Anda di halaman 1dari 24

POLIOMIELITIS

A. Epidemiologi

Poliomielitis (polio, paralisis infantile) adalah penyakit menular oleh


infeksi virus yang bersifat akut. fungsional yang ada agar penderita memiliki
produktivitas sesuai kemampuan. Predileksi virus ialah merusak sel-sel neuron
motorik kornu anterior masa kelabu medula spinalis (anterior horn cells of the
spinal cord) dan batang otak (brain stem) yang berakibat kelemahan atau
kelumpuhan otot (paralisis flaksid akut) dengan distribusi dan tingkat yang
bervariasi serta bersifat permanen.
Saat ini kasus polio menjadi isu krusial dan topic perbincangan public,
khususnya bgi kalangan pemerhati kesehatan pada anak usia baliata. Tidak
hanya daerah perkotaan, bahkan menyebar di beberapa daerah perdesaan.
Maraknya penyakit polio membuat masyarakat menjadi resah , mengingat
penyakit menular berdampak nehgatif pada anak balita. Oleh sebab itu
membutuhkan perhatian yang sangat serius.
Di Indonesia perkembangan KLB polio sejak ditemukannya kasus polio
pertama maret 2005 lalu setelah 10 tahun tidka ditemukannya lagi kasus polio.
Namun penyakit polio ini kembali mewabah di Indonesia tahun 2005. Hingga
tanggal 21 november 2005, ditemukan 295 kasus polio yang terdapat di 40
kabupaten yang ada di 10 propinsi.
Polio terdapat di seluruh dunia. Manusia adalah satu-satunya reservoir dari
virus polio. Dengan memperbaiki sanitasi, dan upaya vaksinasi intensif, angka
kejadian dapat ditekan dan saat ini sudah sulit menemukan kasus polio.
Limapuluh tahun stelah vaksin polio diproduksi nampaknya poli mendekati
kemusnahan, pada tahun 1988 terdapat kejadian polio sebanyak 350.000 kasus,
dan pada 2003 terdapat hanya 784 kauss, dan masih mensisakan 6 negara yaitu
India, Pakistan, Afganistan, Nigeria, dan Mesir sebagai negara dengan
endemic.

1
B. Anatomi
medulla spinalis merupakan bagian dari susuanan saraf pusat. Terbentang
dari foramen magnum sampai dengan L1. Medulla spinalis terletak di canalis
vertebralis dan dibungkus oleh tiga meaninges yaitu duramater arakhinoid,
dan piamater. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligament,
meningen spinal dan juga cairan LCS (liquor cerebro spinal). LCS
mengelilingi medulla spinalisdi dalam ruang subarachinoid. Bagian superior
dimulai dari bagian foramen magnum pada tengkorak, tempat bergabungnya
dengan medulla oblongata. Medulla spinalis berakhir di inferior di region
lumbal. Dibawah dengan medulla spinalis menipis menjadi konus medullaris
dari ujungnya yang merupakan lanjutan piamater, yaitu fillumterminaleyang
berjalan ke bawah dan melekat dibagian belakang os coccygea. Akar saraf
lumbal dan sacral terkumpul yang disebut dengan auda equine. Setiap
pasangan saraf keluar melalui foramen intervertebral. Saraf spinal dilindungi
oelh tulang vertebra dan ligament dan juga oleh meningen spinal dan LCS.
Disepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang saraf spinal
melalui radix anterior atau radix motorik dan radix posterior atau radix
sensorik. Masing-masing radix melekat pada medulla spinalis melalui fila
radikularis yang membentang disepanjang segmen-segmen medulla
spinalis yang sesuai. Masing-msing radix saraf memiliki sebuah ganglion
radix posterior, yaitu sel-sel yang membentuk serabut saraf pusat dan tepi.
31 pasang saraf spinal diantaranya yaitu:
1. 8 pasang saraf servical
2. 12 pasang saraf torakal
3. 5 pasang saraf lumbal
4. 5 pasang saraf sacral
5. 1 pasang saraf koksigeal

2
Struktur medulla spinal terdiri dari substansi abu-abu (substansia
grisea) yang dikelilingi substansia putih(substansia alba). Pada
potongan melintang , substansia grisea terlihat seperti huruf H
dengan kolumna atau kornu anterior atau posterior substansia
grisea yang dihubungkan dengan commisura grisea yang tipis.
Didalamnya terdapat canalis centralis yang kecil. Keluar dari
medulla spinalismerupakan akar ventral dan dorsal dari saraf
spinal. Substansia grisea mengandung badan sel dan dendritik dan
neuron efferen, akson tak bermielin, saraf sensoris dan motoris dan
akson terminalis dari neuron. Bagian posterior sebagai input atau
afferent, anterior sebagai output atau efferent, commisura grisea
untuk reflex silang dan substansia alba merupakan kumpulan serat
saraf yang bermielin.
Fungsi medulla spinalis:
a. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik
atau kornu ventralis.
b. mengurus kegiatan reflex spinal dan reflex tungkai, reflex
merupakan respon bawah sadar terhadap adanya suatu
stimulus internal ataupun sksternal untuk mempertahankan
keadaan seimbang dari tubuh. Reflex yang melibatkan otot

3
rangka dsebut dengan reflex somatic dan reflex yang
melibatkan otot polos , otot jantung, tau kelenjar disebut
reflex otonom atau visera.
c. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi
menuju cerebellum.
d. Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian
tubuh.
Fungsi lengkung reflex:
a. Receptor : penerima rangsangan
b. Aferen : sel saraf yang mengantarkan implus dari receptor
ke system saraf pusat (ke pusat reflex).
c. Pusat reflex : area di system saraf pusat (di medulla spinal :
susbtansia grisea ), tempat terjadinya sinap( hubungan
antara neuron dengan neuron dimana terjadi pemindahan
atau penurusan implus).
d. Efferent /; sel saraf yang membawa implus dari pusat reflex
ke sel efektor. Bila sel efektornya berupa otot, maka
efferent disebut juga neuoron motorik (sel saraf atau
penggerak).
e. Efektor : sel tubuh yang memberikan jawaban terakhir
sebagai jawaban reflex. Dapat berupa sel otot (otot jantung
, otot polos, atau otot rangka), sel kelenjar.
Batang otak (brainstem) adalah struktur padat dengan nuklei saraf kranial,
fasikula saraf dan traktus asendens dan desendens yang sama-sama saling
berdampingan. Bahkan suatu lesi tunggal relatif kecilpun hampir selalu merusak
beberapa nukleus, pusat refleks, traktus atau jaras. Batang otak berada di bagian
paling kaudal otak dan terletak pada tulang tengkorak yang memanjang sampai ke
tulang punggung atau sum-sum tulang belakang. Bagian ini mengatur fungsi dasar
manusia seperti mengatur pernapasan, denyut jantung, pencernaan, insting
terhadap bahaya dan sebagainya.1
Batang otak terbagi menjadi beberapa bagian yakni:

4
1. Mesensefalon: fungsi untuk mengontrol otak besar dan otak kecil,
berfungsi mengatur penglihatan seperti lensa mata, pupil mata dan kornea.
2. Pons: fungsi untuk mengontrol apakah kita sedang terjaga atau tertidur.
3. Medulla oblongata: fungsi untuk mengatur sirkulasi darah, denyut
jantung, pernapasan dan pencernaan.
Batang otak mengandung banyak jaras serabut, termasuk semua jaras
asendens dan desendens yang menghubungkan otak dengan perifer. Beberapa
jaras ini menyilang garis tengah ketika melewati batang otak dan beberapa di
antaranya membentuk sinaps sebelum melanjutkan perjalanan di sepanjang
jarasnya. Terdapat banyak nuklei di batang otak yaitu:
 Nuklei nervus III – nervus XII
 Nukleus ruber dan substansia nigra mesensefalon; nuklei pontis dan nuklei
olivarius medulla yang berperan pada sirkuit regulasi motorik.
 Nuklei lamina quadrigemina mesensefali yang merupakan stasiun jaras visual
dan auditorik.
Hampir seluruh batang otak diliputi jaringan difus neuron yang tersusun
padat (formasio retikularis) yang mengandung pusat regulasi otonomik yang
penting untuk berbagai fungsi tubuh vital, termasuk aktivitas jantung, sirkulasi
dan respirasi. Formasio retikularis juga mengirimkan impuls pengaktivasi ke
korteks serebri yang dibutuhkan untuk mempertahankan kesadaran. Jaras
desendens dari formasio retikularis mempengaruhi aktivitas neuron motorik
spinal. Karena batang otak mengandung berbagai macam nuklei dan jaras saraf
pada ruang yang sangat padat, bahkan lesi yang kecil pada batang otak dapat
menimbulkan berbagai tipe defisit neurologis secara simultan (seperti pada
berbagai sindroma vaskular batang-otak).1

5
Gambar 1. Anatomi batang otak

Anatomi suplai darah pada batang otak

6
Gambar 2. Anatomi suplai darah pada mesensefalon

Gambar 3. Anatomi suplai darah pada pons

7
Gambar 4. Anatomi suplai darah pada medulla oblongata.

Arteri vertebralis timbul dari arteri subklavia dan ketika mereka melewati
foramina costotransverse dari C6 ke C2. Mereka memasuki tengkorak melalui
foramen magnum dan bergabung di persimpangan pontomedullary untuk
membentuk arteri basilar. Setiap arteri vertebralis biasanya bercabang menjadi
arteri serebelar posterior inferior (PICA). Di bagian atas pons, arteri basilari
terbagi menjadi 2 arteri serebral posterior.
Arteri basilaris bercabang menjadi arteri sereblar superior yang memasok
bagian lateral pons dan otak tengah, serta permukaan superior dari otak kecil.
Otak kecil dipasok oleh arteri sirkumfleks, arteri serebelar anterior inferior dan
arteri superior serebelar dari arteri basilar. Medulla oblongata diperdarahi oleh
PICA dan cabang kecil dari arteri vertebralis. Pons diperdarahi oleh cabang-
cabang dari arteri basilaris. PCA memperdarahi otak tengah, thalamus dan korteks
oksipital.

C. Etiologi

8
Poliovirus diklasifikasikan dalam tiga serotype (type 1,type 2, and type 3).
Poliovirus stabil dalam pada Ph asam dan bisa bertahan untuk beberapa
minggu dalam rungan dan berbulan-bulan pada temperatur 00C – 80C. Dengan
enterovirus lainnya, poliovirus resisten pada alcohol 70% dan disenfektan
laboratorium lainnya. Transmisi penyakitini sangat mudah lewat oral-oral
(orofaringeal) dan fekal-oral (intestinal). Paralisis yang paling sering akibat
invasi virus pada motor neuron di kornu anterior medula spinalis yang
bertanggung jawab pada pergerakan otot-otot, termasuk otot-otot interkostal,
trunkus, dan tungkai. Kelumpuhan maksimal terjadi cukup cepat (2-4 hari),
dan biasanya timbul demam Polio sangat infeksius antara 7-10 hari serta nyeri
otot. Virus dapat merusak otot-sebelum dan sesudah timbulnya gejala, tetapi
transmisinya mungkin terjadi selama virus berada di dalam s aliva atau feses.
D. Patogenesis
Poliovirus masuk kedalam tubuh melalui mulut, menginfeksi sel yang
pertama ditemuinya, yaitu di faring dan mukosa saluran cerna. Virus ini
masuk dan berikatan dengan immunoglobulin-like receptor, yang dikenal
sebagai reseptor poliovirus atau CD 155, pada membrane sel. Di dalam
sel-sel saluran cerna, virus ini bertahan selama sekitar 1 minggu,kemudian
menyebar ke tonsil, jaringanlimfoid saluran cerna dan kelenjar
limfamesenterik dan servikal dimana virus iniberkembang biak.
Selanjutnya, virus ini masuk ke dalam aliran darah. Poliovirus dapat
bertahan dan berkembang biak dalamdarah dan kelenjar limfa untuk waktu
lama, kadang-kadang hingga 17 minggu. Factor yang berpengaruh pada
resiko infeksi dan beratnya penyakit ialah defesiensi imun, malnutrisi,
tonsilektomi, aktifitas fisik, kecepatan timbulnya paralisis, injuri otot
akibat suntikan vaksin atau pengobatan, dan kehamilan. Virus mengalami
replikasi di dalam sel M dari mukosa usus halus. Kelenjar getah bening
ssetempat terinfeksi dan dalam waktu 2-3 hari terjadilah viremia primer.
Virus kemudian berkembang di berbagai tempat, termasuk jaringan system
retikuloendotel, jaringan lemak, dan otot bergaris, selanjutnya terjadi
viremia sekunder. Kemudian virus masuk ke jaringan saraf dan

9
menimbulkan kerusakan berbagai tempat, terutama neuron motorik dan
vegetative, dan ini mempunyai korelasi dengan jenis gejala klinik yang
timbul. Dijumpai juga danya reaksi inflamasi perineuron disertai
kerusakan yang luas dari neuron, perdarahn dan edema di daerah yang
terkena infeksi. Virus polio menimbulkan infksi di medulla spinalis
(terutam sel motorik kornu anterior, juga kornu lateralis, kornu posterior
dan radiks posterior), medulla oblongata(nuclei saraf otak), formation
retikularis (terdapat pula pusat pernafasan dan kardiovaskuler), pons (
substansia nigra dan nucleus rubra), serebelum, thalamus, hypothalamus,
globus palidus, dan korteks motorik. Selain mengenai jaringan otak, virus
polio menimbulkan reaksi inflamasi di jaringan retikuloendoteal. Bebrapa
hari setalah terpajan virus maka tubuh membentuk antibody terhadap virus
polio yang berperan melindungi jaringan saraf terhadap invasi virus. Bayi
memperoleh kekebalan melalui plasenta, dan antibody ini bertahan sampai
bayi umur 4-6 bulan.

Jenis-jenis poliomielitis
Polio paralitik
Denervasi jaringan otot skelet sekunder oleh infeksi poliovirus dapat
menimbulkan kelumpuhan. Tanda-tanda awal polio paralitik ialah panas
tinggi, sakit kepala, kelemahan pada punggung dan leher, kelemahan
asimetris pada berbagai otot, peka dengan sentuhan, susah menelan, nyeri
otot, hilangnya refleks superfisial dan dalam, parestesia, iritabilitas,
konstipasi, atau sukar buang air kecil. Kelumpuhan umumnya berkembang
1-10 hari setelah gejala awal mulai timbul Prosesnya
berlangsung selama 2-3 hari, dan biasanya komplit seiring dengan
turunnya panas.
Polio spinal
Polio spinal adalah tipe poliomielitis paralisis yang paling sering akibat
invasi virus pada motor neuron di kornu anterior medula spinalis yang
bertanggung jawab pada pergerakan otot-otot, termasuk otot-otot

10
interkostal, trunkus, dan tungkai. Kelumpuhan maksimal terjadi cukup
cepat (2-4 hari), dan biasanya timbul demam serta nyeri otot. Virus dapat
merusak otot-otot pada kedua sisi tubuh, tetapi kelumpuhannya paling
sering asimetris.Kelumpuhan seringkali lebih berat di daerah proksimal
dari pada distal.
Polio bulbar
Terjadi kira-kira 2% dari kasus polio paralitik. Polio bulbar terjadi ketika
poliovirus menginvasi dan merusak sarafsaraf di daerah bulbar batang
otak. Destruksi saraf-saraf ini melemahkan oto-totot yang dipersarafi
nervus kranialis, menimbulkan gejala ensefalitis, dan menyebabkan susah
bernafas, berbicara, dan menelan. Akibat gangguan menelan, sekresi
mukus pada saluran napas meningkat, yang dapat menyebabkan kematian.
Polio bulbospinal
Kira-kira 19% dari semua kasus polio paralitik yang memberikan gejala
bulbar dan spinal; subtipe ini dikenal dengan polio respiratori atau polio
bulbospinal. Poliovirus menyerang nervus frenikus, yang mengontrol
diafragma untuk mengembangkan paru-paru dan mengontrol otot-otot
yang dibutuhkan untuk menelan.
E. Gejala klinik
Gejala klinik bermacam-macam dan digolongkan sebagai berikut:
1. Jenis asimtomatis
Setelah masa inkubasi 7-10 hari, tidak terdapat gejala klinik sama sekali
karena daya tahan tubuh cukup baik. Jenis ini banyak terdapat waktu epidemi.
2. Jenis abortif
Timbul mendadak langsung beberapa jam sampai beberapa hari. Gejala
seperti infeksi virus lainnya, yaitu: malaise, anoreksia, nausea, muntah, nyeri
kepala, nyeri tenggorokan, konstipasi dan nyeri abdomen.
3. Jenis non-paralitk
Gejala kliniknya hampir sama dengan poliomielitis abortif, hanya nyeri
kepala, nausea, dan muntah lebih hebat. Terdapat tanda-tanda rangsangan
meningeal tanpa adanya kelumpuhan.

11
Suhu bisa naik sampai 38-39 C disertai nyeri kepala dan nyeri otot. Bila
penderita ditegakkan, kepala akan terjatuh kebelakang (head drops). Bila
penderita berusaha duduk dari sikap tidur maka kedua lututnya ditekuk
dengan menunjang kebelakang dan terlihat kekakuan otot spinal (tripod sign).
4. Jenis paralitik
Gejala kliniknya sama seperti pada jenis non-paralitik, kemudian disertai
kelumpuhan yang biasanya timbul 3 hari setelah stadium preparalitik.

F. Diagnosis
Diagnosis poliomielitis paralitik ditegakkan berdasarkan anamnesis yaitu
adanya kelumpuhan flaksid yang mendadak pada salah satu atau lebih
anggota gerak dengan refleks tendon yang menurun atau tidak ada pada
anggota gerak yang terkena, yang tidak berhubungan dengan penyebab
lainnya, dan tanpa adanya gangguan sensori atau kognitif Virus polio dapat
diisolasi dan dibiakkan dari bahan hapusan tenggorok pada minggu pertama
penyakit, dan dari tinja sampai beberapa minggu. Bila pemeriksaan isolasi
virus tidak dapat dilakukan, maka dipakai pemeriksaan serologi berupa tes
netralisasi dengan memakai serum pada fase akut dan konvalesen. Selain itu
bisa juga dilakukan pemeriksaan complement fixation (CF). Diagnosis
laboratorik biasanya berdasarkan ditemukannya poliovirus dari sampel feses
atau dari hapusan faring. Antibodi dari poliovirus dapat didiagnosis, dan
biasanya terdeteksi di dalam darah pasien yang terinfeksi. Hasil analisis
cairan serebrospinal yang diambil dari pungsi lumbal didapati adanya
peningkatan jumlah leukosit serta protein juga sedikit meningkat. Dapat juga
dilakukan pemeriksaan khusus yaitu kecepatan hantar saraf dan
elektromiografi. Diagnosis banding ialah meningitis tuberkulosis, sindroma
Guillain-Barre, mieltis transversa, dan ensefalitis.
G. Differential Diagnosis
1. Sindrom Guillain –Barre

12
Adalah penyakit yang disebabkan reaksi imun pasca infeksi dengan
tanda fisis berupa paralisis flaksid bersifat simetri disertai kelainan
sensorik, kenaikan protein CSS sedang jumlah sel tidak meningkat.
2. Mielitis transversa
Berlangsung progresif dalam beberapa jam/ haridengan gejala
paralisis yang simetri dari anggota badan bawah disertai dengan
disfungsi buli-buli dan kelainan sensorik.
3. Trauma saraf siatika
Terjadi dengan cepat setelah trauma dan gejalanya adalah paraalisis
tidak simetris, kelianan sensorik, reflex tendon dan tonus otot
berkurang, dan CSS adalah normal.

H. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang sering ditemukan, yaitu: equinus foot (club
foot), deformitas, gangguan pergerakan sendi, skoliosis, osteoporosis,
neuropati. Dan komplikasi akibat tirah baring lama.
I. Prognosis
Prognosis tergantung pada beratnya penyakit. Pemulihan motorik pada
poliomielitis umumnya cukup baik. Pada kasus polio spinal, bila sel-sel
saraf rusak total maka kelumpuhan dapat menetap. Prognosis buruk pada
bentuk bulbar. Kematian biasanya terjadi karena kegagalan fungsi pusat
pernapasan atau infeksi sekunder pada jalan napas.
J. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif dan
menghindari daerah endemis.
Vaksin Polio yang Dilemahkan (IPV)
Vaksin IPV diberikan melalui suntikan. Vaksin IPV berisi tiga jenis virus polio
yang dilemahkan. 4 suntikan dengan selang waktu 2 bulan antara tiap dosis
menghasilkan
kekebalan yang tahan lama. IPV dapat mengganti dengan vaksin polio oral
(OPV) jika dosis polio sebelumnya diberikan melalui mulut.

13
Orang Dewasa
Orang dewasa harus memastikan agar telah menerima sekurang-kurangnya tiga
dosis vaksin polio sebelumnya. Jika tidak, haruslah berbicara dengan penyedia
imunisasi supaya imunisasi ‘ketinggalan’ dapat diatur. Dosis tambahan
dianjurkan bagi orang dewasa hanya jika mereka menghadapi risiko. Orang yang
menghadapi risiko adalah:
• Pengunjung ke daerah atau negara di mana terdapat polio secara meluas.
• Petugas kesehatan yang mungkin mempunyai kontak dengan penderita
poliomyelitis.
Orang ini harus menerima dosis OPV tambahan tiap sepuluh tahun.
Reaksi terhadap Vaksin Polio yangDilemahkan
Efek Sampingan yang Umum dari Vaksin
Polio yang Dilemahkan:
• Sakit otot
• Sedikit demam
• Sakit, merah dan bengkak di tempat suntikan
• Bincul kecil sementara di tempat suntikan
Efek Sampingan yang Amat Jarang:
• Reaksi alergi parah Jika reaksi ringan terjadi, mungkin selama 1 atau 2 hari.
Efek sampingan dapat dikurangi dengan:
• Minum lebih banyak air
• Tidak berpakaian terlalu hangat
• Meletakkan kain dingin yang basah pada tempat suntikan yang sakit
• Memberikan parasetamol kepada anak Anda untuk mengurangi segala rasa
kurang enak (perhatikan dosis yang dianjurkan menurut usia anak Anda) Jika
reaksi parah atau berkelanjutan, atau jika Anda khawatir, silakan hubungi
dokter atau rumah sakit Anda.
Daftar Periksa Pra-Imunisasi
Sebelum Anda atau anak Anda diimunisasikan, beri tahu kepada dokter atau perawat
jika ada antara hal berikut yang berkenaan: Sakit pada hari imunisasi (suhu badan

14
melebihi 38.5°C) Pernah mengalami reaksi parah terhadap vaksin manapun Pernah
mengalami alergi parah terhadap komponen vaksin manapun (misalnya,neomisin)
Authorised

K. PENATALAKSANAAN
Terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Istirahat selama fase akut.
2. Penderita diisolasi selama fase akut.
3. Terapi simtomatik untuk meringankan gejala
4. Dilakukan fisioterapi untuk mengurangi kontraktur, atrofi, dan atoni
otot. Otot-otot yang lumpuh harus dipertahankan pada posisi untuk
mencegah deformitas. Dua hari setelah demam menghilang dilakukan
latihan gerakan pasif dan aktif.
5. Akupunktur dapat dilakukan dengan hasil yang cukup memuaskan
6. Terapi ortopedik dilakukan bila terjadi cacat karena kontraktur dan
subluksasi akibat terkenanya otot di sekitar sendi dan lain-lain.
Program rehabilitasi medik
Fase akut (< 2 minggu)
Ditekankan tindakan suportif dan upaya pencegahan kerusakan sel-sel kornu
anterior medula spinalis yang permanen serta mencegah kecacatan, yang meliputi:
- Istirahat di tempat tidur (sebaiknya dirawat di rumah sakit) dan diet yang
adekuat
- Aktivitas fisik dan trauma dihindari selama fase preparalitik
- Karena adanya demam dan nyeri otot, diberikan obat analgetik dan kompres
hangat untuk mengurangi nyeri dan spasme otot
- Posisi tidur diatur yang nyaman bagi anak dan cegah kontraktur, kalau
perludengan splinting. Pada awalnya otototot terasa nyeri, sehingga anak menolak
untuk meluruskan tungkainya. Secara lembut dan pelan luruskan lengan dan
tungkainya sehingga anak berbaring dalam posisi yang baik. Buat lengan, pinggul
(hip, dan tungkai selurus mungkin.Berikan penyokong pada kaki. Untuk
mengurangi nyeri, letakkan bantalan di bawah lutut.

15
Fase subakut (2 minggu - 2 bulan)
Latihan pasif atau latihan aktif yang ringan dapat mulai diberikan. Pada akhir
fase ini, penderita bisa di latih berdiri.
Fase penyembuhan (2 bulan – 2 tahun)
Pada fase ini dilakukan pemeriksaan manual muscle test (MMT) pertama, untuk
menentukan pemberian jenis ortosis pada anggota gerak dengan kekuatan otot <3.
Jenis ortosis yang diberikan tergantung pada letak otot yang lemah (MMT <3),
misalnya:
- Bila kekuatan otot-otot pinggul <3, ortosis yang dipakai HKAFO
- Bila terdapat kelemahan otot-otot lutut maka yang dipakai KAFO
- Bila terdapat kelemahan otot-otot pergelangan kaki, maka yang dipakai AFO
Evaluasi kekuatan otot (MMT) dilakukan setiap 3 bulan. Fase penyembuhan bias
terjadi sampai 2 tahun sehingga bila dalam kurun waktu tersebut terdapat
perbaikan kekuatan otot, maka ortosis bisa diubah menjadi yang lebih sederhana
atau bahkan ortosisnya bisa dilepas.
Fase kronis (> 2 tahun)
Bila sampai 2 tahun setelah lumpuh tidak terjadi perbaikan kekuatan otot, maka
ortosis dipakai seumur hidup untuk mencegah komplikasi yang lain, misalnya:
karena adanya perbedaan panjang tungkai dan tanpa koreksi akan menimbulkan
skoliosis, atau karena adanya kekuatan otot pergelangan kaki yang tidak seimbang
tanpa koreksi, maka akan terjadi pes equinus. Kadang-kadang pada fase ini
memerlukan tindakan operasi bila terdapat pemendekan otot atau kontraktur sendi
yang tidak dapat diperbaiki dengan tindakan fisioterapi maupun dengan
ortosis.Pada penderita poliomielitis selain dilakukan latihan penguatan untuk otot-
otot yang mengalami kelemahan, juga perlu dilakukan latihan penguatan pada
otot-otot yang tidak mengalami kelemahan, terutama otot-otot ekstremitas
superior, untuk persiapan penggunaan ortosis atau alat
bantu seperti wheelchair dan crutches(Gambar 1).
Ortosis untuk penderita poliomielitis
Terdapat beberapa jenis ortosis untuk penderita poliomielitis, yaitu:

16
Gambar 1. Latihan penguatan ekstremitas superior. Sumber: Werner D, 2007.
1. Hip knee ankle foot orthosis (HKAFO): yaitu alat penguat anggota gerak
bawah(tungkai) yang berfungsi untuk membantu mobilitas post polio paralysis,
genu valgum poliomielitis. HKAFO ini dibuat dari bahan polietilen yang di
rangkai dengan side bar duraluminium/ stainless steel.
2. Knee ankle foot orthosis (KAFO): terdapat berbagai jenis KAFO dilihat dari
desain dan fungsinya pada pergelangan kaki dan lutut. Sebelum memutuskan jenis
KAFO yang akan
dipakai pasien, harus diketahui tempat tinggal, jenis pekerjaan, keluhan,
perawatan lain yang diinginkan, jenis alas kaki yang tidak cocok, cara berjalan,
lingkup gerak sendi, kekuatan otot, kepekaan, propriosepsi, dan panjang kaki.

Gambar 2. Knee ankle foot orthosis. Sumber:


Kuspito.

17
Kebutuhan pasien akan KAFO dilihat berdasarkan kelumpuhan, kelemahan otot,
ketidakseimbangan otot, luka bakar, kontraktur, spastisitas, kaki yang tidak sama
panjang. Tujuan utamanya ialah memaksimalkan kualitas hidup pasien dengan
menyediakan alat ortosis dan mengajarkan manajemen ortosis yaitu cara memakai
serta merawat alat tersebut.
3. Ankle foot orthosis (AFO): merupakan salah satu jenis alat yang berfungsi
sebagai penguat anggota gerak. Alat bantu ini di desain dengan memperhatikan
aspek patologis, biomekanis dan mekanis. AFO dibuat dari bahan polyetilene
yang dilapisi soft foam untuk kenyamanan pada saatdipakai pasien. Tujuan AFO
ialah untuk menyediakan dukungan eksternal yang diperlukan untuk kaki dan
tungkai ketika ada gangguan fisik atau kelemahan otot. Umumnya AFO berguna
untuk mengendalikan ketidakstabilan di ekstremitas bawah dengan
mempertahankan keselarasandan mengendalikan gerakan yang terjadi pada ankle
dan telapak kaki. AFO berfungsi untuk mencegah kecacatan yang lebih lanjut;
mengkoreksi kecacatan; dan mengontrol atau mengatur gerakan yang terjadi pada
pergelangan kaki.

Gambar 3. Ankle foot orthosis. Sumber:


Kuspito
Perubahan bantuan dan pertolongan terhadap anak yang menderita
poliomielitis
Terdapat beberapa jenis latihan dan ortosis untuk penderita poliomielitis anak,
yaitu:
1. Latihan lingkup gerak sendi

18
2. Latihan duduk dengan memakai sandaran yang membantu mencegah
kontraktur

3. Latihan aktif extremitas inferior dengan bantuan, untuk meningkatkan kekuatan


dan mempertahankan lingkup gerak sendi.

4. Latihan di dalam air, dengan berjalan,mengapung, dan berenang

5. Wheelboard atau wheelchair dengan bantuan untuk mencegah atau mengoreksi


kontraktur dini. Juga melatih lengan untuk persiapan penggunaan crutches.

19
6. Penggunaan braces untuk mencegah kontraktur dan persiapan untuk
berjalan

7. Latihan mulai berjalan dan untuk keseimbangan di parallel bar

8. Berjalan dengan machine atau walker

20
9. Menggunakan crutches yang di modifikasi seperti walker untuk keseimbangan.

10. Menggunakan under arm crutches

11. Menggunakan forearm cruthes

12. Menggunakan cane atau tanpa bantuan pada ekstremitas superior

21
22
SIMPULAN
Poliomielitis adalah penyakit yang disebabkan oleh virus. Gejalanya yaitu adanya
kelumpuhan flaksid mendadak pada salah satu atau lebih anggota gerak tanpa
adanya gangguan sensori atau kognitif. Diagnosis dan penanganan dini penderita
poliomielitis sangat diperlukan. Tujuan rehabilitasi pada penderita poliomielitis
ialah meningkatkan kualitas hidup dan mempertahankan kemampuan fungsional
yang ada agar penderita memiliki produktivitas sesuai kemampuan.

23
Daftar pustaka

1. Widagdo, 2011, Agung Seto,Masalah dan Tatalaksana Penyakit Infeksi


Pada Anak.
2. Pontoh lely M, angliadi Engline, 2015, rehabilitas medic pada
poliomyelitis.
3. Gendrowwahyuno, 2010,Media Litbang Kesehatan, Eradikasi polio
dan IPV.
4. Robertson susan, 2011, United Nations Development, Poliomyelitis.
5. Zulkifli andi, 2012, Fakultas kesehatan masyarakat universitas
hasanuddin, Epidemiologi penyakit polio.
6. https://www@.health.vic.go.au

24

Anda mungkin juga menyukai