Anda di halaman 1dari 21

RESUME MAKALAH KEPERAWATAN KMB

SISTEM PERSYARAFAN DAN EVIDANCE BASED NURSING

diusulkan oleh kelompok 4 :

1. Lisa Novitasari NIM 122020030324


2. Susanto NIM 122020030330
3. Eko Andriantoro NIM 122020030332
4. Aidatul Umah NIM 122020030333
5. Intan Fatria Yuliani NIM 122020030334
6. Akhmad Solikhul Hadi NIM 122020030335

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
2021
BAB 1
Pendahuluan

1.1 Latar belakang

Sistem saraf adalah serangkaian organ kompleks dan bersambung serta terdiri dari
terutama jaringan saraf. Jaringan saraf tersusun atas sel-sel saraf atau neuron. Tiap neuron/sel
saraf terdiri atas badan sel saraf, cabang dendrit dan cabang akson, cabang-cabang inilah
yang menghubungkan tiap-tiap sel saraf sehingga membentuk jaringan saraf. Berdasarkan
struktur dan fungsinya, sel saraf dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu Sel saraf sensori,Sel
saraf motor, dan sel saraf intermediet (asosiasi). Sistem saraf tepi terdiri dari sistem saraf
sadar dan sistem saraf tak sadar (sistem saraf otonom).Sistem saraf sadar mengontrol
aktivitas yang kerjanya diatur oleh otak, sedangkan saraf otonom mengontrol aktivitas yang
tidak dapat diatur otak antara lain denyut jantung, gerak saluran pencernaan, dan sekresi
keringat. Sistem saraf sadar yaitu sistem saraf yang mengatur segala gerakan yang dilakukan
secara sadar atau dibawah koordinasi saraf pusat atau otak. 

Berdasarkan asalnya sistem saraf sadar dibedakan menjadi dua yaitu: sistem saraf
kepala (cranial) dan sistem saraf tulang belakang (spinal). Berdasarkan sifat kerjanya saraf
tak sadar dibedakan menjadi dua yaitu: saraf simpatik dan saraf parasimpatik. Sistem saraf
otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak maupun dari sumsum tulang
belakang dan menuju organ yang bersangkutan Sistem saraf otonom dapat dibagi atas sistem
saraf simpatik dan sistem saraf parasimpatik. Perbedaan struktur antara saraf simpatik dan
parasimpatik terletak pada posisi ganglion. Saraf simpatik mempunyai ganglion yang terletak
di sepanjang tulang belakang menempel pada sumsum tulang belakang sehingga mempunyai
urat pra ganglion pendek, sedangkan saraf parasimpatik mempunyai urat pra ganglion yang
panjang karena ganglion menempel pada organ yang dibantu.

Seluruh aktivitas tubuh manusia dikendalikan oleh sistem saraf pusat. Sistem ini yang
mengintegrasikan dan mengolah semua pesan yang masuk untuk membuat keputusan atau
perintah yang akan dihantarkan melalui saraf motorik ke otot atau kelenjar. Sistem saraf pusat
terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Sistem saraf pusat meliputi otak (ensefalon)
dan sumsum tulang belakang (Medula spinalis). Keduanya merupakan organ yang sangat
lunak, dengan fungsi yang sangat penting maka perlu perlindungan. Selain tengkorak dan
ruas-ruas tulang belakang, otak juga dilindungi 3 lapisan selaput meninges.
BAB 2
Tinjauan Pustaka

2.1 Sel-sel pada Sistem Saraf

Sistem persarafan terdiri atas sel saraf (neuron) dan sel penyokong (neuroglia dan sel
Schwann). Kedua jenis sel tersebut demikian erat berkaitan dan terintegrasi satu sama lain
sehingga bersama-sama berfungsi sebagai satu unit. Neuron adalah suatu sel saraf dan
merupakan unit anatomi dan fungsional sistem persarafan. Sedangkan neuroglia adalah sel
penyokong untuk neuron-neuron SSP, sedangkan sel Schwann menjalankan fungsi tersebut
pada SST.Neuroglia menyusun 40% volume otak dan medula spinalis. Neuroglia jumlahnya
lebih banyak dari sel-sel neuron dengan perbandingan sekitar 10 : 1. Ada empat sel neuroglia
yang berhasil diidentifikasi , yaitu mikroglia, ependimal, astroglia (astrodit), dan
oligodendroglia (oligodendrosit) (Arif Muttaqin,2008).

Struktur Neuron yang mempunyai berbagai bentuk dan ukuran yang berbeda:salah satunya
adalah tipe neuron multipolar yang merupakan jenis yang paling banyak terdapat didalam
sistem syaraf pusat. Sekitar 5% dari sel-sel glia di SSP adalah mikroglia. Mikroglia
mempunyai sifat fagosit;bila jaringan syaraf rusak, maka sel-sel ini bertugas untuk mencerna
sisa-sisa jaringan yang rusak. Sel jenis ini ditemukan diseluruh SSP dan dianggap berperan
penting dalam proses melawan infeksi (Arif Muttaqin,2008).

Gambar 2.1  macam-macam neuron

Neuron terdiri atas tiga bagian : dendrit, yaitu tonjolan memanjang yang menerima
informasi dari lingkungan atau dari neuron lain; badan sel, yang mengandung nukleus dan
akson yang panjangnya dapat mencapai 1 meter dan menghantarkan impuls ke otot, kelenjar,
atau neuron lain. Fungsi utama neuron adalah menerima, memadukan, dan menyalurkan
informasi ke sel lain (Ganong, William F. 2012). Setiap neuron yang hanya memiliki akson
tunggal. pada ujung distal, akson terbagi menjadi beberapa cabang terminal yang masing-
masing berakhir dengan apa yang disebut terminal bouton yang membuat kontak dengan
neuron berikutnya. proses perifer panjang neuron pseudo-unipolar dari ganglia spinal
merupakan kasus khusus yang penting. ini adalah serat yang menyampaikan informasi
mengenai sentuhan, nyeri dan, suhu dari permukaan tubuh ke SSP (Mathias Baehr, 2012).

1. Dendrit adalah perluasan saraf dari badan sel. Dendrit adalah bagian neuron yang
menerima stimulasi dari saraf lain. setiap neuron memiliki banyak cabang dendrit
2. Badan Sel mengandung organel tipikal sel manusia. Nukleus, yang mengandung
informasi genetik neuron, mengarahkan produksi protein, enzim, dan neuro
transmiter yang diperlukan oleh saraf untuk fungsi tepatnya.
3. Akson
Tonjolan dari badan sel adalah akson, bagian pangkalnya disebut segmen inisial
atau zona pemicu. Akson adalah serabut panjang tempat lewatnya sinyal listrik
yang dimulai di dendrit dan badan sel.
4. Sinapsis
Sinapsis adalah pertemuan antara ujung neurit (akson) di sel saraf satu dan ujung
dendrit di sel saraf lainnya. Pada setiap sinapsis terdapat celah sinapsis. Pada
bagian ujung akson terdapat kantong yang disebut bulbus akson. Kantong tersebut
berisi zat kimia yang disebut neurotransmiter. Neurotransmiter dapat berupa
asetilkolin dan kolinesterase yang berfungsi dalam penyampaian impuls saraf
pada sinapsis.
5. Mielin
Myelin merupakan suatu kompleks protein lemak berwarna putih yang melapisi
tonjolan saraf. Myelin menghalangi aliran ion natrium dan melintasi membrane
neuronal dengan hampir sempurna. Selubung myelin tidak kontinu di sepanjang
tonjolan saraf, dan terdapat celah celah tanpa myelin, yang disebut nodus
Ranvier(Sylivia price, 2006).

2.2 Saraf Pusat

Susunan saraf manusia terdiri dari 2 yaitu susunan syaraf pusat dan susunan syaraf
perifer. Susunan syaraf pusat sendiri terdiri dari Otak dan Sumsum tulang belakang (medula
spinalis). Sistem saraf pusat meliputi otak dan medulla spinalis. otak terdiri atas serebrum,
serebelum, batang otak, dan struktur primitif yang terletak dibawah serebrum yaitu
diensefalon, system limbik, serta sistem aktivasi retikuler (RAS, reticular activating system).
Medulla spinalis merupakan lintasan primer untuk menyampaikan pesan-pesan diantara
daerah perifer tubuh dan otak, medulla spinalis juga mengantarai reflek.
1. Sereberum : Hemisfer kiri dan kanan dihubungkan oleh korpus kalosum, yaitu massa
jaringan saraf yang memungkinkan komunikasi antara pusat-pusat terkait dalam
hemisfer kiri dan kanan. setiap hemisfer serebri dibagi menjadi empat lobus
berdasarkan anatomi dan perbedaaan fungsinya. nama lobus menurut nama tulang
kranial yang menutupinya (frontal, temporal, parietal, dan oksipital).
a. lobus frontalis : mempengaruhi kepribadian, penilaian, kemampuan berfikir
abstrak, perilaku social, ekspresi bahasa, dan gerakan (pada bagian motorik).
b. lobus temporalis : mengendalikan pendengaran, pemahaman bahasa, dan
menyimpan serta mengingat memori.
c. lobus parietalis : menginterpretasi dan mengintegrasi rasa, yang meliputi rasa
nyeri, suhu dan sentuhan, juga menginterpretasi ukuran, bentuk, jarak dan tekstur.
d. lobus oksipitalis : menginterpretasi stimuli visual
2. Kortek serebri merupakan lapisan permukaan yang tipis pada sereberum, tersusun dari
substansia grisea (badan sel saraf tidak bermielin) permukaan sereberum memiliki
konvulsi (girus) dan alur atau fisura (sulkus).
3. Serebelum : memiliki dua buah hemisfer berfungsi mempertahankan tonus otot,
mengoordinasi gerakan otot, dan mengendalikan keseimbangan.
4. Batang otak : tersusun atas pons, mesensefalon (otak tengah), medulla oblongata,
meneruskan pesan antara tingkat yang lebih tinggi dan tingkat yang lebih rendah
didalam system saraf. nervus kranialis berasal dari pons, mesensefalon dan medulla
oblongata.
5. Pons : menghubungkan serebelum dengan sereberum dan mesensefalon dengan
medulla oblongata, pons mengandung satu dari beberapa pusat pernapasan.
6. mesensefalon (midbrain) : mengantarai reflex auditorius dan visual.
7. medulla oblongata : mengatur fungsi respirasi, vasomotor, dan kardiak
(Kowalak,2011).

Tiga materi esensial yang ada pada bagian sumsum tulang belakang serta otak antara
lain, yaitu :

1. Substansi grissea atau bagian materi kelabu yang terbentuk dari badan sel.
2. Substansi alba atau bagian materi putih yang terbentuk dari serabut saraf.
3. Jaringan ikat atau sel-sel neuroglia yang ada di dalam system saraf pusat tepatnya di
antara sel-sel saraf yang ada

2.3 Saraf Perifer

Susunan syaraf perifer terdiri dari susunan syaraf somatik dan susunan syaraf otonom
yang meliputi susunan syaraf simpatis dan parasimpatis

1. Sistem Saraf Simpatis


Sistem syaraf simpatis berfungsi membantun proses kedaruratan.Stress fisik maupun
emosional akan menyebabkan peningkatan impuls simpatis.Tubuh siap untuk
berespon fight or fligh jika ada ancaman.Sebagai akibatnya, bronkiolus berdilatasi
untuk pertukaran gas yang mudah,kontraksi jantung menjadi lebih kuat dan
cepat,terjadi dilatasiateri menuju jantung dan otot otot volunter yang membawa lebih
banyak darah ke jantung; kontraksi pembuluh darah perifer yang menyebabkan kulit
pada kaki dingin tetapi memirau (shunting) darah ke organ penting yang aktif,dilatasi
pupil,rambut berdiri dan peningkatan pengeluaran keringat.Pelepasan simpatis yang
meningkat cepat sama seperti ketika tubuh disuntik adrenalin.Oleh karena itu stadium
sistem syaraf adrenergik kadang kadang dipakai jika menunjukkan kondisi seperti
pada sistem syaraf simpatis.

2. Sistem Saraf Parasimpatis


Fungsi sistem syaraf parasimpatis merupakan pengontrol dominan pada kebanyakan
efektor viseral dalam waktu lama>Selama keadaan diam,kondisi tanpa stess,impuls
dari serabut-serabut parasimpatis (kolenergik) yang menonjol.Serabut-serabut
parasimpatis terletak pada dua bagian yaitu batang otak dan segmen spinal di bawah
Lumbal 2, Karena lokasi serabut-serabut tersebut sistem parasimpatis dihubungkan ke
daerah kraniosakral, bila dibedakan dari daerah thorakolumbal (simpatis) dari SSO.
Parasimpatis kranial muncul dari mesenfalon dan medula oblongata.serabut dari sel-
sel pada mesenfalon berjalan dengan syaraf okulomotorisketiga menuju
gangliasiliaris, dimana serabut-serabut post ganglion pada daerah ini berhubungan
dengan sistem simpatis lain yang mengontrol bagian posisi yang berlawanan antara
keduanya pada satu kesatuan waktu.

Sistem perifer terdiri atas nervus kranial (NK), nervus spinalis, dan sistem saraf
otonom. Nervus Kranialis ke 12 pasang nervus kranialis menstramisikan pesan motorik atau
sensorik atau keduanya terutama di antara otak atau batang otak dan kepala serta leher.
kecuali nervus olfaktorius dan optikus. nervus kranialis merupakan saraf sensorik, motorik,
atau campuran keduanya.

Saraf Nama saraf Sifat saraf


Nervus olfaktorius (NK I) Sensorik :Bau Hidung, sebagai alat
penciuman
Nervus optikus (NK II) sensorik : penglihatan Bola mata untuk
penglihatan
Nervus okulomotorius (NK III) Motorik : gerakan mata Pergerakan bola mata dan
ekstraokuler (superior, mengangkat kelopak mata
medial,inferior, lateral),
konstriksi pupil dan elevasi
palpebra superior.
Nervus troklearis (NK IV) Motorik :gerakan mata Mata, memutar mata dan
ekstraokuler. pergerakan mata
Nervus trigeminus (NK V) sensorik : menstramisi Kulit kepala dan kelopak
impuls dari wajah dan mata atas
kepala, reflex kornea
Rahang atas, palatum dan
motorik : gerakan hidung
mengunyah, menggigit, dan
Rahang bawah dan lidah
gerakan rahang ke lateral.
Nervus abdusens (NK VI) Motorik : gerakan mata Mata, penggoyang sisi mata
ekstraokuler (lateral).
Nervus fasialis (NK VII) Sensorik : reseptor indera Otot lidah, menggerakkan
pengecap lidah dan selaput lendir
rongga mulut
Nervus glosofaringeus (NK IX) Motorik : gerakan menelan. Telinga, rangsangan
Sensorik : rasa pada pendengaran
tenggorok.
Nervus vagus (NK X) Motorik : gerakan palatum, Faring, tonsil dan lidah
gerakan menelan rangsangan cita rasa
Nervus asesorius spinalis (NK Motorik : gerakan bahu, Jantung, lambung, usus
XI) rotasi kepala halus, laring
Nervus hipoglosus (NK XII) Motorik : gerakan lidah. Lidah, cita rasa da otot
lidah

2.4 Pengkajian sistem Persarafan

Pengkajian keperawatan sistem persarafan meliputi anamnesis, pemeriksaan


kesehatan, pemeriksaan diagnostik, konsultasi dengan tim kesehatan lain dan studi literatur.
Dimana anamnesis secara umum meliputi pengumpulan informasi tentang status kesehatan
klien yang menyeluruh mengenai fisik, psikologis, sosial budaya, spiritual, kognitif, tingkat
perkembangan, status ekonomi, kemampuan fungsi, dan gaya hidup klien.

Pengkajian umum neurologis meliputi identitas umum, keluhan utama, riwayat


penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga yang berhubungan
dengan gangguan neurologis klien. Perawat perlu memahami proses pengkajian tersebut
dengan baik dan terstruktur agar pengkajian yang komprehensif dapat tercapai.

Dimana pada pengkajian neurologis dimulai saat pertemuan pertama. Percakapan


dengan klien dan keluarga adalah sumber yang amat penting dari data yang dibutuhkan untuk
mengevaluasi fungsi secara keseluruhan. Pemahaman tentang neuroanatomi dan
neurofisiologi sangat penting diketahui oleh perawat yang melakukan pengkajian disamping
keterampilan dan pengalaman lama dalam mengasuh klien dengan gangguan neurologis dapat
membantu perawat dalam melakukan pengkajian yang komprehensif.

Dalam pengumpulan informasi tersebut, perawat juga harus menanyakan pertanyaan


yang diarahkan untuk mendeteksi masalah-masalah neurologis dan efeknya pada klien.

Berbicara tentang pengkajian, keluhan utama klien juga perlu kita kaji. Keluhan
utama pada klien gangguan sistem saraf biasanya akan terlihat bila sudah terjadi disfungsi
neurologis. Keluhan yang sering didapatkan meliputi kelemahan anggota gerak sebelah
badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, konvulsi(kejang), sakit kepala yang hebat,
nyeri otot, kaku kuduk, sakit punggung, tingkat kesadaran menurun (GCS<15), ekstremitas
dingin, dan ekspresi rasa takut.
Bila klien mengeluh nyeri perlu ditinjau penilaian rasa nyeri dengan pengkajian nyeri
PQRST, meliputi:

1. Provoking Incident (insidens pemicu): Peristiwa yang menjadi faktor penyebab nyeri.
2. Quality of pain: Rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien (apakah seperti
terbakar, berdenyut, tajam atau menusuk).
3. Region, radiation, relief: Lokasi nyeri harus ditunjukkan dengan tepat oleh klien (apakah
rasa sakit bisa reda, menjalar atau menyebar).
4. Severity (scale) of pain: Sebesar apa rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan
skala nyeri/gradasi dan klien menerangkan sejauh mana rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
5. Time: Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari
atau siang hari.

Sumber: Arif Muttaqin,2008.Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem
persarafan.Salemba Medika. Hal: 54-57

Selain itu pada tiap penderita penyakit saraf harus pula dijajaki kemungkinan adanya
keluhan atau kelainan dibawah ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Nyeri kepala : Apakah anda menderita sakit kepala? Bagaimana sifatnya, dalam bentuk
serangan atau terus menerus? Dimana lokasinya? Apakah progresif, makin lama makin
berat atau makin sering? Apakah sampai mengganggu aktivitas sehari-hari?
2. Muntah : Apakah disertai rasa mual atau tidak? Apakah muntah ini tiba-tiba, mendadak,
seolah-olah isi perut dicampakkan keluar (proyektil)?
3. Vertigo : Pernahkah anda merasakan seolah sekeliling anda bergerak, berputar atau anda
merasa diri anda yang bergerak atau berputar? Apakah rasa tersebut ada hubungannya
dengan perubahan sikap? Apakah disertai rasa mual atau muntah? Apakah disertai tinitus
(telinga berdenging, berdesis)?
4. Gangguan penglihatan (visus) : Apakah ketajaman penglihatan anda menurun pada satu
atau kedua mata? Apakah anda melihat dobel (diplopia)?
5. Pendengaran : Adakah perubahan pada pendengaran anda? Adakah tinitus (bunyi
berdenging/berdesis pada telinga)?
6. Saraf otak lainnya : Adakah gangguan pada penciuman, pengecapan, salivasi
(pengeluaran air ludah), lakrimasi (pengeluaran air mata), dan perasaan di wajah? Adakah
kelemahan pada otot wajah? Apakah bicara jadi cadel dan pelo? Apakah suara anda
berubah, jadi serak, atau bindeng (disfonia), atau jadi mengecil/hilang (afonia)? Apakah
bicara jadi cadel dan pelo (disartria)? Apakah sulit menelan (disfagia)?
7. Fungsi luhur : Bagaimana dengan memori? Apakah anda jadi pelupa? Apakah anda
menjadi sukar mengemukakan isi pikiran anda (disfasia, afasia motorik) atau memahami
pembicaraan orang lain (disfasia, afasia sensorik)? Bagaimana dengan kemampuan
membaca (aleksia)? Apakah menjadi sulit membaca, dan memahami apa yang anda baca?
Bagaimana dengan kemampuan menulis, apakah kemampuan menulis berubah, bentuk
tulisan berubah?
8. Kesadaran : Pernahkah anda mendadak kehilangan kesadaran, tidak mengetahui apa yang
terjadi di sekitar anda? Pernahkah anda mendadak merasa lemah dan seperti mau pingsan
(sinkop)?
9. Motorik : Adakah bagian tubuh anda yang menjadi lemah, atau lumpuh (tangan, lengan,
kaki, tungkai)? Bagaimana sifatnya, hilang-timbul, menetap atau berkurang? Apakah
gerakan anda menjadi tidak cekatan? Adakah gerakan pada bagian tubuh atau ekstremitas
badan yang abnormal dan tidak dapat anda kendalikan (khorea, tremor, tik)?
10. Sensibilitas : Adakah perubahan atau gangguan perasaan pada bagian tubuh atau
ekstremitas? Adakah rasa baal, semutan, seperti ditusuk, seperti dibakar? Dimana
tempatnya? Adakah rasa tersebut menjalar?
11. Saraf otonom : Bagaimana buang air kecil (miksi), buang air besar (defekasi), dan nafsu
seks (libido) anda? Adakah retensio atau inkontinesia urin atau alvi?

Sumber: Mardjono Mahar dan Sidharta Priguna. 2004. neurologi Klinis Dasar. Dian
Rakyat:Jakarta

Pada pemeriksaan fisik sistem persyarafan ditujukan pada area fungsi mayor yang
meliputi tingkat kesadaran, fungsi serebral, saraf kranial, sistem motorik, respon refleks, dan
sistem sensoris.

1. Tingkat Kesadaran

Kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan


pengintegrasian impuls eferen dan aferen. Keseluruhan dari impuls aferen dapat disebut
input susunan saraf pusat, dan keseluruhan dari impuls eferen dapat disebut output
susunan saraf pusat.

Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal sebagai kewaspadaan, dimana aksi dan
reaksi terhadap apa yang diserap (dilihat, didengar, dihidu, dikecap, dan seterusnya)
sesuai dan tepat. Keadaan dimana aksi sama sekali tidak dibalas dengan reaksi, dikenal
sebagai koma.

Pada keadaan perawatan sesungguhnya, waktu mengumpulkan data untuk


penilaian tingkat kesadaran sangat terbatas. Skala Coma Glasgow (GCS) dapat
memberikan jalan pintas yang berguna. Skala tersebut memungkinkan pemeriksa
membuat peringkat tiga respon utama klien terhadap lingkungan:

a. Membuka mata
b. Mengucapkan
c. Gerakan

Sumber: Muttaqin, Arif. 2010. Pengkajian Keperawatan: Aplikasi pada Praktik Klinik.
Jakarta: Salemba Medika.

Pemeriksaan kesadaran dengan menggunakan Glasgow Coma Scale ( GCS)


Didasarkan pada respon dari mata, pembicaraan dan motorik, dimana masing-
masing mempunyai "scoring", mulai dari yang paling baik (normal) sampai dengan yang
paling jelek. Jumlah "total scoring" paling jelek adalah 3 (tiga) sedangkan paling baik
(normal) adalah 15 (lima belas).

Adapun scoring tersebut adalah :

a. Membuka mata

Scoring

1) Spontan = 4
2) Terhadap suara membuka mata = 3
3) Terhadap nyeri membuka mata = 2
4) Menutup mata terhadap segala jenis rangsang = 1

b. Respon Bicara

Scoring

1) Berorientasi baik = 5
2) Bingung (bisa membentuk kalimat tapi arti keseluruhan kacau) = 4
3) Bisa membentuk kata tetapi tidak mampu mengucapkan suatu kalimat = 3
4) Bisa mengeluarkan suara yang tidak punya arti (groaning) = 2
5) Suara : tidak ada = 1
c. Respon Motorik

Scoring

1) Menurut perintah = 6
2) Dapat melokalisir rangsangan sensorik di kulit (raba) = 5
3) Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak (withdraw) = 4
4) Menjauhi ragsangan nyeri ( flexion) = 3
5) Ekstensi spontan = 2
6) Tidak ada gerakan = 1

Skala dari Glasgow ini disamping untuk menentukan tingkat kesadaran, juga berguna
untuk menentukan prognosis perawatan suatu penyakit (misalnya contusio serebri).

Sumber : Juwono, T. 1990. Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek. Jakarta. EGC

2. Fungsi Serebral

Fungsi serebral yang tidak normal dapat menyebabkan gangguan dalam


komunikasi, fungsi intelektual, dan dalam pola tingkah laku emosional. Pemeriksaan
fungsi serebral secara ringkas meliputi:

a. Pemeriksaan Status Mental


Hal yang perlu dikaji antara lain:

1) Observasi penampilan klien dan tingkah lakunya dengan melihat cara berpakaian
klien, kerapian, dan kebersihan diri.
2) Observasi postur, sikap, gerakan-gerakan tubuh, ekspresi wajah, dan aktivitas
motorik. Semuanya ini memberikan informasi penting tentang klien.
3) Penilaian gaya bicara klien dan tingkat kesadaran juga diobservasi.
4) Apakah gaya bicara klien jelas atau masuk akal?
5) Apakah klien sadar dan berespon atau mengantuk dan stupor?

b. Pemeriksaan Fungsi Intelektual

Penilaian fungsi intelektual akan mengungkapkan banyak informasi tentang


adanya brain damage. Fungsi intelektual mencakup kegiatan yang mencakup
kemampuan untuk berfikir secara abstrak dan memanfaatkan pengalaman. Dalam
mengembangkan aktifitas intelektual, seluruh otak mengambil bagian.

Adapun segi-segi pelaksanaan intelektual yang diteliti adalah:

1) Ingatan atau memori


2) Pengetahuan umum
3) Berhitung atau kalkulasi
4) Pengenalan persamaan dan perbedaan
5) Pertimbangan
c. Pemeriksaan Daya Pikir
Alam pikiran atau jalan pikiran hanya dapat dinilai dari ucapan-ucapannya. Ada
kalanya alam pikiran tersembunyi dalam satu sikap yang kurang wajar. Pengkajian
kemampuan berpikir klien sangat penting untuk dilakukan selama melaksanakan
kegiatan wawancara
d. Pemeriksaan Status emosional

Status emosional klien dapat dinilai dari reaksinya terhadap pertanyaan yang
diberikan perawat, terhadap tindak tanduk orang-orang disekelilingnya, atau terhadap
keadaan dan perasaan fisik diri sendiri. Secara ringkas pengkajian status emosional
klien dapat dilakukan perawat adalah sebagai berikut:

1) Apakah tingkah laku klien alamiah, datar, peka, pemarah, cemas, apatis, atau
euphoria?
2) Apakah alam perasaannya berubah-ubah secara normal atau iramanya tidak dapat
diduga dari gembira menjadi sedih selama wawancara?
3) Apakah tingkah lakunya sesuai dengan kata-kata atau isi dari pemikirannya?
4) Apakah komunikasi verbal sesuai dengan tampilan komunikasi non verbal?

e. Pemeriksaan Kemampuan bahasa


Pada pengkajian ini perawat mungkin menemukan suatu disartria (kesulitan
artikulasi) atau disfonia (kualitas suara yang berubah akibat penyakit pada pita suara)
atau disfasial afasia (defisiensi fungsi bahasa akibat lesi/kelainan korteks serebri).

1) Disfasia. Macam-macam disfasia:


a) Disfasia reseptif (posterior) dimana klien tidak dapat memahami bahasa lisan
atau bahasa tertulis. Bicaranya lancar, tetapi tidak terorganisir. Kelainan ini
terjadi karena adanya lesi (infark, perdarahan, atau tumor) pada hemisfer yang
dominan pada bagian posterior dari girus temporalis superior (area Wernicke).
b) Disfagia ekspresif (anterior) bila klien tidak dapat mengerti, tetapi tidak dapat
menjawab dengan tepat. Bicaranya tidak lancar, kelainan ini terjadi karena
adanya lesi pada bagian posterior dari girus frontalis inferior (area Broca).
c) Disfasia nominal : klien tidak mampu menyebutkan benda tetapi aspek-aspek
lain dari fungsi bicara klien normal.disebabkan oleh lesi pada daerah
temporoparietal posterior kiri.
d) Disfasia konduktif : klien tidak dapat mengulang kalimat-kalimat dan sulit
menyebutkan nama benda, tetapi dapat mengikuti perintah disebabkan oleh
lesi pada fasikulus arkuatus.
2) Disartia yaitu kesulitan artikulasi penyebab tersering adalah intoksikasi alkohol,
penyakit serebelum kehilangan koordinasi (bicara pelo).
3) Disfonia yaitu kualitas suara berubah (parau) dengan volume kecil akibat penyakit
pada pita suara

Pemeriksaan fungsi serebral juga bisa dilakukan pada fungsi setiap lobus serebral.
Pemeriksaan fungsi serebral tersebut meliputi:

a) Fungsi lobus parietal


b) Fungsi lobus frontal
c) Fungsi lobus temporal

Sumber : Mutaqqin,arif 2008.buku ajar Asuhan keperawatan klien dengan gangguan


sistem persyarafan.Salemba medika.jakarta.

3. Saraf Cranial

Pemeriksaan saraf kranial dimulai dengan mengatur posisi klien sehingga duduk di tepi
tempat tidur bila memungkinkan, perhatikan kepala, wajah, dan leher. Catat apakah
terdapat hidrosefalus (kepala dan wajah menyerupai segitiga terbalik), atau akromegali.

4. Sistem Motorik

Pemeriksaan yang teliti pada sistem motorik meliputi inspeksi umum (postur, ukuran,
otot, gerakan abnormal, dan kulit), fasikulasi, tonus otot, kekuatan otot, refleks,
koordinasi, dan keseimbangan.

a. Inspeksi Umum
Cara pemeriksaan:

Pertama, perawat mundur sebentar dan memperhatikan adanya postur yang abnormal,
misalnya pada klien dengan hemiphlegia akibat stroke. Pada pemeriksaan ini anggota
badan atas dalam posisi fleksi dan lengan dalam posisi aduksi dan pronasi, sedangkan
anggota badan bawah dalam posisi ekstensi. Kemudian carilah atrofi otot yang
menunjukkan adanya denerfasi otot, penyakit otot primer, atau disuse atrophy.
Bandingkan satu sisi dengan lainnya untuk menentukan adanya atropi dan tentukan
kelompok-kelompok otot mana yang terkena. Selanjutnya lakukan inspeksi adanya
gerakan-gerakan abnormal, seperti tremor pergelangan tangan atau lengan. Inspeksi
kulit untuk melihat kelainan seperti Herpes Zooster. Klien diinstruksikan untuk
berjalan menyilang di dalam ruangan, sementara pengkaji mencatat postur dan gaya
berjalan, keadaan tonus yang tidak normal mencakup spastisitas atau kejang, rigiditas
atau kaku atau flaksiditas.

b. Tonus Otot

Dalam pemeriksaan tonus otot, perawat menggerakkan lengan dan tungkai di sendi
lutut dan siku klien. Perawat sebagai pemeriksa perlu menggunakan kedua tangannya.
Penilaian tonus yang meningkat, berarti perawat pemeriksa mendapat kesulitan untuk
menekukkan dan meluruskan lengan dan tungkai di sendi siku dan lutut. Jika tonus
otot hilang, maka dalam menekukkan dan meluruskan lengan dan tungkai klien tidak
dirasakan sedikit tahanan pun. Dari pengalaman dapat ditentukan apakah tonus
ototnya normal, meningkat (hipertonik) seperti pada lesi upper motor neuron atau
ekstrapiramidal ataupun berkurang (hipotonik, seperti pada lesi lower motor neuron).

c. Kekuatan Otot

Kekuatan otot dinilai dari perbandingan antara kemampuan pemeriksa dengan


kemampuan untuk melawan tahanan otot voluntary secara penuh dari klien. Untuk
menentukan apakah kekuatannya normal, maka umur, jenis kelamin, dan bentuk
tubuh klien harus diperhitungkan. Fungsi pada otot individu atau kelompok otot
dievaluasi dengan cara menempatkan otot pada keadaan yang tidak menguntungkan.
Sebagai contoh, otot quadriseps adalah otot yang secara penuh bertanggung jawab
untuk meluruskan kaki. Pada saat kaki dalam keadaan lurus, pengkaji sukar sekali
membuat fleksi pada lutut. Sebaliknya, jika lutut dalam keadaan fleksi dan klien
diperintahkan untuk meluruskan kaki dengan diberi tahanan, maka akan menghasilkan
ketidakmampuan untuk meluruskan kakinya. Walaupun kurang sensitif, pembagian
kekuatan otot berdasarkan grade bisa dijadikan acuan bagi perawat untuk melakukan
penilaian.

5. Respon Refleks
Refleks adalah jawaban terhadap suatu perangsangan. Gerakan yang timbul
dinamakan gerakan reflektorik. Setiap suatu rangsangan dijawab dengan bangkitnya suatu
gerakan, menandakan bahwa antara daerah yang dirangsang dan otot yang bergerak
secara reflektorik itu terdapat hubungan. Lintasan yang menghubungkan reseptor dan
efektor itu dikenal sebagai busur refleks.

Terdapat dua pemeriksaan refleks yaitu:

a. Pemeriksaan Refleks Dalam


Teknik pemeriksaan reflek dalam:
Gerakan reflektorik yang timbul akibat perangsangan terhadap otot dapat dilakukan
dengan pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum. Maka dari itu,
pembangkitan dan penilaiannya harus tepat. Penilaian ini selalu berarti penilaian
secara banding antara sisi kiri dan sisi kanan. Respons terhadap suatu perangsangan
tergantung pada intensitas pengetukan. Di samping itu, posisi anggota gerak yang
sepadan pada waktu perangsangan dilakukan harus sama juga. Maka dari itu teknik
untuk membangkitkan refleks tendon harus sempurna. Pokok-pokok yang harus
diperhatikan adalah tehnik pengetukan.

b. Pemeriksaan Refleks Patologis


Refleks patologis adalah refleks-refleks yang tidak dapat dibangkitkan pada
orang-orang yang sehat, kecuali pada bayi dan anak kecil. Kebanyakan merupakan
gerakan reflektorik defensif atau postural pada orang dewasa yang sehat terkelola dan
ditekan oleh aktivitas susunan piramidal. Anak kecil umur antara 4-6 tahun masih
belum memiliki susunan piramidal yang sudah bermielinisasi penuh sehingga
aktivitas susunan piramidalnya masih belum sempurna. Maka dari itu gerakan
reflektorik yan dinilai sebagai refleks patologis pada orang dewasa, tidak selamanya
patologik jika dijumpai pada anak-anak kecil. Tetapi pada orang dewasa refleks
patologik selalu merupakan tanda lesi UMN.
Reflek patologis bersifat profunda dan sebagian lainya bersifat reflek
superficial. Macam reflek patologis antara lain :
1) Reflek plantar

Penggoresan terhadap kulit telapak kaki. Respons abnormal yaitu ekstensi serta
pengembangan jari-jari kaki dan elevasi ibu jari kaki

2) Gerakan sekutu

Gerakan tidak volunter dan reflektorik yang selalu timbul pada setiap gerakan
volunteer.

3) Gerakan tidak volunter


a) Tremor
Gerakan yang tidak dikehendaki yang terdiri dari satu seri gerakan bolak-balik
secara ritmis
b) Tic
Gerakan otot involunter berupa kontraksi otot setempat, sejenak namun
berkali-kali atau berbentuk majemuk
c) Spasme
Kejang otot setempat yang timbul secara involunter
d) Diskinesia dan distonia
Suatu gerakan involunter yang menunjukkan gerakan berbelit-belit denga
tonus otot meningkat

Teknik pemeriksaan reflek patologis:


Palu refleks tidak boleh dipegang secara keras. Gagang palu refleks dipegang dengan
ibu jari dan jari telunjuk sedemikian rupa sehingga palu dapat diayun secara bebas.
Pengetukan tidak boleh dilakukan seolah-olah memotong atau menebas kayu,
melainkan menjatuhkan secara terarah kepala palu refleks ke tendon atau periosteum.
Dalam hal ini, gerakan pengetukan berpangkal pada sendi pergelangan tangan.
Tanganlah yang mengangkat palu refleks, bukannya lengan kemudian tangan
menjatuhkan kepala palu refleks dengan tepat ke tendon atau periosteum.

6. Sistem Sensoris

Sistem sensorik lebih kompleks dari sistem motorik karena modalitas dari sensori
mempunyai perbedaan traktus, lokasi pada bagian yang berbeda pada medulla spinalis.
Pengkajian sensori dinilai secara subjektif, dengan luas dan membutuhkan kerja sama
klien. Dianjurkan penguji mengenali penyebaran saraf perifer yang berasal dari medulla
spinalis.

Sumber :Muttaqin, Arif. 2010. Pengkajian Keperawatan: Aplikasi pada Praktik Klinik.
Jakarta: Salemba Medika.

Pada sistem sensorik sendiri ada 5 yaitu:

a. Sensasi Taktil
Sensasi taktil dilakukan dengan cara menyentuh dengan lembut pada masing-masing
tubuh. Tujuannya yaitu untuk membandingkan sensitivitas ekstremitas proksimal
dengan distal.
b. Sensasi Nyeri dan Suhu
Sensasi nyeri dan suhu di transmisi bersama dibagian lateral medulla spinalis
sehingga tidak perlu menguji sensasi suhu dalam keadaan ini. Nyeri superfisial dapat
dikaji dengan menentukan sensitivitas klien terhadap objek yang tajam. Klien
diinstruksikan untuk memejamkan mata dan membedakan antara ujung yang tajam
dan tumpul dengan menggunakan lidi kapas yang dipatahkan atau spatel lidah. Untuk
keamanan hindari penggunaan peniti karena dapat merusak integritas kulit. Kedua sisi
objek tajam dan tumpul digunakan dengan intensitas yang sama pada semua
pelaksanaan dan kedua sisi diuji dengan simetris.
c. Vibrasi dan Propriosepsi
Vibrasi propriosepsi yaitu melakukan pemeriksaan menggunakan garbu tala yang
berrgetar pada tulang yang menonjol.
d. Merasakan Posisi
e. Integritas Sensasi

Sumber: Damhudi.2008. Jurnal: Efektifitas pengkajian dengan metode NIHSS dan ESS.FIK
UI.

2.5 Penilaian Fungsi Batang Otak

Penilaian fungsi batang otak pada pasien dengan gangguan neurologi, yaitu:

1. Respirasi
a. C.N.H (Central Neurogenic Hyperventilation) = kussmaul adalah pernafasan dalam
dan cepat
b. Apneustic breathing = disfungsi pons tengah dan bawah dorsolateral
c. Ataxic breathing = disfungsi dari pusat pernafasan yaitu formatio reticularis bagian
medio-dorsal medulla oblongata di bawah obeks
d. Cluster breathing = lesi di medulla oblongata
e. Gasping respiration = napas tinggal satu-satu, lesi di medula oblongata

2. Doll Head Eye Phenomenon

Pada pasien koma yang harus diperiksa. Caranya : kepala penderita di gerakkan
dengan cepat (mendadak) ke arah lateral kanan dan kiri sementara dokter melihat gerakan
bola mata pasien.

Pada keadaan normal (tidak ada kelemahan saraf otak 3, 4 dan 6) maka bola mata
akan bergerak ke arah yang berlawanan dengan gerakan kepala.

Bila ada gangguan pada sistem saraf otak 3, 4 dan 6 atau gangguan “gaze” maka
akan timbul gerakan dysconyugate eye movement, deviasi conjugate ke arah kanan kiri
dan bola mat fixed/ diam di tengah berarti doll head eye phenomenon negatif.

3. Refleks batang otak


a. Refleks muntah
b. Refleks menelan
c. Refleks batuk
d. Refleks kornea
e. Refleks cilio-spinal
f. Refleks pupil

Sumber: Juwono. 2011.Pemeriksaan klink neurologik dalam praktek.Jakarta. EGC.


Implementasi Evidance Based Nursing pada Pasien dengan Stroke Non-
Hemoragik

Langkah-langkah solusi dalam kasus ini bisa dilakukan dengan Terapi


murrotal Al Quran dan pengaturan posisi kepala head-up 30 derajat merupakan dua
imtervensi EBN yang sudah diteliti dan direkomandasikan pada pasien stroke.
Penelitian yang dilakukan oleh Upoyo, Ropi, dan Sitorus (2011) di indonesia
dengan memberikan stimulasi murrotal Al Quran pada pasien stroke menunjukkan
hasil adanya peningkatan kesadaran pasien. Terapi murrotal Al Quran merupakan
intervensi yang direkomendasikan karena tidak hanya memberikan efek terapeutik
untuk fisik saja tetapi juga psikologis dan spiritual (saged et al., 2018).
Seperti halnya dengan terapi Seperti halnya dengan terapi murrotal Al Quran,
pengaturan posisi kepala untuk memperbaiki saturasi oksigen juga telah diteliti dan
banyak dilakukan untuk mendapatkan outcome yang lebih baik dari tindakan
keperawatan. Pengaturan posisi head up 30 derajat tidak hanya dilakukan pada pasien
stroke, tapi juga pada pasien dengan masalah kesehatan lainnya. Studi kasus yang
dilakukan oleh Hasan (2018) menunjukkan bahwa pengaturan posisi kepala head-up
30 derajat dapat meningkatkan saturasi oksigen pada pasien stroke.
Pada pasien stroke yang mengalami penurunan kesadaran dan saturasi
oksigen, maka penggabungan dua terapi murrotal Al Quran dan pengaturan posisi
head up 30 derajat diharapkan dapat memberikan hasil keperawatan yang lebih baik.
Artikel ini merupakan studi kasus yang bertujuan untuk memaparkan hasil
implementasi kedua EBN tersebut pada pasien stroke.
 Metode penelitian
Studi kasus ini mengikuti tahapan berdasarkan Polit dan Beck (2012) tentang
implementasi EBN pada praktik keperawatan. Tahapan tersebut terdiri atas lima
tahap, yaitu: (1) memunculkan pertanyaan (PICO), (2) mencari evidence terkait, (3)
penilaian terhadap evidence yang ditemukan, (4) implementasi evidence yang
didapatkan, dan (5) evaluasi penerapan EBN. Untuk tahap pertama, pertanyaan yang
dimunculkan berdasarkan PICO (Problem/population, intervention, comparison, dan
outcome), yaitu “Pada pasien stroke, apakah intervensi yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kesadaran dan saturasi oksigen?”. Setelah pertanyaan dirumuskan,
tahap kedua dilaksanakan dengan pencarian EBN menggunakan data base elektronik
yaitu google scholar. Hasil penilaian terhadap artikel yang ditemukan pada tahap
ketiga merekomendasikan aplikasi terapi murrotal Al Quran dan pengaturan posisi
kepala headup 30 derajat untuk meningkatkan kesadaran dan saturasi oksigen pada
pasien stroke.
Sebelum EBN diimplementasikan, dilakukan pengkajian secara komprehensif
terhadap pasien. Dua intervensi tersebut dilaksanakan masing-masing selama tujuh
hari untuk terapi murotal Al Quran dan tiga hari untuk pengaturan posisi kepala head-
up 30 derajat. Terapi murrotal dilakukan dari tanggal 27 Desember 2018 sampai
dengan 2 Januari 2019. Terapi murotal Al Quran dilakukan dengan menggunakan
media handphone selama 30 menit untuk setiap sesi. Pada hari pertama dan kedua,
pasien diperdengarkan surah Ar Rahman. Pada hari ketiga dan keempat, diputarkan
surah Yasin, dan hari ke-5 sampai ke-7 diputarkan surah An Nisa. Pemilihan surah
dilakukan berdasarkan keinginan keluarga.
Pengaturan posisi kepala head up 30 derajat dilakukan dari tanggal 27 sampai
dengan 29 Desember 2018. Pengaturan posisi head up dilakukan pada saat pasien
berada di kamar HCU ruangan neurologi yang dilengkapi fasilitas monitor, pulse
oksimetri, dan saturasi oksigen yang memungkinkan untuk memantau perubahan
saturasi pasien. Pengaturan posisi head up 30 derajat dilakukan dengan cara
menaikkan tempat tidur kemudian mengganjal kepala pasien sampai ke bahu
menggunakan bantal selama 30 menit.
Tahap terakhir adalah evaluasi terhadap implementasi EBN. Penilaian GCS
dilakukan setiap hari selama tujuh hari rawatan setelah terapi murotal Al Quran
dilakukan. Penilaian saturasi oksigen dilakukan selama tiga hari rawatan untuk
pengaturan posisi kepala head-up 30 derajat sebelum dan setelah intervensi dilakukan.
Evaluasi tidak dilaksanakan pada saat intervensi diberikan, melainkan setelah setiap
intervensi dilakukan untuk menghindari distraksi selama tindakan berlangsung.
 Hasil dan Pembahasan
Hasil pengkajian terhadap pasien adalah sebagai berikut: pasien adalah
seorang wanita berusia 63 tahun, dibawa ke rumah sakit dengan kondisi tidak bisa
bicara saat dipanggil, anggota gerak bagian kanan lemah, dan tidak sadarkan diri. Hal
tersebut terjadi tiba-tiba pada saat pasien sedang duduk menonton TV di rumahnya.
Pengkajian dilakukan pada hari yang sama pasien masuk rumah sakit (Kamis, 27
Desember 2018). Pada saat dilakukan pengkajian, pasien mengalami penurunan
kesadaran dengan GCS 7 (E2V2M3) dengan tingkat kesadaran somnolen. Pasien
ditempatkan di HCU ruang rawat inap neurologi dengan hasil pengkajian tandatanda
vital didapatkan: tekanan darah 183/100 mmHg, nadi 80x/menit, suhu 37.50C,
pernafasan 22x/menit, dan SpO2 91%. Penerapan evidence-based nursing yaitu terapi
murrotal dan pengaturan posisi kepala head-up 30 derajat pada pasien bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran dan saturasi oksigen. Hasil evaluasi penilaian GCS dan
saturasi oksigen dalam 7 hari ada perubahan dan peningkatan setiap harinya.
peningkatan kesadaran dari GCS 7 pada hari pertama ke GCS 11 pada hari ke-
7. Hasil implementasi ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Upoyo et al. (2011). Penelitian mereka dilakukan dengan memberikan stimulasi Al
Quran selama 30 menit selama 3 hari pada pasien stroke iskemik dan didapatkan
peningkatan nilai GCS yang bermakna antara kelompok intervensi dan kelompok
kontrol. Pasien yang tidak sadar memiliki kemampuan pendengaran masih dapat
berfungsi (Laureys & Schiff, 2012). Karena itu, pada studi kasus ini, pasien stroke
yang mengalami penurunan kesadaran, kemampuan mendengar masih berfungsi
sehingga terapi murrotal Al Quran dapat menjadi pilihan intervensi untuk
meningkatkan kesadaran pasien.
Implementasi kedua adalah pengaturan posisi kepala di tempat tidur dengan
head up 30 derajat untuk meningkatkan saturasi oksigen. Untuk implementasi ini
dilakukan selama 3 hari rawatan saat pasien berada di ruangan HCU karena ruangan
HCU difasilitasi monitor dan pulse oksimetri sehingga bisa dipantau untuk dilihat
perubahannya. Hasil memperlihatkan bahwa saturasi oksigen mengalami peningkatan
2% pada hari kedua dan 1% pada hari ketiga. Posisi mempengaruhi aliran udara di
otak (Anderson et al., 2017). Pasien stroke yang mengalami penurunan kesadaran juga
akan mengalami penurunan mobilisasi. Posisi pasien yang imobilitas di tempat tidur
dapat mempengaruhi fungsi respirasi (Martinez et al., 2015). Hal ini menstimulasi
banyak penelitian untuk menentukan posisi yang dapat mempertahankan fungsi
respirasi dengan baik. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa posisi head up 30
derajat memberikan akses yang lebih baik terhadap saturasi oksigen (Hsu et al.,
2014). Selain itu, studi kasus sebelumnya oleh Hasan (2018) yang melakukan
pengaturan posisi elevasi kepala 30 derajat pada pasien stroke hemoragik
menunjukkan peningkatan saturasi oksigen sebesar 2 % dari 96% menjadi 98%.
Studi kasus ini menampilkan aplikasi dari gabungan dua EBN tersebut
terhadap pasien yang sama untuk mendapatkan hasil perawatan yang lebih baik.
Namun, studi kasus ini memiliki keterbatasan karena hanya dilakukan terhadap satu
pasien. Selain itu, pengaturan posisi dengan evaluasi nilai saturasi oksigen hanya
dilakukan selama 3 hari, sehingga hasil dari studi kasus ini tidak dapat digeneralisasi.
Walaupun demikian, studi kasus ini memberikan gambaran kepada perawat di tatanan
klinik, mahasiswa keperawatan, dan perawat pendidik di instusi tentang proses
aplikasi EBN pada praktik keperawatan, mulai dari tahap pertama menentukan PICO
sampai pada tahap pelaksanaan dan evaluasi di lapangan. Kepada peneliti selanjutnya
disarankan untuk dapat melakukan aplikasi EBN pada jumlah pasien yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA

Damhudi.2008. Jurnal: Efektifitas Pengkajian dengan Metode NIHSS dan ESS. FIK
UI.

Juwono, T. 1990. Pemeriksaan Klinik Neurologik dalam Praktek. Jakarta: EGC.

Hasan, A. K. (2018). Studi kasus gangguan perfusi jaringan serebral dengan


penurunan kesadaran pada psien stroke hemoragik setelah diberikan posisi
kepala elevasi 30 derajat. Babul Ilmi: Jurnal Ilmiah Multi Science Kesehatan,
9(2), 229–241.

Mardjono Mahar dan Sidharta Priguna. 2004. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian
Rakyat.

Mutaqqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba medika.

Saged, A. A. G., Yusof, M. Y. Z. M., Latif, F. A., Hilmi, S. M., Al-Rahmi, W. M.,
AlSamman, A., … Zeki, A. M. (2018). Impact of Quran in Treatment of the
Psychological Disorder and Spiritual Illness. Journal of Religion and Health.
https://doi.org/10.1007/s10943-018- 0572-8

Anda mungkin juga menyukai