Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN PSIKIATRI REFERAT PSIKOTIK

FAKULTAS KEDOKTERAN Senin, 11 Desember 2023


UNIVERSITAS HASANUDDIN

NEUROBIOLOGI DAN TATALAKSANA


GANGGUAN KOGNITIF PADA SKIZOFRENIA

Dibawakan Oleh :
dr. Fahrunnisa

C065222002

Pembimbing :

dr. Andi Suheyra Syauki, M.Kes., Sp.K.J.

Penasehat Akademik :

Dr. dr. Saidah Syamsuddin, Sp.K.J.

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui untuk dipresentasikan Referat dengan Judul “Neurobiologi dan Tatalaksana
Gangguan Kognitif pada Skizofrenia” pada konferensi klinik Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin pada :
Hari : Senin
Tanggal : 11 Desember 2023
Jam : 08.00 WITA – selesai
Tempat : Ruang Pertemuan Psikiatri RSKD Prov. Sulsel

Makassar, 11 Desember 2023

Penasehat Akademik Pembimbing

Dr. dr. Saidah Syamsuddin, Sp.K.J. dr. Andi Suheyra Syauki, M.Kes., Sp.K.J.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................1
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................... 2
DAFTAR ISI ............................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................4
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................6
2.1 Skizofrenia....................................................................................................... 6
2.2 Gangguan Kognitif ........................................................................................ 10
2.3 Neurobiologi Gangguan Kognitif Pada Skizofrenia ...................................... 12
2.4 Progresivitas.................................................................................................... 23
2.5 Domain Fungsi Kognitif… ............................................................................. 24
2.6 Tatalaksana… ..................................................................................................27
2.7 Remediasi kognitif ........................................................................................... 28
2.8 Terapi Fisik Pada Skizofrenia .......................................................................... 30
3. BAB III PENUTUP ............................................................................................ 31
3.1 Kesimpulan… ................................................................................................. 31

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................32

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang kronis, parah, dan melemahkan.


Berdasarkan data, terdapat sekitar 1% dari sebuah populasi pernah menderita skizofrenia
selama hidupnya. Skizofrenia sendiri memberi dampak pada gangguan afek, gangguan
persepsi, gangguan kognisi dan fungsi sosial. Terganggunya beberapa hal tersebut
membuat pasien skizofrenia sering membutuhkan perawatan yang intensif serta waktu
yang panjang. Kebutuhan tersebut dikarenakan kronisitas dan gangguan fungsi tersebut. 1,2
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th Edition, Text
Revision (DSM-V-TR), angka kejadian dalam setahun Skizofrenia berkisar antara 0,5-5,0
per 10.000 penduduk. Prevalensi pasien Skizofrenia di Amerika Serikat sekitar 1% yang
artinya, 1 dari 100 orang di Amerika Serikat pernah mengalami Skizofrenia. Sekitar 0,05%
dari total populasi yang bisa mendapat terapi dalam satu tahun terakhir. 3
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2018 menyatakan bahwa
sekitar 23 juta jiwa di seluruh dunia menderita gangguan skizofrenia dan menurut data dari
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi Skizofrenia di Indonesia adalah
sebesar 6,7 per 1000 rumah tangga. Data ini meningkat dari data tahun 2013 yang mencatat
prevalensi penderita skizofrenia sebesar 1,3 per 1000 rumah tangga. Prevalensi Skizofrenia
di perkotaan umumnya lebih besar daripada di pedesaan, pada pria dan wanita hampir seimbang
tetapi onsetnya lebih muda pada pria. Studi epidemiologis menunjukkan bahwa stresor lingkungan
dan psikososial dapat menjadi faktor resiko terjadinya skizofrenia.4,5
Kronisitas dari gangguan Skizofrenia merupakan salah satu faktor yang menjadi
pertimbangan dari penatalaksanaan. Skizofrenia telah dipandang selama bertahun-tahun
sebagai suatu penyakit yang kronis dengan atau bahkan tidak ada harapan untuk sembuh. 6,7
Gejala negatif biasanya muncul 5 tahun sebelum episode psikotik pertama. Psikopatologi
pada skizofrenia dapat digolongkan ke dalam lima domain, yaitu gejala positif, gejala
negatif, gejala kognitif, gejala agresif dan gejala afektif.8
Disfungsi kognitif pada penderita Skizofrenia memiliki prevalensi yang sangat tinggi,
sekitar 98% dari pasien dengan Skizofrenia menunjukkan kemampuan kognisi yang lebih
jelek pada tes kognitif daripada tingkat pendidikan yang diterimanya. Gangguan tersebut
cukup mempengaruhi fungsi pasien dalam pekerjaan, fungsi sosial, dan manajemen dari
4
penyakitnya sendiri.9 Perburukan ini biasanya dapat diidentifikasi pada awal perjalanan
penyakitnya, sebelum mendapatkan terapi antipsikotik dan akan terus menetap sepanjang
perjalanan Skizofrenia, hal inilah yang menjadi dasar utama yang menekankan bahwa
disfungsi kognitif menjadi inti dari skizofrenia. 10 Penyebab disfungsi kognitif pada
skizofrenia dapat juga disebabkan karena abnormalitas pada anatomi dan fungsional dari
sel neuron di otak.11
Defisit kognitif menjadi salah satu aspek sentral dan melemahkan dari Skizofrenia.
Hampir seluruh fungsi kognitif terkena dampak seperti memori, atensi, kemampuan
motorik, fungsi eksekutif, dan intelegensia.12 Gangguan kognitif yang terjadi pada pasien
skizofrenia membuat skizofrenia menjadi penyakit tiga besar penyebab disabilitas di
seluruh dunia di usia dewasa antara 15 sampai 44 tahun. Kognitif sendiri diperlukan untuk
fungsi sosial dan okupasional bagi seseorang. Ada dua pilihan remediasi kognitif yang
mungkin membantu meningkatkan kemampuan kognitif dan fungsi individu dengan
skizofrenia, terapi remediasi kognitif dan dukungan lingkungan.13
Obat antipsikotik sebagai perawatan utama untuk pasien dengan skizofrenia,
memberikan respons gejala tidak selalu optimal, efek samping sering terjadi, dan
kepatuhan pengobatan sering buruk. Oleh karena itu, masih sejumlah besar penelitian
sedang dilakukan untuk mengidentifikasi obat baru dari kelas yang berbeda yang mungkin
efektif dalam pengobatan skizofrenia.14 Dalam studi yang dilakukan oleh Li et al. penelitian
di berbagai negara. obat antipsikotik generasi pertama dan kedua, meskipun efektif untuk
mengurangi gejala positif, sebagian besar netral sehubungan dengan fitur kognitif dari
gangguan tersebut.15 Penelitian terbaru telah memfokuskan penggunaan farmakoterapi
berupa antipsikotik atipikal (Second Generation Antipsychotic/SGA) untuk mengobati
pasien setelah kondisi akut skizofrenia tertangani. Pemilihan SGA seperti Risperidon
didasarkan pada kemampuan obat ini untuk memperbaiki gejala positif, gejala negatif,
fungsi kognitif dan efek samping neuroleptik yang lebih rendah dibandingkan dengan obat
antipsikotik generasi pertama (First Generation Antipsychotic/FGA.16,17,18

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SKIZOFRENIA
2.1.1 Definisi
Gangguan jiwa pertama kali diperkenalkan oleh Emil Kraepelin (1856- 1926)
dengan istilah dementia prae-cox, menggambarkan kemunduran intelegensi sebelum
waktunya disertai gejala klinis berupa waham dan halusinasi. Eugene Bleuler (1911)
memperkenalkan istilah Skizofrenia yang berasal dari kata schizos (pecah-belah) dan
phren (jiwa). Skizofrenia merupakan sindroma klinis dengan gambaran psikopatologi
yang bervariasi. Psikopatologi ini meliputi aspek kognisi, emosi, persepsi, dan perilaku
lainnya, bervariasi antara pasien, dari waktu ke waktu, berlangsung lama dan berdampak
terhadap kesejahteraan serta kemampuan untuk berfungsi dalam masyarakat.3,10 Namun,
Eack pada tahun 2009 mengemukakan bahwa Skizofrenia adalah sebuah gangguan
mental yang kronis dan memberikan kecacatan yang memiliki ciri khas terkait penurunan
kognitif, fungsi sehari-hari, dan penyesuaian. Hal yang mempengaruhi baik dari sisi
personal dan sosial dari penyakit ini adalah munculnya deteriorasi, dan prognosis yang
terus memburuk terkait kondisi yang tidak tertangani. Sehingga yang paling penting
adalah intervensi dini untuk mencegah kondisi yang lebih buruk di masa mendatang.11,12
Salah satu kompleksitas skizofrenia adalah tidak ada mekanisme patofisiologi
sentral, neuropatologi diagnostik, atau penanda biologis, yang telah dikenali pada
skizofrenia. Untuk menjelaskan neuropatologi skizofrenia, sejumlah hipotesis berbeda
termasuk hipotesis perkembangan saraf dan neurokimia telah diajukan. Tidak adanya
bukti patologis neurodegeneratif seperti badan inklusi sitopatologis, neuritis distrofi,
gliosis reaktif, dismielinisasi, dan kehilangan neuronal secara keseluruhan pada
skizofrenia, mendukung peran proses perkembangan saraf dalam neuropatologi
skizofrenia. Namun, model perkembangan saraf dan neurodegeneratif yang diusulkan dari
patologi tidak selalu eksklusif. Penggabungan model neurodevelopmental dan
neurodegeneratif juga telah dihipotesiskan dalam neuropatologi skizofrenia.3,21,22

2.1.2 Etiologi

Etiologi dari penyakit ini sampai sekarang belum pasti, namun diduga melibatkan
faktor biologi, psikososial, dan lingkungan. Beberapa teori tentang penyebab
skizofrenia:3,8
6
1. Faktor biologis
Pada pasien skizofrenia didapatkan hiperfungsi dopamin pada sistem limbik,
hipofungsi pada korteks frontal, dan hipofungsi glutamatergik, disamping pengaruh
neurotransmitter lainnya. Dopamin adalah salah satu neurotransmitter yang berperan
dalam mengatur respon emosi. Pada penderita skizofrenia, dopamin ini dilepaskan
secara berlebihan didalam otak sehingga timbullah gejala-gejala seperti waham dan
halusinasi. Pada penderita skizofrenia, produksi neurotransmitter dopamin berlebihan
pada suatu area, sedangkan kadar dopamin pada bagian lain dari otak terlalu sedikit.
Dopamin tersebut berperan penting pada perasaan senang dan pengalaman mood yang
berbeda. Bila kadar dopamin tidak seimbang (berlebihan atau kurang) penderita dapat
mengalami gejala positif atau negatif. Hampir semua obat antipsikotik baik tipikal
maupun atipikal memblokade reseptor dopamine D2 sehingga dengan terhambatnyaa
transmisi sinyal di sistem dopaminergik, maka gejala-gejala psikotik yang timbul
dapat diredakan. Adapun penggunaan antipsikotik generasi pertama (yang dikenal
dengan sebutan obat tipikal) seperti haloperidol dapat menimbulkan suatu dilema
karena obat ini menyekat reseptor dopamine di mesolimbik dan mesokortikal.
Penurunan aktivitas dopamine di jalur mesolimbik memang dapat mengatasi gejala
positif seperti waham dan halusinasi, namun akan meningkatkan gejala-gejala negatif
seperti penarikan diri dari pergaulan sosial dan penurunan daya pikir. Kunci jalur
serotonergik pada skizofrenia ialah proyeksi dari nuclei dorsal raphe ke substansia
nigra dan proyeksi dari nuclei raphe rostral ke korteks serebral. Regulasi jalur ini
menyebabkan pengurangan fungsi sistem dopaminergik dan bisa menyebabkan gejala
negatif pada skizofenia. Faktor keturunan juga berperan dalam timbulnya skizofrenia.
Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita
skizofrenia terutama pada anak-anak kembar monozigot. Angka kesakitan bagi
saudara tiri ialah 0,9 – 1,8%, bagi saudara kandung 7 – 15%, bagi anak dengan salah
satu orangtua menderita skizofrenia sebesar 40 – 68%, bagi kembar heterozigot
sebesar 2 – 15%, bagi kembar monozigot sebesar 61 – 86%. Penelitian-penelitian
genetika terbaru telah memberikan bukti yang kuat bahwa terdapat setidaknya
sembilan area kromosom yang berhubungan dengan gangguan skizofrenia yaitu : 1q,
5q, 6p, 6q, 8p, 10p, 13q, 15q, dan 22q. penelitian selanjutnya terhadap area-area
kromosom ini memperlihatkan beberapa gen yang berhubungan kuat dengan
skizofrenia antara lain yaitu α-7 nicotinic receptor, DISC 1, GRM 3, SCZD1 181510
pada kromosom 5q23-q35, COMT 116970 pada kromosom 22q11,21 yang berfungsi
7
dalam encoding dopamin, NRG 1, RGS 4, dan G 72. Penelitian terbaru
mengungkapkan bahwa mutasi yang terjadi pada gen-gen dystrobrevin (DTNBP1)
dan neureglin 1 berhubugan dengan gambaran atau gejala negatif dari skizofrenia. Hal
ini dapat menjelaskan mengapa ada gradasi tingkat keparahan dari ringan sampai berat
pada orang-orang yang mengalami gangguan ini, dan mengapa resiko untuk
mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota
keluarga yang memiliki riwayat mengalami gangguan ini.3,8
2. Faktor Psikologis
Masing-masing manusia dilahirkan dengan temperamennya. Orang yang terlalu
peka/sensitif biasanya mempunyai masalah kejiwaan dan ketegangan yang memiliki
kecenderungan mengalami gangguan jiwa. Freud beranggapan bahwa skizofrenia
adalah hasil dari fiksasi perkembangan, dan merupakan konflik antara ego dan dunia
luar. Secara umum kerusakan ego mempengaruhi interprestasi terhadap realitas dan
kontrol terhadap dorongan dari dalam. Sedangkan pandangan psikodinamik lebih
mementingkan hipersensitivitas terhadap berbagai stimulus menyebabkan kesulitan
dalam setiap fase perkembangan selama anak-anak dan mengakibatkan stress dalam
hubungan interpersonal. Gejala positif diasosiasikan dengan onset akut sebagai respon
terhadap faktor pemicu/pencetus, dan erat kaitanya dengan adanya konflik Gejala
negatif berkaitan erat dengan faktor biologis, sedangkan gangguan dalam hubungan
interpersonal mungkin timbul akibat kerusakan intrapsikis, namun mungkin juga
berhubungan dengan kerusakan ego yang mendasar. Bermacam pengalaman frustasi,
kegagalan dan keberhasilan yang dialami akan mewarnai sikap, kebiasaan dan
sifatnya. Pemberian kasih sayang orang tua yang dingin, acuh tak acuh, kaku dan keras
akan menimbulkan rasa cemas dan tekanan serta memiliki kepribadian yang bersifat
menolak dan menentang terhadap lingkungan.3,8
3. Faktor Lingkungan
Faktor psikososial meliputi adanya kerentanan yang herediter terhadap stres yang
semakin lama semakin kuat, adanya peristiwa trauma psikis, adanya pola hubungan
orangtua-anak yang patogenik serta interaksi yang patogenik dalam keluarga dan
lingkungan sosial.8

2.1.3 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan skizofrenia meliputi aspek biopsiko-sosio-kulturo-spiritual

8
secara menyeluruh, komprehensif dan berkelanjutan dalam jangka waktu lama.
Psikofarmaka saat ini masih merupakan tatalaksana utama untuk skizofrenia tetapi tidak
memberikan hasil yang optimal. Kombinasi obat dan intervensi psikososial akan
memberikan manfaat yang lebih baik daripada salah satunya. 3 Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa setelah 5- 10 tahun setelah hospitalisasi pertama, hanya 10-20%
pasien Skizofrenia yang menunjukkan keluaran baik. Lebih dari 50% menunjukkan hasil
keluaran yang buruk, dengan hospitalisasi berulang, eksaserbasi gejala, episode
gangguan mood dan percobaan bunuh diri. Angka remisi sekitar 10-60%, diperkirakan
20-30% pasien Skizofrenia dapat menjalani kehidupan normal. Sekitar 20-30% tetap
mengalami gejala sedang dan 40-60% tetap mengalami gangguan bermakna selama
hidupnya.3 Pemberian antipsikotik pada pasien Skizofrenia sendiri tidak dapat
menengembalikan kondisi kognitif pada pasien Skizofrenia. Pemulihan kondisi kognitif
pada pasien Skizofrenia ini sangat penting agar pasien Skizofrenia dapat kembali ke
fungsi pekerjaan sehari-hari. Salah satu yang bisa dilakukan adalah Cognitive
Enhancement Therapy (CET) dimana terapi ini terfokus pada sosial kognitif pada pasien
Skizofrenia.3,9

2.1.4 Prognosis

Salah satu yang memperburuk prognosis dari pasien Skizofrenia adalah masalah
kerusakan kognitif. Hampir sekitar 98% pasien Skizofrenia terkena kerusakan kognitif.
Kerusakan kognitif ini berpengaruh pada kualitas hidup pasien untuk kembali normal.
Gangguan kognitif yang terjadi diantaranya defisit pada atensi, memori, dan reasoning.
Penurunan performa kerja, skill dan menghambat recovery. 9

9
2.2 GANGGUAN KOGNITIF
2.2.1 Definisi Gangguan Kognitif
Secara umum, kognitif atau kognisi merupakan suatu proses mental yang
dihubungkan dengan berpikir. Secara khusus, kognisi merujuk pada proses yang paling
penting seperti persepsi, perhatian, memori, rekognisi, bahasa, imajinasi, perencanaan dan
pertimbangan.23
Kognisi merupakan proses merabarasakan terhadap input sensoris, mengingat
suatu kejadian dan prosedur, melakukan generalisasi, analogi, membuat penjelasan dan
membangun makna komunikasi. Kognisi berhubungan dengan kemampuan berpikir,
kemampuan intelektual yang merasakan, menerima, memahami dan berespon terhadap
informasi. Hal ini termasuk kemampuan memusatkan perhatian, mengingat, mengatasi
masalah, memproses informasi, organisasi dan reorganisasi informasi, berkomunikasi dan
bereaksi berdasarkan informasi yang diperoleh. Semua keterampilan kognitif ini membuat
seseorang mampu berfungsi dalam lingkungan sehari-harinya.23,24
Keterampilan kognitif berbeda dengan kemampuan akademis. Keterampilan
akademis termasuk pengetahuan tentang hal-hal berkaitan literatur, matematika dan
sejarah. Keterampilan kognitif mengacu pada kemampuan mental yang kita butuhkan
untuk mempelajari hal-hal berhubungan dengan akademik dan secara umum untuk dapat
berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Keterampilan kognitif adalah kemampuan dasar
yang harus dimiliki untuk dapat berpikir, membaca, mengerti, mengingat, merencanakan
dan mengorganisir. 25,26
Defisit fungsi kognitif yang muncul pada pasien Skizofrenia menunjukkan adanya
gangguan pada salah satu atau beberapa domain yang telah disebutkan sebelumnya. Pasien
Skizofrenia sering mengalami masalah-masalah pada aspek kognisi mereka yaitu:
kemampuan memusatkan perhatian, kemampuan untuk mengingat dan mengingat kembali
(recall) informasi, kemampuan untuk memproses informasi dan merespon informasi
dengan cepat, kemampuan berpikir kritis, merencanakan, mengorganisir dan mengatasi
masalah serta kemampuan untuk memulai pembicaraan. 9,25

2.2.2 Etiologi Gangguan Kognitif


Pemahaman terhadap skizofrenia pun mulai bergeser terkait munculnya penelitian
terkait disfungsi kognitif sejak tahun 1980-an. Skizofrenia kini tidak dipandang lagi sebagai
gangguan neurodegenerative, namun lebih kearah gangguan neurodevelopmental. Awalnya
kelainan neurodevelopmental biasanya muncul saat usia prenatal atau usia anak-anak namun
10
ternyata saat ini dikatakan berlangsung hingga remaja dan usia 20 tahunan pada kehidupan
seseorang. Tentu saja, proses neurodevelopmental bisa jadi berkembang dengan kondisi
yang kurang maksimal, dengan konsekuensi terjadi pembentukan struktur saraf yang tidak
sempurna dan tidak sempurnanya fungsi otak, salah satunya adalah kemampuan kognitif.
Kondisi stres pada seseorang menciptakan gen yang rapuh sehingga menghasilkan
deregulasi dari sistem dopamin dan mencetuskan penyakit. . Sehingga, dapat disimpulkan
bahwa, strategi untuk mengintervensi secara dini dari stres pada tahap awal, termasuk
intervensi kognitif menjadi hal yang utama untuk mencegah suatu gangguan regulasi
dopamine.9 Neurodevelopmental pada skizofrenia menunjukkan bahwa defisit kognitif
merupakan akibat sebuah penyimpangan dari perkembangan otak di tahap awal, namun tetap
ada sebuah kemungkinan bahwa perubahan kognitif tersebut terus berjalan ketika penyakit
berkembang.9,27

Gambar 1. Faktor penyebab dan perjalanan gangguan kognitif pada Skizofrenia.28

Penurunan fungsi kognitif berkaitan dengan gangguan dalam banyak area di otak,
termasuk diantaranya basal ganglia, kortek frontal, pendengaran dan kortek parietal, kortek
orbital dan sistem limbik, termasuk hippocampus. Studi neuroimaging postmortem
mengungkapkan penurunan materi abu-abu dan materi putih serta terjadi peningkatan
volume ventrikel di dalam otak baik pada pasien skizofrenia dengan onset akut ataupun
kronis. Di masa depan, analisis ini nantinya akan menunjukkan terganggunya hubungan
interneuron yang berhubungan dengan kognitif yaitu hubungan interneuron pada jalur
glutamatergic, gama amino butyric acid (GABAergic), dan acetylcholinergic.9,29

11
2.3 Neurobiologi Gangguan Kognitif pada Skizofrenia
2.3.1 Gangguan Neurotransmitter
Gejala utama pada skizofrenia dibuatkan ke dalam 5 lokalisasi pada region otak
manusia, tidak hanya gejala positif dan gejala negatif saja, tetapi juga gejala gejala kognitif,
gejala agresif dan gejala afektif yang dikaitkan dengan daerah otak yang mengalami
gangguan.22
Secara spesifik, gejala positif dari skizofrenia dihipotesiskan oleh karena adanya
malfungsi pada sirkuit mesolimbik, sementara gejala negatif karena adanya malfungsi di
area mesokortek dan juga melibatkan area mesolimbik khususnya yang melibatkan nucleus
acumbens yang diperkirakan menjadi bagian dari sirkuit reward dari otak, sehingga jika ada
masalah dengan reward dan motivasi pada skizofrenia maka kelainannya diduga berasal dari
area ini. Nucleus acumbens juga akan teraktivasi karena penggunaan zat yang tampak pada
pasien skizofrenia. Gejala positif bisa menumpuk dengan gejala negatif yang ditandai
dengan mulai adanya keinginan untuk merokok, penyalahgunaan obat dan alkohol, mungkin
di hubungkan pada area otak ini.22
Gejala afektif diasosiasikan dengan area ventromedial prefrontal kortek, sementara
gejala agresif (yang berhubungan dengan kontrol impuls) diasosiasikan dengan proses
informasi yang abnormal dari orbitofrontal kortek dan amigdala. Gejala agresif seperti
menyerang, kekerasan, perilaku berakata kasar dapat terjadi oleh karena gejala positif seperti
waham dan halusinasi sehingga kita sering dibuat bingung. Intervensi perilaku bisa
menolong untuk mencegah terjadinya kekerasan dengan mengurangi faktor pencetus dari
lingkungan sekitarnya. 22
Gejala kognitif pada skizofrenia mencakup berkurangnya perhatian dan
berkurangnya proses informasi di otak yang bermanifestasi pada berkurangnya kelancaran
berbicara (kemampuan berbicara spontan), bermasalah dengan pembelajaran secara serial,
dan berkurangnya kewaspadaan untuk fungsi eksekutif (mempertahankan dan fokus
perhatian, konsentrasi, prioritas dan perilaku sosial, kesulitan untuk memecahkan masalah).
Fungsi-fungsi ini tidak mencakup gejala demensia dan gangguan memori yang dimiliki oleh
penyakit alzheimer. 22

12
Gejala kognitif pada skizofrenia sangat penting untuk ditegakkan karena dia sangat
kuat berhubungan dengan fungsi nyata di dunia, lebih kuat dibandingkan gejala negatif.
Sangat sulit juga kita membedakan gejala disfungsi kognitif dari gejala afektif dan gejala
negatif, tetapi peneliti mencoba untuk melokalisasi area yang spesifik dari disfungsi otak
yang terkena untuk setiap gejala utama pada pasien skizofrenia ini dengan harapan hasil
pengobatan pasien yang lebih baik. Model ini sangat jelas dan sederhana karena setiap area
otak memiliki beberapa fungsi dan setiap fungsi akan berpengaruh pada lebih dari satu area
otak. Secara spesifik, pasien memiliki gejala yang unik dan respon yang berbeda terhadap
pengobatan. Model ini dengan mengacu pada gejala yang tampak pada pasien dimana kita
bisa menghubungkan dengan malfungsi kerusakan pada otak. Setiap area otak memiliki
neurotransmiter yang berbeda-beda, reseptor, enzim, dan gen yang mengatur bisa dipakai
pedoman para klinisi untuk mengobati pasien secara lebih maksimal. 22

Gambar 2. Peta Lokalisasi gejala skizofrenia.22

Cabang jalur ini ke dalam korteks prefrontal dorsolateral dihipotesiskan untuk


mengatur fungsi kognisi dan eksekutif, sedangkan cabangnya ke bagian ventromedial
korteks prefrontal dihipotesiskan untuk mengatur emosi. Gejala negatif dan defisit kognitif
pada skizofrenia diperkirakan disebabkan oleh kadar dopamin pada jalur mesokortikal yang
rendah.22

13
Gambar 3. Jalur Mesocortical.22

Terdapat 3 jalur utama yang terkait penurunan kognitif pada skizofrenia yaitu : jalur
dopaminergik, glutamatergik, dan sistem kolinergik. Ketiga jalur ini juga terkait dengan
patofisiologi dari Skizofrenia. Kelainan pada jalur ini mengakibatkan gangguan kognitif
pada Skizofrenia: 22,23,30,31,32

a. Hipotesis Dopaminergik
Data dari studi pasien dengan skizofrenia telah menunjukkan peningkatan kadar
dopamin di area kortikal, dengan kenaikan yang terlihat pada reseptor D2 prasinaptik dan
striatum. Pada kortek prefrontal, transmisi dopaminergik terutama dimediasi oleh
reseptor D1 sehingga memberikan peran substansial bahwa korteks prefrontal berperan
pada fungsi kognisi. Telah diduga bahwa disfungsi reseptor D1 dapat memediasi
timbulnya beberapa hendaya kognitif dan gejala-gejala negatif pada pasien skizofrenia.
Pengamatan ini mendukung bahwa saat ini antipsikotik yang memiliki afinitas yang kuat
pada reseptor D2 mengurangi gejala positif penyakit namun tidak berpengaruh pada
perbaikan gangguan kognitif. Hal ini terlihat dalam penelitian Clinical Antipsychotic
Trials of Intervention Effectiveness (CATIE), yang tidak menemukan perbedaan yang
signifikan dalam peningkatan kognitif dalam salah satu dari kelompok perlakuan (yang
menerima antipsikotik generasi pertama dan mereka yang menerima 1 dari 4 antipsikotik
generasi kedua) setelah 2 bulan pengobatan. Dopamin telah terbukti target yang layak

14
untuk memperbaiki gejala positif. Namun, hanya menarget dopamin tidak cukup kuat
untuk mengurangi kerusakan kognitif pada skizofrenia.[15]

Gambar 4. Hipotesis Dopamin pada gangguan kognitif skizofrenia.22

Blokade berkepanjangan reseptor dopamin juga D2 mengarah ke downregulation dari


D1 reseptor di korteks prefrontal dan, akibatnya, hasil dalam penurunan yang signifikan
dari memori kerja. Dengan demikian, agonis di D1 reseptor di korteks prefrontal dapat
memiliki peran penting dalam memori dan dengan demikian obat yang bekerja di reseptor
D1 mungkin menjadi sasaran pilihan untuk mengobati defisit kognitif pada skizofrenia.33,34

b. Hipotesis Glutamatergik
Glutamat menjadi neurotransmiter mayor untuk eksitasi pada sistem saraf sentral dan
sering menjadi kunci penting dalam pengaturan sistem eksitasi dalam otak. Glutamat
adalah neurotransmiter eksitasi yang mengeksitasi neuron di dalam otak (master swicth).
Ada 6 jalur glutamat dalam otak manusia, diantaranya : 22
1. Jalur Cortico-brainstem
Jalur glutamat yang paling penting dari neuron kortek piramidal menuju neurotransmiter
batang otak, mencakup jalur serotonin, Ventral Tegmental Area (VTA) dan substansia
nigra untuk dopamin dan locus coeruleus (LC) untuk norepineprin. Ini merupakan jalur
kunci regulasi pengeluaran dari neurotransmiter di otak. Inervasi langsung dari neuron
monoamin ini pada batang otak akan merangsang pengeluaran neurotransmiter dari

15
neuron glutamat. Jika diinervasi secara tidak langsung dari neuron monoamin oleh GABA
maka akan terjadi blok pengeluaran neurotransmiter glutamat.

Gambar 5. Jalur Glutamat pada Skizofrenia.22

2. Jalur Cortico-striatal
Jalur ini merupakan jalur glutamatergik yang kedua dari kortek piramidal menuju
komplek striatum. Jalur ini diketahui sebagai jalur glutamat cortico- striatal menuju ke
dorsal striatum atau jalur glutamat cortico-accumbens saat menuju ke area ventral striatum
yang dikenal dengan nucleus accumbens. Jalur glutamat ini memutuskan neuron GABA
dibagian lain dari komplek striatal yang disebut dengan globus pallidus.
3. Jalur Hippocampal-accumbens
Jalur glutamat yang lain, yang menjalar dari hipocampus menuju nucleus accumbens dan
ini diketahui dengan jalur glutamat hippocampal-accumbens. Sama seperti glutamat pada
jalur cortico-striatal dan cortico-accumbens, hippocampal-accumbens ini menuju nucleus
accumbens dengan menghentikan neuron GABA yang berhubungan dengan globus
Pallidus.
4. Jalur Thalamo-cortical
Jalur ini membawa informasi dari talamus kembali ke kortek, yang sering memproses
informasi sensoris.

16
5. Jalur Cortico-thalamic
Jalur Glutamat yang ke-5 yang dikenal sebagai jalur glutamat cortico-thalamic, yang
mengantar signal kembali ke talamus, sebagai respon reaksi dari informasi sensoris.
6. Jalur Cortico-cortical (direct)
Komplek dari berbagai jalur glutamat cortico-cortical memperlihatkan kortek dengan
satu kesatuan, neuron piramidal bisa mengeksitasi sesama yang lainnya yang ada di
kortek cerebral melalui sinaps langsung dari neurotransmiter glutamat itu sendiri.
7. Jalur Cortico-cortical (indirect)
Di lain pihak, neuron piramidal yang satu bisa menghambat yang lainnya secara
tidak langsung, melalui interneuron yang mengeluarkan GABA.

Gambar 6. Hipofungsi reseptor NMDA kaitannya dengan gejala negatif pada


Skizofrenia (Terjadi perubahan morfologis dan struktural otak yang memicu psikosis).22

Bukti-bukti menunjukkan bahwa kelainan pada transmisi glutamat juga berkontribusi


pada patogenesis skizofrenia, khususnya kognitif dan defisit pengolahan sensorik. Teori ini
didasarkan pada kenyataan bahwa glutamatergic N-metil-d-aspartat (NMDA) antagonis,
seperti phencyclidine (PCP) dan ketamin, dapat menginduksi psikosis dan menurunkan fungsi
kognitif. Penelitian menunjukkan bahwa sistem NMDA memainkan peran kunci dalam
neuroplastisitas, sinkronisasi saraf, dan konektivitas sinaptik. Efek utama dari NMDA adalah
modulasi GABAergic ke interneuron yang dianggap terkait pada fungsi kognitif. Disfungsi
dari NMDA berkaitan dengan patogenesis skizofrenia. Hal ini juga terkait penurunan
sinyal brain-derived-neurotrophic factor (BDNF). BDNF akan meningkatkan transmisi

17
glutamat dan mengurangi transmisi GABAergik menyebabkan perubahan pada
ketahanan hidup neuron dan fungsi sistem saraf pusat. Hal ini juga secara signifikan
mengganggu sinkronisasi jaringan interneuron pada skizofrenia, yang kemudian
35
dapat menyebabkan gangguan neuroplastisitas. BDNF juga dihubungkan dengan
neuroplastisitas hipokampus yang terlibat dalam proses kognitif. 25
Antipsikotik dapat mempengaruhi transmisi glutamat dengan mempengaruhi
pelepasan glutamat, dengan interaksi dengan reseptor glutamatergic, atau dengan mengubah
kepadatan atau komposisi subunit dari reseptor glutamatergik. Hal ini menunjukkan bahwa
antipsikotik berinteraksi dengan dopamin D2 reseptor meningkatkan fosforilasi NR1 subunit
dari reseptor NMDA, sehingga memperkuat aktivasi dan ekspresi gen konsekuensinya.
Dalam konteks ini, interaksi dopamin-glutamat terjadi secara intraneuronal dan intrasinaptik.
Ada juga laporan bahwa aksi beberapa antipsikotik generasi kedua pada reseptor NMDA
mungkin berbeda dari efek antipsikotik generasi pertama pada reseptor ini. Antipsikotik juga
mempengaruhi transmisi glutamat dengan bekerja pada reseptor serotonin. 22,36

c. Hipotesis Asetilkolin (Nikotinik)


Dalam sistem saraf pusat, neurotransmisi acetylcholinergic secara integral terlibat
dalam aspek pembentukan memori, afek, perilaku dan motivasi. Kesemua aspek kognitif
tersebut terganggu pada skizofrenia. Fungsi-fungsi kognitif dan perilaku tersebut dimodulasi
oleh reseptor Achetilcholine α7. Oleh karena itu, berubahnya neurotransmisi asetilkolin
9,22,32
dapat berkontribusi untuk gejala kognitif dan perilaku pada skizofrenia. Mempelajari
reseptor α7 dengan pengamatan spesifik menunjukkan bahwa reseptor α7 terletak di daerah
otak yang terlibat dalam kognisi (misalnya, korteks dan hipokampus). Kemerosotan
kemampuan kognitif seperti memori kerja dan fleksibilitas kognitif, serta perhatian,
mengantisipasi gejala psikotik dan merupakan prognostikator hasil fungsional.37,38
Dalam sistem saraf pusat, neurotransmisi asetilkolinergik secara integral terlibat
dalam aspek pembentukan memori, afek, perilaku dan motivasi. Kesemua aspek kognitif
tersebut terganggu pada skizofrenia. Fungsi-fungsi kognitif dan perilaku tersebut dimodulasi
oleh reseptor asetilkolin α7. Oleh karena itu, berubahnya neurotransmisi asetilkolin dapat
berkontribusi untuk gejala kognitif dan perilaku pada skizofrenia. Sistem muskarinik
diketahui berhubungan dengan skizofrenia. Pemberian antagonis muskarinik dapat
memperberat gangguan kognitif dan gejala positif. Studi post mortem pada skizofrenia
menunjukkan adanya penurunan reseptor M1 dan M4 pada hipokampus dan korteks. Pada

18
studi PET juga ditemukan kepadatan reseptor muskarinik dikaitkan dengan gejala kognitif.
Reseptor M1 ketika teraktivasi akan melepaskan GABA dan berperan dalam proses belajar
dan memori. 28

d. Hipotesis Serotonin

Hiperaktivitas dari serotonin diketahui berperan dalam perkembangan skizofrenia,34


terutama pada reseptor 5HT2A. Gangguan fungsi serotonin pada gangguan psikotik
dapat terjadi karena kelainan neurodevelopemntal pada skizofrenia, hingga
neurodegenerasi pada Parkinson.22 Serotonin mempunyai sedikit reseptor 5HT yang
terletak pada saraf serotonin juga (5HT1A, 5HT1B/D, 5HT2B) dan tujuannya untuk
meregulasi neuron serotonin presinaps, terutama pelepasan dan penyimpanan serotonin.
Reseptor serotonin juga terletak pada postsinaps (reseptor 5HT). Sebagian besar reseptor
serotonin terletak pada post-sinaps dan berada pada saraf yang melepaskan berbagai
neurotransmiter. Serotonin diketahui dapat meregulasi pelepasan glutamat. Hal ini seperti
yang terlihat pada Gambar berikut:

Gambar 7. Serotonin Meregulasi Pelepasan Glutamat secara Langsung dan Tidak Langsung.22
Reseptor 5HT2A merupakan reseptor yang dapat mempromosikan dan menginhibisi
pelepasan neurotransmiter lain. Walaupun 5HT2A selalu bersifat eksitatorik, variabilitas
lokasinya di otak menyebabkan reseptor ini dapat meningkatkan dan menghambat
pelepasan neurotransmiter lain. Contohnya, reseptor 5HT2A yang terletak pada neuron
glutamat, jika tereksitasi, akan meningkatkan pelepasan glutamat. Sebaliknya, reseptor
5HT2A yang terletak di interneuron GABA akan menginervasi neuron glutamat

19
juga, eksitasi pada reseptor 5HT2A akan menyebabkan pelepasan GABA dan
menginhibisi glutamat.22

e. Hipotesis GABAergik

Gamma-aminobutyric Acid (GABA) adalah neurotransmitter penghambat utama di


SSP. Interneuron GABAergic sangat penting untuk penekanan SSP, kunci untuk sinkronisasi
dan osilasi aktivitas neuron yang penting untuk persepsi, memori belajar, dan kognisi.
Gangguan pensinyalan GABA menyebabkan ketidakseimbangan antara eksitasi dan
penghambatan di korteks serebral yang merupakan salah satu faktor kunci dalam
patomekanisme skizofrenia. Peran GABA pada skizofrenia pertama kali diperhatikan oleh
Eugene Roberts pada tahun 1972. Pertama kali disarankan bahwa GABA dapat diterapkan
untuk pengobatan skizofrenia karena menghambat pensinyalan dopaminergik, namun bukti
terbaru menunjukkan bahwa, dalam beberapa model, GABA dapat memiliki efek buruk pada
aktivitas dopamin (Tso et al., 2016; Azmanova, Pitto-Barry and Barry, 2018). Studi post-
mortem mendukung hipotesis tentang transmisi GABA yang berubah pada skizofrenia. Yang
penting, pengurangan asam glutamat dekarboksilase-67, enzim sintetis GABA diamati di
bagian otak yang terkait dengan fungsi kognitif kritis (korteks prefrontal dorsolateral, korteks
cingulate anterior (ACC), korteks motorik, korteks visual, dan hipokampus). Penurunan
transmisi melalui reseptor neurotrophin TrkB menghasilkan sintesis GABA yang berkurang
pada subpopulasi neuron GABA yang mengandung parvalbumin di korteks prefrontal
dorsolateral pasien skizofrenia. Meskipun respon kompensatif pro dan presinaptik,
perubahan yang dihasilkan dalam penghambatan perisomatik neuron piramidal
menyebabkan penurunan kapasitas untuk fungsi neuron tersinkronisasi frekuensi gamma,
yang diperlukan untuk fungsi memori kerja. 18,39,40

2.3.2 Genetik

Defisit memori kerja dalam skizofrenia dapat dijelaskan sebagian besar berdasarkan
pengaruh genetik. Gen Disrupted in schizophrenia 1 (DISC1) yang terkait dengan
skizofrenia juga mempengaruhi neuroplastisitas. Gen DISC1 mengatur proses
pertumbuhan, ekspansi, dan migrasi neuritik dalam perkembangan otak. Neuregulin 1
(NRG 1) merupakan gen kandidat yang terlibat dalam skizofrenia dan berperan dalam
mengatur plastisitas sinaptik dalam skizofrenia. Gen ini dapat menyebabkan defisit kognitif
akibat neuroplastisitas yang tidak normal. Gen "Akt1" juga ditemukan memainkan peran
20
penting dalam neuronogenesis di hipokampus. Tingkat Akt yang terfosforilasi ditemukan
rendah pada pasien dengan skizofrenia. Gen Human Dystrobrevin Binding Protein 1
(DTNBP1) juga terkait dengan skizofrenia dan diketahui menentukan kemampuan
kognitif secara umum. Polimorfisme satu nukleotida dalam gen DTNBP1 mempengaruhi
kemampuan kognitif pada pasien dengan skizofrenia. Studi asosiasi genom penuh pada
populasi Irlandia mengungkapkan asosiasi gen Zinc finger protein 804A (ZNF804A)
dengan skizofrenia. Gen ini diketahui mengatur kaitan korteks prefrontal dorsolateral
dengan hipokampus dan mempertahankan tempat pengikatan dengan beberapa faktor
neurotropik. Studi asosiasi genom serupa juga mengungkapkan keterlibatan gen inter-alpha-
trypsin inhibitor heavy chain 3/4 (ITIH3/4), calcium voltage-gated channel subunit alpha1C
(CACNA1C), dan Serologically defined colon cancer antigen 8 (SDCCAG8) dalam
skizofrenia, yang terlibat dalam modulasi berbagai sirkuit saraf dan kemungkinan
mempengaruhi kognisi.25
Genetika gangguan neurokognitif pada pasien dengan skizofrenia memiliki komponen
yang dapat diwariskan. Kerabat tingkat pertama dari individu dengan skizofrenia mengalami
gangguan pada berbagai ukuran neurokognitif, dengan ukuran efek mulai dari kecil hingga
sedang. Hubungan antara heritabilitas skizofrenia dan defisit neurokognitif terkait telah
diperkirakan, dengan kecerdasan kecerdasan keseluruhan (IQ) dan memori kerja yang
menunjukkan korelasi fenotipik dengan kehadiran skizofrenia yang tampak sedikit lebih tinggi
daripada aspek neurokognisi lainnya. Sejumlah aspek neurokognisi secara tentatif telah
dikaitkan dengan gen tertentu atau polimorfisme nukleotida tunggal. Beberapa dari temuan ini
telah direplikasi dan sebagian besar gen yang terkait dengan defisit kognitif sampai saat ini
berimplikasi pada fungsi sistem glutamatergic. 41,42

2.3.3 Osilasi Gamma

Orellana dan Slachevsky menunjukkan disfungsi korteks prefrontal melalui


neuroimaging dan menyimpulkan pasien dengan skizofrenia mempunyai kemampuan
yang rendah dalam berpikir konsep, merencanakan, fleksibilitas kognitif, kelancaran
43
verbal, dan kemampuan memecahkan masalah kompleks. Banyak proses kognitif,
seperti memori kerja, didukung oleh osilasi saraf yang disinkronkan, yang disebut
osilasi gamma. Pada individu sehat, osilasi saraf dan jaringan fungsional ini telah dikaitkan
dengan berbagai kemampuan kognitif. Pada skizofrenia, studi elektrofisiologis secara
konsisten telah menunjukkan gangguan sinkronisasi osilasi saraf pada pasien dengan

21
skizofrenia kronis maupun episode pertama psikosis, dan kelainan ini telah dikaitkan dengan
gejala kognitif dan negatif. Osilasi ini terjadi sebagai akibat dari keseimbangan yang halus
antara kelompok neuron inhibitori dan eksitatorik (Gambar 8). Secara khusus,
interneuron GABAergik memainkan peran sentral dalam mengatur pemancaran cepat dari
neuron piramidal yang diperlukan untuk generasi ritme frekuensi tinggi ini.

Gambar 8. Osilasi gamma akibat dari keseimbangan yang halus antara kelompok neuron
inhibitori dan eksitatorik, perbandingan control dan penderita Skizofrenia.28

Osilasi gamma adalah fluktuasi ritmis dalam potensi medan lokal (LFP) yang
melibatkan rentang frekuensi yang luas (25–100 Hz). Osilasi gamma menonjol di berbagai
wilayah otak termasuk hipokampus, dimana diyakini berperan dalam seleksi perhatian dan
operasi memori. Bukti yang terkumpul menunjukkan bahwa rentang frekuensi osilasi yang
luas yang digambarkan sebagai ritme gamma sebenarnya mungkin merupakan dua ritme
yang berbeda secara fungsional, gamma lambat (25–50 Hz) dan cepat (55–100 Hz).
Frekuensi ritme gamma yang berbeda ini diperkirakan dihasilkan secara lokal oleh sirkuit
yang melibatkan beberapa kelas interneuron GABAergik yang berbeda dan tumpang tindih.
Meskipun gamma lambat dan cepat dianggap dihasilkan secara lokal, osilator gamma yang

22
menunjukkan frekuensi serupa di wilayah otak berbeda dapat digabungkan melalui
hubungan anatomi antar wilayah. Irama gamma cepat di hipokampus digabungkan dengan
input gamma cepat dari korteks entorhinal medial, area yang memproses informasi sensorik
saat ini. Dengan demikian, telah diusulkan bahwa gamma cepat mendorong transmisi
informasi sensorik terkini ke hipokampus selama pengkodean memori baru. Sesuai dengan
hal ini, gamma cepat hipokampus mendominasi selama eksplorasi pasangan objek–tempat
baru, dan sel tempat hipokampus mewakili lokasi terkini dan lintasan saat ini selama periode
gamma cepat. 44

2.4 Progresivitas

Gangguan fungsi kognitif atau disfungsi kognitif sering terjadi pada Skizofrenia.
Angka kejadian gangguan ini cukup tinggi berkisar antara 50-80 persen, tergantung pada
keparahan penyakit. Hal ini mengakibatkan masalah kognitif tetap ada bahkan saat gejala-
gejala lain terkontrol. Penelitian menyebutkan terdapat bagian dari otak yang berfungsi
mengolah keterampilan kognitif, dan seringkali tidak berfungsi secara normal pada
Skizofrenia. Gangguan fungsi memori episodik menyebabkan disfungsi pada struktur
hippocampal dan lobus temporal medial, dimana area ini merupakan asal dari perubahan
kognitif pada pasien Skizofrenia. Hal ini mengindikasikan bahwa gangguan jiwa berat
memengaruhi bagaimana otak bekerja yang selanjutnya menyebabkan masalah pada fungsi
kognitif seseorang.41,42

Disfungsi kognitif ini dapat tampak jelas bahkan sebelum gejala psikotik dimulai dan
menyebabkan kemunduran dalam performa akademis atau pekerjaannya. Salah satu gejala
kognitif yang paling awal terjadi pada pasien Skizofrenia adalah berkurangnya kemampuan
memusatkan perhatian, namun kesulitan daya ingat dapat juga terjadi sebelum onset dari gejala
psikotik. Penurunan fungsi yang parah pada uji fungsi kognitif adalah tanda yang amat jelas
yang sangat penting untuk suatu defisit fungsi kognif pada pasien Skizofrenia. Sekitar 98 persen
pasien Skizofrenia menghasilkan hasil uji kognitif yang rendah. Penurunan fungsi kognitif
pada Skizofrenia terjadi saat mulai timbulnya penyakit, dan tetap stabil atau menetap pada sisa
perjalanan penyakit. Hasil penelitian menunjukkan jika dibandingkan antara pasien
Skizofrenia yang telah mengalami riwayat sakit lama, maka pasien yang pertama kali sakit,
secara bermakna memiliki fungsi kognitif yang lebih baik. Pada penelitian lain menyebutkan
pada pasien yang baru pertama sakit, fungsi kognitif cenderung tetap dan mengalami

23
41
perubahan setelah beberapa tahun kemudian.

Gambar 9. Defisit neurokognitif skizofrenia pada perjalanan penyakit.41


Gambar ini menunjukkan defisit neurokognitif muncul pada pasien dengan skizofrenia
pada awal perjalanan penyakit. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa, pada berbagai
domain uji neurokognitif, pasien dengan episode pertama atau skizofrenia kronis disbanding
dengan orang sehat menunjukkan beberapa domain yang jauh lebih terganggu. Lebih lanjut,
kasus-kasus yang tampaknya berada dalam keadaan prodromal dan beralih ke psikosis
memiliki defisit kognitif yang lebih parah. 41

2.5 Domain Fungsi Kognitif


Gangguan fungsi kognitif pada pasien Skizofrenia dapat ringan hingga berat.
Perburukan pada fungsi kognitif merupakan hal yang sangat memengaruhi signifikan tidaknya
disabilitas pasien Skizofrenia dalam hal pekerjaan, fungsi sosial atau ekonomi mereka. Profil
defisit kognitif pada pasien Skizofrenia melibatkan banyak dari beberapa aspek penting dari
kognitif manusia antara lain: perhatian, daya ingat, kemampuan membuat alasan (reasoning)
dan kecepatan memproses informasi. Berbagai usaha sedang dilakukan dalam rangka
mengidentifikasi aspek spesifik dari neurokognitif yang berkaitan erat dengan etiologi,
neurobiologi dan patofisiologi dari penyakit tersebut. Pengukuran-pengukuran
neuropsikologis yang standar menunjukkan sensitivitas yang besar terhadap fungsi-fungsi
yang relevan terkait perburukan fungsi kognitif. 7,16,17,18

24
Gambar 10. Perbandingan Domain Kognitif Skizofrenia Episode Pertama dengan sampel umum.41

Factor analyses of the Measurement and Treatment to Improve Cognition in


Schizophrenia (MATRICS) mengidentifikasi ada tujuh domain kognitif: kecepatan proses,
atensi, memori bekerja, belajar dan memori verbal, belajar dan memori visual, reasoning
(berpikir rasional), dan kognitif sosial (McCutcheon et al., 2023a). Adapun ketujuh domain
fungsi kognitif tersebut sebagai berikut :28,41
1. Vigilance and Attention
Mengacu pada kemampuan seseorang memusatkan perhatian setiap saat. Perburukan
dapat mengakibatkan kesulitan mengikuti pembicaraan dan ketidakmampuan untuk
mengikuti instruksi penting aktivitas sederhana seperti membaca atau menonton televisi.
Pada pasien skizofenia, kesulitan tadi berdampak pada fungsi sosial, fungsi komunikasi dan
hal-hal trampil lain.

2. Verbal Learning and Memory


Adapun kemampuan yang terlibat dalam fungsi memori termasuk mempelajari
informasi baru, mempertahankan informasi yang baru dipelajari setiap waktu dan mengenali
hal-hal yang telah diketahui sebelumnya. Secara umum pasien menunjukkan defisit yang
besar dalam hal mempelajari daripada mengingat. Pengukuran untuk proses belajar
melibatkan bagaimana mempelajari sejumlah kata atau bagian dari suatu tulisan. Penelitian

25
menyebutkan terdapat hubungan yang jelas antara perburukan daya ingat verbal dan defisit
fungsi sosial pada pasien Skizofrenia.

3. Visual Learning and Memory Visual learning


Tidak semudah verbal learning untuk diekspresikan, dan defisit visual learning tidak
separah yang terjadi pada verbal learning. Beberapa penelitian menyebutkan visual memory
berkaitan dengan status pekerjaan, masa jabatan, keberhasilan rehabilitasi psikososial, fungsi
sosial, tingkat kualitas hidup, dan berkaitan paling kuat dengan kapasitas fungsional,
sementara penelitian lain mengatakan tidak ada hubungan signifikan.

4. Reasoning and Problem Solving


Kedua domain ini merupakan bagian fungsi eksekutif seseorang. Kehidupan
masyarakat termasuk kehidupan dunia kerja selalu mengalami perubahan dimana
kesusksesan seseorang dalam menghadapi perubahan ini adalah dengan kemampuannya
beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Pasien Skizofrenia yang mengalami perburukan
dalam fungsi eksekutifnya mengalami kesulitan beradaptasi terhadap perubahan-perubahan
yang cepat di sekitar mereka.

5. Speed of Processing
Banyak uji neurokognitif mengharuskan seseorang melalui uji memproses informasi
cepat dan hal ini berkaitan dengan gangguan dalam kecepatan memproses informasi. Contoh
tugas standar seperti mengkoding dimana tugas ini menunjukkan defisit yang paling parah
pada pasien Skizofrenia. Perburukan dalam memproses informasi ini relatif menunjukkan
korelasi dengan berbagai bentuk penting Skizofrenia seperti aktivitas sehari-hari, masa
jabatan dan kemandirian. Kemunduran dalam memproses informasi dengan cepat dapat
memperburuk kemampuan mempertahankan fokus pada tugas-tugas atau pekerjaan. Hal
tersebut sering dialami oleh pasien Skizofrenia.

6. Working Memory
Working memory merupakan komponen inti dari perburukan kognitif pada
Skizofrenia dan ini berkaitan dengan fungsi sosial seperti status pekerjaan dan masa jabatan.
Defisit pada pada domain ini memiliki hubungan kuat dengan perburukan aspek lainnya di
kemudian hari. Secara neuroanatomi peran sirkuit neural yaitu bagian kortek prefrontal

26
memediasi aspek fungsi working memory dan sirkuit ini mengalami penurunan fungsi pada
Skizofrenia.

7. Social Cognition
Kognisi sosial adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memanipulasi, dan
beradaptasi agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial (Monteiro, et al., 2012).
Teori tentang keterampilan berpikir dan persepsi sosial dan emosi telah menjadi fokus umum
pada fungsi kognisi sosial dalam Skizofrenia. Teori berpikirnya adalah kemampuan untuk
menduga maksud orang lain dan atau untuk mewakili status kejiwaan seseorang. Kognisi
sosial berhubungan dengan perburukan sosial dalam Skizofrenia, bahkan setelah
mengkontrol penampilan dalam tugas-tugas neurokognitif.

2.6 Tatalaksana 45

Pemblokiran selektif D2 oleh antipsikotik telah memberikan dukungan kuat


untuk hipotesis dopamin. Beberapa penelitian mengenai antagonis Dopamin D2
berhubungan dengan gangguan perhatian pada skizofrenia usia lanjut dan penurunan
kemampuan memori bekerja (Conn et al., 2020).
Namun, peran reseptor dopamin lainnya dalam skizofrenia masih belum jelas.
Reseptor D1 dan D2 dilaporkan memiliki efek yang berlawanan pada molekul sinyal
intraseluler dan seringkali memiliki efek fisiologis yang berbeda. Reseptor D1 korteks
prefrontal terlibat dalam memori kerja. Reseptor D3 secara dominan ditemukan di
wilayah limbik yang mengatur ingatan, emosi, dan motivasi. Reseptor D3 diduga
berhubungan dengan fungsi kognitif. Sejauh ini, hanya sedikit artikel tentang efek agonis
dopamin pada peningkatan kognitif dalam skizofrenia. Dalam uji coba acak
terkontrol, pramipexole, agonis D3 dopamin, ditambahkan selama maksimal 12
minggu pada pengobatan antipsikotikyang sedang berjalan. Uji coba tersebut tidak
menemukan perbedaan dalam kognisi antara kelompok pramipexole dan kelompok
plasebo. Dalam uji coba acak terkontrol lainnya dengan DAR-0100A, agonis reseptor
dopamin-1, pengobatan intermiten selama 3 minggu dengan dosis 0,5 atau 15 mg atau
plasebo tidak menunjukkan efek pengobatan yang signifikan pada domain memori kerja
dalam Measurement and Treatment Research to Improve Cognition in Schizophrenia
(MATRICS). Oleh karena itu, tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung efikasi agonis
dopamin atau agen untuk peningkatan kognitif pada pasien dengan skizofrenia (Hsu et al.,
27
2018).
Telah diusulkan berbagai agen beragam yang bekerja melalui
neurotransmitter untuk peningkatan kognitif nonsosial. Sebagian besar penelitian telah
difokuskan pada agen glutamat dan kolinergik. Hanya sedikit yang menargetkan
neurotransmitter lain seperti serotonin, dopamin, GABA, dan noradrenalin. Namun,
berbagai penelitian yang telah dilakukan, belum ada yang secara konsisten berhasil dalam
meningkatkan fungsi dan kognitif (Sinkeviciute et al., 2018).
Agen yang paling kuat saat ini adalah yang bekerja pada sistem glutamatergik
dimana pada sub-analisis pada agen glutamat menentukan adanya perbaikan sedikit
hingga menengah pemberian agonis reseptor AMPA pada memori bekerja. Hanya
sedikit penelitian mengenai neurotransmiter lain: inhibitor kolinesterase yang
menyebabkan efek kecil dan signifikan. Walaupun pada beberapa penelitian fase II
menunjukkan peningkatan fungsi kognitif, namun penelitian ini belum pernah
dilakukan pada fase III (Green et al., 2019).

Remediasi Kognitif 45
Pemberian antipsikotik pada skizofrenia tidak dapat mengembalikan
kondisi kognitif. Pemulihan kondisi kognitif pada skizofrenia sangat penting agar dapat
kembali ke fungsi pekerjaan sehari-hari. Dibandingkan dengan pendekatan
psikofarmaka, intervensi psikososial melalui remediasi kognitif mempunyai hasil
yang lebih menjanjikan. Terdapat peningkatan remediasi kognitif dengan berbagai
metode. Remediasi kognitif didefinisikan sebagai intervensi berbasis latihan perilaku
yang bertujuan untuk meningkatkan proses kognitif (atensi, memori, fungsi
eksekutif, kognisi sosial, atau metakognisi) yang bersifat umum dan tahan lama.
Remediasi kognitif menggunakan prinsip pembelajaran saintifik dengan tujuan utama
meningkatkan luaran fungsional, yang dapat lebih efektif apabila disediakan dalam
suatu konteks (formal maupun informal) yang menyediakan dukungan dan
kesempatan untuk memperluas fungsi sehari-hari (Bowie, 2019). Terapi remediasi
kognitif dikatakan merupakan terapi baku emas untuk gangguan kognitif pada
skizofrenia. Pendekatan praktis remediasi kognitif pada pasien skizofrenia dapat
berupa berbagai macam bentuk latihan yang bertujuan untuk menentukan ranah
kognitif yang menjadi target tumbuhnya neuroplastisitas otak (Eack, 2012). Remediasi
kognitif dapat dibedakan menjadi 2 model utama: kompensasi dan restoratif. Model
kompensasi berusaha untuk menghilangkan defisit kognitif yang spesifik, menggunakan
28
kemampuan kognitif yang tersisa dan/atau sumber dari lingkungan. Manipulasi
lingkungan merupakan suatu teknik kompensasi dengan tujuan untuk memfasilitasi
fungsi kognitif, seperti menyederhanakan tugas pasien. Di sisi lain, model restoratif
berdasar pada pengetahuan neurosains, khususnya neuroplastisitas, dan memiliki
tujuan untuk mengoreksi defisit yang spesifik, berusaha untuk memperbaiki fungsi
spesifik mendasar yang terganggu, menggunakan kapasitas otak untuk berkembang
dan memperbaiki dirinya sendiri selama masa hidup. Model restorasi ini menggunakan 2
pendekatan berbeda: bottom up (mulai dengan remediasi dari keterampilan neurokognitif
dasar, seperti atensi dan berlanjut ke keterampilan yang lebih kompleks seperti
penyelesaian masalah) atau top-down (pendekatan menggunakan keterampilan yang
lebih kompleks dengan tujuan meningkatkan domain neurokognitif yang spesifik).
Beberapa teknik restorasi menggunakan drill and practice training (percobaan ratusan
kali untuk mendorong sistem pembelajaran intrinsik yang dihipotesiskan masih intak
pada skizofrenia), untuk mengembalikan fungsi kognitif dan kemungkinan
meningkatkan plastisitas neuron (Barlati et al., 2013).
Remediasi kognitif menggunakan beberapa strategi pembelajaran, berupa
errorless learning (menghindari kesalahan implisit yang sulit dibedakan dari informasi
yang benar dengan mengingat kembali dengan eksplisit), scaffolding (menggunakan
kompetensi sebelumnya yang telah dicapai, bantuan diberikan dengan aspek
pembelajaran yang baru), massed practice (latihan dengan tugas yang berulang
minimal 2-3 kali per minggu untuk mendorong berkembangnya retensi dan aplikasi dari
keterampilan), dan strategi pemrosesan informasi (verbalisasi, pengurangan
informasi, menyederhanakan tugas menjadi langkah-langkah yang lebih sederhana,
strategi mnemonik, kategorisasi, organisasi, dll). Remediasi kognitif dapat diberikan
sebagai paket atau dipersonalisasi pada tiap individu tergantung defisitnya. Beberapa
remediasi kognitif berfokus pada domain kognitif yang spesifik, sedangkan yang lain
secara luas yang melibatkan beberapa domain (Barlati et al., 2013). Model pendekatan
dalam remediasi kognitif ini adalah latihan berulang-ulang dan latihan strategi. Materi
remediasi menekankan pada ranah atensi dan memori yang merupakan ranah kognitif
dasar dengan menggunakan materi yang mudah didapat dan relatif murah, berupa
potongan berita koran, rekaman lagu dan berita, daftar belanja, kartu bergambar dan cerita
pendek (Barlati et al., 2013). Remediasi kognitif diketahui akan meningkatkan
neuroplastisitas. Hal ini didukung dengan temuan bahwa terjadi peningkatan dan
penguatan koneksi saraf yang baru. Peningkatan ini juga dikaitkan dengan peningkatan
29
Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF) setelah remediasi kognitif yang efektif
(Thorsen et al., 2014).

Terapi Fisik pada Skizofrenia 45


Terapi elektrokonvulsif (ECT) diketahui merupakan salah satu modalitas
tatalaksana pada skizofrenia. Sebuah tinjauan sistematik mengenai terapi ECT pada
pasien Asia menemukan defisit kognitif pada skizofrenia masih tidak konsisten antar
penelitian. Walaupun ECT sering digunakan di Asia, penelitian mengenai dampaknya
ke kognitif masih sangat terbatas. Empat dari 16 penelitian menyatakan adanya
gangguan kognitif yang nyata pada beberapa sesi pertama ECT (Ong and Chan, 2022).
Pembesaran hipokampus diduga berperan pada gangguan kognitif penggunaan
ECT (Argyelan et al., 2021).Terapi repetitive Transcranial Magnetic Stimulation(rTMS)
merupakan salah satu terapi aman dan non-invasif yang menginduksi aliran listrik pada
korteks serebri melalui perubahan arus magnetik. rTMS dapat mengubah eksitabilitas
korteks serebri, aktivitas metabolik otak, plastisitas neuron, dan konektivitas pada
beberapa regio otak. rTMS diketahui mempunyai dampak positif pada fungsi eksekutif
dan memori bekerja (Jiang et al., 2019).
Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa berat yang dapat menyebabkan
disabilitas pada penderitanya. Walaupun berbagai teori telah dikemukakan untuk
menjelaskan gangguan yang terjadi pada skizofrenia, teori ketidakseimbangan
neurotransmiter dopamin merupakan teori utama yang berperan dalam terjadinya
skizofrenia. Walaupun teori ini tidak dapat dijelaskan secara luas pada beberapa kasus,
tetapi teori ini juga berlaku pada gangguan kognitif pada skizofrenia.
Beberapa teori lain yang menjelaskan terjadinya skizofrenia hingga
menyebabkan gangguan kognitif dapat berupa teori neurodevelopmental dan
neurodegeneratif.
Pemaparan tentang kerusakan fungsi kognitif mewajibkan kita untuk
mengambil langkah. Penurunan fungsi yang terjadi bisa memiliki dua makna, yakni
sebagai hasil dari terhambatnya proses pematangan perkembangan kemampuan
kognitif atau sebagai perubahan yang neuroprogresif akibat perkembangan penyakit
dimana kemampuan tersebut pada dasarnya sudah berfungsi optimal saat usia pra-
remaja. Karena itu, strategi remediasi kognitif menjadi salah satu tindakan yang
sangat penting untuk dilakukan sebagai intervensi awal pada pasien skizofrenia.

30
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

a. Disabilitas yang terjadi pada skizofrenia disebabkan salah satunya karena adanya
gangguan kognitif. Penurunan fungsi kognitif pada pasien skizofrenia disebabkan
adanya gangguan neurodevelopmental dan neurodegeneratif dari otak.
b. Penilaian neurobiologis pada perubahan materi putih otak berhubungan dengan
gangguan sistem dopamin, GABA, dan glutamat yang menunjukkan pola perubahan
otak pada orang dengan skizofrenia yang konsisten dengan gangguan kognitif.
Terdapat juga hipotesis mengenai keterlibatan sistem serotonergik dan sistem
kolinergik. Pengaruh genetik dan terjadinya osilasi gamma di otak juga ditemukan. Hal
ini didukung dengan berbagai temuan perbedaan neuroimaging pada pasien
skizofrenia dengan individu sehat.
c. Masih banyak penelitian yang kontroversial yang menunjukkan bahwa pengobatan
antipsikotik generasi kedua atipikal memberikan manfaat neurokognitif yang lebih
besar pada pasien skizofrenia daripada antipsikotik generasi pertama.
d. Hingga saat ini, belum ada tatalaksana farmakologi yang dapat meningkatkan fungsi
kognitif skizofrenia.
e. Salah satu tatalaksana baku gangguan kognitif skizofrenia adalah remediasi kognitif.
f. Remediasi Kognitif (Cognitive Remediation/CR) merupakan suatu intervensi perilaku
yang bertujuan memperbaiki proses kognitif dalam berbagai gangguan neuropsikiatri.
g. Pada remediasi kognitif, dapat diberikan rangsangan untuk menentukan ranah kognitif
yang menjadi target tumbuhnya neuroplastisitas otak.
h. Tatalaksana lain yang dapat meningkatkan fungsi kognitif berupa Repetitive
Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS).
i. Hingga saat ini, masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai fungsi kognitif
pada skizofrenia.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. C. Iorizzo, Schizophrenia and Other Psychotic Disorder, First. New York, USA: Crabtree
Publishing Company, 2014.
2. S. C. Schulz, M. F. Green, and K. J. Nelson, Schizophrenia and Psychotic Spectrum
Disorder, First. New York, USA: Oxford University Press, 2016.
3. B. J. Sadock and V. A. Sadock, Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/ Clinical Psychiatry, 11th ed. Wolters Kluwer, 2014.
4. World Health Organization (2017) Mental health ATLAS 2017 state profile.
5. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018) Persebaran Prevalensi Skizofrenia/Psikosis di
Indonesia, Kementrian Kesehatan RI. Available at:
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/10/08/persebaran-prevalensi-
skizofreniapsikosis-di-indonesia. (no date).
6. K. Malik and U. Indonesia, “Journal of International Dental and Medical Research ISSN
1309-100X http:// www.jidmr.com Remission of Schizophrenia in Indonesia Khamelia
Malik and et al,” J. Int. Dent. Med. Res., vol. 12, no. 1, pp. 238–241, 2019.
7. R. Schennach et al., “Remission in schizophrenia — What are we measuring? Comparing
the consensus remission criteria to a CGI-based definition of remission and to remission in
major depression,” Schizophr. Res., vol. 209, pp. 185–192, 2019.
8. Amir, N. (2017). Buku Ajar Psikiatri (edisi 3). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
9. Syulthoni ZB, et al (2013). Cognitive Enhancment therapy in Schizophrenia. DOI :
10.20473/jps.v9i1.17515
10. Bhattacharya, K. (2015). Cognitive function in schizophrenia: A review. African Journal
of Psychiatry (South Africa), 18(1), 1–8. https://doi.org/10.4172/Psychiatry.1000187
11. Roffman JL, et.al., 2013 . A Randomized Multi-Center Investigation of Folate Plus B12
Supplementation in Schizophrenia. JAMA Psychiatry; 70(5): 481–489.
https://doi:10.1001/jamapsychiatry.2013.900.
12. B. T. Talreja, S. Shah, and L. Kataria, “Cognitive Function in Schizophrenia and Its
Association with Socia-demographics factors,” Ind. Psychiatry J., vol. 22, no. 1, pp. 47–
53, 2013.
13. G. Oaks, S. R. Marder, R. J. Hu, and G. Alva, “Cognitive Impairment in Schizophrenia :
Understanding Prevalence , Magnitude , and Scope,” in Current Psychiatry, 2014, pp.1–8.
14. Ballon, J., & Stroup, T. S. (2013). Polypharmacy for schizophrenia. Current Opinion in
Psychiatry, 26(2), 208–213. https://doi.org/10.1097/YCO.0b013e32835d9efb
15. Bicikova (2011).Metabolic syndrome and serum homocysteine in patients with bipolar
disorderand schizophrenia treated with second generation antipsychotics.
https://doi.org/10.1016/j.psychres.2010.11.021
16. Kusumawardhani A.A.A.A, Dharmono S, D.H. (2011) Konsensus Penatalaksanaan
Gangguan Skizofrenia. Pertama. Jakarta, Indonesia: Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI).
17. Azmanova, M., Pitto-Barry, A. and Barry, Nicolas P.E. (2018) ‘Schizophrenia: Synthetic
strategies and recent advances in drug design’, MedChemComm, 9(5), pp. 759–782.
Available at: https://doi.org/10.1039/c7md00448f.
32
18. Stępnicki, P., Kondej, M. and Kaczor, Agnieszka A. (2018) ‘Current concepts and
treatments of schizophrenia’, Molecules, 23(8). Available at:
https://doi.org/10.3390/molecules23082087.
19. M. S. Keshavan, S. M. Eack, K. M. Prasad, C. S. Haller, and R. Y. Cho, “Longitudinal
functional brain imaging study in early course schizophrenia before and after cognitive
enhancement therapy,” Neuroimage, vol. 151, pp. 55–64, 2017.
20. J. A. Wojtalik and S. M. Eack, “Cognitive Enhancement Therapy Improves Social
Relationships Quality of Life among Individuals with Schizophrenia Misusing
Substances,” Soc. Work Res., vol. 43, no. 1, pp. 59–63, 2019.
21. Wong, A.H.C. and Van Tol, H.H.M. (2003) ‘Schizophrenia: From phenomenology to
neurobiology’, Neuroscience and Biobehavioral Reviews, 27(3), pp. 269–306. Available
at: https://doi.org/10.1016/S0149-7634(03)00035-6.
22. Stahl, Stephen M. (2013) Stahl’s Essential Psychopharmacology Neuroscientific Basis and
Practical Applications. Fourth. Edited by S. M. Stahl. Britania Raya: Cambridge
University Press.
23. Philip D. Harvey (2012). Cognitive impairement in schizophrenia profile, course and
neurobiological determinants. DOI : 10.3126/jpan.v5i1.18324
24. Jonathan Schaefer et al (2013). Global cognitive impairment in schizophrenia. DOI
: 10.1016/j.schres.2013.07.009
25. Tripathi, Adarsh, et. al., (2018). Cognitive deficit inschizophrenia : understanding the
biological correlates and remediation strategies. DOI : 10.9758/cpn.2018.16.1.7
26. Yulia Zaytseva et al (2013). Neurocognitive function in schizophrenia and during the early
phases of psychosis. DOI : 10.1155/2013/819587
27. Y. B. Noor and M. S. Mahajuddin, “Efek Terapi Remediasi Kognitif Terhadap Perbaikan
Fungsi Kognitif Pasien Skizofrenia dengan Terapi Standar Rawat Jalan di RSJ Menur
Surabaya,” Universitas Airlangga, 2015.
28. McCutcheon, R.A., Keefe, R.S.E., McGuire, P.K., 2023. Correction: Cognitive
impairment in schizophrenia: aetiology, pathophysiology, and treatment. Mol. Psychiatry.
29. S. Grover and N. Malhotra, “Depression in elderly : A review of Indian research,” J.
Geriatr. Ment. Heal., vol. 2, no. 1, pp. 4–15, 2015.
30. Bryan Kolb, Ian Wishaw (2015). Fundamental of Human Neuropsychology. Seventh
edition. New York
31. Jeffrey A Lieberman (2006). Textbook of Schizophrenia. Washington DC
32. Wiley Blackwel (2012). Neuroanatomy and neuroscience at glance. Fourth edition. New
York
33. Howes, O.D. and Kapur, S. (2009) ‘The dopamine hypothesis of schizophrenia: Version
III - The final common pathway’, Schizophrenia Bulletin, 35(3), pp. 549–562. Available
at: https://doi.org/10.1093/schbul/sbp006.
34. Patel, Krishna R et al. (2014) ‘Schizophrenia: overview and treatment options.’, P & T : a
peer-reviewed journal for formulary management, 39(9), pp. 638–645.
35. Luvsannyam, E., Jain, M.S., Pormento, M.K.L., Siddiqui, H., Balagtas, A.R.A., Emuze,
B.O., Poprawski, T., 2022. Neurobiology of Schizophrenia: A Comprehensive Review.
Cureus.
36. Coyle, Donald C. Goff, J.T. (2001) ‘The Emerging Role of Glutamate in the
Pathophysiology and Treatment of Schizophrenia Donald’, American Journal of
33
Psychiatry, 75(6), p. 1005. Available at: https://doi.org/10.1176/appi.ajp.158.9.1367.
37. Brunzell, D.H. and Mcintosh, J.M. (2011) ‘Alpha7 Nicotinic Acetylcholine Receptors
Modulate Motivation to Self-Administer Nicotine : Implications for Smoking and
Schizophrenia’, Neuropsychopharmacology, 37(5), pp. 1134–1143. Available at:
https://doi.org/10.1038/npp.2011.299.
38. Wallace, T.L. and Bertrand, D. (2015) Neuronal α7 Nicotinic Receptors as a Target for the
Treatment of Schizophrenia. 1st edn, International Review of Neurobiology. 1st edn.
Elsevier Inc. Available at: https://doi.org/10.1016/bs.irn.2015.08.003.
39. Tso, I.F. et al. (2016) ‘HHS Public Access’, 168(0), pp. 338–344. Available at:
https://doi.org/10.1016/j.schres.2015.08.022.Abnormal.
40. Azmanova, M., Pitto-Barry, A. and Barry, Nicolas P.E. (2018) ‘Schizophrenia: Synthetic
strategies and recent advances in drug design’, MedChemComm, 9(5), pp. 759–782.
Available at: https://doi.org/10.1039/c7md00448f.
41. Sadock BJ (2017). Comprehensive textbook of psychiatry. Tenth edition.
Philadelphia
42. Pearson (2018). Biopsychology. Tenth edition. Columbia
43. Orellana and Slachevsky, 2013. Executive functioning in schizophrenia. Frontiers.
Volume 4. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2013.00035
44. Mably J.A. & Colgin L. Lee., 2018. Gamma oscillations in cognitive disorders. Current
Opinion in Neurobiology 2018, 52:182–187
45. Putra, I.P.R.E & Marianto., 2023. Neurobiology and Management of Cognitive Impairment
of Schizophrenia. JHPP. Volume 1. No 3. Page: 161-170

34
35

Anda mungkin juga menyukai