LINDA
SETYOWATI
2443017019
PROGAM STUDI S1
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
2020
KAJIAN LITERATUR PENGGUNAAN OBAT ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL CLOZAPINE
PADA PASIEN SKIZOFRENIA
PROPOSAL
OLEH:
LINDA SETYOWATI
2443017019
Dra. Siti Surdijati, MS., Apt. Drs. S. Joko Semedi, SpFRS., Apt.
NIK. 241.12.0734 NRP. 11209/P
Mengetahui,
Ketua Penguji
-------------------------------
BAB 1
PENDAHULUA
N
Psikotik adalah gangguan yang dicirikan dengan hilangnya reality testing dari
penyandangnya yaitu fikiran yang terputus dengan dunia nyata. Penderita mengalami
gangguan penilaian realita yang berat dan sering disertai disabilitas kognitif dan emosi
sehingga kemampuan berfungsi normal sangat terganggu. Ciri utama dari penyandang
gangguan psikosik yaitu mereka mengalami delusi dan halusinasi. Skizofrenia merupakan
gangguan psikotik yang paling sering terjadi dan hampir 1% penduduk dunia menderita
gangguan psikotik selama hidupnya (David A.Tom, 2003). Skizofrenia dalam kebanyakan
kasus bersifat sangat serius, berkelanjutan dan dapat mengakibatkan kendala sosial,
emosional dan kognitif (Rahardja dkk, 2007). Gejala skizofrenia biasanya muncul pada
usia remaja akhir atau dewasa muda. Pada laki laki antara usia 15 - 25 tahun dan pada
wanita 25
- 35 tahun (Kusumawardhani dkk, 2017).
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa 7 dari 1000 orang populasi
dewasa adalah pasien skizofrenia. Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar tahun
2018, prevalensi gangguan jiwa berat adalah sebanyak 6,7 per 1000 rumah tangga, artinya
dari
1.000 rumah tangga terdapat 6,7 rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga
penderita skizofrenia . Di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia adalah antara 0,6 % dan
1,9 % dari total penduduk (Sadock et al.,2010). Pada negara berkembang, 50 % penderita
skizofrenia tidak menjalani pengobatan dan 90 % penderita skizofrenia tidak diobati
dengan tepat (WHO, 2011).
Hingga saat ini belum diketahui penyebab skizofrenia. Para peneliti meyakini
bahwa skizofrenia disebabkan karena ketidakseimbangan neurotransmitter di otak.
Dewasa ini diketahui faktor keturunan dan faktor lingkungan berperan penting dalam
prognosis skizofrenia (Rahardja dkk., 2007). Skizofrenia paling sering terjadi pada akhir
masa remaja atau dewasa awal dan jarang terjadi sebelum masa remaja atau setelah usia 40
tahun, dikarenakan rentang usia tersebut merupakan usia produktif yang dipenuhi dengan
banyak faktor pencetus stress dan memiliki beban tanggung jawab yang besar. Faktor
pencetus stres tersebut di antaranya mencakup masalah dengan keluarga maupun teman
kerja, pekerjaan yang terlalu berat, hingga masalah ekonomi yang dapat mempengaruhi
perkembangan emosional. Stres dapat menyebabkan terjadinya peningkatan sekresi
neurotransmitter glutamat (senyawa prekursor GABA) pada sistem limbik sehingga
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan neurotransmitter. Ketidakseimbangan
neurotransmitter glutamat itu
sendiri dapat mencetuskan terjadinya skizofrenia (Yulianty,2017). Teori dopamin
mengatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh hiperaktivitas sistem dopamin dibagian
limbik otak. Hal ini yang menimbulkan gejala psikotik positif sedangkan dibagian otak
lain (cortex frontal) aktivitas dopamin justru berkurang yang menimbulkan gejala negatif
(Rahardja, 2007).
Pengobatan skizofrenia saat ini telah mengalami perkembangan dalam hal
farmakoterapi dan rehabilitasi psikososial. Target terapipun berubah, dari hanya
menangani gejala psikosis hingga mengendalikan fungsi kerja dan sosial. Salah satu
penanganan skizofrenia dengan menggunakan pengobatan antipsikotik. Farmakoterapi
pada penderita skizofrenia dipicu oleh penemuan antipsikotik chlorpromazine pada awal
1950-an dan pengembangan clozapine pada akhir 1960-an . Selama setengah abad
terakhir, antipsikotik digunakan dalam pengobatan skizofrenia dan telah menjadi
pengobatan andalan untuk mengurangi keparahan gejala psikotik dan kejadian relaps pada
penderita skizofrenia (Hafifah, Puspitasari, Sinuraya, 2018). Antipsikotik merupakan
terapi obat - obatan pertama yang efektif mengobati skizofrenia (Irwan dkk., 2008).
Antipsikotik adalah obat obat yang dapat menekan fungsi – fungsi psikis tertentu tanpa
mempengaruhi fungsi umum seperti berfikir dan berperilaku normal. Obat ini dapat
meredakan emosi dan agregasi dan dapat menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa
seperti halusinasi (Rahardja, 2007). Pemilihan agen antipsikotik bergantung pada banyak
faktor yang spesifik untuk setiap penderita seperti gejala (misalnya, kecemasan, kurang
tidur, halusinasi, dan delusi) sehingga obat antipsikotik dapat memperbaiki gejala
skizofrenia.
Antipsikotik diklasifikasikan menjadi antipsikotik generasi pertama (tipikal) dan
antipsikotik generasi kedua (atipikal). Kedua kelompok antipsikotik tersebut memiliki
aktivitas farmakologi yang sama, yaitu memblokir reseptor dopamin D2 (Bruijnzeel et al.,
2014). Antipsikotik generasi pertama efektif menangani gejala-gejala positif (Conn et al.,
2008), sedangkan antipsikotik generasi kedua efektif dalam menangani gejala gejala
negatif. Antipsikotik generasi kedua diketahui memiliki risiko efek samping
ekstrapiramidal yang lebih rendah dibandingkan antipsikotik generasi pertama
(Weinbrenner et al., 2009; Hanson et al., 2010).
Antipsikotik atipikal bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada keempat
jalur dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan
sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah
clozapine, olanzapine, risperidone, sulpirida dan quetiapin (Luana, 2007). Meskipun obat
antipsikotik merupakan pilihan utama dalam mengobati skizofrenia, tetapi hanya 50%
pasien yang mendapat sedikit keuntungan dari terapi obat antipsikotik tipikal. Lebih lanjut
pasien skizofrenia yang awalnya berespon dengan obat antipsikotik atipikal pada fase akut,
78 % mengalami kekambuhan selama 2 sampai 12 tahun pemantauan walau tetap
menerima obat yang sama. Respon yang lebih baik diperoleh dari obat antipsikotik atipikal.
Di antara obat antipsikotik atipikal ini, clozapine adalah obat terbaik untuk pasien
skizofrenia yang resisten pengobatan dengan angka respon sekitar 50 %.
(Chanpattana,2007)
Clozapine direkomendasikan untuk individu dengan riwayat bunuh diri, kekerasan,
penyalahgunaan obat maupun untuk individu dengan skizofrenia yang resistan terhadap
pengobatan. Identifikasi dari skizofrenia yang resistan terhadap pengobatan terletak pada
persistensi dari gejala yang signifikan, meskipun pengobatan farmakologis telah dilakukan
(dipiro dkk, 2008). Dengan pengobatan clozapine dalam penatalaksanaan skizofrenia,
diharapkan terdapat perbaikan gejala pada penderita skizofrenia resistensi obat. Dengan
perbaikan dari gejala - gejala skizofrenia tersebut, sehingga kualitas hidup penderita akan
menjadi meningkat juga.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka diperlukan sebuah studi untuk
mengetahui pola penggunaan obat clozapine golongan antipsikotik atipikal pada pasien
skizofrenia yang dikaitkan dengan rekam medik pasien. Penelitian ini diharapkan dapat
meningkatkan efektifitas dalam pengelolaan obat di rumah sakit dan dapat digunakan oleh
praktisi kesehatan sebagai bahan evaluasi terapi penggunaan obat psikofarmaka khususnya
clozapine golongan antipsikotik atipikal.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa 7 dari 1000 orang populasi
dewasa adalah pasien Skizofrenia. Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013,
prevalensi gangguan jiwa berat adalah sebanyak 1,7 per 1000 orang. Di amerika serikat
prevalensi seumur hidup skizofrenia sekitar 1 % yang berarti bahwa kurang lebih 1 dari 100
orang akan mengalami skizofrenia selama masa hidupnya. Studi Epidemiologic Catchment
Area (ECA) yang dilakukan oleh National Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan
prevalensi seumur hidup sebesar 0,6 % sampai 1,9 %. Menurut DSM-IV insiden tahunan
skizofrenia berkisar antara 0,5 sampai 5,0 per 1000 dengan beberapa variasi geografik.
Skizofrenia ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis dan angka insiden serta
prevalensinya secara merata diseluruh dunia. Di amerika serikat kurang lebih 0,05 % populasi
total menjalani pengobatan untuk skizofrenia setiap tahun, meskipun penyakit ini berat hanya
setengah dari semua pasien mendapatkan pengobatan (Sadock et al.,2010). Secara umum
skizofrenia mempunyai onset usia remaja hingga dewasa muda. Pada pria berkisar antara 18 –
25 tahun sedangkan pada wanita usia 25 – 35 tahun.
2.1.3 Etiologi
Penyebab skizofrenia belum diketahui secara pasti dan merupakan suatu tantangan riset
terbesar bagi pengobatan kontenporer. Telah banyak riset yang dilakukan dan telah banyak
faktor predisposisi dan pencetus yang diketahui :
1. Hereditas, pentingnya faktor genetik telah dibuktikan secara meyakinkan. Resiko
bagi masyarakat umum 1 %, pada orang tua resiko skizofrenia 5 %, pada saudara
kandung 8 % dan pada anak 10 % (Ingram et al.,1993)
2. Lingkungan, faktor lingkungan yang menyebabkan skizofrenia meliputi
penyalahgunaan obat, pendidikan yang rendah, dan status ekonomi (Carpenter,
2010)
3. Abnormalitas korteks cerebral, talamus, dan batang otak pada penderita skizofrenia
ditunjukkan dengan penelitian neuropatologi dan pemeriksaan dengan Ct scan
(Sadock et al., 2007)
4. Faktor biologi seperti hiperaktivitas sistem dopaminergik, faktor serotonin, faktor
neuroimunovirologi, hipoksia atau kerusakan neurotoksik selama kehamilan dan
kelahiran (Sadock et al., 2007)
2.1.4 Patofisiologi
Abnormalitas pada neurotransmiter telah menjadi dasar teori patofisiologi skizofrenia.
Sebagian besar teori ini berpusat pada kelebihan atau kekurangan neurotransmiter, termasuk
dopamin, serotonin, dan glutamat (Patel et al, 2014). Neurotransmitter asam amino
inhibitorik, asam γ-aminobutirat (GABA) juga dianggap terlibat dalam patofisiologi
skizofrenia (Sadock et al, 2010). Teori lain mengimplikasikan aspartat, glisin, dan asam γ-
aminobutirat (GABA) sebagai bagian dari ketidakseimbangan neurokimia skizofrenia.
Aktivitas abnormal direseptor dopamin (D2) dianggap terkait dengan banyak gejala
skizofrenia. Empat jalur dopaminergik telah terlibat . Jalur nigrostriatal berasal dari substansia
nigra dan berakhir di nukleus kaudatus. Kadar dopamin yang rendah dalam jalur ini dianggap
mempengaruhi sistem ekstrapiramidal, yang menyebabkan gejala motorik. Peningkatan
aktivitas dopaminergik pada jalur mesolimbik, yang membentang dari area ventral tegmental
(VTA) ke area limbik, dapat berperan dalam gejala positif skizofrenia. Jalur mesocortical
meluas dari VTA ke korteks. Gejala negatif dan kognitif pada skizofrenia diduga disebabkan
oleh tingkat dopamin mesocortical yang rendah. Proyek jalur tuberoinfundibular dari
hipotalamus ke kelenjar pituitari. Penurunan atau blokade dopamin tuberoinfundibular
menyebabkan peningkatan kadar prolaktin yang mengakibatkan galaktorea, ammenore, dan
penurunan libido. (Patel et al, 2014)
Menurut Aulia dkk.,2018 terdapat beberapa patofisiologi skizofrenia berdasarkan
penyebabnya antara lain :
1. Peningkatan ukuran ventrikel, penurunan ukuran otak dan asimetri otak. Penurunan
volume hipokampus berhubungan dengan kerusakan neuropsikologis dan penurunan
respons terhadap antipsikotik tipikal (Wells et al., 2009)
2. Hipotesis dopaminergik
Skizofrenia dapat disebabkan oleh hiperaktivitas atau hipoaktivitas dopaminergik
pada area tertentu di otak serta ketidaknormalan reseptor dopamin (DA).
Hiperaktivitas reseptor dopamin (DA) pada area mesocaudate berkaitan dengan
munculnya gejala-gejala positif. Sementara hipoaktivitas reseptor dopamin (DA)
pada area korteks prefrontal berkaitan dengan munculnya gejala-gejala negatif
(Guyton and Hall, 2011). Dopamin disekresikan oleh neuron yang badan selnya
terletak di bagian tegmentum ventral mesensefalon, medial dan superior substansia
nigra. Neuron- neuron ini menyebabkan kondisi hiperaktivitas dopaminergik pada
sistem mesolimbik. Dopamin tersebut disekresikan ke bagian medial dan anterior
sistem limbik, terutama hipokampus, amygdala, anterior caudate, nukleus dan
bagian lobus prefronta yang merupakan pusat pengendali perilaku (Guyton and Hall,
2011).
3. Disfungsi glutamatergik.
Penurunan aktivitas glutamatergik berkaitan dengan munculnya gejala skizofrenia
(Wells et al., 2009).
4. Kelainan serotonin (5-HT). Pasien skizofrenia memiliki kadar serotonin 5- HT yang
lebih tinggi. Hal ini juga berkaitan dengan adanya peningkatan ukuran ventrikel
(Wells et al., 2009).
2.1.5 Pedoman diagnonis
Diagnosis skizofrenia menurut DSM-V yaitu pasien harus memenuhi kriteria :
a. Dua atau lebih gejala dibawah ini, berlangsung paling sedikit satu bulan (atau bisa
kurang bila terapi berhasil) paling sedikit satu dari gejala ini harus ada yaitu (1), (2)
atau (3) :
1. Waham
2. Halusinasi
3. Pembicaraan disorganisasi (misalnya, inkoheren)
4. Perilaku disorganisasi berat atau katatonik
5. Simtom negatif (berkurangnya ekspresi emosi atau evolisi)
b. Sejak awitan gangguan, untuk periode waktu yang cukup bermakna, terdapat
penurunan derajat fungsi dalam satu atau lebih area penting misalnya fungsi
pekerjaan, hubungan interpersona, perawatan diri (dibawah derajat yang pernah
dicapai sebelum awitan) bila awitannya terjadi pada masa anak dan remaja, terdapat
kegagalan dalam mencapai derajat fungsi pekerjaan, akademik dan hubungan
interpersonal yang diharapkan.
c. Tanda tanda secara terus menerus, menetap paling sedikit 6 bulan. Dalam periode
enam bulan tersebut harus terdapat paling sedikit satu bulan simtom (bisakurang bila
terapi berhasil) pada kriteria A (simtom-simtom pada fase aktif) dan juga termasuk
simtom periode prodromal atau residual. Selama periode prodromal atau residual,
tanda - tanda gangguan dapat bermanifestasi hanya dalam bentuk simtom negatif
atau dua atau lebih simtom yang terdapat pada kriteria A dalam derajat yang lebih
ringan (misalnya kepercayaan-kepercayaan aneh, pengalaman resepsi yang tak
lumrah).
d. Harus dihilangkan gangguan skizoafektif dan depresi atau gangguan bipolar dengan
ciri psikotik :
1. Tidak terdapat secara bersamaan dengan episode manik atau depresi selama
simtom fase aktif
2. Bila terdapat episode mood selama fase aktif, harus terlihat dalam minoritas
durasi total periode aktif atau residual penyakit
e. Gangguan yang terjadi tidak disebabkan oleh efek fisiologik zat (misalnya,
penyalahgunaan zat atau medikasi) atau kondisi medik lainnya
f. Bila terdapat riwayat gangguan spektrum autisme atau gangguan komunikasi awitan
masa anak, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat hanya bila terdapat halusinasiatau
waham yang menonjol. Simtom simtom lainnya yang dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosis gangguan skizofrenia paling sedikit satu bulan.
Pedoman Diagnosis skizofrenia menurut PPDGJ III yaitu:
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. Thought echo yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya. Thought insertion or withdrawal yaitu isi pikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari dalam atau luar dirinya (withdrawal). Thought broadcasting yaitu isi
pikirannya tersiar ke luar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya.
b. Delusion of control adalah waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu. Delusion of influence adalah waham tentang dirinya
dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar. Delusion of passivity adalah
waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari
luar. Delusion of perception yaitu pengalaman inderawi yang tak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya biasanya bersifat mistik atau mujizat.
c. Halusinasi auditorik, yaitu suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien di antara
mereka sendiri (di antara berbagai suara yang berbicara), atau jenis suara
halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari
dunia lain).
2. Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun ide-ide berlebihan yang menetap, atau terjadi selama
setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
b. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolation) yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
d. Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan penarikan
diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas
bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neuroleptika.
3. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih.
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu,
sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara
sosial.
2.1.6 Tanda dan gejala
Gejala- gejala skizofrenia adalah sebagai berikut:
a. Gejala positif yang diperlihatkan pada penderita skizofrenia adalah sebagai berikut :
1. Waham : keyakinan yang salah , tidak sesuai dengan kenyataan , dipertahankan
dan disampaikan berulang-ulang ( waham kejar, waham curiga, waham
kebesaran).
2. Halusinasi: gangguan penerimaan pancaindra tanpa stimulus eksternal
(halusinasi pendengaran, penglihatan, pengecapan, penciuman dan perabaan)
3. Perubahan arus pikir :
a) Arus pikir terputus : dalam pembicaran tiba-tiba tidak dapat melanjutkan isi
pembicaran.
b) Inkoheren : berbicara tidak selaras dengan lawan bicara (bicara kacau)
c) Neologisme : menggunakan kata-kata yang hanya dimengerti oleh diri
sendiri, tetapi tidak dimengerti oleh orang lain.
4. Perubahan perilaku :
a) Hiperaktif : perilaku motorik yang berlebihan
b) Agitasi : perilaku yang menunjukkan kegelisahan
c) Iritabilitas : mudah tersinggung (Keliat, 2011)
b. Gejala negatif yang diperlihatkan pada penderita skizofrenia adalah sebagai berikut:
1) Pendataran afektif (ekspresi afektif) merupakan ekspresi perasaan yang tampil
sesaat dari perasaan seseorang pada waktu pemeriksaan dan merupakan
penyelarasan yang langsung daripada hidup mental dan instingual, penderita
skizofrenia respon emosional yang tidak sesuai, alam perasaan yang datar tanpa
ekspresi serta tidak serasi, maupun afek yang dangkal (Ibrahim, 2011)
2) Sikap masa bodoh
3) Pembicaraan berhenti tiba-tiba
4) Menarik diri dari pergaulan sosial
5) Menurunnya kinerja atau aktivitas sosial sehari-hari (Keliat, 2011)
2.1.7 Subtipe skizofrenia
Klasifikasi skizofrenia terbagi menjadi lima tipe berdasarkan DSM-IV ( Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders) di antaranya tipe paranoid, tipe katatonik, tipe
terdisorganisasi, tipe tak terdiferensiasi dan tipe residual
1. Skizofrenia paraniod
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah adanya waham yang mencolok atau halusinasi
auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan efek yang relatif masih
terjaga. Wahamnya biasanya adalah waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham
dengan tema lain mungkin juga muncul misalnya waham kecemburuan. Ciri-ciri
lainnya dari skizofrenia paranoid meliputi tegang, mudah curiga, berjaga-jaga,
berhati-hati dan terkadang bersikap bermusuhan atau agresif. (sadock et al.,2010)
Kriteria diagnostik untuk skizofrenia tipe paranoid :
a. Preokupasi dengan satu atau lebih waham atau sering mengalami halusinasi
auditorik.
b. Tidak ada ciri berikut yang mencolok : bicara kacau, motorik kacau atau
katatonik, efek yang tak sesuai atau datar
2. Skizofrenia hebefrenik (disorganized)
Ciri utama disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah laku kacau dan afek
yang datar. Penampilan pribadi dan perilaku sosial berantakan serta respon
emosional yang buruk dan sering tertawa tanpa alasan yang jelas. Disorganisasi
tingkah laku misalnya kurangnya orientasi pada tujuan dapat membawa pada
gangguan yang serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari. Orang yang
menderita tipe skizofrenia ini akan menarik diri secara ekstrem, mengalami
halusinasi, dan delusi, meskipun tidak sekuat sepertipada skizofrenia paranoid.
Bentuk skizofrenia ini, biasanya dimulai antara usia 15 dan 25 tahun dan cenderung
memiliki prognosis yang buruk karena pesatnya perkembangan gejala "negatif",
terutama merata dari mempengaruhi dan kehilangan kemauan (sadock et al.,2010).
Kriteria diagnostik skizofrenia tipe disorganized:
a. Gejala ini cukup menonjol : Pembicaraan kacau, tingkah laku kacau.
b. Tidak memenuhi untuk tipe katatonik.
3. Skizofrenia katatonik
Ciri utama pada skizofrenia tipe katatonik adalah gangguan pada psikomotor yang
dapat meliputi ketidak-bergerakan motorik, aktivitas motor yang berlebihan, sama
sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi, gerakangerakan yang tidak terkendali,
mengulang ucapan orang lain atau mengikuti tingkah laku orang lain (Arif, 2006).
Kriteria diagnostik skizofrenia tipe katatonik :
a. Aktivitas motor yang berlebihan.
b. Negativisme yang ekstrim (tanpa motivasi yang jelas, bersikap sangat menolak
pada segala instruksi atau mempertahankan postur yang kaku untuk menolak
dipindahkan) atau sama sekali diam.
c. Gerakan-gerakan yang khas dan tidak terkendali.
d. Menirukan kata-kata orang lain atau menirukan tingkah laku orang lain (Arif,
2006).
4. Skizofrenia tak terdiferensiasi
Skizofrenia jenis ini gejalanya sulit untuk digolongkan pada tipe skizofrenia tertentu
atau tidak memiliki kriteria dari semua tipe skizofrenia(sadock et al.,2010)
5. Skizofrenia residual
Diagnosis skizofrenia tipe residual diberikan bilamana pernah ada paling tidak satu
kali episode skizofrenia, tetapi gambaran klinis saat ini tanpa simtom positif yang
menonjol. Terdapat bukti bahwa gangguan masih ada sebagaimana ditandai oleh
adanya negatif simtom atau simtom positif yang lebih halus.
Kriteria diagnostik untuk skizofrenia tipe residual :
a. Tidak ada yang menonjol dalam hal delusi, halusinasi, pembicaraan kacau,
tingkah laku kacau atau tingkah laku katatonik
b. Terdapat bukti keberlanjutan gangguan ini, sebagaimana ditandai oleh adanya
simtom-simtom negatif atau dua atau lebih simtom yang terdaftar di kriteria A
untuk skizofrenia, dalam bentuk yang lebih ringan (Arif, 2006).
2.1.8 perjalanan penyakit
Perjalanan penyakit gangguan jiwa berat skizofrenia menurut Ambarwati (2009) dibagi
menjadi tiga fase, yaitu:
1. Fase Prodromal adalah periode terjadinya perubahan perilaku sebelum gejala yang
nyata muncul. Tanda dan gejala fase prodromal bisa mencakup kecemasan, gelisah,
merasa diteror, atau depresi. Gejala prodromal dapat berlangsung beberapa bulan
sampai beberapa tahun sebelum ditegakkannya diagnosis pastiskizofrenia.
2. Fase Aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan klinis yang nyata, yakni kekacauan
alam pikir, perasaan, dan perilaku. Penilaian terhadap realita mulai terganggu dan
pemahaman dirinya buruk, atau bahkan tidak ada.
3. Fase Residual atau dikenal dengan nama lain fase stabil muncul setelah fase akut
atau setelah terapi dimulai. Karakteristik fase residual adalah menghilangnya
beberapa gejala klinis skizofrenia sehingga tinggal satu atau dua gejala sisa yang
tidak terlalu nyata secara klinis, misalnya penarikan diri, perilaku aneh
seperti bicara, tersenyum, dan tertawa sendiri, hendaya dalam kebersihan atau
perawatan diri, pendataran afek serta hendaya fungsi peran sosial.
2.1.9 penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasienskizofrenia dapat berupa terapi biologis
danterapipsikososial (Duran, 2007)
1. Terapi biologis
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi dengan
menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan bagian
otak. Terapi dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala
skizofrenia. Obat yang digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan
fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat
phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut obat
penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi
tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi
(orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi penderita
skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan
(Durand, 2007).
Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock pada
penatalaksanaan terapi biologis. Electroconvulsive therapy (ECT) diperkenalkan
sebagai penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi pokok
perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini
digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk
skizofrenia. Antusias awal terhadap ECT semakin memudar karena metode ini
diketahui tidak menguntungkan bagi sebagian besar penderita skizofrenia meskipun
penggunaan terapi ini masih dilakukan hingga saat ini.
Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak (prefrontal
lobotomy) yaitu proses operasi primitif dengan cara membuang “stone of madness”
atau disebut dengan batu gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang
terganggu. Cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya,
khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950- an
cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan
kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.
2. Terapi psikososial
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasi
pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan
menjemukan. Secara historis, sejumlah penanganan psikososial telah diberikan pada
pasien skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini
merupakan akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman
yang dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian yaitu terapi
kelompok dan terapi keluarga (Durand, 2007). Terapi kelompok merupakan salah
satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini, beberapa penderita skizofrenia
berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan
sebagai pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan feedback
tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan pada situasi sosial
yang mendorong peserta untuk berkomunikasi, sehingga dapat memperkaya
pengalaman peserta dalam kemampuan berkomunikasi. Pada terapi keluarga
merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok. Terapi ini digunakan untuk
penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya.
Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapan emosi yang bisa mengakibatkan
penyakit penderita kambuh kembali. Dalam hal ini, keluarga diberi informasi
tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif
maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap
persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan
penderita dan cara untuk menghadapinya. Dari beberapa penelitian, seperti yang
dilakukan oleh Fallon ternyata campur tangan keluarga sangat membantu dalam
proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit
penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual (Priyambodho,2018)
Menurut Dipiro dkk., 2008 telah dikelompokkan obat antipsikotik yang biasa
digunakan untuk terapi skizofrenia yang terdapat pada Tabel 2.1 dan efek samping dari
antipsikotik yang terdapat pada Tabel 2.2 dibawah ini
Gambar 2.1 obat antipsikotik yang biasa digunakan
Obat Rentang dosis Ekuivalen Dosis Maksimum
Antipsikotik yang dianjurkan Chlorpromazin (mg/hari)
(mg/hari) (mg/hari)
Tipikal
Klorpromazin 100 - 800 100 2000
Fluphenazin 2 - 20 2 40
Perphenazin 10 - 64 10 64
Thioridazin 100 - 800 100 800
Trifluoperazin 5 - 40 5 80
Haloperidol 2 - 20 2 100
Loxapin 10 - 80 10 250
Molindon 10 - 100 10 225
Thiothixen 4 – 40 4 60
Atipikal
Aripiprazol 15 - 30 30
Klozapin 50 - 500 900
Olanzapin 10 - 20 20
Paliperidon 3 -9 2 12
Quetiapin 50 - 500 800
Risperidon 2-8 16
Ziprasidon 40 – 160 200
Algoritma farmakoterapi
skizofrenia yang
disarankan
STAGE 1 A STAGE 1 B
monoterapi antipsikotik Monoterapi antipsikotik kecuali
generasi kedua(aripiprazole, clozapine. Antipsikotik yang
risperidone, ziprasidone ) sebelumnya menghasilkan efikasi
yang buruk tidak boleh
digunakan
STAGE 2
Pasien tidak merespon baik tahap 1
A maupun tahap 1 B
Monoterapi antpsikotik selain yang
digunakan pada tahap 1 A dan 1 B
STAGE 3
Pasien tidak memberikan respon baik Gunakan antipsikotik long
terhadap 2 antipsikotik yang diuji acting injectable (LAI) pada
Rekomendasikan monoterapi stage 2 atau 4 jika kepatuhan
Clozapine pasien rendah atau jika pasien
memilih LAI sebagai
pengobatan
STAGE 4
Pasien kurang berespon terhadap
clozapine
Monoterapi antipsikotik yang
setara dengan kombinasi
antipsikotik
Gambar 2.3 algoritma terapi skizofrenia
Sumber : (Dipiro et al.,2016)
Tahap 1 adalah pengobatan untuk pasien dengan skizofrenia onset baru dan termasuk
terapi tunggal dengan antipsikotik generasi kedua. Pilihan pengobatan pada tahap 1 meliputi
terapi tunggal dengan Aripiprazole, Risperidon, atau Ziprasidon. Tahap 2 terdiri dari terapi
tunggal dengan salah satu antipsikotik generasi kedua yang tidak dicoba pada tahap 1 atau
dengan antipsikotik generasi pertama. Clozapine adalah pengobatan tahap 3 untuk skizofrenia.
Clozapine adalah satu-satunya antipsikotik yang memiliki keunggulan lebih dari agen
antipsikotik lainnya dalam mengurangi gejala psikotik. Hal ini efektif dalam pengobatan
skizofrenia yang telah resisten dan pada pasien yang memiliki riwayat penyalahgunaan zat
komorbiditas, bunuh diri, atau kekerasan. Gejala positif yang menahun > 2 tahun waran dan >
5 tahun membutuhkan pengobatan dengan clozapine, sesuai dengan jumlah penggunaan
antipsikotik sebelumnya. Jika clozapine tidak memberikan respon penuh setelah titrasi dosis
dan durasi pengobatan yang memadai, evaluasi harus dilakukan untuk menguji kembali
diagnosis dan memeriksa penyalahgunaan zat, kepatuhan pengobatan, dan stressor
psikososial. Terapi perilaku kognitif atau psikososial augmentasi juga harus dipertimbangkan
sebelum pindah ke tahap 4. Pada tahap 4 pengobatan meliputi clozapine dan ditambah
antipsikotik generasi pertama atau antipsikotik generasi kedua atau terapi elektrokonvulsif.
Dosis rata – rata clozapine yang adekuat antara 250 mg – 450 mg per hari(Sinaga,2007).
Clozapine merupakan satu-satunya antipsikotik yang memiliki keunggulan lebih dari agen
antipsikotik lainnya dalam mengurangi gejala psikotik. Hal ini efektif dalam pengobatan
skizofrenia yang telah resisten atau tidak responsif ketika menggunakan obat lain atau jika
mengalami efek samping yang berat dan dapat digunakan pada pasien yang memiliki riwayat
penyalahgunaan zat komorbiditas, bunuh diri, atau kekerasan.
2.2.3 Farmakokinetika
A. Absorbsi
B. Distribusi
Volume distribusi clozapin lebih rendah. Secara cepat dan ekstensif didistribusikan
ke dalam jaringan tubuh manusia, dan metabolitnya juga didistribusikan secara luas
keseluruh tubuh. Dilaporkan hadir dalam konsentrasi rendah di plasenta dan dapat
menyebar ke dalam susu pada hewan. tidak diketahui apakah melewati plasenta atau
didistribusikan ke dalam susu pada manusia. Clozapine memiliki Plasma Protein
Binding sekitar 97%.
2.2.4 Farmakodinamik
b. Mencari literatur
Pada proses ini, apa yang telah ditentukan sebagai literatur yang sesuai akan
dikumpulkan. Sementara fokus literatur dapat bervariasi tergantung pada tujuan
keseluruhan, ada beberapa strategi yang berguna untuk tahap analisis dan sintesis
yang akan membantu dalam menganalisis literatur. Pada awalnya, disarankan
untuk melakukan pembacaan pertama dari artikel yang telah dikumpulkan untuk
mendapatkan pemahaman tentang apa itu artikel tersebut. Sebagian besar artikel
yang diterbitkan berisi ringkasan atau abstrak, yang akan membantu proses ini
dan memungkinkan keputusan apakah layak untuk dibaca lebih lanjut atau
dimasukkan. Setelah tinjauan awal selesai, perlu untuk kembali ke artikel untuk
melakukan peninjauan yang lebih sistematis dan kritis.
Penggunaan kata kunci (keywords) merupakan cara untuk mencari artikel atau bukti
ilmiah lain. Mengingat sebagian besar bukti ilmiah internasional berbahasa Inggris,
maka kata kunci yang digunakan harus menggunakan ejaan Bahasa Inggris. Perlu
diingat bahwa usaha mencari literatur tanpa strategi yang benar atau dengan
menggunakan kata kunci yang tidak terencana dengan baik akan menghasilkan artikel
atau sumber bukti yang tidak terarah (Rofi,2019).
2.4.3 Methods study selection
Metode seleksi dapat dilakukan dengan proses pemilihan studi seperti screnning, eligibility,
termasuk dalam systematic review dan jika ada termasuk dalam meta-analisis. Metode
seleksi dapat dilakukan dengan cara
- menyediakan deskripsi naratif untuk proses pemilihan sumber bukti
- Sertakan informasi tentang proses pengembangan formulir yang digunakan untuk
standarisasi sumber bukti pemilihan (pertanyaan termasuk dalam formulir, tes formulir,
dan software yang digunakan
- Menjelaskan proses screnning secara lengkap seperti number of reviewers, duplicate
screening, dan verification
2.4.4 Eligibility criteria
- Menentukan karakteristik studi dan karakteristik laporan seperti tahun, bahasa, dan status
publikasi yang digunakan sebagai kriteria untuk kelayakan.
- Menjelaskan kriteria kelayakan dengan alasan mengapa kriteria ini dipilih
- Menentukan karakteristik sumber bukti yang digunakan sebagai kriteria kelayakan
seperti tahun, bahasa, dan status publikasi.
2.5 Kerangka konseptual
Etiologi Skizofrenia
Faktor genetik
Faktor lingkungan
Neurokimia
Tatalaksana
skziofrenia
Resisten skizofrenia
biologi Psikososial
EC Antipsikoti
Antipsikotik Antipsikotik
tipikal atipikal
Clozapine
= Diteliti
= Tidak Diteli
BAB 3
METODE PENELITIAN
c) Proses seleksi akan dibantu oleh Dosen Pembimbing dan ada diskusi jika
ditemukan ketidaksamaan sudut pandang.
3.6 Definisi Operasional Penelitian
a. Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang dapat mempengaruhi
pikiran, perasaan dan perilaku individu. Skizofrenia adalah bagian dari gangguan
psikosis yang terutama ditandai dengan kehilangan pemahaman terhadap realita dan
hilangnya daya tilik diri. (Sadock et al.,2014)
b. Clozapine adalah obat antipsikotik generasi ke dua yang efektif dalam mengobati
gejala positif pada pasien skizofrenia tanpa menyebabkan efek samping
ekstrapiramidal yang signifikan secara klinis (Meltzer et al.,2010)
c. Resistensi skizofrenia adalah skizofrenia yang tidak memberikan respon yang baik
terhadap antipsikotik yang berbeda secara memadai dengan dosis minimal 4 minggu,
dan gejala tidak berkurang setidaknya 20 %. (Daniel et al.,2011)
d. Dosis obat adalah takaran obat yang diberikan satu kali pemberian.
e. Studi literatur merupakan metode literatur review yang mengidentifikasi, menilai,
menginterprestasi seluruh temuan suatu topik penelitian, untuk menjawab
pertanyaan penelitian (research question) yang telah ditetapkan sebelumnya.
f. Metode deskriptif merupakan penelitian yang bertujuan hanya menggambarkan
(mendeskripsi) fenomena yang ditemukan, baik itu berupa faktor resiko, maupun
suatu efek dan hasil.
g. Metode seleksi adalah proses pemilihan studi seperti screnning, eligibility, termasuk
dalam systematic review dan jika ada termasuk dalam meta-analisis.
h. Eligibilitas merupakan bukti yang sesuai dengan kelayakan yang telah ditentukan
sebelumnya
i. Prisma flow diagram merupakan gambaran informasi melalui berbagai fase tinjauan
sistematis yang memetakan jumlah catatan yang diidentifikasi, disertakan dan
dikecualikan.
3.7 Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan hasil studi literatur disajikan dalam bentuk.
Tabel yang berisi tentang (data laboratorium, penggunaan antipsikotik, dan lama
penggunaan antipsikotik). Dari hasil pengumpulan data kemudian dianalisis dan ditarik
kesimpulan mengenai jenis antipsikotik yang digunakan, dosis pemakaian, durasi
penggunaan, serta efektivitas yang dihasilkan pada penggunaan clozapine pada pasien
skizofrenia.
3.8 Kerangka Operasional
Kriteria inklusi
Kriteria eksklusi
Jenis studi : penelitian
observasional denga Bahasa tulisan yang digunakan
tipe deskriptif n selain bahasa Inggris.
Jangka waktu : tanggal
publikasi 10 tahun
terakhir mulai dari
tahun 2010 sampai
dengan
tahun 2020
Penarikan kesimpulan
BAB 4
USULAN ANGGARAN
RANCANGAN PENELITIAN