Anda di halaman 1dari 11

Definisi

Spinal Cord Injury yang sering dikenal dengan cedera spinal adalah gangguan pada
medula spinalis yang mengakibatkan perubahan sementara atau permanen pada
fungsi motorik, sensorik, atau otonom

Etiologi

- Kasus Trauma
Kasus trauma masih menjadi penyebab terbesar spinal cord injury.
Berdasarkan National Spinal Cord Injury Statistical Center (NSCISC) pada
tahun 2010 didapatkan, sebab cedera spinal di Amerika Serikat adalah
sebagai berikut:
Kecelakaan lalu lintas (38%)
Kasus jatuh (30.5%)
Kasus kekerasan: terutama luka tembak (13.5%)
Olahraga atau aktivitas rekreasi (9%).
- Kasus Nontrauma
Kasus nontraumatik memberikan kontribusi untuk cedera spinal.
NSCISC menyatakan 10% dari seluruh kasus cedera spinal disebabkan oleh
kasus medis, kasus operasi, dan lainnya. Kelainan kongenital (spina bifida,
myelomeningocele, Arnold-Chiari malformation, malformasi skeletal,
syringomyelia)
Penyakit degeneratif kolum vertebra (spondilosis vertebra, stenosis spinalis,
prolaps diskus, spondilolistesis)
Kompresi tumor
Iskemia vascular
Penyakit infeksi (polio, tuberkulosis, sifilis)
Multiple sclerosis
Transverse myelitis
Fraktur vertebra akibat osteoporosis sekunder
Iatrogenik (seperti injeksi spinal, kateter epidural, pungsi lumbal)

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi spinal cord injury (cedera spinal) menjelaskan dua mekanisme cedera
yaitu cedera primer, kerusakan awal akibat cedera mekanis. Serta cedera sekunder,
cedera yang terjadi akibat cedera primer yang ditandai dengan perdarahan, edema, dan
iskemia.[8,9]
Cedera Primer
Cedera primer pada medula spinalis dapat bersifat komplit ataupun inkomplit. Hal ini
disebabkan oleh cedera mekanik, berupa :

 Kompresi

 Distraksi

 Laserasi

 Transeksi

Cedera tersebut menyebabkan kerusakan pada akson, pembuluh darah, ataupun 


membran sel. Kebanyakan, cedera meninggalkan ”subpial rim” dari akson
terdemielinisasi atau tidak terdemielinisasi yang berpotensi untuk terjadinya regenerasi.
Selain itu, timbul edema akut pada medula yang berkontribusi terhadap kejadian
iskemia pada medula spinalis. Fase-fase ini menyerupai patofisiologi molekuler
pada cedera otak traumatik.
Secara seluler, beberapa menit setelah cedera, terjadi peningkatan sitokin
termasuk tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dan interleukin 1-beta (IL-1β).
Selanjutnya, terjadi pembuangan cadangan glutamat dan disfungsi transporter astrosit
glutamat yang menyebabkan meningkatnya kadar sitotoksik glutamat. Periode ini
dikenal dengan immediate phase, yang dapat bertahan hingga 2 jam pasca cedera.
[1,10]
Cedera Sekunder
Cedera sekunder dimulai setelah cedera primer berlangsung. Proses patologis ini
didasari oleh berbagai mekanisme yang menyebabkan kekurangan energi akibat
gangguan perfusi seluler dan iskemia. Cedera sekunder dibagi menjadi tiga fase, yaitu:

Fase Akut

Fase akut berlangsung dalam 48 jam pertama. Kerusakan vaskularisasi, perdarahan


dan iskemia terjadi dalam fase ini. Gangguan mikrosirkulasi tersebut mengakibatkan
perubahan patologik seperti disregulasi ionik, eksitotoksisitas, produksi radikal bebas
dan respon inflamasi yang berlebihan menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada
neuron dan glial.[9,11]
Fase Subakut/Intermediate

Periode subakut diperkirakan terjadi hingga dua minggu setelah cedera. Karakteristik
dari fase ini adalah respons fagositosis untuk membersihkan debris seluler dan
proliferasi aktif dari astrosit yang membentuk scar yang mencegah regenerasi aksonal.
Meskipun begitu, proliferasi astrosit berperan penting dalam homeostasis ionik dan
pembentukan kembali sawar darah otak, sehingga membatasi imunitas sel dan edema.
[9,10]

Minggu kedua hingga bulan keenam setelah cedera ditandai dengan maturasi scar
astrositik dan regenerasi aksonal yang berkelanjutan.

Fase Kronik

Fase intermediate diikuti oleh fase kronik yang ditandai dengan maturasi dan stabilisasi
scar astrositik, pembentukan syrinx dan kavitas, dan degenerasi wallerian (degenerasi
akson di bagian distal cedera). Sekuele jangka panjang meliputi nyeri kronik dan
spastisitas. Target terapi pada periode ini adalah remyelinisasi dan plastisitas sistem
saraf.

Manifestasi Klinis

1. X-ray Spinal (untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang , fraktur atau
dislokasi)
2. CT Scan Spinal (untuk mengetahui tempat luka/jejas, mengevaluasi
gangguan struktual)
3. MRI Spinal (untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal, edema dan
kompresi).

DIAGNOSTIK

Diagnosis spinal cord injury atau yang dikenal dengan cedera spinal ditegakkan melalui
pemeriksaan menyeluruh meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
Anamnesis
Anamnesis perlu dilakukan untuk menggali kejadian dan resiko dari cedera spinal.

Beberapa hal yang ditanyakan saat melakukan anamnesis pada cedera spinal meliputi :
 Mekanisme cedera : kecepatan berkendara, tipe kendaraan bermotor, kelengkapan
berkendara.

 Keluhan neurologi : Nyeri tulang belakang, kelemahan tangan dan/atau kaki, perubahan
atau hilangnya sensasi pada tangan dan kaki, priapismus, keluhan buang air kecil
(inkontinensia atau retensi urine), keluhan buang air besar, bingung atau tidak
kooperatif

 Riwayat trauma : riwayat penggunaan alkohol atau dibawah pengaruh obat-obatan, riwayat


trauma sebelumnya
 Riwayat penyakit dahulu : Riwayat masalah tulang belakang, riwayat operasi tulang belakang
sebelumnya atau kondisi yang menjadi predisposisi instabilitas tulang belakang lainnya
seperti osteoporosis.[15]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada cedera spinal dapat diawali dengan primary survey mencakup penilaian
jalan napas (airway), pernapasan (breathing), sirkulasi (circulation) dan disability (GCS dan
lateralisasi).
Cedera spinal perlu diduga dan diberikan perhatian khusus pada pasien. Pada pasien poli trauma
dilakukan pemeriksaan kesadaran secara kuantitatif menggunakan score Glasgow Coma Scale.
Skor GCS yang rendah akibat trauma membutuhkan penanganan awal secara menyeluruh.
Selanjutnya dilakukan identifikasi pada tulang belakang meliputi nyeri, edema, jejas, serta posisi
tulang belakang.
Selanjutnya pemeriksaan neurologi secara detail dilakukan berdasarkan American Spinal Injury
Association (ASIA) Impairment Scale berupa pemeriksaan sensorik, motorik dan rektal (sacral
sparing).[2,6,7]
Pemeriksaan Sensorik

Pemeriksaan sensorik berupa sentuhan ringan (light touch) dan pinprick test. Dilakukan pada 28
dermatom (mulai dari C2 sampai S4-5) pada sisi kiri dan kanan tubuh. Setiap modalitas dinilai
secara terpisah mulai dari:
 0 (absent),
 1 (terdapat gangguan sensasi atau hiperestesia),

 2 (normal atau intact)
Total skor maksimal adalah 112 pada masing-masing sisi, kiri dan kanan.[5,6]

Pemeriksaan Motorik
Pemeriksaan motorik meliputi pemeriksaan kekuatan otot pada sepuluh myotom berpasangan
(C5-T1 dan L2-S1) dengan skala:

 0 = Tidak ada kontraksi atau gerakan

 1 = Gerakan minimal

 2 = Gerakan aktif, tidak mampu melawan gravitasi

 3 = Gerakan aktif, melawan gravitasi

 4 = Gerakan aktif, melawan tahanan

 5 = Gerakan aktif, melawan tahanan penuh

Kekuatan motorik dinilai dari kekuatan maksimum yang dicapai tanpa melihat seberapa lama
kekuatan tersebut dapat dipertahankan. Skor kekuatan motorik maksimal ekstremitas atas dan
bawah adalah 50 poin untuk masing-masing sisi tubuh, kiri dan kanan.[2,6]

Pemeriksaan Rektal (Sacral Sparing)

Pemeriksaan rektal dilakukan untuk menilai fungsi motorik dan sensorik pada anal
mucocutaneous junction melalui berbagai pemeriksaan sebagai berikut:
 Sensasi perianal terhadap sentuhan ringan (light touch)
 Pinprick test
 Refleks bulbokavernosus (S3 atau S4),

 Anal wink (S5)
 Rectal tone (pemeriksaan rektal tidak akurat pada pasien trauma yang terintubasi dan dalam
pengaruh obat muscle relaxant (seperti vecuronium, rocuronium))
 Retensi atau inkontinensia urine

Level sensorik merupakan segmen paling kaudal dari medula spinalis dengan fungsi sensorik
yang normal. Begitu juga level motorik, ditentukan dari fungsi motorik pada otot penanda yang
paling rendah dengan kekuatan motorik setidaknya 3/5.[16]

Level cedera saraf (neurological level of injury/NLI) disimpulkan dari segmen paling kaudal dari
medula spinalis yang memiliki fungsi sensorik dan motorik normal pada kedua sisi. Dermatom
dan miotom pada bagian kaudal NLI yang masih memiliki fungsi parsial disebut zona preservasi
parsial (zone of partial preservation/ZPP).[7] Selanjutnya dilakukan penilaian
terhadap American Spinal Injury Association terganggu (ASIA) Impairment Scale sesuai Tabel
1.[5,6,10,16]
Tabel 1. American Spinal Injury Association (ASIA) Impairment Scale
A Complete Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai segmen S4-5
Fungsi sensorik masih baik. Tetapi fungsi motorik tidak baik dibawah
B Sensory incomplete level neurologi hingga segmen S4-5
Fungsi motorik terganggu dibawah level neurologis dan lebih dari
setengah dari otot penanda di bawah NLI memiliki derajat kekuatan
C Motor incomplete otot <3
Fungsi motorik terganggu dibawah level neurologis, dengan
setidaknya setengah atau lebih dari setengah dari otot penanda di
D Motor incomplete bawah NLI memiliki derajat kekuatan otot ≥3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal
Penentuan jenis cedera spinal dilakukan setelah resolusi syok spinal. Syok spinal adalah respon
fisiologis terhadap trauma yang ditandai dengan depolarisasi inisial dari jaringan aksonal segera
setelah cedera.

Selama syok spinal, pasien menunjukkan periode transien flaccid paralysis, arefleksia, termasuk


hilangnya refleks bulbokavernosus. Setelah kembalinya refleks ini, pasien dapat dinilai apakah
mengalami cedera spinal komplit atau inkomplit. Oleh sebab itu, pemeriksaan lengkap dan
bermakna tidak dapat dilakukan pada pasien dengan perubahan atau penurunan tingkat kesadaran
atau pada cedera utama yang belum tertangani.[5]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding spinal cord injury (cedera spinal) adalah hipotensi pada cedera spinal yang
dikaitkan dengan syok hemoragik, syok neurogenik, atau keduanya. Keterbatasan pemeriksaan
membuat kedua diagnosis tersebut sulit dibedakan (Tabel. 2) [2,10]
Tabel 2. Perbandingan syok neurogenik dan syok hipovolemik (syok hemoragik)
Syok neurogenik Syok hipovolemik
Hipotensi Hipotensi
Bradikardi Takikardi
Arefleksia Normo refleks
Respon terhadap vasopressor Respon terhadap penggantian volume
Sumber : dr. Bunga, 2019

Diagnosis banding lain terhadap cedera spinal adalah diseksi aorta, infeksi epidural (spinal
epidural abscess) dan infeksi subdural (empiema subdural), hanging injuries dan strangulasi,
trauma leher, infeksi medula spinalis, sifilis, dan fraktur vertebra.
Kondisi lain yang perlu dipertimbangkan pada pasien yang diduga mengalami cedera tulang
belakang antara lain myelitis transversal, herniasi diskus intervertebralis akut, dan kompresi
medula spinalis ekstradural. [2]

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada cedera spinal mencakup pemeriksaan laboratorium dan pencitraan
seperti CT Scan, MRI, dan foto servikal. Pencitraan memegang peranan penting dalam
menentukan level cedera spinal. Indikasi untuk pemeriksaan ini adalah pasien trauma dengan
keluhan nyeri leher, nyeri tulang belakang, memiliki tanda atau gejala defisit neurologi yang
berhubungan dengan medula spinalis, serta pasien yang sulit diperiksa (penurunan kesadaran,
tidak kooperatif, inkoheren, atau intoksikasi).[6,15]

XRay
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan untuk menentukan spinal cord injury adalah sebagai
berikut:
CT-scan: CT-scan dilakukan pada pasien sesuai Canadian C-spine rule atau terdapat kecurigaan
cedera torakal atau lumbosakral yang berhubungan dengan abnormalitas gejala neurologi.
Potongan koronal dan sagital pada CT-scan lebih sensitif dibanding foto polos dalam mendeteksi
fraktur spinal, khususnya fraktur pada regio occipitocervical pada cervicothoracic junction. CT
angiografi dilakukan untuk menyingkirkan diseksi karotid/vertebral berdasarkan modifikasi
kriteria skrining Denver pada blunt cerebrovascular injury.[2,10,15,17]
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pada kasus traumatik peran MRI pada kasus akut cedera spinal belum jelas sepenuhnya, tetapi
pemeriksaan ini direkomendasikan pada 48 jam pasca trauma pada pasien dengan parestesia
untuk menyingkirkan cedera servikal dan melepas collar neck.
Pemeriksaan MRI diindikasikan pada pasien yang memenuhi kriteria National Emergency X-
Radiography Utilization Study (NEXUS) dan Canadian Cervical-Spine Rule (CCR) dengan
kecurigaan adanya myelopathy dan cedera pada ligamen.MRI sagital T2-weighted
sequence adalah baku emas dalam evaluasi:
 Kompresi aktif medula spinalis / cedera vaskular : perdarahan, kontusio, iskemia, infark, edema

 Cedera ligamen akut

 Cedera pada posterior ligamentous complex (PLC)


 Cedera diskus intervertebra .[17,18].

Pada kasus non traumatik, penggunaan MRI diperuntukan untuk melihat sebab terjadinya cedera
spinal. Seperti :
 Massa pada intradura

 Degenerative disk
 Tumor pada medula spinal

 Penyakit demielinisasi

 Penyakit autoimmune.

Cervical spine X-ray: Foto polos tulang belakang dilakukan dengan posisi AP dan lateral, serta
odontoid sebagai tambahan. Berdasarkan Protokol NEXUS, pasien dengan risiko rendah
fraktur/subluksasi/dislokasi tidak memerlukan pemeriksaan foto polos servikal.
Kriteria  NEXUS tersebut adalah sebagai berikut:

 Tidak ada nyeri pada garis tengah servikal posterior

 Tidak ada intoksikasi

 Status mental normal

 Tidak ada nyeri pada cedera lainnya

 Tidak ada defisit neurologi.

Menurut CCR, pemeriksaan foto polos servikal diindikasikan pada pasien dengan risiko tinggi,
seperti :

 Usia >65 tahun, atau

 Mengalami mekanisme cedera yang berbahaya : Jatuh dari ketinggian > 1 meter,axial load pada
kepala saat menyelam, kecelakaan kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi >100
km/jam, rollover, terlempar, kendaraan bermotor rekreasional, kecelakaan sepeda, atau
 Mengalami parestesia pada ekstremitas

 Dan pasien yang tidak mampu melakukan rotasi leher 45o ke arah kiri dan kanan.[6,7,15]
Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada cedera spinal antara lain :

 Analisa gas darah dapat digunakan dalam evaluasi oksigenasi dan ventilasi.

 Kadar laktat untuk monitoring status perfusi dalam menentukan terjadinya syok.

 Hemoglobin dan hematokrit awal dan serial diperlukan untuk mendeteksi dan monitoring sumber
perdarahan.
 Urinalisis untuk mendeteksi cedera urogenital.[2]

Pemeriksaan ini tidak spesifik pada cedera spinal, tetapi dibutuhkan untuk monitoring cedera
spinal selanjutnya.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan awal spinal cord injury atau cedera spinal berfokus pada prosedur
life-saving sesuai protokol Advanced Trauma Life Support (ATLS®). Manajemen
jalan napas sangat penting terkait komplikasi sistem respirasi yang menjadi
penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada cedera spinal dengan insidensi
antara 36% hingga 83%, hal ini disebabkan oleh berkurangnya kapasitas vital,
retensi sekret dan disfungsi otonom. Karena hipotensi dan iskemia-reperfusi adalah
faktor yang diketahui sebagai cedera sekunder, step B dan C pada protokol
ATLS® seperti oksigenasi segera dan penggantian volume secara agresif sangat
penting.[6,7]

Persiapan Rujukan

Pasien dengan cedera spinal sebaiknya dirujuk ke rumah sakit dengan trauma
center yang kompeten. Rumah sakit harus memiliki kemampuan modalitas
neuroimaging dengan ketersediaan ahli bedah ortopedi atau bedah saraf [17,18]

Pada manajemen pre-hospital dianjurkan penggunaan cervical hard collar pada


hard backboard terpasang pada pasien dengan tujuan mobilisasi posisi normal
vertebra (spinal alignment). Namun, beberapa studi mengemukakan penggunaan
cervical collar tidak secara sempurna mengimobilisasi cervical spine (c-spine).
Banyak negara maju dengan manajemen pre-hospital yang baik tidak lagi
menggunakan cervical hard collar dalam transportasi pasien.

Studi menemukan penggunaan cervical hard collar berkepanjangan dapat


menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, pressure injury, dan risiko
pneumonia aspirasi pada pasien muntah. Dianjurkan imobilisasi cervical spine (c-
spine) dilakukan dengan cara meletakan pasien dalam posisi terlentang dengan
menggunakan soft head block atau plester dan handuk tergulung. Namun,
dibutuhkan penelitian lebih lanjut penggunaan cervical hard collar, dibandingkan
dengan soft head block serta plester dan handuk tergulung untuk manajemen pre-
hospital. [19]
Selanjutnya stabilisasi medis berupa pemeriksaan tanda vital, pemasangan NGT,
dan pemasangan kateter urine. Imobilisasi pada posisi normal vertebra ( dengan
metode log roll adalah protokol standar manajemen pre hospital.[2]

Farmakologis

Tujuan farmakoterapi pada cedera spinal adalah meningkatkan fungsi motorik dan
sensorik.

Penggunaan methylprednisolone sebagai terapi utama cedera spinal akut masih


kontroversial. Beberapa studi melaporkan adanya efek samping terkait pemberian
methylprednisolone dosis tinggi, seperti perdarahan gastrointestinal dan
kecenderungan peningkatan adverse event lainnya. The Congress of Neurological
Surgeons (CNS) menyatakan pemberian terapi steroid hanya boleh dilakukan jika
efek samping lebih kecil dibanding manfaat klinis.[6]

Pada pasien acute spinal cord injury (cedera spinal akut) dengan defisit neurologi,
pemberian methylprednisolone dosis tinggi 8 jam pasca cedera terbukti
meningkatkan pemulihan neurologi dan mengurangi efek sekunder dari cedera
spinal akut. Dosis yang dianjurkan adalah methylprednisolone 30 mg/kgBB
diberikan secara bolus intravena selama 15 menit, diikuti jeda 45 menit dan
dilanjutkan maintenance 5,4 mg/kkgBB/jam selama 24 jam kemudian.
methylprednisolone dipercaya dapat mengurangi edema, mencegah deplesi kalium
intraseluler dan menghambat peroksidasi lipid.[6]

Pemberian obat analgetik menjadi modalitas penting dalam manajemen nyeri.


Analgetik yang disetujui Food and Drug Administration (FDA) dalam manajemen
nyeri neuropatik terkait cedera spinal adalah pregabalin.[2,6,7]

Pembedahan

Edema dan perdarahan progresif berkontribusi terhadap kerusakan mekanik pada


sirkulasi mikrovaskuler. Tindakan dekompresi bedah bertujuan untuk mengurangi
tekanan tersebut sehingga mengurangi hipoksia dan edema sekunder.

Indikasi bedah dekompresi ini antara lain jika terdapat gangguan neurologis
progresif, fraktur yang tidak bisa dilakukan atau tidak berespon terhadap reduksi
tertutup, fraktur vertebra tidak stabil. Tindakan ini dapat dilakukan pada 24 jam
pertama.[6]

Rehabilitasi

Rehabilitasi bertujuan untuk mempertahankan mobilitas dan aktivitas sebanyak


mungkin serta mencegah cedera lebih lanjut. Rehabilitasi awal antara lain
mencegah kontraktur dan hilangnya kekuatan otot, mempertahankan densitas
tulang, dan memastikan sistem pernapasan dan pencernaan berfungsi normal.

Pendekatan interdisipliner sangat penting dalam rehabilitasi cedera spinal. Tim


dipimpin oleh seorang fisioterapis dan terdiri dari keluarga pasien, fisioterapis,
terapis okupasi, ahli gizi, psikolog, ahli terapi wicara, pekerja sosial dan spesialis
konsultan lain yang diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai