Anda di halaman 1dari 31

REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

BENZODIAZEPINE

Diajukan guna memenuhi tugas dan melengkapi syarat dalam menempuh


Program pendidikan Profesi Dokter

Disusun Oleh :

Akbar Septian (1210221030) FK UPN


Ida Ayu Diani PS (1210221010) FK UPN
Tika Martika Rini (1210221040) FK UPN
Rulli Eka Prananda (1210221060) FK UPN
Widya Febriani (1210221047) FK UPN

Dosen Penguji : Bpk. Saebani, SKM, M.Kes


Residen Pembimbing : dr. Suryo Wijoyo

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN NIVERSITAS DIPONEGORO
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DOKTER KARIADI SEMARANG
PERIODE 15 JULI 3 AGUSTUS
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat kesehatan dan
keselamatan sehingga pembuatan referat ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Referat ini dibuat sebagai salah satu tugas Kepanitraan Klinik Bagian Ilmu Forensik RSUP
Dr. Kariadi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

1
Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada residen pembimbing dr.Suryo Wijoyo
dan dosen Penguji Bapak Saebani, SKM, M.Kes atas bimbingan dan arahannya dalam
pembuatan refrat ini dan kepada semua pihak yang telah membantu kami sehingga refrat
ini dapat terselesaikan dengan baik.
Tentunya sebagai manusia biasa yang tak pernah luput dari kesalahan dan sebagai
insan yang masih terus menuntut ilmu, kami menyadari bahwa pembuatan referat ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mohon maaf apabila dalam pembuatan
makalah ini terdapat banyak kesalahan.
Akhirnya kami ucapkan terima kasih atas perhatiannya dan semoga referat ini dapat
berguna dan menambah pengetahuan bagi kita semua. Amin.

Semarang, Juli 2012

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Toksikologi forensik adalah salah satu dari cabang ilmu forensik. Menurut
Saferstein yang dimaksud dengan Forensic Science adalah the application of science to
low, maka secara umum ilmu forensik (forensik science) dapat dimengerti sebagai aplikasi
atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk penegakan hukum dan peradilan. Guna
lebih memahami pengertian dan ruang lingkup kerja toksikologi forensik, maka akan lebih
baik sebelumnya jika lebih mengenal apa itu bidang ilmu toksikologi. Ilmu toksikologi

2
adalah ilmu yang menelaah tentang kerja dan efek berbahaya zat kimia atau racun terhadap
mekanisme biologis suatu organisme.1
Racun adalah senyawa yang berpotensi memberikan efek yang berbahaya terhadap
organisme. Sifat racun dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di
reseptor, sifat fisiko kimis toksikan tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem
bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Tosikologi
forensik menekunkan diri pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu toksikologi untuk
kepentingan peradilan.2
Kerja utama dari toksikologi forensik adalah melakukan analisis kualitatif maupun
kuantitatif dari racun dari bukti fisik dan menerjemahkan temuan analisisnya ke dalam
ungkapan apakah ada atau tidaknya racun yang terlibat dalam tindak kriminal, yang
dituduhkan, sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan.3
Hasil analisis dan interpretasi temuan analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu
laporan yang sesuai dengan hukum dan perundang-undangan. Menurut Hukum Acara
Pidana (KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan Surat Keterangan Ahli atau Surat
Keterangan. Jadi toksikologi forensik dapat dimengerti sebagai pemanfaatan ilmu
tosikologi untuk keperluan penegakan hukum dan peradilan. Toksikologi forensik
merupakan ilmu terapan yang dalam praktisnya sangat didukung oleh berbagai bidang ilmu
dasar lainnya, seperti kimia analisis, biokimia, kimia instrumentasi,
farmakologitoksikologi, farmakokinetik, biotransformasi.2
Narkotika ialah bahan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
(nabati dan kimiawi) yang dapat mempengaruhi akal, badan, penurunan atau perubahan
kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan bagi yang mengonsumsinya. Hal ini dapat menyebabkan
badannya menjadi meriang dan pemalas, lenyap kegigihannya, tertutup akalnya dan
menjadikannya sebagai pecandu dan tak dapat melepaskan diri darinya.4
Penyalahgunaan narkotika merupakan suatu pola penggunaan zat yang bersifat
patologik paling sedikit satu bulan lamanya. Menurut ICD 10 (International Classification
of Diseases), berbagai gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat

3
dikelompokkan dalam berbagai keadaan klinis, seperti intoksikasi akut, sindroma
ketergantungan, sindroma putus obat, dan gangguan mental serta perilaku lainnya.4
Benzodiazepine merupakan obat yang sering digunakan sebagai terapi lini pertama
untuk penatalaksanaan kejang, terutama kejang demam dan status epileptikus. Diazepam
adalah turunan dari benzodiazepine yang merupakan sedatif yang berhubungan erat dengan
depresi sistem saraf pusat. Obat ini merupakan obat standar terhadap benzodiazepin
lainnya. Benzodiazepin lainnya bekerja dengan meningkatkan efek GABA (gamma
aminobutyric acid) di otak. GABA adalah neurotransmitter (suatu senyawa yang digunakan
oleh sel saraf untuk saling berkomunikasi) yang menghambat aktifitas di otak.5
Benzodiazepin termasuk obat psikotropika yang penggunaannya harus dengan resep
dokter. Diazepam merupakan obat dengan kelas terapi antiansietas, antikonvulsan, dan
sedatif. Digunakan pada pengobatan agitasi, tremor, delirium, kejang, dan halusinasi akibat
alkohol. Dalam mengatasi kejang, benzodiazepine dapat dikombinasikan dengan obat-
obatan lain. Benzodiazepine dimetabolisme di hati dan di eksresikan di ginjal.5
Sifat Benzodiazepine tidak larut dalam air dan harus berdisosiasi pada pelarut
organik (propylene, glycol, sodium benzoat), rasa sakit mungkin muncul pada pemberian
intramuskuler ataupun pada pemberian intravena. Penggunannya harus mendapat perhatian
terutama pada pasien yang memiliki masalah pada penyakit pernapasan, kelemahan otot/
myastenia gravis, riwayat ketergantungan obat, kelainan kepribadian yang jelas, hamil dan
menyusui.6
Benzodiazepine juga memiliki berbagai efek samping dari yang ringan sampai
berat, interaksi obat perlu perhatian bagi kalangan medis dan penggunanya. Dalam makalah
ini akan dijelaskan mengenai obat antikonvulsan diazepam serta efek toksikologi dalam
kegunaan dalam bidang forensik.6
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja efek samping dari benzodiazepine ?
2. Apa kegunaan dan penyalahgunaan dari benzodiazepin ?
3. Bagaimana dasar hukum mengenai benzodiazepine ?
4. Bagaimana gambaran forensik pada kasus penggunaan benzodiazepine ?

1.3 TUJUAN

4
1. Untuk menambah pengetahuan mengenai efek samping dari benzodiazepine
2. Untuk menambah pengetahuan mengenai kegunaan dan penyalahgunaan dari
benzodiazepine
3. Untuk menambah pengetahuan mengenai dasar hukum mengenai benzodiazepine
4. Untuk menambah pengetahuan mengenai gambaran forensik pada penggunaan
benzodiazepine

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Benzodiazepine adalah sekolompok obat golongan psikotropika yang
mempunyai efek antiansietas atau dikenal sebagai minor tranquilizer, dan
psikoleptika. Benzodizepine merupakan salah satu obat yang bekerja di sistem saraf
pusat, bersifat hipnotik dan sedatif.7
Benzodiazepine biasa disebut dengan pil koplo, pil nipam, BK, Lexo,
Rohyp, MG, Magadon, Benzos, Rowies, Serries, Moggies, Vals, V, Sleepers.7

B. Struktur Kimia

Rumus benzodiazepine terdiri dari cincin benzene (cincin A) yang melekat


pada cincin aromatic diazepin (cincin B). Karena benzodiazepine yang penting
secara farmakologik selalu mengadung gugus 5-aril (cincin C) dan cincin 1,4-
benzodiazepin, rumus bangun kimia golongan ini selalu diidentikkan dengan 5-aril
1,4-benzodiazepin.Kebanyakan mengandung gugusan karboksamid dalam struktur
cincin heterosiklik beranggota 7. Substituent pada posisi 7 ini sangat penting dalam
aktivitas hipnotik sedative.6

5
Pada umumnya, semua senyawa benzodiazepine memiliki empat daya kerja
seperti efek anxiolitas, hipnotik-sedatif, antikonvulsan, dan relaksan otot. Setiap
efek berbeda-beda tergantung pada drivatnya dan berdasarkan pengaruh GABA
pada system saraf pusat (SSP). Benzodiazepine menimbulkan efek hasrat tdur bila
diberi dalam dosis tinggi pada malam hari, dan memberikan efeke sedasi jika
diberikan dalam dosis rendah pada siang hari.6

Keuntungan yang bisa didapat dari penguna benzodiazepine adalah tidak


merintangi tidur REM. Awalanya, zat ini diperkirakan tidak menimbulkan toleransi,
tetepi teryata zat ini menimulkan toleransi jika digunakan dalam 1-2 minggu.8

Gambar 1. Rumus umum struktur kimia benzodiazepine

C. Sediaan
Benzodiazepine berbentuk tablet, kapsul, dan suntikan. Dapat digunakan
dengan cara ditelan, suntikan intravena melalui lubang dubur dan dilarutkan
dibawah lidah.6
D. Penggolongan Benzodiazepine
Berdasarkan lama kerjanya, benzodiazepinedapat digolongkan kedalam tiga
kelompok :6
1. Long acting.
Obat obat ini dirombak dengan jalan demetiasi dan hidroksilasi
menjadi metabolit aktif (sehingga memperpanjang waktu kerja) yang
kemudian dirombak kembali menjadi oksazepam yang dikonjugasi
menjadi glukoroida tak aktif. Metabolit aktif desmetil biasanya
bersifat anxiolitas. Sehingga biasanya, zat long acting lebih banyak
digunakan sebagai obat tidur walaupun efek induknya yang paling

6
menonjol adalah sedative-hipnotik. Contohnya diazepam,
flurazepam.6

2. Short acting
Obat obat ini dimetabolisme tanpa menghasilkan zat aktif.
Sehingga waktu kerjanya tidak diperpanjang. Obat obat ini jarang
menghasilkan efek sisa karena tidak terakumulasi pada penggunaan
berulang. Contohnya lorazepam, estazolam.6
3. Ultra short acting
lama kerjanya sangat kurang dari short acting. Hanya kurang dari 5,5
jam. Efek abstinensia lebih besar terjadi pada obat obatan jenis ini.
Selalin sisa metabolit aktif menentukan untuk perpanjangna waktu
kerja, afinitas terhadap reseptor juga sangan menentukan lamanya
efek yang terjadi saat penggunaan. Semakin kuat zat berikatan pada
reseptornya, semakin lama juga waktu kerjanya. Contohnya
midazolam, triazolam.6

E. Farmakokinetik

Sifat fisikokimia dan farmakokinetik benzodiazepine sangat mempengaruhi


penggunaannya dalam klinik karena menentukan lama kerjanya. Semua
benzodiazepine dalam bentuk nonionic memiliki koefesien distribusi lemak : air
yang tinggi; namun sifat lipofiliknya daoat bervariasi lebih dari 50 kali, bergantung
kepada polaritas dan elektronegativitas berbagai senyawa benzodiazepine.6
Semua benzodiazepin pada dasarnya diabsorpsi sempurna,
kecuali klorazepat; obat ini cepat mengalami dekarboksilasi dalam cairan lambung
menjadi N-desmetil-diazepam (nordazepam), yang kemudian diabsorpsi sempurna.
Beberapa benzodiazepin (seperti prazepam dan flurazepam) mencapai sirkulasi
sistemik hanya dalam bentuk metabolit aktif.7

7
Golongan benzodiazepine menurut lama kerjanya dapat dibagi dalam 4 golongan :7
1. senyawa yang bekerja sangat cepat
2. senyawa yang bekerja cepat, dengan t kurang dari 6 jam : triazolam dan
nonbenzodiazepin (zolpidem, zolpiklon).
3. senyawa yang bekerja sedang, dengan t antara 6-24 jam : estazolam dan
temazepam.
4. senyawa yang bekerja dengan t lebih lama dari 24 jam : flurazepam, diazepam,
dan quazepam.

Benzodizepin dan metabolit aktifnya terikat pada protein plasma. Kekuatan


ikatannya berhubungan erat dengan sifat lipofiliknya, berkisar dari 70%
(alprazolam) sampai 99% (diazepam). Kadarnya pada cairan serebrospinal (CSS)
kira-kira sama dengan kadar obat bebas di dalam plasma.6
Profil kadar plasma sebagian besar benzodiazepine secara tetap mengikuti
model kinetic dua kompartemen, namun bagi benzodiazepine yang sangat larut
lemak, profil kinetiknya lebih sesuai dengan model kinetic tiga kompartemen.
Dengan demikian, setelah pemberian benzodiazepine iv (atau peroral bagi
benzodiazepine yang diabsorpsi sangat cepat) ambnilan ke dalam otak dan organ
dengan perfusi tinggi lainnya terjadi sangat cepat, diikuti dengan redistribusi ke
jaringan yang kurang baik perfusinya, seperti otot dan lemak. Kinetika redistribusi
diazepam dan benzodiazepine yang lipofilik menjadi rumit oleh adanya sirkulasi
entero hepatic. Volume distribusi benzodiazepine adalah besar, dan banyak
diantaranya meningkat pada usia lanjut. Benzodiazepin dapat melewati sawar uri
dan disekresi kedalam ASI. 6
Benzodiazepin dimetabolisme secara ekstensif oleh kelompok enzim sitokro
P450 di hati, terutama CYP3A4 dan CYP2C19. Beberapa benzodiazepine seperti
oksazepam, dikonjugasi langsung, tidak dimetabolisme oleh enzim tersebut.
Beberapa penghambat CYP3A4, antara lain : eritromisin,, klaritromisin, ritovnavir,
itrakonazol, ketokonazol, nefazodon, dan sari buah grapefruit dapat mempengaruhi
metabolism benzodiazepine.7

8
Metabolit aktif benzodiazepine umumnya dibiotransformasi lebih lambat
dari senyawa asalnya, sehingga lama kerja benzodiazepine tidak sesuai
denganwaktu paruh eliminasi obar asalnya; misalnya waktu paruh metabolit
aktifnya (N-desalkil flurazepam) 50 jam atau lebih. 5
Sebaliknya pada benzodiazepine yang diinaktifkan pada reaksi pertama
kecepatan metabolism menjadi penentu lama kerjanya; misalnya oksazepam,
lorazepam, temazepam, triazolam, dan midazolam. Metabolisme benzodiazepine
terjadi dalam 3 tahap yaitu desaalkilasi, hidroksilasi, dan konjugasi.6
Hipnotik ideal harus memiliki mula ketja cepat, mampu memeprtahankan
tidur sepanjang malam, dan tidak meninggalkan efek residu pada keesokan harinya.
Diantara benzodiazepine yang digunakan sebagai hipnotik, secara teoritis triazolam
mendekati criteria tersebut. Namun, dalam praktek, bagi beberapa pasien
penggunaan hipnotik yang cepat tereliminasi dalam darah merugikan karena masa
kerjanya pendek, sehingga lama tidirnya brkurang dan kecenderungan timbulnya
rebound insomnia pada saat penghentian oabt. Flurazepam kurang sesuai sebagai
hipnotik, sebab kecepatan eliminasi metabolit aktifnya yang sangat lambat. Namun
dengan pemilihan dosis yang hati-hati, flurazepam dan benzodiazepine lain yang
memiliki kecepatan eliminasi lebih lambat dari triazolam masih dapat digunakan
secara efektif. 9
F. Farmakodinamik
Hampir semua efek benzodiazepine merupakan hasil kerja golongan ini pada
SSP dengan efek utama : sedasi, hypnosis, pengurangan terhadap rangsangan
emosi/ansietas, relaksasi otot, dan anti konvulsi.Hanya dua efek saja yang
merupakan kerja golongan ini pada jaringan perifer : vasodilatasi koroner (setelah
pemberian dosis terapi golongan benzodiazepine tertentu secara iv), dan blokade
neuromuskular (yang hanya terjadi pada pemberian dosis tinggi).6,9,10
1. Susunan saraf pusat
Walaupun benzodiazepine mempengaruhi semua tingkatan aktivitas
saraf, namun beberapa derivate benzodiazepine pengaruhnya lebih besar
terhadap SSP dari derivate yang lain. Benzodiazepine tidak mampu

9
menghasilkan tingkat depresi saraf sekuat golongan barbiturate atau anestesi
umum lainnya. Semua benzodiazepine memilii profil farmakologi yang
hamper sama, namun efek utamanya sangat bervariasi, sehingga indikasi
kliniknya dapat berbeda. Peningkatan dosis benzodiazepine menyebabkan
depresi SSP yang meningkat dari sedasi ke hipnotis, dan dari hipnosis ke
stupor; keadaan ini sering dinyatakan sebagai efek anesthesia, tapi obat
golongan ini tidak benar-benar memperlihatkan efek anestesi umum yang
spesifik, karena kesadaran pasien teteap bertahan dan relaksasi otot yang
diperlukan untuk pembedahan tidak tercapai. Namun pada dosis
preanestetik, benzodiazepine menimbulkan amnesia anterograd terhadap
kejadian yang berlangsung setelah pemberian obat. Sebagai anestesi umum
untuk pembedahan, benzodaizepin harus dikombinasikan dengan obat
pendepresi SSP lain. Belum dapat dipastikan, apakah efek ansietas
benzodiazepine identik dengan efek hipnotik sedatifnya atau merupakan
efek lain.
Beberapa benzodiazepine menginduksi hipotonia otot tanpa
gangguan gerak otot normal, obat ini mengurangi kekakuan pada pasien
cerebral palsy. 6,9,10
Kerja benzodoazepin terutama merupakan interaksinya dengan
reseptor penghambat neurotransmitter yang diaktifkan oleh asam gamma
amino butirat (GABA). Reseptor GABA merupakan protein yang terikat
pada membrane dan dibedakan dalam 2 bagian besar sub-tipe, yaitu
reseptor GABAA dan reseptor GABAB. 6,9,10

Reseptor inotropik GABAA terdiri dari 5 atau lebih sub unit (bentuk
majemuk , , dan subunit) yang membentuk suatu reseptor kanal ion
klorida kompleks. Resptor ini berperan pada sebagian besar besar
neurotransmitter di SSP.

10

Reseptor GABAB, terdiri dari peptide tunggal dengan 7 daerah
transmembran, digabungkan terhadap mekanisme signal transduksinya
oleh protein-G. 6,9,10
Benzodiazepin bekerja pada reseptor GABAA, tidak pada reseptor
GABAB. Benzodiazepin berikatan langsung pada sisi spesifik (subunit )
reseptor GABAA (reseptor kanal ion Klorida kompleks), sedangkan GABA
berikatan pada subunit atau . Pengikatan ini akan menyebabkan pembukaan
kanal klorida, memungkinkan masuknya ion klorida kedalam sel, menyebabkan
peningkatan potensial elektrik sepanjang membrane sel dan menyebabkan sel
sukar tereksitasi. 6

Benzodiazepine merupakan basa lemah yang sangat efektif diarbsorbsi pada


pH tinggi yang ditemukan dalam duodenum. Reabsorbsi di usus berlangsung dengan
baik karena sifat lipofil dari benzodiazepine dengan kadar maksimal dicapai pada
sampai 2 jam. Pengecualian terjadi pada pengunaan klordiazepoksida, oksazepam dan
lorazepam. Karena sifatnya yang kurang lipofilik, maka kadar maksimunya baru
tercapai 14 jam. Distribusi terutama di otak, hati dan jantung. Beberapa diantara zat
benzodiazepine mengalami siklus enterohepatik. 6

11
Jika diberikan supositoria, reabsorbsinya agak lambat. Tetapi bila diberikan
dalam bentuk larutan rectal khusus, reabsorsinya sangat cepat. Oleh karena itu bentuk
ini sangat sering diberikan pada keadaan darurat seperti pada kejang demam. 10
Zat ini bersifat lipofil sehingga dapat menembus sawar plasenta dan dapat
mencapai janin. Aliran darah ke plasenta relative lambat maka kecepatan dicapainya
darah janin relative lebih lambat dibandingkan ke system saraf pusat, tetapi jika zat
diberikan sebelum lahir makan mengakibatkan penekanan fungsi vital neonates.10

2. Efek pada respirasi dan kardiovaskular


Benzodiazepin dosis hipnotik tidak berefek pada pernapasan orang normal.
Penggunaannya perlu diperhatikan pada anak-anak dan individu yang menderita
kelainan fungsi hati. Pada dosis yang lebih tinggi, misalnya pada anestesi pemedikasi
ayau pre endoskopi, benzodiazepine sedikit mendepresi ventilasi alveoli, dan
menyebabkan asidosis respiratoar, hal ini lebih karena penurunan keadaan hipoksia
daripada dorongan hiperkaptik; efek ini terutama terjadi pada pasien dengan PPOK
yang mengakibatkan hipoksia alveolar dan/atau narcosis CO2. Obat ini dapat
menyebabkan apnea selama anestesi atau bila diberi bersama opiat. Gangguan
pernapasan yang berat pada intoksikasi benzodiazepine biasanya memerlukan bantuan
pernapasan hanya bila pasien juga mengkonsumsi obat pendepresi SSP yang lain,
terutama alkohol.10
Pemberian benzodiazepine pada prakteknya menghasilkan penekanan pada zat
endogen mirip benzodiazepine. Sehingga zat zat ini berkurang kadarnya saat
pemberian benzodiazepine. Efek inilah yang akan mempengeruhi ketergantungan
tubuh terhadap benzodiazepine. Hal ini dapat dihindari dengan pemakaian benar dari
zat- zat turuna benzodiazepine. 10

G. Efek Samping
Pemakaian awal dapat meneyababkan beberapa efek samping. Efek tersebut
antara lain adalah rasa kantuk, pusin, nyeri kepala, mulut kering, dan rasa pahit di
mulut. Adapun efek samping lainnya adalah : 6,9,10

12
1. Hang over. Efek sisa yang disebabkan adanya akumulasi dari sisa
metabolit aktif. Jika ini terjadi pada pengendara bermotor, resiko terjadi
kecelakaan meningkat lbih dari lima kali lipat.
2. Amnesia Retrograde.
3. Gejala Paradoksal. Berupa eksitasi, gelisah, marah-marah, mudah
terangsang, dan kejang-kejang
4. Ketergantungan. Timbulnya efek ini karena timbulnya gejaa abstinens
yang menyebabkan pemakai merasa lebih nyama jika mengunakan zat
ini. Jika terjadi menahun dapat menimulkan kompulsif sehingga terjadi
ketergantungan fisik
5. Toleransi. Terjadi setelah 1-2 minggu pemakaian.
6. Abstinens. Gejala yang timbul merupakan gejala yang mirip dan
bahakan lebih parah dibandingkan gejala sebelum dipakainya
benzodiazepine. Misalya timbu nightmare, takut, cemas dan ketegangan
yang hebat.

H. Indikasi dan Posologi


Penggunaan untuk terapi atau indikasi serta posologi (cara pemberian/bentuk
sediaan), dan dosis) beberapa benzodiazepine yang ada di pasaran dapat dilihat pada
tabel berikut : 6,9,10

Nama obat Bentuk Penggunaan Keterangan t (jam) Dosis (mg)


(nama Dagang) Hipnotik-
sediaan Terapi
(sebagai sedatif
contoh)
Alprazolam Oral Ansietas Gejala putus 12,0 2,0 --
(XANAX)
obat yang terjadi
cukup berat

Klorodiazepoksid Oral, im, Ansietas, Lama kerja 10,0 3,4 5,0 100,0;
(LIBRIUM) 1-3 x/hari
iv penanganan panjang, akibat
ketergantungan metabolit

13
alcohol, anestesi aktifnya, dan
premedikasi menurun secara
bertahap

Klonazepam Oral Gejala bangkitan, Terjadi toleransi 23,0 5,0 --


(KLONOPIN)
tambahan terapi terhadap efek
pada mania akut, antikonvulsi
dan kelainan
pergerakan
tertentu

Klorazepat Oral Ansietas Prodrug; aktif 2,0 0,9 3,75 20,0;


(TRAXENE) Gejala bangkitan 2-4 x/hari
setelah diubah
menjadi
nordazepam

Diazepam Oral, Iv, Ansietas, status Prototip 43,0 5,0 10,0


(VALIUM) 3-4 x/hari
Im, rectal epilepsy, benzodiazepine 13,0
relaksasi otot,
anestesi pre
medikasi.

Estazolam Oral Insomnia Efek sampingnya 10,0 24,0 1,0 2,0


(PROZOM)
menyerupai
triazolam

Flurazepam Oral Insomnia Pada 74,0 24,0 15,0 30,0


(DALMANE)
penggunaan
kronik terjadi
akumulasi
metabolit aktif

Halazepam Oral Ansietas Aktif terutama 14,0 --


(PAXIPAM)
sebab diubah jadi
metabolit

14
nordazepam

Lorazepam Oral, im, iv Ansietas, anestesi, Hanya 14,0 5,0 2,0 4,0
(ATIVAN)
pre medikasi dimetabolisme
lewat konjugasi

Midazolam Iv, im Pre anestesi dan Benzodiazepin 1,9 0,6 -- *


(VERSED)
intraoperatif- yang sangat
anestesi cepat
diinaktifkan

Oksazepam Oral Ansietas Hanya 8,0 2,4 15,0 30,0; **


(SERAX) 3-4 x/hari
dimetabolisme
lewat konjugasi

Quazepam Oral Insomnia Pada 39.0 7,5 15,0


(DORAL)
penggunaan
kronik terjadi
akumulasi
metabolit aktif

Temazepam Oral Insomnia Hanya 11,0 6,0 7,5 30,0


(RESTORIL)
dimetabolisme
lewat konjugasi

Triazolam Oral Insomsia Benzodiazepine 2,9 1,0 0,125 0,25


(HALCION) yang sangat cepat
diinaktifkan :
dapat
menimbulkan
gangguan di siang
hari.

Tabel 1.1 Posologi Benzodiazepin

I. Ketergantungan Benzodiazepine

15
Gejala penyalahgunaan Napza sangat bergantung dari tahapan
pemakaiannnya dan untuk sampai pada konsisi ketergantungan seseorang akan
mengalami beberapa tahap : 4
1. Experimenta Use adalah periode dimana seseorang mulai mencoba-coba
mengunakan narkoba dan zat adiktif untuk tujuan memenuhi rasa ingin tahu.
2. Social Use adalah periode dimana individu mulai mencoba mengunakan
narkoba untuk tujuan rekreasional, namun sama sekali tidak mengalami
problem yang berkitan dengan aspek sosial, financial, media dan sebagainya.
Umumnya individu masih dapat mengontrol pengunaannya.
3. Early Problem Use adalah periode dimana individu sudah menyalahgunakan
narkoba dan perilaku penyalahgunaan in mulai berpengaruh pada kehidupan
sosial individu tersebut, seperti timbulnya malas bersekolah, keinginan
bergaul dengan orang orang tertentu, dan sebagainya.
4. Early Addiction adalah periode dimana individu sampai pada perilaku
ketergantugan baik fisik, maupun psikologis, dan perilaku ketergantungan
ini sangat mengganggu kehidupan individu tersebut.
5. Severe Addiction adalah periode dimana individu hanya hidup dan berlaku
untuk mempertahankan ketergantungannya, sama sekali tidak
memperhatikan lingkunga sosial dan diri sendiri. pada biasanya sudah
terlibat pada tindakan criminal.

Ketergantungan pada obat tidur dan anti-cemas menyebabkan berkurangnya


kewaspadaan disertai pembicaraan yang melantur, koordinasi buruk, kebingungan
dan melambatnya pernafasan. Obat ini dapat menyebabkan penderita mengalami
depresi dan cemas secara bergantian.8
Penghentian obat secara tiba- tiba bisa menyebabkan reaksi seperti pada gejala
putus alcohol (DTs, delirium). Gejala putus obat yang serius lebis sering terjadi
pada pemakaian bariturat atau glutetimid. 8
Terjadinya depresi SSP dapat diamati dalam 30-120 menit untuk konsumsi
secara oral, tergantung pada senyawanya. Letargi, berbicara cadel, ataksia, koma,
dan gangguan pernapasan dapat terjadi. Umumnya, pasien dengan koma

16
benzodiazepin mengalami hyporeflexia dan pupil mata mengecil. Kemungkinan
dapat terjadi hipotermia. Komplikasi yang lebih serius mungkin terjadi ketika
terlibatnya short-acting agen yang baru atau ketika telah mengonsumsi obat
depresan lainnya. Komplikasi jarang terjadi, tapi apabila terjadi, komplikasi
terhadap kasus ini meliputi Aspirasi pneumonia, Rhabdomyolysis, dan Kematian
(jarang terjadi). 8

J. Gejala-gejala pada intoksikasi benzodiazepine : 11

- Gejala neurologis : pembicaraan cadel, gangguan koordinasi motorik, cara jalan

yang tidak stabil (sempoyongan), nistagmus, stupor atau koma dapat pula terjadi.

- Gejala psikologis : afek labil, hilangnya hambatan impuls seksual dan agresif,

iritabel, banyak bicara, gangguan dalam memusatkan perhatian, gangguan daya

ingat dan daya nilai, fungsi sosial atau okupasional terganggu.

- Gejala overdosis : pernafasan lambat atau cepat tetapi dangkal, tekanan darah

turun, nadi teraba lemah dan cepat, kulit berkeringat dan teraba dingin,

hematokrit meningkat.

K. Gejala pada keadaan putus benzodiazepine

Putus zat benzodiazepine adalah penghentian (pengurangan) penggunaan

benzodiazepine yang telah berlangsug lama dan memanjang. Keparahan sindrom

putus zat yang disebabkan oleh benzodiazepine bervariasi secara signifikan

tergantung dosis rata-rata dan dosis penggunaan, tapi sindrom putus zat ringan

bahkan dapat terjadi setelah penggunaan jangka pendek benzodiazepine dosis relatif

rendah. Sindrom putus zat yang signifikan mungkin terjadi pada penghentian dosis,

contohnya dalam kisaran 40 mg sehari untuk diazepam, meski 10 sampai 20 mg

17
sehari, bila dikonsumsi selama sebulan, juga dapat mengakibatkan sindrom putus

zat bila pemberian obat dihentikan. Awitan gejala putus zat biasanya terjadi 2

sampai 3 hari setelah penghentian penggunaan, tapi dengan obat kerja lama, seperti

diazepam, latensi sebelum awitan mungkin 5 sampai 6 hari. 11

Gejala putus zat benzodiazepine : insomnia, mual dan muntah, tampak

lemah, letih dan dizzines, takikardi, tekanan darah meningkat, ansietas, depresi,

iritabel, tremor kasar pada tangan, lidah dan kelopak mata, kadang terjadi, agitas,.

Gejala lainnya meliputi disforia, intoleransi terhadap cahaya terang dan suara keras,

gangguan persepsi singkat (ilusi atau halusinasi visual, taktil atau auditorik),

tinnitus, fatigue, depersonalisasi dan derealisasi, pandangan kabur, kedutan otot

(biasanya pada dosis diazepam 50 mg per hari atau lebih). Gejala yang jarang terjadi

tetapi membutuhkan perhatian khusus setelah putus zat seperti hipotensi ortostatik,

kejang (biasanya terjadi pada penggunaan benzodiazepine bersama dengan alkohol)

dan timbulnya delirium. 11

L. Dosis Toksik
Secara umum, toksik yaitu : rasio terapi untuk benzodiazepin sangat tinggi.
Misalnya, overdosis diazepam oral telah dilaporkan mencapai lebih dari 15-20 kali
dosis terapi tanpa depresi yang serius. Di sisi lain, penahanan pernapasan telah
dilaporkan setelah menelan 5 mg triazolam dan setelah injeksi intravena yang cepat
dari diazepam, midazolam, dan banyak jenis lainnya dari benzodiazepin. Juga,
konsumsi obat lain dengan agen SSP-depresan (misalnya, etanol, barbiturat, opioid,
dll) kemungkinan akan menghasilkan efek aditif.6

18
M. Diagnosis

Biasanya didasarkan pada sejarah konsumsi obat oral atau injeksi terakhir.
Perbedaan diagnosis harus mencakup agen penenang-hipnotik lainnya,
antidepresan, antipsikotik, dan narkotika. Koma dan pupil yang mengecil tidak
merespon dengan nalokson tetapi dapat diatasi dengan pemberian flumazenil.12,13

1) Tingkat Spesifik.
Kadar obat pada serum sering tersedia pada laboratorium toksikologi komersial
namun jarang dinilai dalam manajemen darurat. Urin dan skrining darah
kualitatif dapat memberikan konfirmasi secara cepat. Immunoassay tertentu
mungkin tidak mendeteksi benzodiazepin yang terbaru atau yang konsentrasinya
rendah. Triazolam dan prazepam jarang terdeteksi.
2) Studi laboratorium lainnya
Penelitian laboratorium yang berguna termasuk glukosa, gas darah arteri, atau
pulse ( denyut nadi ) oxymetry

N. Pemeriksaan Laboratorium
Skrining kualitatif urin atau darah dapat dilakukan tapi jarang
mempengaruhi keputusan pengobatan dan tidak memiliki dampak pada perawatan
klinis segera. Immunoassay yang paling sering dilakukan dan biasanya mendeteksi
benzodiazepin (BZDs) yang dimetabolisme untuk desmethyldiazepam atau
oxazepam, dengan demikian, hasil skrining negatif tidak menyingkirkan adanya
agen BZD. Secara keseluruhan, deteksi laboratorium BZDs tergantung pada metode
skrining yang digunakan.

Uji Deteksi Valium


Untuk uji kecanduan obat terlarang, kini sudah beredar alat uji cepat narkoba
(Rapid Test). Antara lain, Methamphetamin (uji mendeteksi shabu), Cocaine (uji
kokain), THC (uji marijuana),Morphine (uji putauw), Barbiturate (untuk mendeteksi
obat tidur), dan Benzodiazepine (uji deteksi valium). 2
Metode pemeriksaan berupa reaksi warna, kromtografi, spektrofotmetri

19
Peralatan : plat tetes, peralatan dasar KLT, spektrofotodensitometri,HPLC,
GC, GC-MS, Spektrofotometer UV-Vis, FTIR.
Metode : immunokromatografi kompetitif
Prinsip : Rapid test benzodiazephine merupakan tes invitro satu langkah
yang berdasarkan immuno- kromatografi kompetitif untuk mendeteksi
secara kualitatif benzodiazephine dan metabolitnya pada urin manusia diatas
cutt off 300 ng/ml.2
Cara kerja:
- Keluarkan tes card dari bungkusnya dan letakkan pada permukaan datar.
- Diteteskan urin 3 tetes ( 90 l) ke lubang sampel.
- Dibaca hasil antara 5-30 menit setelah penetesan sampel.
Selain alat Uji Narkoba yang spesifik untuk menguji zat kimia obat terlarang
tertentu, juga beredar produk Narkoba-test berbentuk Card yang bisa dipakai untuk
mendeteksi 3 (Drug Test 3 Parameter : AMP-THC-MOP), 5 (Drug Test 5 Parameter :
AMP-THC-MOP-COC-BZO) atau 6 ( Drug Test 6 Parameter : AMP-THC-COC-
MOP-MET-BZO) macam Narkoba sekaligus.2
Untuk memudahkan penyidikan pada kasus keracunan benzodiazepin
menggunakan pemeriksaan toksikologi forensik yang terdiri dari :
1. Uji Penapisan Screening test
Uji penapisan untuk menapis dan mengenali golongan senyawa (analit)
dalam sampel. Disini analit digolongkan berdasarkan baik sifat fisikokimia, sifat
kimia maupun efek farmakologi yang ditimbulkan. Obat narkotika dan
psikotropika secara umum dalam uji penapisan dikelompokkan menjadi
golongan opiat, kokain, kannabinoid, turunan amfetamin, turunan
benzodiazepin, golongan senyawa anti dipresan tri-siklik, turunan asam
barbiturat, turunan metadon.13
Uji penapisan seharusnya dapat mengidentifikasi golongan analit dengan
derajat reabilitas dan sensitifitas yang tinggi, relatif murah dan pelaksanaannya
relatif cepat. Terdapat teknik uji penapisan yaitu kromatografi lapis tipis (KLT)
yang dikombinasikan dengan reaksi warna dan teknik immunoassay. 13
a. Teknik immunoassay
Teknik immunoassay adalah teknik yang sangat umum digunakan
dalam analisis obat terlarang dalam materi biologi. Teknik ini

20
menggunakan anti-drug antibody untuk mengidentifikasi obat dan
metabolitnya di dalam sampel (materi biologik). Jika di dalam matrik
terdapat obat dan metabolitnya (antigen-target) maka dia akan berikatan
dengan anti-drug antibody, namun jika tidak ada antigentarget maka
anti-drug antibody akan berikatan dengan antigen-penanda.
Terdapat berbagai metode / teknik untuk mendeteksi ikatan
antigenantibodi ini, seperti enzyme linked immunoassay (ELISA),
enzyme multiplied immunoassay technique (EMIT), fluorescence
polarization immunoassay (FPIA), cloned enzyme-donor immunoassay
(CEDIA), dan radio immunoassay (RIA). 13
Untuk laboratorium toksikologi dengan beban kerja yang kecil
pemilihan teknik single test immunoassay akan lebih tepat tertimbang
teknik multi test, namun biaya analisa akan menjadi lebih mahal. 13
Hasil dari immunoassay test ini dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan, bukan untuk menarik kesimpulan, karena kemungkinan
antibodi yang digunakan dapat bereaksi dengan berbagai senyawa yang
memiliki baik bentuk struktur molekul maupun bangun yang hampir
sama. Reaksi silang ini tentunya memberikan hasil positif palsu. hasil
reaksi immunoassay (screening test) harus dilakukan uji pemastian
(confirmatori test). 13
b. kromatografi lapis tipis (KLT)
KLT adalah metode analitik yang relatif murah dan mudah
pengerjaannya, namun KLT kurang sensitif jika dibandungkan dengan
teknik immunoassay. Untuk meningkatkan sensitifitas KLT sangat
disarankan dalam analisis toksikologi forensik, uji penapisan dengan
KLT dilakukan paling sedikit lebih dari satu sistem pengembang dengan
penampak noda yang berbeda. Dengan menggunakan
spektrofotodensitometri analit yang telah terpisah dengan KLT dapat
dideteksi spektrumnya (UV atau fluoresensi). Kombinasi ini tentunya
akan meningkatkan derajat sensitifitas dan spesifisitas dari uji penapisan
dengan metode KLT. Secara simultan kombinasi ini dapat digunakan
untuk uji pemastian. 13
2. Uji pemastian confirmatory test
Uji ini bertujuan untuk memastikan identitas analit dan menetapkan
kadarnya. Umumnya uji pemastian menggunakan teknik kromatografi yang
dikombinasi dengan teknik detektor lainnya, seperti: kromatografi gas -
spektrofotometri massa (GC-MS), kromatografi cair kenerja tinggi (HPLC)
dengan diode-array detektor, kromatografi cair - spektrofotometri massa (LC-

21
MS), KLT-Spektrofotodensitometri, dan teknik lainnya. Meningkatnya derajat
spesifisitas pada uji ini akan sangat memungkinkan mengenali identitas analit,
sehingga dapat menentukan secara spesifik toksikan yang ada. 13
Prinsip dasar uji konfirmasi dengan menggunakan teknik CG-MS adalah
analit dipisahkan menggunakan gas kromatografi kemudian selanjutnya
dipastikan identitasnya menggunakan teknik spektrfotometrimassa. Sebelumnya
analit diisolasi dari matrik biologik, kemudian jika perlu diderivatisasi. Isolat
akan dilewatkan ke kolom CG, dengan perbedaan sifat fisikokima toksikan dan
metabolitnya, maka dengan GC akan terjadi pemisahan toksikan dari senyawa
segolongannya atau metabolitnya. Pada prisipnya pemisahan menggunakan GC,
indeks retensi dari analit yang terpisah adalah sangat spesifik untuk senyawa
tersebut, namun hal ini belum cukup untuk tujuan analisis toksikologi forensik.
Analit yang terpisah akan memasuki spektrofotometri massa (MS), di sini
bergantung dari metode fragmentasi pada MS, analitakan terfragmentasi
menghasilkan pola spektrum massa yang sangat kharakteristik untuk setiap
senyawa. Pola fragmentasi (spetrum massa) ini merupakan sidik jari molekular
dari suatu senyawa. 13
Dengan memadukan data indeks retensi dan spektrum massanya, maka
identitas dari analit dapat dikenali dan dipastikan. Dengan teknik kombinasi
HPLC-diode array detektor akan memungkinkan secara simultan mengukur
spektrum UV-Vis dari analit yang telah dipisahkan oleh kolom HPLC. Seperti
pada metode GC-MS, dengan memadukan data indeks retensi dan spektrum UV-
Vis analit, maka dapat mengenali identitas analit. 13
Disamping melakukan uji indentifikasi potensial positif analit (hasil uji
penapisan), pada uji ini juga dilakukan penetapan kadar dari analit. pertanyaan-
pertanyaan yang mungkin muncul pada kasus toksikologi forensik adalah:
- senyawa racun apa yang terlibat?
- berapa besar dosis yang digunakan?
- kapan paparan tersebut terjadi (kapan racun tersebut mulai kontak dengan
korban)?
- melalui jalur apa paparan tersebut terjadi (jalur oral, injeksi, inhalasi)?

O. Gambaran Pemeriksaan
Lakukan x-ray pada dada jika terdapat bahaya dalam pernapasan
- Evaluasi untuk aspirasi.
- Evaluasi untuk sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS)

P. Tes lainnya

22
Dengan elektrokardiogram (EKG) untuk mengevaluasi co-ingestants,
terutama antidepresan siklik.

Q. UNDANG-UNDANG YANG MENGATUR PENGGUNAAN NARKOTIKA.


Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika : 15
1. Pasal 1 ayat 1
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
2. Pasal 1 ayat 13
Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada
Narkotika, baik secara fisik maupun psikis
3. Pasal 1 ayat 14
Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan
untuk menggunakan Narkotika secara terus menerus dengan takaran yang
meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya
dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan
psikis yang khas
4. Pasal 1 ayat 15
Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak
atau melawan hukum
5. Pasal 6 ayat 1
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam :
a. Narkotika Golongan I
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III
6. Pasal 7
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
7. Pasal 8 ayat 1

23
Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan
8. Pasal 8 ayat 2
Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan 1 dapat digunakan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk
reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan
persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan
9. Pasal 39 ayat 1
Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar
farmasi, dansarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini
10. Pasal 40 ayat 1
Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
a. Pedagang besar farmasi tertentu
b. Apotek
c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah terntentu; dan
d. Rumah sakit
11. Pasal 40 ayat 2
Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada:
a. Pedagang besar farmasi tertentu lainnya
b. Apotek
c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu
d. Rumah sakit; dan
e. Lembaga ilmu pengetahuan
12. Pasal 40 ayat 3
Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat
menyalurkan Narkotika kepada:
a. Rumah sakit pemerintah
b. Pusat kesehatan masyarakat
c. Balai pengobatan pemerintah tertentu
13. Pasal 41
Narkotika Golongan 1 hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar
farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
14. Pasal 43 ayat 3

24
Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat dan balai pengobatan
hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter
15. Pasal 43 ayat 4
Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. Menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan
b. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika
melalui suntikan; atau
c. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
16. Pasal 111 ayat 1
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,
memelihara, memiliki menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan 1 dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 8.000.000.000, 00 (delapan miliar rupiah).
17. Pasal 112 ayat 1
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan 1 bukan
tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)
18. Pasal 115 ayat 1
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan 1, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)
19. Pasal 127 ayat 1
Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan 1 bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun

25
b. Narkotika Golongan 2 bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun
c. Narkotika Golongan 3 bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun

R. Gambaran Forensik
1. Pemeriksaan barang bukti hidup pada kasus benzodiazepine.16
Kasus keracunan merupakan kasus yang cukup pelik, karena gejala
pada umumnya sangat tersamar, sedangkan keterangan dari penyidik
umumnya sangat minim. Hal ini, tentu saja akan menyulitkan dokter, apalagi
untuk racun- racun yang sifat kerjanya mempengaruhi sistemik korban.
Akibatnya pihak dokter/ laboratorium akan terpaksa melakukan
pendeteksian yang sifatnya meraba- raba, sehingga harus melakukan banyak
sekali percobaan yang mana akan menambah biaya pemeriksaan.
Pengambil darah urin untuk pengujian lab : (KMK, 2009)

2. Pemeriksaan Barang Bukti Mati Pada Kasus Pemakai Benzodiazepine


Penyelidikan pada kasus kematian akibat pemakaian narkoba
memerlukan kerja sama dalam satu tim yang terdiri dari kepolisian
(penyidik), ahli forensik, psikiater maupun ahli toksikologi. Pertanyaan
pertanyaan yang sering muncul sehubungan dengan hal di atas meliputi :

26
Apakah kejadian tersebut merupakaan kesengajaan (bunuh diri),
kecelakaan, ataupun kemungkianan pembunuhan?
Jenis obat apakah yang digunakan?
Melalui cara bagaimanakah pemakaian obat tersebut?
Adakah hubungan antara waktu pemakaian dengan saat kematian?
Apakah korban baru pertama kali memakai, atau sudah beberapa kali
memakai, ataupun sudah merupakan pecandu berat?
Adakah riwayat alergi terhadap obat tersebut?
Apakah jenis narkoba yang digunakan memprovokasi penyakit- penyakit
yang mungkin sudah ada pada korban?
Apakah mungkin penyakit tersebut terlibat sehubungan dengan kematian
korban?
Ringkasnya, penyidikan terhadap kasus narkoba meliputi 4 aspek, yaitu :
i. TKP (Tempat Kejadian Perkara).
ii. Riwayat korban.
iii. Otopsi.
iv. Pemeriksaan Toksikologi.
Dalam kaitannya dengan TKP, dapat ditemukan bukti- bukti adanya
pemakaian narkoba. Semua pakaian maupun perhiasan dan juga barang
bukti narkoba yang ditemukan di TKP harus diperiksa dan dianalisa lebih
lanjut. Riwayat dari korban yang perlu digali meliputi riwayat pemakaian
narkoba yang bisa didapatkan melalui catatan kepolisian, informasi dari
keluarga, teman, maupun saksi- saksi yang berkaitan dengan informasi
penggunaan narkoba.16
Otopsi dikonsentrasikan pada pemeriksaan luar dan dalam dan juga
pada pengumpulan sampel yang adekuat untuk pemerikasaan toksikologi.
Biasanya temuan yang paling sering didapatkan pada pemeriksaan luar
adalah busa yang berasal dari hidung dan mulut. Hal ini merupakan
karakteristik kematian yang disebabkan oleh pemakaian narkoba meskipun
tidak bersifat diagnostik, karena pada kasus tenggelam, asfiksia, maupun
gagal jantung dapat juga ditemukan tanda kematian di atas. Selain itu pada
pemeriksaan luar dapat juga ditemukan bekas penyuntikan maupun sayatan-

27
sayatan di kulit yang khas pada pemakaian narkoba. Pada pemeriksaan
dalam, penyebab kematian harus digali dengan cara mencari tanda- tanda
dari komplikasi akibat pemakaian narkoba. Pembukaan cavum pleura dan
jantung dibarengi dengan mengguyur air untuk melihat adanya
pneumothoraks, maupun emboli udara. Pada pemeriksaan paru, biasanya
didapatkan paru membesar sebagai akibat adanya edema dan kongesti. Pada
pemeriksaan getah lambung jarang didapatkan bahan bahan narkoba yang
masih utuh tetapi warna dari cairan lambung dapat memberi petunjuk
mengenai jenis narkoba yang dikonsumsi. 16
Untuk peraturan yang mengatur psikotropika hingga sekarang masih
mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika,
dimana disebut pengertian psikotropika adalah: 16
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis
bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku.4
1. Psikotropika Golongan I adalah psikotropika yang tidak digunakan untuk
tujuan pengobatan dengan potensi ketergantungan yang sangat kuat.
Contohnya ekstasi, shabu. LSD
2. Psikotropika Golongan II adalah psikitropika yang berkhasiat tetapi
dapat menimbulkan ketergantungan. Contohnya amfetamin, metilfenidat
3. Psikotropika Golongan III adalah psikotropika dengan efek
ketergantungan sedang dari kelompok hipnotik sedative. Contohnya
Pentobarbital, Flunitrazepam
4. Psikotropika Golongan IV adalah psikotropika yang efek
ketergantungannnya ringan. Contohnya diazepam, bromazepam,
klonazepam, nitrazepam (Turunan benzodiazepine dan digolongkan ke
dalam zat sedative dan hipnotika).

28
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Luka tembak merupakan suatu cedera pada tubuh yang diakibatkan oleh
senjata api. Senjata api adalah suatu senjata yang menggunakan tenaga hasil
peledakan mesiu, dapat melontarkan proyektil (anak peluru) yang berkecepatan tinggi
melalui larasnya. Berdasarkan panjang larasnya, senjata api ini dikelompokan
menjadi senjata api laras pendak dan senjata api laras panjang, sedangkan
berdasarkan alur pada laras, senjata api dikelompokan menjadi senjata api baralur dan
senjata api tanpa alur.
Pada luka tembak terjadi robekan dan kerusakan jaringan yang diakibatkan
daya dorong peluru dalam menembus jaringan. Luka tembak dikelompokan menjadi
luka tembak masuk dan luka tembak keluar, namun pada klasifikasi ini yang tidak
kalah penting adalah jarak tembakan yaitu luka tembus masuk tempel, luka tembus
masuk jarak dekat maupun luka tembus masuk jarak jauh. Penentuan jarak ini juga
dapat menentukan efek dari tembakan. Efek dari tembakan ini diakibatkan oleh
komponen peluru yang mengenai tubuh yaitu anak peluru, mesiu, asap jelaga, api dan
partikel logam
Pendeskripsian luka tembak dilakukan demi kepentingan medikolegal.
Deskripsi luka ini mencakup lokasi luka, ukuran dan bentuk luka, lingkaran abrasi,
lipatan kulit yang utuh dan robek, bubuk hitam sisa tembakan (jika ada), dan bagian
tubuh yang ditembus. Selain dekripsi luka, kita juga harus menentukan jarak
tembakan dan arah tembakan. Penentuan jarak tembakan ini dapat dilihat dari adanya
jejas laras, kelim api, kelim jelaga, atau kelim tato. Pemeriksaan khusus pada luka
tembak masuk seperti pemeriksaa nmikroskopik, kimiawi, sinar x mungkin
diperlukan.

3.2 Saran

29
1. Sebaiknya seorang dokter atau calon dokter mampu membuat Visum Et Repertum
tentang kasus keracunan
2. Mengetahui tanda toksikologi secara umum dan khusus pada korban hidup maupun
mati
3. Sebaiknya seorang dokter atau calon dokter tidak hanya mempelajari ilmu
kedokteran tetapi juga mengetahui hukum kesehatan.
4. Pemerintah sebaiknya memperketat pengawasan dalam penyalahgunaan narkotika
umumnya dan benzodiazepine khususnya
5. Masyarakat memiliki pengetahuan dan kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan
atas keracunan NAPZA

DAFTAR PUSTAKA

1. Kerrigan, S, (2004), Drug Toxicology for Prosecutors Targeting Hardcore Impaired


Drivers, New Mexico Department of Health Scientific Laboratory Division
Toxicology Bureau, New Mexico.
2. Wirasuta, I M.A.G., (2005), Peran Toksikologi forensik dalam penegakan hukum
kesehatan di Indonesia, dalam Wirasuta, I M.A.G., et al. (Ed.) (2005), Peran
kedokteran forensik dalam penegakan hukum di Indonesia. Tantangan dan tuntuan
di masa depan, Penerbit Udayana,Denpasar.

30
3. Wirasuta I M.A.G. (2004), Untersuchung zurMetabolisierung und Ausscheidung
von Heroin im menschlichen Krper. Ein Beitrag zur Verbesserung der
Opiatbefundinterpretation, Cuvillier Verlag, Gttingen.
4. www.BNN.go.id, selasa 16/ 02/2008
5. Gunawan SG. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
6. Katzung, Betram G. Farmakologi Dasar Dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika,
2002.
7. Gery Schmitz, dkk. (2009). Farmakologi dan Toksikologi. EGC.
Jakarta.
8. Wi j a y a E l l e n , N a n i S u k a s e d i a t i , H e r t i a n a Ay a t i . G a m b a r a n
P r e s k r i p s i Obat-obat Benzodiazepin Pada Tiga Rumah Sakit Kelas C di
Jawa. CerminDunia Kedokteran No. 44, 1987
9. Maslim, Rusdi. (1997). Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta.
10. Tjay, Tanhoan & Kirana Rahardja. (2008). Obat-Obat Penting, cetakan
2.Elex Media Komputindo. Jakarta.8 . U n d a n g - u n d a n g Republik
Indonesia No. 5 Ta h u n 1997, tanggal 11 m a r e t 1997, tentang
Psikotropika
11. Kepmenkes RI. Pedoman Penatalaksanaan Medik Gangguan Penggunaan NAPZA.
Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan RI,
2010.
12. Stones , alexander. Senjata kimia. Penelitian AS pada obat penenang dalam
pertempuran set off alarm. Sains. 2 Agustus 2002; 297 (5582): 764. [Medline] .
13. Xi LY, Zheng WM, Zhen SM, Xian NS. Penangkapan cepat kejang dengan inhalasi
aerosol yang mengandung diazepam. Epilepsia. Mar-Apr 1994; 35 (2) :356-8.
[Medline] .
14. Wirasuta 2009 ANALISIS TOKSIKOLOGI FORENSIK
15. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG NARKOTIKA
16. Tedeschi, E., 1977, Forensic Medicine, Vol II, W B Saunders Company, West
Washington Squartz, Philadelphia

31

Anda mungkin juga menyukai