Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TRAUMA MEDULA SPINALIS


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah keperawatan medikal Bedah II

DENGAN DOSEN

Ns. LISA MUSTIKA SARI,M.KEP

disusun oleh :

CHINTYA ENDRI (2200212047)

LAURA SIWANDRI (2200212058)

QORRY SUENDI AULIA (2200212063)

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU


KESEHATAN

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

BUKITTINGGI

2024
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila Trauma itu mengenai daerah L1-L2 dan/atau
di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta
kehilangan fungsi defekasi dan berkemih. Cedera medula spinalis adalah cedera yang
mengenai servikalis vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang
belakang. Cedera medula spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi
150.000 sampai 500.000 orang hampir di setiap negara, dengan perkiraan 10.000 cedera baru
yang terjadi setiap tahunnya. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar 75%
dari seluruh cedera Setengah dari kasus ini akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor, selain
itu banyak akibat jatuh, olahraga dan kejadian industri dan luka tembak.

Vertebra yang paling sering mengalami cedera adalah medula spinalis pada daerah
servikal ke-5, 6, dan 7, torakal ke-12 dan lumbal pertama. Vertebra ini adalah paling rentan
karena ada rentang mobilitas yang lebih besar dalam kolumna vertebral pada area ini. Pada
usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga,
pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan
pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal
(menopause). Klien yang mengalami trauma medulla spinalis khususnya bone loss pada L2-
L3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan dalam
pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami komplikasi
trauma spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal napas, pneumonia dan
hiperfleksia autonomic. Maka dari itu sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu
dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan trauma medulla spinalis dengan
cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan
klien dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.

Kecelakaan medula spinalis terbesar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, tempat
yang paling sering terkena cidera adalah regio servikalis dan persambungan thorak dan regio
lumbal. Lesi trauma yang berat dari medula spinalis dapat menimbulkan transaksi dari
medula spinalis atau merobek medula spinalis dari satu tepi ke tepi yang lain pada tingkat
tertentu disertai hilangnya fungsi. Pada tingkat awal semua cidera akibat medula spinalis /
tulang belakang terjadi periode fleksi paralise dan hilang semua reflek. Fungsi sensori dan
autonom juga hilang, medula spinalis juga bisa menyebabkan gangguan sistem perkemihan,
disrefleksi otonom atau hiperefleksi serta fungsi seksual juga dapat terganggu.

Perawatan awal setelah terjadi cidera kepala medula spinalis ditujukan pada
pengembalian kedudukan tulang dari tempat yang patah atau dislokasi. Langkah-langkahnya
terdiri dari immobilisasi sederhana, traksi skeletal, tindakan bedah untuk membebaskan
kompresi spina. Sangat penting untuk mempertahankan tubuh dengan tubuh dipertahankan
lurus dan kepala rata. Kantong pasir mungkin diperlukan untuk mempertahankan kedudukan
tubuh. Dalam kasus pra rumah sakit, penanganan pasien dilakukan setelah pengkajian lokasi
kejadian dilakukan. Apabila pengkajian awal lokasi kejadian tidak dilakukan maka akan
membahayakan jiwa paramedik dan orang lain di sekitarnya sehingga jumlah korban akan
meningkat. Dalam kasus ini, kematian muncul akibat tiga hal: mati sesaat setelah kejadian,
kematian akibat perdarahan atau kerusakan organ vital, dan kematian akibat komplikasi dan
kegagalan fungsi organ-organ vital. Kematian mungkin terjadi dalam hitungan detik pada saat
kejadian, biasanya akibat cedera kepala hebat, cedera jantung atau cedera aortik.

2. Tujuan

Membantu mahasiswa memahami tentang konsep dasar manajemen keperawatan


berkaitan dengan adanya gangguan pada tubuh manusia yang diakibatkan oleh cedera medula
spinalis serta mengetahui bagaimana konsep penyakit atau cedera medula spinalis
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian

Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke susunan saraf
pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang vertebra.

Trauma Medulla Spinalis merupakan keadaan yang dapat menimbulkan kecacatan


permanen dan mengancam nyawa. Trauma medula spinalis (TMS) meliputi kerusakan
medulla spinalis karena trauma langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan
fungsi utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik. autonomik, dan reflex, baik komplet
ataupun inkomplet (Gondowadarja and Puwarta, 2014:567).

Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris, gerakan dari bagian
tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat terganggu atau hilang sama
sekali. Ketika gangguan sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada
medula spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis.

Kerusakan pada medula spinalis karena tulang pergeseran yang atau kompresi
mengakibatkan gangguan baik secara komplit atau parsial dalam menyampaikan impuls.

2. Anatomi medulla spinalis

Medulla spinalis adalah suatu silinder panjang langsing jaringan saraf yang berjalan
dari batang otak. Struktur ini memiliki panjang 45 cm (18 inci) dan garis tengah 2 cm dan
terbentang dari vertebra C1 sampai LI (Sherwood, 2011:185. Baharudin, 2016:13). Pada saat
lahir, konus medulla spinalis mencapai 13 dan posisi terakhir maksimal pada usia 10 tahun
(Baharudin, 2016:13).

Medulla spinalis berjalan melalui kanalis vertebralis dan dihubungkan dengan nervus
spinalis. Medulla spinalis, yang keluar melalui sebuah lubang besar di dasartengkorak,
dibungkus oleh kolumna vertebralis protektif sewaktu turun melalui kanalis vertebralis. Dari
medulla spinalis keluar pasangan-pasangan nervus spinalis melalui ruang-ruang yang
terbentuk antara lengkung tulang berbentuk sayap vertebra-vertebra yang berdekatan. Nervus
spinalis diberi nama sesuai bagian dari kolumna vertebralis tempat keluarnya: terdapat 8
pasang nervus servikalis (leher) (yaitu C1-C8), 12 pasang nervus torakalis (dada), 5 pasang
nervus lumbalis (perut), 5 pasang nervus sakralis (panggul), dan 1 pasang nervus koksigeus
(tulang ekor) (Sherwood, 2011:185)
Sumsum Tulang Belakang (Segmen Servikal, Torakal, Lumbal dan Sacral,
Vertebra Tulang Belakang. Saraf Tulang Belakang dan Fungsi Utama dari Sumsum
Tulang Belakang. (Dikutip dari: Bickenbanch et all, 2013)

Medulla spinalis berawal dari ujung bawah medulla oblongata diforamen magnum
(Fildes, 2008:158), Menurut Baharudin (2016:14) baik medulla spinalis yang berada dalam
kanalis spinalis (hingga level S2) dan filum terminale dikelilingi oleh tabung tebal yang
disebut duramater, yang dipisahkan dari arakhnoid matter olch rongga subdural. Rongga
arakhnoid dipisahkan dari piamater oleh rongga subarachnoid yang terdiri cairan
serebrospinal. Pada akhir medulla spinalis di L2 dan dural sac pada level S2 terdapat rongga
yang lebih besar yang hanya terdiri atas akar saraf lumbal, sakral dan coccygeal, yang
semuanya membentuk cauda equina. Secara klinis, jaras terpenting yang melewati medulla
spinalis adalah komu anterior dan tiga traktus (jaras), yaitu:

1. Traktus kortikospinalis lateralis atau traktus piramidalis (membawa impuls. motorik).


2. Traktus spinotalamikus lateralis (membawa impuls nyeri suhu) dan traktus
spinotalamikus anterior (membawa impuls raba).
3. Funikulus posterior atau dorsalis yang membawa impuls deep sensibility maupun
proprioseptive (membawa rasa posisi dan getar).

Gangguan pada traktus spinotalamikus menyebabkan kelainan yang kontralateral,


sedangkan gangguan pada funikulus posterior atau dorsalis menyebabkan kelainan yang
ipsilateral. Selain ketiga jaras tersebut didalam medulla spinalis juga dilewati saraf otonom
simpatis (torako lumbal). Pada lesi medulla spinalis, letak lesi harus di bawah C2, dan
gangguan biasanya bilateral meskipun tidak simetris dan akan menimbulkan tiga gejala
utama yaitu gangguan motorik, sensorik dan otonom (sesuai dengan jaras yang lewat di
medulla spinalis) (Baharudin, 2016:15-16).
1. Vaskularisasi dan Inervasi Medulla Spinalis
Perfusi dari medulla spinalis terdiri dari 1 arteri spinalis anterior dan 2 arteri
spinalis posterior. Arteri spinalis anterior memberikan suplai darah 2/3 bagian anterior
dari medulla spinalis. Adanya lesi pada pembuluh darah tersebut menyebabkan
disfungsi dari traktus kortikospinal, spinotalamik lateral, dan jalur otonom
(paraplegia, hilangnya persepsi nyen dan temperatur, dan disfungsi otonom). Arteri
spinalis posterior secara utama memberikan suplai darah untuk kolumna dorsalis.
Kedua arteri tersebut muncul dari arteri vertebralis. Beberapa cabang radikuler dari
aorta torakalis dan abdominalis memberikan perdarahan kolateral bagi medulla
spinalis (Chin 2016:2).
Nervus spinalis berhubungan dengan kedua sisi medulla spinalis melalui akar
dorsal dan akar ventral. Serat-serat aferen yang membawa sinyal datang dari reseptor
perifer masuk ke medulla spinalis melalui akar dorsal. Badan sel untuk neuron
afferent di masing-masing level berkumpul menjadi satu membentuk ganglion akar
dorsal. Badan-badan sel untuk neuron efferent berasal dari substansia grisea dan
mengirim akson keluar melalui akar ventral. Karena itu, serat-serat efferent yang
membawa sinyal ke otot dan kelenjar keluar melalui akar ventral. Akar dorsal dan
ventral di masing-masing level menyatu untuk membentuk nervus spinalis yang
keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah nervus spinalis mengandung baik serat
afferent dan efferent yang berjalan antara region tertentu tubuh dan medulla spinalis
(Sherwood, 2011:187).

3. Etiologi

Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:


1. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik ekstemal seperti yang
diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, traumatik
sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan
sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and
Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula
spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra.
2. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti
penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau
kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik
eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor
neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit
neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital
dan perkembangan.
Bickenbach et all (2013:19-20) menyatakan bahwa berdasarkan keterangan yang
didapat pada etiologi trauma medulla spinalis oleh Word Health Organization, trauma
medulla spinalis dibagi menjadi TSCI (traumatic spinal cord injury) dan NTSCI (non
traumatic spinal cord injury). Tiga penyebab paling umum yang terjadi pada TSCI (traumatic
spinal cord injury) yaitu kecelakaan lalulintas, jatuh, kekerasan (luka tembak dan terkena
pukulan) dan juga olahraga (terutama diving). Kecelakaan lalulintas adalah penyebab utama
TSCI (traumatic spinal cord injury) akibat tidak menggunakan sabuk pengaman saaat
berkendara dan akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Jatuh merupakan penyebab kedua
pada TSCI (traumatic spinal cord injury) seperti jatuh dari gedung yang tinggi, jatuh saat
berolahraga maupun saat beraktifitas. Penyebab ketiga dari TSC1 (traumatic spinal cord
injury) adalah kekerasan (trauma akibat terkena pukulan saat perkelahian atau luka tembak).
Penyebab NTSCI (non traumatic spinal cord injury) yang paling utama yaitu tumor
neoplastik, kondisi degenerative pada tulang belakang, gangguan vaskular dan gangguan
autoimun.

4. Klasifikasi
Fildes (2008:162) menyatakan bahwa trauma medulla spinalis diklasifikasikan
berdasarkan level, beratnya defisit neurologis, dan sindroma medulla spinalis.

1. Berdasarkan Level
Level neurologis adalah segmen paling kaudal yang masih memiliki fungsi
sensorik dan motorik normal di kedua sisi tubuh. Bila istilah level sensorik yang
digunakan berarti dipakai untuk menyebutkan bagian paling kaudal dari medulla
spinalis dengan fungsi sensorik normal. Level motorik juga didefenisikan hampir
sama, sebagai fungsi motorik pada otot penanda yang paling rendah dengan kekuatan
paling tidak 3/5. Pada cedera komplit, bila ditemukan kelemahan fungsi sensorik atau
motorik dibawah segmen normal terendah hal ini disebut dengan zone preservasi
parsial. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penentuan level trauma pada kedua sisi
sangat penting. Perbedaan yang jelas terjadi antara lesi diatas dan dibawah T1. Cedera
pada segmen servikal 1 hingga 8 medulla spinalis akan menyebabkan tetraplegi, dan
lesi dibawah Ti menyebabkanparaplegi. Level trauma pada tulang adalah pada tulang
vertebra yang mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kerusakan pada medulla
spinalis. Level neurologis trauma dapat ditentukan pertama kali dengan pemeriksaan
fisik. Seringkali ditemukan perbedaan antara level tulang dan neurologis karena
nervus spinalis memasuki kanalis spinalis melalui foramen dan naik atau turun
didalam kanalis spinalis sebelum benar-benar masuk ke medulla spinalis.
Secara lebih detail, National Spinal Cord Injury Association dan The Christopher
& Dana Reeve Foundation Sherped Centre and KPK interactive (2011: 4-7)
mengkategorikan trauma medulla spinalis, menjadi
a. High Cervical Nerves (C1-C4)
Trauma medulla spinalis pada level ini menyebabkan tetraplegia. Pasien
mungkin tidak mampu untuk bernapas dan batuk dengan kemampuan sendiri
juga kehilangan kemampuan mengontrol defekasi, berkemih. Terkadang
kemampuan untuk berbicara juga terganggu atau menurun.
b. Low Cervical Nerves (CS-C8)
Trauma level ini memungkinkan pasien masih mampu bernapas dan bicara
normal seperti sebelumnya.
1) Trauma C5
Pasien mampu menggerakkan tangan meraih siku,cenderung memiliki
beberapa atau kelumpuhan total dari pergelangan tangan, tangan, badan dan
kaki. Mampu berbicara menggunakan diafragma, tetapi kemampuan
bernapas melemah.
2) Trauma C6
Saraf ini berfungsi untuk pergerakan ekstensi siku, jadi trauma pada
level ini menyebabkan gangguan pada kemampuan ekstensi siku. Mampu
berbicara menggunakan diafragma, tetapi kemampuan bernapas melemah.
3) Trauma C7
Sebagian besar pasien mampu menggerakkan bahu, dengan gangguan
ekstensi siku dan ekstensi jari jari tangan. Tidak terdapat gangguan kontrol
atau terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi.
4) Trauma C8
Pasien masih mampu menggenggam dan melepaskan objek yang
digenggam. Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol
terhadap fungsi berkemih atau defekasi.
c. Thoracic Nerves (T1-T5)
Saraf pada level ini mempengaruhi otot dada atas, otot abdominal, dan otot
punggung atas. Trauma medulla spinalis level ini jarang menyebabkan
gangguan ekstremitas atas,
d. Thoracic Nerves (T6-T12)
Saraf pada level ini, mempengaruhi otot perut dan punggung tergantung
dari level trauma medulla spinalis. Biasanya trauma menyebabkan keluhan
paraplegia dengan kekuatan ekstremitas atas dalam kondisi normal. Pasien
masih mampu mengendalikan kemampuan dan keseimbangan tubuh untuk
duduk dan mampu batuk produktif selama otot abdominal masih intak. Tidak
terdapat kontrol atau tedapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau
defekasi.
e. Lumbar Nerves (L1-L5)
Secara umum trauma ini menyebabkan gangguan fungsi panggul dan kaki.
Tidak terdapat kontrol atau tedapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih
atau defekasi. Tergantung kekuatan kaki, pasien mungkin memerlukan alat
bantu untuk berjalan.
f. Sacral Nerves (S1-S5)
Trauma menyebabkan kehilangan beberapa fungsi dari panggul dan kaki.
Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi
berkemih atau defekasi. Pasien mampu berjalan cukup baik.
2. Berdasarkan bemtnya defisit neurologis.
Berdasarkan beratnya defisit cedera medulla spinalis dibagi menjadi 4, yaitu:
a. Paraplegia inkomplit (torakal inkomplit)
b. Paraplegia komplit (torakal komplit)
c. Tetraplegia inkomplit (servikal inkomplit)
d. Tetraplegia komplit (cedera servikal komplit)
Sangat penting untuk mencari tanda-tanda adanya preservasi fungsi dari
semua jaras medulla spinalis. Adanya fungsi motorik dan sensorik dibawah level
trauma menunjukkan adanya cedera inkomplit Tanda-tanda cedera inkomplit meliputi
adanya sensasi atau gerakan volunter di ekstremitas bawah, sacral sparing (contoh:
sensasi perianal), kontraksi sfinghter ani volunter, dan fleksi ibu jari kaki volunter.
Reflek sakral, seperti refleks bulbokavernosus atau kerutan anus, tidak termasuk
dalam sacral sparing.

3. Berdasarkan sindrom medulla spinalis


Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada pasien
dengan cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali sehingga tidak
membingungkan pemeriksa.
a. Central cord syndrome
Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih banyak pada
ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah, dengan kehilangan sensorik
yang bervariasi. Biasanya sindrom ini terjadi setelah adanya trauma hiperekstensi
pada pasien yang telah mengalami kanalis stenosis servikal sebelumnya. Dari
anamnesis didapatkan adanya riwayat jatuh kedepan dengan dampak pada daerah
wajah. Dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur tulang servikal atau dislokası.

b. Anterior Cord Syndrome


Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik disosiasi dengan
hilangnya sensasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna posterior (posisi. vibrasi, dan
tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya anterior cord syndrome disebabkan infark
pada daerah medulla spinalis yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior. Prognosis
sindrom ini paling buruk dibandingkan cedera inklomplit lainnya. Kehilangan sensasi
nyeri dan suhu pada level dibawah lesi tetapi sensoris terhadap raba, tekanan, posisi,
dan getaran tetap baik.
c. Brown Sequard Syndrome
Sindrom ini terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis, biasanya akibat luka
tembus. Namun variasi gambaran klasik tidak jarang terjadi. Pada kasus murni,
sindrom ini terdiri dari kehilangan sistem motorik ipsilateral (traktus kortikospinalis)
dan hilangnya sensasi posisi (kolumna posterior), disertai dengan hilangnya sensasi
suhu serta nyeri kontralateral mulai satu atau dua level di bawah level trauma (traktus
spinothalamikus). Walaupun sindrom ini disebabkan trauma tembus langsung ke
medulla spinalis, biasanya masih mungkin untuk terjadi perbaikan (Fildes, 2008:162-
163).

4. Manifestasi klinis

1. Antara C1 sampai C5 Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien


meninggal
2. Antara C5 dan Có Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku
yang lemah; kehilangan refleks brachioradialis
3. Antara Có dan C7 Paralisis kakı, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan
fleksi siku masih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep
4. Antara C7 dan C8 Paralisis kaki dan tangan
5. C8 sampai TI Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis). paralisis
kaki
6. Antara T11 dan T12 Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut
7. T12 sampai LI Paralisis di bawah lutut
8. Cauda equina Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan usually
pain and hyperesthesia, kehilangan control bowel dan bladder
9. $3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1 Kehilangan kontrol bowel dan bladder
secara total
5. Pathofisiologi

1. Mekanisme trauma dan stabilitas fraktur


Menurut Gondowardaja and Purwata (2014:567) trauma medula spinalis dapat
menyebabkan komosio, kontusio, laserasi, atau kompresi medula spinalis.
Patomekanika lesi medulla spinalis berupa rusaknya traktus pada medula spinalis,
baik asenden ataupun desenden. Petekie tersebar pada substansia grisea, membesar,
lalu menyatu dalam waktu satu jam setelah trauma. Selanjutnya, terjadi nekrosis
hemoragik dalam 24-36 jam. Pada substansia alba, dapat ditemukan petekie dalam
waktu 3-4 jam setelah trauma. Kelainan serabut mielin dan traktus panjang
menunjukkan adanya kerusakan struktural luas. Medula spinalis dan radiks dapat
rusak melalui 4 mekanisme berikut:
a. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan
hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang
dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke
posterior dan trauma hiperekstensi.
b. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfleksi.
Toleransi medulla spinalis terhadap regangan akan menurun dengan
bertambahnya usia.
c. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu
aliran darah kapiler dan vena
d. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior
akibat kompresi tulang

2. Mekanisme Kerusakan Primer dan Sekunder


Patofisiologi kerusakan jaringan pada trauma medulla spinalis dibagi menjadi dua
fase yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Pada saat cedera primer jaringan
medulla spinalis secara mekanik terganggu karena mengalami pergeseran dan tekanan
yang kuat baik secara langsung atau tidak terkontrolnya pergerakan pada tulang
belakang. Permulaan trauma ini mengarah pada trauma mekanik, gangguan vaskuler,
gangguan pernapasan, syok neurogenik, peradangan, gangguan jaringan membran,
perubahan ion dan neurotransmitter dan akhirnya masuk dalam fase ke dua pada
trauma (Doulames and Plant, 2016:2). Pada mekanisme kerusakan primer sel neuron
akan rusak dan kekacauan proses intraseluler akan turut berdampak pada selubung
mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf terganggu, baik karena efek
trauma ataupun oleh efek massa akibat pembengkakan daerah sekitar luka. Kerusakan
substansia grisea akan ireversibel pada satu jam pertama setelah trauma, sementara
substansia alba akan mengalami kerusakan pada 72 jam setelah trauma
(Gondowardaja and Purwata, 2014:567).
Sementara kerusakan fase primer mengarah ke penurunan cepat fungsi
neurologis, fase sekunder terdiri dari iskemia, inflamasi dan excitotoxicity. Terdapat
sekitar 25 mekanisme fase sekunder namun hanya beberapa yang dapat menentukan
manifestasi cedera. Kaskade biokimia ini mengaktifkan jalur iskemik, yang mengarah
ke gangguan neurotransmitter mengakibatkan terjadinya excitotoxicity. Selain itu,
dapat terjadi peradangan dan respon kekebalan tubuh, pembengkakan, dan apoptosis
neuronal juga dapat terjadi Pada trauma medulla spinalis terjadi nekrosis pada lokasi
cedera, yang mengarah ke kavitasi cystic, menyebabkan kesenjangan di sirkuit, dan
mencegah komunikasi dengan pusat rostral sepanjang sistem saraf pusat (CNS) ke
otak. Akson dalam sumsum tulang belakang gagal untuk regenerasi setelah cedera dan
kembali ke arah soma dan sebagian besar berhenti menutup dekat perbatasan cedera
lesi. Secara keseluruhan hal ini meyebabkan perubahan fungsi nommal motorik,
sensorik, dan fungsi otonom tergantung pada lokasi trauma. Pada manusia, luka pada
daerah servikal atas sebagian besar dapat meyebabkan paralisis penuh pada respirasi,
berbicara, dan mengganggu fungsi usus besar. Pada daerah servikal bawah
meyebabkan paralisis sebagian dan penurunan fungsi pada respirasi, usus, dan lengan
tangan. Trauma thoraks tergantung pada level dengan trauma level tinggi primer
menurunkan fungsi tungkai atas dan kaki serta pada level bawah menurunkan fungsi
usus dan kaki. Trauma pada lumbosakral meyebabkan penurunan fungsi usus besar
dan penurunan sebagian fungsi pinggul dan kaki, tetapi pasien terkadang mengalami
keterbatasan dalam berjalan atau kemampuan berjalan sepenuhnya (Doulames and
Plant,2016:2).

6. Pemeriksaan penunjang
Chin (2016:1) menyatakan bahwa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu:
1. Radiologis
a. Radiografi Polos - Radiografi hanya akan terlihat baik pada permulaan dan akhir
gambaran vertebra oleh karena itu, radiografi harus memadai menggambarkan semua
vertebra. Computed Tomography (CT) scanning Dicadangkan untuk menggambarkan
kelainan tulang atau fraktur, dapat digunakan ketika radiografi polos tidak memadai
atau gagal untuk memvisualisasikan segmen kerangka aksial
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Digunakan untuk mencurigai lesi medulla
spinalis, cedera ligamen, dan cedera jaringan lunak lain atau patologi. Modalitas
pencitraan ini harus digunakan untuk mengevaluasi lesi nonosseous, seperti
hematoma tulang belakang ekstradural; abses atau tumor; disk yang pecah; dan
perdarahan pada sumsum tulang belakang, memar, dan/atau edema.
2. Laboratorium
Bahrudin (2016:447) menyatakan bahwa pemeriksaan laboratorium yang dapat
dilakukan yaitu:
a. Darah perifer lengkap
b. Gula darah sewaktu, ureum dan kreatinine
3. Neurofisiologi Klinik
Menurut Bahrudin (2016:447) neurofisiologi klinik yag dapat dilakukan yaitu
EMG (Elektromiografi) merupakan teknik yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi
saraf dan otot dengan cara menekan aktifitas listrik yang dihasilkan oleh otot- otot
skeletal, NCV (Nerve Conduction Velocity) merupakan teknik yang digunakan. untuk
melihat bagaimana sinyal-sinyal listrik cepat bergerak melalui saraf dan SSEP
(Somato Senseric Evoked Potential) merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk
melihat atau mempelajari lesi-lesi yang letaknya lebih proksimal, sepanjang jaras
somato-sensorik (tidak terjangkau dengan EMG).

7. Komplikasi
Wahyudi (2012:8) menyatakan bahwa komplikasi yang timbul pada kasus trauma
medulla spinalis antara lain yaitu:
1. Skin Breakdown disebabkan karena penekanan (posisi statis), gangguan sensori dan
gangguan vaskularisasi.
2. Osteoporosis disebabkan karena tidak ada aktivitas otot dan penumpuan berat badan.
3. Pneumonia.
4. Heteropic Ossification yaitu pulangan pada sekitar sendi, biasa terjadi pada sendi
besar seperti hip, knee atau shoulder, resiko terjadi kaku sendi dan penyatuan sendi.
5. Spasticity.
6. Autonomic dysreflexia yaitu dapat terjadi pada pasien dengan lesi di atas level To
atau T7, diduga karena terputusnya otonom yang mengontrol tekanan darah dan
fungsi jantung dapat berakibat hipertensi.
7. Deep Vein Thrombosis (DVT) atau emboli paru.
8. Cardiovascular disease.
9. Syringomyela merupakan pembesaran kanalis sentralis dari medulla spinalis pasca
trauma, terjadi pada 1-3% pasien trauma medulla spinalis.
10. Respiratory Dysfunction and Infection.
11. Neuropatic/Spinal Cord Pain yaitu kerusakan dari tulang vertebra, medulla spinalis,
saraf tepi, dan jaringan di sekitamya bisa menyebabkan hal ini. Bisa berupa nyeri
pada akar saraf yang tajam seperti teriris dan menjalar sepanjang prjalanan saraf
tepinya, bahkan terjadi phantom limb pain.

8. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Kedaruratan
pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena penatalaksanaan
yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi neurologik.Korban
kecelakaan kendaraan bermotor atau kecelakaan berkendara. Trauma olahraga kontak,
jatuh, atau trauma langsung pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan
mengalami Trauma medula spinalis sampai bukti Trauma ini disingkirkan.
a. Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal punggung)
dengan kepala dan leher dalam posisi netral, untuk mencegah Trauma komplit.
b. Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk mencegah
fleksi. rotasi atau ekstensi kepala.
c. Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk mempertahankan
traksi dan kesejajaran sementara papan spinalatau alat imobilisasi servikal
dipasang.
d. Paling sedikit empat oranghartus mengangkat korban dengan hati hati keatas
papan untuk memindahkan memindahkan kerumah sakit. Adanya gerakan
memuntir dapat merusak medula spinais ireversibel yang menyebabkan
fragmen tulang vertebra terputus, patah, atau memotong medula komplit.
Sebaiknya pasien dirujuk ke Trauma spinal regional atau pusat trauma
karena personel multidisiplin dan pelayanan pendukung dituntut untuk
menghadapi perubahan dekstruktif yang tejadi beberapa jam pertama setelah Trauma.
Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi
pasien dipertahankan diatas papan pemindahan Pemindahan pasien ketempat tidur
menunjukkan masalah perawat yang pasti.
2. Penatalaksanaan Trauma Medula Spinalis (Fase Akut)
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah Trauma medula spinalis lebih
lanjut dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologisLakukan
resusitasi sesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler.
Mayoritas pasien dengan cedera medula spinalis disertai dengan cedera
bersamaan pada kepala, dada, abdomen, pelvis dan ekstremitas hanya sekitar 40%
cedera medula spinalis yang terisolasi. Penatalaksanaan awal berlangsung seperti
pasien trauma pada umumnya yang meliputi survei primer, resusitasi dan survei
sekunder.
Protokol terapi yang direkomendasikan berdasarkan pada 3 hal yang penting.
Yang pertama, pencegahan cedera sekunder dengan intervensi farmakologis seperti
pemberian metilprednisolon dalam 8 jam setelah kejadian sesuai dengan panduan
yang dianjurkan dalam studi NASCIS-III.
Pasien sebaiknya diberikan metilprednisolon dengan dosis bolus 30mg/kg berat
badan diikuti dengan dosis pemeliharaan 5,4mg/kg berat badan per jam selama 23 jam
atau 48 jam secara infusan.
Kedua, hipoksia dan iskemia di lokasi lesi medula spinalis sebaiknya
diminimalisir dengan mengendalikan status hemodinamik dan oksigenasi. Semua
pasien sebaiknya menerima oksigen tambahan yang cukup untuk mencapai saturasi
oksigen mendekati 100%.
Ketiga, begitu cedera medula spinalis disangkakan, tulang belakang harus
diimobilisasi untuk mencegah cedera neurologis yang lebih lanjut.
Manajemen farmakologi pada cedera medula spinalis akut masih kontroversi.
Optimisme yang menganggap bahwa pemahaman yang mendalam mengenai
patogenesa dari cedera medula spinalis akut akan mengarah kepada penemuan strategi
pengobatan farmakologis untuk mencegah cedera sekunder telah menemui
kekecewaan dalam praktek klinis.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001). Penyebab dari
Trauma medulla spinalis yaitu: kecelakaan otomobil, industri terjatuh, olah-raga, menyelam,
luka tusuk, tembak dan tumor.
Cedera medula spinalis adalah suatu trauma yang mengenal medula spinalis atau
sumsum tulang akibat dari suatu trauma langsung yang mengenai tulang belakang. Penyebab
cedera medula spinalis adalh kejadian- kejadian yang secara langsung dapat mengakibatkan
terjadinya kompresi pada medula spinalis seperti terjatuh dari tempat yang tinggi, kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan olaghara dan lain-lain.
Cedera medula spinalis dapat menyebabkan terjadinya kelumpuhan jika mengenai
saraf-saraf yang berperan terhadap suatu organ maupun otot. Cedera medula spinalis ini
terbagi menjadi 2 yaitu cedera medula spinalis stabil dan tidak stabil.
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradul
subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau
robekan pada Trauma, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah
ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik
menyebabkan kerusakan yang terjadi pada Trauma medulla spinalis akut. Suatu rantai
sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi, hemorargi.
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena
penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi
neurologik Pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami Trauma
medula spinalis sampai bukti Trauma ini disingkirkan. Memindahkan pasien, selama
pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi, pasien dipertahankan diatas papan
pemindahan.

2. Saran
Cedera medula spinalis adalah suatu kejadian yang sering terjadi dimasyarakat. Tingkat
kejadiannya cukup tinggi karena bisa terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sehingga perlu
tingkat kehati-hatian yang tinggi dalam melakukan setiap aktivitas agar tidak terjadi suatu
kecelakaan yang dapat mengakibatkan cedera ini.
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa agar dapat menjaga
kesehatannya terutama pada bagian tulang belakang agar Trauma medula spinalis dapat
terhindar. Adapun jika sudah terjadi, mahasiswa dapat melakukan perawatan seperti yang
telah tertulis dalam makalah ini
DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi
8, volume 2. Jakarta: EGC.

Guyton, Arthur. 1990. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi 3, Jakarta:
EGC

Laurralee Sherwood. 2001. Fisiologi Manusia. Edisi 2, Jakarta: EGC

Sylvia and Lorraine. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Edisi

6, volume 2. Jakarta: EGC.

W.F.Ganong. 2005. Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGCS

Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing. A Holistic Approach, JB Lippincott
company, Philadelpia.

Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Karlasa IM, (2000), Rencana Asuhan
Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan

pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta. Reksoprodjo Soelarto, (1995),


Kumpulan Kuliah limu Bedah, Binarupa

Aksara, Jakarta. Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice,
fifth edition, JB Lippincott Company, Philadelphia

Anda mungkin juga menyukai