan dan pemberian feniotoin untuk menurunkan pengeluaran
ADH atau dengan litium untuk meningkatkan pengeluaran air.

36
i) Perencanaan dan implementasi

Sasaran untuk pasien dalam mencapai perfusi jaringan serebral melalui penurunan
tekanan intracranial, menormalkan pernapasan, mencapai bersihan jalan napas,
perbaikan keseimbangan cairan, menormalkan fungsi perkemihan dan defekasi, tidak
mendapat infeksi dan tidak terjadi komplikasi.

Intervensi keperawatan yang berkaitan dengan valsalva maneuver

1. Mencapai perfusi jaringan serebral. 

 Pasien dipantau terhadap bradikardia, peningkatan tekanan darah, refleks


cushing, yang adalah tanda-tanda peningkatan TIK. 
 Fleksi panggul ekstrem dihindari karena posisi ini menyebabkan peningkatan
dalam tekanan intraabdomen dan intratorakal, yang dapat menimbulkan
peningkatan TIK. 
 Maneuver valsalva, yang dapat dihasilkan oleh mengejan saat defekasi atau
bahkan gerakan diatas tempat tidur, harus dihindari. Pelunak feses dapat
diresepkan. Bila pasien sadar dan bisa makan, diet tinggi serat dapat
diindikasikan. Pasien dapat diinstruksikan untuk menarik napas (yang membuka
glottis) saat bergerak atau dibalik secara pasif. 
 Kontraksi otot isometric juga dikontraindikasikan, karena otot ini meningkatkan
tekanan darah dan bahkan TIK 
 Perubahan kecil yang relative pada posisi pasien dapat secara signifikan
mempengaruhi TIK. Bila parameter pemantauan menunjukan bahwa membalik
pasien meningkatkan TIK, merotasi tempat tidur dan membalik sprei dapat
digunakan dan kepala pasien dapat dipegang oleh tangan perawat selama
membalik untuk meminimalkan rangsang yang meningkatkan TIK. 
 Sebelum dilakukan penghisapan, pasien harus dioksigenasi sebelumnya dan
dihiperventilasi dengan menggunakan mode high sigh pada ventilator dengan
oksigen 100%. Penghisapan tidak boleh lebih dari 15 detik. 

37
 Aktivitas keperawatan yang meningkatkan TIK harus dihindari bila mungkin.
Pembagian intervensi kepeawatan dapat mencegah peningkatan sementara TIK. 
 Selama intervensi keperawatan TIK tidak boleh meningkat lebih dari 25 mmHg
dan harus kembali pada tingkat dasar dalam 5 menit. 
 Stress emosi dan gangguan yang sering karena tidur haus dihindari. Situasi yang
tenang dipertahankan. Rangsang lingkungan (bising, percakapan) harus
minimal. 
 Distensi abdomen, yang meningkatkan tekanan intraabdomen dan intratorakal
dan TIK, harus dipertahankan. Enema dan katartik dihindari bila mungkin. 
 PEEP tingkat tinggi dihindari karena PEEP dapat menurunkan aliran balik vena
ke jantung dan menurunkan drainase vena dari otak melalui peningkatan
tekanan intratorakal. 

2. Mencapai fungsi perkemihan dan defekasi normal


Kateter urinarius menetap biasanya dipasang untuk memungkinkan pengkajian
terhadap fungsi ginjal dan status cairan. Abdomen bawah pasien dikaji untuk tanda
distensi usus, dan area tersebut diauskultasi untuk bising usus. Biasanya feses diuji
untuk adaanya darah bila pasien dalam pemberian dosis tinggi kortikosteroid dari
terapi ini. Pasien diwaspadakan untuk menghindari mengejan saat defekasi karena
maneuver valsalva dapat meningkatkan TIK
 Rencana aplikasi
Peningkatan TIK merupakan kedaruratan sejati dan harus diatasi dengan segera.
Ketika tekanan meninggi, substansi otan ditekan. Fenomena sekunder disebabkan
gangguan oleh sirkulasi dan edema yang dapat menyebabkan kematian.
Penatalaksanaan segera untuk mengurangi peningkatan TIK didasarkan pada
penurunan ukuran otak dengan cara mengurangi edema serebral, mengurangi volume
cairan serebrospinal, atau mengurangi volume darah, sambil mempertahankan perfusi
serebral. Tujuan ini diselesaikan dengan pemberian diuretic osmotic dan
kortikosteroid, membatasi cairan, pengluaran cairan serebrospinal, hiperventilasi dari
pasien, mengontrol demam,menurunkan kebutuhan metabolisme dan meminimaliskan
tindakan keperawatan yang dapat meningkatkan tekanan intracranial termasuk
valsalva maneuver.

38
J. ICP MONITORING

Tekanan intrakranial (TIK) didefiniskan sebagai tekanan dalam rongga kranial dan
biasanya diukur sebagai tekanan dalam ventrikel  lateral otak. Peningkatan tekanan
intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis. Ruang
intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian
menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intrakranial
normal. Peningkatan volume salah satu dari ketiga unsur utama mengakibatkan
desakan ruang yang ditempatiunsurlainnyadanmenaikkantekananintrakranial. 
Isi ruang intra kranial adalah: 

  Parenkhim otak, 1100-1200 gram, merupakan komponen paling besar, kurang


lebih 70%.
 Komponen vaskuler, terdiri dari darah arteri, arteriole, kapiler, venula, dam
vena-vena besar 150 cc, kurang lebih 15-20%, tetapi kapasitas variasi yang
cukup besar.
 Komponen CSS (Cairan Serebro Spinal) 150 cc, 15-20% pada keadaan tertentu
sangat potensial untuk pengobatan, karena CSS dapat dikeluarkan

Hipotesis Kellie-Monroe memberikan suatu contoh konsep pemahaman peningkatan


tekanan intracranial.

39
Gambar. Hipotesis Kellie-Monroe

Tekanan Intrakranial
Kelompok Usia
normal (mmHg)
Dewasa dan anak-anak lebih < 10 – 15
besar
Anak-anak 3–7
Bayi baru lahir 1,5 – 6
Nilai tekanan intrakranial normal

Salah satu hal yang penting dalam TIK adalah tekanan perfusi serebral/cerebral
perfusion pressure (CPP). CPP adalah jumlah aliran darah dari sirkulasi sistemik yang
diperlukan untuk memberi oksigen dan glukosa yang adekuat untuk metabolisme otak.
CPP dihasilkan dari tekanan arteri sistemik rata-rata dikurangi tekanan intrakranial,
dengan rumus CPP = MAP – ICP. CPP normal berada pada rentang 60-100 mmHg. MAP
adalah rata-rata tekanan selama siklus kardiak. MAP = Tekanan Sistolik + 2X tekanan
diastolik dibagi 3. Jika CPP diatas 100 mmHg, maka potensial terjadi peningkatan
tekanan intra kranial (ICP). Jika kurang dari 60 mmHg, aliran darah ke otak tidak
adekuat sehingga hipoksia dan kematian sel otak dapat terjadi. Jika MAP dan ICP sama,
berarti tidak ada CPP dan perfusi serebral berhenti, sehingga penting untuk
mempertahankan kontrol ICP dan MAP.

40
Peningkatan tekanan intrakranial atau hipertensi intrakranial pada pasien trauma
disebabkan oleh hal-hal berikut:

1. Edema serebri
2. Hiperemia
3. Masa intrakranial akibat trauma, berupa EDH, SDH, perdarahan intraserebral,
benda asing, dan fraktur depresi tulang tengkorak.
4. Hidrosefalus akibat obstruksi absorbsi cairan serebrospinal (CSS)
5. HIpoventilasi yang menyebabkan vasodilatasi
6. Hipertensi sistemik
7. Thrombosis sinus venosus
8. Peningkatan  tonus otot atau trauma manuver Valsava akibat keadaan
penurunan kesadaran (agitasi) dan posisi tubuh
9. Kejang pasca traumatik yang menetap (status epileptikus)

K. KEKRITISAN SISTEM NEUROLOGIS


1) STROKE ISKEMIK
1.1 Definisi
Stroke menurut definisi World Health Organization (WHO) adalah suatu tanda
klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan
gejala – gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan
kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Sjahrir2003).
Stroke iskemik adalah tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan otak yang
disebabkan kurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu kebutuhan darah dan
oksigen di jaringan otak (Sjahrir,2003).
1.3. Faktor Risiko
Faktor - faktor resiko untuk terjadinya stroke dapat diklasifikasikan
sebagai berikut : (Sjahrir,2003).
1. Non modifiable risk factors :
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Keturunan / genetik
2. Modifiable risk factors
a. Behavioral risk factors

41
1. Merokok
2. Unhealthy diet : lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol, low
fruit diet
3. Alkoholik
4. Obat-obatan : narkoba (kokain), antikoaguilansia, antiplatelet, obat
kontrasepsi
b. Physiological risk factors
1. Penyakit hipertensi
2. Penyakit jantung
3. Diabetes mellitus
4. Infeksi/lues, arthritis, traumatic, AIDS, Lupus
5. Gangguan ginjal
6. Kegemukan (obesitas)
 Patofisiologi
Pada stroke iskemik, berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan hipoksemia
daerah regional otak dan menimbulkan reaksi – reaksi berantai yang berakhir dengan
kematian sel – sel otak dan unsur – unsur pendukungnya (Misbach, 2007).
Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti (core)
dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi
nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah core iskemik
terdapat daerah penumbra iskemik. Sel – sel otak dan jaringan pendukungnya belum
mati akan tetapi sangat berkurang fungsi – fungsinya dan menyebabkan juga defisit
neurologis. Tingkat iskemiknya makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra
iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran
darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi
sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi
kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi,
daerah penumbra dapat berangsur-angsur mengalami kematian (Misbach,2007)
Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara
bertahap, yaitu (Sjahrir,2003):
Tahap 1 :
a. Penurunan aliran darah
b. Pengurangan O2

42
c. Kegagalan energi
d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion
Tahap 2 :
a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion
b. Spreading depression
Tahap 3 : Inflamasi
Tahap 4 : Apoptosis

 Cara Kerja Obat Antiplatelet


Di pembuluh darah dengan menghambat secara ireversibel enzim siklooksigenase.
Penghambatan enzim siklooksigenase terjadi karena aspirin mengasetilasi enzim
tersebut (Katzung, 2003), (Blann, A.D dkk, 2003), (Dewoto, 2007).
 Penggunaan dan Dosis Terapeutik
Aspirin merupakan satu-satunya obat antiplatelet yang diberikan pada stroke iskemik
akut dan direkomendasikan untuk diberikan segera dengan dosis 160-325 mg per hari
(Lip, G.Y.H dkk, 2003). Sedangkan Food and Drug Administration (FDA) menyetujui
pemberian aspirin 325 mg per hari untuk profilaksis primer infark miokard (Katzung,
2003). Dosis yang digunakan pada beberapa percobaan klinis bervariasi, dimulai dari
dosis kurang dari 50 mg
sampai >1200 mg per hari (Blann, A.D dkk, 2003).
 Efek Samping
Juga menghambat pembentukan prostasiklin.Efek samping dari penggunaan aspirin
adalah rasa tidak enak di perut,mual dan perdarahan saluran cerna, ruam kulit, purpura
dan alopesia (Blann,A.D dkk, 2003), (Dewoto, 2007).
 Kontraindikasi
Kontraindikasi pemberian aspirin dibagi menjadi dua yaitu absolut pada kondisi ulkus
gastrointestinal yang aktif, hipersensitivitas dan trombositopenia.Sedangkan yang
relatif yaitu adanya riwayat ulkus atau dispepsia, penyakit dengan perdarahan dan
pemberian warfarin (Blann, A.D dkk, 2003).Berdasarkan studi in vitro pada sitokrom
P450, cilostazol di metabolisme di hatimelalui sitokrom P450. (Yoo dkk, 2010).
 Cara Kerja

43
Cilostazol menghambat phospodiesterase 3, meningkatkan konsentrasic AMP dan
akibatnya adalah menghambat agregasi platelet. Obat ini jugamemiliki efek vasodilator
yang menghambat proliferasi otot polos vaskular danmelindungi dinding vaskular serta
endothelium (Shinohara dkk, 2010). Dan yang terbaru cilostazol juga menghambat
lipopolisakarida yang dapat menginduksi apoptosis pada sel endothelium. Berdasarkan
hasil observasi cilostazol memiliki efek neuroproteksi ( Lee dkk, 2003
 Penggunaan Dosis dan Terapeutik
Pemberian cilostazol yang direkomendasikan adalah 100 mg sebanyak dua kali sehari
atau 50mg sebanyak dua kali sehari. Pasien biasanya respon selama dua atau empat
minggu setelah pemberian terapi (Lee dkk, 2003)(Katzung, 2003
 Efek Samping
Efek samping yang muncul adalah nyeri kepala, dizzines dan takikardia(Furie, 2010).
 Kontraindikasi
Pada kondisi gagal jantung, kelainan hemostasis atau pasien yang mengalami
perdarahan seperti perdarahan lambung dan perdarahan intrakranial(Lee dkk , 2003).
 CLOPIDOGREL
 Kimia
Clopidogrel merupakan turunan dari derivat thienopyridine yang menghambat agregasi
platelet (Katzung, 2003).
 Farmakokinetik
Clopidogrel dengan waktu paruh obat selama 8 jam dan biasanya dieliminasi melalui
feses atau ginjal (Sigit, J.I, 2003).
 Cara Kerja
Clopidogrel secara kompetitif dan ireversibel menghambat adenosine diphospate
(ADP) P2Y12 reseptor. Adenosine diphosphate yang berikatan dengan PY1 reseptor
menginduksi perubahan ukuran platelet dan kelemahan serta agregasi platelet yang
sementara (Nguyen, 2005). Tidak seperti aspirin obat ini tidak memiliki efek terhadap
metabolisme prostaglandin (Katzung, 2003).
 Penggunaan Dosis dan Terapeutik
Pada beberapa percobaan dilaporkan efikasi penggunaan clopidogrel dalam
pencegahan transient ischemic attack, stroke dan unstable angina pectoris. Efek
antithrombotik dari clopidogrel tergantung kepada dosis, didalam 5 jam setelah
pemberian secara oral dosis awal clopidogrel 300 mg, aktivitas platelet sebanyak 80%

44
dapat dihambat. Dosis 75 mg merupakan maintenance dose , dimana dapat mencapai
inhibisi platelet maksimum. Durasi efek
antiplatelet 7-10 hari (Katzung, 2003).
 Efek Samping
Memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan ticlopidine yaitu supresi
sumsum tulang belakang yaitu neutropenia (Katzung, 2003) (Blann, A.D. dkk, 2003) dan
thrombotic thrombocytopenia purpura pada beberapa kasus (Katzung, 2003).
 Kontraindikasi
Clopidogrel kontraindikasi diberikan pada gangguan hati berat, kecenderungan
perdarahan dan pada wanita hamil (Sigit, J.I, 2003).
2) STROKE HEMORAGIK

A.   PENGERTIAN STROKE HEMORAGIK
Stroke hemoragik adalah salah satu jenis stroke yang disebabkan karena pecahnya
pembuluh darah di otak sehingga darah tidak dapat mengalir secara semestinya yang
menyebabkan otak mengalami hipoksia dan berakhir dengan kelumpuhan.

B.    ETIOLOGI STROKE HEMORAGIK


Penyebab perdarahan otak yang paling lazim terjadi
1.  Aneurisma Berry, biasanya defek kongenital.
2.  Aneurisma fusiformis dari atherosklerosis. Atherosklerosis adalah mengerasnya
pembuluh darah serta berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh
darah. Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian robek dan terjadi
perdarahan
3.  Aneurisma myocotik dari vaskulitis nekrose dan emboli septis.
4.  Malformasi arteriovenous, adalah pembuluh darah yang mempunyai bentuk abnormal,
terjadi hubungan persambungan pembuluh darah arteri, sehingga darah arteri langsung
masuk vena, menyebabkan mudah pecah dan menimbulkan perdarahan otak.
5.  Ruptur arteriol serebral, akibat hipertensi yang menimbulkan penebalan dan degenerasi
pembuluh darah.

Faktor resiko pada stroke adalah


1.  Hipertensi

45
2.  Penyakit kardiovaskuler: arteria koronaria, gagal jantung kongestif, fibrilasi atrium,
penyakit jantung kongestif)
3.  Kolesterol tinggi, obesitas
4.  Peningkatan hematokrit (resiko infark serebral)
5.  Diabetes Melitus (berkaitan dengan aterogenesis terakselerasi)
6.  Kontrasepasi oral (khususnya dengan disertai hipertensi, merokok, dan kadar estrogen
tinggi)
7.  Penyalahgunaan obat (kokain), rokok dan alkohol

C.    PATOFISIOLOGI STROKE HEMORAGIK

1.    Perdarahan intra cerebral


Pecahnya pembuluh darah otak terutama karena hipertensi mengakibatkan darah
masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa atau hematom yang menekan
jaringan otak dan menimbulkan oedema di sekitar otak. Peningkatan TIK yang terjadi
dengan cepat dapat mengakibatkan kematian yang mendadak karena herniasi otak.
Perdarahan intra cerebral sering dijumpai di daerah putamen, talamus, sub kortikal,
nukleus kaudatus, pon, dan cerebellum. Hipertensi kronis mengakibatkan perubahan
struktur dinding permbuluh darah berupa lipohyalinosis atau nekrosis fibrinoid.
2.    Perdarahan sub arachnoid
Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma atau AVM. Aneurisma paling
sering didapat pada percabangan pembuluh darah besar di sirkulasi willisi.
AVM dapat dijumpai pada jaringan otak dipermukaan pia meter dan ventrikel otak,
ataupun didalam ventrikel otak dan ruang subarakhnoid. Pecahnya arteri dan keluarnya
darah keruang subarakhnoid mengakibatkan tarjadinya peningkatan TIK yang
mendadak, meregangnya struktur peka nyeri, sehinga timbul nyeri kepala hebat. Sering
pula dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda rangsangan selaput otak lainnya.
Peningkatam TIK yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan subhialoid pada
retina dan penurunan kesadaran.
Pathway Stroke Hemoragik
 

46
D.    MANIFESTASI KLINIS STROKE HEMORAGIK
Kemungkinan kecacatan yang berkaitan dengan stroke
1.      Daerah a. serebri media
a.     Hemiplegi kontralateral, sering disertai hemianestesi
b.     Hemianopsi homonim kontralateral
c.      Afasi bila mengenai hemisfer dominan
d.     Apraksi bila mengenai hemisfer nondominan
2.      Daerah a. Karotis interna
Serupa dengan bila mengenai a. Serebri media
3.      Daerah a. Serebri anterior
a.     Hemiplegi (dan hemianestesi) kontralateral terutama di tungkai
b.     Incontinentia urinae
c.      Afasi atau apraksi tergantung hemisfer mana yang terkena
4.      Daerah a. Posterior
a.     Hemianopsi homonim kontralateral mungkin tanpa mengenai
b.     daerah makula karena daerah ini juga diperdarahi oleh a. Serebri media
c.      Nyeri talamik spontan
d.     Hemibalisme
e.     Aleksi bila mengenai hemisfer dominan
5.      Daerah vertebrobasiler
a.     Sering fatal karena mengenai juga pusat-pusat vital di batang otak
b.     Hemiplegi alternans atau tetraplegi

47
c.      Kelumpuhan pseudobulbar (disartri, disfagi, emosi labil)
 

STROKE HEMORAGIK
E.     KOMPLIKASI STROKE HEMORAGIK
Stroke hemoragik dapat menyebabkan
1.      Infark Serebri
2.      Hidrosephalus yang sebagian kecil menjadi hidrosephalus normotensif
3.      Fistula caroticocavernosum
4.      Epistaksis
5.      Peningkatan TIK, tonus otot abnormal
F.     PENATALAKSANAAN MEDIS STROKE HEMORAGIK
Penatalaksanaan untuk stroke hemoragik, antara lain:
1.  Menurunkan kerusakan iskemik cerebral
Infark cerebral terdapat kehilangan secara mantap inti central jaringan otak, sekitar
daerah itu mungkin ada jaringan yang masih bisa diselematkan, tindakan awal
difokuskan untuk menyelematkan sebanyak mungkin area iskemik dengan memberikan
O2, glukosa dan aliran darah yang adekuat dengan mengontrol / memperbaiki disritmia
(irama dan frekuensi) serta tekanan darah.
2.  Mengendalikan hipertensi dan menurunkan TIK
Dengan meninggikan kepala 15-30 menghindari flexi dan rotasi kepala yang berlebihan,
pemberian dexamethason.
3.  Pengobatan
a.  Anti koagulan: Heparin untuk menurunkan kecederungan perdarahan pada fase akut.
b.  Obat anti trombotik: Pemberian ini diharapkan mencegah peristiwa
trombolitik/emobolik.
c.   Diuretika : untuk menurunkan edema serebral
4.  Penatalaksanaan Pembedahan

48
Endarterektomi karotis dilakukan untuk memeperbaiki peredaran darahotak. Penderita
yang menjalani tindakan ini seringkali juga menderita beberapa penyulit seperti
hipertensi, diabetes dan penyakit kardiovaskular yang luas. Tindakan ini dilakukan
dengan anestesi umum sehingga saluran pernafasan dan kontrol ventilasi yang baik
dapat dipertahankan.

G.    PEMERIKSAAN PENUNJANG STROKE HEMORAGIK


1.    Angiografi cerebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti perdarahan
arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan seperti
aneurism atau malformasi vaskular.
2.    Lumbal pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal menunjukkan
adanya hemoragi pada subarakhnoid atau perdarahan pada intrakranial.
3.    CT scan
Penindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia dan posisinya secara pasti.
4.    MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Menggunakan gelombang megnetik untuk menentukan posisi dan bsar terjadinya
perdarahan otak. Hasil yang didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat dari
hemoragik.
5.    EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak dari
jaringan yang infrak sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan o

3) Cedera Saraf Tulang Belakang

Cedera saraf tulang belakang atau spinal cord injury merupakan luka atau kerusakan
yang terjadi pada saraf tulang belakang atau saraf yang terletak di ujung saluran (kanal)

49
tulang belakang. Kondisi cedera ini bisa menyebabkan dampak premanen pada
kekuatan, sensasi, dan fungsi organ tubuh lain.

Saraf tulang belakang memiliki fungsi untuk menjembatani sinyal-sinyal pesan dari
otak menuju organ tubuh lainnya. Berdasarkan jenis pesan yang dikirim, terdapat dua
kelompok sel saraf, yakni kelompok saraf motorik dan kelompok saraf sensorik.
Kelompok saraf motorik merupakan sel-sel saraf yang membawa sinyal dari otak untuk
mengendalikan gerakan otot. Sementara kelompok saraf sensorik adalah sel-sel saraf
yang membawa sinyal dari otak untuk mengendalikan posisi anggota gerak, serta
sensasi yang berhubungan dengan rasa sakit, dingin, panas, dan tekanan.

Cedera pada saraf tulang belakang dapat memengaruhi fungsi motorik dan sensorik
tubuh. Dari rasa sakit, mati rasa, hingga kelumpuhan. Hal ini akan bergantung pada
tingkat keparahan dan lokasi cedera. Tingkat keparahan cedera dibagi menjadi dua,
yaitu:

 Menyeluruh atau lengkap. Tingkat cedera ini melibatkan hilangnya semua


kemampuan yang bersifat inderawi (sensorik) dan kemampuan mengendalikan
pergerakan (motorik) area yang dipersarafi tulang belakang yang cedera.

 Lokal atau tidak lengkap. Terjadi bila masih ada beberapa fungsi sensorik atau
motorik yang bekerja. Cedera jenis ini memiliki beragam tingkat keparahan
tersendiri.

Selain itu, kelumpuhan (paralysis) akibat cedera tulang belakang dapat dikategorikan
menjadi:

 Tetraplegia atau quadriplegi, yang bisa memengaruhi keempat anggota gerak,


dada, dan perut.

 Paraplegia, yang memengaruhi anggota gerak bawah dan organ panggul.

 Faktor Risiko Cedera Saraf Tulang Belakang

 Jenis kelamin. Cedera saraf tulang belakang rentan terjadi pada pria.

50
 Usia. Orang-orang yang berusia 16-30 tahun atau di atas 65 tahun lebih rentan
terkena cedera saraf tulang belakang.

 Berpartisipasi dalam aktivitas yang berisiko tinggi seperti melompat ke dalam


air dangkal atau berolahraga tanpa perlengkapan pelindung yang sesuai dapat
menyebabkan trauma tulang belakang.

 Penyakit tulang atau sendi yang lain.

 Penyebab Cedera Saraf Tulang Belakang

Kerusakan yang terjadi pada tulang belakang, ligamen, keping (diskus) tulang
belakang, atau saraf tulang belakang itu sendiri merupakan penyebab dari cedera
saraf tulang belakang. Cedera saraf tulang belakang dapat berdampak ada sebagian
atau seluruh sel saraf. Misalnya, cedera pada punggung bagian bawah dapat
memengaruhi sel saraf dan fungsi organ seperti tungkai, batang tubuh termasuk
organ-organ di dalamnya seperti kandung kemih, dan organ seksual. Kerusakan
saraf tulang belakang dapat dipicu oleh penyebab traumatis (primer) atau
nontraumatis (sekunder) yang dialami oleh tulang belakang. Beberapa contoh
penyebabnya antara lain:

 Kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan merupakan penyebab yang paling


umum dari kondisi ini.

 Lansia, khususnya yang berusia diatas 65 tahun, memiliki risiko mengalami


cedera saraf tulang belakang akibat terjatuh. Olahraga atau cedera saat rekreasi.
Beberapa kegiatan atletis seperti, menyelam di perairan dangkal, berkuda, ski,
papan luncur, dan lain-lain berisiko menyebabkan cedera saraf tulang belakang
ketika terjatuh.

 Tindak kekerasan. Cedera dapat bermula dari luka tembak dan luka tusuk yang
ikut memotong atau melukai saraf tulang belakang.

 Gejala Cedera Saraf Tulang Belakang

Cedera saraf tulang belakang dapat memiliki satu atau lebih gejala di bawah ini:

51
 Kehilangan kemampuan untuk merasakan sentuhan, panas, dan dingin.

 Tidak dapat bergerak.

 Rasa sakit atau seperti tersengat akibat rusaknya serat saraf tulang belakang.

 Kesulitan batuk, bernapas, juga sulit untuk mengeluarkan cairan dari paru-paru

 Kehilangan kendali terhadap proses tubuh yang berkaitan dengan usus dan
kandung kemih, seperti sulit menahan buang air kecil maupun besar.

 Perubahan yang berhubungan dengan aktivitas seksual, fungsi seksual, dan


fertilitas.

 Mengalami refleks atau kejang yang berlebihan.

 Diagnosis Cedera Saraf Tulang Belakang

Diagnosis pada cedera saraf tulang belakang biasanya dilakukan dengan dua cara.
Pertama adalah evaluasi klinis, pemeriksaan berdasarkan gejala yang dialami dan
pemeriksaan fisik (seperti tes kekuatan otot, sensor tubuh yang dirasakan atau tidak
dirasakan, dan seterusnya). Kedua adalah tes pencitraan, yaitu berupa pemeriksaan
MRI atau pencitraan lainnya untuk menilai saraf tulang belakang, tulang belakang, dan
otak.

 Komplikasi Cedera Saraf Tulang Belakang

 Kemampuan kulit untuk merasakan tekanan, rasa dingin atau panas yang terhalang
akibat kondisi ini membuat penderita rentan mengalami luka atau nyeri pada area
kulit yang mengalami tekanan berlebihan dan terkena panas atau dingin.

 Pembuangan urine dari kandung kemih sulit untuk dikendalikan akibat sel saraf
yang bertugas sebagai pembawa pesan telah mengalami cedera. Kondisi ini dapat
memicu infeksi saluran kemih, ginjal, dan kencing batu. Proses rehabilitasi akan
membantu pengidap untuk belajar bagaimana mengendalikan kandung kemih pasca
cedera.

52
 Berkurangnya kendali tubuh untuk proses pembuangan air besar yang turut
berubah.

 Naiknya tekanan darah atau sebaliknya, menurun saat bangkit dari posisi duduk,
hingga pembengkakan pada tungkai yang dapat memicu penggumpalan darah,
seperti penyakit trombosis vena dalam (deep vein thrombosis).

 Kejang otot atau kekencangan otot yang tidak terkontrol (spastisitas), atau
sebaliknya, otot yang lemas akibat berkurangnya kekuatan (flasiditas).

 Gangguan pernapasan sebagai akibat dari pengaruh cedera saraf tulang belakang
pada otot perut dan dada.

 Penurunan berat badan dan degenerasi otot dapat membatasi gerakan tubuh yang
kemudian berisiko pada kondisi obesitas, diabetes, dan penyakit yang berhubungan
dengan organ jantung (kardiovaskular).

 Nyeri otot, sendi, atau saraf pada otot yang terlalu sering digunakan pengidap
cedera saraf tulang belakang tidak lengkap.

 Kesehatan seksual, seperti fungsi organ seksual, tingkat kesuburan, dan gairah
seksual dapat turut terpengaruh akibat kondisi ini.

 Depresi dapat muncul akibat harus melalui perubahan-perubahan yang dialami oleh
tubuh dan rasa sakit akibat kondisi ini.

 Pengobatan Cedera Saraf Tulang Belakang

Jeda waktu cedera dan penanganan cedera saraf tulang belakang dapat
memengaruhi jenis komplikasi dan waktu pemulihan. Hingga saat ini belum ada cara
untuk mengembalikan fungsi saraf tulang belakang yang rusak. Dokter biasanya akan
memberikan perawatan secara bertahap untuk cedera saraf tulang belakang.Pemulihan
cedera saraf tulang belakang dapat berlangsung cepat dan lama. Pada beberapa kasus,
pemulihan dapat terjadi sedikit demi sedikit, dimulai dari satu minggu hingga 6 bulan,
bisa juga memakan waktu hingga satu tahun atau lebih lama.

53
 Pencegahan Cedera Saraf Tulang Belakang

Cedera saraf tulang belakang dapat terjadi saat seseorang mengalami benturan atau
terjatuh. Untuk itu, sangat penting agar berhati-hati dalam setiap tindakan agar
terhindar dari kecelakaan.

Jika menemui orang lain yang mengalami kecelakaan, cegah atau kurangi risiko
terjadinya cedera saraf tulang belakang pada leher atau punggungnya dengan cara:

 Segera hubungi paramedis dan jangan memindahkan atau menggerakkan korban


sebelum paramedis tiba di lokasi.

 Letakkan handuk tebal di kedua sisi leher, atau pegang leher dan kepala, dan
minta korban untuk tidak bergerak hingga paramedis tiba.

 Lakukan pertolongan pertama yang diperlukan untuk menghentikan pendarahan


tanpa menggerakan leher dan kepala.

3. CIDERA KEPALA

1.      PENGERTIAN
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala.

54
Suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai / tanpa disertai perdarahan
interstitial dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas jaringan otak.
Merupakan suatu keadaan gawat darurat neurologic, memerlukan penanganan yang
cepat,cermat dan tepat karena dapat mentebabkan cacat dan kematian
Cedera kepala dapat meliputi :
1.            Luka pada kulit kepala
2.            Fraktur tulang tengkorak
3.            Robekan selaput otak
4.            Kerusakan pembuluh darah otak
5.            Kerusakan pada jaringan otak
Trauma pada kepala dapat mengakibatkan
1)            Kerusakan Primer
Kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan langsung atau proses
mekanik yang membentur kepala. Berat ringannya kerusakan tergantung :
(1) Kuatnya benturan
(2) Kondisi kepala pada saat terjadi benturan (diam atau bergerak)
(3) Adanya proses Akselerasi dan Deselerasi
(4) Bentuk objek yang menghantam
Kerusakan primer dapat mengakibatkan : Fraktur tengkorak, Perdarahan (subdural,
epidural atau pada intraserebral), Robekan/regangan serabut syaraf dan kematian
neuron
2)         Kerusakan Sekunder
Terjadi akibat lanjutan dari kerusakan otak primer, kemungkinan karena adanya :
edema serebri, iskemia otak, perdarahan intrakranial lanjutan, infeksi, hipoksia,
hipotensi ataupun serangan kejang.

2.      ETIOLOGI
Cidera kepala  dapat disebabkan karena :
Kecelakaan lalu lintas, terjatuh, kecelakaan industri,  kecelakaan olah raga, luka
persalinan pada bayi baru lahir ( Tarwoto, Wartonah, 2007 : 125)

3.      KLASIFIKASI

55
1)      Patofisologi
 Komosio Serebri : tidak ada jaringan otak yang rusak, kemungkinan ada
kehilangan fungsi otak sesaat, berupa pingsan < 10 menit, atau amnesia pasca
trauma
 Kontusio Serebri : kerusakan otak dengan defisit neurologik, pingsan < 10 menit
 Laserasi Serebri : kerusakan otak yang luas, umumnya disertai dengan fraktur
tengkorak terbuka
2)      Lokasi
 Lesi Difus : kerusakan akibat proses akselerasi /deselerasi yang merusak
sebagian besar akson di SSP akibat regangan
 Lesi Kerusakan Vaskuler Otak : disebabkan oleh lesi sekunder iskemik
terutama akibat hipoperfusi dan hipoksia yang dapat terjadi pada waktu
selama perjananan ke RS atau selama perawatan
 Lesi Fokal : Kontusio dan Laserasi Serebri serta Hematoma intrakranial
3)      Derajat Kesadaran
Kategori GCS Gambaran Klinik
Ringan 13-15 Pingsan 10’, komplikasi/defisit neurologik (-)
Sedang 9-12 Pingsan  > 10’-6 jam, komplikasi/defisit neurologik (+)
Berat 3-8 Pingsan  6 jam, komplikasi/defisit neurologik (+)

4.      PATOFISIOLOGI
Cedera pada otak bisa berasal dari trauma mendadak, langsung atau tidak
langsung pada kepala yang menimbulkan  tiga mekanisme yang berpengaruh yaitu : 
akselerasi  (benda bergerak membentur kepala yang diam misalnya terkena lemparan
batu), deselerasi (kepala bergerak membentur benda yang diam misalnya kepala
membentur tanah) dan deformitas adalah kerusakan pada bagian tubuh akibat trauma
misalnya adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau pemotongan otak.( Tarwoto
dan Wartonah, 2007: 123)
Pada cidera kepala terjadi perdarahan kecil- kecil  pada permukaan otak yang tersebar
melalui substansi otak daerah tersebut dan bila area contusio besar akan menimbulkan
efek massa yang dapat menyebabkan  peningkatan Tekanan Intracranial/ TIK (Carolyn
dan Barbara, 1996: 227).
Peningkatan  TIK menyebabkan aliran darah ke otak menurun dan terjadi berhentinya
aliran darah ke otak/ iskemik Bila terjadi iskemik komplet dan lebih dari 3 sampai 5

56
menit, otak akan menderita kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Pada iskemik
serebral, pusat vasomotor terstimulasi dan tekanan sistemik meningkat untuk
mempertahankan aliran darah yang disertai dengan lambatnya denyutan nadi dan
pernafasan yang tidak teratur  Dampak dari peningkatan intracranial  yang lain
diantaranya : penurunan kesadaran yang menyebabkan gangguan aktivitas dan
gangguan persepsi sensori. Dampak terhadap medulla oblongata yang merupakan pusat
pengatur pernafasan  terjadi gangguan pola nafas (Brunner dan Suddart, 2002: 2114)

5.      PENATALAKSANAAN 
 a.  Penatalaksanaan umum cidera kepala:
·   Monitor respirasi : bebaskan jalan nafas, monitor keadaan ventilasi,   periksa Analisa
Gas Darah, berikan oksigan jika perlu
·   Monitor tekanan intrakranial
·   Atasi syok bila ada
·   Kontrol tanda vital
·   Keseimbangan cairan dan elektrolit
 b.  Operasi
Operasi dilakukan untuk mengeluarkan darah pada intrasereberal, debridemen
luka,dan prosedur shunting, jenis operasi tersebut adalah :.
·      Craniotomy adalah mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk
meningkatkan akses pada struktur intrakranial. Ada tiga tipe craniotomy menurut letak
insisi yaitu: craniotomy  supratentorial (diatas tentorium), infratentorial (dibawah
tentorium)  dan craniotomy transfenoidal (melalui sinus mulut dan hidung )
·      Craniektomy adalah eksisi pada suatu bagian tengkorak.
·      Cranioplasty adalah perbaikan deffek kranial dengan menggunakan  plat logam atau
plastik
·      Lubang burr / Burr holes adalah suatu tindakan pembuatan lubang pada tulang
kepala yang bertujuan untuk diagnostik diantaranya untuk  mengetahui ada tidaknya
perdarahan ekstra aksial, pembengkakan cereberal, cedera dan  mengetahui ukuran
serta posisi ventrikel sebelum tindakan definitif craniotomy dilakukan. dan eksplorasi
c. Penatalaksanaan praoperasi :
    a)  Medik

57
·   Antikonvulsan ( Fenitoin ) diberikan sebelum pembedahan untuk   mengurangi risiko
kejang pasca operasi
·   Steroid diberikan untuk mengurangi edema cerebral.
·   Agens hiperosmotik ( manitol) dan diuretik untuk individu yang mengalami disfungsi
intrakranial dan cenderung menahan air.
·   Katether menetap dipasang untuk mengawasi haluaran urin
·   Antibiotik diberikan bila cereberal sempat terkontaminasi
·   Diazepam diberikan untuk menghilangkan ansietas.
b)      Penatalaksanaan keperawatan
Asuhan keperawatan preoperatif dimulai selama proses penerimaan pasien dengan
parameter berikut  : 
·   A - Airway ( jalan nafas),
·   B - Breathing(pernafasan),
·   C – Circulation (sirkulasi), Cortex( kortex otak) dan  Cord Medula   spinalis
·   Pengkajian jalan nafas pasien terhadap kepatenan, jika tidak paten diperlukan
bantuan dengan intubasi. Jika jalan nafas paten pengkajian dilakukan untuk memeriksa
apakah pernafasan dan pertukaran oksigen adekuat.
·   Pengkajian sirkulasi dengan mengukur tekanan darah dan frekwensi jantung
·   Pengkajian sirkulasi korteks otak dipastikan dengan tingkat kesadaran pasien
·   Pengkajian medula spinalis melalui kemampuan untuk mengenali sensasi sentral,
perifer dan  menggerakan ekstremitas berdasarkan perintah.           
·   Pengkajian psikososial : memberikan penjelasan kepada pasien sebelum operasi.
·   Persiapan fisik pasien : rambut kepala dicukur untuk mencegah infeksi.
d. Pascaoperasi :
     a) Penatalaksanaan keperawatan :
·   Pantau tanda-tanda vital : fluktuasi tanda vital adalah indikasi peningkatan tekanan
itrakranial ( TIK)
·   Pantau pernafasan untuk memantau hipoksia yang dapat meningkatkan iskemik
cereberal
·   Pantau suhu rectal untuk mengkaji hipothermi sekunder akibat kerusakan
hipotalamus
·   Pantau tingkat kesadaran untuk mengetahui peningkatan TIK.

58
·   Kaji status neurologik : tingkat kesadaran, respon mata, respon motorik untuk
memantau defisit neurologik : penurunan kesadaran, respon terhadap rangsang,
masalah bicara, kesulitan menelan, kelemahan atau paralisis ekstremitas, perubahan
visual (diplopia ,penglihatan kabur), parestesia atau kejang.
·   Inspeksi balutan untuk memantau adanya perdarahan dan drainase CSS.
b) Penatalaksanaan Medik
·   Diuretik untuk mengurangi edema serebral
·   Abtikonvulsan untuk menghentikan kejang
·   Kortikosteroid untuk menghambat pembentukan edema
·   Antagonis histamin utnuk mencegah terjadinya iritasi lambung karena -hperekskresi
akibat efek trauma.
·   Antibiotik jika terjadi luka besar.

6.      KOMPLIKASI
Kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma intrakranial
edema serebral progresif dan herniasi otak. Komplikasi dari cedera kepala adalah:
1)      Peningkatan TIK
Lebih dari separuh kematian karena trauma kepala disebabkan oleh hipertensi
intrakranial. Kenaikan tekanan intrakranial (TIK) dihubungkan dengan penurunan
tekanan perfusi dan aliran darah serebral (CBF) dibawah tingkat kritis (60 mmHg) yang
berakibat kerusakan otak iskemik.
Pemantauan TIK yang berkesinambungan bisa menunjukkan indikasi yang tepat untuk
mulai terapi dan mengefektifkan terapi, serta menentukan prognosis.
TIK yang normal: 5-15 mmHg
TIK Ringan : 15 – 25 mmHg
TIK sedang : 25-40 mmHg
TIK berat : > 40 mmHg
2)      Iskemia
Iskemia adalah simtoma berkurangnya aliran darah yang dapat menyebabkan
perubahan fungsional pada sel normal.
3)      Perdarahan otak
a.       Epidural hematom:

59
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat
pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di
duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat
berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling
sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.
Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa.
Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler,
penurunan nadi, peningkatan suhu.
b.      Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan
kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya
terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam
48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa
bulan.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat,
kejang dan edema pupil.
c.       Perdarahan intraserebral
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan,
hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
d.      Perdarahan subarachnoid:
Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan
permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil
ipsilateral dan kaku kuduk.
4)      Kejang pasca trauma.
Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal cedera 4-
25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor
risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur
depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.
5)      Demam dan mengigil :
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan memperburuk
“outcome”. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral.

60
Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular paralisis. Penanganan lain
dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.
6)      Hidrosefalus:
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non komunikan.
Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi,
Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem ventrikel.
Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia,
ataksia, gangguan miksi.
7)      Spastisitas :
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan gerakan.
Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi.
Beberapa penanganan ditujukan pada : Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan
kontraktur, Bantuan dalam posisioning.
Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder dengan splinting,
casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum, benzodiasepin
8)      Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk
delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi akibat
nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan farmakologi
antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron,
stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.
9)      Mood, tingkah laku dan kognitif
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik setelah
cedera kepala dalam jangka lama.
10)  Sindroma post kontusio
Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan
pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama.

5. Epilepsi
A.    Pengertian
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat reversibel (Tarwoto, 2007)
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang

61
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik
abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif,
2000)
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri
timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron
otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik (anonim,
2008)
B. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (Idiopatik) Sering
terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah

C. Epilepsi dapat dibagi dalam tiga golongan utama antara lain:


a. Epilepsi Grand Mal
Epilepsi grand mal ditandai dengan timbulnya lepas muatan listrik yang berlebihan dari
neuron diseluruh area otak-di korteks, di bagian dalam serebrum, dan bahkan di batang
otak dan talamus. Kejang grand mal berlangsung selama 3 atau 4 menit.
b. Epilepsi Petit Mal
Epilepsi ini biasanya ditandai dengan timbulnya keadaan tidak sadar atau penurunan
kesadaran selama 3 sampai 30 detik, di mana selama waktu serangan ini penderita
merasakan beberapa kontraksi otot seperti sentakan (twitch- like),biasanya di daerah
kepala, terutama pengedipan mata.
c. Epilepsi Fokal
Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik regio setempat pada
korteks serebri atau struktur-struktur yang lebih dalam pada serebrum dan batang
otak. Epilepsi fokal disebabkan oleh resi organik setempat atau adanya kelainan
fungsional.

62
D. Pathways

E. Manifestasi klinik
1. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan
penginderaan
2. Kelainan gambaran EEG :....
3. Tergantung lokasi dan sifat Fokus Epileptogen
4. Dapat mengalami Aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (Aura
dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, men cium bau-bauan tak enak,
mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
F. Klasifikasi kejang
1. Kejang Parsial
a. Parsial Sederhana
Gejala dasar, umumnya tanpa gangguan kesadaran. Misal: hanya satu jari atau tangan
yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik
seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak umum/tdk nyaman
b. Parsial Kompleks
Dengan gejala kompleks, umumnya dengan ganguan kesadaran. Dengan gejala kognitif,
afektif, psiko sensori, psikomotor. Misalnya: individu terdiam tidak bergerak atau
bergerak secara automatik, tetapi individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode
epileptikus tersebut lewat

63
2. Kejang Umum (grandmal)
Melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan kedua sisi tubuh bereaksi Terjadi
kekauan intens pada seluruh tubuh (tonik) yang diikuti dengan kejang yang bergantian
dengan relaksasi dan kontraksi otot (Klonik) Disertai dengan penurunan kesadaran,
kejang umum terdiri dari:
a. Kejang Tonik-Klonik
b. Kejang Tonik : keadaan kontinyu
c. Kejang Klonik : Kontraksi otot mengejang
d. Kejang Atonik : Tidak adanya tegangan otot
e. Kejang Myoklonik : kejang otot yang klonik
f. Spasme kelumpuhan
g. Tidak ada kejang
h. Kejang Tidak Diklasifikasikan/ digolongkan karena datanya tidak lengkap.
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan
kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini
dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi.
a. Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
b. Mengalami complex partial seizure
c. Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam
sebelumnya)
d. Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
e. Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1
jam setelah kejang demam adalah normal.
f. Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda
peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem
saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik
sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi
lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
2. EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang.

64
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru
terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang
menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya
atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di
masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang
abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap
risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor,
magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama.
Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan
sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
4. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI
kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk
pertama kalinya.
H. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk
pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat
antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu
penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang
tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi
juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang
mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan,
pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau
ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang
yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.

I. Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat
antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat
dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum
obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti

65
pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan
tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah
cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan
selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan
bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika
terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau
bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi
yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.
J. KOMPLIKASI
1. Kerusakan otak akibat hipeksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang yang
berulang
2. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas ( Elizabeth, 2001 : 174 ) 

6)INFEKSI SISTEM SARAF PUSAT

Infeksi adalah invasi dan multiplikasi mikro-organisme di dalam jaringan tubuh.


Infeksi susunan saraf pusat ialah invasi dan multiplikasi mikro-organisme di dalam
susunan saraf pusat. Infeksi pada sistem saraf pusat dapat melibatkan meningen
(meningitis) atau substansi otak itu sendiri (ensefalitis) atau keduanya
(meningoencephalitis). (Somand, 2008)

 KLASIFIKASI INFEKSI SISTEM SARAF PUSAT (SSP)


Infeksi dari sistem saraf diklasifikasikan menurut jaringan yang terinfeksi menjadi (1)
infeksi meningeal (meningitis), yang mungkin melibatkan dura terutama
(pachymeningitis) atau pia-arachnoid (leptomeningitis) dan (2) infeksi pada parenkim
otak dan spinalis (ensefalitis atau myelitis). Dalam banyak kasus, dapat terjadi
keterlibatan pada meningen dan parenkim otak (meningoensefalitis). Selain itu, infeksi
dapat bersifat akut atau kronis. (Somand, 2008)
Menurut De Vivo (2003), infeksi pada sistem saraf pusat juga dapat diklasifikasikan
menurut etiologi agen infeksi. Misalnya:
(a) Infeksi viral

66
(b) Infeksi bakteria

(c) Infeksi parasit

(d) Infeksi jamur

a)MENINGITIS
 Definisi
Meningitis adalah peradangan pada leptomeningen sebagai manifestasi dari infeksi
sistem saraf pusat (SSP), ditandai dengan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear
dalam CSS. Secara anatomis, meningitis dapat dibagi menjadi peradangan pada dura
(pachymeningitis), dan leptomeningitis. (Hasbun, 2013)
 Etiologi
Menurut Hasbun (2013), etiologi meningitis terbagi pada beberapa kategori penyebab
infeksi
Kategori Agen
Parasit Listeria monocytogenes
Brucella spp Rickettsia
rickettsii Ehrlichia spp
Mycoplasma pneumoniae
Borrelia burgdorferi
Treponema pallidum
Leptospira spp
Mycobacterium
tuberculosis Nocardia spp
Parasit Naegleria fowleri
Acanthamoeba spp
Balamuthia spp
Angiostrongylus
cantonensis Gnathostoma
spinigerum Baylisascaris
procyonis Strongyloides
stercoralis Taenia solium
(cysticercosis)
Fungi Cryptococcus neoformans

67
Coccidioides immitis
Blastomyces dermatitidis
Histoplasma capsulatum
Candida spp Aspergillus
spp

 Diagnosis
Diagnosis meningitis tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala dan tanda saja.
Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah, kaku kuduk dan adanya tanda
rangsang meningeal kemungkinan dapat pula terjadi pada meningitis bakterial,
meningitis TBC, meningismus dan meningitis aseptik. Diagnosis pasti meningitis hanya
dapat dibuat dengan pemeriksaan cairan serebrospinalis melalui pungsi lumbal. (Hsu,
2012)
 Penatalaksanaan
Bila anak masuk dalam status konvulsivus diberikan diazepam 0,2-0,5mg/kgBB secara
intravena perlahan-lahan, apabila kejang belum berhenti pemberian diazepam dapat
diulang dengan dosis dan cara yang sama. Apabila kejang berhenti dilanjutkan dengan
pemberian fenobarbital dengan dosis awal 10-20mg/kgBB IM, 24 jam kemudian
diberikan dosis rumat 4-5mg/kgBB/hari. (Honda, 2009)
Pada penelitian terbukti bahwa steroid dapat mengurangi produksi mediator inflamasi
seperti sitokin, sehingga dapat mengurangi kecacatan neurologis seperti paresis dan
tuli, dan menurunkan mortalitas apabila diberikan pada pasien ringan dan sedang,
diberikan 15-20 menit sebelum pemberian antibiotik. Kortikosteroid yang memberikan
hasil baik ialah deksametason dengan dosis 0.6mg/kgBB/hari selama 4 hari. (Lutsar et
al, 2003)
Penggunaan antibiotik terdiri dari 2 fase, yaitu fase pertama sebelum ada hasil biakan
dan uji sensitivitas. Pada fase ini pemberian antibiotik secara empirik. Pemberian
antibiotik tergantung pada kausanya. Misalnya antibiotik yang dipergunakan untuk
meningitis purulenta ialah: H.influenza;ampisilin, kloramfenikol, seftriakson dan
sefotaksim, S.pneumoniae;penisilin, kloramfenikol, sefuroksim, seftriakson. Kuman
gram negatif: sefottaksim, septazidim, seftriakson dan amikasin. Staphylococcus:
nafsilin, vankomisin, dan rifampisin. Neonatus: ampisilin, gentamisin, tobramisin,

68
vankomisin, amikasin, kanamisin, seftriakson, sefotaksim, seftazidim dan penisilin.
(Quagliarello, 2003)
Pada meningitis viral harus diberikan acyclovir secara intravena 10mg/kgbb setiap 8
jam. Gansiklovir diberikan dalam dosis induksi 5 mg / kg IV setiap 12 jam selama 21
hari dan dosis maintenance 5 mg / kg setiap 24 jam. (Hasbun, 2013)
Universitas Sumatera Utara

b)ENSEFALITIS
 Definisi
Istilah "ensefalitis" (dari bahasa Yunani enkephalos +-itis, yang berarti radang otak)
digunakan untuk menggambarkan keterlibatan SSP yang terbatas (yaitu, keterlibatan
otak, tanpa melibatkan meningen), namun sebagian besar infeksi SSP akan melibatkan
meningen pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil, menyebabkan meningitis
aseptik atau menyebabkan meningoencephalitis ringan berbanding ensefalitis murni.
(Prober, 2004)
Ensefalitis dapat diklasifikasi menurut etiologi infeksi dan juga keterlibatan anatomi,
yaitu:
(a) Ensefalitis Virus Akut
Ensefalitis virus akut adalah penyakit yang menakutkan dan sering membahayakan.
Biasanya untuk manusia, ukuran virus yang menginfeksi sering bersifat neurotropisme
kuat dan kecil. (De Vivo, 2003)
(b) Ensefalitis Batang Otak
Ensefalitis batang otak, juga disebut ensefalitis Bickerstaff, berbeda dari ensefalitis virus
generalisata hanya pada manifestasinya. Temuan klinis mencerminkan kelainan di
batang otak. (De Vivo, 2003)

(c) Ensefalitis Fokal Kronik


Suatu infeksi virus fokal pada jaringan otak dapat bermanifestasi dalam satu dari tiga
cara: kelainan neurologik fokal, sering berupa hemiparesis; kejang
 Etiologi
Penyebab ensefalitis biasanya bersifat infeksius. Infeksi Herpes simplex pada sistem
saraf pusat (SSP) merupakan infeksi SSP yang paling berat dan sering berakibat fatal.
Biasanya merupakan penyebab nonepidemik, sporadik ensefalitis fokal akut. Virus

69
Herpes simplex (VHS) terdiri dari 2 tipe, yaitu VHS tipe 1 dan VHS tipe 2. Ensefalitis
virus dapat terjadi musiman dan epidemik, atau sporadik sepanjang tahun. Togavirus
yang termasuk virus ensefalitis kuda, virus ensefalitis St. Louis, dan virus ensefalitis
Jepang, menyebabkan sebagian besar kasus ensefalitis epidemik di dunia. Virus
ensefalitis Jepang, misalnya, penyebab ensefalitis virus satu-satunya paling sering di
dunia, menyebabkan 10-20 ribu kasus ensefalitis setiap tahun di Asia. Di Amerika
Serikat, virus ensefalitis St.Louis merupakan penyebab ensefalitis viral epidemik paling
sering. Enterovirus, dan miksovirus seperti virus Epstein-Barr, juga dikenal
menyebabkan ensefalitis virus akut.

c) MENINGOENSEFALITIS
 Definisi
Meningoensefalitis adalah peradangan pada meningen dan parenkim otak dengan
penyebab yang multiple. (Tolan, 2013)
 Etiologi
Infeksi jaringan saraf oleh C.neoformans biasanya menimbulkan meningoensefalitis
subakut atau kronik (De Vivo, 1997). Penyakit Hodgkin, leukemia, diabetes mellitus, dan
penyakit pembuluh darah kolagen merupakan penyakit tersering yang meningkatkan
risiko. Imunosupresi setelah transplantasi ginjal dan terapi kortikosteroid jangka
panjang serta AIDS juga merupakan faktor predisposisi lain. (De Vivo, 2003)
Meningoensefalitis Kandida disebabkan oleh infeksi spesies dari genus Candida,
terutama dengan Candida albicans. Candida spesies jamur yang mewakili jamur patogen
yang paling umum menginfeksi manusia. Spesies Candida lazim terdapat di rongga
mulut, saluran cerna, dan vagina, dan sering kali dapat dibiakkan dari tempat-tempat ini
pada orang sehat. (De Vivo, 2003)

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made
Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta

70
Smeltzer, Bare, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Bruner & Suddart Vol 3
E/8, EGC, Ja

Sherwood,Lauralee.2001.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.EGC

Ganong, William F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC

Guyton & Hall.2006.Text Book of Medical Phisiology.Elsevisier Saunders

Kegawatdaruratan Neurologi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kegawatdaruratan-neurologi-5623f2919a883
30/38

71
72

Anda mungkin juga menyukai