Anda di halaman 1dari 67

LAPORAN STUDY KASUS MAGANG

RSUD KABUPATEN SINJAI

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA GANGGUAN GERAK


DAN KELEMAHAN PADA KEDUA TUNGKAI ET CAUSA SPINAL
CORD

1. ANDI DINI LESTARI (PO714241191004)


2. ANDI NURUL HIDAYA (PO704241191050)
3. NOVIYANTI ILVIA (PO714241191
4. RAHAYU NINGSI (PO714241194047)
5. RIDHA WAHDANIYAH (PO7142411910

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KESEHATAN MAKASSAR
JURUSAN FISIOTERAPI
TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera medula spinalis dapat didefinisikan sebagai semua bentuk

cedera yang mengenai medula spinalis baik yang menimbulkan kelainan

fungsi utamanya (motorik, sensorik, otonom dan reflek) secara lengkap

atau sebagian.(Susilo, 2021)

Spinal cord injury (SCI) atau cedera medula spinalis adalah suatu

kondisi gangguan pada medula spinalis atau sumsum tulang belakang

dengan gejala fungsi neurologis mulai dari fungsi motorik, sensorik, dan

otonomik, yang dapat berujung menjadi kecacatan menetap hingga

kematian.(Dinata & Yasa, 2021)

Paraparese merupakan hilangnya fungsi motorik kedua tungkai.

Pada saat ini, istilah paraparese umumnya dipakai untuk semua keadaan

kelemahan kedua tungkai, baik yang parsial maupun komplit. Penyebab

dari paraparese kebanyakan karena kompresi yang hebat sehingga dapat

menghancurkan korpus vertebra yang menyebabkan kegagalan pada

kolum vertebralis anterior dan pertengahan dalam mempertahankan

posisinya. Bagian posterior korpus vertebra hancur sehingga fragmen

tulang dan diskus dapat bergeser ke kanalis spinalis. Jika vertebra

berkurang lebih dari 50%, gaya mekanik pada bagian depan korpus

vertebra akan menyebabkan terjadinya kolaps yang akhirnya dapat

mengganggu fungsi neurologic.(Utami, 2013)


Kanker payudara merupakan suatu jenis kanker yang dapat

menyerang siapa saja baik kaum wanita maupun pria. Hingga kini kanker

payudara masih menjadi momok terutama pada kaum wanita oleh karena

kanker payudara ini diidentikkan dengan sebuah keganasan yang dapat

berakibat pada kematian. Kanker payudara adalah keganasan yang terjadi

pada kantung dan atau saluran penghasil susu. Tingkat bahaya keganasan

dan kanker pada payudara sama saja. Hanya saja, jumlah penderita kanker

payudara lebih banyak (sekitar 90%) dibandingkan dengan penderita

keganasan pada payudara. Menurut WHO 8-9% wanita akan mengalami

kanker payudara. Ini menjadikan kanker payudara sebagai jenis kanker

yang paling banyak ditemui pada wanita. Setiap tahun lebih dari 250.000

atau setiap jam terdapat 28 kasus baru kanker payudara terdiagnosa di

Eropa dan kurang lebih 175.000 atau setiap jam terdapat 19 kasus baru

kanker payudara terdiagnosa di Amerika Serikat.Selain itu menurut NCI

(National Cancer Institute) terdapat perkiraan kasus baru 232.340 wanita

dan 2.240 pria sedangkan kasus kematian akibat kanker payudara sejumlah

39.620 wanita dan 410 pria (NCI, 2013).(Abdullah et al., 2013)

Dalam hal ini fisioterapis berperan dalam pemeliharan dan

peningkatan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional. Dimulai sejak

penderita berada dalam stadium tirah baring hingga pasien menjalani

program rehabilitasi. Sehingga penderita mampu untuk kembali

beraktifitas secara mandiri dengan mengoptimalkan kemampuan yang ada.

Intervensi fisioterapi yang diberikan pada pasien adalah pemberian


IRR, TENS, dan exercise lainnya yang diharapkan mampu memberikan

efek dan mengembalikan fungsi gerak yang terganggu pada pasien

tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pemberian IRR, TENS dan exercise lainnya mampu

mengembalikan kelemahan kedua tungkai ?

C. Tujuan

1. Mengetahui pemberian IRR, TENS dan exercise lainnya mampu

mengembalikan kelemahan kedua tungkai.


BAB II

TINJAUAN KASUS

A. Tinjauan Tentang Paraparese

1. Tinjauan Tentang Anatomi Fisiologi

Medula spinalis berfungsi sebagai pusat refleks spinal dan juga

sebagai jaras konduksi impuls dari atau ke otak. Medula spinalis terdiri

dari substansia alba (serabut saraf bermielin) dengan bagian dalam terdiri

dari substansia grisea (jaringan saraf tak bermielin). Substansia alba

berfungsi sebagai jaras konduksi impuls aferen dan eferen antara berbagai

tingkat medulla spinalis dan otak. Substansia grisea merupakan tempat

integrasi refleks-refleks spinal.(Lufritayanti & Annisa, 2013)

Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat (SSP).

Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong

dan agak melebar yang disebut conus terminalis atau conus medullaris

(Gambar 1). Terbentang dibawah conus terminalis serabut-serabut bukan

saraf yang disebut filum terminale yang merupakan jaringan ikat.

Gambar 2.1 Anatomi Medula Spinalis (Dinata & Yasa, 2021)


Terdapat 31 pasang saraf spinal: 8 pasang saraf servikal, 12 pasang

saraf torakal, 5 pasang saraf lumbal, 5 pasang saraf sakral dan 1 pasang

saraf koksigeal. Akar saraf lumbal dan sakral terkumpul yang disebut

dengan kauda equina. Setiap pasangan saraf keluar melalui intervertebral

foramina. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan

juga oleh meningen spinal dan CSF. Struktur internal medula spinalis

terdiri dari substansi abu abu dan substansi putih (Gambar 2). Substansi

Abu-abu membentuk seperti kupu-kupu dikelilingi bagian luarnya oleh

substansi putih. Terbagi menjadi bagian kiri dan kanan oleh anterior

median fissure san median septum yang disebut dengan posterior median

septum.

Keluar dari medula spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari

saraf spinal. Substansi abu-abu mengandung badan sel dan dendrit dan

neuron efferen, akson tak bermyelin, saraf sensoris 8 dan motoris dan

akson terminal dari neuron. Substansi abu-abu membentuk seperti huruf H

dan terdiri dari tiga bagian yaitu: anterior, posterior dan komisura abu-abu.

Bagian posterior sebagai input /afferent, anterior sebagai output/efferent,

komisura abu-abu untuk refleks silang dan substansi putih merupakan

kumpulan serat saraf bermyelin.


Gambar 2. Struktur internal medula spinalis (Susilo, 2021)

2. Defenisi

Paraparese merupakan hilangnya fungsi motorik kedua tungkai. Pada

saat ini, istilah paraparese umumnya dipakai untuk semua keadaan

kelemahan kedua tungkai, baik yang parsial maupun komplit. (Lufritayanti

& Annisa, 2013)

Paraparesis (para- + paresis) paralisis sebagian ekstremitas

bawah. Paralisis yaitu kehilangan atau gangguan fungsi motorik

yang disebabkan oleh lesi mekanisme saraf atau otot. Sedangkan

akut adalah pola perjalanan yang singkat dan relative berat. Jadi,

paraparesis akut adalah hilangnya atau adanya gangguan fungsi

motorik yang disebabkan olah lesi mekanisme saraf atau otot yang

terjadi secara singkat dan relative berat.(Arman, 2021)

Paraparesis merupakan lesi intraspinal setinggi atau dibawah

level medulla spinalis thorakalis dengan deficit sensoris yang dapat

diidentifikasi setinggi dermatom medulla spinalis yang terkena lesi.

Paraparesis juga dapat berasal dari lesi pada lokasi lain yang

mempengaruhi UMN (terutama lesi parasagital dan hidrocepalus)


dan LMN (lesi pada cornu anterior, kauda equina, dan neuropati

perifer).

3. Etiologi

Penyebab paraparese inferior adalah sindrom klinis berupa berbagai

derajat disfungsi motorik, sensori, dan autonomy yang disebabkan oleh

peradangan fokal di medulla spinalis. Pasien biasanya mengalami

kecacatan karena cedera pada neural sensori, motorik dan autonomi di

dalam medulla spinalis .

Paraparese dapat di sebabkan oleh suatu infeksi, satu hingga dua segmen

dari medulla spinalis dapat rusak secara sekaligus. Infeksi langsung dapat

terjadi melalui emboli septik.

Kelainan-kelainan pada medulla spinalis tersebut diantaranya adalah

multiple sclerosis, suatu penyakit inflamasi dan demyelinisasi yang di

sebabkan oleh berbagai macam hal. Diantaranya adalah genetik, infeksi

dan virus dan faktor lingkungan Selain itu paraparese juga dapat

disebabkan oleh tumor yang menekan medulla spinalis, baik primer

maupun skunder. Juga dapat disebabkan oleh kelainan vascular pada

pembulu darah medulla spinalis, yang bisa berujung pada stroke medulla

spinalis.

Semua keadaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya paraparese

inferior yang apabila tidak segera ditangani akan memperburuk keadaan

penderita. Sehingga diagnosis dan penanganan yang tepat pada kelainana-

kelainan diatas di harapkan dapat membantu penderita paraparese untuk


mewujudkan kondisi yang optimal.

Berdasarkan umur, populasi lebih tua, penyebab terseringnya adalah

metastase tumor. Pada anak-anak atau dewasa muda, sindrom ini lebih

tidak menyenangkan karena disertai dengan nyeri yang penyebab

terseringnya adalah mielitis transversa akut. Pada anak-anak dan dewasa,

selain gangguan motorik, timbul pula gangguan sensorik. MRI spinal atau

mielografi diperlukan sebagai diferensiasi. Pada orang tua, kasus akut

paraplegia pada spinal cord jarang terjadi. Sindrom tersebut biasanya

terjadi setelah operasi klem aorta.

Jika refleks tendon hilang disertai tidak adanya sensorik pada pasien

dengan paraparesis akut maka kasus yang sering terjadi adalah sindrom

Guillain Barre. Ini terjadi pada semua umur. Hilangnya sensorik

merupakan gejala yang mengarah ke diagnosis sindrom Guillain Barre

namun, kadang- kadang tidak selalu demikian. Diagnosis pasti ditegakkan

berdasarkan pemeriksaan CSF dan elektromiografi (EMG). Pada negara

berkembang, akut paralisis poliomyelitis juga merupakan penyebab akut

paraplegia.

Episode rekuren paraparesis biasanya disebabkan oleh adanya multiple

sklerosis atau adanya malformasi vascular medulla spinalis.

4. Patofisiologi

Lesi yang mendesak medula spinalis sehingga merusak daerah jaras

kortikospinalis lateral dapat menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot –

otot bagian tubuh yang terletak di bawah tingakt lesi. Lesi yang memotong
melintang (transversal) medula spinalis pada tingkat servikal, misalnya C5

dapat mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot yang berada di bawah

C5, yaitu sebagian dari kedua otot – otot kedua lengan yang berasal dari

miotoma C6 sampai miotoma C8, kemudian otot – otot thorax dan dan

abdomen serta seluruh otot-otot kedua ekstremitas (Bromley, 2006).

Akibat terputusnya lintasan somatosensory dan lintas autonom

neurovegetatif asendens dan desendens, maka dari tingakat lesi kebawah,

penderita tidak dapat melakukan buang air besar dan kecil, serta tidak

memperlihatkan reaksi neurovegetatif.

Lesi transversal yang memotong medulla spinalis pada tingkat torakal

atau tingkat lumbal atas mengakibatkan kelumpuhan yang pada dasarnya

serupa dengan lesi yang terjadi pada daerah servikal yaitu pada tingkat lesi

terjadi gangguan motorik berupa kelumpuhan LMN pada otot-otot yang

merupakan sebagian kecil dari otot-otot toraks dan abdomen, namun

kelumpuhan yang terjadi tidak begitu jelas terlihat dikarenakan peranan

dari otot-otot tersebutkurang menonjol, hal ini dikarenakan lesi dapat

mengenai kornu anterior medulla spinalis. Dan dibawah tingkat lesi dapat

terjadi gangguan motoric berupa kelumpuhan UMN karena jaras

kortikospinal lateral segmen thorakal terputus.

Gangguan fungsi sensori dapat terjadi karena lesi yang mengenai

kornu posterior medulla spinalis maka akan terjadi penurunan fungsi

sensibilitas dibawah lesi, sehingga penderita berkurang merasakan

adanya rangsangan taktil, rangsangan nyeri, rangsangan thermal,


rangsangan discrimdan rangsangan lokas (Apley, 2006).

Gangguan fungsi autonomy dapat terjadi karena terputusnya jaras

ascenden spinothalamicu sehingga inkotinensial urin dan inkotinensial

alvi.Tingkat lesi transversal di medulla spinalis mudah terungkap oleh

batas defisit sensorik.Dibawah batas tersebut, tanda-tanda UMN dapat

ditemukan pada kedua tungkai secara lengkap.

5. Gambaran Klinis

Paraparese memiliki gejala sendri yang spesifik, gejala utama

adalah:

a) Sensitivitas kulit pada kaki berkurang.

b) Nyeri dibagian ekstremitas bawah.

c) Kesulitan membungkuk dan meluruskan kaki.

d) Ketidak mampuan untuk menginjak tumit.

e) Kesulitan berjalan.

f) Goyah/mudah terjatuh.
g) Gejala ini mulai muncul dengan cepat dan pada saat yang sama
B. Tinjauan Tentang Spinal Cord

1. Definisi

Cedera medula spinalis merupakan keadaan patologi akut

pada medula spinalis yang diakibatkan terputusnya komunikasi

sensori dan motorik dengan susunan saraf pusat dan saraf perifer,

Tingkat kerusakan pada medula spinalis tergantung dari keadaan

komplit atau inkomplit (Tarwoto, 2013). spinal cord injury (SCI)

di definisikan sebagai lesi traumatik akut elemen saraf dari kanal

tulang belakang, termasuk sum-sum tulang belakang dan Cauda

equina, yang menghasilkan defisit sensorik, motorik, atau

disfungsi kandung kemih sementara atau permanen (Oteir et al,

2014). Menurut Pertiwi (2017) trauma medula spinalis adalah

cedera pada tulang belakang baik langsung maupun tidak


langsung, yang menyebabkan lesi di medulla spinalis sehingga

menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan

kecacatan menetap atau kematian. Gejala-gejala dapat bervariasi

mulai dari nyeri, paralisis, sampai terjadinya inkontinensia

bergantung pada letak kerusakan medula spinalis. Kerusakan

medula spinalis dapat dibagi menjadi tingkat inkomplit dengan

gejala-gejala yang tidak berefek pada Pasien sampai tingkat

komplit dimana Pasien mengalami gangguan fungsi total.

(Ariana, 2016a)

2. Etiologi

Cedera Spinal Cord Injury disebabkan oleh trauma langsung yang

mengenai tulang belakang dimana tulang tersebut melampaui

kemampuan tulang belakang dalam melindungi saraf-saraf

belakangnya. trauma langsung tersebut dapat berupa: kecelakaan lalu

lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari

pohon/bangunan, luka tusuk, luka tembak, dan kejatuhan benda

keras. (Anggraini. dkk. 2018). Menurut Jones & Fix (2009, dalam

Muryati (2015) ada beberapa penyebab dari spinal cord injury (SCI),

antara lain:

a. Trauma tumpul

b. Trauma tusuk

c. Spondilitis ankilosa

d. Artritis reumatoid
e. Abses spinal dan tumor, khususnya limfoma dan mieloma

multipel.

f. Kecelakaan lalu lintas/jalan raya.

g. Injuri atau jatuh dari ketinggian.(Ariana, 2016a)

3. Patofisiologi

Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan

kasus terbanyak cedera spinal cord mengenai daerah servikal dan

lumbal. Cedera dapat terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi,

kompresi atau rotasi dada tulang belakang Fraktur ada cedera spinal

cord dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan

dislokasi.Sedangkan kerusakan ada cedera spinal cord dapat berupa

memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau tanpa

gangguan peredaran darah, dan perdarahan kerusakan ini akan

memblok syaraf "arasimpatis untuk melepaska mediator n

mediator kimia, kelumpuhan otot pernafasan, sehingga

mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut dan akut

anestesi.(Moshinsky, 2016)

4. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada penderita Spinal Cord Injury yaitu:

a. Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan Tanda dan gejala Spinal

Cord Injury tergantung dari tingkat kerusakan dan lokasi kerusakan.

di bawah garis kerusakan terjadi misalnya hilangnya gerakan

volunter, hilangnya sensasi nyeri, 12 temperatur, tekanan dan


propriosepsi, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan hilangnya

fungsi spinal dan refleks autonom.

b. Perubahan refleks Setelah Spinal Cord Injury terjadi edema

medula spinalis sehingga stimulus reflek juga terganggu misalnya

refleks pada bladder, aktivitas viseral, refleks ejakulasi.

c. Spasme otot

Gangguan spasme otot terutama terjadi pada trauma komplit

transversal, dimana Pasien terjadi ketidakmampuan melakukan

pergerakan.

d. Spinal shock

Tanda dan gejala spinal shock meliputi flacid paralisis dibawah garis

kerusakan, hilangnya sensasi, hilangnya refleks-refleks spinal,

hilangnya tonus vasomotor yang mengakibatkan tidak stabilnya

tekanan darah, tidak adanya keringat dibawah garis kerusakan dan

inkontinensia urine dan retensi feses.

e. Autonomic dysreflexia Autonomic dysreflexia terjadi pada cedera

thorakal 6 keatas, dimana Pasien mengalami gangguan refleks

autonom seperti terjadinya bradikardia, hipertensi paroksimal,

distensi bladder.

f. Gangguan fungsi seksual Banyak kasus memperlihatkan pada laki-

laki adanya impotensi, 13 menurunnya sensasi dan kesulitan

ejakulasi. Pasien dapat ereksi tetapi tidak dapat ejakulasi. (Susilo,

2021)
5. Tanda gejala pada penderita Spinal Cord Injury diantaranya :

a. Kehilangan kontrol motorik karena kerusakan pada bagian depan

sumsum tulang belakang.

b. Kehilangan refleks karena kerusakan sumsum tulang belakang,

titik transmisi siaptik dari denyut sensori pada respons motorik

c. Kelumpuhan ringan

d. Kurangnya kendali usus dan kandung kemih

e. Rasa yang berubah ( geli-parasethia, berkurang-hypoesthia,

bertambahhyperesthesia)

f. Bradycardia, hipotensi, hipotermia karena masalah dengan sistem

saraf spontan.(Dinata & Yasa, 2021)

C. Tinjauan Tentang Ca Mammae

1. Definisi

Kanker adalah kondisi kelainan pada jaringan organ tubuh berupa

tumbuhnya sel-sel abnormal secara cepat, dan akhirnya mengganggu

kinerja sel-sel normal. Sel yang mengalami abnormalitas ini bisa jadi sel

organ dalam, sel jaringan otot, sel tulang, sel otak, bahkan sel darah.

Tidak ada satu sel pun di dalam tubuh yang tidak memiliki kemungkinan

terserang kanker. Bahkan yang lebih mengerikan sel yang sudah

mengalami penyimpangan atau disebut sel kanker, dapat berpindah

tempat mengikuti aliran darah dan cairan limfa. Sehingga banyak kasus

kanker yang menyerang di berbagai tempat di tubuh manusia, bahkan

berpindah tempat dalam waktu singkat. (Nurcahyo, 2010).


Kanker payudara atau istilah medisnya Carsinoma Mammae

adalah momok pembunuh kedua bagi kaum wanita Indonesia setelah

kanker rahim (Nurcahyo, 2010). Kanker payudara terjadi karena

terganggunya system pertumbuhan di dalam jaringan payudara.

Carcinoma mammae merupakan gangguan dalam pertumbuhan sel

normal mammae dimana sel abnormal timbul dari sel-sel normal,

berkembang biak dan menginfiltrasi jaringan limfe dan pembuluh

darah.(Abdullah et al., 2013)

2. Etiologi Ca Mammae
Tidak ada satupun penyebab spesifik dari kanker payudara,

sebaliknya serangkaian factor genetic, hormonal dan kemungkinan

kejadian lingkungan dapat menunjang terjadinya kanker ini. Kanker

membutuhkan waktu 7 tahun untuk tumbuh dari satu sel menjadi massa.

Hormone steroid yang dihasilkan oleh ovarium juga berperan dalam

pembentukan kanker payudara (estradiol dan progesterone mengalami

perubahan dalam lingkungan seluler). (Putri, 2020)

Factor-faktor risiko timbulnya Ca Mammae menurut Brunner

& Sudarth, 2015 :

1. Riwayat pribadi tentang kanker payudara. Risiko mengalami

kanker payudara sebelahnya meningkat hampir 1% setiap tahun.

2. Anak perempuan atau saudara perempuan (hubungan keluarga

langsung) dari wanita dengan kanker payudara. Risikonya

meningkat dua kali jika ibunya terkena kanker sebelum berusia 60


tahun, risiko meningkat 4 sampai 6 kali jika kanker payudara

terjadi pada dua orang saudara langsung.

3. Menarke dini. Risiko kanker payudara meningkat pada

wanita yang mengalami menstruasi sebelum usia 12 tahun.

4. Nulipara dan usia maternal lanjut saat kelahiran anak pertama.

Wanita yang mempunyai anak pertama setelah usia 30 tahun

mempunyai risiko dua kali lipat untuk mengalami kanker

payudara dibanding dengan wanita yang mempunyai anak

pertama mereka pada usia 20 tahun.

5. Menopause pada usia lanjut. Menopause setelah usia 50 tahun

meningkatkan risiko untuk mengalami kanker payudara. Dalam

perbandingan, wanita yang telah menjalani ooferoktomi

bilateral sebelum usia 35 tahun mempunyai risiko sepertiganya.

6. Riwayat penyakit payudara jinak. Wanita yang mempunyai

tumor payudara disertai perubahan epitel proliferative

mempunyai risiko dua kali lipat untuk mengalami kanker

payudara, wanita dengan hyperplasia tipikal mempunyai risiko

empat kali lipat untuk mengalami penyakit ini.

7. Pemajanan terhadap radiasi ionisasi setelah masa pubertas dan

sebelum usia 30 tahun berisiko hampir dua kali lipat.

8. Obesitas-risiko terendah diantara wanita

pascamenopause.

Bagaimanapun, wanita gemuk yang didiaganosa penyakit ini


mempunyai angka kematian lebih tinggi yang paling sering

berhubungan dengan diagnosis yang lambat.

9. Kontrasepsi oral. Wanita yang menggunakan kontrasepsi oral

berisiko tinggi untuk mengalami kanker payudara.

Bagaimanapun, risiko tinggi ini menurun dengan cepat setelah

penghentian medikasi.

10. Terapi penggantian hormone. Wanita yang berusia lebih tua

yang menggunakan estrogen suplemen dan menggunakannya

untuk jangka panjang (lebih dari 10 sampai 15 tahun) dapat

mengalami peningkatan risiko. Sementara penambahan

progesterone terhadap penggantian estrogen meningkatkan

insidens kanker endometrium, hal ini tidak menurunkan kanker

payudara.

11. Masukan alkohol. Sedikit peningkatan risiko ditemukan pada

wanita yang mengonsumsi bahkan dengan hanya sekali minum

dalam sehari. Di Negara dimana minuman anggur dikonsumsi

secara teratur misal Prancis dan Itali, angkanya sedikit lebih

tinggi. Beberapa temuan riset menunjukkan bahwa wanita muda

yang minum alkohol lebih rentan untuk mengalami kanker

payudara pada tahun-tahun terakhirnya.

12. Beberapa factor risiko seperti usia dan ras, tidak dapat diganggu

gugat. Namun, beberapa risiko dapat dimodifikasi khususnya

yang berkaitan dengan lingkungan dan perilaku. Seperti


kebiasaan merokok, minum alkohol dan pengaturan pola makan.

Risiko seorang wanita menderita kanker payudara dapat

berubah seiring dengan waktu.(Abdullah et al., 2013)

3. Patofisiologi Ca Mammae
Untuk dapat menegakkan diagnosa kanker dengan baik,

terutama untuk melakukan pengobatan yang tepat, diperlukan

pengetahuan tentang proses terjadinya kanker dan perubahan

strukturnya. Tumor atau neoplasma merupakan kelompok sel

yang berubah dengan ciri proliferasi yang berlebihan dan tak

berguna, yang tak mengikuti pengaruh jaringan sekitarnya.

Proliferasi abnormal sel kanker akan mengganggu fungsi

jaringan normal dengan menginfiltrasi dan memasukinya

dengan cara menyebarkan anak sebar ke organ-organ yang jauh.

Di dalam sel tersebut telah terjadi perubahan secara biokimia

terutama dalam intinya. Hampir semua tumor ganas tumbuh dari

suatu sel yang mengalami transformasi maligna dan berubah

menjadi sekelompok sel ganas di antara sel normal.(Ariana,

2016b)

Sel kanker dapat menyebar melalui aliran pembuluh darah dan

permeabilitas kapiler akan terganggu sehingga sel kanker dapat

berkembang pada jaringan kulit. Sel kanker tersebut akan terus

menginfiltrasi jaringan kulit, menghambat dan merusak pembuluh

darah kapiler yang mensuplai darah ke jaringan kulit. Akibatnya

jaringan dan lapisan kulit akan mati (nekrosis) kemudian timbul luka
kanker. Jaringan nekrosis merupakan media yang baik untuk

pertumbuhan bakteri, baik bakteri aerob atau anaerob. Bakteri

tersebut akan menginfeksi dasar luka kanker sehingga menimbulkan

bau yang tidak sedap. Selain itu, sel kanker dan proses infeksi itu

sendiri akan merusak permeabilitas kapiler kemudian menimbulkan

cairan luka (eksudat) yang banyak. Cairan yang banyak dapat

menimbulkan iritasi sekitar luka dan juga gatal-gatal. Pada jaringan

yang rusak dan terjadi infeksi akan merangsang pengeluaran reseptor

nyeri sebagai respon tubuh secara fisiologis, akibatnya timbul gejala

nyeri yang hebat. Sel kanker itu sendiri juga merupakan sel imatur

yang bersifat rapuh dan merusak pembuluh darah kapiler yang

menyebabkan mudah pendarahan. Adanya luka kanker, bau yang

tidak sedap dan cairan yang banyak keluar akan menyebabkan

masalah psikologis pada pasien. Akhirnya, pasien cenderung merasa

rendah diri, mudah marah atau tersinggung, menarik dini dan

membatasi kegiatannya. Hal tersebut yang akan menurunkan kualitas

hidup pasien kanker.(Abdullah et al., 2013)

4. Manifestasi Klinis Ca Mammae


Tanda Ca Mammae kini mempunyai ciri fisik yang khas, mirip

pada tumor jinak, massa lunak, batas tegas, mobile, bentuk bulat

dan elips. Gejala carcinoma kadang tak nyeri, kadang nyeri,

adanya keluaran dari puting susu, puting eritemme, mengeras

asimetik, inversi, gejala lain nyeri tulang, berat badan turun

dapat sebagai petunjuk adanya metastase(Putri, 2020)

Beberapa gejala kanker payudara yang dapat terasa dan terlihat


cukup jelas menurut Astrid Savitri, dkk. (2015) antara lain :

1. Munculnya benjolan pada payudara

Benjolan di payudara atau ketiak yang muncul setelah siklus

menstruasi seringkali menjadi gejala awal kanker payudara yang

paling jelas. Benjolan yang berhubungan dengan kanker

payudara biasanya tidak menimbulkan rasa sakit, meskipun

kadang-kadang dapat menyebabkan sensasi tajam pada beberapa

penderita.

2. Munculnya benjolan di ketiak (aksila)

Kadang-kadang benjolan kecil dan keras muncul di ketiak

dan bisa menjadi tanda bahwa kanker payudara telah menyebar

hingga kelenjar getah bening. Benjolan ini terasa lunak, tetapi

seringkali terasa menyakitkan dan nyeri.

3. Perubahan bentuk dan ukuran payudara

Bentuk dan ukuran salah satu payudara mungkin terlihat

berubah. Bisa lebih kecil atau lebih besar daripada payudara

sebelahnya. Bisa juga terlihat turun.

4. Keluarnya cairan dari puting (Nipple Discharge)

Jika puting susu ditekan, secara umum tubuh bereaksi

dengan mengeluarkan cairan. Namun, apabila cairan keluar

tanpa menekan putting susu, terjadi hanya pada salah satu

payudara disertai darah atau nanah berwarna kuning sampai

kehijauan, mungkin itu merupakan tanda kanker payudara.


5. Perubahan pada puting susu

Puting susu terasa seperti terbakar, gatal dan muncul luka yang

sulit/lama sembuh. Selain itu puting terlihat tertarik masuk ke

dalam (retraksi), berubah bentuk atau posisi, memerah atau

berkerak. Kerak, bisul atau sisik pada puting susu mungkin

merupakan tanda dari beberapa jenis kanker payudara yang

jarang terjadi.

6. Kulit payudara berkerut

Muncul kerutan-kerutan seperti jeruk purut pada kulit

payudara. Selain itu kulit payudara terlihat memerah dan terasa

panas.

7. Tanda-tanda kanker telah menyebar

Pada stadium lanjut bisa timbul tanda-tanda dan gejala

yang menunjukkan bahwa kanker telah tumbuh membesar atau

menyebar ke bagian lain dari tubuh lainnya. Tanda-tanda yang

muncul seperti nyeri tulang, pembengkakan lengan atau luka

pada kulit, penumpukan cairan disekitar paru-paru (efusi

pleura), mual, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan,

penyakit kuning, sesak napas, atau penglihatan ganda.(Ariana,

2016b)
BAB III
TINJAUAN ASSESSMEN DAN INTERVENSI FISIOTERAPI
A. Tinjauan Assesmen Fisioterapi
Algoritma Assesment
History Taking :

Inspeksi:
a. Statis: Kedua Hamstring mengalami artropi
b. Dinamis: Pasien datang dengan kursi roda, Pasien kesulitan dalam menggerakkan kedua
tungkai

Pemeriksaan fisik

Palpasi : Normal Tes sensani Nyeri: Normal Pemeriksaan Refleks ADL (Indeks Barthel) :
Suhu: Normal Tes suhu : Normal Tendon Patellaris: Tidak 7 ketergantungan berat
Tonus Otot: Tidak ada Tes Sensasi taktil: Normal ada refleks
Tendon Achilles: Tidak
ada refleks

Pemeriksaan Koordinasi MMT


Tungkai kanan: 3
Heel to Toe: Tidak mampu Tungkai Kiri:3
Heel to Knee: Tidak Mampu
Heel to Sign: Tidak Mampu

Diagnosa:
Gangguan Kemampuan Aktivitas Fungsional et causa
Paraparese Suspek Cancer Mammae
B. Tinjauan tentang intervensi Fisioterapi

1. Infra Red (IR)

1) Definisi

Infra merah ialah sinar elektromagnet yang panjang

gelombangnya lebih daripada cahaya tampak yaitu di antara 700

nm dan 1 mm. Sinar infra merah merupakan cahaya yang tidak

tampak. Jika dilihat dengan spektroskop cahaya maka radiasi

cahaya infra merah akan tampak pada spectrum elektromagnet

dengan panjang gelombang di atas panjang gelombang cahaya

merah. (Ariana, 2016b).

a) Menggunakan pakaian yang longgar dan nyaman.

b) Terapis akan memeriksa kembali daerah yang akan diberikan

terapi dan melakukan wawancara kembali mengenai kelainan

yang diderita dan kemungkinan kontraindikasi untuk pemberian

terapi dan riwayat alergi terhadap suhu panas. Terapis akan

menjelaskan sekali lagi tujuan terapi infra merah sesuai kondisi

dan keadaan seseorang, tiap individu berbeda.

c) Terapis akan membersihkan daerah yang akan diterapi dari

minyak ataupun kotoran yang menempel di kulit termasuk dari

lotion atau obat-obat gosok yang dipakai sebelumnya

menggunakan kapas alkohol atau kapas yang diberi air. Bila

mempunyai kulit yang sensitif dan kering sekali sebaiknya

diberitahukan kepada terapis yang akan menerapi, sehingga


tidak akan digunakan kapas alkohol yang kadang dapat

menyebabkan iritasi kulit.

d) Terapis akan memposisikan bagian yang akan diterapi senyaman

mungkin, bagian yang akan diterapi tidak ditutupi oleh pakaian

sehingga infra merah akan langsung mengenai kulit dan

memberikan hasil yang optimal.

e) Terapis akan melakukan setting dosis waktu dan posisi alat infra

merah.

f) Kemudian segera infra merah akan diberikan, jangan menatap

langsung lampu infra merah.

g) Bila terasa nyeri atau panas berlebihan saat terapi berlangsung

segera bilang kepada terapis yang menerapi.

h) Selesai terapi akan ditandai oleh bunyi timer dari alat infra

merah. Jangan langsung berdiri atau duduk, tetap berbaring

beberapa saat untuk mengembalikan aliran darah ke normal.

2) Efek terapeutik

1. Relief of pain (mengurangi rasa sakit)

Ada beberapa pendapat mengenai mekanisme pengurangan

rasa nyeri yaitu:

a) Ikut terbuang sehingga rasa nyeri berkurang.

b) Rasa nyeri bisa juga karena adanya pembengkakan, sehingga

dengan pengaruh pemberian mild heating, maka terjadi


pengurangan nyeri disebabkan oleh adanya efek sedative

pada superficial sensory nerve ending.

c) Apabila diberi stronger heating, maka akan terjadi counter

irritation yang menimbulkan pengurangan nyeri.

d) Rasa nyeri ditimbulkan oleh karena adanya akumulasi sisa–

sisa hasil metabolisme yang disebut zat “p” yang menumpuk

dalam jaringan. Dengan adanya sinar infra red akan

memperlancar sirkulasi darah, maka pengurangan odema

(bengkak) akan berkurangan seiring dengan pengurangan

nyeri.

e) Terhadap daerah yang patah peningkatan absorpsi,

peningkatan aliran darah.

f) Efek terhadap infeksi bakteri disini meningkatkan sel darah

putih dan antibody pada daerah infeksi.

2. Muscle relaxation (relaksasi otot)

Relaksasi akan lebih mudah dicapai bila jaringan otot

dalam keadaan hangat dan rasa nyeri tidak ada. Oleh karena itu,

suhu tubuh yang meningkatkan akan menghilangkan spasme

dan membuat rileksasi otot.

3. Meningkatkan supply darah


Adanya kenaikan temperatur akan menimbulkan

vasodilatasi sehingga terjadi peningkatan supply darah ke

jaringan setempat yang bermanfaat untuk penyembuhan luka

dan pencegahan infeksi pada jaringan superficial.

4. Menghilangkan sisa–sisa metabolism

Penyinaran di daerah yang luas akan mengaktifkan

glandula gudoifera (kelanjar keringat) di seluruh tubuh, maka

akan terjadi peningkatan pembuangan sisa metabolisme

melalui keringat.

3) Efek fisiologis

Menimbulkan panas pada jaringan-jaringan yang banyak

mengandung air banyak pula mendeposit energi, gelombang mikro

otot lebih banyak menyerap energi gelombang mikro dari pada

jaringan lemak.

4) Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi dari Sinar Infra Merah antara lain:

a. Kondisi setelah peradangan sub akut, seperti sprain, muscle

strain, contusion

b. Arthritis seperti : Rheumatoid arthritis, osteoarthritis, mialgia,

neuritis
c. Gangguan sirkulasi daran, seperti : tromboplebitis, Raynold’s

disease

d. Penyakit kulit, seperti : folliculitis, wound

e. Persiapan exercise dan massage.

Kontra Indikasi Sinar Infra Merah antara lain:

a. Daerah insufisiensi darah

b. Gangguan sensibilitas

c. Adanya kecenderungan terjadi perdarahan

2. (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation ) TENS

Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)

adalah perangsangan saraf secara elektris melalui kulit. Dua pasang

elektroda yang berperekat dipasang pada punggung, dikedua sisi dari

tulang punggung. Elektroda ini dihubungkandengan sebuah kotak kecil

yang mempunyai tombol-tombol putar dan tekan.Tombol putar

mengendalikan kekuatan dan frekuensi denyut listrik yang dihasilkan

oleh mesin. Denyut ini menghambat pesan nyeri yang dikirim ke otak

dari rahim dan leher rahim serta merangsang tubuh mengeluarkan

bahan pereda nyeri alaminya, yaitu endorfin. Penelitian menunjukkan

bahwa TENS paling efektif meredakan nyeri. Transcutaneous


ElectricalNerve Stimulation (TENS) adalah penerapan arus listrik

melalui kulit untuk kontrol rasa sakit, dihubungkan dengan kulit

menggunakan dua atau lebih elektroda, diterapkan pada

frekuensitinggi (>50Hz) atau frekuensi rendah (<10 Hz) dengan

intensitas yang mengahasilkan sensasi getar (Robinson, 2008).

3. Terapi Latihan

Terapi latihan adalah salah satu modalitas fisioterapi dengan

menggunakan gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif untuk

pemeliharaan dan perbaikan kekuatan, ketahanan dan kemampuan

kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas, stabilitas, rileksasi,

koordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional. Indikasi Terapi

Latihan.

Indikasi terapi latihan berikut ini beberapa keadaan yang umumnya

dapat diperbaiki dengan terapi latihan :

a. Nyeri

b. Kelemahan dan penurunan ketahanan otot

c. Pengurangan jangkauan gerak yang dapat dikarenakan oleh

kekakuan kapsul sendi maupun pengurangan panjang otot.

d. Gangguan keseimbangan, stabilitas postur, koordinasi,

perkembangan dan tonus otot

e. Gangguan kardiovaskular seperti pengurangan kapasitas aerobik

(ketahanan kardiopulmoner) dan gangguan sirkulasi.

Jenis-jenis terapi latihan yang diberikan adalah :


a. Latihan mobilitas, dapat berupa latihan pasif, latihan aktif dengan

bantuan, latihan aktif dengan bantuan mandiri, latihan aktif dan

latihan stretching (penguluran).

1) Latihan Pasif

Pada latihan pasif, gerakan dilakukan oleh bantuan luar

tanpa mengandalkan gerakan mandiri otot penderita. Bantuan

luar dapat berasal dari orang lain ataupun dari mesin. Latihan

pasif biasanya dilakukan pada tahap awal rehabilitasi selama

struktur jaringan masih mampu menahan beban gerakan tanpa

resiko cedera lebih lanjut. Hal ini dilakukan untuk

mempertahankan jangkauan gerak sendi selama periode tidak

aktif. Lebih lanjut, latihan pasif dapat dikombinasikan dengan

latihan penguluran untuk meningkatkan jangkauan gerak sendi.

2) Latihan Aktif

Latihan jenis ini dilakukan secara mandiri. Latihan ini

terutama dilakukan untuk meningkatkan fleksibilitas jaringan

melalui latihan stretching. Latihan penguluran ini dapat

memperkuat dan memperpanjang struktur kolagen. Latihan ini

secara alami dibatasi oleh rasa nyeri.

b. Latihan Statis (Latihan Isometrik)

Latihan jenis isometrik adalah jenis latihan dimana tidak

terdapat perubahan panjang otot. Contoh latihan ini misalnya


dengan menarik maupun mendorong objek yang tidak dapat

digerakkan dan mempertahankan posisi tubuh terhadap tekanan.

Indikasi latihan isometrik:

1) Mencegah dan meminimalkan atrofi otot

2) Meningkatkan stabilitas postur dan persendian.

3) Meningkatkan kekuatan otot

4. Strengthening

Menurut Harvard Health Publication (2014) dalam Amaliyah

(2016), strengthening exercise merupakan bentuk latihan sistematis

yang berguna untuk meningkatkan keseimbangan dan memperbaiki

postur. Selain itu, latihan ini mempengaruhi stabilitas tangan dan

kaki untuk mengembangkan kemampuan koordinasi gerakan yang

merupakan dasar dari keterampilan keseimbangan

(Amaliyah,2016).

Definisi serupa dari Ganong (2010) dalam Oktavianty (2017)

yang menyatakan bahwa strengthening exercise dilakukan untuk

melihat adanya perubahan dalam peningkatan kekuatan otot pada

latihan dengan menggunakan intrumen beban yang akan terus

ditambah.Hal ini disebabkan karena adanya perubahan morfologikal

otot, yaitu semakin besar massa otot yang terbentuk maka

mitokondria yang dihasilkan akan semakin banyak

(Oktavianty,2017).
1) Tujuan dan Indikasi Strengthening Exercise

Adapun tujuan umum dari manual strengthening exercise

adalah untuk memperbaiki fungsi antara lain (David et al, 2014) :

a) Meningkatkan Kekuatan

Strength adalah gaya output dari kontraksi otot dan

secara langsung dengan besarnya ketengangan yang dapat

dihasilkan oleh kontraksi otot tersebut. Untuk meningkatkan

kekuatan otot, kontraksi otot harus diberi beban atau tahan

sehingga meningkatkan level-level kekuatan yang akan

berkembang karena adanya hipertropi dan rekruitmen serabut-

serabutotot.

Latihan penguatan dapat didefinisikan sebagai teknik

lifting dan lowering pada suatu otot atau group otot, atau

mengontrol beban yang berat dengan jumlah repetisi yang

relatif kecil.

b) Meningkatkan daya tahan

Endurance adalah kemampuan untuk melakukan latihan

repetisi dengan intensitas rendah dalam jangka waktu yang

Endurance otot dapat diperbaiki dengan melakukan latihan

melawan tahanan yang ringan dengan repetisi yang tinggi, hal

ini telah dibuktikan bahwa sebagian besar program latihan

didesain untuk meningkatkan kekuatan otot dan dapat

meningkatan daya tahan otot. Totally body endurance juga


dapat diperbaiki dengan latihan intensitas rendah dalam

jangka watu yang lama.

c) Meningkatkan power

Power merupakan suatu ukuran dari performance otot

yang berkaitan dengan kekuatan dan kecepatan gerak dan

dapat didefinisikan sebagai kerja per unit waktu (gaya x jarak

waktu), gaya x kecepatan gerak adala definisi yang paling

sesuai.

Besarnya otot yang berkontraksi dan bekerja pada gaya

diseluruh ROM serta hubungannya dengan lecepatan dan

gaya merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi power.

Power dapat diperbaiki dengan meningkatkan kerja otot yang

dilatih pada jangka waktu tertentu atau mengurangi jumlah

waktu yang diinginkan untuk menghasilkan gaya yang

diharapkan.

Meskipun power berkaitan dengan kekuatan dan

kecepatan, tetapi kecepatan merupakan variabel yang sangat

sering dimanipulasi dalam program training power. intensitas

latihan yang lebih besar dan jangka waktu yang singkat yang

diaplikasikan untuk menbangkitkan gaya otot dapat

menghasilkan lebih besar power padaotot.


2) Kontraindikasi

a) Inflamasi

Latihan tahanan dinamik bukan indikasi ketika otot atau

sendi mengalami inflamasi atau pembengkakan. Penerapan

strengthening exercise dapat menyebabkan peningkatan

bengkak dan lebih merusak otot atau sendi. Isometric exercise

dengan intensitas yang rendah dapat dilakukan pada kondisi

inflamasi jika aktivitasnya tidak meningkatkan nyeri.

b) Nyeri

Jika pasien mengalami nyeri sendi atau otot yang berat

selama latihan atau lebih dari 24 jam setelah latihan, maka

secara keseluruhan aktivitas harus diminimalisir atau secara

sustansial dikurangi.

3) Hal – hal yang perlu dicegah

a) Kelelahan

Kelelahan merupakan kejadian kompleks yang

mempengaruhi performa fungsional yang harus dihindari

dalam program strengthening exercise.

b) Recovery

Diperlukan waktu yang cukup untuk pemulihan setelah

menjalani program strengthening, setelah latihan berat tubuh

harus diberikan waktu pemulihan sebelum mencapai titik

kelelahn maksimal.
c) Gerakan substitusi

Jika tahanan yang diberikan sangat berat

selamalatihan,maka gerakan substitusi dapat terjadi. Untuk

menghindari adanya gerakan substitusi maka berikan tahanan

yang tepat dan terukur serta aplikasikan stabilisasi yang benar

baik secara manual maupun mekanikal.

d) Nyeri otot

Latihan dapat menyebabkan nyeri otot, nyeri otot

seringkali berkembang selama atau setelah latihan yang berat

sampai titik kelelahan. Hal ini harus dihindari dengan

melakukan latihan secara bertahap, intensitas dan durasi

latihan ditingkatkan secara progresif.

4) Hal – hal yang perlu diperhatikan

Menurut Joost Dekker (2014), hal-hal yang perlu

diperhatikan dalam pemberian strengthening exercise adalah:

a) Perhatikan letak aplikasi tahanan, tahanan biasanya

diaplikasikan pada ujung distal segmen dimana otot melekat.

b) Tentukan arah tahanan, tahanan yang diaplikasikan dalam

arah yang berlawanan darigerakan.

c) Berikan stabilisasi, untuk menghindari gerakan substitusi

maka berikan stabilisasi yang tepat baik dengan alat maupun

dengan cara manual.

d) Aplikasikan besarnya tahanan yang sesuai.


e) Tinjau kembali letak aplikasi tahanan atau turunkan besarnya

tahanan jika pasien tidak mampu menyempurnakan sampai

ROM penuh, ada nyeri hebat pada lokasi palikasi tahanan,

berkembangnya tremor otot, dan terjadi gerakansubstitusi.

f) Berikan perintah verbal yang tepat.

g) Tentukan jumlah repetisi, pada umunya 8-10 xrepetisi.

5. Core Stability

Core stability memerlukan gerakan trunk control dalam 3 bidang.

Dalam mempertahankan stabilisasi semua bidang gerak otot-otot

terkativasi dalam pola yang berbeda dari fungsi primer atau utamanya.

Diantaranya m. Quadratus Lumborum fungsi utamanya sebagai

stabilisator saat aktifasi dari bidang frontal. Gerakan yang terjadi pada

m. Quadratus Lumborum adalah gabungan dari gerakan fleksi, ektensi

dan lateral fleksi untuk menopang spine, sehingga membuatnya lebih

dari sekedar stabilisasi pada bidang frontal.

Core stability dipengaruhi oleh fascia thorakolumbar yang

merupakan struktur penting yang menghubungkan extermitas bawah

(melalui m. Gluterus Maximus) ke extermitas atas (melalui m.

Latisimus Dorsi). Dalam hubungan ini core termasuk dalam intergritas

rangkaian kinetik untuk melangkah. Thorakolumbar memilki fungsi

untuk melindungi otot bagian dalam dari otot-otot pungggung dan

trunk diantaranya termasuk m. Multifidus. Fascia thorakolumbar juga

terdiri dari m. Internal Obliques dan m. Tranvesus Abdominalis yang


memberikan 3 bidang pendukung pada lumbar spine dan membantu

core stability. Dalam membantu membentuk suatu ‘hoop’ pada

sekeliling abdomen terdiri dari fascia posterior, abdominal fascia

anterior dan M. Obliques lateralis yang membentuk efek korset

sebagai stabilisasi.

Core Stability merupakan co-activation dari otot-otot bagian

dalam dari lower trunk untuk mengontrol perpindahan berat badan,

melangkah selama proses berjalan.

Adanya rangsangan awalan dalam persiapan bergerak selalu

didasari dari adanya tonus postural, seperti co-aktivasi dari abdominal

dan multifidus untuk stabilisasi trunk dan kepala selama fasilitasi

anggota gerak untuk beraktvitas.

Aktivasi core stability dipengaruhi fungsi ventromedial sistem

yaitu untuk menangani daerah-daerah proksimal sebagai stabilisasi

dimana banyak otot anti gravitasi yang tidak bekerja. Disertai

retikulospinalis dan vestibulo sistem yang berkontribusi dalam

stabilisasi midline, kontrol postur dan tonus. Sehingga membuat

stabilisasi pada core untuk integrasi dari bagian proximal dan distal.

Mekanisme otot-otot besar dalam core pusat (centre of core)

membuat sebuah rigid cylinder dan sebuah gerakan besar dalam

gangguan inersia tubuh yang berlawanan ketika masih dalam keadaan

yang stabil dalam mobilisasi distal. Selain itu, merupakan tempat

motor terbanyak dari perkembangan tekanan dalam core tengah


(central core), terdapat sedikit perubahan dalam rotasi mengitari pusat

core (pusat tubuh/central core) untuk memberikan perubahan besar

dalam rotasi di bagian-bagian distal. Adanya perpindahan saat

melangkah merupakan bagian dari aktivasi otot-otot core yang saling

bersinergis. Aktifasi otot-otot core digunakan untuk menghasilkan

rotasi spine.

Core stability exercise adalah suatu aspek kontrol postural yang

dianggap sebagai dasar komponen dari konsep Bobath dalam

pemulihan keseimbangan karena kerusakan motor neuron.

Asumsi dalam praktek klinis adalah bahwa otot inti berperan

penting dalam pemulihan keseimbangan pada kondisi neurologis yang

terganggu. Core stability exercise melibatkan otot penggerak neck,

trunk, scapula, palvik dan femur.

Core stability exercise yang dilakukan sesuai dengan kemampuan

pasien pasca stroke. Adapun latihan yang akan dilakukan dibagi

menjadi 5 bagian, antara lain latihan pada posisi terlentang, latihan

pada posisi duduk, latihan pada posisi berdiri, latihan aktifitas

fungsional dan latihan menggunakan bola stabilisasi. Setiap gerakan

dalam core stability exercise dapat dilakukan sebanyak 4 – 6 kali

pengulangan, dan disesuaikan dengan toleransi pasien pasca stroke,

karena kemampuan pasien pasca stroke sangat individual.


BAB IV
PROSES ASSESSMENT FISIOTERAPI

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. S

Umur : 53 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : IRT

Alamat : Sinjai Timur

B. History Taking

Keluhan utama : Kelemahan pada kedua tungkai

Lokasi keluhan : Tungkai sisi kanan dan kiri

RPP : Sekitar 3 bulan yang lalu,pasien

mengkonsumsi makanan seperti ikan

bandeng dan kacang-kacangan, lalu

beberapa hari kemudian pasien

mengeluhkan nyeri pada bagian

punggungnya ketika sholat tanpa adanya

Riwayat trauma seperti jatuh atau benturan.

Setelah itu, pasien pergi memeriksakan diri

ke dokter, lalu didiagnosa asam urat yang

tinggi, sehingga pasien diberikan obat


penurun asam urat. Setelah pasien

mengkonsumsi obat tersebut selama 2 hari,

disitulah pasien mulai merasakan mati rasa

dan lemah pada kaki kirinya, kemudian

esok harinya hal serupa juga terjadi pada

kaki kanannya, sehingga pasien kesulitan

menggerakkan kedua tungkainya, lalu

pasien memeriksakan ke dokter dan di

diagnose Paraparese ,namun saat

pemeriksaan pasien juga mengatakan

adanya Riwayat cancer 10 tahun yang lalu

dan sudah melakukan pengobatan

tradisional.

Riwayat penyakit penyerta : kanker

Riwayat penyakit keluarga : Tidak ada

C. Inspeksi/Observasi

1. Statis

a. Kedua Quadricep terlihat mulai mengalami artropi

2. Dinamis

a. Pasien datang dengan menggunakan kursi roda

b. Pasien kesulitan menggerakkan kedua tungkai

c. Saat kaki digerakkan, pasien merasakan nyeri


D. Pemeriksaan/Pengukuran Fisioterapi

1. Vital Sign

a. Tekanan darah : 128/87 mmHg

b. Denyut nadi : 22 x menit

2. Palpasi

a. Suhu : Normal

b. Kontur kulit : Ada

c. Oedema : Tidak ada

d. Tenderness : Tidak ada

e. Tonus otot : Tidak ada

3. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar

Hip

Gerak Aktif Pasif TIMT


Fleksi ROM terbatas, ROM terbatas, soft Tidak mampu
Kelemahan otot end feel melawan tahanan
minimal
Ekstensi ROM terbatas, ROM terbatas, firm Mampu melawan
Kelemahan otot end feel tahanan minimal

Abduksi ROM terbatas, ROM terbatas, firm Tidak mampu


Kelemahan otot end feel melawan tahanan
minimal
Adduksi ROM terbatas, ROM terbatas, firm Tidak mampu
Kelemahan otot end feel melawan tahanan
minimal
Knee

Gerak Aktif Pasif TIMT

Fleksi ROM terbatas, ROM terbatas, soft Tidak mampu


Kelemahan otot end feel melawan tahanan
Ektensi ROM terbatas, ROM terbatas, hard Mampu melawan
Kelemahan otot end feel tahanan minimal

Ankle

Gerak Aktif Pasif TIMT

Plantar ROM terbatas, ROM terbatas, hard Mampu


Fleksi Kelemahan otot end feel melawan tahanan
Dorso ROM terbatas, ROM terbatas, firm Mampu
Fleksi Kelemahan otot end feel melawan tahanan
minimal

4. Pemeriksaan Sensory Integrity

a. Tes tajam tumpul : Tungkai: Normal

Lengan: Normal

b. Tes kasar halus : Tungkai: Normal

Lengan: Normal

5. Pemeriksaan Refleks

a. Refleks Fisiologis

Skala Gradasi Refleks

0 : Tidak ada refleks

1+ atau + : Hipoaktif
2+ atau ++ : Normal

3+ atau +++ : Hiperaktif tanpa klonus

4+ atau ++++: Hiperaktif dengan Klonus

b. Pattelar Tendon Reflex

Cara: Ketuklah tendon patella pasien dengan palu reflex atau

rubber hummer.

Hasil : (1+) Hipoaktif

c. Reflex Achilles

Cara: Tungkai pasien di fleksikan sedikit kemudian fisioterapis

memegang kaki pada ujungnya untuk memberikan sikap

dorsoflexi ringan pada kaki. Lakukan ketukan pada tendon

Achilles.

Hasil : (1+) Hipoaktif

6. Tes Koordinasi dan Motorik

1) Heel to Toe : Tidak Mampu

2) Heel to Knee : Tidak Mampu

3) Heel toe sign : Tidak Mampu

7. Manual Muscle Testing (MMT)

Nilai Keterangan

0 Kontraksi otot tidak terdeteksi dengan palpasi

1 Adanya kontraksi otot,dan tidak ada pergerakan sendi


2 Adanya kontraksi otot dan adanya pergerakan sendi full

ROM

3 Adanya kontraksi otot, adanya pergerakan sendi full ROM

dan mampu melawan gravitasi

4 Adanya kontraksi otot, adanya pergerakan sendi full ROM,

mampu melawan gravitasi dan tahanan minimal

5 Mampu melawan tahanan maksimal

Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan, ditemukan hasil:

Nilai Otot
Grup Otot
Dextra Sinistra
Extremitas
M. Hamstring 3 3
Inferior
M. Quadricep 3 3

M. Gastrocnemius 3 3

Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan didapatkan hasil:

5 5

3 3

8. Visual Analog Scale (VAS)

a. Nyeri diam = 0
b. Nyeri gerak = 8

c. Nyeri tekan = 7

9. Pemeriksaan Activity Daily Living (Index Barthel)

No. Item yang dinilai Skor Nilai


1. Makan 0 = tidak mampu mandiri 2
1 = perlu bantuan memotong
mengoles mentega, dan sebagainya,
atau perlu mengubah diet
2 = Mandiri
2. Mandi 0 = tidak mampu mandiri 0
1 = mandiri
3. Merawat Diri 0 = perlu bantuan untuk perawatan 1
diri
1 = mandiri untuk wajah/rambut/gigi
4. Berpakaian 0 = tidak mampu mandiri 1
1 = perlu bantuan untuk bisa
melakukan sendiri atau setengah
dibantu.
2 = mandiri (termasuk kencing,
resleting, dsb)
5. Buang Air Besar 0 = tidak mandiri 0
(BAB) 1 = kadang-kadang mandiri
2 = mandiri
6. Buang Air Kecil 0 = tidak mandiri 0
(BAK) 1 = kadang-kadang mandiri
2 = mandiri
7. Menggunakan 0 = tidak mandiri 0
Toilet 1 = kadang-kadang mandiri
2 = mandiri
8. Bergerak 0 = tidak mampu, tidak seimbang 1
1 = butuh bantuan satu atau dua
orang
2 = bantuan minimal
3 = mandiri
9. Mobilitas 0 = tidak bisa berjalan 1
1 = bergantung pada kursi roda
2 = berjalan dengan bantuan satu
orang
3 = mandiri
10. Naik Tangga 0 = tidak mampu mandiri 1
1 = butuh bantuan
2 = mandiri
Total 0-20 7

Interpretasi:

20 = Mandiri

12-19 = Ketergantungan ringan

9-11 = Ketergantungan sedang

5-8 = Ketergantugan berat

0-4 = Ketergantungan total

Hasil : 7 (Ketergantugan berat)

E. Diagnosa Fisioterapi (ICF-ICD)

Gangguan Kemampuan Aktivitas Fungsional et causa Paraparese Suspect


Cancer
F. Problematik Fisioterapi

Paraparese et causa spinal


core lesion

Impairment Activity Limitation Participations


Restrictive
1. Kelemahan pada 1. Kesulitan
kedua tungkai menggerakkan kedua Kesulitan dalam
2. Keterbatasan ROM tungkai melakukan aktivitas
3. Gangguan 2. Kesulitan saat baring sehari-hari
keseimbangan ke duduk.

Pemeriksaan/Pengukuran yang
No. Komponen ICF
membuktikan
1. Impairment
Kelemahan pada kedua tungkai MMT
Keterbatasan ROM PFGD
Gangguan keseimbangan Inspeksi
2. Activity Limitation
Kesulitan menggerakkan kedua tungkai Index Barthel
Kesulitan saat baring ke duduk Inspeksi
3. Participation Retriction
Kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari- Index Barthel
hari
BAB V
PROSEDUR INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI

A. Rencana Intervensi Fisioterapi

1. Tujuan Jangka Panjang

Memperbaiki kemampuan pasien yang berhubungan dengan

akti vitas fungsional secara mandiri sehingga mampu melakukan

aktivitasnya seperti semula dengan baik.

2. Tujuan Jangka Pendek

1) Meningkatkan kekuatan otot

2) Meningkatkan keseimbangan

B. Strategi Intervensi Fisioterapi

No Problematik Fisioterapi Tujuan Intervensi Intervensi

1. Impairment

a. kelemahan pada kedua Untuk Strengthening,

tungkai meningkatkan aktif-pasiv

kekuatan otot exercise,resisted

exercise

b. Keterbatasan ROM Untuk Strengthening

meningkatkan

ROM

c. gangguan untuk Core stability,

keseimbangan meningkatkan ambulasi


keseimbangan

2. Activity Limitation

a.kesulitan menggerakkan untuk Pasif-aktif

kedua tungkai mengembalikan exercise,

kemampuan strengthening,

melakukan stretching

aktivitas

menggerakkan

kedua tungkai

tanpa keluhan

b.kesulitan saat baring ke Untuk Ambulasi, core

duduk mengembalikan stability exercise

kemampuan baring

ke duduk tanpa

keluhan.

3. Participan Restriction

Kesulitan dalam Untuk Terapi Latihan

melakukan kegiatan sehari- mengembalikan

hari aktivitas sosial baik

di lingkungan

keluarga maupun

pekerjaan tanpa

keluhan dan
hambatan

C. Prosedur Pelaksanaan Fisioterapi

1. Infra Red (IR)

Tujuan : Membantu merileksasikan otot-otot yang

kaku, terjadi vasodilatasi yang dapat memperbaiki sirkulasi darah dan

memperbaiki proses metabolisme didalam tubuh.

Persiapan alat : Cek alat, kabel dan pastikan alat dalam

keadaan baik dan tersambung dengan arus listrik

Posisi pasien : Posisi pasien supine lying

Posisi fisioterapis : Berdiri di samping bed

Teknik : Infra red diletakkan dengan jarak 45-60cm.

Sinari pada lengan dan tungkai sisi kiri

Time : 15 menit

2. Transcoutaneus Nerve Stimulation Electrical (TENS)

Tujuan : Mengurangi nyeri dan melancarkan peredaran

darah

Persipan alat : Pastikan alat tersambung dengan listrik dan kabel

dalam keadaan baik. Kemudian nyalakan alat dan letakkan pad pada

bagian anterior dan posterior shoulder kanan

Posisi pasien : Posisi pasien supine lying dan nyaman

Posisi fisioterapis : Berdiri di samping bed


Teknik : Pastikan pasien dalam keadaan comfortable kemudian

gunakan 2 pad yang telah dibasahi pada daerah shoulder, 1 pad pada

anterior shoulder dan yang lain pada posterior shoulder pasien.

Dosis :

F : 1 x seminggu

I : Toleransi pasien

T : 10 menit

T:-

3. Terapi Latihan

a. Passive Exercise

Tujuan : Menghindari terjadinya kontraktur dan kekakuan

sendi

Posis pasien : Pasien dalam keadaan terlentang

Posisi fisioterapis : Berada disamping bed pasien

Teknik :

1) Ankle joint dan finger joint kaki, fisioterapis memegang jari jari

pasien kemudian secara bersamaan digerakkan kearah fleksi dan

ekstensi jari jari kaki (Gb. a), dilanjutkan dengan gerakan inversi

dan eversi (Gb. b) serta gerak plantar fleksi dan dorsal fleksi

pergelangan kaki (Gb. c).


a b

Gambar : Latihan gerak pasif


pada pergelangan kaki (Kisner, 1996)

2) Knee joint dan hip joint dilakukan secara bersamaan : satu tangan

fisioterapis memegang tumit pasien yang lemah sedangkan tangan

yang satunya memegang dibawah lutut, kemudian fisioterapis

menggerakkan tungkai kearah fleksi dan ekstensi panggul disertai

dengan fleksi dan ekstensi pada sendi lutut (Gb. 4.9) kemudian

menggerakkan abduksi dan adduksi sendi panggul (Gb. 4.10),

kemudian digerakkan kearah sirkumduksi (Gb. 4.11)

Gambar 4.9 Latihan gerak fleksi dan


ekstensi pasif pada panggul dan lutut (Kisner, 1996)
Gambar 4.10 Latihan gerak abduksi
dan adduksi pada sendi panggul(Kisner, 1996)

Gambar 4.11 Latihan gerak sirkumduksi


pada sendi panggul (Kisner, 1996)

Dosis :

F : 3 x seminggu

I : Toleransi pasien

T : Passive

T : 10 kali repitisi

4. Resisted Active Exercise pada Tungkai

Tujuan : Untuk meningkatkan kekuatan otot tungkai

Posisi Pasien : Tidur terlentang di atas bed dalam keadaan rileks.

Posisi fisioterapis : Berada di samping bed

Teknik : Satu tangan fisioterapis berada di knee joint

sedangkan tangan yang lainnya berada di telapak kaki pasien.

Kemudian fisioterapis melakukan gerakan fleksi knee lalu meminta

pasien untuk mendorong tangan fisioterapis yang ada di bawah telapak


kaki pasien untuk mengesktensikan kaki pasien. Lakukan 8 kali

pengulangan.

5. Strengthening Exercise

Tujuan : Meningkatkan kekuatan otot

Posis pasien : Tidur terlentang diatas bed dalam keadaan rileks

Posisi fisioterapis : Berada disamping bed pasien

Teknik :Pasien memnggerakkan sendi setiap anggota gerak

atas dan bawah secara aktif kemudian terapis memberikan tahanan

kearah sebaliknya saat pasien menggerakkan.

Dosis : F : 3 x seminggu

I : Toleransi pasien

T : Bridging

T : 8 kali repitisi

6. Stretching exercise

Tujuan : Meningkatkan flexibilitas

Posis pasien : Tidur terlentang diatas bed dalam keadaan rileks

Posisi fisioterapis : Berada disamping bed pasien

Teknik :Fisioterapis meengerakkan tungkai bawah dengan

cara mengangkat kaki pasien ke arah atas dengan angkle yang tekan ke

arah bawah sampai ada rasa terulur.

Dosis : F : 1 x seminggu

I : Toleransi pasien

T : 3 menit
T : 8 kali repitisi

7. Core Stability

a. Bridging Exercise

Posisi pasien : Posisi pasien tidur terlentang

Posisi fisioterapis : Berdiri di samping bed

Teknik pelaksanaan :

1) Berbaring di permukaan dasar lantai ,karpet atau matras.

2) Tekuk lutut dan menempatkan kaki rata di lantai dengan jarak

antara kedua kaki enaam sampai delapan inci

3) Telapak tangan harus rata di lantai di samping tubuh

4) Rilekskan tubuh bagian atas dan punggung saat kontraksikan

perut dan kontraksikan otot dasar panggul

5) Keluarkan nafas saat menekan tangan dan lengan bawah ke

lantai dan perlahan –perlahan mendorong panggul ke atas .tahan

dalam posisi tersebut.

6) Tarik nafas saat perlahan-perlahan menurunkan tubuh kembali

ke posisi awal. Jaga kontraksi perut untuk menghindari kendur

di punggung bawah atau gluteus .Lakukan dengan 8 kali repitisi

,lakukan 30-60 detik istrahat antara repitisi.

7) Ambulasi

Posisi pasien : Tidur Terlentang

Posisi Fisioterapis : Di samping pasien

Teknik Pelaksanaan:
a) Tempatkan klien pada posisi terlentang

b) Pindahkan semua bantal

c) Posisi menghadap kepala tempat tidur

d) Regangkan kedua kaki perawat dengan kaki paling dekat ke

e) kepala tempat tidur di belakang kaki yang lain.

f) Tempatkan tangan yang lebih jauh dari klien di bawah bahu

klien, sokong kepalanya dan vetebra servikal.

g) Tempatkan tangan perawat yang lain pada permukaan

temapt tidur.

h) Angkat klien ke posisi duduk dengan memindahkan berat

badan perawat dari depan kaki ke belakang kaki.

i) Dorong melawan tempat tidur dengan tangan di permukaan

tempat tidur

D. Edukasi dan Home Program

1. Edukasi

Meminta pasien untuk menghindari hal-hal yang dapat

memperberat keluhan seperti hindari pergerakan yang mendadak

atau tekanan berlebih.Rajin menggerakan anggota badannya terutama

bagian ekstremitas bawah

2. Home Program

pasien dianjurkan untuk tetap rutin melakukan Latihan-latihan baik

secara mandiri maupun dibantu oleh keluarga.


E. Evaluasi

Evaluasi
No Problematik Intervensi
Fisioterapi Awal Terapi Akhir Terapi
Evaluasi Jangka Pendek
1 Nyeri pada TENS VAS : VAS :
kedua lutut Nyeri diam : 0 Nyeri Nyeri diam
tekan: 7 : 0 Nyeri
tekan :5
Nyeri gerak : 8
Nyeri gerak
:6
2 Kelemahan Strenghening,
MMT MMT
pada
Aktif exercie
ekstremitas -Dextra: -3 -Dextra: +3
superior sisi
-Sinistra: -3 -Sinistra:+3
Dextra dan
sinistra
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Pembahasan Assesment Fisioterapi
1. History Taking
Anamnesis adalah cerita atau wawancara pada pasien mengenai

riwayat penyakit yang diutarakan oleh pasien melalui tanya jawab,

pada saat melakukan anamnesis seorang pemeriksa sudah

mempunyai gambaran untuk menentukan strategi dalam

pemeriksaan klinis selanjutnya, karena dengan anamnesis yang baik

membawa kita menempuh setengah jalan kearah diagnosis yang

tepat.Secara umum sekitar 60- 70 % kemungkinan diagnosis yang

benar dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis yang benar.

2. Inspeksi

Inspeksi adalah suatu pemeriksaan dengan cara melihat dan

mengamati keadaanpasien secara langsung. Inspeksi dibagi menjadi

2, yaitu inspeksi statis (inspeksi pada saat diam atau tidak bergerak)

dan inspeksi dinamis (inspeksi padasaat bergerak).

3. Pemeriksaan/Pengukuran Fisioterapi.

a. Index Barthel
Indeks Barthel adalah suatu indeks untuk mengukur

kualitas hidup seseorangdilihat dari kemampuan melakukan

aktivitas kehidupan sehari-hari (Activity of DailyLiving, ADL)

secara mandiri.

Indeks Barthel berfungsi mengukur kemandirian

fungsional dalam hal perawatandiri dan mobilitas serta dapat

juga digunakan sebagai kriteria dalam menilaikemampuan

fungsional bagi pasien-pasien yang mengalami gangguan

keseimbangan.Tingkat kemandirian diklasifikasikan menjadi 10

indikator (Hermansyah, Lina, &Aminoto, 2015). 10 indikator

yaitu makan, mandi,

Perawatandiri(Grooming),berpakaian, buang air besar, buang air

kecil, penggunaan toilet, Transfer (Berpindah),Mobilisasi

(Bergerak), dan naik turun tangga ini diperoleh dari pengkajian

dengan Indeks Barthel.

b. Manual Muscle Testing (MMT)


Manual Muscle Testing adalah metode pengukuran kekuatan

otot paling popular dan banyak digunakan oleh

fisioterapis.Dalam pemeriksaan MMT, fisioterapis akan

menggerakkan bagian tubuh tertentu dan pasien akan diminta

menahan dorongan tersebut, lalu nilai atau skor akan dicatat

sesuai dengan penilai berdasarkan skala MMT. Penilaian

kekuatan otot ini mempunyai rentang nilai 0-5.

B. Pembahasan Tentang Intervensi Fisioterapi


1. IRR

sinar infra merah merupakan salah satu radiasi dari gelombang

elektromagnetik. Kata dari radiasi itu sendiri adalah fenomena atau

peristiwa penyebaran energi gelombang elektromagnetik atau

pertikel subatom melalui vakum atau materi. Dan pengertian radiasi

gelombang elektromagnetik adalah gelombang yang dapat

merambat walau tidak ada medium , yang dirumuskan oleh

Maxwell, dimana terbentang dalam rentang frekuensi yang luas.

Gelombang elektromagnetik dapat diidentifikasi berdasarkan

frekuensi dan panjang gelombangnya (Arief ,2010). Sinar infra

merah (infrared/IR) berada dalam rentang frekuensi 300 GHz

sampai 40.000 GHz (10 pangkat 13). Sinar infra merah dihasilkan

oleh proses di dalam molekul dan benda panas. Telah lama

diketahui bahwa benda panas akibat aktivitas (getaran) atomik dan

molekuler di dalamnya dianggap memancarkan gelombang panas

dalam bentuk sinar infra merah. Oleh karena itu, sinar infra merah

sering disebut radiasi panas. Sinar infra merah memiliki panjang

gelombang lebih panjang dari cahaya tampak, tetapi lebih pendek

dari radiasi gelombang radio. Bawah merah (dari bahasa Latin infra,

"bawah"), merah merupakan warna dari cahaya tampak dengan

gelombang terpanjang. Sinar infra merah meliputi daerah frekuensi

1011 Hz sampai 1014 Hz atau daerah panjang gelombang 10-4 cm

sampai 10-1 cm. Jika dilakukan pemeriksaan spektrum yang


dihasilkan oleh sebuah lampu pijar dengan detektor yang

dihubungkan pada miliampermeter, maka jarum ampermeter sedikit

diatas.

2. (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation ) TENS


Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) adalah
perangsangan saraf secara elektris melalui kulit. Dua pasang
elektroda yang berperekat dipasang pada punggung, dikedua sisi
dari tulang punggung. Elektroda ini dihubungkan dengan sebuah
kotak kecil yang mempunyai tombol-tombol putar dan
tekan.Tombol putar mengendalikan kekuatan dan frekuensi denyut
listrik yang dihasilkan oleh mesin. Denyut ini menghambat pesan
nyeri yang dikirim ke otak dari rahim dan leher rahim serta
merangsang tubuh mengeluarkan bahan pereda nyeri alaminya, yaitu
endorfin. Penelitian menunjukkan bahwa TENS paling efektif
meredakan nyeri. Transcutaneous ElectricalNerve Stimulation
(TENS) adalah penerapan arus listrik melalui kulit untuk kontrol
rasa sakit, dihubungkan dengan kulit menggunakan dua atau lebih
elektroda, diterapkan pada frekuensi tinggi (>50Hz) atau frekuensi
rendah (<10 Hz) dengan intensitas yang menghasilkan sensasi getar.
3. Terapi Latihan

Terapi latihan adalah salah satu modalitas fisioterapi dengan


menggunakan gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif untuk
pemeliharaan dan perbaikan kekuatan, ketahanan dan kemampuan
kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas, stabilitas, rileksasi,
koordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional.

Jenis -jenis terapi Latihan yang diberikan adalah :

a) Latihan mobilitas, dapat berupa latihan pasif, latihan aktif


dengan bantuan, latihan aktif dengan bantuan mandiri, latihan
aktif dan latihanstretching (penguluran).
b) Latihan Pasif, Latihan ini dilakukan dengan bantuan

fisioterapis tanpa melibatkan gerakan mandiri dari pasien.

c) Latihan Aktif, Latihan ini dilakukan dengan mengandalkan

kemampuan gerakan pasien secara mandiri tanpa bantuan dari

fisioterapis

4. Stretching

Stretching atau peregangan otot merupakan suatu bentuk


Latihan untuk dapat meningkatkan rentang gerak, flexibilitas, aliran
darah, meregangkan otot atau tendon.
latihan peregangan ini juga memiliki tujuan untuk dapat
memperbaiki kelenturan atau fleksibilitas, mengurangi ketegangan
otot tubuh, memperbaiki sirkulasi, mengurangi keluhan nyeri otot,
dan meminimalisir risiko cidera. Metode latihan peregangan
umumnya dapat dibedakan menjadi peregangan statis dan dinamis.

5. Strengthening
Strengthening atau penguatan mampu untuk melatih dan
membangun otot-otot tubuh,bentuk dari Latihan ini juga nantinya
mampu mengurangi lemak dan menambah massa otot.
strengthening exercise juga merupakan bentuk latihan sistematis
yang berguna untuk meningkatkan keseimbangan dan memperbaiki
postur. Selain itu, latihan ini mempengaruhi stabilitas tangan dan
kaki untuk mengembangkan kemampuan koordinasi gerakan yang
merupakan dasar dari keterampilan keseimbangan

6. Core stability
Core stability exercise merupakan suatu bentuk Latihan yang
dapat meningkatkan kelompok otot batang yang mengelilingi tulang
bagian belakang dan perut agar dapat mengendalikan posisi dan
gerak batang tubuh untuk menghasilkan gerak yang lebih optimal.
7. Ambulasi
Ambulasi merupakan tahapan kegiatan yang dilakukan segera
pada pasien pasca operasi dimulai dari bangun, dan duduk di sisi
tempat tidur hingga pasien turun dari tempat tidur, berdiri dan mulai
belajar berjalan. Manfaat ambulasi adalah untuk memperbaiki
sirkulasi, mencegah flebotrombosis (thrombosis vena
profunda/DVT). Mengurangi komplikasi immobilisasi pasca
operasi, mempercepat pemulihan peristaltic usus, mempercepat
pasien pasca operasi(Solfiata, 2014)
BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Paraparese merupakan hilangnya fungsi motorik kedua

tungkai. Pada saat ini, istilah paraparese umumnya dipakai untuk

semua keadaan kelemahan kedua tungkai, baik yang parsial maupun

komplit. Paraparese dapat di sebabkan oleh suatu infeksi, satu hingga

dua segmen dari medulla spinalis dapat rusak secara sekaligus.

Infeksi langsung dapat terjadi melalui emboli septik.

Cedera Spinal Cord Injury disebabkan oleh trauma langsung

yang mengenai tulang belakang dimana tulang tersebut melampaui

kemampuan tulang belakang dalam melindungi saraf-saraf

belakangnya. trauma langsung tersebut dapat berupa: kecelakaan lalu

lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari

pohon/bangunan, luka tusuk, luka tembak, dan kejatuhan benda

keras.

Kanker payudara merupakan suatu jenis kanker yang dapat

menyerang siapa saja baik kaum wanita maupun pria. Hingga kini

kanker payudara masih menjadi momok terutama pada kaum wanita

oleh karena kanker payudara ini diidentikkan dengan sebuah

keganasan yang dapat berakibat pada kematian. Kanker payudara

adalah keganasan yang terjadi pada kantung dan atau saluran

penghasil susu. Tingkat bahaya keganasan dan kanker pada payudara


sama saja.

B. Saran

Dari kesimpulan di atas diharapkan pasien tetap melakukan

home program yang diberikan fisioterapis dan tetap melakukan

pemeriksaan rutin serta melakukan Latihan-latihan yang disarankan

secara rutin dan mandiri.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, N., Tangka, J., & Rottie, J. (2013). Hubungan Pengetahuan Tentang
Kanker Payudara Dengan Cara Periksa Payudara Sendiri Pada Mahasiswi
Semester Iv Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi. Jurnal Keperawatan Unsrat, 1(1), 105875.
Ariana, R. (2016a). Konsep Dasar Spinal Cord. 1–23.
Ariana, R. (2016b). Mekanisme Penyebaran Kanker Payudara. 1–23.
Arman. (2021). Pendahuluan Tentang Paraparese. 1–11.
Dinata, I. G. S., & Yasa, A. A. G. W. P. (2021). The Overview Of Spinal Cord
Injury. Ganesha Medicine, 1(2), 103.
Https://Doi.Org/10.23887/Gm.V1i2.39735
Lufritayanti, & Annisa. (2013). Disusun Oleh : Disusun Oleh : Penatalaksanaan
Fisioterapi Pada Kasus Paraparese Di Rsud Karanganyar,
11150331000034, 1–147.
Moshinsky, M. (2016). Spinal Cord Injury. Nucl. Phys., 13(1), 104–116.
Putri, A. R. (2020). Studi Literatur Penggunaan Psikoterapi Dalam Mengatasi
Efek Samping Kemoterapi Pada Pasien Ca Mammae. 14–15.
Https://Eprints.Umm.Ac.Id/63642/
Solfiata, D. A. (2014). Makalah Ambulasi Dan Mobilisasi. Makalah Ambulasi
Dan Mobilisasi (123dok.Com)
Susilo, D. P. (2021). Spinal Cord Injury. 433131420118086.
Utami, D. R. (2013). Penatalaksanaan Fisioterapis Pada Kasus Paraparese.
Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Paraparase, 53(9), 1689–1699.

Anda mungkin juga menyukai