DENGAN DOSEN
disusun oleh :
BUKITTINGGI
2024
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila Trauma itu mengenai daerah L1-L2 dan/atau
di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta
kehilangan fungsi defekasi dan berkemih. Cedera medula spinalis adalah cedera yang
mengenai servikalis vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang
belakang. Cedera medula spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi
150.000 sampai 500.000 orang hampir di setiap negara, dengan perkiraan 10.000 cedera baru
yang terjadi setiap tahunnya. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar 75%
dari seluruh cedera Setengah dari kasus ini akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor, selain
itu banyak akibat jatuh, olahraga dan kejadian industri dan luka tembak.
Vertebra yang paling sering mengalami cedera adalah medula spinalis pada daerah
servikal ke-5, 6, dan 7, torakal ke-12 dan lumbal pertama. Vertebra ini adalah paling rentan
karena ada rentang mobilitas yang lebih besar dalam kolumna vertebral pada area ini. Pada
usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga,
pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan
pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal
(menopause). Klien yang mengalami trauma medulla spinalis khususnya bone loss pada L2-
L3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan dalam
pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami komplikasi
trauma spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal napas, pneumonia dan
hiperfleksia autonomic. Maka dari itu sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu
dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan trauma medulla spinalis dengan
cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan
klien dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.
Kecelakaan medula spinalis terbesar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, tempat
yang paling sering terkena cidera adalah regio servikalis dan persambungan thorak dan regio
lumbal. Lesi trauma yang berat dari medula spinalis dapat menimbulkan transaksi dari
medula spinalis atau merobek medula spinalis dari satu tepi ke tepi yang lain pada tingkat
tertentu disertai hilangnya fungsi. Pada tingkat awal semua cidera akibat medula spinalis /
tulang belakang terjadi periode fleksi paralise dan hilang semua reflek. Fungsi sensori dan
autonom juga hilang, medula spinalis juga bisa menyebabkan gangguan sistem perkemihan,
disrefleksi otonom atau hiperefleksi serta fungsi seksual juga dapat terganggu.
Perawatan awal setelah terjadi cidera kepala medula spinalis ditujukan pada
pengembalian kedudukan tulang dari tempat yang patah atau dislokasi. Langkah-langkahnya
terdiri dari immobilisasi sederhana, traksi skeletal, tindakan bedah untuk membebaskan
kompresi spina. Sangat penting untuk mempertahankan tubuh dengan tubuh dipertahankan
lurus dan kepala rata. Kantong pasir mungkin diperlukan untuk mempertahankan kedudukan
tubuh. Dalam kasus pra rumah sakit, penanganan pasien dilakukan setelah pengkajian lokasi
kejadian dilakukan. Apabila pengkajian awal lokasi kejadian tidak dilakukan maka akan
membahayakan jiwa paramedik dan orang lain di sekitarnya sehingga jumlah korban akan
meningkat. Dalam kasus ini, kematian muncul akibat tiga hal: mati sesaat setelah kejadian,
kematian akibat perdarahan atau kerusakan organ vital, dan kematian akibat komplikasi dan
kegagalan fungsi organ-organ vital. Kematian mungkin terjadi dalam hitungan detik pada saat
kejadian, biasanya akibat cedera kepala hebat, cedera jantung atau cedera aortik.
2. Tujuan
1. Pengertian
Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke susunan saraf
pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang vertebra.
Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris, gerakan dari bagian
tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat terganggu atau hilang sama
sekali. Ketika gangguan sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada
medula spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis.
Kerusakan pada medula spinalis karena tulang pergeseran yang atau kompresi
mengakibatkan gangguan baik secara komplit atau parsial dalam menyampaikan impuls.
Medulla spinalis adalah suatu silinder panjang langsing jaringan saraf yang berjalan
dari batang otak. Struktur ini memiliki panjang 45 cm (18 inci) dan garis tengah 2 cm dan
terbentang dari vertebra C1 sampai LI (Sherwood, 2011:185. Baharudin, 2016:13). Pada saat
lahir, konus medulla spinalis mencapai 13 dan posisi terakhir maksimal pada usia 10 tahun
(Baharudin, 2016:13).
Medulla spinalis berjalan melalui kanalis vertebralis dan dihubungkan dengan nervus
spinalis. Medulla spinalis, yang keluar melalui sebuah lubang besar di dasartengkorak,
dibungkus oleh kolumna vertebralis protektif sewaktu turun melalui kanalis vertebralis. Dari
medulla spinalis keluar pasangan-pasangan nervus spinalis melalui ruang-ruang yang
terbentuk antara lengkung tulang berbentuk sayap vertebra-vertebra yang berdekatan. Nervus
spinalis diberi nama sesuai bagian dari kolumna vertebralis tempat keluarnya: terdapat 8
pasang nervus servikalis (leher) (yaitu C1-C8), 12 pasang nervus torakalis (dada), 5 pasang
nervus lumbalis (perut), 5 pasang nervus sakralis (panggul), dan 1 pasang nervus koksigeus
(tulang ekor) (Sherwood, 2011:185)
Sumsum Tulang Belakang (Segmen Servikal, Torakal, Lumbal dan Sacral,
Vertebra Tulang Belakang. Saraf Tulang Belakang dan Fungsi Utama dari Sumsum
Tulang Belakang. (Dikutip dari: Bickenbanch et all, 2013)
Medulla spinalis berawal dari ujung bawah medulla oblongata diforamen magnum
(Fildes, 2008:158), Menurut Baharudin (2016:14) baik medulla spinalis yang berada dalam
kanalis spinalis (hingga level S2) dan filum terminale dikelilingi oleh tabung tebal yang
disebut duramater, yang dipisahkan dari arakhnoid matter olch rongga subdural. Rongga
arakhnoid dipisahkan dari piamater oleh rongga subarachnoid yang terdiri cairan
serebrospinal. Pada akhir medulla spinalis di L2 dan dural sac pada level S2 terdapat rongga
yang lebih besar yang hanya terdiri atas akar saraf lumbal, sakral dan coccygeal, yang
semuanya membentuk cauda equina. Secara klinis, jaras terpenting yang melewati medulla
spinalis adalah komu anterior dan tiga traktus (jaras), yaitu:
3. Etiologi
4. Klasifikasi
Fildes (2008:162) menyatakan bahwa trauma medulla spinalis diklasifikasikan
berdasarkan level, beratnya defisit neurologis, dan sindroma medulla spinalis.
1. Berdasarkan Level
Level neurologis adalah segmen paling kaudal yang masih memiliki fungsi
sensorik dan motorik normal di kedua sisi tubuh. Bila istilah level sensorik yang
digunakan berarti dipakai untuk menyebutkan bagian paling kaudal dari medulla
spinalis dengan fungsi sensorik normal. Level motorik juga didefenisikan hampir
sama, sebagai fungsi motorik pada otot penanda yang paling rendah dengan kekuatan
paling tidak 3/5. Pada cedera komplit, bila ditemukan kelemahan fungsi sensorik atau
motorik dibawah segmen normal terendah hal ini disebut dengan zone preservasi
parsial. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penentuan level trauma pada kedua sisi
sangat penting. Perbedaan yang jelas terjadi antara lesi diatas dan dibawah T1. Cedera
pada segmen servikal 1 hingga 8 medulla spinalis akan menyebabkan tetraplegi, dan
lesi dibawah Ti menyebabkanparaplegi. Level trauma pada tulang adalah pada tulang
vertebra yang mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kerusakan pada medulla
spinalis. Level neurologis trauma dapat ditentukan pertama kali dengan pemeriksaan
fisik. Seringkali ditemukan perbedaan antara level tulang dan neurologis karena
nervus spinalis memasuki kanalis spinalis melalui foramen dan naik atau turun
didalam kanalis spinalis sebelum benar-benar masuk ke medulla spinalis.
Secara lebih detail, National Spinal Cord Injury Association dan The Christopher
& Dana Reeve Foundation Sherped Centre and KPK interactive (2011: 4-7)
mengkategorikan trauma medulla spinalis, menjadi
a. High Cervical Nerves (C1-C4)
Trauma medulla spinalis pada level ini menyebabkan tetraplegia. Pasien
mungkin tidak mampu untuk bernapas dan batuk dengan kemampuan sendiri
juga kehilangan kemampuan mengontrol defekasi, berkemih. Terkadang
kemampuan untuk berbicara juga terganggu atau menurun.
b. Low Cervical Nerves (CS-C8)
Trauma level ini memungkinkan pasien masih mampu bernapas dan bicara
normal seperti sebelumnya.
1) Trauma C5
Pasien mampu menggerakkan tangan meraih siku,cenderung memiliki
beberapa atau kelumpuhan total dari pergelangan tangan, tangan, badan dan
kaki. Mampu berbicara menggunakan diafragma, tetapi kemampuan
bernapas melemah.
2) Trauma C6
Saraf ini berfungsi untuk pergerakan ekstensi siku, jadi trauma pada
level ini menyebabkan gangguan pada kemampuan ekstensi siku. Mampu
berbicara menggunakan diafragma, tetapi kemampuan bernapas melemah.
3) Trauma C7
Sebagian besar pasien mampu menggerakkan bahu, dengan gangguan
ekstensi siku dan ekstensi jari jari tangan. Tidak terdapat gangguan kontrol
atau terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau defekasi.
4) Trauma C8
Pasien masih mampu menggenggam dan melepaskan objek yang
digenggam. Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol
terhadap fungsi berkemih atau defekasi.
c. Thoracic Nerves (T1-T5)
Saraf pada level ini mempengaruhi otot dada atas, otot abdominal, dan otot
punggung atas. Trauma medulla spinalis level ini jarang menyebabkan
gangguan ekstremitas atas,
d. Thoracic Nerves (T6-T12)
Saraf pada level ini, mempengaruhi otot perut dan punggung tergantung
dari level trauma medulla spinalis. Biasanya trauma menyebabkan keluhan
paraplegia dengan kekuatan ekstremitas atas dalam kondisi normal. Pasien
masih mampu mengendalikan kemampuan dan keseimbangan tubuh untuk
duduk dan mampu batuk produktif selama otot abdominal masih intak. Tidak
terdapat kontrol atau tedapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih atau
defekasi.
e. Lumbar Nerves (L1-L5)
Secara umum trauma ini menyebabkan gangguan fungsi panggul dan kaki.
Tidak terdapat kontrol atau tedapat sedikit kontrol terhadap fungsi berkemih
atau defekasi. Tergantung kekuatan kaki, pasien mungkin memerlukan alat
bantu untuk berjalan.
f. Sacral Nerves (S1-S5)
Trauma menyebabkan kehilangan beberapa fungsi dari panggul dan kaki.
Tidak terdapat gangguan kontrol atau terdapat sedikit kontrol terhadap fungsi
berkemih atau defekasi. Pasien mampu berjalan cukup baik.
2. Berdasarkan bemtnya defisit neurologis.
Berdasarkan beratnya defisit cedera medulla spinalis dibagi menjadi 4, yaitu:
a. Paraplegia inkomplit (torakal inkomplit)
b. Paraplegia komplit (torakal komplit)
c. Tetraplegia inkomplit (servikal inkomplit)
d. Tetraplegia komplit (cedera servikal komplit)
Sangat penting untuk mencari tanda-tanda adanya preservasi fungsi dari
semua jaras medulla spinalis. Adanya fungsi motorik dan sensorik dibawah level
trauma menunjukkan adanya cedera inkomplit Tanda-tanda cedera inkomplit meliputi
adanya sensasi atau gerakan volunter di ekstremitas bawah, sacral sparing (contoh:
sensasi perianal), kontraksi sfinghter ani volunter, dan fleksi ibu jari kaki volunter.
Reflek sakral, seperti refleks bulbokavernosus atau kerutan anus, tidak termasuk
dalam sacral sparing.
4. Manifestasi klinis
6. Pemeriksaan penunjang
Chin (2016:1) menyatakan bahwa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu:
1. Radiologis
a. Radiografi Polos - Radiografi hanya akan terlihat baik pada permulaan dan akhir
gambaran vertebra oleh karena itu, radiografi harus memadai menggambarkan semua
vertebra. Computed Tomography (CT) scanning Dicadangkan untuk menggambarkan
kelainan tulang atau fraktur, dapat digunakan ketika radiografi polos tidak memadai
atau gagal untuk memvisualisasikan segmen kerangka aksial
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Digunakan untuk mencurigai lesi medulla
spinalis, cedera ligamen, dan cedera jaringan lunak lain atau patologi. Modalitas
pencitraan ini harus digunakan untuk mengevaluasi lesi nonosseous, seperti
hematoma tulang belakang ekstradural; abses atau tumor; disk yang pecah; dan
perdarahan pada sumsum tulang belakang, memar, dan/atau edema.
2. Laboratorium
Bahrudin (2016:447) menyatakan bahwa pemeriksaan laboratorium yang dapat
dilakukan yaitu:
a. Darah perifer lengkap
b. Gula darah sewaktu, ureum dan kreatinine
3. Neurofisiologi Klinik
Menurut Bahrudin (2016:447) neurofisiologi klinik yag dapat dilakukan yaitu
EMG (Elektromiografi) merupakan teknik yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi
saraf dan otot dengan cara menekan aktifitas listrik yang dihasilkan oleh otot- otot
skeletal, NCV (Nerve Conduction Velocity) merupakan teknik yang digunakan. untuk
melihat bagaimana sinyal-sinyal listrik cepat bergerak melalui saraf dan SSEP
(Somato Senseric Evoked Potential) merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk
melihat atau mempelajari lesi-lesi yang letaknya lebih proksimal, sepanjang jaras
somato-sensorik (tidak terjangkau dengan EMG).
7. Komplikasi
Wahyudi (2012:8) menyatakan bahwa komplikasi yang timbul pada kasus trauma
medulla spinalis antara lain yaitu:
1. Skin Breakdown disebabkan karena penekanan (posisi statis), gangguan sensori dan
gangguan vaskularisasi.
2. Osteoporosis disebabkan karena tidak ada aktivitas otot dan penumpuan berat badan.
3. Pneumonia.
4. Heteropic Ossification yaitu pulangan pada sekitar sendi, biasa terjadi pada sendi
besar seperti hip, knee atau shoulder, resiko terjadi kaku sendi dan penyatuan sendi.
5. Spasticity.
6. Autonomic dysreflexia yaitu dapat terjadi pada pasien dengan lesi di atas level To
atau T7, diduga karena terputusnya otonom yang mengontrol tekanan darah dan
fungsi jantung dapat berakibat hipertensi.
7. Deep Vein Thrombosis (DVT) atau emboli paru.
8. Cardiovascular disease.
9. Syringomyela merupakan pembesaran kanalis sentralis dari medulla spinalis pasca
trauma, terjadi pada 1-3% pasien trauma medulla spinalis.
10. Respiratory Dysfunction and Infection.
11. Neuropatic/Spinal Cord Pain yaitu kerusakan dari tulang vertebra, medulla spinalis,
saraf tepi, dan jaringan di sekitamya bisa menyebabkan hal ini. Bisa berupa nyeri
pada akar saraf yang tajam seperti teriris dan menjalar sepanjang prjalanan saraf
tepinya, bahkan terjadi phantom limb pain.
8. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Kedaruratan
pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena penatalaksanaan
yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi neurologik.Korban
kecelakaan kendaraan bermotor atau kecelakaan berkendara. Trauma olahraga kontak,
jatuh, atau trauma langsung pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan
mengalami Trauma medula spinalis sampai bukti Trauma ini disingkirkan.
a. Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal punggung)
dengan kepala dan leher dalam posisi netral, untuk mencegah Trauma komplit.
b. Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk mencegah
fleksi. rotasi atau ekstensi kepala.
c. Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk mempertahankan
traksi dan kesejajaran sementara papan spinalatau alat imobilisasi servikal
dipasang.
d. Paling sedikit empat oranghartus mengangkat korban dengan hati hati keatas
papan untuk memindahkan memindahkan kerumah sakit. Adanya gerakan
memuntir dapat merusak medula spinais ireversibel yang menyebabkan
fragmen tulang vertebra terputus, patah, atau memotong medula komplit.
Sebaiknya pasien dirujuk ke Trauma spinal regional atau pusat trauma
karena personel multidisiplin dan pelayanan pendukung dituntut untuk
menghadapi perubahan dekstruktif yang tejadi beberapa jam pertama setelah Trauma.
Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi
pasien dipertahankan diatas papan pemindahan Pemindahan pasien ketempat tidur
menunjukkan masalah perawat yang pasti.
2. Penatalaksanaan Trauma Medula Spinalis (Fase Akut)
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah Trauma medula spinalis lebih
lanjut dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologisLakukan
resusitasi sesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler.
Mayoritas pasien dengan cedera medula spinalis disertai dengan cedera
bersamaan pada kepala, dada, abdomen, pelvis dan ekstremitas hanya sekitar 40%
cedera medula spinalis yang terisolasi. Penatalaksanaan awal berlangsung seperti
pasien trauma pada umumnya yang meliputi survei primer, resusitasi dan survei
sekunder.
Protokol terapi yang direkomendasikan berdasarkan pada 3 hal yang penting.
Yang pertama, pencegahan cedera sekunder dengan intervensi farmakologis seperti
pemberian metilprednisolon dalam 8 jam setelah kejadian sesuai dengan panduan
yang dianjurkan dalam studi NASCIS-III.
Pasien sebaiknya diberikan metilprednisolon dengan dosis bolus 30mg/kg berat
badan diikuti dengan dosis pemeliharaan 5,4mg/kg berat badan per jam selama 23 jam
atau 48 jam secara infusan.
Kedua, hipoksia dan iskemia di lokasi lesi medula spinalis sebaiknya
diminimalisir dengan mengendalikan status hemodinamik dan oksigenasi. Semua
pasien sebaiknya menerima oksigen tambahan yang cukup untuk mencapai saturasi
oksigen mendekati 100%.
Ketiga, begitu cedera medula spinalis disangkakan, tulang belakang harus
diimobilisasi untuk mencegah cedera neurologis yang lebih lanjut.
Manajemen farmakologi pada cedera medula spinalis akut masih kontroversi.
Optimisme yang menganggap bahwa pemahaman yang mendalam mengenai
patogenesa dari cedera medula spinalis akut akan mengarah kepada penemuan strategi
pengobatan farmakologis untuk mencegah cedera sekunder telah menemui
kekecewaan dalam praktek klinis.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001). Penyebab dari
Trauma medulla spinalis yaitu: kecelakaan otomobil, industri terjatuh, olah-raga, menyelam,
luka tusuk, tembak dan tumor.
Cedera medula spinalis adalah suatu trauma yang mengenal medula spinalis atau
sumsum tulang akibat dari suatu trauma langsung yang mengenai tulang belakang. Penyebab
cedera medula spinalis adalh kejadian- kejadian yang secara langsung dapat mengakibatkan
terjadinya kompresi pada medula spinalis seperti terjatuh dari tempat yang tinggi, kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan olaghara dan lain-lain.
Cedera medula spinalis dapat menyebabkan terjadinya kelumpuhan jika mengenai
saraf-saraf yang berperan terhadap suatu organ maupun otot. Cedera medula spinalis ini
terbagi menjadi 2 yaitu cedera medula spinalis stabil dan tidak stabil.
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradul
subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau
robekan pada Trauma, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah
ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik
menyebabkan kerusakan yang terjadi pada Trauma medulla spinalis akut. Suatu rantai
sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi, hemorargi.
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena
penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi
neurologik Pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami Trauma
medula spinalis sampai bukti Trauma ini disingkirkan. Memindahkan pasien, selama
pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi, pasien dipertahankan diatas papan
pemindahan.
2. Saran
Cedera medula spinalis adalah suatu kejadian yang sering terjadi dimasyarakat. Tingkat
kejadiannya cukup tinggi karena bisa terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sehingga perlu
tingkat kehati-hatian yang tinggi dalam melakukan setiap aktivitas agar tidak terjadi suatu
kecelakaan yang dapat mengakibatkan cedera ini.
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa agar dapat menjaga
kesehatannya terutama pada bagian tulang belakang agar Trauma medula spinalis dapat
terhindar. Adapun jika sudah terjadi, mahasiswa dapat melakukan perawatan seperti yang
telah tertulis dalam makalah ini
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi
8, volume 2. Jakarta: EGC.
Guyton, Arthur. 1990. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi 3, Jakarta:
EGC
Sylvia and Lorraine. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Edisi
W.F.Ganong. 2005. Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGCS
Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing. A Holistic Approach, JB Lippincott
company, Philadelpia.
Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Karlasa IM, (2000), Rencana Asuhan
Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan
Aksara, Jakarta. Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice,
fifth edition, JB Lippincott Company, Philadelphia