Anda di halaman 1dari 38

USULAN PENELITIAN

KAJIAN LITERATUR PENGGUNAAN OBAT ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL


CLOZAPINE PADA PASIEN SKIZOFRENIA

LINDA
SETYOWATI
2443017019

PROGAM STUDI S1
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
2020
KAJIAN LITERATUR PENGGUNAAN OBAT ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL CLOZAPINE
PADA PASIEN SKIZOFRENIA

PROPOSAL

OLEH:
LINDA SETYOWATI
2443017019

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dra. Siti Surdijati, MS., Apt. Drs. S. Joko Semedi, SpFRS., Apt.
NIK. 241.12.0734 NRP. 11209/P

Mengetahui,
Ketua Penguji

-------------------------------
BAB 1
PENDAHULUA
N

1.1 Latar belakang penelitian

Psikotik adalah gangguan yang dicirikan dengan hilangnya reality testing dari
penyandangnya yaitu fikiran yang terputus dengan dunia nyata. Penderita mengalami
gangguan penilaian realita yang berat dan sering disertai disabilitas kognitif dan emosi
sehingga kemampuan berfungsi normal sangat terganggu. Ciri utama dari penyandang
gangguan psikosik yaitu mereka mengalami delusi dan halusinasi. Skizofrenia merupakan
gangguan psikotik yang paling sering terjadi dan hampir 1% penduduk dunia menderita
gangguan psikotik selama hidupnya (David A.Tom, 2003). Skizofrenia dalam kebanyakan
kasus bersifat sangat serius, berkelanjutan dan dapat mengakibatkan kendala sosial,
emosional dan kognitif (Rahardja dkk, 2007). Gejala skizofrenia biasanya muncul pada
usia remaja akhir atau dewasa muda. Pada laki laki antara usia 15 - 25 tahun dan pada
wanita 25
- 35 tahun (Kusumawardhani dkk, 2017).
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa 7 dari 1000 orang populasi
dewasa adalah pasien skizofrenia. Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar tahun
2018, prevalensi gangguan jiwa berat adalah sebanyak 6,7 per 1000 rumah tangga, artinya
dari
1.000 rumah tangga terdapat 6,7 rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga
penderita skizofrenia . Di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia adalah antara 0,6 % dan
1,9 % dari total penduduk (Sadock et al.,2010). Pada negara berkembang, 50 % penderita
skizofrenia tidak menjalani pengobatan dan 90 % penderita skizofrenia tidak diobati
dengan tepat (WHO, 2011).
Hingga saat ini belum diketahui penyebab skizofrenia. Para peneliti meyakini
bahwa skizofrenia disebabkan karena ketidakseimbangan neurotransmitter di otak.
Dewasa ini diketahui faktor keturunan dan faktor lingkungan berperan penting dalam
prognosis skizofrenia (Rahardja dkk., 2007). Skizofrenia paling sering terjadi pada akhir
masa remaja atau dewasa awal dan jarang terjadi sebelum masa remaja atau setelah usia 40
tahun, dikarenakan rentang usia tersebut merupakan usia produktif yang dipenuhi dengan
banyak faktor pencetus stress dan memiliki beban tanggung jawab yang besar. Faktor
pencetus stres tersebut di antaranya mencakup masalah dengan keluarga maupun teman
kerja, pekerjaan yang terlalu berat, hingga masalah ekonomi yang dapat mempengaruhi
perkembangan emosional. Stres dapat menyebabkan terjadinya peningkatan sekresi
neurotransmitter glutamat (senyawa prekursor GABA) pada sistem limbik sehingga
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan neurotransmitter. Ketidakseimbangan
neurotransmitter glutamat itu
sendiri dapat mencetuskan terjadinya skizofrenia (Yulianty,2017). Teori dopamin
mengatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh hiperaktivitas sistem dopamin dibagian
limbik otak. Hal ini yang menimbulkan gejala psikotik positif sedangkan dibagian otak
lain (cortex frontal) aktivitas dopamin justru berkurang yang menimbulkan gejala negatif
(Rahardja, 2007).
Pengobatan skizofrenia saat ini telah mengalami perkembangan dalam hal
farmakoterapi dan rehabilitasi psikososial. Target terapipun berubah, dari hanya
menangani gejala psikosis hingga mengendalikan fungsi kerja dan sosial. Salah satu
penanganan skizofrenia dengan menggunakan pengobatan antipsikotik. Farmakoterapi
pada penderita skizofrenia dipicu oleh penemuan antipsikotik chlorpromazine pada awal
1950-an dan pengembangan clozapine pada akhir 1960-an . Selama setengah abad
terakhir, antipsikotik digunakan dalam pengobatan skizofrenia dan telah menjadi
pengobatan andalan untuk mengurangi keparahan gejala psikotik dan kejadian relaps pada
penderita skizofrenia (Hafifah, Puspitasari, Sinuraya, 2018). Antipsikotik merupakan
terapi obat - obatan pertama yang efektif mengobati skizofrenia (Irwan dkk., 2008).
Antipsikotik adalah obat obat yang dapat menekan fungsi – fungsi psikis tertentu tanpa
mempengaruhi fungsi umum seperti berfikir dan berperilaku normal. Obat ini dapat
meredakan emosi dan agregasi dan dapat menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa
seperti halusinasi (Rahardja, 2007). Pemilihan agen antipsikotik bergantung pada banyak
faktor yang spesifik untuk setiap penderita seperti gejala (misalnya, kecemasan, kurang
tidur, halusinasi, dan delusi) sehingga obat antipsikotik dapat memperbaiki gejala
skizofrenia.
Antipsikotik diklasifikasikan menjadi antipsikotik generasi pertama (tipikal) dan
antipsikotik generasi kedua (atipikal). Kedua kelompok antipsikotik tersebut memiliki
aktivitas farmakologi yang sama, yaitu memblokir reseptor dopamin D2 (Bruijnzeel et al.,
2014). Antipsikotik generasi pertama efektif menangani gejala-gejala positif (Conn et al.,
2008), sedangkan antipsikotik generasi kedua efektif dalam menangani gejala gejala
negatif. Antipsikotik generasi kedua diketahui memiliki risiko efek samping
ekstrapiramidal yang lebih rendah dibandingkan antipsikotik generasi pertama
(Weinbrenner et al., 2009; Hanson et al., 2010).
Antipsikotik atipikal bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada keempat
jalur dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan
sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah
clozapine, olanzapine, risperidone, sulpirida dan quetiapin (Luana, 2007). Meskipun obat
antipsikotik merupakan pilihan utama dalam mengobati skizofrenia, tetapi hanya 50%
pasien yang mendapat sedikit keuntungan dari terapi obat antipsikotik tipikal. Lebih lanjut
pasien skizofrenia yang awalnya berespon dengan obat antipsikotik atipikal pada fase akut,
78 % mengalami kekambuhan selama 2 sampai 12 tahun pemantauan walau tetap
menerima obat yang sama. Respon yang lebih baik diperoleh dari obat antipsikotik atipikal.
Di antara obat antipsikotik atipikal ini, clozapine adalah obat terbaik untuk pasien
skizofrenia yang resisten pengobatan dengan angka respon sekitar 50 %.
(Chanpattana,2007)
Clozapine direkomendasikan untuk individu dengan riwayat bunuh diri, kekerasan,
penyalahgunaan obat maupun untuk individu dengan skizofrenia yang resistan terhadap
pengobatan. Identifikasi dari skizofrenia yang resistan terhadap pengobatan terletak pada
persistensi dari gejala yang signifikan, meskipun pengobatan farmakologis telah dilakukan
(dipiro dkk, 2008). Dengan pengobatan clozapine dalam penatalaksanaan skizofrenia,
diharapkan terdapat perbaikan gejala pada penderita skizofrenia resistensi obat. Dengan
perbaikan dari gejala - gejala skizofrenia tersebut, sehingga kualitas hidup penderita akan
menjadi meningkat juga.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka diperlukan sebuah studi untuk
mengetahui pola penggunaan obat clozapine golongan antipsikotik atipikal pada pasien
skizofrenia yang dikaitkan dengan rekam medik pasien. Penelitian ini diharapkan dapat
meningkatkan efektifitas dalam pengelolaan obat di rumah sakit dan dapat digunakan oleh
praktisi kesehatan sebagai bahan evaluasi terapi penggunaan obat psikofarmaka khususnya
clozapine golongan antipsikotik atipikal.

1.2 Rumusan masalah


Bagaimana pola penggunaan clozapine pada pasien skizofrenia?

1.3 Tujuan penelitian


1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola penggunaan obat
clozapine golongan antipsikotik pada pasien skizofrenia
2. Untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan obat antipsikotik clozapine

1.4 Manfaat penelitian


1. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
profil penggunaan clozapine pada kasus skizofrenia.
2. Data yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan bahan
evaluasi terapi penggunaan clozapine pada kasus skizofrenia.
3. Dengan adanya penelitian ini diharapkan penggunaan clozapine pada penderita
skizofrenia menjadi lebih efektif dalam rangka mengurangi problema yang mungkin
terjadi.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan skizofrenia


2.1.1 Definisi skizofrenia
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yaitu “Schistos” yang artinya “terpecah” dan
phren yang artinya “otak ”, sehingga skizofrenia berarti “otak yang terpecah ”. konsep Bleuler
menekankan skizofrenia yaitu karena terpecahnya dan terpisahnya antara kognisi, afeksi, dan
tingkah laku, sehingga kurang adanya kesesuaian antara pemikiran dan emosi atau antara
persepsi seseorang tentang realitas yang sebenarnya (Sovitriana, 2019). Menurut Pedoman
PPDGJ III, skizofrenia dijelaskan sebagai gangguan jiwa yang ditandai dengan distorsi khas
dan fundamental dalam pikiran dan persepsi yang disertai dengan adanya afek yang tumpul
atau tidak wajar.

2.1.2 Epidemiologi
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa 7 dari 1000 orang populasi
dewasa adalah pasien Skizofrenia. Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013,
prevalensi gangguan jiwa berat adalah sebanyak 1,7 per 1000 orang. Di amerika serikat
prevalensi seumur hidup skizofrenia sekitar 1 % yang berarti bahwa kurang lebih 1 dari 100
orang akan mengalami skizofrenia selama masa hidupnya. Studi Epidemiologic Catchment
Area (ECA) yang dilakukan oleh National Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan
prevalensi seumur hidup sebesar 0,6 % sampai 1,9 %. Menurut DSM-IV insiden tahunan
skizofrenia berkisar antara 0,5 sampai 5,0 per 1000 dengan beberapa variasi geografik.
Skizofrenia ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis dan angka insiden serta
prevalensinya secara merata diseluruh dunia. Di amerika serikat kurang lebih 0,05 % populasi
total menjalani pengobatan untuk skizofrenia setiap tahun, meskipun penyakit ini berat hanya
setengah dari semua pasien mendapatkan pengobatan (Sadock et al.,2010). Secara umum
skizofrenia mempunyai onset usia remaja hingga dewasa muda. Pada pria berkisar antara 18 –
25 tahun sedangkan pada wanita usia 25 – 35 tahun.
2.1.3 Etiologi
Penyebab skizofrenia belum diketahui secara pasti dan merupakan suatu tantangan riset
terbesar bagi pengobatan kontenporer. Telah banyak riset yang dilakukan dan telah banyak
faktor predisposisi dan pencetus yang diketahui :
1. Hereditas, pentingnya faktor genetik telah dibuktikan secara meyakinkan. Resiko
bagi masyarakat umum 1 %, pada orang tua resiko skizofrenia 5 %, pada saudara
kandung 8 % dan pada anak 10 % (Ingram et al.,1993)
2. Lingkungan, faktor lingkungan yang menyebabkan skizofrenia meliputi
penyalahgunaan obat, pendidikan yang rendah, dan status ekonomi (Carpenter,
2010)
3. Abnormalitas korteks cerebral, talamus, dan batang otak pada penderita skizofrenia
ditunjukkan dengan penelitian neuropatologi dan pemeriksaan dengan Ct scan
(Sadock et al., 2007)
4. Faktor biologi seperti hiperaktivitas sistem dopaminergik, faktor serotonin, faktor
neuroimunovirologi, hipoksia atau kerusakan neurotoksik selama kehamilan dan
kelahiran (Sadock et al., 2007)

2.1.4 Patofisiologi
Abnormalitas pada neurotransmiter telah menjadi dasar teori patofisiologi skizofrenia.
Sebagian besar teori ini berpusat pada kelebihan atau kekurangan neurotransmiter, termasuk
dopamin, serotonin, dan glutamat (Patel et al, 2014). Neurotransmitter asam amino
inhibitorik, asam γ-aminobutirat (GABA) juga dianggap terlibat dalam patofisiologi
skizofrenia (Sadock et al, 2010). Teori lain mengimplikasikan aspartat, glisin, dan asam γ-
aminobutirat (GABA) sebagai bagian dari ketidakseimbangan neurokimia skizofrenia.
Aktivitas abnormal direseptor dopamin (D2) dianggap terkait dengan banyak gejala
skizofrenia. Empat jalur dopaminergik telah terlibat . Jalur nigrostriatal berasal dari substansia
nigra dan berakhir di nukleus kaudatus. Kadar dopamin yang rendah dalam jalur ini dianggap
mempengaruhi sistem ekstrapiramidal, yang menyebabkan gejala motorik. Peningkatan
aktivitas dopaminergik pada jalur mesolimbik, yang membentang dari area ventral tegmental
(VTA) ke area limbik, dapat berperan dalam gejala positif skizofrenia. Jalur mesocortical
meluas dari VTA ke korteks. Gejala negatif dan kognitif pada skizofrenia diduga disebabkan
oleh tingkat dopamin mesocortical yang rendah. Proyek jalur tuberoinfundibular dari
hipotalamus ke kelenjar pituitari. Penurunan atau blokade dopamin tuberoinfundibular
menyebabkan peningkatan kadar prolaktin yang mengakibatkan galaktorea, ammenore, dan
penurunan libido. (Patel et al, 2014)
Menurut Aulia dkk.,2018 terdapat beberapa patofisiologi skizofrenia berdasarkan
penyebabnya antara lain :
1. Peningkatan ukuran ventrikel, penurunan ukuran otak dan asimetri otak. Penurunan
volume hipokampus berhubungan dengan kerusakan neuropsikologis dan penurunan
respons terhadap antipsikotik tipikal (Wells et al., 2009)
2. Hipotesis dopaminergik
Skizofrenia dapat disebabkan oleh hiperaktivitas atau hipoaktivitas dopaminergik
pada area tertentu di otak serta ketidaknormalan reseptor dopamin (DA).
Hiperaktivitas reseptor dopamin (DA) pada area mesocaudate berkaitan dengan
munculnya gejala-gejala positif. Sementara hipoaktivitas reseptor dopamin (DA)
pada area korteks prefrontal berkaitan dengan munculnya gejala-gejala negatif
(Guyton and Hall, 2011). Dopamin disekresikan oleh neuron yang badan selnya
terletak di bagian tegmentum ventral mesensefalon, medial dan superior substansia
nigra. Neuron- neuron ini menyebabkan kondisi hiperaktivitas dopaminergik pada
sistem mesolimbik. Dopamin tersebut disekresikan ke bagian medial dan anterior
sistem limbik, terutama hipokampus, amygdala, anterior caudate, nukleus dan
bagian lobus prefronta yang merupakan pusat pengendali perilaku (Guyton and Hall,
2011).
3. Disfungsi glutamatergik.
Penurunan aktivitas glutamatergik berkaitan dengan munculnya gejala skizofrenia
(Wells et al., 2009).
4. Kelainan serotonin (5-HT). Pasien skizofrenia memiliki kadar serotonin 5- HT yang
lebih tinggi. Hal ini juga berkaitan dengan adanya peningkatan ukuran ventrikel
(Wells et al., 2009).
2.1.5 Pedoman diagnonis
Diagnosis skizofrenia menurut DSM-V yaitu pasien harus memenuhi kriteria :
a. Dua atau lebih gejala dibawah ini, berlangsung paling sedikit satu bulan (atau bisa
kurang bila terapi berhasil) paling sedikit satu dari gejala ini harus ada yaitu (1), (2)
atau (3) :
1. Waham
2. Halusinasi
3. Pembicaraan disorganisasi (misalnya, inkoheren)
4. Perilaku disorganisasi berat atau katatonik
5. Simtom negatif (berkurangnya ekspresi emosi atau evolisi)
b. Sejak awitan gangguan, untuk periode waktu yang cukup bermakna, terdapat
penurunan derajat fungsi dalam satu atau lebih area penting misalnya fungsi
pekerjaan, hubungan interpersona, perawatan diri (dibawah derajat yang pernah
dicapai sebelum awitan) bila awitannya terjadi pada masa anak dan remaja, terdapat
kegagalan dalam mencapai derajat fungsi pekerjaan, akademik dan hubungan
interpersonal yang diharapkan.
c. Tanda tanda secara terus menerus, menetap paling sedikit 6 bulan. Dalam periode
enam bulan tersebut harus terdapat paling sedikit satu bulan simtom (bisakurang bila
terapi berhasil) pada kriteria A (simtom-simtom pada fase aktif) dan juga termasuk
simtom periode prodromal atau residual. Selama periode prodromal atau residual,
tanda - tanda gangguan dapat bermanifestasi hanya dalam bentuk simtom negatif
atau dua atau lebih simtom yang terdapat pada kriteria A dalam derajat yang lebih
ringan (misalnya kepercayaan-kepercayaan aneh, pengalaman resepsi yang tak
lumrah).
d. Harus dihilangkan gangguan skizoafektif dan depresi atau gangguan bipolar dengan
ciri psikotik :
1. Tidak terdapat secara bersamaan dengan episode manik atau depresi selama
simtom fase aktif
2. Bila terdapat episode mood selama fase aktif, harus terlihat dalam minoritas
durasi total periode aktif atau residual penyakit
e. Gangguan yang terjadi tidak disebabkan oleh efek fisiologik zat (misalnya,
penyalahgunaan zat atau medikasi) atau kondisi medik lainnya
f. Bila terdapat riwayat gangguan spektrum autisme atau gangguan komunikasi awitan
masa anak, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat hanya bila terdapat halusinasiatau
waham yang menonjol. Simtom simtom lainnya yang dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosis gangguan skizofrenia paling sedikit satu bulan.
Pedoman Diagnosis skizofrenia menurut PPDGJ III yaitu:
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. Thought echo yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya. Thought insertion or withdrawal yaitu isi pikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari dalam atau luar dirinya (withdrawal). Thought broadcasting yaitu isi
pikirannya tersiar ke luar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya.
b. Delusion of control adalah waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu. Delusion of influence adalah waham tentang dirinya
dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar. Delusion of passivity adalah
waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari
luar. Delusion of perception yaitu pengalaman inderawi yang tak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya biasanya bersifat mistik atau mujizat.
c. Halusinasi auditorik, yaitu suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien di antara
mereka sendiri (di antara berbagai suara yang berbicara), atau jenis suara
halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari
dunia lain).
2. Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun ide-ide berlebihan yang menetap, atau terjadi selama
setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
b. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolation) yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
d. Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan penarikan
diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas
bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neuroleptika.
3. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih.
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu,
sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara
sosial.
2.1.6 Tanda dan gejala
Gejala- gejala skizofrenia adalah sebagai berikut:
a. Gejala positif yang diperlihatkan pada penderita skizofrenia adalah sebagai berikut :
1. Waham : keyakinan yang salah , tidak sesuai dengan kenyataan , dipertahankan
dan disampaikan berulang-ulang ( waham kejar, waham curiga, waham
kebesaran).
2. Halusinasi: gangguan penerimaan pancaindra tanpa stimulus eksternal
(halusinasi pendengaran, penglihatan, pengecapan, penciuman dan perabaan)
3. Perubahan arus pikir :
a) Arus pikir terputus : dalam pembicaran tiba-tiba tidak dapat melanjutkan isi
pembicaran.
b) Inkoheren : berbicara tidak selaras dengan lawan bicara (bicara kacau)
c) Neologisme : menggunakan kata-kata yang hanya dimengerti oleh diri
sendiri, tetapi tidak dimengerti oleh orang lain.
4. Perubahan perilaku :
a) Hiperaktif : perilaku motorik yang berlebihan
b) Agitasi : perilaku yang menunjukkan kegelisahan
c) Iritabilitas : mudah tersinggung (Keliat, 2011)
b. Gejala negatif yang diperlihatkan pada penderita skizofrenia adalah sebagai berikut:
1) Pendataran afektif (ekspresi afektif) merupakan ekspresi perasaan yang tampil
sesaat dari perasaan seseorang pada waktu pemeriksaan dan merupakan
penyelarasan yang langsung daripada hidup mental dan instingual, penderita
skizofrenia respon emosional yang tidak sesuai, alam perasaan yang datar tanpa
ekspresi serta tidak serasi, maupun afek yang dangkal (Ibrahim, 2011)
2) Sikap masa bodoh
3) Pembicaraan berhenti tiba-tiba
4) Menarik diri dari pergaulan sosial
5) Menurunnya kinerja atau aktivitas sosial sehari-hari (Keliat, 2011)
2.1.7 Subtipe skizofrenia
Klasifikasi skizofrenia terbagi menjadi lima tipe berdasarkan DSM-IV ( Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders) di antaranya tipe paranoid, tipe katatonik, tipe
terdisorganisasi, tipe tak terdiferensiasi dan tipe residual
1. Skizofrenia paraniod
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah adanya waham yang mencolok atau halusinasi
auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan efek yang relatif masih
terjaga. Wahamnya biasanya adalah waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham
dengan tema lain mungkin juga muncul misalnya waham kecemburuan. Ciri-ciri
lainnya dari skizofrenia paranoid meliputi tegang, mudah curiga, berjaga-jaga,
berhati-hati dan terkadang bersikap bermusuhan atau agresif. (sadock et al.,2010)
Kriteria diagnostik untuk skizofrenia tipe paranoid :
a. Preokupasi dengan satu atau lebih waham atau sering mengalami halusinasi
auditorik.
b. Tidak ada ciri berikut yang mencolok : bicara kacau, motorik kacau atau
katatonik, efek yang tak sesuai atau datar
2. Skizofrenia hebefrenik (disorganized)
Ciri utama disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah laku kacau dan afek
yang datar. Penampilan pribadi dan perilaku sosial berantakan serta respon
emosional yang buruk dan sering tertawa tanpa alasan yang jelas. Disorganisasi
tingkah laku misalnya kurangnya orientasi pada tujuan dapat membawa pada
gangguan yang serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari. Orang yang
menderita tipe skizofrenia ini akan menarik diri secara ekstrem, mengalami
halusinasi, dan delusi, meskipun tidak sekuat sepertipada skizofrenia paranoid.
Bentuk skizofrenia ini, biasanya dimulai antara usia 15 dan 25 tahun dan cenderung
memiliki prognosis yang buruk karena pesatnya perkembangan gejala "negatif",
terutama merata dari mempengaruhi dan kehilangan kemauan (sadock et al.,2010).
Kriteria diagnostik skizofrenia tipe disorganized:
a. Gejala ini cukup menonjol : Pembicaraan kacau, tingkah laku kacau.
b. Tidak memenuhi untuk tipe katatonik.
3. Skizofrenia katatonik
Ciri utama pada skizofrenia tipe katatonik adalah gangguan pada psikomotor yang
dapat meliputi ketidak-bergerakan motorik, aktivitas motor yang berlebihan, sama
sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi, gerakangerakan yang tidak terkendali,
mengulang ucapan orang lain atau mengikuti tingkah laku orang lain (Arif, 2006).
Kriteria diagnostik skizofrenia tipe katatonik :
a. Aktivitas motor yang berlebihan.
b. Negativisme yang ekstrim (tanpa motivasi yang jelas, bersikap sangat menolak
pada segala instruksi atau mempertahankan postur yang kaku untuk menolak
dipindahkan) atau sama sekali diam.
c. Gerakan-gerakan yang khas dan tidak terkendali.
d. Menirukan kata-kata orang lain atau menirukan tingkah laku orang lain (Arif,
2006).
4. Skizofrenia tak terdiferensiasi
Skizofrenia jenis ini gejalanya sulit untuk digolongkan pada tipe skizofrenia tertentu
atau tidak memiliki kriteria dari semua tipe skizofrenia(sadock et al.,2010)
5. Skizofrenia residual
Diagnosis skizofrenia tipe residual diberikan bilamana pernah ada paling tidak satu
kali episode skizofrenia, tetapi gambaran klinis saat ini tanpa simtom positif yang
menonjol. Terdapat bukti bahwa gangguan masih ada sebagaimana ditandai oleh
adanya negatif simtom atau simtom positif yang lebih halus.
Kriteria diagnostik untuk skizofrenia tipe residual :
a. Tidak ada yang menonjol dalam hal delusi, halusinasi, pembicaraan kacau,
tingkah laku kacau atau tingkah laku katatonik
b. Terdapat bukti keberlanjutan gangguan ini, sebagaimana ditandai oleh adanya
simtom-simtom negatif atau dua atau lebih simtom yang terdaftar di kriteria A
untuk skizofrenia, dalam bentuk yang lebih ringan (Arif, 2006).
2.1.8 perjalanan penyakit
Perjalanan penyakit gangguan jiwa berat skizofrenia menurut Ambarwati (2009) dibagi
menjadi tiga fase, yaitu:
1. Fase Prodromal adalah periode terjadinya perubahan perilaku sebelum gejala yang
nyata muncul. Tanda dan gejala fase prodromal bisa mencakup kecemasan, gelisah,
merasa diteror, atau depresi. Gejala prodromal dapat berlangsung beberapa bulan
sampai beberapa tahun sebelum ditegakkannya diagnosis pastiskizofrenia.
2. Fase Aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan klinis yang nyata, yakni kekacauan
alam pikir, perasaan, dan perilaku. Penilaian terhadap realita mulai terganggu dan
pemahaman dirinya buruk, atau bahkan tidak ada.
3. Fase Residual atau dikenal dengan nama lain fase stabil muncul setelah fase akut
atau setelah terapi dimulai. Karakteristik fase residual adalah menghilangnya
beberapa gejala klinis skizofrenia sehingga tinggal satu atau dua gejala sisa yang
tidak terlalu nyata secara klinis, misalnya penarikan diri, perilaku aneh
seperti bicara, tersenyum, dan tertawa sendiri, hendaya dalam kebersihan atau
perawatan diri, pendataran afek serta hendaya fungsi peran sosial.

2.1.9 penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasienskizofrenia dapat berupa terapi biologis
danterapipsikososial (Duran, 2007)
1. Terapi biologis
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi dengan
menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan bagian
otak. Terapi dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala
skizofrenia. Obat yang digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan
fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat
phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut obat
penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi
tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi
(orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi penderita
skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan
(Durand, 2007).
Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock pada
penatalaksanaan terapi biologis. Electroconvulsive therapy (ECT) diperkenalkan
sebagai penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi pokok
perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini
digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk
skizofrenia. Antusias awal terhadap ECT semakin memudar karena metode ini
diketahui tidak menguntungkan bagi sebagian besar penderita skizofrenia meskipun
penggunaan terapi ini masih dilakukan hingga saat ini.
Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak (prefrontal
lobotomy) yaitu proses operasi primitif dengan cara membuang “stone of madness”
atau disebut dengan batu gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang
terganggu. Cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya,
khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950- an
cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan
kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.
2. Terapi psikososial
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasi
pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan
menjemukan. Secara historis, sejumlah penanganan psikososial telah diberikan pada
pasien skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini
merupakan akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman
yang dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian yaitu terapi
kelompok dan terapi keluarga (Durand, 2007). Terapi kelompok merupakan salah
satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini, beberapa penderita skizofrenia
berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan
sebagai pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan feedback
tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan pada situasi sosial
yang mendorong peserta untuk berkomunikasi, sehingga dapat memperkaya
pengalaman peserta dalam kemampuan berkomunikasi. Pada terapi keluarga
merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok. Terapi ini digunakan untuk
penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya.
Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapan emosi yang bisa mengakibatkan
penyakit penderita kambuh kembali. Dalam hal ini, keluarga diberi informasi
tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif
maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap
persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan
penderita dan cara untuk menghadapinya. Dari beberapa penelitian, seperti yang
dilakukan oleh Fallon ternyata campur tangan keluarga sangat membantu dalam
proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit
penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual (Priyambodho,2018)

2.2 Terapi skizofrenia


2.2.1 Antipsikotik

Farmakoterapi dengan antipsikotik merupakan dasar pengobatan skizofrenia. Secara


umum antipsikotik dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu antipsikotik tipikal (antagonis
reseptor dopamin) dan antipsikotik atipikal (antagonis serotonin dopamin). Pemilihan
antipsikotik umumnya berdasarkan efikasi dan keamanannya (Tamminga, 2009). Pemilihan
obat lebih banyak berdasarkan profil efek samping dan respons pasien pada
pengobatan sebelumnya (Maramis, 2009). Selain memiliki efek terapi, baik generasi pertama
maupun generasi kedua agen antipsikotik dapat menyebabkan efek samping yang luas (APA,
2010).

Menurut Dipiro dkk., 2008 telah dikelompokkan obat antipsikotik yang biasa
digunakan untuk terapi skizofrenia yang terdapat pada Tabel 2.1 dan efek samping dari
antipsikotik yang terdapat pada Tabel 2.2 dibawah ini
Gambar 2.1 obat antipsikotik yang biasa digunakan
Obat Rentang dosis Ekuivalen Dosis Maksimum
Antipsikotik yang dianjurkan Chlorpromazin (mg/hari)
(mg/hari) (mg/hari)
Tipikal
Klorpromazin 100 - 800 100 2000
Fluphenazin 2 - 20 2 40
Perphenazin 10 - 64 10 64
Thioridazin 100 - 800 100 800
Trifluoperazin 5 - 40 5 80
Haloperidol 2 - 20 2 100
Loxapin 10 - 80 10 250
Molindon 10 - 100 10 225
Thiothixen 4 – 40 4 60
Atipikal
Aripiprazol 15 - 30 30
Klozapin 50 - 500 900
Olanzapin 10 - 20 20
Paliperidon 3 -9 2 12
Quetiapin 50 - 500 800
Risperidon 2-8 16
Ziprasidon 40 – 160 200

Gambar 2.2 efek samping dari antispikotik


Antipsikotik Sedasi EPS Anti Ortostasis Penambahan Prolaktin
Kolinergik Berat Badan
Aripiprazol + + + + + +
Klorpromazin ++++ +++ +++ ++++ ++ +++
Klozapin ++++ + ++++ ++++ ++++ +
Fluphenazin + ++++ + + + ++++
Haloperidol + ++++ + + + ++++
Olanzapin ++ ++ ++ ++ ++++ +
Perphenazin ++ ++++ ++ + + ++++
Quetiapin ++ + + ++ ++ +
Risperidon + ++ + ++ ++ ++++
Thioridazin ++++ +++ ++++ ++++ + +++
Thiothixen + ++++ + + + ++++
Ziprasidon ++ ++ + + +
Pemilihan antipsikotik sebaiknya mempertimbangkan tanda-tanda klinis dari
penderita, profil khasiat, dan efek samping dari obat-obat yang akan digunakan. Tiap-tiap
tahap dapat dilewati tergantung pada gambaran klinis atau riwayat kegagalan pemberian
antipsikotik. Penderita yang mendapat terapi sesuai dengan alur algoritma ditentukan secara
individual berdasarkan riwayat penderita dan kondisi klinisnya. Tahap-tahap dalam algoritma
dapat dilewati jika dianggap sesuai secara klinis dan memungkinkan untuk dapat kembali pada
tahap sebelumnya jika diperlukan. Secara umum, menunggu respon penderita dengan dosis
terapeutik pada tahap 1 hingga 3 sebaiknya tidak lebih dari 12 minggu. Tahap 3 dapat
berlangsung hingga 6 bulan. Algoritma terapi skizofrenia berdasarkan Pharmacotherapy
Handbook Tenth Edition dapat dilihat pada gambar 1 sebagai berikut

Algoritma farmakoterapi
skizofrenia yang
disarankan

STAGE 1 A STAGE 1 B
monoterapi antipsikotik Monoterapi antipsikotik kecuali
generasi kedua(aripiprazole, clozapine. Antipsikotik yang
risperidone, ziprasidone ) sebelumnya menghasilkan efikasi
yang buruk tidak boleh
digunakan

STAGE 2
Pasien tidak merespon baik tahap 1
A maupun tahap 1 B
Monoterapi antpsikotik selain yang
digunakan pada tahap 1 A dan 1 B

STAGE 3
Pasien tidak memberikan respon baik Gunakan antipsikotik long
terhadap 2 antipsikotik yang diuji acting injectable (LAI) pada
Rekomendasikan monoterapi stage 2 atau 4 jika kepatuhan
Clozapine pasien rendah atau jika pasien
memilih LAI sebagai
pengobatan
STAGE 4
Pasien kurang berespon terhadap
clozapine
Monoterapi antipsikotik yang
setara dengan kombinasi
antipsikotik
Gambar 2.3 algoritma terapi skizofrenia
Sumber : (Dipiro et al.,2016)
Tahap 1 adalah pengobatan untuk pasien dengan skizofrenia onset baru dan termasuk
terapi tunggal dengan antipsikotik generasi kedua. Pilihan pengobatan pada tahap 1 meliputi
terapi tunggal dengan Aripiprazole, Risperidon, atau Ziprasidon. Tahap 2 terdiri dari terapi
tunggal dengan salah satu antipsikotik generasi kedua yang tidak dicoba pada tahap 1 atau
dengan antipsikotik generasi pertama. Clozapine adalah pengobatan tahap 3 untuk skizofrenia.
Clozapine adalah satu-satunya antipsikotik yang memiliki keunggulan lebih dari agen
antipsikotik lainnya dalam mengurangi gejala psikotik. Hal ini efektif dalam pengobatan
skizofrenia yang telah resisten dan pada pasien yang memiliki riwayat penyalahgunaan zat
komorbiditas, bunuh diri, atau kekerasan. Gejala positif yang menahun > 2 tahun waran dan >
5 tahun membutuhkan pengobatan dengan clozapine, sesuai dengan jumlah penggunaan
antipsikotik sebelumnya. Jika clozapine tidak memberikan respon penuh setelah titrasi dosis
dan durasi pengobatan yang memadai, evaluasi harus dilakukan untuk menguji kembali
diagnosis dan memeriksa penyalahgunaan zat, kepatuhan pengobatan, dan stressor
psikososial. Terapi perilaku kognitif atau psikososial augmentasi juga harus dipertimbangkan
sebelum pindah ke tahap 4. Pada tahap 4 pengobatan meliputi clozapine dan ditambah
antipsikotik generasi pertama atau antipsikotik generasi kedua atau terapi elektrokonvulsif.

2.2.2 Clozapine pada skizofrenia

Clozapin adalah obat antipsikotik atipikal yang merupakan derivate trisiklik


dibenzodiazepine. Clozapine merupakan obat antipsikotik pertama yang ditemukan yang
memiliki efek samping ekstrapiramidal yang dapat diabaikan, tidak menyebabkan tardive
dyskenesia dan tidak terjadi peningkatan prolaktin. Clozapine mempunyai efikasi yang besar
tetapi mempunyai efek samping yang banyak seperti agranulositosis, kejang, sedasi dan
peningkatan berat badan. Clozapine bekerja dengan cara memblokade reseptor 5HT2A, D1,
D2, D3, D4, 5HT1A, 5HT2c, 5HT3, 5HT6, 5HT7 M1, H1, α₁ dan α₂ (Fanani,2013).

Dosis rata – rata clozapine yang adekuat antara 250 mg – 450 mg per hari(Sinaga,2007).
Clozapine merupakan satu-satunya antipsikotik yang memiliki keunggulan lebih dari agen
antipsikotik lainnya dalam mengurangi gejala psikotik. Hal ini efektif dalam pengobatan
skizofrenia yang telah resisten atau tidak responsif ketika menggunakan obat lain atau jika
mengalami efek samping yang berat dan dapat digunakan pada pasien yang memiliki riwayat
penyalahgunaan zat komorbiditas, bunuh diri, atau kekerasan.

2.2.3 Farmakokinetika
A. Absorbsi

Clozapine sebagai tablet konvensional di absorbsi cepat dan hampir sepenuhnya


diserap setelah pemberian oral. Konsentrasi plasma puncak dicapai dalam 1,5 jam
atau rata-rata 2,5 jam setelah pemberian dosis tunggal (25 atau 100 mg) atau dosis
ganda (100 mg dua kali sehari) (AHFS,2011). Clozapin hanya tersedia dalam bentuk
preparat oral, konsentrasi plasma puncak dicapai setelah dua jam pemberian oral.
Waktu paruh eliminasi adalah dua belas jam(antara 10 – 16 jam). Pemberian
bersama sama dengan obat yang terikat dengan protein dapat meningkatkan
konsentrasi Clozapine (Kusumawardhani,2017). Onset atau Efek farmakologis
(misalnya, sedasi) dilaporkan terlihat dalam 15 menit dan bertahan secara klinis
dalam 1-6 jam.

B. Distribusi

Volume distribusi clozapin lebih rendah. Secara cepat dan ekstensif didistribusikan
ke dalam jaringan tubuh manusia, dan metabolitnya juga didistribusikan secara luas
keseluruh tubuh. Dilaporkan hadir dalam konsentrasi rendah di plasenta dan dapat
menyebar ke dalam susu pada hewan. tidak diketahui apakah melewati plasenta atau
didistribusikan ke dalam susu pada manusia. Clozapine memiliki Plasma Protein
Binding sekitar 97%.

C. Metabolisme dan eliminasi

Metabolisme utama clozapine di hati dan di saluran cerna. Bioavailibilitas absolut


setelah pemberian oral berkisar antara 27 % - 47 %. Ada dua bentuk metabolitnya
yaitu N-demethyl dan N-oxide. kedua metabolit ini dikeluarkan dengan cepat. Sekitar
80% clozapin yang diberikan ditemukan dalam urine dan feses yaitu bentuk
metabolitnya. Sekitar 5% ditemukan dalam urin dalam bentuk aktif.

2.2.4 Farmakodinamik

konsentrasi plasma clozapine bervariasi pada pasien- pasien yang menggunakan


clozapine. Hal ini disebabkan adanya variasi dalam absorbsi. Wanita memperlihatkan
konsentrasiplasma lebih tinggi dan perokok lebih rendah (20% - 30%). Peningkatan
konsentrasi plasma mungkin terjadi pada pasien geriatri dibandingkan dengan orang dewasa
yang lebih muda misalnya usia 18-35 tahun, mungkin karena penurunan eliminasi hati terkait
usia. Terdapat kaitan antara konsentrasi plasma clozapine dengan respons klinik. Pemantauan
plasma clozapine mungkin berguna pada kondisi – kondisi tertentu. Konsentrasi plasma
clozapine berkisar antara 10 ηg/mL – 80 ηg/mL per miligram obat yang diberikan per
kilogram berat badan (BB). Dosis 300 mg – 400 mg (5 mg/kg BB) dikaitkan dengan
konsentrasi plasma yang berkisar antara 200 mg – 400 ηg/mL. Respon klinik baru didapat bila
konsentrasi plasma lebih dari 350 ηg /mL. Bila sengan konsentrasi plasma 250 ηg/mL tidak
merespon setelah 6 minggu, dosis obat harus dinaikan sampai konsentrasi 350 ηg/mL tercapai
rata- rata dosis clozapin adalah 150-600 mg/hari (kusumawardhani, 2017)

2.2.5 Efek samping clozapine


Efek samping yang umum dalam penggunaan clozapine :
1. Rasa letih dan mengantuk (tidur) dapat menjadi masalah.
2. Pertambahan berat badan.
3. Suhu yang tinggi dapat dialami pada satu atau dua minggu pertama pengobatan.
Sakit tenggorokan, sariawan mulut, gejala-gejala menyerupai flu seperti
pembengkakan organ penelanan atau pertanda lain yang mencirikan infeksi.
4. Denyut jantung yang cepat bahkan ketika beristirahat adalah hal yang lumrah pada
minggu-minggu pertama pengobatan.
5. Peningkatan produksi air liur dapat menjadi hal yang mengganggu pada malam hari.
Efek samping yang jarang dalam penggunaan clozapine :
1. Agranulositosis
adalah kondisi darah di mana jumlah sel darah putih berkurang. Sel darah putih
merupakan zat yang penting karena zat ini dibutuhkan untuk melawan infeksi (virus,
bakteri, dsb). Agranulositosis, didefinisikan sebagai ANC <500 / mm3 dan ditandai
dengan leukopenia ( WBC <2000 / mm3). Perkiraan kejadian kumulatif yaitu 1-2%
setelah 1 tahun terapi. Kondisi seperti ini berpotensi fatal jika tidak terdeteksi dini
(AHFS,2011)
2. Kejang
Kejang dapat terjadi di waktu kapanpun selama pengobatan dan seringkali berkaitan
dengan dosis atau peningkatan dosis. Perhatian harus digunakan ketika mengatur
dosis clozapine kepada pasien yang memiliki riwayat kejang atau faktor predisposing
lainnya. Pasien harus diperhatikan untuk tidak terlibat dalam kegiatan apa pun yang
dapat menyebabkan kehilangan kesadaran sehingga dapat menimbulkan risiko
serius bagi diri sendiri atau orang lain. (AHFS, 2011)
3. Miokarditis (myocarditis)
adalah sebuah kondisi di mana otot jantung mengalami radang. Terjadi peningkatan
risiko miokarditis, terutama terjadi selama bulan pertama terapi.(AHFS, 2011)
2.3 Skizofrenia resisten pengobatan
Resistensi terhadap obat antipsikotik adalah masalah yang sering terjadi pada
skizofrenia. Sebagian karena kurangnya definisi resisten pengobatan yang diterima
secara seragam, epidemiologi pastinya belum jelas, tetapi sebagian besar pedoman
praktik saat ini mempertimbangkan resistensi pengobatan setelah dua uji coba yang
gagal dengan obat antipsikotik berbeda dengan durasi 4 - 6 minggu. Sejumlah faktor
seperti ketidakpatuhan, efek samping, dosis yang tidak mencukupi atau metabolisme
yang sangat cepat dapat diasumsikan bahwa mengalami non-respon terhadap pengobatan
(Daniel et al, 2011). Treatment-resistant schizophrenia (TRS) didefinisikan sebagai
skizofrenia yang diobati dua periode dengan antipsikotik yang berbeda secara memadai
dengan dosis minimal 4 minggu, dan gejala tidak berkurang setidaknya 20%.
Diperkirakan 8 juta orang memilikinya skizofrenia yang resistan terhadap pengobatan.
Pada penderita TRS, biaya ekonomi perawatan lebih besar karena jangka panjang
perawatan yang intensif, kualitas hidup 20% lebih rendah, dan fungsi komunitas lebih
buruk daripada orang-orang dengan diagnosis skizofrenia yang tidak resisten terhadap
pengobatan dengan obat antipsikotik (msrrison et al., 2018) . Skizofrenia resisten
pengobatan merupakan masalah klinis utama, sekitar sepertiga gejala psikotik pasien
skizofrenia menetap meskipun pengobatan antipsikotik yang tepat. dalam TRS gejala
yang menonjol adalah gejala negatif yang terkait dengan gangguan memori, gangguan
verbal dan defisit dalam fleksibilitas kognitif. (Veerman et al.,2016). Dalam hampir
semua kasus yang resisten terhadap pengobatan, dokter memilih pengobatan dengan
clozapine, antipsikotik generasi kedua, atau kombinasi clozapine dan lainnya. Studi
klinis menunjukkan bahwa clozapine dapat mengurangi gejala negatif dan gejala positif
selain itu dapat mencegah resiko bunuh diri dan dapat mengurangi resiko kekambuhan.
(Bourque et al.,2013)

2.4 Studi literatur


2.4.1 Systematic Literatur Review
Systematic Literatur review adalah metode literatur review yang mengidentifikasi,
menilai, dan menginterpretasi seluruh temuan - temuan pada suatu topik penelitian, untuk
menjawab pertanyaan penelitian (research question) yang telah ditetapkan sebelumnya
(Vu-Ngoc, 2018). Tinjauan literatur adalah survei artikel ilmiah, buku dan sumber lain
yang relevan dengan masalah tertentu, bidang penelitian, atau teori, dan dengan
demikian, memberikan 15 deskripsi, ringkasan, dan evaluasi kritis. Tinjauan literatur
sendiri merupakan ringkasan objektif, menyeluruh dan analisis kritis dari penelitian yang
tersedia dan literatur non-penelitian yang relevan tentang topik yang sedang dipelajari.

Langkah-langkah dalam proses melakukan tinjauan literatur :

a. Memilih topik ulasan / review

Memilih topik ulasan dilakukan dengan memfokuskan topik yang diminati,


Berbicara dengan orang lain, seperti spesialis klinis, atau membaca sekitar topik
juga dapat membantu mengidentifikasi bidang subjek yang diminati oleh
pengulas dan dapat membantu menunjukkan seberapa banyak informasi yang
ada tentang topik tersebut. Topik yang terlalu luas akan menghasilkan ulasan
yang terlalu panjang atau terlalu dangkal, maka lebih baik untuk memulai dengan
topik yang sempit dan fokus

b. Mencari literatur

Setelah memilih topik, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi, secara


terstruktur, informasi yang sesuai dan terkait. Saat ini, pencarian literatur
dilakukan paling sering menggunakan komputer dan database elektronik.
Database komputer menawarkan akses ke sejumlah besar informasi, yang dapat
diambil lebih mudah dan cepat daripada menggunakan pencarian manual. Ada
banyak basis data elektronik, banyak yang berhubungan dengan bidang informasi
tertentu. Beberapa database yang digunakan seperti CINAHL, Cochrane library,
Pubmed/MEDLINE. Pencarian kata kunci adalah metode yang paling umum
untuk mengidentifikasi literatur. Namun, kata kunci perlu dipertimbangkan
dengan cermat untuk memilih istilah yang akan menghasilkan data yang dicari.
Sebaiknya pertimbangkan kata kunci alternatif dengan makna yang mirip yang
dapat memperoleh informasi lebih lanjut

c. Mengumpulkan, membaca, dan menganalisis literatur

Pada proses ini, apa yang telah ditentukan sebagai literatur yang sesuai akan
dikumpulkan. Sementara fokus literatur dapat bervariasi tergantung pada tujuan
keseluruhan, ada beberapa strategi yang berguna untuk tahap analisis dan sintesis
yang akan membantu dalam menganalisis literatur. Pada awalnya, disarankan
untuk melakukan pembacaan pertama dari artikel yang telah dikumpulkan untuk
mendapatkan pemahaman tentang apa itu artikel tersebut. Sebagian besar artikel
yang diterbitkan berisi ringkasan atau abstrak, yang akan membantu proses ini
dan memungkinkan keputusan apakah layak untuk dibaca lebih lanjut atau
dimasukkan. Setelah tinjauan awal selesai, perlu untuk kembali ke artikel untuk
melakukan peninjauan yang lebih sistematis dan kritis.

d. Menulis ulasan / review

Setelah penilaian literatur selesai, harus dipertimbangkan bagaimana review akan


disusun dan ditulis. Dasar dari penulisan yang baik adalah untuk menghindari
kata- kata yang panjang dan membingungkan dan kalimat harus dibuat sesingkat
mungkin dengan satu pesan yang jelas dan ejaan serta tata bahasa yang benar.
Panjang tinjauan pustaka bervariasi dan batas kata dan kriteria penugasan harus
dipertimbangkan. Jika ini adalah ulasan yang berdiri sendiri, abstrak juga
mungkin diperlukan. Abstrak adalah ringkasan singkat dari temuan-temuan
tinjauan dan biasanya dilakukan terakhir (Cronin et, al 2008)
2.4.2 Searching strategy
Internet merupakan sarana terbaik untuk memperoleh informasi yang kita perlukan.
Jutaan artikel asli, systematic review (SR), meta-analisis dalam ribuan jurnal dapat
diakses melalui internet. Demikian pula buku, database serta website dan lain-lain dapat
kita akses secara cepat. Saat ini tersedia banyak sekali databases yang merupakan
sumber terbaik untuk memperoleh semua data mutakhir maupun rekaman data masa lalu.
Karenanya dianjurkan untuk menggunakan database sebagai sumber utama pencarian
bukti ilmiah. Berikut contoh databases yang sangat membantu:
- PubMed (www.pubmed.gov)
- The Cochrane Library (www.cochrane.org)
- Clinical Evidence (www.clinicalevidence.com)
- EMBASSE (www.embasse.com)
- CINAHL (www.cinahl.com)
- Highwire Press (www.highwire.org)
- Lain-lain: Proquest, Science Direct, MD Consult, SAGE, Scopus

Penggunaan kata kunci (keywords) merupakan cara untuk mencari artikel atau bukti
ilmiah lain. Mengingat sebagian besar bukti ilmiah internasional berbahasa Inggris,
maka kata kunci yang digunakan harus menggunakan ejaan Bahasa Inggris. Perlu
diingat bahwa usaha mencari literatur tanpa strategi yang benar atau dengan
menggunakan kata kunci yang tidak terencana dengan baik akan menghasilkan artikel
atau sumber bukti yang tidak terarah (Rofi,2019).
2.4.3 Methods study selection
Metode seleksi dapat dilakukan dengan proses pemilihan studi seperti screnning, eligibility,
termasuk dalam systematic review dan jika ada termasuk dalam meta-analisis. Metode
seleksi dapat dilakukan dengan cara
- menyediakan deskripsi naratif untuk proses pemilihan sumber bukti
- Sertakan informasi tentang proses pengembangan formulir yang digunakan untuk
standarisasi sumber bukti pemilihan (pertanyaan termasuk dalam formulir, tes formulir,
dan software yang digunakan
- Menjelaskan proses screnning secara lengkap seperti number of reviewers, duplicate
screening, dan verification
2.4.4 Eligibility criteria
- Menentukan karakteristik studi dan karakteristik laporan seperti tahun, bahasa, dan status
publikasi yang digunakan sebagai kriteria untuk kelayakan.
- Menjelaskan kriteria kelayakan dengan alasan mengapa kriteria ini dipilih
- Menentukan karakteristik sumber bukti yang digunakan sebagai kriteria kelayakan
seperti tahun, bahasa, dan status publikasi.
2.5 Kerangka konseptual

Etiologi Skizofrenia
Faktor genetik
Faktor lingkungan
Neurokimia

Pasien skizofrenia dengan kondisi


Pasien skizofrenia 1. Menderita skizofrenia lebih
dari 2 tahun
2. Riwayat bunuh diri
3. Penyalahgunaan obat dan
kekerasan
Tanda dan Gejala Perjalanan penyakit
Gejala positif 1. Fase prodomal
Gejala negatif 2. Fase aktif
3. Fase residual

Tatalaksana
skziofrenia

Resisten skizofrenia

biologi Psikososial

EC Antipsikoti

Antipsikotik Antipsikotik
tipikal atipikal

Clozapine

= Diteliti

= Tidak Diteli
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian non observasional dengan pendekatan


literatur review. Pengumpulan data dilakukan dengan metode Systematic literature
review (SLR). Metode SLR dilakukan secara sistematis dengan mengikuti tahapan dan
protokol yang memungkinkan proses literatur review terhindar dari bias dan pemahaman
yang bersifat subyektif dari penelitinya. Data yang diperoleh dari literatur merupakan
penelitian observasional dengan tipe deskriptif. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk
mendeskripsikan penggunaan antipsikotik clozapine pada pasien skizofrenia.
3.2 Pencarian Literatur
Penelitian dilakukan pada bulan November 2020 dengan database google
scholar dan Pubmed menggunakan MeSH termdengan kata kunci “Schizophrenia”
and “Clozapine” and “Therapeutic pattern”. Pencarian literatur hanya pada artikel
dengan bahasa Inggris yang masuk dalam database Medline. Hasil pencarian hanya
terbatas pada artikel yang menggunakan jenis penelitian deskriptif serta pencarian
literatur dimulai dari tahun 2010 - 2020.
3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.3.1 Kriteria Inklusi
- Jenis studi : penelitian observasional dengan tipe deskriptif.
- Jangka waktu : tanggal publikasi 10 tahun terakhir mulai dari tahun 2010 sampai
dengan tahun 2020.
3.3.2 Kriteria Eksklusi Bahasa tulisan yang digunakan selain bahasa Inggris.
3.4 Studi Eligibilitas
a. Jenis partisipan : penderita skizofrenia
b. Jenis intervesi : pola terapi penggunaan antipsikotik atipikal clozapine
c. Kriteria penilaian jurnal :
- Mencantumkan profil atau data pasien skizofrenia
- Jurnal yang mencamtumkan penyebab pasien skizofrenia
- Jurnal yang menganalisis jenis terapi antipsikotik yang digunakan
3.5 Prosedur Pengumpulan Data
Langkah - langkah yang akan dilakukan untuk mengumpulkan data selama
penelitian sebagai berikut :
3.5.1 Tahap Persiapan
Mempersiapan sarana yang digunakan untuk pencarian literatur review, yaitu
pubmed dan google scholar.
3.5.2 Tahap Pelaksanaan
a) Seleksi artikel berdasarkan judul dan abstrak.
b) Seleksi untuk relevansi antara kriteria yang telah ditetapkan dengan membaca full
article (dengan melakukan identification, screening, eligibility, included
berdasarkan prisma flow diagram 2009).

Gambar 3.1 Prisma Flow Diagram

c) Proses seleksi akan dibantu oleh Dosen Pembimbing dan ada diskusi jika
ditemukan ketidaksamaan sudut pandang.
3.6 Definisi Operasional Penelitian
a. Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang dapat mempengaruhi
pikiran, perasaan dan perilaku individu. Skizofrenia adalah bagian dari gangguan
psikosis yang terutama ditandai dengan kehilangan pemahaman terhadap realita dan
hilangnya daya tilik diri. (Sadock et al.,2014)
b. Clozapine adalah obat antipsikotik generasi ke dua yang efektif dalam mengobati
gejala positif pada pasien skizofrenia tanpa menyebabkan efek samping
ekstrapiramidal yang signifikan secara klinis (Meltzer et al.,2010)
c. Resistensi skizofrenia adalah skizofrenia yang tidak memberikan respon yang baik
terhadap antipsikotik yang berbeda secara memadai dengan dosis minimal 4 minggu,
dan gejala tidak berkurang setidaknya 20 %. (Daniel et al.,2011)
d. Dosis obat adalah takaran obat yang diberikan satu kali pemberian.
e. Studi literatur merupakan metode literatur review yang mengidentifikasi, menilai,
menginterprestasi seluruh temuan suatu topik penelitian, untuk menjawab
pertanyaan penelitian (research question) yang telah ditetapkan sebelumnya.
f. Metode deskriptif merupakan penelitian yang bertujuan hanya menggambarkan
(mendeskripsi) fenomena yang ditemukan, baik itu berupa faktor resiko, maupun
suatu efek dan hasil.
g. Metode seleksi adalah proses pemilihan studi seperti screnning, eligibility, termasuk
dalam systematic review dan jika ada termasuk dalam meta-analisis.
h. Eligibilitas merupakan bukti yang sesuai dengan kelayakan yang telah ditentukan
sebelumnya
i. Prisma flow diagram merupakan gambaran informasi melalui berbagai fase tinjauan
sistematis yang memetakan jumlah catatan yang diidentifikasi, disertakan dan
dikecualikan.
3.7 Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan hasil studi literatur disajikan dalam bentuk.
Tabel yang berisi tentang (data laboratorium, penggunaan antipsikotik, dan lama
penggunaan antipsikotik). Dari hasil pengumpulan data kemudian dianalisis dan ditarik
kesimpulan mengenai jenis antipsikotik yang digunakan, dosis pemakaian, durasi
penggunaan, serta efektivitas yang dihasilkan pada penggunaan clozapine pada pasien
skizofrenia.
3.8 Kerangka Operasional

Melakukan pencarian dengan kata


kunci di pubmed dan google
scholar

Kriteria inklusi
Kriteria eksklusi
Jenis studi : penelitian
observasional denga Bahasa tulisan yang digunakan
tipe deskriptif n selain bahasa Inggris.
Jangka waktu : tanggal
publikasi 10 tahun
terakhir mulai dari
tahun 2010 sampai
dengan
tahun 2020

Study eligibility (jenis


partisipan, jenis
intervensi, kriteria
penilaian jurnal

Seleksi artikel berdasarkan


prima flow

Pengolahan data dan


analisis
data

Penarikan kesimpulan
BAB 4
USULAN ANGGARAN

4.1 Usulan Anggaran

Usulan anggaran untuk penelitian Kajian Literatur : Penggunaan Obat


Antipsikotik Atipikal Clozapine Pada Pasien Skizofrenia dapat dilihat pada tabel 4.1

Tabel 4.1 Skema kerangka operasional


No Komponen Anggaran
1 Biaya print naskah Rp 300.000
2 Alat Tulis Rp 100.000
3 Transportasi Rp 250.000
4 Fotocopy Rp 50.000
total Rp 700.000
BAB 5

RANCANGAN PENELITIAN

5.1 Rancangan Penelitian


5.1.1 Waktu penelitian
Waktu penelitian Studi Literatur : Penggunaan Obat Antipsikotik Atipikal Clozapine
Pada Pasien Skizofrenia dapat dilihat pada tabel 5.1

Tabel 5.1 Rencana waktu dan tahapan kegiatan penelitian


No Kegiatan Tahun 2020 2021
Bulan 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6
1 Studi literatur √ √ √ √ √ √ √ √ √
2 Pengajuan judul √
3 Penyusunan naskah proposal √ √ √
4 sidang proposal √
5 revisi proposal √ √
6 review jurnal √ √
7 pengolahan data √
8 Penyusunan naskah skripsi √ √ √
9 sidang skripsi √

5.1.2 Waktu penelitian


Berdasarkan rancangan waktu penelitian yang ada maka perencanaan lokasi kegiatan
berada di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya secara daring
Daftar pustaka
American Psychiatric Association. (2020). The American Psychiatric Association
Practice Guideline for the Treatment of Patients with Schizophrenia.
American Psychiatric Association.
Arif, I. S. (2006). Skizofrenia: Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Bandung:
Rafika Aditama
Bruijnzeel, D., Uma, S., Rajiv, T. 2014. Antipsychotic treatment of schizophrenia: An
Update.
Asian Journal of Psychiatry, 635 p: 1-5
Ballester, J., & Frankel, B. A. (2016). Pharmacological advances in the treatment
of schizophrenia. American Journal of Psychiatry Residents' Journal,
11(01), 5-8.
Barlow, H. D. & Durand, M.V. (2007). Psikologi abnormal. Jakarta: Penerbit Pustaka
belajar Buku ajar psikofarmakologi Farmakologi Obat-obatan dalam Bidang Psikiatri
Oleh dr. Nita Parisa, M Bmd
Chanpattana W, 2007. Electroconvulsive Therapy For Schizofhrenia Current
Psychiatry Reviews, 3, 15-24
Conn PJ, Tamminga C, Schoepp DD, Lindsley C. 2008. Schizophrenia: moving
beyond monoamine antagonists. Mol Interv, 8 p: 99-107
Davidson, G.C. Neale, J.M. dan Kring, A.M.2006.Psikologi Abnormal. Edisi ke -
9.Jakarta:PT RajaGrafindo Persada
Dipiro, J. T., Dipiro, C.V., Wells, B.G., & Scwinghammer, T.L. 2008.
Pharmacoteraphy Handbook Seventh Edition. USA : McGraw-Hill
Company
Dipiro, J.T., Wells, B.G., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Posey, L.M., 2005,
Pharmacotherapy, 6th Edition, Appleton ang Lange, New York. 1-13
Dixon, L., Perkins, D., & Calmes, C. (2009). Guideline watch (September 2009):
practice guideline for the treatment of patients with schizophrenia. Arlington:
American Psychiatric Association.
Fanani, H. M. (2013). Perbedaan keefektifan antara clozapine (Clorilex) dengan electro
convulsive therapy (ECT) dalam penatalaksanaan skizofrenia resisten obat di
rumah sakit jiwa daerah surakarta. WACANA, 5(2)
Hafifah, A., Puspitasari, I. M., & Sinuraya, R. K. (2018) review artikel: farmakoterapi
dan rehabilitasi psikososial pada skizofrenia, 211.
Hanson, E., Kristin, H., Daniel, W. 2010. Assesment of Pharmacotherapy for Negative
Symptoms of Schizophrenia. Curr Psychiatry, 12 p: 563-571
Irwan, M., Fajriansyah, A., Sinuhaji, B., Indrayana, M., 2008, Penatalaksanaan
Skizofrenia, Fakultas Kedokteran Universitas Riau, Riau.
Jarut, Y. M., Fatimawali, F., & Wiyono, W. I. (2013). Tinjauan penggunaan
antipsikotik pada pengobatan skizofrenia di rumah sakit prof. dr. vl
ratumbuysang manado periode januari 2013-maret 2013. PHARMACON, 2(3).
Kaplan, HI, Saddock, BJ & Grabb, JA., 2010. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis. Tangerang : Bina Rupa Aksara pp.1-8
Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor hk.02.02/menkes/73/2015
tentang pedoman nasional pelayanan kedokteran jiwa
Kusumawardhani, A., Husin, A., Adikusumo, A., et al, 2013, Buku Ajar Psikiatri, 2 nd,
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p. 173-180
Leadbetter, R., Shutty, M., Pavalonis, D., Vieweg, V., Higgins, P., & Downs, M.
(1992). Clozapine-induced weight gain: prevalence and clinical relevance. The
American journal of psychiatry, 149(1), 68–72.
https://doi.org/10.1176/ajp.149.1.68
Leucht, S., Cipriani, A., Spineli, L., Mavridis, D., Orey, D., Richter, F., Samara, M.,
Barbui, C., Engel, R.R., Geddes, J.R., Kissling, W., Stapf, M.P., Lassig, B.,
Salanti, G., Davis, J.M., 2013. Comparative efficacy and tolerability of 15
antipsychotic drugs in schizophrenia: a multiple-treatments meta-analysis.
Lancet 382 (9896), 951–962
Lieberman, J. A., & Tasman, A. (2006). Handbook of psychiatric drugs. England: John
Wiley & Sons
Luana N. A.,2007, Skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya, simtosium.sehari
kesehatan jiwa dalam rangka menyambut hari kesehatan jiwa sedunia, hotel
red top, jakarta
Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya: Airlangga
Morrison, A. P., Pyle, M., Gumley, A., Schwannauer, M., Turkington, D., MacLennan,
G., ... & Byrne, R. (2018). Cognitive behavioural therapy in clozapine-
resistant schizophrenia (FOCUS): an assessor-blinded, randomised controlled
trial. The Lancet Psychiatry, 5(8), 633-643.
O'Shea, B. (2012). Schizophrenia Daniel R. Weinberger (Editor), Paul Harrison
(Editor) Chichester: Wiley-Blackwell, 2011. ISBN: 978-1-4051-7697-2. Irish
Journal of Psychological Medicine, 29(3), 200-200.
Patel, K. R., Cherian, J., Gohil, K., & Atkinson, D. (2014). Schizophrenia: overview
and treatment options. P & T : a peer-reviewed journal for
formularymanagement, 39(9), 638–645.
Priyambodho, A. (2018). Dukungan Emosional Keluarga Terhadap Kesembuhan
Pasien Skizofrenia Di RSJD. Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah
(Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Semarang).
Sinaga, B. R. (2007). Skizofrenia dan diagnosis banding. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 36-37. Shives, L. R. (2012). Basic concepts of psychiatric mental health nursing
(8th ed.).
Philadephia,
PA: Wolters Kluwer Health and Lippincott Williams & Wilkins
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan
dan Efek- Efek Sampingnya, Edisi Keenam, 262, 269-271, PT. Elex Media
Komputindo, Jakarta
Tomb, David A. Buku Saku Psikiatri Edisi 6. Jakarta : EGC ; 2004.
Videbeck. S. L. (2011). Psychiatric mental health nursing (5th ed.). Philadelphia, PA:
Lippincott Williams & Wilkins
Weinbrenner, S., Assion H-J., Stargardt T., et al. 2009. Drug Prescription Pattern in
Schizophrenia Outpatients: Analysis of Data from a German Health Insurance
Fund. Pharmacopsychiatry, 42 p: 66 – 71
Yulianty, M. D., Cahaya, N., & Srikartika, V. M. (2017). Studi Penggunaan
Antipsikotik dan Efek Samping pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa
Sambang Lihum Kalimantan Selatan. Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 3(2),
153-164

Anda mungkin juga menyukai