Anda di halaman 1dari 13

BAB I

TUTORIAL KLINIK
Trauma Medula Spinalis

Definisi7,8
Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke susunan
saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang vertebra.
Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris, gerakan dari bagian
tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat terganggu atau hilang
sama sekali. Ketika gangguan sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan
pada medula spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis.

Epidemiologi2,7,8
Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu mengalami
cedera medula spinalis. Sampai tahun 1999, diperkirakan ada sebanyak 183.000 sampai
203.000 orang yang hidup dengan cedera medula spinalis di negara tersebut.
Cedera medula spinalis dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi, ketidak
berdayaan, rehabilitasi dan perawatan yang berkepanjangan, dan beban ekonomi yang
tinggi. Pada tahun 2004, Christopher & Dana Reeve Foundation bekerja sama dengan
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melakukan penelitian untuk
mengetahui epidemiologi penderita cedera medula spinalis dan yang mengalami paralisis
di Amerika Serikat.

1
Gambar 2.12 Diagram Penyebab Kelumpuhan dan Trauma Spinal

Hasilnya yaitu sekitar 1,9% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 5.596.000
orang melaporkan beberapa bentuk paralisis berdasarkan definisi fungsional yang
digunakan dalam survei tersebut. Sekitar 0,4% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar
1.275.000 orang dilaporkan mengalami paralisis dikarenakan oleh cedera medula
spinalis.
Menurut Dahlberg dkk. (2005), penyebab cedera medula spinalis yang terbanyak
di Helsinki, Finlandia adalah jatuh (43%) , diikuti dengan kecelakaan lalu lintas (35%),
menyelam (9%), kekerasan (4%) dan penyebab lain (9%). Penyebab cedera medula
spinalis di negara berkembang bervariasi dari satu negara ke negara lain. Kecelakaan lalu
lintas mencakup sebesar 49% penyebab cedera medula spinalis di Nigeria, 48,8% di
Turki dan 30% di Taiwan.

Etiologi
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis7,8:

A. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti
yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak
medula spinalis. Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula spinalis traumatik
sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik
atau paralisis. Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and Rehabilitation

2
Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik
mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra.

B. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti
penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau
kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik
eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron,
myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit
vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.

Patofisiologi7,8

Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi akibat
dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera berlanjut,
kemungkinan penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu, intervensi
terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk
intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam setelah cedera.
Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke korda
spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang persisten.
Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah cedera,
menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan perubahan metabolik dan
vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan.
Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan
berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang
kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus yang mana
kesemuanya hanya dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal
bebas dan opioid endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori
dan reaksi inflamasi sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger
Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula
spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik.
Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari cedera
sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar anti-

3
oksidan yang cepat, oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat
yang cedera dan menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini berakibat
pada dihasilkannya lipid peroxidase yang menyebabkan rusaknya membran sel. Teori
lain yaitu teori kalsium, teori reseptor opiate, dan lain sebagainya
Menyusul cedera medula spinalis, penyebab utama kematian sel adalah nekrosis
dan apoptosis. Walaupun mekanisme kematian sel yang utama segera setelah terjadinya
cedera primer adalah nekrosis, kematian sel apoptosis yang terprogram mempunyai efek
yang signifikan pada cedera sekunder sub akut. Kematian sel oligodendrosit yang
diinduksi oleh apoptosis berakibat demyelinasi dan degenerasi aksonal pada lesi dan
sekitarnya.
Proses cedera sekunder berujung pada pembentukan jaringan parut glial, yang
diperkirakan sebagai penghalang utama regenerasi aksonal di dalam sistem saraf pusat.
Pembentukan jaringan parut glial merupakan proses reaktif yang melibatkan peningkatan
jumlah astrosit. Menyusul terjadinya nekrosis dari materi abu-abu dari korda sentral dan
degenerasi kistik, jaringan parut berkembang dan meluas sepanjang traktus aksonal. Pola
dari pembentukan jaringan parut dan infiltrasi sel inflamatori dipengaruhi oleh jenis dari
lesi medula spinalis.

Klasifikasi
Klasifikasi dari trauma medulla spinalis terbagi atas 2 kategori, yaitu berdasarkan
skala impairment scale, dan berdasarkan tipe/ lokasi trauma

 Klasifikasi Impairment Scale2


Menurut American Spinal Injury Association, trauma medulla spinalis
dikategorikan dalam 5 tingkatan yaitu tingkat A, B, C, D, dan E. Pembagiannya
adalah sebagai berikut :
Grade Tipe Gangguan Medulla Spinalis
A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu
sampai segmen S4-S5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi otot-otot

4
motorik utama masih memiliki kekuatan <3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot
motorik utama memiliki kekuatan >=3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal

Tabel 2.1 Klasifikasi Cedera Spinal Menurut ASIA

 Klasifikasi Tipe dan Lokasi Trauma2


Terdapat beberapa pembagian untuk klasifikasi ini, diantaranya sebagai
berikut :
i) Complete spinal cord injury (Grade A)
a. Unilevel
b. Multilevel
ii) Incomplete spinal cord injury (Grade B, C, D)
Sindroma Kausa Utama Gejala Klinis
Brown-Sequard Trauma tembus, 1. Paresis UMN ipsilateral di bawah lesi dan
Syndrome Kompresi LMN setinggi lesi
2. Gangguan eksteroseptif (nyeri dan suhu)
kontralateral
3. Gangguan proprioseptif (raba dan tekan)
ipsilateral
Sindroma Spinalis Cedera yang 1. Paresis LMN setinggi lesi, UMN dibawah
Anterior menyebabkan lesi
HNP pada T4-6 2. Dapat disertai disosiasi sensibilitas
3. Gangguan eksteroseptif, proprioseptif normal
4. Disfungsi spinkter
Sindroma Spinalis Hematomielia, 1. Paresis lengan > tungkai
Sentral Servikal Trauma spinal 2. Gangguan sensorik bervariasi di ujung distal
lengan
3. Disosiasi sensibilitas
4. Disfungsi miksi, defekasi, dan seksual

5
Sindroma Spinalis Trauma, infark 1. Paresis ringan
Posterior arteri spinalis 2. Gangguan eksteroseptif punggung, leher, dan
posterior bokong
3. Gangguan propioseptif bilateral
Sindroma Konus Trauma lower 1. Gangguan motorik ringan, simetris
Medullaris sacral cord 2. Gangguan sensorik, bilateral, disosiasi
sensibilitas
3. Nyeri jarang, relative ringan, simetris,
bilateral pada perineum dan paha
4. Refleks Achilles -, patella +,
bulbocavernosus -, anal –
5. Disfungsi spinkter, ereksi, dan ejakulasi.
Sindroma Kauda Cedera akar 1. Gangguan motorik sedang sampai berat,
Equina saraf asimetris
lumbosakral 2. Gangguan sensibilitas, asimetris, tidak ada
disosiasi sensibilitas
3. Nyeri sangat hebat, asimetris
4. Gangguan reflex bervariasi
5. Gangguan spinkter timbul lambat, ringan,
jarang terdapat disfungsi seksual

Tabel 2.2 Klasifikasi Menurut Tipe dan Lokasi Trauma2

6
Gambar 2.13 Potongan Melintang Medulla Spinalis dengan Sindromanya

Diagnosis2,9

Diagnosis trauma medulla spinalis tentu dimulai dengan penilaian kondisi jalan
napas, pernapasan, dan peredaran darah. Setelah ketiga ABC tersebut stabil, barulah
dilakukan anamnesis mengenai kejadian trauma, tipe trauma, keadaan pasien sebelum
dan setelah trauma, gejala-gejala penyerta seperti nyeri yang menjalar,
kelumpuhan/hilangnya pergerakan, hilangnya sensasi rasa, hilangnya kemampuan
peristaltik usus, spasme otot, perubahan fungsi otonom dan seksual. Perlu diingat bahwa
penyebab trauma pasien juga harus ditelusuri, misalkan pasien mengalami kelemahan
terlebih dahulu baru kemudian terjatuh.

7
Setelah anamnesis, dilakukan penilaian generalis guna mengetahui penyebab
trauma dan apakah terdapat kelainan tulang dan sebagainya. Pasien yang diduga
mengalami cedera tulang servikal harus diperlakukan sangat hati-hati. Pemeriksaan
neurologis pada cedera medula spinalis meliputi penilaian berikut seperti:

- Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)

- Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)

- Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)

- Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)

- Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti
disfagia)

Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan
completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis lainnya
seperti cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi saraf spinal
yang normal, seperti yang diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut sebagai level
neurologis dari lesi tersebut. Hal ini tidak harus sesuai dengan level fraktur, karena itu
diagnosa neurologis dan fraktur harus dicatat.

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan foto polos vertebra yang merupakan


langkah awal untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang melibatkan medulla spinalis,
kolumna vertebralis, dan jaringan di sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP,
lateral, dan odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal, digunakan foto AP dan Lateral.

Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, urin lengkap, gula darah, ureum
dan kreatinin, fungsi hati, dan analisis gas darah kerap dikerjakan guna mengetahui
kondisi metabolik pasien. Pemeriksaan lain seperti EKG juga dapat dilakukan dalam
kondisi tertentu.

Untuk menegakkan diagnosis pasti dapat dilakukan pemeriksaan CT-scan dan


MRI vertebra. CT-scan dapat lebih jelas memperlihatkan jaringan lunak, struktur tulang,
dan kanalis spinalis dalam potongan aksial. Sedangkan MRI dapat memperlihatkan

8
keseluruhan struktur internal medulla spinalis dalam sekali pemeriksaan. Selain imaging,
pemeriksaan neurofisiologi klinik seperti SSEP juga dapat dianjurkan.

Gambar 2.14 (Kiri) : CT Scan pada Medulla Spinalis


` (Kanan) : MRI pada Medulla Spinalis

Tatalaksana2

Tatalaksana Pre Hospital

Untuk mendukung tujuan penyembuhan yang optimal, maka perlu


diperhatikan tatalaksana di saat sebelum masuk rumah sakit seperti halnya
melakukan stabilisasi secara manual, membatasi gerakan fleksi dan lainnya,
menenangkan pasien dan memberikan penanganan mobilitasi vertebra dengan
kolar leher atau brace vertebral.

Tatalaksana di Unit Gawat Darurat

Saat pasien sampai di UGD, wajib diperiksa ABC (airway, breathing,


circulation), bila pernafasan terganggu dapat dipasang intubasi endotrakeal atau
pemasangan alat bantu nafas lainnya supaya oksigenasi adekuat. Perlu dinilai juga

9
apabila pasien memiliki kemungkinan fraktur servikal, maka kerah fiksasi leher
harus terpasang terlebih dahulu.

Bila mendapatkan tanda-tanda hipotensi, harus segera dibedakan antara


syok hipovolemik dan syok neurogenik. Pada syok hipovolemik didapati tanda
hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin. Sedangkan pada syok neurogenik
didapati tanda hipotensi, bradikardia, ekstremitas hangat. Pada syok hipovolemik
harus dipertimbangkan untuk pemberian cairan kristaloid (NaCl 0,9% / Ringer
Laktat), bila perlu diberikan koloid. Pada syok neurogenik, pemberian cairan
tidak akan menaikkan tensi, maka harus diberikan obat vasopressor seperti
dopamine, adrenalin 0,2 mg subkutis, dan boleh diulangi setiap 1 jam.

Selanjutnya dapat dipasang foley kateter untuk memonitor hasil urin dan
mencegah retensi urin. Pemasangan pipa naso-gastrik juga dapat dilakukan
dengan tujuan untuk dekompresi lambung pada distensi dan demi kepentingan
nutrisi secara enteral.

Segera lakukan pemeriksaan status generalis dan neurologis guna


membuat diagnosis dan menentukan tatalaksana selanjutnya. Bila terdapat
kelainan tulang servikal, pasang collar neck. Korset torakolumbal atau lumbal
juga dapat dipasang pada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis bagian torakal
dan lumbal. Pemeriksaan penunjang dapat segera dilakukan setelah keseluruhan
hal tersebut diatas telah dilakukan.

Bila diagnosis ditegakkan kurang dari 3 jam pasca trauma, dapat diberikan
kortikosteroid metilprednisolon 30 mg/KgBB intravena bolus selama 15 menit,
ditunggu selama 45 menit, kemudian diberikan infuse terus menerus
metilprednisolon selama 24 jam dengan dosis 5.4 mg/KgBB/jam. Bila diagnosis
baru ditegakkan dalam 3-8 jam, maka cukup diberikan metilprednisolon dalam
infuse untuk 48 jam. Bila diagnosis baru diketahui setelah 8 jam, maka pemberian
metilprednisolon tidak dianjurkan.

10
Tatalaksana di Ruang Rawat

Prinsip utama dalam perawatan pasien dengan trauma servikal adalah


dengan terus menjaga terapi ABC. Perawatan umum lain seperti penjagaan suhu
tubuh dan mengenai miksi juga perlu diperhatikan.

Untuk terapi medikamentosa, metilprednisolon dapat terus diberikan guna


mencegah proses kerusakan sekunder. Obat-obatan penunjang lain seperti anti
spastisitas otot dapat diberikan sesuai keadaan klinis. Pasien yang mengeluh
kesakitan dapat juga diberi obat analgetik. Pemberian antikoagulan dapat
diberikan untuk mencegah adanya thrombosis vena dalam. Untuk kasus-kasus
dengan infeksi, antibiotik perlu dipertimbangkan. Antioksidan dapat diberikan
pada setiap pasien trauma spinalis.

Tindakan operasi dapat dilakukan dalam 24 jam sampai dengan 3 minggu


pasca trauma. Tindakan operatif awal (kurang dari 24 jam) lebih bermakna
menurunkan perburukan neurologis, komplikasi, dan keluaran skor motorik satu
tahun pasca trauma. Terapi bedah bertujuan untuk mengeluarkan fragmen tulang,
benda asing, reparasi hernia diskus, dan menstabilisasi vertebra guna mencegah
nyeri kronis.

Indikasi untuk operasi adalah adanya fraktur, pecahan tulang yang


menekan medulla spinalis, gambaran neurologis yang progresif memburuk,
fraktur atau dislokasi yang labil, terjadinya herniasi diskus intervertebralis yang
menekan medulla spinalis.

Neurorestorasi dan Neurorehabilitasi

Rehabilitasi dan pemulihan fungsi gerak tubuh sangat penting setelah


masa akut dari cedera lewat. Rehabilitasi adalah suatu proses progresif, dinamis,
dalam waktu yang terbatas bertujuan untuk meningkatkan kualitas individu yang
mengalami gangguan secara optimal dalam bidang mental, fisik, kognitif, dan
sosial. Tindakan yang dapat dilakukan berupa fisioterapi, terapi okupasi, latihan
miksi dan defekasi secara rutin, serta tidak lupa untuk aspek psikologis penderita.
11
Tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk memberikan penerangan dan
pendidikan kepada pasien dan keluarga mengenai trauma medulla spinalis,
memaksimalkan kemampuan mobilisasi dan latihan mandiri, serta mencegah
adanya kelainan komorbiditi seperti kontraktur, dekubitus, infeksi paru, dan lain
sebagainya. Rehabilitasi ditargetkan agar pasien dapat kembali kedalam
lingkungan komunitasnya dan dapat berperan sesuai dengan keadaan fisiknya
yang baru.

Rehabilitasi cedera medulla spinalis merupakan suatu pelayanan kesehatan


professional yang bersifat multi-disiplin, yang dimulai sejak fase akut, secara
terus menerus dan ekstensif, lalu melakukan pelayanan khusus selama fase sub-
akut yang meliputi perawatan, terapi fisik, terapi kerja, menjaga pernafasan dan
obat-obatan, istirahat dan rekreasi, psikologi, pelayanan nutrisi, latihan wicara,
pekerjaan sosial, sampai dengan konseling kesehatan seksual.

Prognosis9

Pasien dengan cedera medulla spinalis komplit hanya mempunyai harapan untuk
sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam, maka peluang
untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik masih ada, maka pasien
mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90%
penderita cedera medulla spinalis dapat sembuh dan mandiri.

Penutup

Cedera medulla spinalis merupakan suatu kejadian yang umum dijumpai di


masyarakat, dengan penyebab utamanya merupakan suatu kejadian kecelakaan. Di
Indonesia didapati insidens trauma medulla spinalis diperkirakan mencapai 8.000-10.000
kasus per tahunnya. Cedera ini juga dapat merupakan cedera traumatik (primer) ataupun
akibat penyakit lain (sekunder) seperti infeksi atau tumor.

Mekanisme dari cedera ini dapat terbagi menjadi 2 fase yaitu fase primer dan fase
sekunder. Kedua fase ini belum sepenuhnya dimengerti, namun satu hal yang pasti adalah
cedera ini memiliki window periode hanya sekitar 6 – 24 jam. Oleh karena itu diagnosis
12
dan tatalaksana yang tangkas sangat diperlukan dalam menangani kasus cedera medulla
spinalis guna mencegah perburukan kualitas hidup pasien dan mortalitas.

Diagnosis pada umumnya meliputi anamnesa yang baik dan pemeriksaan


neurologik untuk mengetahui perkiraan lokasi lesi, klasifikasi cedera, dan menentukan
tatalaksana selanjutnya. Pemeriksaan penunjang seperti imaging sangat membantu dalam
mendiagnosis secara akurat.

Prinsip utama tatalaksana yaitu dengan menjaga saluran pernapasan, pernapasan,


dan sirkulasi yang adekuat. Pemberian obat kortikosteroid telah terbukti memperbaiki
kondisi pasien pasca trauma. Medikamentosa lain dapat diberikan sesuai dengan indikasi
pasien. Operasi dapat dianjurkan bila terdapat indikasi.

Pasien dengan cedera medulla spinalis dapat membaik kondisinya sehingga dapat
kembali seperti semula, namun ada pasien yang memiliki kerusakan parah dan tidak
dapat berjalan lagi. Kesemua pasien ini perlu mendapatkan terapi neurorehabilitasi guna
meningkatkan kualitas hidup pasien setelah keluar dari rumah sakit.

13

Anda mungkin juga menyukai