Anda di halaman 1dari 39

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN STROKE INFARK


EMBOLIK DI RUANG MELATI RUMAH SAKIT DAERAH
dr. SOEBANDI JEMBER

OLEH:
Linda Ayu Agustin, S.Kep.
NIM 182311101140

PPROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
APRIL, 2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan


Stroke Infark Embolik di Ruang Melati RSD dr. Soebandi Jember telah disetujui
dan di sahkan pada
Hari, Tanggal : April 2019
Tempat : Ruang Melati RSD dr. Soebandi Jember

Jember, April 2019

Mahasiswa

Linda Ayu Agustin, S.Kep.


NIM 182311101140

Pembimbing Akademik Stase Pembimbing Klinik


Keperawatan Medikal Ruang Melati
FKep Universitas Jember RSD dr. Soebandi Jember

Ns. Ana Nistiandani, S.Kep., M.Kep Ns. Umayanah, S.Kep.


NRP. 760019011 NIP. 19770611 200604 2 020

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iv
LAPORAN PENDAHULUAN.................................................................. 1
A. Anatomi Fisiologi Otak......................................................................... 1
B. Definisi Stroke Infark Emboli.............................................................. 1
C. Epidemiologi........................................................................................ 7
D. Etiologi ............................................................................................... 7
E. Patofisiologi........................................................................................ 9
F. Manifestasi Klinis.............................................................................. 10
G. Pemeriksaan Penunjang..................................................................... 11
H. Penatalaksanaan.................................................................................. 12
I. Clinical Pathway ................................................................................ 16
J. Konsep Asuhan Keperawatan............................................................. 17
a. Pengkajian/Assesment ....................................................................
17
b. Diagnosa Keperawatan................................................................... 26
c. Intervensi Keperawatan.................................................................. 35
d. Evaluasi Keperawatan ....................................................................
41
e. Discharge Planning........................................................................ 41
f. Evidance Based.............................................................................. 42
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 44

iii
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Anatomi Fisiologi Otak

Gambar 1. Anatomi otak


Otak merupakan salah satu organ vital yang terdiri dari 100-200 milyar sel
aktif yang saling berhubungan dan bertanggung jawab atas fungsi mental dan
intelektual. Otak melaksanakan semua fungsi yang disadari dan bertanggung
jawab terhadap pengalaman-pengalaman berbagai macam sensasi atau rangsangan
terhadap kemampuan manusia untuk melakukan gerakan-gerakan yang disadari
dan kemampuan untuk melaksanakan berbagai macam proses mental seperti
ingatan atau memori, perasaan emosional, intelegensia, berkomunikasi, sifat atau
kepribadian. Secara anatomis otak terdiri dari beberapa bagian meliputi, cerebrum
(otak besar), cerebellum (otak kecil), brainstem (batang otak) dan limbic system
(sistem limbik) (Sloane, 2003). Otak adalah bagian utama dari sistem saraf
dengan komponen bagian-bagiannya adalah:
1. Cerebrum
Cerebrum merupakan bagian otak terbesar yang terdiri dari sepasang
hemisfer kanan dan kiri serta tersusun dari beberapa korteks (permukaan
otak) yaitu, ganglia basalis, dan sistem limbic. Kedua hemisfer kiri dan kanan
dihubungkan oleh serabut padat yang disebut dengan corpus calosum. Otak
besar memiliki fungsi untuk mengatur semua aktivitas mental yang berkaitan
dengan kepandaian (intelegensia), ingatan (memori), kesadaran dan
pertimbangan.

1
Gambar 2. Bagian-bagian Cerebrum
Cerebrum sendiri dibagi menjadi beberapa lobus antara lain:
a) Lobus Frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual, seperti
kemampuan berpiki abstrak dan nalar, bicara (area broca di hemisfer kiri),
pusat penciuman, dan emosi. Lobus frontalis mengandung pusat
pengontrolan gerakan volunteer di gyrus presentralis (area motoric
primer) dan terdapat area asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini
terdapat daerah broca yang mengatur ekspresi bicara, lobis ini juga
mengatur gerakan sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif.
b) Lobus Temporalis
Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan
kebawah dari fisura lateralis dan sebelah posterior dari fisura parieto-
oksipitalis (White, 2008). Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat
verbal, visual, pendengaran dan berperan dalam pembentukan dan
perkembangan emosi.
c) Lobus Parietalis
Lobus parietalis merupakan pusat kesadaran sensorik di gyrus
postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran
(White, 2008).
d) Lobus Okspitalis
Lobus ini berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi penglihatan
yaitu untuk menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari
nervus optikus dan mengasosiasikan rangsangan dengan informasi saraf
lain dan memori (White, 2008).
e) Lobus Limbik

2
Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi, memori, dan bersama
hypothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian atas
susunan endokrin dan susunan otonom.

Gambar 3. Lobus Limbik


2. Cerebelum
Cerebelum atau otak kecil berfungsi untuk koordinasi terhadap otot dan tonus
otot, keseimbangan dan posisi tubuh, serta untu berfungsi mengkoordinasi
gerakan yang halus dan luwes. Cerebelum berada pada bagian bawah dan
belakang tengkorak yang melekat pada otak tengah. Pada otak kecil terdapat
tiga pengelompokkan bagian-bagian otak kecil yaitu:
a) Berdasarkan lobus pada otak kecil dibagi menjadi tiga yaitu lobus anterior
(depan), lobus posterior (belakang) dan lobus frocculonadular.

Gambar 4. Lobus Otak Kecil


b) Berdasarkan zonanya cerebellum dibagi menjadi tiga bagian yaitu vermis
yang memisahkan otak kecil menjadi dua hemisfer kiri dan kanan, zona
intermediate, dan lateral hemisfer

3
Gambar 5. Zona Otak Kecil
c) Berdasarkan fungsinya, terdiri dari cerebrocerebellum yang merupakan
bagian terbesar dari otak keci dengan fungsi utama untuk mengatur
pergerakan mortik dan evaluasi terhadap informasi sensoris agar dapat
melakukan gerakan yang tepat; Spinocerebellum berfungsi untuk
mengatur pergerakan tubuh melalui sistem propriosepsi yaitu sensasi yang
didapatkan tubuh melalu stimulasi dan aktivitas otot; Vestibulocerebelum
berfungsi untuk mengatur keseimbangan tubuh daris sistem vestibular
dari semicircular kanal di telinga dan gerakan bola mata yang menerima
informasi dari kortek visual.
3. Brainstem
Brainstem adalah batang otak yang berfungsi untuk mengatur seluruh proses
kehidupan. Batang otak terdiri dari diensefalon (otak depan) yang terdiri atas
dua bagian yaitu thalamus yang berfungsi menerima semua rangsang dari
reseptor kecuali bau dan hypothalamus yang berfungsi dalam pengaturan
suhu, pengaturan nutrient, penjagaan agar tetap bangun dan penumbuhan
sikap agresif; mesencephalon (otak tengah) terletak dibagian depan otak kecil
dan jembatan varol berfungsi untuk reflex mata, tonus otot serta fungsi posisi
atau kedudukan tubuh; pons varoli (jembatan varol) yang merupakan serabut
saraf pengubung otak kecil bagian kirir dan kanan, selain itu menghubungkan
otak besar dan sumsum tulang belakang; medulla oblongata yaitu bagian dari
batang otak yang paling bawah dan menghubungkan antara pons varoli
dengan medulla spinalis.

4
Gambar 6. Brainsteam

Gambar 7. saraf Kranial


2. Definisi Stroke Non Hemoragic (embolic)
Stroke Non hemoragic adalah tersumbatnya aliran darah dan dapat dibagi
menjadi stroke trombolitik, stroke emboli dan hiperfision (Corwin, 2009).
Gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan deficit neurologis mendadak
akibat iskemia atau hemoragi sirkulasi saraf otak. Istilah stroke biasanya
digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark cerebrum. Stroke emboli
adalah stroke yang terjadi karena adanya gumpalan darah atau bekuan darah yang
berasal dari jantung, dan kemudian terbawa arus darah sampai ke otak, kemudian
menyumbat pembuluh darah di otak. Stroke kardioemboli adalah suatu gangguan

5
neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah, dimana secara
mendadak atau cepat timbul gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah, fokal
diotak, akibat suatu emboli yang berasal dari jantung. Stroke kardioemboli
awitannya dimulai dengan defisit neurologik fokal yang dapat menjadi lebih berat,
dasar diagnosa klinik dibuktikan dengan adanya sumber emboli dari jantung dan
tidak ditemukannya penyebab lain dari strokenya (Japardi,2002).

3. Epidemilogi
Berdasarkan hasil dari Riset kesehatan dasar (2013), Prevalensi stroke di
Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 12%. Prevalensi Stroke
tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9‰), DI Yogyakarta (16,9‰), Sulawesi
Tengah (16,6‰), diikuti Jawa Timur sebesar 16‰. Prevalensi penyakit stroke
meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur ≥75 tahun
(67,0%). Prevalensi stroke sama tinggi pada laki-laki dan perempuan. Prevalensi
stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah baik
(32,8%). Prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di desa, baik berdasarkan
(12,7%). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja baik yang
(18%) (RISKESDAS, 2013).

4. Etiologi
Terdapat beberapa faktor penyebab stroke (Smeltzer dan Bare, 2007)
antara lain:
1. Hipertensi, merupakan faktor risiko utama
2. Penyakit kardiovaskular-embolisme serebral berasal dari jantung.
3. Kolesterol darah tinggi.
4. Obesitas atau kegemukan.
5. Peningkatan hematokrit meningkatkan risiko infark serebral.
6. Diabetes mellitus terkait dengan aterogenesis terakselerasi.
7. Kontrasepsi oral (khususnya dengan hipertensi, merokok,dan kadar estrogen
tinggi)
8. Merokok
9. Penyalahgunaan obat (khususnya kokain)
10. Konsumsi alkohol.

6
5. Patofisiologi/Patologi
Menurut Japardi (2002), hampir 90% emboli yang berasal dari jantung
berakhir di otak, hal ini disebabkan karena:
a) Aliran darah ke otak berasal dari arkus aorta sehingga emboli yang lepas dari
ventrikel kiri akan disebarkan melalui aliran darah ke arteri karotis komunis
kiri dan arteri brakhiosefalik.
b) Jaringan otak sangat sensitif terhadap obstruksi aliran darah, sehingga emboli
yang berukuran 1 mm sudah dapat menimbulkan gangguan neurologis yang
berat, emboli dengan ukuran yang sama bila masuk ke jaringan lain dapat
tidak memberikan gejala sama sekali.
Emboli intra kranial terutama berada di hemister serebri, hal ini
disebabkan oleh karena jumlah darah yang melalui arteri karotis (300ml/menit)
jauh lebih banyak daripada yang melalui arteri vertebralis (100ml/menit), selain
itu juga disebabkan oleh karena aliran yang berkelok kelok dari arteri subklavia
untuk dapat mencapai sistem vertebralis. Emboli mempunyai predileksi pada
bifurkasio arteri terutama pada cabang a.cerebri media, bagian distal a.basilaris
dan a.cerebri posterior.
Kebanyakan emboli terdapat di arteri cerebri media, bahkan emboli ulang
pun memilih arteri ini juga, hal ini disebabkan karena arteri cerebri media
merupakan percabangan langsung dari arteri karotis interna, dan arteri cerebri
media akan menerima 80% darah yang masuk ke arteri karotis interna. Medula
spinalis jarang terserang emboli, tetapi emboli dari abdomen danaorta dapat
menimbulkan sumbatan aliran darah ke medulla spinalis dan menimbulkan gejala
defisit neurologis Berbeda dengan emboli pada atherosklerosis, emboli dari
jantung terdiri dari gumpalan darah (klot) yang lepas daya ikatnya dari dinding
pembuluh darah atau jantung, emboli ini dapat pecah dan pindah ke pembuluh
darah yang lebih distal sehingga bila dilakukan pemeriksaan angiografi setelah 48
jam emboli biasanya sudah tidak tampak. Besarnya infark kardioemboli
tergantung dari:
a) Ukuran emboli
b) Pembuluh darah arteri yang terkena

7
c) Stabilitas dari emboli
d) Sirkulasi kolateralnya
Kelainan yang ditimbulkan oleh emboli dapat berupa:
a) Obstruksi/sumbatan arteri, biasanya terdapat pada percabangan arteri, karena
lumennya lebih kecil dari pada lumen jaringan dibagian distalnya dan siasis
aliran darah, sehingga dapat terbentuk formasi rouleaux, yang akan
membentuk klot pada daerah stagnasi baik distal maupun proksimal. Gejala
neurologis dapat timbul segera dalam beberapa detik, bila pembuluh darah
kolateralnya tidak segera berfungsi maka akan segera timbul perubahan
irreversible maka fungsi neuron akan segera pulih.
b) Iritasi, yang akan menimbulkan vasospasme lokal. Vasospasme yang masih
dapat timbul sebagai respons terhadap emboli yang kecil, terutama pada
orang muda dimana belum terjadi arterosklerosis.

6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis stroke tergantung dari sisi atau bagian mana yang
terkena, rata-rata serangan, ukuran lesi dan adanya sirkulasi kolateral.
Berdasarkan Tarwoto (2007) pada stroke akut memiliki gejala klinis meliputi :
1. Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparesis) yang timbul
secara mendadak
2. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan
3. Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor, atau koma)
4. Afasia (kesulitan dalam bicara)
5. Disatria (bicara cadel atau pelo)
6. Gangguan penglihatan, diplopia
7. Ataksia
8. Vertigo, mual, muntah, dan nyeri kepala

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk pasien dengan stroke yaitu skala ROSIER yaitu
dengan melakukan scoring pada tanda dan gejala stroke dengan menilai tanda klinik secara cepat.
Skala ROSIER memiliki sensitifitas 92%, spesifitas 86% menurut Bazak (2013).
Komponen Poin
Kelemahan otot wajah dan asimetris 1
Lengan yang lemah dan asimetris 1

8
Kaki yang lemah dan asimetris 1
Gangguan berbicara 1
Kerusakan lapang pandang 1
Kejang -1
Penurunan kesadaran -1
Keterangan skala ROSIES jika terdapat pasien dengan point lebih dari 0
maka pasien tersebut 90% dipastikan mengalami stroke. Pemeriksaan penunjang
yang perlu dilakukan pada pasien stroke yaitu: Angiografi serebral: membantu
menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan, obstruksi arteri
atau adanya titik oklusi/ ruptur.
1. CT-scan: memperhatikan adanya hematoma dsn sumbatan

Gambar 8. CT-Scan
2. Pungsi lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada
thrombosis, emboli serebral, dan TIA (Transient Ischaemia Attack) atau
serangan iskemia otak sepintas. Tekanan meningkat dan cairan yang
mengandung darah menunjukkan adanya hemoragik subarakhnoid atau
perdarahan intra kranial. Kadar protein total meningkat pada kasus
thrombosis sehubungan dengan adanya proses inflamasi.
3. MRI (Magnetic Resonance Imaging): menunjukkan daerah yang mengalami
infark, hemoragik, dan malformasi arteriovena.
4. EEG (Electroencephalography): mengidentifikasi penyakit didasarkan pada
gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
5. Sinar X: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang
berlawanan dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada
thrombosis serebral.

8. Penatalaksanaan

9
a. Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan umum yaitu berupa tindakan darurat sambil berusaha
mencari penyebab dan penatalaksanaan yang sesuai dengan penyebab.
Penatalaksanaan umum ini meliputi memperbaiki jalan napas dan
mempertahankan ventilasi, menenangkan pasien, menaikkan atau elevasi kepala
pasien 30º yang bermanfaat untuk memperbaiki drainase vena, perfusi serebral
dan menurunkan tekanan intrakranial, atasi syok, mengontrol tekanan rerata
arterial, pengaturan cairan dan elektroklit, monitor tanda-tanda vital, monitor
tekanan tinggi intrakranial, dan melakukan pemeriksaan pencitraan menggunakan
Computerized Tomography untuk mendapatkan gambaran lesi dan pilihan
pengobatan (Affandi & Reggy, 2016).
Berdasarkan Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI)
(2011) penatalaksanaan umum lainnya yang dilakukan pada pasien stroke yaitu
meliputi pemeriksaan fisik umum, pengendalian kejang, pengendalian suhu tubuh,
dan melakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu
berupa pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan jantung, dan neurologi.
Pengendalian kejang pada pasien stroke dilakukan dengan memberikan diazepam
dan antikonvulsan profilaksi pada stroke perdarahan intraserebral, dan untuk
pengendalian suhu dilakukan pada pasien stroke yang disertai dengan demam.
Pemeriksaan penunjang untuk pasien stroke yaitu terdiri dari elektrokardiogram,
laboratorium (kimia darah, kadar gula darah, analisis urin, gas darah, dan lain-
lain), dan pemeriksaan radiologi seperti foto rontgen dada dan CT Scan.
b. Terapi farmakologi
Penatalaksanaan farmakologi yang bisa dilakukan untuk pasien stroke
yaitu pemberian cairan hipertonis jika terjadi peninggian tekanan intra kranial
akut tanpa kerusakan sawar darah otak (Blood-brain Barrier), diuretika
(asetazolamid atau furosemid) yang akan menekan produksi cairan serebrospinal,
dan steroid (deksametason, prednison, dan metilprednisolon) yang dikatakan
dapat mengurangi produksi cairan serebrospinal dan mempunyai efek langsung
pada sel endotel (Affandi dan Reggy, 2016). Pilihan pengobatan stroke dengan
menggunakan obat yang biasa direkomendasi untuk penderita stroke iskemik

10
yaitu tissue plasminogen activator (tPA) yang diberikan melalui intravena. Fungsi
tPA ini yaitu melarutkan bekuan darah dan meningkatkan aliran darah ke bagian
otak yang kekurangan aliran darah (National Stroke Association, 2016).
Penatalaksanaan farmakologi lainnnya yang dapat digunakan untuk pasien
stroke yaitu aspirin. Pemberian aspirin telah menunjukkan dapat menurunkan
risiko terjadinya early recurrent ischemic stroke (stroke iskemik berulang), tidak
adanya risiko utama dari komplikasi hemoragik awal, dan meningkatkan hasil
terapi jangka panjang (sampai dengan 6 bulan tindakan lanjutan). Pemberian
aspirin harus diberikan paling cepat 24 jam setelah terapi trombolitik. Pasien yang
tidak menerima trombolisis, penggunaan aspirin harus dimulai dengan segera
dalam 48 jam dari onset gejala (National Medicines Information Centre, 2011).
c. Tindakan bedah
Penatalaksanaan stroke yang bisa dilakukan yaitu dengan pengobatan
pembedahan yang tujuan utamanya yaitu memperbaiki aliran darah serebri
contohnya endosterektomi karotis (membentuk kembali arteri karotis),
revaskularisasi, dan ligasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada
aneurisma (Muttaqin, 2008). Prosedur carotid endarterectomy/ endosterektomi
karotis pada semua pasien harus dilakukan segera ketika kondisi pasien stabil dan
sesuai untuk dilakukannya proses pembedahan. Waktu ideal dilakukan tindakan
pembedahan ini yaitu dalam waktu dua minggu dari kejadian (Scottich
Intercollegiate Guidelines Network, 2008). Tindakan bedah lainnya yaitu
decompressive surgery. Tindakan ini dilakukan untuk menghilangkan haematoma
dan meringankan atau menurunkan tekanan intra kranial. Tindakan ini
menunjukkan peningkatan hasil pada beberapa kasus, terutama untuk stroke pada
lokasi tertentu (contohnya cerebellum) dan atau pada pasien stroke yang lebih
muda (< 60 tahun) (National Medicines Information Centre, 2011).
d. Penatalaksanaan medis lain
Penatalaksanaan medis lainnya menurut PERDOSSI (2011) terdiri dari
rehabilitasi, terapi psikologi jika pasien gelisah, pemantauan kadar glukosa darah,
pemberian anti muntah dan analgesik sesuai indikasi, pemberian H2 antagonis jika
ada indikasi perdarahan lambung, mobilisasi bertahap ketika kondisi

11
hemodinamik dan pernapasan stabil, pengosongan kandung kemih yang penuh
dengan katerisasi intermitten, dan discharge planning. Tindakan lainnya untuk
mengontrol peninggian tekanan intra kranial dalam 24 jam pertama yaitu bisa
dilakukan tindakan hiperventilasi. Pasien stroke juga bisa dilakukan terapi
hiportermi yaitu melakukan penurunan suhu 30-34ºC. Terapi hipotermi akan
menurunkan tekanan darah dan metabolisme otak, mencegah dan mengurangi
edema otak, serta menurunkan tekanan intra kranial sampai hampir 50%, tetapi
hipotermi berisiko terjadinya aritmia dan fibrilasi ventrikel bila suhu di bawah
30ºC, hiperviskositas, stress ulcer, dan daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun
(Affandi & Reggy, 2016).
e. Tindakan Keperawatan
Perawat merupakan salah satu dari tim multidisipliner yang mempunyai
peran penting dalam tindakan pengobatan pasien stroke ketika dalam masa
perawatan pasca stroke. Tujuan dari perawatan pasca stroke sendiri yaitu untuk
meningkatkan kemampuan fungsional pasien yang dapat membantu pasien
menjadi mandiri secepat mungkin, untuk mencegah terjadinya komplikasi, untuk
mencegah terjadinya stroke berulang, dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Perawatan pasca stroke berfokus kepada kebutuhan holistik dari pasien dan
keluarga yang meliputi perawatan fisik, psikologi, emosional, kognitif, spritual,
dan sosial. Perawat berperan memberikan pelayanan keperawatan pasca stroke
seperti mengkaji kebutuhan pasien dan keluarga untuk discharge planning;
menyediakan informasi dan latihan untuk keluarga terkait perawatan pasien di
rumah seperti manajemen dysphagia, manajemen nutrisi, manajemen latihan dan
gerak, dan manajemen pengendalian diri; kemudian perawat juga memfasilitasi
pasien dan keluarga untuk mendapatkan pelayanan rehabilitasi; dan memberikan
dukungan emosional kepada pasien dan keluarga (Firmawati, 2015).

12
9. Pathway

Etilogi ( hipertensi, penimbunana lemak


yang meningkat )

Emboli serebral

Gangguan menelan Suplai darah tidak dapat disampaikan


ke otak

Ketidakseimbangan Iskhemia
nutrisi:kurang dari
kebutuhan tubuh Risiko Ketidakefektifan
Infark jaringan otak perfusi jaringan otak

Kerusakan
Neuromuskuler
Kerusakan hemisfer
Nekrosis jaringan kiri/kanan
Risiko
Kerusakan nervus aspirasi
glosofaring, vagus,
Gangguan nervus optikus, Mudah frustasi
hipoglosus (IX, X, XII)
okulomotorius, troklearis
(II, III, IV)

Disatria dan disfagia Harga diri rendah


situasional
Risiko Cidera Risiko Jatuh

Hambatan komunikasi
verbal
Perubahan Dipsneu/takipneu Penggunaan otot
kedalaman nafas bantu nafas

Ketidakefektifan
pola nafas

Penurunan kekuatan dan Hambatan mobilitas fisik


ketahan otot

Keterbatasan gerak
Resiko dekubitus

Ketidakmampuan merawat diri

Defisit perawatan diri

13
A. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian/Assesment
1. Identitas
Umur : Stroke dapat menyerang semua umur, tetapi lebih sering dijumpai
pada populasi usia tua. Setelah berumur 55 tahun, Risikonya berlipat ganda
setiap kurun waktu sepuluh tahun
Jenis kelamin : American Heart Association meng-ungkapkan bahwa
serangan stroke lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan
dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa prevalensi
kejadian stroke lebih banyak pada laki-laki
2. Keluhan Utama
Pada penderita stroke keluhan utama yang muncul yaitu kelemahan separuh
badan, sulit bicara, mulut mencong atau tidak simetris, penurunan kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke seringkali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien
sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah
bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan setengah
badan atau gangguan fungsi otak yang lain (Siti Rochani, 2000).
4. Riwayat penyakit dahulu
Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu dengan riwayat hipertensi,
diabetes, hiperlipidemik mempunyai hubungan yang signifikan dengan
kejadian stroke.
5. Riwayat penyakit keluarga
Keluarga memiliki riwayat stroke, jika kedua orang tua pernah mengalami
stroke, maka kemungkinan keturunan terkena stroke akan semakin besar
dengan berbagai faktor penyebab seperti predisposisi genetik aterosklerosis,
DM, dan hipertensi
6. Riwayat psikososial
Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk pemeriksaan,
pengobatan dan perawatan dapat menghabiskan keuangan keluarga sehingga
faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan
keluarga.
7. Pola-pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Biasanya ada riwayat
perokok, penggunaan alkohol, penggunaan obat kontrasepsi oral.

14
b) Pola nutrisi dan metabolisme, adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu
makan menurun, mual muntah pada fase akut.
c) Pola eliminasi: Biasanya terjadi inkontinensia urine dan pada pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
d) Pola aktivitas dan latihan, adanya kesukaran untuk beraktivitas karena
kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, mudah lelah,
e) Pola tidur dan istirahat biasanya klien mengalami kesukaran untuk
istirahat karena kejang otot/nyeri otot.
f) Pola hubungan dan peran: Adanya perubahan hubungan dan peran
karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat
gangguan bicara.
g) Pola persepsi dan konsep diri: Klien merasa tidak berdaya, tidak ada
harapan, mudah marah, tidak kooperatif.
h) Pola sensori dan kognitif: Pada pola sensori klien mengalami gangguan
penglihatan/ kekaburan pandangan, perabaan/ sentuhan menurun pada
muka dan ekstremitas yang sakit. Pada pola kognitif biasanya terjadi
penurunan memori dan proses berpikir.
i) Pola reproduksi seksual: Biasanya terjadi penurunan gairah seksual
akibat dari beberapa pengobatan stroke, seperti obat anti kejang, anti
hipertensi, antagonis histamin.
j) Pola penanggulangan stress: Klien biasanya mengalami kesulitan untuk
memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan
berkomunikasi.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan: Klien biasanya jarang melakukan ibadah
karena tingkah laku yang tidak stabil, kelemahan/kelumpuhan pada salah
satu sisi tubuh.
8. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum: mengelami penurunan kesadaran
Penilaian GCS:
Membuka Mata (Eye)
Nilai
4 Spontan
3 Rangsang suara (pasien disuruh membuka mata)
2 Rangsang nyeri
1 Tidak membuka mata
Respon Bicara (Verbal)
5 Baik dan tidak terdapat disorientasi
4 Kacau (terdapat disorientasi tempat dan waktu)

15
3 Tidak tepat (mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk
kalimat dan kata-kata tidak tepat)
2 Mengerang (tanpa mengucapkan kata-kata)
1 Tidak terdapat jawaban
Respon Gerakan (Motorik)
6 Menuruti perintah
5 Mengetahui lokasi nyeri
4 Refleks menghindari nyeri
3 Refleks fleksi
2 Refleks ekstensi
1 Tidak terdapat refleks

Tingkat kesadaran dapat dibedakan kedalam beberapa tingkatan, yaitu:


a) Composmentis (nilai GCS 15-14), yaitu kondisi seseorang yang sadar
sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya dan
dapat menjawab pertanyaan yang ditanyakan pemeriksa dengan baik.
b) Apatis (nilai GCS 13-11), yaitu kondisi seseorang yang tampak segan
dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya.
c) Delirium (nilai GCS (11-10), yaitu kondisi seseorang yang mengalami
kekacauan gerakan, siklus tidur bangun yang terganggu dan tampak
gaduh gelisah, kacau, disorientasi serta meronta-ronta.
d) Somnolen (nilai GCS 9-7) yaitu kondisi seseorang yang mengantuk
namun masih dapat sadar bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti
akan tertidur kembali.
e) Sopor/stupor (nilai GCS 6-5), yaitu kondisi seseorang yang mengantuk
yang dalam, namun masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang
kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak terbangun sempurna dan tidak
dapat menjawab pertanyaan dengan baik.
f) Semi-coma (nilai GCS 4) yaitu penurunan kesadaran yang tidak
memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak dapat dibangunkan sama
sekali, respons terhadap rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi refleks
kornea dan pupil masih baik.
g) Koma (nilai GCS 3), yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam,
memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak ada gerakan, dan tidak
ada respons terhadap rangsang nyeri.
Suara bicara : kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang
tidak bisa bicara/afasia

16
Tanda-tanda vital: TD meningkat, nadi bervariasi.
a) Pemeriksaan integument:
1) Kulit: jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek. Di samping itu perlu
juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol
karena klien CVA Bleeding harus bed rest 2-3 minggu.
2) Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, sianosis.
3) Rambut : umumnya tidak ada kelainan.
b) Pemeriksaan kepala dan leher:
1) Kepala: bentuk normocephalik
2) Wajah: umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi.
3) Leher: kaku kuduk jarang terjadi.
c) Pemeriksaan dada: Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas
terdengar ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan
tidak teratur akibat penurunan refleks batuk dan menelan.
d) Pemeriksaan abdomen: Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed
rest yang lama, dan kadang terdapat kembung.
e) Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus: Kadang terdapat incontinensia atau
retensio urine.
f) Pemeriksaan ekstremitas: Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu
sisi tubuh.
9. Pemeriksaan neurologi:
a) Pemeriksaan nervus cranialis: Umumnya terdapat gangguan nervus
cranialis VII dan XII central. Gangguan nervus cranial yang biasanya terjadi pada
pasien dengan stroke hemoragik adalah:

Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan lesi


I: Olfaktorius Penciuman Mata pasien terpejam dan letakkan
bahan-bahan aromatic dekat
hidung untuk diidentifikasi.
II: Optikus Penglihatan Akuitas visual kasar dinilai dengan
menyuruh pasien membaca tulisan
cetak. Kebutuhan akan kacamata
sebelum pasien sakit harus
diperhatikan.
III: Gerak mata; kontriksihilangnya akomodasi, pupil
Okulomotorius pupil; akomodasi mengecil
IV: Troklearis Gerak mata Terbatas
V: Trigeminus Sensasi umum wajah,Saraf trigeminal mempunyai 3
kulit kepala, dan gigi;bagian: optalmikus, maksilaris, dan
gerak mengunyah madibularis. Bagian sensori dari

17
saraf ini mengontrol sensori pada
wajah dan kornea. Bagian motorik
mengontrol otot mengunyah. Saraf
ini secara parsial dinilai dengan
menilai reflak kornea; jika itu baik
pasien akan berkedip ketika kornea
diusap kapas secara halus.
Kemampuan untuk mengunyah dan
mengatup rahang harus diamati.
VI: Abdusen Gerak mata Terbatas
VII: Fasialis Pengecapan; sensasiBagian sensori saraf ini berkenaan
umum pada platum dandengan pengecapan pada dua
telinga luar; sekresipertiga anterior lidah. Bagian
kelenjar lakrimalis,motorik dari saraf ini mengontrol
submandibula danotot ekspresi wajah. Tipe yang
sublingual; ekspresipaling umum dari paralisis fasial
wajah perifer adalah bell’s palsi.
VIII: Pendengaran; Tuli; tinnitus (berdenging terus
Vestibulokoklea keseimbangan menerus); vertigo; nitagmus
ris (gerakan bola mata yg cepat di luar
kemampuan)
IX: Pengecapan; sensasiHilangnya daya pengecapan pada
Glosofaringeus umum pada faring dansepertiga posterior lidah; anestesi
telinga; mengangkatpada farings; mulut kering
palatum; sekresisebagian
kelenjar parotis
X: Vagus Pengecapan; sensasiDisfagia (gangguan menelan) suara
umum pada farings,parau; Ketidak mampuan untuk
laring dan telinga;batuk yang kuat, kesulitan menelan
menelan; fonasi;dan suara serak dapat merupakan
parasimpatis untukpertanda adanya kerusakan saraf
jantung dan viseraini.
abdomen
XI: Asesorius Fonasi; gerakanSuara parau; kelemahan otot
Spinal kepala; leher dan bahu kepala, leher dan bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan lidah
b) Pemeriksaan motorik: Hampir selalu terjadi kelumpuhan/ kelemahan
pada salah satu sisi tubuh.
c) Pemeriksaan sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi.
d) Pemeriksaan refleks: Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh
akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul
kembali didahuli dengan refleks patologis.
Pemeriksaan Tanda Rangsangan Meningeal

18
a) Kaku kuduk:
Cara: Pasien tidur telentang
tanpa bantal. Tangan pemeriksa
ditempatkan dibawah kepala
pasien yang sedang berbaring,
kemudian kepala ditekukan
( fleksi) dan diusahakan agar
dagu mencapai dada. Selama
penekukan diperhatikan
adanya tahanan. Bila terdapat
kaku kuduk kita dapatkan
tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat
ringan atau berat.
Hasil pemerikasaan: Leher dapat bergerak dengan mudah, dagu dapat
menyentuh sternum, atau fleksi leher  normal. Adanya rigiditas leher
dan keterbatasan gerakan fleksi leher  kaku kuduk
b) Brudzinski I
Cara: Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang
ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan
pemeriksa yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk
mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan
sehingga dagu menyentuh dada.
Hasil Pemeriksaan: Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala
disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai
secara reflektorik.

c) Kernig :
Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan
pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat.

19
Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai
membentuk sudut lebih dari 135 derajat terhadap paha. Bila teradapat
tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135 derajat, maka
dikatakan kernig sign positif.

d) Brudzinski II
Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang
difleksikan pada sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada
sendi panggul.
Hasil Pemeriksaan: Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi
tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini
postif.
No. Nama Reflek Gambar Penilaian
1. babinski positif apabila
dorsofleksi jari
besar dan
pengembangan jari-
jari yang lebih
kecil.
2. hoffman positif apabila
dorsofleksi jari
besar dan
pengembangan jari-
jari yang lebih
kecil.

20
3. tromner positif apabila
dorsofleksi jari
besar dan
pengembangan jari-
jari yang lebih
kecil.
4. wartenberg positif apabila
dorsofleksi jari
besar dan
pengembangan jari-
jari yang lebih
kecil.
5. chaddoks positif apabila
dorsofleksi jari
besar dan
pengembangan jari-
jari yang lebih
kecil.

6. oppenheim positif apabila


dorsofleksi jari
besar dan
pengembangan jari-
jari yang lebih
kecil.

21
7. gordon positif apabila
dorsofleksi jari
besar dan
pengembangan jari-
jari yang lebih
kecil.

8. schaeffer positif apabila


dorsofleksi jari
besar dan
pengembangan jari-
jari yang lebih
kecil.

b. Diagnosa Keperawatan
1) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
penurunan sirkulasi jaringan otak
2) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan neurologis
ditandai dengan perubahan kedalaman napas, dispneu/ takipneu, dan
penggunaan otot pernapasan tambahan
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular
ditandai dengan keterbatasan rentang pergerakan sendi, pergerakan lambat,
dan keterbatasan melakukan keterampilan motorik halus dan kasar
4) Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi ke
otak ditandai dengan kesulitan mengekspresikan pikiran secara verbal,
sulit bicara, pelo, dan kesulitan menyusun kata.
5) Defisit perawatan diri mandi berhubungan dengan dengan
hemiparese/hemiplegiakibat gangguan neuromuscular ditandai dengan
ketidakmampuan mengakses kamar mandi ketidakmampuan menjangkau
sumber air, dan ketidakmampuan membasuh tubuh.

22
No Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas (00032)
Definisi: inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi
ventilasi adekuat
Batasan karakteristik
- Pola napas abnormal
- Perubahan ekskursi dada
- Bradipnea
- Penurunan tekanan ekspirasi
- Penurunan tekanan inspirasi
- Penurunan ventilasi semenit
- Penurunan kapasitas vital
- Dispnea
- Peningkatan diameter anterior-posterior
- Penggunaan otot bantu pernapasan
- Pernapasan cuping hidung
- Ortopnea
- Fase ekspirasi memanjang
- Pernapasan bibir
- Takipnea
- Penggunaan posisi tiga-titik posterior
- Edema
- Keletihan
Faktor yang berhubungan
- Ansietas
- Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
- Hiperventilasi
- Obesitas
- Nyeri
- Keletihan
Kondisi terkait
- Deformitas tulang
- Deformitas dinding dada
- Sindrom hipoventilasi
- Gangguan musculoskeletal
- Imaturitas neurologis
- Gangguan neurologis
- Disfungsi neuromuscular
- Cedera medula spinalis
2. Hambatan mobilitas fisik (00085)
Definisi: keterbatasan dalam gerakan fisik atau satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri dan terarah.
Batasan karakteristik
- Gangguan sikap berjalan
- Penurunan keterampilan motorik halus

23
- Melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan
- Ketidaknyamanan
- Melakukan aktifitas lain sebagai pengganti pergerakan
- Dispnea setelah beraktivitas
- Tremor akibat bergerak
- Instabilitas postur
- Gerakan lambat
- Gerakan spastik
- Gerakan tidak terkoordinasi
- Penurunan keterampilan motorik kasar
- Penurunan rentang gerak
- Waktu reaksi memanjang
- Kesulitan membolak-balik posis
Faktor yang berhubungan
- Intoleran aktivitas
- Disuse
- Ansietas
- Kurang dukungan lingkungan
- Indeks massa tubuh di atas persentil ke-75 sesuai usia
- Kurang pengetahuan tentang nilai aktivitas fisik
- Kepercayaan budaya tentang aktivitas yang tepat
- Kaku sendi
- Malnutrisi
- Nyeri
- Fisik tidak bugar
- Keengganan memulai pergerakan
- Gaya hidup kurang gerak
- Penurunan kekuatan otot
- Penurunan kendali otot
- Penurunan massa otot
- Penurunan ketahanan tubuh
- Depresi
Kondisi terkait
- Kerusakan integritas struktur tulang
- Gangguan muskuloskeletal
- Gangguan fungsi kognitif
- Gangguan metabolisme
- Kontraktur
- Gangguan neuromuskular
- Agens farmaseutika
- Program pembatasan gerak
- Gangguan sensoriperseptual
- Keterlambatan perkembangan
3. Hambatan komunikasi verbal (00051)
Definisi: penurunan, pelambatan, atau ketiadaan kemampuan
untuk menerima, memproses, mengirim, dan/atau

24
menggunakan sistem simbol
Batasan karakteristik
- Tidak ada kontak mata
- Kesulitan memahami komunikasi
- Kesulitan mengekspresikan pikiran secara verbal
- Disorientasi ruang
- Disorientasi waktu
- Dispnea
- Tidak dapat bicara
- Ketidakmampuan bicara dalam bahasa pemberi asuhan
- Kesulitan mengsunakan ekspresi tubuh
- Kesulitan menggunakan ekspresi wajah
- Ketidaktepatan verbalisasi
- Defisit visual parsial
- Pelo
- Gagap
- Defisit penglihatan total
- Kesulitan menyusun kalimat
- Kesulitan menyusun kata-kata
- Kesulitan dalam kehadiran tertentu
- Ketidakmampuan menggunakan ekspresi tubuh
- Ketidakmampuan menggunakan ekspresi wajah
- Kesulitan mempertahankan komunikasi
- Sulit bicara
- Sulit mengungkapkan kata-kata
- Dsorientasi orang
Faktor yang berhubungan
- Gangguan konsep diri
- Ketidaksesuaian budaya
- Gangguan emosi
- Kendala lingkungan
- Ketidakcukupan informasi
- Ketidakcukupan stimuli
- Harga dini rendah
- Kerentanan
Populasi berisiko
- Ketiadaan orang terdekat
Kondisi terkait
- Gangguan perkembangan
- Gangguan persepsi
- Gangguan sistem saraf pusat
- Hambatan fisik
- Kondisi fisiologis
- Gangguan psikosis
- Program pengobatan
- Defek orofaring

25
4. Defisit perawatan diri: mandi (00108)
Definisi: ketidakmampuan melakukan pembersihan dir
saksama secara mandiri
Batasan karakteristik
- Ketidakmampuan mengakses kamar mandi
- Ketidakmampuan menjangkau sumber air
- Ketidakmampuan mengambil perlengkapan mandi
- Ketidakmampuan mengatur air mandi
- Ketidakmampuan membasuh tubuh
- Ketidakmampuan mengeringkan tubuh
Faktor yang berhubungan
- Nyeri
- Kelemahan
- Ansietas
- Penurunan motivasi
- Kendala lingkungan
Kondisi terkait
- Gangguan fungsi kognitif
- Gangguan muskuloskeletal
- Ketidakmampuan merasakan bagian tubuh
- Gangguan neuromuskular
- Gangguan persepsi
- Ketidakmampuan merasakan hubungan spasial
5 Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak (00201)
Definisi: rentan mengalami penurunan sirkulasi jaringan otak
yang dapat mengganggu kesehatan
Faktor risiko
Penyalahgunaan zat
Populasi berisiko
- Baru terjadi infark miokardium
- Kondisi terkait
- Masa tromboplastin parsial (PTT) abnormal
- Masa protrombin (PT) abnormal
- Segmen dinding ventrikel kiri akinetik
- Aterosklerosis aortik
- Diseksi arteri
- Fibrilasi atrium
- Miksoma atrium
- Cedera otak
- Neoplasma otak
- Stenosis karotid
- Aneurisma serebral
- Koagulopati
- Kardiomiopati dilatasi
- Koagulasi intravaskular diseminata

26
- Embolisme
- Hiperkolesromia
- Hipertensi
- Endokarditis infektif
- Katum prostetik mekanis
- Srenosis mitral
- Agens farmaseutika
- Sindrom sick sinus
- Program pengobatam

27
c. Intervensi Keperawatan
DIAGNO
N
SIS TUJUAN DAN KRITERIA HASIL
O INTERVENSI (NIC)
KEPERA (NOC)
.
WATAN
1 Ketidakefe Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC: Airway
ktifan pola selama 3 x 24 jam pasien menunjukkan Management (3140)
napas hasil: a. Posisikan pasien untuk
(00032) memaksimalkan
Status Pernafasan (0405) ventilasi
b. Identifikasi pasien
No. Indikator Awal perlunya pemasangan
alat jalan nafas buatan
1. Frekuensi pernafasan 2 c. Pasang mayo bila
2. Irama pernafasan 2 perlu
Kedalaman insp rasi d. Lakukan suction pada
3.
2 mayo
4. Suara auskultasi nafas 2 e. Berikan bronkodilator
5. Kepatenan jalan nafas 2 bila perlu
6. Volume tidal 2 f. Atur intake untuk
cairan
Pencapaian tingkat f
mengoptimalkan
insent spiro keseimbangan.
7.
metri g. Monitor respirasi dan
2 status O2
8. Kapasitas vital 2
Saturasi oksig n NIC: Oxygen Therapy
9.
2 (3320)
10. Tes faal paru 2 a. Atur peralatan
Keterangan: oksigenasi
1. Deviasi berat kisaran normal b. Pertahankan jalan
nafas yang paten
2. Deviasi yang cukup berat dari
c. Monitor aliran oksigen
kisaran normal d. Pertahankan posisi
3. Deviasi sedang dari kisaran pasien
normal e. Observasi adanya
4. Deviasi ringan dari kisaran tanda tanda
normal hipoventilasi
5. Tidak terganggu deviasi dari f. Monitor adanya
kisaran normal kecemasan pasien
terhadap oksigenasi

2 Hambatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC: terapi aktifitas:


mobilitas selama 3 x 24 jam pasien menunjukkan ambulasi (0221)
fisik hasil: a. Dorong untuk duduk di
(00085) tempat tidur, di
KoordinasiPergerakan (0212) samping tempat tidur
("menjuntai"), atau di
No Indikator kursi, sebagaimana
1
yang dapat ditoleransi
1. Kontraksi kekuatan otot [pasien)
2. Bentuk otot b. Bantu pasien untuk
3. Kecepatan gerakan duduk di sisi tempat

28
4. Kehalusan gerakan tidur untuk
5. Kontrol gerakan memfasilitasi
6. Kemantapan gerakan penyesuaian sikap
tubuh
7. Keseimbangan gerakan c. Bantu pasien untuk
8. Tegangan otot perpindahan, sesuai
Keterangan: kebutuhan
1. Sangat terganggu d. Bantu pasien untuk
2. Banyak terganggu berdiri dan ambulasi
3. Cukup terganggu dengan jarak tertentu
4. Sedikit terganggu dan dengan sejumlah
5. Tidak terganggu staf tertentu
e. Dorong ambulasi
independen dalam
batas aman
f. Dorong pasien untuk
"bangkit sebanyak dan
sesering yang
diinginkan" (up ad lib),
jika sesuai
3 Hambatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC: Mendengar aktif
komunikas selama 3 x 24 jam pasien menunjukkan (4920)
i verbal hasil: a. Gunakan pertanyaan
(00051) maupun pernyataan
Ambulasi (0200) yang mendorong klien
untuk
No. Indikator Awal mengekspresikan
perasaan, pikiran dan
Menggunakan bahasa kekhawatiran
1. 2
tertulis b. Gunakan perilaku non
Menggunakan b hasa verbal untuk
2. lisan memfasilitasi
2 komunikasi (misalnya.,
Menggunakan foto dan menyadari postur
3. 2 tubuh ketika berdiri
gambar
Menggunakan bahsa dalam membalas pesan
4. 2 non verbal)
isyarat
c. Dengarkan isi pesan
Menggunakan bahasa maupun perasaan yang
5. 2
non verbal tidak terungkap selama
Mengenali pesan yang percakapan
6. 2
diterima d. Sadari kata-kata yang
Pertukaan pesan yang harus dihindari, sama
7 akurat dengan orang 2 halnya dengan
lain menghindari pesan non
Keterangan: verbal bersamaan
dengan bahasa verbal
1. Sangat terganggu
yang mengiringinya
2. Banyak terganggu e. Berespon segera
3. Cukup terganggu sehingga menunjukkan
4. Sedikit terganggu pemahaman terhadap
5. Tidak terganggu pesan yang diterima
f. Verifikasi pemahaman
mengenai pesan-pesan
yang disampaikan

29
dengan menggunakan
pertanyaan maupun
memberikan umpan
balik
g. Gunakan teknik
diam/mendengarkan
dalam rangka
mendorong klien untuk
mengekspresikan
perasaan, pikiran dan
kekhawatiran

4 Defisit Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC: Bantuan


perawatan selama 3 x 24 jam pasien menunjukkan perawatan diri mandi
diri: mandi hasil: (1801)
(00108) a. Fasilitasi pasien untuk
Perawatan Diri: Mandi (0200) menggosok gigi
dengan tepat
No. Indikator Awal b. Fasilitasi pasien untuk
mandi sendiri, dengan
1. Mandi di bak mandi 2
tepat
2. Mandi dengan bersiram 2 c. Monitor kebersihan
3. Mencuci wajah 2 kuku, sesuai dengan
4. Mencuci bagian atas 2 kemampuan merawat
5. Mencuci bagian bawah 2 diri pasien
Membersihkan area d. Monitor integritas kulit
6. 2 pasien
perineum
7 Mengeringkan badan 2 e. Dukung
orangtua/keluarga
Keterangan: berpartisipasi dalam
1. Sangat terganggu ritual menjelang tidur
2. Banyak terganggu yang biasa dilakukan,
3. Cukup terganggu dengan tepat
4. Sedikit terganggu f. Berikan bantuan
5. Tidak terganggu sampai pasien benar-
benar mampu merawat
diri secara mandiri
5 Resiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan Monitor tekanan intra
ketidakefe selama 3 x 24 jam pasien menunjukkan kranial (TIK) (2590)
ktifan hasil: a. Letakkan kepala
perfusi dan leher pasien
jaringan Perfusi jaringan serebral (0406) dalam posisi netral,
otak No hindari fleksi
Indikator Awal pinggang yang
(00201)
berlebihan
1. Tekanan darah sistolik 2 b. Monitor status
2. Tekanan darah diastolik 2 neurologis
3. Nilai rata rata c. Monitor intake dan
tekan output
an d. Monitor suhu dan
darah julah WBC
2 e. Periksa klien untuk
4. Sakit kepal adanya gejala kaku
kuduk

30
2
5. Kegelisahan 2 Monitor neurologi
6.. Kelesuhan 2 (2620)
7. Agitasi 2 a. Monitor tingkat
kesadaran
8. Muntah 2
b. Monitor tingkat
9. Cegukan 2 orientasi
10. Keadaan pingsan 2 c. Monitor
11. Demam 2 kecenderungan
12. Kognisi terganggu 2 Skala Koma
13. Penuru an Gasglow
tingk d. Monitor reflek
at batuk dan muntah
e. Monitor bentuk
kesa
otot, gerakan
daran motorik, gaya
2 berjalan, dan
14. Refleks araf proprioception
terga f. Monitor respon
nggu terhadap obat
2

Keterangan:
1. Berat
2. Besar
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada

31
d. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah
pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan.
Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP, yaitu:
1. S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
3. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
4. P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi

e. Discharge Planning
Berdasarkan Smeltzer dan Bare (2005) mengatakan bahwa discharge
planning yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Perawatan pasien dirumah diperlukan sebagai
bentuk rehabilitasi pasien yang membutuhkan waktu lama, sehingga keluarga
harus siap untuk melakukannya, atau meminta bantuan pada petugas
pelayanan kesehatan
2. Kegiatan terjadwal latihan ROM untuk mencegah
kekakuan sendi
3. Keluarga harus siap untuk menerima pasien yang
mudah lelah, sehingga sering mengalami peka rangsang dan kecewa pada hal-
hal kecil, dan menunjukkan kurang minat pada sesuatu
4. Modifikasi rumah diperlukan untuk membantu
dalam rehabilitasi pasien, misalnya menggunakan pancuran lebih baik dari
pada bak mandi bagi pasien hemiplegia
5. Sumber pendukung bisa dilakukan dnegan
berkumpul bersama komunitas stroke untuk meningkatkan koping individu
dalam proses menjalani hidup

32
6. Mengajarkan keluarga terkait tanda gawat darurat
pasien stroke yaitu terkait komplikasi potensial yaitu tanda vital dan
oksigenasi.
7. Health Education mengenai pencegahan stroke
berulang, dan manajemen sumber penyebab terutama makanan

f. Evidance based
Judul Artikel
Comparison of Muscle Strength in Stroke Patients between The Given and Not
Given Range of Motion Exercise.
Jurnal : Nurse Media Journal of Nursing- 2015
Penulis : Eka Rhestifujiayani, Emil Huriani, Muharriza
Intervensi :
ROM adalah latihan yang dilakukan untuk mengevaluasi dan
meningkatkan fungsi sistem muskuloskeletal dan merupakan salah satu terapi
pada pasien stroke yang bertujuan meningkatkan aliran darah otak, meminimalkan
kecacatan yang disebabkan oleh stroke, sehingga dapat memperbaiki fungsi
sensorik motorik. Latihan ROM bermanfaat dalam menjaga fleksibilitas sendi otot
dengan gerakan otot baik secara aktif maupun pasif. Latihan ROM dapat
diberikan ke semua sendi tubuh atau hanya sebagian dari sendi tubuh. Gerakan
aktif dihasilkan oleh kekuatan internal dan sementara gerakan pasif dihasilkan
oleh kekuatan eksternal. Ketika otot tidak dapat berkontraksi atau relaksasi otot
secara sukarela untuk melakukan gerakan, dengan kata lain gerakan pasif adalah
gerakan yang digerakkan oleh orang lain.
Latihan ROM dapat memengaruhi peningkatan kekuatan otot pada pasien
stroke dengan hemiparesis. Pada kelompok eksperimen, diperoleh kekuatan otot
meningkat sebagian besar setelah diberikan rentang latihan gerak. Dalam hal ini
para peneliti mengasumsikan bahwa faktor yang mempengaruhi kekuatan otot
tidak hanya rentang latihan gerak, tetapi banyak faktor yang mendukung
peningkatan kekuatan otot tungkai adalah kelumpuhan, usia, terapi yang diberikan
selama perawatan terapi seperti O2, serta pemberian cairan hipertonik.

33
Pelaksanaan latihan ROM harus disesuaikan dengan kondisi pasien, untuk pasien
dengan stroke karena trombosis dan emboli jika tidak ada komplikasi lain dapat
dimulai setelah 2 hingga 3 hari setelah serangan dan dalam kasus perdarahan
subaracnoid dimulai setelah 2 minggu, trombosis atau emboli adalah tidak ada
infark miokard tanpa komplikasi lain dimulai setelah minggu ke-3 dan jika tidak
ada aritmia dimulai pada hari ke-10. Implementasi dilakukan secara rutin dalam
waktu praktik antara 45 menit yang dibagi menjadi tiga sesi dan setiap sesi
diberikan istirahat 5 menit, tetapi ketika pasien terlihat lelah, ada perubahan pada
wajah dan tidak ada peningkatan yang signifikan pada tanda-tanda vital dari setiap
latihan. , maka harus segera dihentikan. Latihan ROM dapat digunakan sebagai
intervensi keperawatan pada pasien stroke.

34
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, I.G. & Reggy, P. (2016). Pengelolaan Tekanan Tinggi Intrakranial pada
Stroke. CDK-238. Vol. 43, No. 3 (Hlm. 180-184).

Bazak. 2013. Intracerebral Hemorrhage: Pathophisiology, Diagnosis, and


Management. Cinical Review MUMJ

Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing


Interventions Classification (NIC). Edisi 6. Jakarta: EGC.

Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing


Outcomes Classification (NOC). Edisi 6. Jakarta: EGC.

Bustan, M.N. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta

Dewanto, George.2009. Panduan Praktis dan Tatalaksana Penyakit Saraf.


Jakarta: EGC

Firmawati, E. (2015). Abstract Post Stroke Nursing Care [Abstrak]. One Day
Seminar: Stroke, 119-120.

Goldstein, L.B., Cheryl, D.B., Robert, J.A., Lawrence, J.A., Lynne, T.B., Seemant,
C., dkk. 2011, Guidelines for the Primary Prevention of Stroke: A Guideline
for Healthcare Professional From the American Heart Association/American
Stroke Association’. Stroke. 42;517.

Irawan, C. dan A. Santjaka. 2018. Combination of hypnosis therapy and range of


motion exercise on upper-extremity muscle strength in patients with non-
hemorraghic stroke. 4(1):104–111.
Japardi, I. 2002. Patogenesis Stroke Infark Kardioemboli. Medan: USU

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan.


Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.

Nanda Internasional 2018. Diagnosis Keperawatan 2018-2020. Oxford: Willey


Backwell.

National Medicines Information Centre. (2011). The Management of Stroke.


Management of Stroke Bulletin. Vol. 17. No. 3

35
National Stroke Association. (2016). Post-Stroke Conditions. Diakses tanggal 14
April 2019 dari http://www.stroke.org/we-can-help/survivors/stroke-
recovery/post-stroke-conditions

Nurarif, A.H dan H. Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction
Publishing.

Pearce, E.C. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT.
Gramedia. Jakarta: Erlangga..

PERDOSSI. (2011). Guideline Stroke Tahun 2011. Jakarta: PERDOSSI

Pudiastuti, R. D. 2011. Penyakit Pemicu Stroke. Yogyakarta: Nuha Medika.

Riset Kesehatan Dasar(Riskesdas). 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian RI tahun 2013

Scottich Intercollegiate Guidelines Network. (2008). Management of Patients with


Stroke or TIA: Assesment, Investigation, Immediate Management and
Secondary Prevention A National Clinical Guideline. http://www.sign.ac.uk
Sloane, E. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.

Smeltzer dan Bare. 2007. Buku AjarKeperawatan Medikal-Bedah Brunner &


Suddarth Vol 2. Jakarta : EGC

Smeltzer, S. C. dan B. G. Bare. 2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah


Brunner Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.

Tarwoto. 2007. Buku Saku Anemia Ada Ibu Hamil Konsep dan Penatalaksanaan.
Jakarta: TIM.
.

36

Anda mungkin juga menyukai