Anda di halaman 1dari 55

REFERAT

POSTMORTEM DETECTION OF BENZODIAZEPINE

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Menempuh Program


Pendidikan Profesi Dokter

DOSEN PEMBIMBING
Saebani, SKM, M.Kes

RESIDEN PEMBIMBING
dr. Dadan Rusmanjaya

DISUSUN OLEH :
Stefanus UKRIDA
Steven Lie UKRIDA
Novita Sari UKRIDA
Octaviani S.J UKRIDA
Roza Edlabora UNIB
Ayulita Hana Fadhila UPN

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL RUMAH SAKIT UMUM
PUSAT DR. KARIADI SEMARANG PERIODE 7 AGUSTUS– 2 SEPTEMBER 2017

Page | 1
TERJEMAHAN JURNAL

Page | 2
BAB I
JURNAL

Deteksi Benzodiazepine Postmortem

Hooman Rowshan
Department of Pharmacy, University of Florida, Gainessville, FL

Alamat Email

hrowshan@fastmail.us

Abstract

Lebih dari 2000 jenis benzodiazepine (BZD) yang berbeda telah disintesis. Terdapat sekitar tiga lusin derivat
BZD yang juga tersedia dipasaran. Obat-obatan ini terlibat dalam kematian mendadak dan tidak dapat dijelaskan
terutama saat dicerna dengan alkohol. Interpretasi data toksikologi forensik postmortem sangatlah sulit dan
harus dilakukan dengan mengetahui seluruh kejadian kasus, termasuk hasil otopsi, laporan dari tempat kejadian,
dan riwayat medis yang ada. Ahli toksikologi forensik yang berpengalaman bergantung pada pengalaman kasus
mereka sendiri dan keunikan dari setiap kasus yang diteliti. Meskipun dilengkapi dengan data toksikologi yang
detil, masih sulit untuk menentukan penyebab kematian saat beberapa zat dicerna pada saat bersamaan.

Kata Kunci Pharmacology, Forensic Toxicology, Benzodiazepines, Clinical Pharmacology, Emergency


Medicine, Psychiatric Drugs, Postmortem Forensic Examination, Forensic Medicine

1. Pendahuluan
Seorang ahli kimia Austria bekerja untuk farmasi raksasa Hoffmann-La Roche adalah
seorang ilmuwan pertama yang menemukan BZD. Namanya adalah dr. Leo Stembach. Dia
menemukan obat tersebut pada tahun 1954. Kegunaan dan keunggulan golongan obat ini
tidak segera diketahui. Namun keunggulan BZD atas obat-obatan lainnya diketahui tidak
lama setelah penemuannya. Hal ini menyebabkan BZD pertama dipatenkan pada tahun 1959.
Pada tahun 1960, sebuah obat baru bernama Librium (chlordiazepoxide) diperkenalkan ke
seluruh dunia. Keingintahuan terhadap obat BZD dan kegunaan medisnya terus bertambah.
Peneliti melanjutkan dengan tes tambahan terhadap senyawa kimia terkait, yang berakhir

Page | 3
pada penemuan dan pengenalan obat diazepam (Valium). Valium memulai debutnya pada
tahun 1963 dan masih merupakan obat yang secara luas diresepkan untuk mengobati gejala
kecemasan. Valium memiliki potensi penyalahgunaan yang tinggi dan merupakan obat yang
banyak disalahgunakan, terutama pada tenaga kesehatan.1
Diazepam merupakan sebuah zat anti cemas dan kira-kira tiga kali lebih ampuh dari
chlordiazepoxide dengan sifat relaksasi otot yang lebih besar. Penelitian pada BZD terus
berlanjut dan berujung pada penemuan dari beberapa derivat BZD seperti nitrazepam
(Mogadon), flurazepam (Dalmane) dan alprazolam (Xanax). Xanax juga merupakan obat
yang sangat popular untuk disalahgunakan. Sekitar pertengahan tahun 1970-an, lebih dari
8000 ton BZD terjual setiap tahunnya. Sekarang, lebih dari 2000 jenis benzodiazepine (BZD)
yang berbeda telah disintesis. Terdapat sekitar tiga lusin derivat BZD yang juga tersedia
dipasaran.3

2. Epidemiologi
BZD sering ditemukan dalam survei overdosis. BZD umumnya dikonsumsi bersama
obat lain. Obat ini jarang mengakibatkan kejadian fatal. Overdosis yang diakibatkan BZD
lebih sering ditemukan pada usaha bunuh diri daripada akibat penggunaan rekreasi. Dalam
hal ini, overdosis semacam itu serupa dengan yang umumnya terlihat dengan penggunaan
obat-obat psikoterapis dan tidak menyerupai kasus khas akibat penyalahgunaan obat-obatan.
Karena penggunaannya yang sangat luas, golongan obat BZD memiliki potensi
penyalahgunaan yang tinggi. Selain itu, BZD sering digunakan dalam kasus overdosis, baik
sebagai zat tunggal atau dengan kombinasi bersama zat lainnya. Alkohol sering dikaitkan
sebagai sinergis pada kejadian overdosis BZD.27 Pada tahun 2008, sebanyak 78.443 kasus
penggunaan zat tunggal BZD dilaporkan ke pusat kontrol racun AS. Dari kasus yang
dilaporkan, sebanyak 332 kasus (0,004%) mengakibatkan keracunan berat dan 8 kasus
(0,0001%) mengakibatkan kematian. Di Inggris selama tahun 1980-an, tingkat kematian
secara keseluruhan adalah 5,9 per satu juta resep untuk BZD. Penggunaan temazepam dan
flurazepam dikaitkan dengan efek paling toksik pada kasus yang dilaporkan. Data survei dari
Amerika Serikat telah menunjukkan terus menurunnya penggunaan BZD nonmedis pada
populasi umum.28 Penggunaan terapeutik sebagian besar beralih dari BZD lama yang bekerja
lebih panjang ke BZD yang bekerja lebih singkat yang baru tersedia belum lama ini.

Page | 4
Dalam artikel ini saya membahas tantangan yang dihadapi oleh ahli toksikologi
forensik dalam mendeteksi BZD dalam cairan biologis postmortem dan menentukan analit
yang menjadi penyebab kematian.

3. Kimia

Istilah BZD adalah nama kimia untuk sistem cincin heterosiklik, yang dibentuk dengan
menggabungkan satu benzena dan satu cincin diazepine. Benzena adalah sebuah senyawa
kimia organik yang memiliki formula molekul C6H6.1 Benzena merupakan komponen alami
dari minyak mentah, dan merupakan salah satu dari petrokimia paling dasar. Benzena adalah
sebuah hidrokarbon aromatic, yang [n]-annulene keduanya, dan hidrokarbon siklik dengan
ikatan pi kontinyu. Hal ini juga terkati dengan kelompok fungsional hidrokarbon aromatic
yang dikenal sebagai aren yang merupakan struktur umum dari benzena.1 Diazepine adalah
senyawa heterosiklik yang memiliki tujuh anggota dengan dua atom nitrogen. Ketika
digabungkan dengan cincin benzena, senyawa itu membentuk dasar struktural golongan obat
BZD. Dalam obat-obatan ini, atom nitrogen berada di posisi 1 dan 5, sebagai contoh ,
Clobazam. Bergantung pada posisi cincin benzena, atom nitrogen juga dapat diberi nomor 1
dan 4. Obat BZD disubstitusi 1,4-Benzodiazepine, tetapi perumusan kimia ini tidak cukup
spesifik karena rumus ini juga dapat merujuk pada senyawa lain yang tidak memiliki sifat
farmakologis aktif.2
Obat BZD dapat dibedakan berdasarkan rantai sampingnya yang menempel pada
kerangka struktur sentral. Rantai sampingnya yang berbeda mempengaruhi afinitas molekul
untuk mengikat reseptor asam-aminobutyric (GABA). Pengikatan inilan yang memodulasi
sifat farmakologis BZD. Banyak obat BZD yang aktif secara farmakologis mengandung
struktur 5-fenil-1H-benzo[e][1,4] diazepin-2(3H). Mekanisme aksi dari Gamma-aminobutyric
acid (GABA) adalah penghambat utama neurotransmitter di SSP. BZD memediasi efeknya
dengan mempotensiasi aktivitas GABA. Ketika BZD mengikat reseptor spesifik di kompleks
reseptor GABA, hal itu memfasilitasi pengikatan GABA ke tempat reseptor spesifik. Hasil
pengikatan BZD sering kali membuka saluran klorida yang merupakan bagian dari reseptor

Page | 5
GABA. Ketika saluran klorida terbuka, akan menghasilkan hiperpolarisasi membrane, yang
akan menghambat depolarisasi selular. Peningkatan neurotransmisi GABA menyebabkan
efek sedasi, relaksasi otot, anxiolysis, dan efek antikonvulsan. Ketika sistem saraf perifer
distimulasi oleh neurotransmisi GABA, reseptor GABA saraf perifer dapat menyebabkan
kontraktilitas dan vasodilatasi jantung menurun. Perubahan ini berpotensi mengubah perfusi
jaringan.6,7
Tingkat di mana BZD memediasi onset aksinya dipengaruhi oleh kemampuan obat
untuk melewati sawar darah otak. Ada beberapa BZD yang bersifat lipofilik relatif. Untuk
alasan ini, BZD tersebut biasanya menghasilkan onset aksi yang lebih cepat dibandingkan
dengan BZD yang dapat larut dalam air. Efek BZD dapat ditingkatkan dengan konsumsi
bersama ethanol. Puncak konsentrasi darah sebagian besar obat BZD terjadi dalam 1-3 jam
setelah pemberian oral. Setelah pemberian dosis tunggal, BZD lipofilik akan memiliki durasi
aksi yang lebih pendek (efek SSP yang lebih singkat) dibandingkan dengan senyawa BZD
yang larut dalam air. Hal ini disebabkan oleh redistribusi yang cepat Dari SSP ke perifer
seperti jaringan adiposa. Oleh karena itu, lorazepam, BZD yang larut dalam air, memiliki
durasi aksi pada SSP yang lebih lama daripada diazepam, yang lebih bersifat lipofilik.
Namun, diazepam memetabolisme menjadi zat antara aktif yang memperpanjang masa
paruhnya dan dengan demikian memperluas efek terapeutik obat ini.8 BZD dimetabolisme
terutama di hati. Hal ini dilakukan melalui proses oksidasi dan / atau konjugasi. Saat tubuh
memetabolisme sebagian besar BZD, mereka menghasilkan metabolit yang aktif secara
farmakologi. Metabolit ini sering memiliki umur paruh yang lebih lama daripada senyawa
induk aslinya.8

4. Pemeriksaan Forensik Benzodiazepin Postmortem


Deteksi obat pada spesimen postmortem secara rutin dilakukan sebagai bagian dari
otopsi forensik. Hasil pemeriksaan toksikologi sering membantu penegakan hukum saat
sampai pada penyebab kematian. Awalnya, analisis toksikologi akan membantu petugas
pemeriksa mayat, pemeriksa medis, atau yang setara dalam membangun bukti penggunaan
narkoba. Sebagai alternatif, data toksikologi dapat membantu membantah penggunaan
narkoba sebagai penyebab kematian. Selain itu, hal ini merupakan faktor penting dalam
otopsi forensik karena pemeriksaan patologis saja tidak akan mengungkapkan bukti
penggunaan narkoba. Penggunaan narkoba hanya dapat dikonfirmasi dengan prosedur
toksikologi yang dilakukan dengan tepat pada sampel yang dikumpulkan dengan tepat.

Page | 6
Pastinya, dalam kasus kematian yang tiba-tiba atau tidak dapat dijelaskan, bukti penggunaan
narkoba dapat menyebabkan penyebab kematian, atau paling tidak, menunjukkan bukti yang
menunjukkan penyalahgunaan obat-obatan terlarang, penyalahgunaan obat-obatan terlarang,
ataupun bunuh diri.12
Penyalahgunaan obat di sini didefinisikan sebagai kasus di mana dosis yang tidak tepat
atau kombinasi obat yang tidak tepat dikonsumsi. Penyalahgunaan obat di sisi lain
menunjukkan kasus penggunaan obat-obatan terlarang dan biasanya digunakan untuk
rekreasi. Tidak ada istilah yang dimaksudkan untuk usaha bunuh diri. Analisis toksikologi
sangat penting dalam kasus pembunuhan, di mana obat mungkin diberikan oleh pelaku untuk
mengurangi kesadaran korban. Data toksikologi juga berharga dalam kasus dimana korban
menggunakan narkoba dalam usaha bunuh diri. Dalam situasi ini, pengaruh obat terhadap
perilaku korban mungkin berguna dalam pengadilan pidana, tidak harus mengurangi maksud
terdakwa, namun untuk merekonstruksi, sedekat mungkin, rangkaian kejadian yang
menyebabkan tindakan tersebut terjadi.15
Rekonstruksi semacam itu mungkin melibatkan pembuktian oleh saksi yang mungkin
telah mengamati perilaku penggunaan obat korban. Obat tipikal yang digunakan dalam kasus
tersebut adalah alkohol, amfetamin, dan kokain. Tetapi dalam kasus bunuh diri, ahli
toksikologi sering menemukan satu atau lebih dari BZD seperti alprazolam, diazepam,
flunitrazepam, dan lain-lain. Darah adalah spesimen yang paling berguna dan merupakan
cairan biologis yang umum dikumpulkan selama otopsi untuk analisis toksikologi. Darah
sangat bermanfaat karena obat yang ada dalam cairan ini paling mendekati efek fisiologis
yang diamati pada jenazah dan dapat digunakan untuk menilai kemungkinan penggunaan
obat baru-baru ini atau paparan bahan kimia beracun.
Terdapat masalah yang berhubungan dengan pengumpulan darah selama pemeriksaan
postmortem. Masalah utamanya adalah fenomena redistribusi obat postmortem. Hal ini
mengacu pada proses dimana pergerakan obat-obatan dan racun kimia lainnya terjadi diantara
jaringan, organ, dan cairan tubuh setelah kematian. Masalah lainnya adalah biotransformasi
setelah kematian. Hal ini terutama berlaku untuk kelas BZD tertentu yang akan dibahas nanti.
Urin adalah sumber spesimen lain dan sering dikumpulkan untuk analisis toksikologi.
Karena konsentrasi obat dan metabolitnya biasanya jauh lebih tinggi dalam darah daripada
urin, kadar konsentrasi urin memberikan patokan yang lebih realistis untuk menilai
penggunaan obat selama satu atau dua hari sebelumnya. Urin dapat dikumpulkan selama
otopsi oleh pembukaan perut, atau dengan tusukan langsung ke kandung kemih. Namun
untuk deteksi BZD dalam pemeriksaan postmortem, hati dan darah adalah metode yang

Page | 7
paling disukai. Urin dan serum paling tidak disukai dalam pemeriksaan postmortem karena
urine dan serum paling sering digunakan dalam analisis antemortem. Ada beberapa metode
untuk mendeteksi obat dalam urin. Metode yang paling sering adalah enzyme immunoassay
(EIA), atau radioimmunoassay (RIA), dan florescence polarization immunoassay (FPIA).
Ada beberapa tambahan metodologi yang lebih canggih yang bisa dilakukan pada ekstrak
urin. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan KLT, kromatografi cair KLT (KCKT) atau
gas chromatography / mass spectrometry (GS / MS).
Satu-satunya prosedur yang dapat diterima untuk analisis urin yang juga memasukkan
definisi National Institute of Drug Abuse (NIDA), dan Departemen Pertahanan (DOD),
adalah immunoassays yang diikuti dengan konfirmasi kromatografi gas / konfirmasi
spektrometri massa.
Hati adalah jaringan yang disukai untuk analisis toksikologi karena obat sering
ditemukan pada konsentrasi yang lebih tinggi daripada di dalam darah. Hati mudah
dihomogenisasi dan merupakan organ utama untuk transformasi xenobiotik. Sampel hati
harus dikumpulkan dari semua kasus penggunaan obat-obatan yang dicurigai. Beberapa
bagian dengan berat 100 g cukup untuk sebagian besar analisis toksikologi. Lobus kanan hati
adalah tempat yang disukai untuk pengumpulan sampel. Lobus kanan paling tidak rentan
terhadap difusi obat postmortem dari isi usus atau dari sirkulasi mesenterika. Analisis
kandungan obat berikut ini biasanya dilaporkan sebagai miligram per kilogram berat jaringan
basah. Spesimen yang dianalisis dalam kasus postmortem paling sering adalah darah dan hati,
dibandingkan urin dan serum. Penggunaan darah, hati, dan semua spesimen postmortem
lainnya memerlukan validasi terpisah yang mungkin sangat berbeda dari yang digunakan
dalam pemeriksaan antemortem. Metode toksikologi yang digunakan memerlukan modifikasi
dalam analisis postmortem untuk memastikan pemulihan ekstraksi yang dapat dipercaya,
tingkat interferensi yang rendah, dan hasil kuantitatif yang dapat direproduksi. Perhatian
khusus harus diberikan pada faktor-faktor ini sehingga sebagian atau seluruhnya spesimen
yang terbuang bebas dari gangguan yang biasanya berasal dari zat endogen.
Nilai batas yang sering digunakan di tempat kerja, olahraga, dan pengujian obat tidak
lagi berlaku dalam pemeriksaan postmortem yang melibatkan spesimen selain urin. Selain itu
perhatian lebih harus diberikan untuk menghindari pemeriksaan urine postmortem yang
bergantung pada nilai batas yang digunakan untuk pengujian obat antemortem. Alasan untuk
modifikasi ini diperlukan karena kehadiran bahkan sedikit konsentrasi obat mungkin
memiliki signifikansi forensik dalam pemeriksaan postmortem. Hal yang sama mungkin tidak
terjadi dalam pengujian obat antemortem rutin. Penting bagi prosedur penyaringan obat untuk

Page | 8
mencakup kategori obat terlarang. Pemeriksaan urine atau darah menggunakan salah satu
immunoassays komersial, atau bahkan kromatografi lapis tipis (KLT), biasanya merupakan
langkah awal yang direkomendasikan untuk kelas obat utama. Kelas obat ini meliputi
amfetamin, barbiturat, BZD, cannabinoids, metabolit kokain, dan opiat sejenis morphinelike.
Penggunaan teknik ekstraksi pelarut pada pH asam, atau pengendapan sederhana
protein darah dengan asetonitril memungkinkan BZD yang lebih kuat terdeteksi dengan
bantuan HPLC gradien dengan deteksi jarak jauh multiwavelength atau foto-diode. Prosedur
ekstraksi dasar menggunakan butil klorida atau prosedur ekstraksi fase padat dengan kartrid
octadecylbonded atau kartrid fase campuran memberikan ekstrak yang cukup bersih dari
darah postmortem atau jaringan lain yang mungkin sesuai untuk analisis dengan kromatografi
gas kapiler (GC) dengan detektor ionisasi nyala (FID).
Penggunaan detektor spektrometri amass lebih disukai dalam pemeriksaan postmortem
sampel darah. Hal tersebut memungkinkan deteksi secara simultan dan konfirmasi, walaupun
detektor nitrogen fosforus dapat memberikan sensitivitas yang lebih tinggi untuk berbagai zat
dibandingkan dengan pemindaian penuh dari MS. Detektor elektron sangat berguna untuk
deteksi benzodiazepin. Konfirmasi yang memanfaatkan kromatografi gas/spektometri massa
dibutuhkan karena metodologi penapisan menggunakan imunoassay dapat memberikan hasil
positif palsu karena reaksi silang. Hal ini disebabkan karena penapisan tersebut tidak dapat
secara spesifik mengidentifikasi obat tersebut. Bahkan, antibodi dapat mengenali zat yang
memiliki struktur kimia yang sama dan yang secara imunologis atau enzimatis reaktif tapi
berbeda dari obat yang diminati.
Sebagai contoh, imunoassay untuk amfetamin menunjukkan reaksi silang yang
berlebihan dengan obat yang strukturnya mirip dengan amfetamin seperti
simpatomedikoamin, fenilpropanolamin dan efedrin. Mereka juga menunjukkan reaksi silang
yang berlebihan dengan obat legal yang tersedia untuk kongesti nasal, flu, dan penekan nafsu
makan. Karena alasan ini, konfirmasi dibutuhkan dengan kromatografi gas/kromatografi
massa. Kombinasi antara kromatografi gas/ kromatografi massa menyediakan indeks
reabilitas yang sangat tinggi ketika dilakukan dengan benar. Walaupun prosedur diatas
biasanya digunakan berhubungan dengan spesimen urin antemortem, bila prosedur tersebut
digunakan untuk urin postmortem, metode ini harus disesuaikan dan di validasi ulang seperti
yang sudah didiskusikan sebelumnya. Selain itu seperti yang sudah disebutkan, pada analysis
obat postmortem, sampel matriks yang paling sering digunakan adalah darah. Perubahan
postmortem dapat mendenaturasi matriks, yang menyebabkan hilangnya atau degradasi dari
obat. Hal ini, dapat menyebabkan kekeliruan temuan analisis.10

Page | 9
Sejumlah obat mampu menjalani perubahan kimia pasca kematian pada tubuh.
Perubahan kimia ini mungkin antara diperantarai metabolisme atau dapat disebabkan oleh
proses degradasi spontan. Obat yang mengandung nitro seperti benzodiazepin, nitrazepam,
klonazepam, nitrazepam, flunitrazepam, dan lainnya, mengalami biotransformasi secara cepat
pasca kematian. Biotransformasi ini menghasilkan metabolit dari masing-masing obat.
Perubahan cepat ini dikarenakan reaksi dari beberapa bakteri yang diketahui sebagai
“anaerob obligat”. Ahli toksikologi harus memfokuskan pemeriksaan pada produk dari
biotransformasi benzodiazepin dibandingkan dengan berusaha untuk menginsolasi obat
secara utuh. Ketidakstabilan kimia timbul pada obat golongan besar dan metabolitnya.9
Hal ini dibenarkan pada kasus-kasus dimana spesimen dibekukan ditempat yang tepat.
Beberapa benzodiazepin dan metabolit benzodiazepin menunjukkan kehilangan yang
bergantung waktu. Pada satu studi, GC dan teknik imunoassay digunakan untuk darah dan
spesimen urin dibandingkan keefektifannya sebagai alat penapisan untuk deteksi
benzodiazepin pada toksikologi forensik postmortem. Peneliti menemukan pada metode GC
untuk analisis darah pada kasus-kasus postmortem merupakan alternatif yang baik dengan
kombinasi umum dari imunoassay urin yang diikuti dengan pemisahan GC dari spesimen
darah.9
Penulis mencatat “pada toksikologi forensik postmortem, metode GC untuk darah dapat
menjadi alternatif yang baik dengan kombinasi umum dari imunoassay urin yang diikuti
dengan analisis kuantitatif darah dengan kromatografi”. Kekurangan dari metode GC yang
sekarang adalah walaupun grup amino dari gugus amino ke-7 dari metabolit klonazepam dan
flunitrazepam tidak disililasi pada prosedur sililasi, dan akibatnya batas deteksi dari metabolit
ini tinggi.16
Salah satu dari faktor yang paling penting yang mempengaruhi intrepretasi dari
konsentrasi obat postmortem adalah fenomena yang dikenal sebagai “redistribusi
postmortem”. Istilah “redistribusi postmortem” digunakan untuk mendeskripsikan
perpindahan obat dalam tubuh setelah kematian. Efek redistribusi ini meghasilkan
konsentrasi obat dalam darah secara signifikan meningkat dibandingkan, sesaat setelah
kematian. Redistribusi postmortem merupakan fenomena kompleks, dan mungkin melibatkan
beberapa mekanisme pada tingkatan yang berbeda.
Kontributor pertama dan mungkin kontributor utama pada kebanyakan kasus adalah
pelepasan dan difusi obat setelah kematian dari jaringan atau organ yang konsentrasi obatnya
tinggi (biasanya paru-paru dan hati) ke pembuluh darah jantung dan paru yang terdekat.
Mekanisme sudah teridentifikasi dengan jelas pada beberapa obat. Mekanisme yang lebih

Page | 10
akurat pada tahapan biomolekular belum teridentikasi, akan tetapi terdapatnya perubahan pH
dan struktur protein yang muncul setelah kematian, yang akhirnya mengganggu karateristik
ikatan protein dari obat. Obat seperti trisiklik antidepresan yang berkonsentrasi pada organ
utama melalui ikatan protein dan molekul lain lebih cenderung mengalami redistribusi
melalui difusi dan masuk ke pembuluh darah.36
Haruslah dicatat walaupun beberapa ahli toksikologi merujuk pada redistribusi
postmortem dari jantung, sebagian besar dari redistribusi muncul dari paru-paru dan hati.
Berbeda dengan trisiklik antidepresan, benzodiazepin melalui redistribusi postmortem yang
sangat kecil karena mereka tidak berkonsentrasi pada organ-organ utama yang berhubungan
erat dengan darah.17 Secara umum, tidak bisa dipungkiri bahwa vitreus humor tidak begitu
terpengaruh oleh perubahan yang diamati di darah.24
Untuk menilai kegunaan dari vitreous humor untuk menganalisa obat benzodiazepin,
Scott dan koleganya memperoleh vitreous humor postmortem dan darah dari 27 kasus
postmortem. Mereka menginvestigasi tiga obat benzodiazepin. Obat ini adalah temazepam,
diazepam dan demetildiazepam. Untuk temazepam dan diazepam, peneliti menemukan
korelakasi antar matriks (R2 = 0.789 dan 0.724, masing-masing). Tetapi untuk
demetildiazepam, tidak ada korelasi yang terdeteksi (R2 = 0.068). Analisis plot regresi pada
vitreus humor dibandingkan dengan konsentrasi darah menunjukkan gradien yang kurang
dari 1.0 yang artinya kadar dalam darah lebih tinggi dibandingkan kadar dalam vitreous
humor.24
Darah dari femur yang umumnya diterima sebagai spesimen yang paling bisa
diandalkan untuk analisis obat pada toksikologi forensik postmortem.43 Terdapat data yang
menunjukkan bahwa konsentrasi obat pada sampel darah perifer mendekati konsentrasi
antemortem dibandingkan dengan konsentrasi pada darah di jantung.13 Pada kasus dimana
ditemukan overdosis yang diberitahukan sebagai bukti dalam pengadilan, sebuah sampel
darah untuk pemeriksaan toksikologi dianggap tidak cukup. Pada kasus ini, analisis dari
beberapa sampel darah dan jaringan dapat membantu untuk meningkatkan kemungkinan
untuk mencapai kesimpulan yang tepat.13
Terdapat pula fakotr lain untuk dipertimbangkan dalam menentukan kuantitas
benzodiazepin dalam darah postmortem. Sebagai contoh ketika keseimbangan dari antar
benzodiazepin lorazepam, estazolam, klordiazepoxide dan ketazolam diperkirakan ada dalam
darah postmortem yang disimpan dalam temperatur yang berbeda dalam kurun waktu paling
sedikit enam bulan, ditemukan bahwa kestabilan dari agen ini tetap dalam temperatus yang
bervariasi antara 20oC dan -80oC. Akan tetapi pada kasus estazolam, terbukti merupakan

Page | 11
benzodiazepin yang paling stabil pada studi-studi. Benzodiazepin yang paling tidak stabil dari
hasil studi merupakan ketzolam karena obat tersebut tidak meninggalkan sisa setelah kurang
lebih dua minggu pada setiap sampel darah. Ketazolam menguap pada temperatur ruangan
dan lebih dari 8 atau 12 minggu pada suhu 4oC, dengan deteksi simultan terhadap diazepma.
Chlordiazepoxide juga mengalami degradasi komplit pada semua sampel. Sebelum
penyimpanan dari semua sampel darah, teknik ekstraksi padat digunakan pada semua sampel
darah, dan perhitungan kuantitas benzodiazepin dilakukan dengan deteksi kinerja tinggi
kromatografi cair-dioda-array.50 Hasil ini menunjukkan bahwa pada sampel darah
postmortem yang disimpan dalam jangka waktu panjang pada kondisi yang bervariasi,
keberadaan dari beberapa kelas benzodiazepin harus diamati dengan perhatian.
Perlu dicatat nilai refrensi konsentrasi obat dalam jaringan jarang ada. Data diatas
menunjukkan bahwa terdapat difusi obat postmortem dikarenakan perbedaan konsentrasi
mulai dari kompartemen yang konsentrasinya tinggi seperti organ-organ padat ke darah yang
mengakibatkan peningkatan konsentrasi obat dalam darah. Konsentrasi obat tertinggi
biasanya ditemukan di pembuluh darah utama seperti arteri vena pulmonaris dan konsentrasi
terendah ditemukan di permbuluh darah perifer seperti vena subclavia dan femoral. Hal ini
disebabkan karena efek redistribusi postmorem seperti yang sudah didiskusikan sebelumnya.
Metode analisis yang paling umum digunakan untuk mendeteksi benzodiazepin akan
ditunjukkan di tabel yang sudah dirangkum dibawah ini:

Page | 12
Tabel 1. Rangkuman uji analisis perhitungan benzodiazepin pada darah atau hati
postmortem.
Nama Prosedur Antemortem Postmortem Efikasi
Radioimmunoassay Urin/serum XXX
Enzyme immunoassay Urin/serum Darah/ hati XX
(EIA)
Fluorescence Urin/serum XXX
polarization
immunoassay (FPIA)
Gas Urin/serum Darah/ hati XXXX
chromatography/mass
spectrometry1
TLC Urin/serum Darah/serum XXX
TLC liquid Urin/serum Darah/ hati XXX
chromatography
(HPLC) or gas
Electron capture Darah/ hati XXX
detectors (ECD)
HPLC Darah/ hati XXXX
GC Darah/ hati XX
LC/MS/MS Urin/serum Darah/ hati XXXX

Perlu dicatat bahwa benzodiazepin relatif tahan terhadap efek redistribusi


postmortem.37 Metode HPLC telah dikembangkan untuk menganalisis beberapa
benzodiazepin termasuk beberapa dari metabolit yang ada dalam darah, plasma dan urin.
Metode tersebut membutuhkan ekstraksi cairan-cairan dengan n-hexaneetilasetat, elusi
gradien pada kolom C8 fase terbalik dengan eluen non elektrolit, dan deteksi foto dioda
array.40 Metode ini disediakan untuk deteksi cepat, pemeriksaan kemurnian, identifikasi juga
puncak kuantitas terlarut. Batas deteksi dengan metode berkisar 10 hingga 30 ng dan batas
kuantitasnya adalah 0.05 dan 956g/mL, menggunakan 1mL darah, plasma dan urin. Prosedur
analisis ini digunakan secara rutin pada pemeriksaan toksikologi forensik pada darah, isi

Page | 13
lambung, urin dan sampel organ. Kurangnya penyangga elektrolit pada eluen memungkinkan
untuk prosedur yang kuat dengan waktu pencucian yang lebih singkat dan masalah teknis
yang minimal.40
Walaupun GC dapat direkomendasikan sebagai metode yang cocok untuk analisis
sebagian besar benzodiazepin, sebagian dari mereka, terutama derivat 3-hidroksi, mengalami
degradasi termal dan pengaturan ulang.47 Klordiazepoxide, kloxazolam, lormetazepam,
haloxazolam, oxazolam, etil loflazepat dan temazepam menghasilkan beberapa puncak yang
menyulitkan untuk interpretasi data.47
GC-MS merupakan teknik yang paling umum digunakan untuk identifikasi dan
pengukuran kuantitas dari sampel obat. Sebagai teknik, ia menggabungkan kekuatan separasi
dari GC dengan spesifitas analit dari teknik spektroskopik, memberikan data dengan
spesifisitas spektral yang tinggi pada senyawa individual pada campuran senyawa kompleks
sering tanpa pemisahan terlebih dahulu.46 Identifikasi diperoleh dengan membandingkan
waktu retensi dan massa spektrum dari analit dengan referensi standar. Semua senyawa
diidentifikasi oleh GC-MS dan laporannya dibandingkan dengan spektrum massa sekarang
berdasarkan referensi standar yang sesuai, lebih diutamakan dengan penggunaan instrumen
yang sama, dioperasikan pada kondisi yang identik.47
Karena struktur kimia yang beranekaragam dari benzodiazepin, penggunaan dari
metode HPLC untuk memisahkan semua kemungkinan senyawa itu sulit.46
Berdasarkan perbandingan, sekaran terdapat pemeriksaan toksikologi forensik yang
lebih cepat serta akurat, yang menyediakan teknik yang mudah dan cepat untuk menilai
kuantitas obat-obatan secara simultan dan identifikasi melalu matriks sampel yang bervariasi.
Sampel dapat berupa saliva, urin, atau serum dan bahkan darah. Sensitivitas metode
kuantitatif dari LC/MS/MS (Tandem MS) dapat mendeteksi dan menghitung penggunaan
obat yang disalahgunakan pada toksikologi forensik pada kadar yang secara signifikan rendah
dibandingkan dengan ambang batas minimal. Aplikasi dari kromatografi gas ditambah
dengan spektometri massa tandem (LC-MS/MS) untuk tes kuantitatif obat dalam urin, darah,
serum/plasma dan mekonium telah menghasilkan tes multianalit yang cepat dengan
sensitivitas dan spesifisitas yang tak terduga.

Page | 14
Gambar 2. Analisis kombinasi benzodiazepin dan opiat. Sampel dari 9 opiat dan 10
benzodiazepin dianalisis dengan metode tunggal. Data menunjukkan kalibrator dari 10-
ng/mL (1 ng/mL fentanil) dan total waktu yang diperlukan adalah 6 menit.

5. Kesimpulan
Benzodiazepin diberikan oleh dokter untuk mengobati berbagai macam penyakit.
Ketersediaan benzodiazepin secara luas menimbulkan kekhawatiran bukan hanya sifat adiktif
dari golongan obat ini akan tetapi juga potensi kecelakaan akibat overdosis juga penggunaan
sebagai cara untuk bunuh diri. Walaupun benzodiazepin tidak secara luas disalahgunakan
dibandingkan dengan obat lain, pecandu stimulan menggunakan mereka sebagai obat parasut.
Berdasarkan fakta ini dan mudahnya mendapatkan obat ini untuk pengobatan dapat
meningkatkan penyalahgunaan dan toksisitas dari benzodiazepin.
Intepretasi toksikologi forensik postmortem bisa menjadi sangat sulit dan harus
dilakukan dengan anamnesis yang menyeluruh, termasuk hasil otopsi, laporan dari tempat
perkara kejadian, dan riwayat medis. Tidaklah begitu sulit untuk ahli toksikologi untuk
menginterpretasi konsentrasi tinggi strychnine dalam darah seseorang yang meninggal
berdekatan dengan wadah terbuka yang berisi strychnine untuk hewan pengerat yang disertai
dengan catatan yang diperkirakan sebagai wasiat. Akan tetapi situasi akan semakin sulit
ketika beberapa substansi seperti benzodiazepin dan alkohol ditemukan dalam cairan biologis
postmortem atau spesimen jaringan. Penentuan penyebab kematian dan yang bertanggung
jawab dari setiap substansi yang menyebabkan kejadian fatal terkadang mustahil ditentukan
dalam batas kepastian ilmiah. Ada beberapa godaan untuk ahli toksikologi forensik dan yang
lain untuk merujuk kepada tabel dan bagan dalam hal untuk menentukan terapi dan kadar
toksik dari obat yang sedang diinvestigasi. Walaupun tabel referensi ini merupakan hal yang

Page | 15
cukup berguna dalam toksikologi klinis, referensi terkesan meragukan ketika menganalisis
hasil toksikologi forensik.
Bahkan ketergantungan terhadap tabel dan bagan untuk terapetik dan kadar toksik obat
dan berujung kepada konklusi yang salah dan tidak valid. Sering sekali tabel refrensi ini
sangat bergantung pada data klinis. Mereka jarang memperhitungkan perbedaan toleransi dari
perorangan. Bagan refensi untuk batas toksisitas tidak pernah memperhitungkan fenomena
seperti redistribusi postmortem. Ahli toksikologi forensik yang berpengelaman bergantung
kepada pengelaman mereka masing – masing seperti keadaan unik dari kasus sedang
diperiksa. Informasi ini dapat ditambahkan dengan kompilasi dari karangan ilmiah obat
dimana refrensi asli dari karangan ilmiah tersebut tersedia. Walaupun diperlengkapi dengan
data toksikologi, tetaplah sulit untuk menunjukkan penyebab kematian ketika beberapa agen
ditelan dalam waktu bersamaan.

Page | 16
Daftar Pustaka
1. Ashton, C.H. (2002). The benzodiazepines: what they do in the body.
Benzodiazepines: How they work and how to withdrawal. Newcastle, England:
University of New Castle.
2. Ashton, C.H. (2005). The Diagnosis and Management of Benzodiazepine
Dependence. Current Opinion in Psychiatry,18(3), 249-255.
3. Cooper, J.R., Bloom, F.E., and Roth, R.H. (1996). Biochemical Basis of
Neuropharmacology (7th ed.): Oxford University Press. Hollister, Leo E., Muller-
Oerlinghausen, Bruno.,Rickels, Karl., Shader, Richard. 1993. Clinical uses of
benzodiazepines. Journal of Clinical Psychopharmacology. December, Vol. 13(6,
suppl 1), p.169.
4. Lane, S.D., Tcheremissine, O.V., Lieving, L.M., Nouvion, S., and Cherek, D.R.
(2005). Acute Effects of Alprazolam on Risky Decision Making in Humans.
Psychopharmacology, 181, 364-373.
5. Longo, L.P., and Johnson, B. (2000). Addiction: Part I. Benzodiazepines-Side Effects,
Abuse Risk and Alternatives. American Family Physician, 61(7), 2121-2127).
6. McCabe, S.E. (2005). Correlates of Nonmedical Use of Prescription Benzodiazepine
Anxiolytics: Results from a National Survey of U.S. College Students. Drug and
Alcohol Dependence, 79, 53-62
7. Nutt, D.J. and Malizia, A. L. (2001). New insights into the role of GABAA-
benzodiazepine receptor in psychiatric disorder. British Journal of Psychiatry, 179,
390-396.
8. Rowlett, J.K., Lelas, S., Walter, T., and Licata, S.C. (2006). Anti-conflict effects of
benzodiazepines in rhesus monkeys: relationship with therapeutic doses in humans
and role of GABAA receptors. Psychopharmacology, 184, 201-211.
9. Schatzberg, Alan F., Nemeroff, Charles B. Essentials of Clinical
Psychopharmacology. Pages 75-92. Washington, DC, US: American Psychiatric
Publishing, Inc. 2001.
10. Tyrer, Peter., Murphy, Siobhan 1987. The place of benzodiazepines in clinical
practice. British Journal of Psychiatry. December, Vol. 151, p. 719-723. Open Science
Journal of Pharmacy and Pharmacology 2014, 2(1): 1-8 7
11. Vorma, H., Naukkarinen, H.H., Sarna, S.J., and Kuoppasalmi, K.I. (2005). Predictors
of Benzodiazepine Discontinuation in Subjects Manifesting Complicated
Dependence. Substance Use and Misuse, 40, 499-510.
12. Bronstein AC, Spyker DA, Cantilena LR Jr, Green JL, Rumack BH, Giffin SL. 2008
Annual Report of the American Association of Poison Control Centers' National
Poison Data System (NPDS): 26th Annual Report. ClinToxicol (Phila). Dec
2009;47(10):911-1084.
13. Serfaty M, Masterton G. Fatal poisonings attributed to benzodiazepines in Britain
during the 1980s. Br J Psychiatry. Sep 1993;163:386-93 [Guideline]
14. Kleber HD, Weiss RD, Anton RF, et al. Treatment of patients with substance use
disorders, second edition. American Psychiatric Association. Am J Psychiatry. Aug
2006;163(8 Suppl):5-82.
15. [Guideline] National Collaborating Centre for Mental Health. Self-harm: the short-
term physical and psychological management and secondary prevention of self-harm
in primary and secondary care. London (UK): National Institute for Clinical
Excellence (NICE). 2004;199.
16. Bosse GM. Benzodiazepines. In: Emergency Medicine: A Comprehensive Study
Guide. 4th ed. McGraw-Hill; 1996:759-61.

Page | 17
17. Buckley NA, Dawson AH, Whyte IM, O'Connell DL. Relative toxicity of
benzodiazepines in overdose. BMJ. Jan 28 1995;310(6974):219-21
18. Cairns C. Benzodiazepine overdose and withdrawal. In: Emergency Medicine:
Concepts and Clinical Practice. 3rd ed. Mosby-Year Book; 1992:2684-9.
19. Drummer OH, Syrjanen ML, Cordner SM. Deaths involvingthe benzodiazepine
flunitrazepam. Am J Forensic Med Pathol. Sep 1993;14(3):238-43.
20. Hoffman RS, Wipfler MG, Maddaloni MA, Weisman RS. Has the New York State
triplicate benzodiazepine prescription regulation influenced sedative-hypnotic
overdoses?. NY State J Med. Oct 1991;91(10):436-9
21. Longmire AW, Seger DL. Topics in clinical pharmacology: flumazenil, a
benzodiazepine antagonist. Am J Med Sci. Jul 1993;306(1):49-52.
22. Mullins ME. First-degree atrioventricular block in alprazolam overdose reversed by
flumazenil. J Pharm Pharmacol. Mar 1999;51(3):367-70
23. Verghese J, Merino J. Temazepam overdose associated with bullous eruptions.
AcadEmerg Med. Oct 1999;6(10):1071.
24. Scott KS, Oliver JS, The use of vitreous humor as an alternative to whole blood for
the analysis of benzodiazepines. J Forensic Sci. 2001 May;46(3):694-7
25. Olkkola KT, Ahonen J (2008). "Midazolam and other benzodiazepines".
HandbExpPharmacol 182 (182): 335-60.
26. Lader M, Tylee A, Donoghue J (2009). "Withdrawing benzodiazepines in primary
care". CNS Drugs 23 (1): 19-34 Fraser AD (1998).
27. "Use and abuse of the benzodiazepines". Ther Drug Monit 20 (5): 481-9.
28. Charlson F, Degenhardt L, McLaren J, Hall W, Lynskey M (2009). "A systematic
review of research examining benzodiazepine-related mortality". Pharmacoepidemiol
Drug Saf 18 (2): 93-103.
29. Peppers MP (1996). "Benzodiazepines for alcohol withdrawal in the elderly and in
patients with liver disease". Pharmacotherapy 16 (1): 49-57
30. Drummer OH (2002). "Benzodiazepines-effects on human performance and
behavior". Forensic Sci Rev 14 (1-2): 1-14.
31. Barker MJ, Greenwood KM, Jackson M, Crowe SF (2004). "Cognitive effects of
long-term benzodiazepine use: a metaanalysis". CNS Drugs 18 (1): 37-48
32. Gaudreault P, Guay J, Thivierge RL, Verdy I (1991). "Benzodiazepine poisoning.
Clinical and pharmacological considerations and treatment". Drug Saf 6 (4): 247-65
33. Goldfrank LR (2002). Goldfrank'sToxicologic Emergencies. McGraw-Hill
34. Hulse GK, Lautenschlager NT, Tait RJ, Almeida OP (2005)."Dementia associated
with alcohol and other drug use". IntPsychogeriatr 17 (Suppl 1): S109-27
35. Stead AH, Moffat AC. A Collection of Therapeutic, Toxic and Fatal Blood Drug
Concentrations in Man. Human Toxicol 1983;3:437-464
36. Repetto MR, Repetto M. Habitual, Toxic, and Lethal Concentrations of 103 Drugs of
Abuse in Humans. ClinToxicol 1997;35:1-9
37. Pounder DJ, Jones GR Post-mortem drug redistribution—a toxicological nightmare.
Forensic Sci Int. 1990 Apr;45(3):253-63
38. G. R. Jones and D. J.Pounder, Site dependence of drug concentrations in postmortem
blood - a case study, J. Anal.Toxicol. 1987, 11, 186-190
39. M. D. Robertson and O. H.Drummer, Postmortem drug metabolism by bacteria, J.
Forensic Sci. 1995, 40, 382-386
40. M. D. Robertson and O. H.Drummer, Stability of nitrobenzodiazepines in postmortem
blood, J. Forensic Sci. 1998, 43, 5-8 SOFT/AAFS Guidelines Committee,
SOFT/AAFS Forensic Toxicology Laboratory Guidelines, Mesa, Society of Forensic

Page | 18
Toxicologists and American Academy of Forensic Sciences Toxicology Section,
2002, pp. 1-21
41. M. D. Osselton , The use of proteolytic enzymes to release high levels of drugs from
biological materials submitted for toxicological analysis, Vet. Hum. Toxicol. 1979,
21(Suppl.), 177-179
42. B. K. Logan and G.Lindholm, Gastric contamination of postmortem blood samples
during blind-stick sample collection, Am. J. Forensic Med. Pathol. 1996, 17, 109-111
43. G. R. Jones and D. J.Pounder, Site dependence of drug concentrations in postmortem
blood - a case study, J. Anal. Toxicol. 1987, 11, 186-190
44. Beck O., Laoie P. , Odes G . , Boreus, L. O., Immunological screening of
benzodiazepines in urine: improved detection of oxazepam intake, Toxicology Letters
vol. 19908 Hooman Rowshan: Postmortem Detection of Benzodiazepines
45. V. F. Samanidou, A. P. Pechlivanidou, and I. N. Papadoyannis, J. Sep. Sci. 30 (2007)
679–687
46. The Guidelines on Representative Drug Sampling, ST/NAR/38, United Nations, 2009
47. Moore, C., Coulter, C., Crompton, K. and Zumwalt, Tetrahydrocannabinol and two of
its metabolites in whole blood using liquid chromatography-tandem mass
spectrometry. Journal of Analytical Toxicology 32, 653-658, 2008.
48. Coles R, Kushnir M, Nelson G, McMillin GA, Urry FM. (2007) Simultaneous
determination of codeine, morphine, hydrocodone, hydromorphone, oxycodone and 6-
acetylmorphine in urine, serum, plasma, whole blood and meconium by LC-MS/MS.
Journal of Analytical Toxicology, Jan/Feb;31(1):1-10.
49. D. S. Ming and J. Heathcote, “Rapid and Accurate UPLC/MS/MS Method for the
Determination of Benzodiazepines in Human Urine,” Journal of Chromatography B,
Vol. 879, No. 5-6, 2011, pp. 421-428.
50. Reactivity of commercial benzodiazepine immunoassays to phenazepam. Kyle PB,
Brown KB, Bailey AP, Stevenson JL J Anal Toxicol. 2012 Apr;36(3):207-9. doi:
10.1093/jat/bks008

Page | 19
TINJAUAN PUSTAKA

Page | 20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Toksikologi Forensik


2.1.1 Definisi
Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang membahas seputar efek merugikandari
berbagai agen kimiawi terhadap semua sistem makhluk hidup1
Toksikologi forensik sendiri berkaitan dengan penerapan ilmu toksikologi pada
berbagai kasus dan permasalahan kriminalitas dimana obat-obatan dan bahan-bahan kimia
yang dapat menimbulkan konsekuensi medikolegal serta untuk menjadi bukti dalam
pengadilan1
Selain itu, ada yang mengungkapkan hal berbeda, toksikologi adalah ilmu yang
mempelajari sumber, sifat serta khasiat racun, gejala-gejaladan pengobatan pada keracunan,
serta kelainan yang didapatkan pada korban yang meninggal1

2.1.2 Cakupan Toksikologi Forensik


Menurut Society of Forensic Toxicologist, Inc. (SOFT), bidangkerja toksikologi
forensik meliputi1:
a. Analisis dan evaluasi racun penyebab kematian
b. Analisis ada/tidaknya kandungan alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh atau nafas
yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku (menurunnya kemampuan mengendarai
kendaraan bermotor dijalan raya, tindak kekerasan dan kejahatan serta penggunaan
dopping)
c. Analisis obat terlarang di darah dan urin pada kasus penyalahgunaan narkotika,
psikotropika dan obat terlarang lainnya.
d. Tujuan lain dari analisis toksikologi forensik adalah dapat membuat suatu rekaan
rekonstruksi suatu peristiwa yang telah terjadi, sampai mana obat tersebut telah dapat
mengakibatkan suatu perubahan perilaku.
Tidak semua kasus yang ditemukan perlu melakukan toksikologi forensik. Kasus-kasus
tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan besar. Kasus-kasus tersebut antara lain1 :
a. Kematian akibat keracunan, yang meliputi: kematian mendadak, kematian di penjara,
kematian pada kebakaran, dan kematian medis yang disebabkan oleh efek samping obat
atau kesalahan penanganan medis.

Page | 21
b. Kecelakaan fatal maupun tidak fatal, yang dapat mengancam keselamatan nyawa sendiri
ataupun orang lain, yang umumnyadiakibatkan oleh pengaruh obat-obatan, alkohol, atau
pun narkoba.
c. Penyalahgunaan narkoba dan kasus-kasus keracunan yang terkait dengan akibat
pemakaian obat, makanan, kosmetika, alat kesehatan, dan bahan berbahaya lainnya, yang
tidak memenuhi standar kesehatan (kasus-kasus forensik farmasi).

2.1.3 Pemeriksaan Toksikologi Forensik


Korban mati akibat keracunan umumnya dapat dibagi menjadi 2 golongan, yang
sejaksemula sudah dicurigai kematian akibat keracunan dan kasus yang sebelum diotopsi
dilakukan, belum ada kecurigaan terhadap kemungkinan keracunan. Kemungkinan kematian
akibat keracuan bila pada pemeriksaan setempat (scene investigation) terdapat kecurigaan
akan keracunan, bila pada otopsi ditemukan kelainan yang lazim ditemukan pada keracunan
dengan zat tertentu, misalnya lebam mayat yang tidak biasa, luka bekas suntikan sepanjang
vena dan keluarnya buih dari mulut dan hidung serta bila pada otopsi tidak ditemukan
penyebab kematian2.
Pemeriksaan penting dalam menangani kasus kematian akibat keracunan perlu
dilakukan beberapa, yaitu1 :
a. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP)
Pemeriksaan di tempat kejadian perkara perlu dilakukan untuk membantu penentuan
penyebab kematian dan menentukan cara kematian. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
mengumpulkan keterangan sebanyak mungkin tentang perkiraan saat kematian serta
mengumpulkan barang bukti.
b. Pemeriksaan luar
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk pemeriksaan luar kasus keracunan
diantaranya1,2:
 Bau
Bau yang tercium dapat dijadikan petunjuk racun yang kiranya ditelan oleh korban.
Segera setelah pemeriksa berada di samping mayat ia harus menekan dada mayat untuk
menentukan apakah ada suatu bau yang tidak biasa keluar dari lubang-lubang hidung
dan mulut.

Page | 22
 Segera
Pemeriksa harus segera berada di samping mayat sesegera mungkin dan pemeriksa juga
harus menekan dada mayat dan menentukan apakah ada suatu bau yang tidak biasa
keluar dari lubang hidung dan mulut.
 Pakaian
Pada pakaian dapat ditemukan bercak-bercak yang disebabkan oleh tercecernya racun
yang ditelan atau oleh muntahan.Misalnya bercak berwarna coklat karena asam sulfat
atau kuning karena asam nitrat.
 Lebam mayat
Warna lebam mayat yang tidak biasa juga mempunyai makna, karena warna lebam
mayat pada dasarnya adalah manifestasi warna darah yang tampak pada kulit.
 Perubahan warna kulit
Pada hiperpigmentasi atau melanosis dan keratosis pada telapak tangan dan kaki pada
keracunan arsen kronik.Kulit berwarna kelabu kebirubiruan akibat keracunan perak
(Ag) kronik (deposisi perak dalam jaringan ikat dan korium kulit). Kulit akan berwarna
kuning pada keracunan tembaga (Cu) dan fosforakibat hemolisis juga pada keracunan
insektisida hidrokarbon dan arsen karena terjadi gangguan fungsi hati.
 Kuku
Keracunan arsen kronik dapat ditemukan kuku yang menebal yang tidak teratur.Pada
keracunan Talium kronik ditemukan kelainan trofik pada kuku.
 Rambut
Kebotakan (alopesia) dapat ditemukan pada keracunan talium, arsen, air raksa dan
boraks. Metode pemeriksaan pada rambut adalh dengan ekstrak dan pretreatment.
 Sklera
Tampak ikterik pada keracunan zat hepatotoksik seperti fosfor, karbon tetraklorida.
Perdarahan pada pemakaian dicoumarol atau akibat bisa ular

2.1.4 Pengambilan Sampel Toksikologi


Anamnesa dan tanda klinis yang dijumpai pada pemeriksaan luar dan pemeriksaan
dalam digunakan untuk memastikan keberadaan racun. Pada korban yang meninggal,
diperlukan informasi sisa racun dan dicocokkan dengan kelainan yang dijumpai pada jenazah.
Selanjutnya menentukan sampel yang perlu diambil untuk pemeriksaan toksikologi,
disesuaikan dengan jenis racun yang masuk kedalam tubuh3.

Page | 23
Prinsip pengambilan sampel pada kasus keracunan adalah diambil sebanyak-banyaknya
setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan histopatologik. Secara umum
sampel yang harus diambil adalah1:
a. Lambung dan isinya
b. Seluruh usus dan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-ikatan pada pada usus setiap
jarak sekitar 60 cm
c. Darah, Pengambilan darah dari jantung dilakukan secara terpisah dari sebelah kanan dan
sebelah kiri masing-masing sebnayak 50 ml. Darah tepi sebanyak 30-50 ml, diambil dari
vena iliaka komunis bukan darah dari vena porta. Pada korban yang masih hidup, darah
adalah bahan yang terpenting, diambil 2 contoh darah masing-masing 5 ml, yang pertama
diberi pengawet NaF 1% dan yang lain tanpa pengawet.
d. Hati, sebagai tempat detoksifikasi , diambil sebanyak 500 gram.
e. Ginjal, diambil keduanya yaitu pada kasus keracunan logam berat khususnya atau bila
urine tidak tersedia.
f. Otak, diambil 500 gram. Khusus untuk keracunan chloroform dan sianida, dimungkinkan
karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang mempunyai kemampuan untuk meretensi
racun walaupun telah mengalami pembususkan.
g. Urine, diambil seluruhnya. Karena pada umunya racun akan diekskresikan melalui urin,
khususnya pada tes penyaring untuk keracunan narkotika, alkohol dan stimulan.
h. Empedu, diambil karena tempat ekskresi berbagai racun.

2.2 Benzodiazepin
2.2.1 Definisi
Benzodiazepin merupakan salah satu obat yang bekerja di sistem saraf pusat, bersifat
hipnotik dan sedatif.
2.2.2 Rumus Kimia
Rumus Benzodiazepin terdiri dari cincin benzene (cincin A) yang melekat pada cincin
aromatic diazepin (cincin B). Karena Benzodiazepin yang penting secara farmakologik
selalu mengadung gugus 5-aril (cincin C) dan cincin 1,4-benzodiazepin, rumus bangun kimia
golongan ini selalu diidentikkan dengan 5-aril 1,4-benzodiazepin5.

Page | 24
Gambar 2.1 Rumus umum struktur kimia benzodiazepin 4,5

Berbagai modifikasi pada struktur cincin maupun gugusannya secara umum dapat
menghasilkan senyawa dengan aktivitas serupa atau berefek antagonis, misalnya pada
flumazenil.Di samping berbagai Benzodiazepin atau imidazonenzodiazepin, telah disintesis
beberapa senyawa nonbenzodiazepin yang memiliki potensi mengikat secara spesifik reseptor
di CNS seperti Benzodiazepin dan flumazenil.Senyawa ini termasuk golongan β-karboin.
Imidazopiridin, imidazopirimidin, imidazoquinolon, dan siklopirolon, contohnya antara lain :
zaleplon, zolpidem, dan zolpiklon4,5.

Page | 25
Tabel 2.1 Daftar Benzodiazepin dibawah pengawasan internasional6

No Benzodiazepin Struktur Kimia Rumus Empiris Tampakan


1 Alprazolam C17H13ClN4 Bubuk Kristal
C17H13ClN4 putih

2 Bromazepam C14H10BrN3O Bubuk putih atau


kuning

3 Brotizolam C15H10BrClN4 Bubuk putih atau


S kuning

4 Camazepam C19H18ClN3O3 Bubuk Kristal


putih

5 Chlordiazepoxide C16H14ClN3O Bubuk kristal


(chlordiazepoxide (C16H14ClN3O Putih atau kuning
hydrochloride) .HCl) pucat, sensitive
terhadap cahaya
matahari.

6 Clobazam C16H13ClN2O2 Bubuk Kristal


putih

7 Clonazepam C15H10ClN3O3 Bubuk kristal


putih sampai
kuning

Page | 26
8 Clorazepate C16H11ClN2O3 Bubuk kristal
(clorazepate (C16H11ClK2N putih sampai
dipotassium) 2O4) kuning terang

9 Clotiazepam C16H15ClN2O Bubuk Kristal tak


S berwarna (colour
less)

10 Cloxazolam C17H14Cl2N2O Bubuk kristal


2 putih

11 Delorazepam C15H10Cl2N2O Bubuk kristal


putih

12 Diazepam C16H13ClN2O Bubuk kristal


putih, injeksi,
larutan oral,
rectal, tablet
(terlindung dari
cahaya matahari)
13 Estazolam C16H11ClN4 Bubuk kristal
putih

14 Ethyl loflazepate C18H14ClFN2 Bubuk kristal


O3 putih sampai
kuning terang
15 Fludiazepam C16H12ClFN2 Bubuk kristal
O putih, injeksi,
larutan oral,
rectal, tablet
(terlindung dari
cahaya matahari)

Page | 27
16 Flunitrazepam C16H12FN3O3 Bubuk Kristal
putih sampai
kuning (sensitive
terhadap cahaya)

17 Flurazepam C21H23ClFN3 Bubuk dan kapsul


(flurazepam O putih sampai
monohydrochlori (C21H23ClFN3 kuning
de; O.HCl & (terlindung dari
dihydrochloride) C21H23ClFN3 cahaya)
O.2HCl)

18 Halazepam C17H12ClF3N2 Bubuk putih


O sampai kuning
(terlindung dari
cahaya)

20 Haloxazolam C17H14BrFN2 Bubuk kristal


O2 putih

21 Ketazolam C20H17ClN2O3 Bubuk kristal


putih

22 Loprazolam C23H21ClN6O3 Bubuk kristal


(loprazolam (mesilate.hydrat putih
mesilate) e
C23H21ClN6O3
.CH4O3S.H2O)
23 Lorazepam C15H10Cl2N2O Bubuk kristal
2 (polimorfik) putih
atau hampir putih

24 Lormetazepam C16H12Cl2N2O Bubuk kristal


and enantiomer 2 (polimorfik) putih

Page | 28
25 Medazepam C16H15ClN2 Bubuk kristal
putih sampai
kuning kehijauan

26 Midazolam C18H13ClFN3 Bubuk putih


sampai kuning
(terlindung dari
cahaya)

27 Nimetazepam C16H13N3O3 Bubuk kristal


kuning pucat
(terlindung dari
cahaya)

28 Nitrazepam C15H11N3O3 Bubuk kristal


kuning (sensitif
terhadap cahaya)

29 Nordazepam C15H11ClN2O Bubuk kristal


putih sampai
kuning pucat

30 Oxazepam and C15H11ClN2O2 Bubuk kristal


enantiomer putih sampai
kuning pucat
(kadang
ditemukan
sebagai
hemi-succinate
garam succinate)
31 Oxazolam C18H17ClN2O2 Bubuk kristal
putih

Page | 29
32 Pinazepam C18H13ClN2O Bubuk kristal
putih

33 Prazepam C19H17ClN2O Bubuk kristal


putih atau hampir
putih

34 Temazepam and C16H13ClN2O2 Bubuk kristal


enantiomer putih atau hampir
putih
35 Tetrazepam C16H17ClN2O Bubuk Kristal
kuning atau
kuning terang

36 Triazolam C17H12Cl2N4 Bubuk Kristal


putih, kuning
pucat

2.2.3 Farmakodinamik
Pada umumnya, semua senyawa Benzodiazepin memiliki empat daya kerja seperti efek
anxiolitas, hipnotik-sedatif, antikonvulsan, dan relaksan otot. Hanya dua efek saja yang
merupakan kerja golongan ini pada jaringan perifer : vasodilatasi koroner (setelah pemberian
dosis terapi golongan Benzodiazepin tertentu secara iv), dan blokade neuromuskular (yang
hanya terjadi pada pemberian dosis tinggi)5.
Setiap efek berbeda-beda tergantung pada derivatnya dan berdasarkan pengaruh GABA
pada pemeriksaan pentingsaraf pusat (SSP). Benzodiazepin menimbulkan efek hasrat tidur
bila diberi dalam dosis tinggi pada malam hari, dan memberikan efek sedasi jika diberikan
dalam dosis rendah pada siang hari5.

Page | 30
Berbagai efek yang menyerupai Benzodiazepin yang dinikmati secara in vivo maupun
in vitro telah digolongkan sebagai5 :
a. Efek agonis penuh : senyawa yang sepenuhnya serupa efek Benzodiazepin (misalnya
diazepam)
b. Efek agonis parsial : efek senyawa yang menghasilkan efek maksimum yang kurang kuat
dibandingkan diazepam
c. Efek inverse agonist : senyawa yang menghasilkan efek kebalikan dari efek diazepam
pada saat tidak adanya senyawa yang mirip Benzodiazepin (Benzodiazepin -like agonist),
dan efek invers-agonis parsial (partial inverse agonist).

Sebagian besar efek agonis dan invers-agonis dapat dilawan atau dicegah oleh antagonis
Benzodiazepin flumazenil, melalui persaingan ikatannya dengan reseptor Benzodiazepin.Zat
ini mewakili berbagai golongan senyawa yang bekerja memblok secara spesifik efek agonis
Benzodiazepin. Berikut pengaruh benzodiazepin terhadap sistem organ tubuh4,5 :

a. Susunan Saraf Pusat


Benzodiazepin mempengaruhi semua tingkatan aktivitas saraf, namun beberapa derivat
benzodiazepine memiliki pengaruh lebih besar terhadap SSP dari derivat yang lain.
Benzodiazepine tidak mampu menghasilkan tingkat depresi saraf sekuat golongan
barbiturate atau anestesi umum lainnya. Semua benzodiazepin memiliki profil farmakologi
yang hampir sama, namun efek utamanya sangat bervariasi, sehingga indikasi kliniknya
dapat berbeda. Peningkatan dosis benzodiazepine menyebabkan depresi SSP yang
meningkat dari sedasi ke hipnotis, dan dari hipnosis ke stupor; keadaan ini sering
dinyatakan sebagai efek anesthesia, tapi obat golongan ini tidak benar-benar
memperlihatkan efek anestesi umum yang spesifik, karena kesadaran pasien tetap bertahan
dan relaksasi otot yang diperlukan untuk pembedahan tidak tercapai. Namun pada dosis
preanestetik, benzodiazepin menimbulkan amnesia anterograd terhadap kejadian yang
berlangsung setelah pemberian obat. Sebagai anestesi umum untuk pembedahan,
benzodiazepin harus dikombinasikan dengan obat pendepresi SSP lain. Belum dapat
dipastikan, apakah efek ansietas benzodiazepin identik dengan efek hipnotik sedatifnya
atau merupakan efek lain.
Beberapa benzodiazepine menginduksi hipotonia otot tanpa gangguan gerak otot
normal, obat ini mengurangi kekakuan pada pasien cerebral palsy.Mekanisme kerja
benzodiazepin terutama merupakan interaksinya dengan reseptor penghambat

Page | 31
neurotransmitter yang diaktifkan oleh asam gamma amino butirat (GABA).Reseptor
GABA merupakan protein yang terikat pada membrane dan dibedakan dalam 2 bagian
besar sub-tipe, yaitu reseptor GABAA dan reseptor GABAB.
 Reseptor inotropik GABAA terdiri dari 5 atau lebih sub unit (bentuk majemuk α, β,
dan γ subunit) yang membentuk suatu reseptor kanal ion klorida kompleks. Resptor
ini berperan pada sebagian besar besar neurotransmitter di SSP.
 Reseptor GABAB, terdiri dari peptide tunggal dengan 7 daerah transmembran,
digabungkan terhadap mekanisme signal transduksinya oleh protein-G.

Benzodiazepin bekerja pada reseptor GABAA, tidak pada reseptor GABAB.


Benzodiazepin berikatan langsung pada sisi spesifik (subunit γ) reseptor GABA A
(reseptor kanal ion Klorida kompleks), sedangkan GABA berikatan pada subunit α atau β.
Pengikatan ini akan menyebabkan pembukaan kanal klorida, memungkinkan masuknya
ion klorida kedalam sel, menyebabkan peningkatan potensial elektrik sepanjang
membrane sel dan menyebabkan sel sukar tereksitasi.

Gambar 2. 2 mekanisme kerja GABA4,5

b. Pernapasan
Benzodiazepin dosis hipnotik tidak berefek pada pernapasan orang
normal.Penggunaannya perlu diperhatikan pada anak-anak dan individu yang menderita
kelainan fungsi hati. Pada dosis yang lebih tinggi, misalnya pada anestesi pemedikasi ayau
pre endoskopi, benzodiazepine sedikit mendepresi ventilasi alveoli, dan menyebabkan
asidosis respiratoar, hal ini lebih karena penurunan keadaan hipoksia daripada dorongan

Page | 32
hiperkaptik; efek ini terutama terjadi pada pasien dengan PPOK yang mengakibatkan
hipoksia alveolar dan/atau narcosis CO2. Obat ini dapat menyebabkan apnea selama
anestesi atau bila diberi bersama opiat. Gangguan pernapasan yang berat pada intoksikasi
benzodiazepine biasanya memerlukan bantuan pernapasan hanya bila pasien juga
mengkonsumsi obat pendepresi SSP yang lain, terutama alkohol.
c. Sistem Kardiovaskuler
Pada dosis praanestesia semua benzodiazepine dapat menurunkan tekanan darah dan
meningkatkan denyut jantung.
d. Saluran cerna
Diduga dapat memperbaiki berbagai gangguan saluran cerna yang berhubungan dengan
adanya ansietas.Diazepam secara nyata menurunkan sekresi cairan lambung waktu malam.

2.2.4 Farmakokinetik
Sifat fisikokimia dan farmakokinetik Benzodiazepin sangat mempengaruhi
penggunaannya dalam klinik karena menentukan lama kerjanya. Semua Benzodiazepin
dalam bentuk nonionic memiliki koefesien distribusi lemak : air yang tinggi; namun sifat
lipofiliknya dapat bervariasi lebih dari 50 kali, bergantung kepada polaritas dan
elektronegativitas berbagai senyawa Benzodiazepin4 .
Semua benzodiazepin pada dasarnya diabsorpsi sempurna, kecuali klorazepat; obat ini
cepat mengalami dekarboksilasi dalam cairan lambung menjadi N-desmetil-diazepam
(nordazepam), yang kemudian diabsorpsi sempurna.Beberapa benzodiazepin (seperti
prazepam dan flurazepam) mencapai sirkulasi sistemik hanya dalam bentuk metabolit aktif
4,5
.
Golongan Benzodiazepin menurut lama kerjanya dapat dibagi dalam 4 golongan :
1. senyawa yang bekerja sangat cepat
2. senyawa yang bekerja cepat, dengan t ½ kurang dari 6 jam : triazolam dan
nonbenzodiazepin (zolpidem, zolpiklon).
3. senyawa yang bekerja sedang, dengan t ½ antara 6-24 jam : estazolam dan temazepam.
4. senyawa yang bekerja dengan t ½ lebih lama dari 24 jam : flurazepam, diazepam, dan
quazepam.
Benzodiazepin dan metabolit aktifnya terikat pada protein plasma.Kekuatan ikatannya
berhubungan erat dengan sifat lipofiliknya, berkisar dari 70% (alprazolam) sampai 99%

Page | 33
(diazepam). Kadarnya pada cairan serebrospinal (CSS) kira-kira sama dengan kadar obat
bebas di dalam plasma4.
Profil kadar plasma sebagian besar Benzodiazepin secara tetap mengikuti model
kinetik dua kompartemen, namun bagi Benzodiazepin yang sangat larut lemak, profil
kinetiknya lebih sesuai dengan model kinetik tiga kompartemen. Dengan demikian, setelah
pemberian intravena (atau peroral bagi Benzodiazepin yang diabsorpsi sangat cepat)
ambnilan ke dalam otak dan organ dengan perfusi tinggi lainnya terjadi sangat cepat, diikuti
dengan redistribusi ke jaringan yang kurang baik perfusinya, seperti otot dan lemak. Kinetika
redistribusi diazepam dan Benzodiazepin yang lipofilik menjadi rumit oleh adanya sirkulasi
entero hepatic. volume distribusi Benzodiazepin adalah besar, dan banyak diantaranya
meningkat pada usia lanjut. Benzodiazepin dapat melewati sawar uri dan disekresi kedalam
ASI4,5.
Benzodiazepin dimetabolisme secara ekstensif oleh kelompok enzim sitokro P450 di
hati, terutama CYP3A4 dan CYP2C19.Beberapa Benzodiazepin seperti oksazepam,
dikonjugasi langsung, tidak dimetabolisme oleh enzim tersebut. Beberapa penghambat
CYP3A4, antara lain: eritromisin, klaritromisin, ritovnavir, itrakonazol, ketokonazol,
nefazodon, dan sari buah grapefruit dapat mempengaruhi metabolism Benzodiazepin 4.
Metabolit aktif Benzodiazepin umumnya dibiotransformasi lebih lambat dari senyawa
asalnya, sehingga lama kerja Benzodiazepin tidak sesuai denganwaktu paruh eliminasi obar
asalnya; misalnya waktu paruh metabolit aktifnya (N-desalkil flurazepam) 50 jam atau
lebih.Sebaliknay pada Benzodiazepin yang diinaktifkan pada reaksi pertama kecepatan
metabolism menjadi penentu lama kerjanya; misalnya oksazepam, lorazepam, temazepam,
triazolam, dan midazolam4,5.
Metabolisme Benzodiazepin terjadi dalam 3 tahap :
1. desaalkilasi
2. hidroksilasi
3. konjugasi

Hipnotik ideal harus memiliki mula ketja cepat, mampu memeprtahankan tidur
sepanjang malam, dan tidak meninggalkan efek residu pada keesokan harinya.Diantara
Benzodiazepin yang digunakan sebagai hipnotik, secara teoritis triazolam mendekati criteria
tersebut. Namun, dalam praktek, bagi beberapa pasien penggunaan hipnotik yang cepat
tereliminasi dalam darah merugikan karena masa kerjanya pendek, sehingga lama tidirnya
brkurang dan kecenderungan timbulnya rebound insomnia pada saat penghentian oabt.

Page | 34
Flurazepam kurang sesuai sebagai hipnotik, sebab kecepatan eliminasi metabolit aktifnya
yang sangat lambat. Namun dengan pemilihan dosis yang hati-hati, flurazepam dan
Benzodiazepin lain yang memiliki kecepatan eliminasi lebih lambat dari triazolam masih
dapat digunakan secara efektif 4,5.

2.2.5 Efek Penggunaan


Benzodiazepin memiliki efek sebagai berikut5:
a. Menurunkan ansietas. Pada dosis rendah, Benzodiazepin bersifat ansiolitik. Diperkirakan
dengan menghambat secara selektif saluran neuron pada sistem limbik otak.
b. Bersifat sedatif dan hipnotik. Semua Benzodiazepin yang digunakan untuk mengobati
ansietas jug amempunyai efek sedatif. Pada dosis yang lebih tinggi, Benzodiazepin
tertentu menimbulkan hypnosis (tidur yang terjadinya artifisial)
c. Antikonvulsan. Beberapa Benzodiazepin bersifat antikonvulsan dan digunakan untuk
pengobatan epilepsy dan gangguan kejang lainnya.
d. Pelemas otot. Benzodiazepin melemaskan otot skelet yang spastik, barang kali dengan
cara meningkatkan inhibisi presinaptik dalam sumsum tulang.

2.2.6 Efek Samping


Benzodiazepin dosis hipnotik pada kadar puncak dapat menimbulkan efek samping
berikut6:
 Kepala ringan
 Malas/tak bermotivasi
 Lamban
 Inkordiansi motoric
 Ataksia
 Gangguan fungsi mental dan psikomotorik
 Gangguan koordinasi berpikir
 Bingung
 Disaritria
 Amnesia anterograd
Kemampuan motorik lebih dipengaruhi dibandingkan kemampuan berpikir. Semua efek
tersebut dapat sangat mempengaruhi keterampilan mengemudi dan kemampuan psikomotor
lainnya.Interaksi dengan etanol dapat menimbulkan depresi berat.Efek residual terlihat pada
beberapa Benzodiazepin dan berhubungan erat dengan dosis yang diberikan. Intensitas dan

Page | 35
insiden intoksikasi SSP umumnya meningkat sesuai dengan usia pasien; farmakokinetik dan
farmakodinamik obat6.
Efek samping lain yang relatif lebih umum terjadi ialah lemas, sakit kepala, pandangan
kabur, vertigo, mual, dan muntah diare, nyeri epigastrik, nyeri sendiri, nyeri dada, dan pada
beberapa pasien dapat mengalami inkontinensia6.
Benzodiazepin dengan efek antikonvulsi kadang-kadang malah meningkatkan frekuensi
bangkitan pada pasien epilepsyi.Perubahan pola tidur pasien juga dapat terjadi pada
pemberian hipnotik-benzodiazepin7.
Efek samping Psikologik dapat menimbulkan efek paradoksal. Penggunaan kronik
memiliki risiko terjadinya ketergantungan dan penyalahgunaan, tapi tidak sama seperti obat
hipnotik-sedatif terdahulu serta obat yang dikenal sering disalahgunakan. Gejala putus obat
dapat berupa makin hebatnya kelainan yang semula akan diobati, misalnya insomnia dan
ansietas. Disforia, mimpi buruk, mudah tersinggung, berkeringat, tremor, anoreksi, dan
pusing kepala dapat terjadi pada penghentian obat secara tiba-tiba6,7.

2.2.7 Posologi Benzodiazepin


Penggunaan untuk terapi atau indikasi serta posologi (cara pemberian/bentuk sediaan),
dan dosis) beberapa Benzodiazepin yang ada di pasaran dapat dilihat pada tabel berikut8 :

Tabel 2.1 Daftar Merek dagang Benzodiazepin


Penggunaan Dosis (mg)
Nama obat Bentuk
Terapi Keterangan t ½ (jam) Hipnotik-
(nama Dagang) sediaan
(sebagai contoh) sedatif
Gejala putus
Alprazolam
Oral Ansietas obat yang terjadi 12,0 ± 2,0 --
(XANAX)
cukup berat
Lama kerja
Ansietas,
panjang, akibat
penanganan
Klorodiazepoksid Oral, im, metabolit 5,0 – 100,0;
ketergantungan 10,0 ± 3,4
(LIBRIUM) iv aktifnya, dan 1-3 x/hari
alcohol, anestesi
menurun secara
premedikasi
bertahap
Klonazepam Gejala bangkitan, Terjadi toleransi --
Oral 23,0 ± 5,0
(KLONOPIN) tambahan terapi terhadap efek

Page | 36
pada mania akut, antikonvulsi
dan kelainan
pergerakan
tertentu
Prodrug; aktif
Klorazepat Ansietas setelah diubah 3,75 – 20,0;
Oral 2,0 ± 0,9
(TRAXENE) Gejala bangkitan menjadi 2-4 x/hari
nordazepam
Ansietas, status
epilepsy,
Diazepam Oral, Iv, Prototip 43,0 ± 5,0 – 10,0
relaksasi otot,
(VALIUM) Im, rectal Benzodiazepin 13,0 3-4 x/hari
anestesi pre
medikasi.
Efek
Estazolam sampingnya 10,0 ±
Oral Insomnia 1,0 – 2,0
(PROZOM) menyerupai 24,0
triazolam
Pada
penggunaan
Flurazepam 74,0 ±
Oral Insomnia kronik terjadi 15,0 – 30,0
(DALMANE) 24,0
akumulasi
metabolit aktif
Aktif terutama
Halazepam sebab diubah
Oral Ansietas 14,0 --
(PAXIPAM) jadi metabolit
nordazepam
Ansietas, Hanya
Lorazepam Oral, im,
anestesi, pre dimetabolisme 14,0 ± 5,0 2,0 – 4,0
(ATIVAN) iv
medikasi lewat konjugasi
Benzodiazepin
Pre anestesi dan
Midazolam yang sangat
Iv, im intraoperatif- 1,9 ± 0,6 -- *
(VERSED) cepat
anestesi
diinaktifkan
Hanya 15,0 – 30,0;
Oksazepam
Oral Ansietas dimetabolisme 8,0 ± 2,4 **
(SERAX)
lewat konjugasi 3-4 x/hari

Page | 37
Pada
penggunaan
Quazepam
Oral Insomnia kronik terjadi 39.0 7,5 – 15,0
(DORAL)
akumulasi
metabolit aktif
Hanya
Temazepam
Oral Insomnia dimetabolisme 11,0 ± 6,0 7,5 – 30,0
(RESTORIL)
lewat konjugasi
Benzodiazepin
yang sangat
cepat
Triazolam diinaktifkan :
Oral Insomsia 2,9 ± 1,0 0,125 – 0,25
(HALCION) dapat
menimbulkan
gangguan di
siang hari.

2.3 Aspek Toksikologi Benzodiazepin


2.3.1 Mekanisme Toksisitas
Benzodiazepin bekerja dengan potensiasi aktivitas GABA yang merupakan
neurotransmitter mayor pada system saraf pusat.Peningkatatan neurotransmisi GABA
menyebabkan sedasi relaksasi otot, anxiolysis dan efek antikonvulsan. Stimulasi reseptor
GABA pada system saraf tepi menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung dan
vasodilatasi. Perubahan tersebut berpotensi untuk mengganggu perfusi jaringan.Efek dari
Benzodiazepin dapat meningkat jika dikonsumsi berbarengan dengan alkohol7,8.
Pengkonsumsian Benzodiazepin yang berbarerangan dengan obat sedativelainnya atau
dengan alkohol dapat membahayakan tubuh. Yang paling umum dan paling serius adalah
interaksi Benzodiazepin dengan alkohol dan hipnotik sedatif lainnya dimana terjadi
peningkatan sedasi pada system saraf pusat. Pasien dengan umur lebih tua lebih cenderung
mengalami efek sedasi dari Benzodiazepin7.
Metode penggunaan Benzodiazepin biasanya diminum sebagai tablet atau kapsul.
Terdapat juga penggunaan injeksi baik dengan tujuan medis atau non medis, serta terdapat
adanya laporan penggunaan intranasal7.

Page | 38
2.3.2 Dosis Toksik
Secara umum, toksik yaitu : rasio terapi untuk benzodiazepin sangat tinggi. Misalnya,
overdosis diazepam oral telah dilaporkan mencapai lebih dari 15-20 kali dosis terapi tanpa
depresi yang serius. Di sisi lain, penahanan pernapasan telah dilaporkan setelah menelan 5
mg triazolam dan setelah injeksi intravena yang cepat dari diazepam, midazolam, dan banyak
jenis lainnya dari benzodiazepin. Juga, konsumsi obat lain dengan agen SSP-depresan
(misalnya, etanol, barbiturat, opioid, dll) kemungkinan akan menghasilkan efek aditif 7,8.

2.3.3 Tanda dan Gejala


Adapun gejala-gejala over dosis dari Benzodiazepin adalah pusing, bingung,
mengantuk, cemas dan agitasi. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan pemeriksaan tanda
vital, dan pemeriksaan fungsi cardiorespirasi dan neurologi. Pada over dosis Benzodiazepin
saja (isolated Benzodiazepin overdose) dapat muncul sebagai coma dengan tanda vital yang
normal. Temuan pada pemeriksaan fisik dapat berupa 6,7,8 :
a. Depresi napas yang bermanifestasi sebagai hipoventilasi, apneu, sumbatan jalan napas
dapat terjadi..
b. Depresi system saraf pusat yang bermanifestasi sebagai mengantuk, somnolen, ataxia,
nistagmus dan atau koma dapat terjadi.
c. Manifestasi kardiovaskular yang dapat berupa hipotensi, takikardia, aritmia jantung yang
diinduksi hipoksia juga dapat terjadi.

2.3.4 Gambaran Forensik


a. Pemeriksaan barang bukti hidup pada kasus Benzodiazepin
Kasus keracunan merupakan kasus yang cukup pelik, karena gejala pada umumnya
sangat tersamar, sedangkan keterangan dari penyidik umumnya sangat minim. Hal ini, tentu
saja akan menyulitkan dokter, apalagi untuk racun- racun yang sifat kerjanya mempengaruhi
sistemik korban. Akibatnya pihak dokter/ laboratorium akan terpaksa melakukan
pendeteksian yang sifatnya meraba- raba, sehingga harus melakukan banyak sekali percobaan
yang mana akan menambah biaya pemeriksaan8.
Tabel 2.2 pengujian laboratorium:

Page | 39
b. Pemeriksaan Barang Bukti Mati Pada Kasus Pemakai Benzodiazepin
Penyelidikan pada kasus kematian akibat pemakaian obat-obatan memerlukan kerja sama
dalam satu tim yang terdiri dari kepolisian atau penyidik, ahli forensik, psikiater maupun ahli
toksikologi. Pertanyaan–pertanyaan yang sering muncul sehubungan dengan hal di atas
meliputi8 :
a. Apakah kejadian tersebut merupakaan kesengajaan (bunuh diri), kecelakaan, ataupun
kemungkianan pembunuhan?
b. Jenis obat apakah yang digunakan?
c. Melalui cara bagaimanakah pemakaian obat tersebut?
d. Adakah hubungan antara waktu pemakaian dengan saat kematian?
e. Apakah korban baru pertama kali memakai, atau sudah beberapa kali memakai,
ataupun sudah merupakan pecandu berat?
f. Adakah riwayat alergi terhadap obat tersebut?
g. Apakah jenis narkoba yang digunakan memprovokasi penyakit- penyakit yang
mungkin sudah ada pada korban?
h. Apakah mungkin penyakit tersebut terlibat sehubungan dengan kematian korban?

Ringkasnya, penyidikan terhadap kasus obat-obatan meliputi 4 aspek, yaitu :


a. TKP (Tempat Kejadian Perkara).
b. Riwayat korban.
c. Otopsi.
d. Pemeriksaan Toksikologi.
Page | 40
Dalam kaitannya dengan TKP, dapat ditemukan bukti- bukti adanya pemakaian obat-
obatan terlarang. Semua pakaian maupun perhiasan dan juga barang bukti obat-obatan yang
ditemukan di TKP harus diperiksa dan dianalisa lebih lanjut. Riwayat dari korban yang perlu
digali meliputi riwayat pemakaian obat-obatan terlarang yang bisa didapatkan melalui catatan
kepolisian, informasi dari keluarga, teman, maupun saksi- saksi yang berkaitan dengan
informasi penggunaan obat-obatan terlarang 6,7.
Otopsi dikonsentrasikan pada pemeriksaan luar dan dalam dan juga pada pengumpulan
sampel yang adekuat untuk pemerikasaan toksikologi. Biasanya temuan yang paling sering
didapatkan pada pemeriksaan luar adalah busa yang berasal dari hidung dan mulut. Hal ini
merupakan karakteristik kematian yang disebabkan oleh pemakaian obat-obatan meskipun
tidak bersifat diagnostik, karena pada kasus tenggelam, asfiksia, maupun gagal jantung dapat
juga ditemukan tanda kematian di atas6.
Pada pemeriksaan dalam, penyebab kematian harus digali dengan cara mencari tanda-
tanda dari komplikasi akibat pemakaian obat-obatan. Pembukaan cavum pleura dan jantung
dibarengi dengan mengguyur air untuk melihat adanya pneumothoraks, maupun emboli
udara. Pada pemeriksaan paru, biasanya didapatkan paru membesar sebagai akibat adanya
edema dan kongesti. Pada pemeriksaan getah lambung jarang didapatkan bahan – bahan obat
yang masih utuh tetapi warna dari cairan lambung dapat memberi petunjuk mengenai jenis
obat yang dikonsumsi 8.

2.3.5 Pemeriksaan Toksikologi


Pada orang yang telah meninggal, saat autopsy rutin, biasanya specimen yang diambil
adalah darah, vitreus, urin dan cairan empedu. Pada orang dengan suspect over dosis obat
secara oral, maka darah, vitreus, urin, cairan empedu, isi lambung diambil untuk pemeriksaan
serta hati, otot dan ginjal dapat diambil opsional7.
Untuk memudahkan penyidikan pada kasus keracunan benzodiazepin menggunakan
pemeriksaan toksikologi forensik yang terdiri dari 6,7,8 :
a. Uji Penapisan “Screening test”
Uji penapisan untuk menapis dan mengenali golongan senyawa (analit) dalam sampel.
Disini analit digolongkan berdasarkan baik sifat fisikokimia, sifat kimia maupun efek
farmakologi yang ditimbulkan. Obat narkotika dan psikotropika secara umum dalam uji
penapisan dikelompokkan menjadi golongan opiat, kokain, kannabinoid, turunan amfetamin,

Page | 41
turunan benzodiazepin, golongan senyawa anti dipresan tri-siklik, turunan asam barbiturat,
turunan metadon.
Uji penapisan seharusnya dapat mengidentifikasi golongan analit dengan derajat
reabilitas dan sensitifitas yang tinggi, relatif murah dan pelaksanaannya relatif cepat.
Terdapat teknik uji penapisan yaitu kromatografi lapis tipis (KLT) yang dikombinasikan
dengan reaksi warna dan teknik immunoassay.
 Teknik immunoassay
Teknik immunoassay adalah teknik yang sangat umum digunakan dalam analisis
obat terlarang dalam materi biologi.Teknik ini menggunakan “anti-drug antibody” untuk
mengidentifikasi obat dan metabolitnya di dalam sampel (materi biologik). Jika di dalam
matrik terdapat obat dan metabolitnya (antigen-target) maka dia akan berikatan dengan
“anti-drug antibody”, namun jika tidak ada antigentarget maka “anti-drug antibody”
akan berikatan dengan “antigen-penanda”. Terdapat berbagai metode / teknik untuk
mendeteksi ikatan antigenantibodi ini, seperti “enzyme linked immunoassay” (ELISA),
enzyme multiplied immunoassay technique (EMIT), fluorescence polarization
immunoassay (FPIA), cloned enzyme-donor immunoassay (CEDIA), dan radio
immunoassay (RIA).
Untuk laboratorium toksikologi dengan beban kerja yang kecil pemilihan teknik
single test immunoassay akan lebih tepat tertimbang teknik multi test, namun biaya
analisa akan menjadi lebih mahal.
Hasil dari immunoassay test ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan, bukan
untuk menarik kesimpulan, karena kemungkinan antibodi yang digunakan dapat bereaksi
dengan berbagai senyawa yang memiliki baik bentuk struktur molekul maupun bangun
yang hampir sama. Reaksi silang ini tentunya memberikan hasil positif palsu.hasil reaksi
immunoassay (screening test) harus dilakukan uji pemastian (confirmatori test).
 Kromatografi lapis tipis (KLT)
KLT adalah metode analitik yang relatif murah dan mudah pengerjaannya, namun
KLT kurang sensitif jika dibandungkan dengan teknik immunoassay.Untuk
meningkatkan sensitifitas KLT sangat disarankan dalam analisis toksikologi forensik, uji
penapisan dengan KLT dilakukan paling sedikit lebih dari satu sistem pengembang
dengan penampak noda yang berbeda.Dengan menggunakan spektrofotodensitometri
analit yang telah terpisah dengan KLT dapat dideteksi spektrumnya (UV atau
fluoresensi). Kombinasi ini tentunya akan meningkatkan derajat sensitifitas dan

Page | 42
spesifisitas dari uji penapisan dengan metode KLT. Secara simultan kombinasi ini dapat
digunakan untuk uji pemastian.
b. Uji pemastian “confirmatory test”
Uji ini bertujuan untuk memastikan identitas analit dan menetapkan kadarnya.
Umumnya uji pemastian menggunakan teknik kromatografi yang dikombinasi dengan teknik
detektor lainnya, seperti: kromatografi gas - spektrofotometri massa (GC-MS), kromatografi
cair kenerja tinggi (HPLC) dengan diode-array detektor, kromatografi cair - spektrofotometri
massa (LC-MS), KLT-Spektrofotodensitometri, dan teknik lainnya. Meningkatnya derajat
spesifisitas pada uji ini akan sangat memungkinkan mengenali identitas analit, sehingga dapat
menentukan secara spesifik toksikan yang ada.
Prinsip dasar uji konfirmasi dengan menggunakan teknik CG-MS adalah analit
dipisahkan menggunakan gas kromatografi kemudian selanjutnya dipastikan identitasnya
menggunakan teknik spektrfotometrimassa. Sebelumnya analit diisolasi dari matrik biologik,
kemudian jika perlu diderivatisasi. Isolat akan dilewatkan ke kolom CG, dengan perbedaan
sifat fisikokima toksikan dan metabolitnya, maka dengan GC akan terjadi pemisahan toksikan
dari senyawa segolongannya atau metabolitnya. Pada prisipnya pemisahan menggunakan GC,
indeks retensi dari analit yang terpisah adalah sangat spesifik untuk senyawa tersebut, namun
hal ini belum cukup untuk tujuan analisis toksikologi forensik. Analit yang terpisah akan
memasuki spektrofotometri massa (MS), di sini bergantung dari metode fragmentasi pada
MS, analitakan terfragmentasi menghasilkan pola spektrum massa yang sangat kharakteristik
untuk setiap senyawa. Pola fragmentasi (spetrum massa) ini merupakan sidik jari molekular
dari suatu senyawa.
Dengan memadukan data indeks retensi dan spektrum massanya, maka identitas dari
analit dapat dikenali dan dipastikan. Dengan teknik kombinasi HPLC-diode array detektor
akan memungkinkan secara simultan mengukur spektrum UV-Vis dari analit yang telah
dipisahkan oleh kolom HPLC. Seperti pada metode GC-MS, dengan memadukan data indeks
retensi dan spektrum UV-Vis analit, maka dapat mengenali identitas analit.

2.3.6 Penatalaksanaan Toksisitas Benzodiazepin


Pada kasus toksisitas benzodiazepine, hal pertama yang harus dilakukan adalah
memastikan keadaan airway, breathing, dan circulation pasien. Pada keadaan ini dibutuhkan
perawatan dan pemantauan yang mendukung 9.
Flumazenil (romazicon) adalah antidote spesifik untuk toksisitas benzodiazepine.
Namun penggunaannya pada keadaan toksisitas akut masih kontroversial dan biasanya

Page | 43
risikonya lebih besar dari manfaatnya. Pada toksisitas banzodiazepin jangka panjang,
flumazenil dapat memicu withdrawal dan kejang 9.
Pasien mungkin dapat dipulangkan jika asimptomatik setidaknya 6 jam setelah
konsumsi. Mereka yang memiliki toksisitas ringan dapat diamati di bagian gawat darurat
sampai mereka sembuh. Jika terdapat ketidakstabilan haemodinamik, koma, depresi
pernafasan dapat dilakukan perawatan intensif di ICU 9.
Menurut Amerrican Psychiatric Association dan National Institute Of Clinical
Excellence memiliki pedoman pengobatan dan diagnostic untuk kasus toksisitas
benzodiazepine. Pedoman tersebut diantaranya 9:
a. Pemantauan jantung
b. Suplemen oksigen dan dukung pada saluran napas.
c. Akses intravena
d. Penentuan GDS dan pemberian glukosa intravena jika diperlukan.
e. Nalokson dapat diberikan dengan dosis sangat rendah (0,05 mg dengan peningkatan
bertahap jika diperlukan) jika diagnosisnya tiddak jelas dan dugaan opioid dicurigai.
Peringatan penting bahwa meskipun pemberian 0,4 mg nalokson akan membalikan
depresi napas pada sebagian besar pasien dengan overdosis opioid, ini juga dapat
menyebabkan gejala mual dan muntah yang parah. Dapat juga terjadi aspirasi isi
lambung pada pasien yang mengalamin sedasi akibat toksisitas.
f. Pemeberian flumazenil. Flumazenil adalah antagonis reseptor toksisitas
benzodiazepine yang kompetitid dan merupakan satu-satunya obat penawar khusus
yang tersedia untuk kasus ini. Efek samping yang umum terjadi pada flumazenil
diantaranya gejala agitasi, gastrointestinal, aritmia supraventikular dan kejang.
Flumazenil tidak boleh digunakan pada pasien dengan peningkatan resiko mengalami
kejang, termasuk tiwayat kejang, cedera kepala, dll.

2.3 Aspek Medikolegal Benzodiazepin


Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika : 12
1. Pasal 1 ayat 1
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana
terlampir dalam Undang-Undang ini.

Page | 44
2. Pasal 1 ayat 13
Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika
dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis
3. Pasal 1 ayat 14
Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk
menggunakan Narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar
menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan
secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas
4. Pasal 1 ayat 15
Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan
hukum
5. Pasal 6 ayat 1
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam :
a. Narkotika Golongan I
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III
6. Pasal 7
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
7. Pasal 8 ayat 1
Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
8. Pasal 8 ayat 2
Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan 1 dapat digunakan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta
reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
9. Pasal 39 ayat 1
Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar farmasi,
dansarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini
10. Pasal 40 ayat 1
Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
a. Pedagang besar farmasi tertentu
b. Apotek

Page | 45
c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah terntentu; dan
d. Rumah sakit
11. Pasal 40 ayat 2
Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada:
a. Pedagang besar farmasi tertentu lainnya
b. Apotek
c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu
d. Rumah sakit; dan
e. Lembaga ilmu pengetahuan
12. Pasal 40 ayat 3
Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan
Narkotika kepada:
a. Rumah sakit pemerintah
b. Pusat kesehatan masyarakat
c. Balai pengobatan pemerintah tertentu
13. Pasal 41
Narkotika Golongan 1 hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu
kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi
14. Pasal 43 ayat 3
Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat dan balai pengobatan hanya dapat
menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter
15. Pasal 43 ayat 4
Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. Menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui
suntikan
b. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan
Narkotika melalui suntikan; atau
c. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
16. Pasal 111 ayat 1
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan 1 dalam bentuk
tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama

Page | 46
12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000, 00 (delapan miliar rupiah).
17. Pasal 112 ayat 1
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki menyimpan, menguasai atau
menyediakan Narkotika Golongan 1 bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)
18. Pasal 115 ayat 1
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut,
atau mentransito Narkotika Golongan 1, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah)
19. Pasal 127 ayat 1
Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan 1 bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun
b. Narkotika Golongan 2 bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun
c. Narkotika Golongan 3 bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun

Menurut UU RI No 5/1997, Psikotropika adalah: zat atau obat, baik alamiah maupun
sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku10,11.
Psikotropika terdiri dari 4 golongan:
1. Golongan I : Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan
dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan
sindroma ketergantungan. Contoh: Ekstasi.
2. Golongan II : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam
terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: Amphetamine.

Page | 47
3. Golongan III : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam
terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: Phenobarbital.
4. Golongan IV : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan
dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: Diazepam, Nitrazepam.

Benzodiazepine adalah jenis psikotropika golongan IV yang cukup banyak diresep


kan oleh dokter dan belum ada undang-undang yang mengatur penyalahgunaan.

Page | 48
JURNAL PEMBANDING

Page | 49
BAB III
JURNAL PEMBANDING

(“Postmortem toxicology of drugs of abuse”)

Dalam jurnal ini dibahas tentang eksperimen yang dilakukan oleh ahli-ahli toksikologi
tentang berbagai zat yang bias digunakan dalam melakukan tindak pidana pelecehan sesual.
Toksikologi pada spesimen post-mortem memberikan tantangan yang besar bagi ilmuwan.
Spesimen yang diteliti meliputi jaringan seperti penguraian darah dan jaringan lainnya,
rambut, otot, lemak, paru-paru, dan bahkan larva. Pemberian pakan pada host memerlukan
teknik khusus untuk mengisolasi zat asing dan memungkinkan deteksi tanpa gangguan dari
matriks.

Sejumlah obat pelecehan tidak stabil di lingkungan pasca-mortir yang membutuhkan


pertimbangan cermat saat mencoba Untuk menafsirkan zat tersebut. Heroin, morfin
glukuronida, kokain dan benzodiazepin sangat rentan degradasi. Selain itu, proses
redistributif secara signifikan dapat mengubah konsentrasi obat, terutama yang lebih tinggi.
Konsentrasi jaringan dibanding darah di sekitarnya. Golongan obat amfetamin, metadon dan
opioid kuat lainnya akan meningkat Konsentrasi mereka dalam darah post-mortem.

Proses pengembangan toleransi dari konsentrasi suatu zat berarti tidak dapat ditafsirkan
secara terpisah, tanpa melakukan pemeriksaan yang lain. Dan setelah melakukan pemeriksaan
mayat untuk menghilangkan atau menguatkan faktor-faktor yang relevan yang dapat
berdampak pada konsentrasi obat Dan kemungkinan efek zat pada tubuh. Artikel ini
mengulas beberapa masalah toksikologi tertentu yang terkait dengan semakin banyak Obat
pelecehan umum seperti amfetamin, cannabinoids, kokain, opioid dan benzodiazepin.

Deteksi obat pelecehan pada kasus postmortem bisa terjadi, Memberikan beberapa kesulitan
khusus dibandingkan dengan klinis. matriks biologis suatu obat penting untuk mengetahui
kestabilannya Dari zat dalam jaringan tersebut. Tingkat perubahan kimiawi pada interval
postmortem, atau bahkan Metabolisme postmortem, dapat mempengaruhi interpretasi Hasil.
Beberapa obat dikenal karena sifatnya yang tidak stabil.

Page | 50
Satu keuntungan dari situasi klinis adalah lebih banyak lagi Spesimen alternatif dapat
dikumpulkan dalam postmortem. Ini termasuk rambut, otot, lemak, paru-paru, otak, Tulang,
dan bahkan larva serangga yang memberi makan tuan rumah.

Makalah ini mengulas tentang postmortem terkini Toksikologi obat-obatan terlarang dan
khususnya Berfokus pada keuntungan relatif spesimen yang bisa. Dikumpulkan dan faktor-
faktor yang mempengaruhi konsentrasi obat. Termasuk artefak. Kajian ini berfokus pada
keadaan saat ini Pengetahuan dan termasuk karya terbitan yang dirujuk di Indonesia MedLine
selama 10 tahun terakhir. Obat-obatan terlarang yang tercakup dalam makalah ini meliputi
amfetamin
Terutama amfetamin, methamphetamine (MA), Methylenedioxy-methamphetamine (MDMA,
ekstasi), parametoksi Amfetamin (PMA), kokain, cannabinoids, Opioid terutama morfin,
metadon dan heroin, benzodiazepin Dan obat-obatan terkait seperti zolpidem.

Pilihan spesimen sering didikte oleh kasusnya Diselidiki, namun spesimen yang paling umum
digunakan Untuk analisis obat pelecehan dalam kasus postmortem adalah Darah, hati dan
urin. Namun, spesimen seperti vitreous Humor dan rambut memiliki kegunaan penting dalam
kasus rutin, sementara Otak, otot, lemak, tulang dan efusi pleura dan memiliki lebih banyak
Aplikasi khusus Dalam kasus pembusukan ekstrim, jaringan otot, rambut dan Tulang bisa
jadi spesimen yang berguna, meski keadaan fisiknya

Spesimen Keuntungan khusus


 Darah / plasma / serum Spesimen yang dipilih untuk sebagian besar zat
 Bile Morfin, buprenorfin, tramadol, benzodiazepin, MDMA
 Tulang Analisis kualitatif morfin, benzodiazepin, amfetamin
 Obat-obatan yang bertindak Otak Pusat, mis. Morfin, kokain, data literatur terbatas
 Fat THC, dan obat-obatan lainnya, tapi sedikit literatur untuk menafsirkan hasilnya
 Isi lambung Obat / racun oral
 Rambut Semua zat, terutama zat dasar, dan kebanyakan logam
 Otot Sebagian besar obat-obatan, namun literatur mengandung sedikit data untuk
menafsirkan konsentrasi
 Efusi pleura Sebagian besar obat-obatan, namun obat-obatan tunduk pada perubahan
konsentrasi, oleh karena itu sulit untuk menafsirkannya

Page | 51
 Ethanol etanol, beberapa biokimia, mis. Glukosa, urea, kreatinin

Nitrobenzodiazepin (nitrazepam, nimetazepam, flunitrazepam Dan clonazepam) dikonversi


ke masing-masing 7-amino-metabolit sebagai hasil bakteri anaerob . Bergantung pada kondisi
darah dan Benzodiazepin sedikit jika ada obat induk yang hadir setelah kematian, Bahkan
setelah overdosis bakteri anaerobik pada Obat lain belum pernah diteliti secara mendalam,
meski lain Obat mungkin terpengaruh. Data juga menunjukkan bahwa banyak Benzodiazepin
lainnya seperti diazepam dan temazepam adalah Labil dan terdegradasi di bawah kondisi
membusuk. Ini berarti bahwa obat ini mungkin tidak terdeteksi sama sekali Kasus yang
membusuk. Saat pembusukan sudah terjadi Dan paparan benzodiazepin mungkin telah terjadi
Dianjurkan untuk menggunakan jaringan lain dimana retensi lebih banyak Kemungkinan,
seperti rambut. Benzodiazepin lainnya juga mengalami postmortem Namun perubahan ini
bisa diminimalisir jika spesimen Disimpan pada 20,8oC atau lebih rendah dan spesimen
dianalisis Segera. Anehnya, 7-amino-benzodiazepin adalah Meja kurang dari obat induk pada
20,8oC dan membutuhkan 60,8oC untuk stabilitas yang masuk akal.

Kelebihan dan kekurangan Dari makalah Pembanding

Kelebihan Kekurangan
 Menjelaskan tentang efek toksikologi  Tidak spesifik membahas tentang
dari berbagai zat yang lebih luas pada benzodiazepine
postmortem
 Menjelaskan tentang specimen
spesifik dan umum yang digunakan
dalam pemeriksaan toksikologi

Page | 52
(“Penatalaksanaan Insomnia Pada Usia Lanjut”)

Dalam jurnal ini di dibahas tentang banyaknya penggunaan benzodiazepine pada usia lanjut
untuk mengatasi insomnia yang biasa dialami oleh lansia.

Insomnia terjadi pada lebih 50% usia lanjut namun tidak mendapatkan pengobatan. Insomnia
ini tidak bisa dianggap sebagai gangguan yang sederhana karena secara umum tidak bisa
sembuh spontan.Insomnia pada usia lanjut bersifat multifaktorial tidak hanya karena
pertambahan umur. Penanganan insomnia pada usia lanjut terdiri dari terapi nonfarmakologi
dan farmakologi. Terapi nonfarmakologi terdiri dari stimulus control, sleep retriction, sleep
hygiene, terapi relaksasi dan CBT. Dalam penanganan insomnia kronis pada usia lanjut
diharapkan terapi nonfarmakologi menjadi pilihan pertama untuk mengurangi efek samping
obat. Terapi farmakologi yang aman untuk usia lanjut adalah golongan Benzodiazepine
(BZDs), Non-Benzodiazepine dan sedating antidepressant. Golongan BZDs yang paling
sering dipakai pada usia lanjut adalah temazepam. Non-benzidiazepine yang aman pada usia
lanjut adalah zaleplon, zolpidem, eszopiclone dan ramelteon (melatonin receptor agonist).
Sedating antidepressant hanya diberikan pada pasien insomnia yang diakibatkan oleh depresi.
Trazodone merupakan sedating antidepressant yang aman pada usia lanjut

Benzodiazepine (BZDs) adalah obat yang paling sering digunakan untuk mengobati insomnia
pada usia lanjut.1,2 BZDs menimbulkan efek sedasi karena bekerja secara langsung pada
reseptor benzodiazepine. Efek yang ditimbulkan oleh BZDs adalah menurunkan frekuensi
tidur pada fase REM, menurunkan sleep latency, dan mencegah pasien terjaga di malam hari.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian BZDs pada usia lanjut
mengingat terjadinya perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik terkait pertambahan
umur.1 Absorpsi dari BZDs tidak dipengaruhi oleh penuaan akan tetapi peningkatan masa
lemak pada lanjut usia akan meningkatkan drug-elimination half life, disamping itu pada usia
lanjut lebih sensitif terhadap BZDs meskipun memiliki konsentrasi yang sama jika
dibandingkan dengan pasien usia muda.1 Pilihan pertama adalah short-acting BZDs serta
dihindari pemakaian long acting BZDs. BZDs digunakan untuk transient insomnia karena
tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Penggunaan lebih dari 4 minggu akan
menyebabkan tolerance dan ketergantungan. Golongan BZDs yang paling sering dipakai
adalah temazepam, termasuk intermediate acting BZDs karena memiliki waktu paruh 8-20

Page | 53
jam. Dosis temazepam adalah 15-30 mg setiap malam. Efek samping BZDs meliputi:
gangguan psikomotor dan memori pada pasien yang diterapi short-acting BZDs sedangkan
residual sedation muncul pada pasien yang mendapat terapi long acting BZDs. Pada pasien
yang menggunakan BZDs jangka panjang akan menimbulkan resiko ketergantungan, daytime
sedation, jatuh, kecelakaan dan fraktur.

Kelebihan dan kekurangan Dari makalah Pembanding

Kelebihan Kekurangan
 Menjelaskan tentang efek toksikologi  Membahas secara luas terapi
spesifik dari benzodiazepine terhadap insomnia, bukan hanya tentang
usia lanjut. farmakologi tetapi juga secara
nonfarmakologi.

Page | 54
DAFTAR PUSTAKA

1. Fitriana NA. Forensic Toxicology vol 4, no 4.J Majority. Lampung: Universitas


Lampung; 2015.
2. Pranarka K. Toksikologi Forensik. In Abrahan, Rahman A, PN Bambang, Gatot,
Salim HB, editors. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2010.p. 79
3. Levine, Barry. Principle of Forensic Toxicology. Edisi 2. Tersedia dalam
http://books.google.co.id/books?id=k7BInEQ-
iqgC&pg=PA179&lpg=PA179&dq=forensic+toxicology+benzodiazepine&source=bl&o
ts=2BQr2DDSBM&sig=7-
Vj8_ax9_MmghihxEK8GJ2OfiU&hl=en&sa=X&ei=bFL9UaWfNpHtrQestoGoDg&redir_
esc=y#v=onepage&q=forensic%20toxicology%20benzodiazepine&f=false ; 2003
4. Septian, Akbar.Referat Ilmu Kedokteran Forensik Benzodiazepine. Jakarta :
Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran”; 2013
5. Katzung, Bertam G. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 2 Ed.8. Jakarta: Salemba
Medika Glance; 2002.
6. American Psychiatric Association.Benzodiazepine Dependence, Toxicity, and
Abuse.Tersedia dalam
http://books.google.co.id/books?id=FoTursyqFP8C&pg=PA39&lpg=PA39&dq=toxicol
ogy+mechanism+of+benzodiazepine&source=bl&ots=Cnf2dfDzIo&sig=W9hqNiG3csU
W-
ndBWHpZckGXD6c&hl=en&sa=X&ei=PrkFUvyKD8jwrQe72oDIBQ&redir_esc=y#v=one
page&q=toxicology%20mechanism%20of%20benzodiazepine&f=false; 1990.
7. Holstege, C P. Opioids/Benzodiazepines Poisoning Clinical Presentation.Tersedia
dalam http://emedicine.medscape.com/article/834190-clinical#showall;2012.
8. Griffin E. Charles, Kaye M. Adam, Bueno FR, Kaye AD. Benzodiazepine
Pharmacology and Central Nervous System Mediated Effects. Los Angeles. The
Ochsner Journal: University Of Southern California; 2013.
9. Gresham C. Benzodiazepine Toxicity Treatment & Management. Amerika. Emedicine
Medscape: American College Of Medical Toxicology; 2016.
10. http://www.bnn.go.id
11. U n d a n g - u n d a n g R e p u b l i k I n d o n e s i a N o . 5 T a h u n 1 9 9 7 , t a n g g a l
1 1 m a r e t 1997, tentang Psikotropika
12. Kepmenkes RI. Pedoman Penatalaksanaan Medik Gangguan Penggunaan NAPZA.
Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan RI ; 2010.
13. Drummer OH. Postmortem toxicology of drugs of abuse. Diunduh dari
www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0379073804001033.Diunduh pada tangal
18 Agustus 2017.
14. Astuti NMH. Penatalaksanaan Insomnia Pada Usia Lanjut. Diunduh dari
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/5119/3912. Diakses pada 19
Agustus 2017.

Page | 55

Anda mungkin juga menyukai