Anda di halaman 1dari 18

Referat

REMISI DAN RECOVERY PADA PENDERITA SKIZOFRENIA

Diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian / SMF Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia

Oleh:

Ami Dhania Rovi Simanjuntak, S.Ked


210611012

Preseptor:

dr. Mila Astari Harahap M.Ked (KJ) Sp. KJ

BAGIAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CUT MEUTIA
LHOKSEUMAWE
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur ke hadirat Allah SWT, yang mana dengan Rahmat dan
karuniaNya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Remisi dan
Recovery pada Penderita Skizofrenia” sebagai salah satu tugas dalam menjalani
kepaniteraan klinik senior pada bagian / SMF Kejiwaan Rumah Sakit Umum
Daerah Cut Meutia. Shalawat dan Salam ke hadirat Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa kita dari alam jahiliyah ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada
dr. Mila Astari Harahap M. Ked (KJ) Sp. KJ, yang telah meluangkan waktu,
ilmu dan tenaganya dalam membimbing penulis selama mengikuti KKS pada
bagian / SMF Jiwa Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia.
Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk kesempurnaan referat ini. Penulis berharap referat ini dapat
memberi manfaat bagi siapapun yang membacanya.

Lhokseumawe, Januari 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB 2 ..................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 3
2.1. Skizofrenia ................................................................................................... 3
2.1.1. Definisi skizofrenia ............................................................................... 3
2.1.2. Etiologi dan faktor resiko ...................................................................... 3
2.2.2. Teori neurokimiawi dari skizofrenia ..................................................... 4
2.2.3 Kriteria diagnosis ................................................................................... 4
2.2.4 Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III .................................................................................................... 4
2.2.7. Penatalaksanaan skizofrenia.................................................................. 6
2.2 Konsep Remisi pada Gangguan Skizofrenia ................................................. 7
2.2.1 Definisi ................................................................................................... 7
2.2.2. Prevalensi remisi ................................................................................... 7
2.2.3. Kriteria diagnosis remisi ....................................................................... 9
2.3 Batasan Rekoveri ........................................................................................ 10
2.3.1 Psikometri rekoveri .............................................................................. 11
2.3.2 Faktor yang memengaruhi rekoveri ..................................................... 11
BAB 3 KESIMPULAN ....................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Skizofrenia adalah suatu bentuk gangguan jiwa berat yang mengenai 7 dari
1000 populasi orang dewasa, terutama pada kelompok usia 15-35 tahun. Gangguan
ini jarang muncul pada masa anak-anak, dengan angka kejadian 4-10 kasus diantara
10.000 anak. Meskipun insidennya rendah yaitu hanya sekitar 0,03%, tetapi angka
prevalensi skizofrenia cukup tinggi. Hal ini dikarenakan kronisitas dari perjalanan
penyakit ini (WHO 2014).
National Institute of Mental Health (NIMH), skizofrenia merupakan salah
satu dari 15 penyebab besar kecacatan di seluruh dunia, orang dengan skizofrenia
memiliki kecendrungan lebih besar peningkatan resiko bunuh diri (NIMH, 2019).
Data American Psychiatric Association (APA) tahun 2014 menyebutkan 1%
populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. Skizofrenia ditemukan pada
seluruh lapisan masyarakat dan hampir di semua area geografis, termasuk di
Indonesia. Sebuah studi menyebutkan bahwa perkiraan nilai tengah dari prevalensi
skizofrenia adalah 4.6 per 1000 orang, dengan risiko terjadinya skizofrenia seumur
hidup adalah sekitar 0,3% - 0,7% (American Psychiatry Association 2013).
Faktor yang menjadi pertimbangan dari penatalaksanaan alah satunya
adalah kronisitas dari gangguan skizofrenia. Selama bertahun tahun skizofrenia
telah dipandang sebagai suatu penyakit yag kronis dengan atau bahkan tidak ada
harapan untuk sembuh. Minimalnya harapan untuk sembuh dapat dihubungkan
dengan penderita skizofrenia kronis yang mengalami kekambuhan berulang kali
yang mengakibarkan defisit keterampilan personal dan vokasional.
Kenyataan yang ada di lapangan menunjukan lebih dari 80% penderita
skizofrenia, termasuk yang berada di Indonesia tidak diobati dan tidak tertangani
dengan optimal, baik oleh keluarga maupun tim medis. Banyak penderita
skizofrenia dibiarkan berada di jalan-jalan, bahkan ada pula yang dipasung oleh
keluarga. Kondisi seperti ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah
penderita skizofrenia dari waktu ke waktu (Kusumawardhani AA 2014). Kemajuan
di bidang kedokteran dalam beberapa dekade terakhir, dikatakan apabila penderita
skizofrenia datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka
1
2

kira-kira sepertiga dari populasi skizofrenia akan sembuh sempurna (full remission
atau rekoveri). Sepertiga yang lain dapat kembali ke masyarakat, meskipun ada
gejala sisa, sehingga penderita tersebut masih harus mendapatkan pengobatan
(social rekoveri), sedangkan sepertiga sisanya, tidak dapat berfungsi di dalam
masyarakat dan menuju kepada kemunduran mental.
Hasil studi SOHO (Schizophrenia Outpatient Health Outcome) pada 6 regio
di 5 benua yang melibatkan 11078 peserta, menunjukkan hasil 66,1% penderita
skizofrenia mencapai remisi, dan hanya 25,4% yang mencapai rekoveri sedangkan
hasil studi WHO menunjukan bahwa 63% dari penderita skizofrenia di negara
berkembang mengalami remisi, dan hanya 16% mengalami rekoveri. Namun, di
negara berkembang 37% penderita skizofrenia mengalami remisi dan 42%
mengalami rekoveri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa faktor sosial,
kultural dan biologi berpengaruh secara bermakna terhadap tingkat keparahan
penderita skizofrenia.

2
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Skizofrenia
2.1.1. Definisi skizofrenia
Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan
timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, perilaku yang aneh dan terganggu. Pengertian
yang lebih ringkas diungkapkan oleh Hawari (2018), dimana skizofrenia berasal dari dua
kata “Skizo” yang artinya retak atau pecah (spilt), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan
demikian skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan
kepribadian (splitting of personality), sedangkan pengertian yang lebih lengkap
diungkapkan oleh Direja (2016) bahwa skizofrenia adalah suatu bentuk psikosa fungsional
dengan gangguan utama pada proses pikir serta disharmoni (keretakan, perpecahan) antara
proses pikir, afek atau emosi, kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan, terutama
karena waham dan halusinasi, asosiasi terbagi-bagi sehingga timbul inkoherensi.
Menurut PPDGJ III, Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi
penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
“deteriroating”) yang luas, serta sejumlah akibar yang tergantung pada pengaruh genetik,
fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya, ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan
karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar atau tumpul.
Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun
kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.
2.1.2. Etiologi dan faktor resiko
Etiologi dari skizofrenia belum diketahui dengan pasti, tetapi disimpulkan bahwa
skizofrenia merupakan gangguan multifaktorial. Dengan berkembangnya waktu, maka
etiologi skizofrenia terdiri dari berbagai macam penyebab yaitu aspek biologi (sistem
neurotransmitter, anatomi dan histologi otak), psikososial dan psikoanalisis dan lain
sebagainya (Saddock BJ, Saddock BJ dan Kaplan HI 2007). Beberapa faktor lain dapat
menjadi faktor risiko terjadinya skizofrenia seperti lingkungan (misalnya musim waktu
kelahiran), genetik. Faktor genetik mempunyai kontribusi yang kuat dalam risiko terjadinya
skizofrenia, meskipun banyak juga gangguan psikotik yang terjadi tanpa adanya riwayat
keluarga. Komplikasi kehamilan dan persalinan dengan hipoksia dan peningkatan usia ayah
juga berhubungan dengan peningkatan risiko skizofrenia. Gangguan pada masa prenatal dan
perinatal, termasuk stres, infeksi, malnutrisi, diabetes maternal dan kondisi medis umum
lain dapat berperan dalam terjadinya skizofrenia
2.2.1. Gejala klinis skizofrenia

3
4

2.2.2. Teori neurokimiawi dari skizofrenia


Hipotesis teori dopamin (DA) merupakan teori neurokimiawi yang berperan dalam
skizofrenia dalam 4 dekade terakhir. Pada skizofrenia terjadi disfungsi dopaminergik
terutama pada area mesolimbik, yang menyebabkan luasnya gejala dan hendaya fungsi
kognitif pada penderita skizofrenia. Selain itu, terdapat pula teori glutamatergik di mana
adanya penurunan glutamat (GLU) dapat mengakibatkan timbulnya abnormalitas fungsi
otak yang berhubungan dengan terjadinya skizofrenia. Akan tetapi, penurunan
neurotransmiter glutamat ini juga diinduksi oleh disfungsi dari dopamin. Model teori DA
mengakibatkan terjadinya gejala positif dan terjadinya disfungsi pada korteks prefrontal,
sedangkan pada model teori GLU mengakibatkan lebih banyaknya gejala negatif dan
hendaya pada fungsi neurofisiologi.
2.2.3 Kriteria diagnosis
Diagnosa dari skizofrenia dibuat berdasarkan anamnesa (autoanamnesa dan
heteroanamnesa) dan pemeriksaan status mental. Belum ditemukan adanya tes laboratorium
yang spesifik untuk skizofrenia. Terdapat 2 rujukan kriteria diagnosis yang dipakai di
Indonesia, yaitu Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III dan
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder fifth edition (DSM-5).
2.2.4 Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
Berdasarkan PPDGJ III (1993), diagnosis skizofrenia dapat ditegakkan apabila
memenuhi kriteria berikut : Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala tersebut kurang jelas) :
a. Though echo : isi pikiran diri sendiri yang berulang atau bergema dalam kepala
(tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya
berbeda; atau
Thought insertion or withdrawal : isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya (withdrawal); dan
Thought broadcasting : isi pikirannya tersiar keluar, sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya
b. Delusion of control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh sesuatu kekuatan
tertentu dari luar; atau
Delusion of influence : waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar; atau

4
5

Delusion of passivity : waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
suatu kekuatan dari luar. (tentang ”dirinya” = secara jelas merujuk ke pergerakan
tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus);
Delusional perception : pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat
khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mujizat
c. Halusinasi auditorik :
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien di antara merea sendiri (diantara berbagai suara
yang berbicara) atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia
lain)
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas
a. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham
yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang
jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau
apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus
menerus;
b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme;
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu
(posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
d. Gejala-gejala negatif, seperti sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional
yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari
pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal
tidak disebabkan oleh depresi ataumedikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal)

Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap

5
6

larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.
2.2.6. Jenis skizofrenia

Dalam DSM-5, subtipe skizofrenia yang meliputi paranoid, hebefrenik, katatonik,


tak terinci, dan residual dihilangkan. Adapun alasan penghilangannya adalah bahwa
kondisi ini tidaklah stabil dan tidak memberikan manfaat yang signifikan secara klinis
serta tidak valid dan reliabel secara ilmiah.
Berdasarkan gejala klinis yang dominan, skizofrenia dapat dibedakan menjadi 5
subtipe, yaitu subtipe paranoid, hebefrenik, katatonik, tak terinci dan residual. Pembagian
subtipe skizofrenia ini masih digunakan dalam praktik klinis pada berbagai negara,
termasuk di Amerika Serikat.
2.2.7. Penatalaksanaan skizofrenia

Penatalaksanaan skizofrenia secara umum dapat dibagi menjadi 2 bagian


besar, yaitu terapi biologik dan intervensi psikososial.

Terapi biologik pada skizofrenia meliputi tiga fase, yaitu fase akut, stabilisasi dan
stabil atau rumatan. Fase akut ditandai dengan gejala psikotik yang berlangsung selama
4-8 minggu dan membutuhkan penatalaksanaan segera. Fokusterapi pada fase akut yaitu
untuk menghilangkan gejala psikotik.
Setelah fase akut terkontrol, orang dengan skizofrenia (ODS) akan memasuki fase
stabilisasi yang berlangsung paling sedikit 6 bulan setelah pulihnya gejala akut. Risiko
kekambuhan sangat tinggi pada fase ini terutama bila obat dihentikan atau ODS terpapar
dengan stresor. Selama fase stabilisasi, fokus terapi biologik adalah konsolidasi
pencapaian terapetik. Dosis obat pada fasestabilisasi sama dengan pada fase akut.
Fase selanjutnya adalah fase stabil atau rumatan. Penyakit pada fase ini dalam
keadaan remisi. Target terapi biologik pada fase ini adalah untuk mencegah kekambuhan
dan memperbaiki derajat fungsi.
Berbagai studi membuktikan bahwa intervensi psikososial bermanfaat dalam
menurunkan frekuensi kekambuhan, mengurangi kebutuhan rawat inapkembali di rumah
sakit, mengurangi penderitaan akibat gejala-gejala penyakitnya, meningkatkan kapasitas
fungsional, memperbaiki kualitas hidup dan kehidupan berkeluarga. Intervensi
psikososial bisa dimulai sedini mungkin. Namun, hendaknya disesuaikan dengan fase
perjalanan penyakitnya, dengan melibatkan ODS dan keluarganya sejak awal. Melalui
intervensi psikososial, ODS dan keluarga diajak untuk memahami perjalanan penyakit,
perkembangan gejala, dan menyusun harapan yang lebih realistik untuk kehidupan dan
masa depannya.

6
7

Intervensi psikososial adalah proses yang memfasilitasi kesempatan untuk


individu meraih tingkat kemandiriannya secara optimal di komunitas. 1996). Saat ini
intervensi psikososial dikembangkan dengan mengadaptasi konsep dan pendekatan
rekoveri, yaitu sebuah pendekatan yang melihat proses pemulihan sebagai sebuah
perjalanan penyembuhan dan transformasi yang memampukan orang dengan masalah
kesehatan jiwa untuk hidup secara bermakna di masyarakatberdasarkan pilihannya dan
mencapai potensi yang dimilikinya.
Pendekatan psikososial ditetapkan secara individual sesuai dengan kebutuhan
spesifik dari masing-masing orang. Intervensi psikososial juga harus berbasis bukti dan
dilaksanakan oleh petugas yang terlatih. Intervensi psikososial berbasis bukti yang
dianggap efektif untuk skizofrenia adalah psikoedukasi, intervensi keluarga, terapi
kognitif perilaku, pelatihan keterampilan sosial, terapi vokasional, remediasi kognitif dan
dukungan kelompok sebaya.
Intervensi psikososial pada fase akut bertujuan untuk mengurangi stimulus yang
berlebihan, stresor lingkungan dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Memberikan ketenangan
kepada ODS atau mengurangi keterjagaan melalui komunikasi yang baik, memberikan
dukungan atau harapan, menyediakan lingkungan yang nyaman, tidak menuntut, toleran,
hubungan yang bersifat suportif dengan klinikus dan tim yang memberi layanan perawatan
perlu dilakukan. Pada fase ini sebaiknya pendekatan psikososial melalui komunikasi yang
sederhana, jelas dan efektif, dan model komunikasi lebih bersifat langsung.
2.2 Konsep Remisi pada Gangguan Skizofrenia
2.2.1 Definisi

Remisi adalah suatu kondisi hilang atau berkurangnya gejala positif, gejala negatif
dan gejala umum yang spesifik hingga intensitas yang minimal, sehingga tidak lagi
berhubungan secara bermakna dengan tingkah laku dan dibawah batas gejala yang
digunakan untuk mendiagnosis awal dari skizofrenia serta dalam jangka waktu 6 bulan.

Batasan waktu 6 bulan dalam kriteria remisi dibuat dengan pertimbangan dalam
waktu 6 bulan diharapkan sudah masuk dalam tahap maintenance di mana kondisi klinis
penderita sudah relatif stabil karena menurut teori respon perbaikan gejala klinis pengobatan
skizofrenia dengan antipsikotik mulai tampak dalamwaktu 2 minggu.
2.2.2. Prevalensi remisi

Berdasarkan penelitian dari BioMed Central, hanya 31,5% pada penderita


skizofrenia yang memenuhi kriteria remisi tidak sempurna pada akhir bulan keenam dan
hanya 26,1% dari penderita skizofrenia yang memenuhi kriteria remisi sempurna.

7
8

2. 2.3. Psikometri remisi


Psikometri adalah ilmu tentang pengukuran psikologis. Domain psikometri adalah
masalah pengembangan teori dan model tes serta pengembangan dasar- dasar evaluasi
terhadap kualitas tes.
1.3.3.1 Kriteria psikometri untuk mengukur remisi

Persyaratan instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi kondisi remisi


dari skizofrenia :
1. Adanya komponen waktu yang bermakna
2. Dapat diaplikasikan pada berbagai tahap episode perjalanan penyakit
skizofrenia

3. Obyektif
4. Konsisten dengan test-retest reproducibility
5. Tidak tergantung kepada yang memeriksa
6. Dapat digunakan untuk mengevaluasi status longitudinal
7. Memberikan bantuan untuk pergeseran fokus dari tatalaksana fase akut ke fase
maintenance untuk perawatan jangka panjang.
1.3.3.2 Jenis psikometri remisi

Terdapat 3 psikometri yang telah disetujui untuk digunakan dalam


identifikasi remisi:
1. Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS)
PANSS terdiri dari 30 macam pemeriksan inventory yang menilai tidak
adanya atau keparahan dari gejala skizofrenia, yang terbagi menjadi 3 subskala,
yaitu gejala positif (P1-P7), gejala negatif (N1-N7) dan gejala psikopatologi
umum). Pengukuran PANSS berdasarkan hasil wawancara klinis 4 tahap, ditambah
informasi perilaku penderita yang didapatkan dan laporan keluarga atau perawat.
Masing-masing butir pertanyaan dari setiap subskala dinilai dengan skala dengan
nilai 1 (absen) hingga 7 (extreme). Instrumen PANSS dapat digunakan untuk
mengukur respons terapi yang ditandai dengan menurunnya nilai total skor PANSS.
2. Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS)
BPRS merupakan suatu wawancara terstruktur yang berisi definisi gejala
dan nilai spesifik yang didapatkan dari penilaian gejala. Penilaian dilakukan oleh
penderita sendiri dan pengamatan secara klinis dari perilaku penderita (ketegangan,
penarikan diri, manerisme, retardasi motorik dan ketidakkooperatifan) dan
berdasarkan hasil wawancara (disorganisasi, pikiran tidak memadai, kecemasan,
perasaan bersalah, perasaan kebesaran, nada perasaan yang depresif, hostility,

8
9

keluhan somatik, halusinasi, perasaan curiga dan afekyang tumpul). Terdiri dari
18 skala yang dinilai dari 1 (tidak ada) hingga 7 (sangatparah).

3. Scale for the Assestment of Positive Symptomps (SAPS) dan Scale for the
Assestment of Negative Symptomps (SANS)
SAPS terdiri dari 34 macam skala yang digunakan untuk memeriksa gejala positif
pada skizofrenia, dirancang untuk digunakan bersama dengan 25 macam skala dari SANS
yang digunakan untuk memeriksa gejala negatif. Penilaian dari SAPS dan SANS dibagi
menjadi 3 dimensi gejala, yaitu dimensi psikotik (halusinasi dan waham), gejala negatif
(penumpulan afek, alogia, avolition- apathy, dan anhedonia) dan disorganisasi (afek yang
tidak sesuai, perilaku aneh, dan gangguan bentuk pikiran).
Dalam penilaian gejala harus diperhatikan kemungkinan apakah gejala tersebut
merupakan gejala primer atau gejala sekunder, misalnya dalam gejala negatif anhedonia,
dapat merupakan gejala sekunder dari pemberian neuroleptik atau penderita tersebut
memiliki komorbiditas depresi atau gejala positif terkadang juga merupakan gejala
sekunder, misalnya kegelisahan yang dapat merupakan gejala dari akatisia akibat
pemberian neuroleptik.
2.2.3. Kriteria diagnosis remisi

Menurut konsensus dari Kelompok studi Skizofrenia di Amerika Serikat pada


tahun 2005, remisi pada skizofrenia dapat diukur dengan menggunakan Positive and
Negative Syndrome Scale (PANSS) atau Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS), atau
dengan kombinasi dari SAPS dan SANS. Untuk kriteria dari remisi, semua macam
pertanyaan pada kriteria PANSS dan BPRS harus memiliki poin skala pengukuran ≤ 3
(ringan) selama periode 6 bulan dan SAPS dan SANS memiilki poin skala pengukuran ≤
2 selama periode 6 bulan.
Dalam konsensus kriteria remisi pada skizofrenia, orang dengan skizofrenia
(ODS) dikatakan mencapai remisi bila 8 item PANSS, yaitu P1 (waham), P2 (pikiran
yang tidak memadai yang terkonsep), P3 (perilaku halusinasi), G9 (pikiran tidak
memadai), G5 (manerisme), N1 (afek yang tumpul), N4 (penarikan diri), dan N6
(kurangnya arus/spontanitas pembicaraan)

9
10

memperoleh skor kurang atau sama dengan 3, dan telah berlangsung sedikitnya 6 bulan.
Selain itu, remisi juga dapat didefinisikan sebagai penurunan total PANSS score
>20% dan atau > 1 poin pada subskala gejala positif, terutama pada item P1, P2, P3 dan
P6.
Definisi remisi juga dapat menggunakan SAPS dan SANS. Pada skala pertanyaan
SAPS (item 7, halusinasi; item 20, waham; item 25, perilaku aneh; item 34 pikiran tidak
memadai) mendapat skor ≤ 2 dalam kurun waktu 3 bulan. Pada skala pertanyaan SANS
(item 7, penumpulan afek; item 13, alogia; item 17, avolisi-apathy; item 22 anhedonia-
asosialisasi) mendapat skor ≤ 2 dalam kurun waktu 3 bulan. Semua skala pertanyaan SAPS
dan SANS mendapat skor ≤ 2 dalam kurun waktu 6 bulan.
2.3 Batasan Rekoveri

Tidak semua individu yang mengalami gejala psikotik menjadi kronis dan terjadi
hendaya dalam fungsi sehari-hari. Rekoveri dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
sebagai suatu proses pemulihan. Rekoveri pada penderita dengan skizofrenia difenisikan
sebagai suatu proses remisi gejala dan hendaya yang minimal dalam fungsi dengan durasi
minimal 2 tahun. Batasan pemilihan waktu 2 tahun adalah karena waktu 2 tahun adalah
cukup panjang untuk perbaikan klinis dari fase akut ke fase stabil yang dapat
meningkatkan kualitas hidup seseorang. Alasan hendaya minimal dalam pekerjaan, sosial
dan hubungan dekat diperbolehkan sebagai kriteria rekoveri adalah karena banyak orang
yang tidak menderita skizofrenia memiliki defisit sosial yang persisten, sehingga pasien
yang mengalami rekoveri dari skizofrenia tidak dapat diharapkan untuk tidak memiliki
hendaya fungsi samasekali. Nama lain dari rekoveri adalah wellness atau pemulihan, yaitu
fungsi yang normal dari hilangnya gangguan.
Berdasarkan DSM-IV TR, rekoveri adalah kembalinya fungsi pasien ke fungsi
premorbidnya. Akan tetapi, hal ini mengalami perdebatan karena pada penderita
skizofrenia dengan onset pada saat remaja/dewasa muda di mana pada usia tersebut,
seseorang belum dapat melakukan fungsi sosial, pekerjaan dankehidupan secara mandiri,
sehingga kembali ke fungsi premorbid berarti penderita tersebut kembali pada tingkat
fungsi di bawah batas normal fungsi psikososial seorang dewasa.
Definisi dari rekoveri tidak membutuhkan kembalinya penderita kepada
kepribadian premorbidnya, tetapi menekankan pada partisipasi yang penuh dalam
pekerjaan, kehidupan sosial, kehidupan yang mandiri dan tidak adanya serta stabilnya
gejala klinis dari psikopatologi yang signifikan.
Keberhasilan parsial pada 3 domain fungsional merupakan indikator kemajuan yang lebih
baik daripada kesuksesan penuh hanya pada 1 domain, tetapitidak ada upaya untuk berfungsi
10
11

dalam 2 domain fungsi lain. Sukses penuh pada 2 domain fungsi yang dikombinasikan
dengan keberhasilan parsial dalam 1 fungsi dapat didefinisikan sebagai rekoveri.
2.3.1 Psikometri rekoveri

Penilaian fungsi umum dari penderita skizofrenia dapat menggunakan beberapa


instrumen, antara lain :
1. Global Assestement Functioning Scale (GAF Scale)
2. WHO Disability Assessment Scale (DAS)
3. Levenstein Klein-Pollack scale (LKP)
4. Social and Occupational Functioning Assestment Scale (SOFAS)
5. Personal and Social Performance (PSP)
2.3.2 Faktor yang memengaruhi rekoveri

Faktor-faktor yang dapat mempercepat penderita skizofrenia dalam mencapai


rekoveri, antara lain :
1. Abormalitas anatomi dari otak yang lebih minimal, sehingga penderita
memiliki kapasitas neurokognitif yang lebih baik.
2. Harapan : dapat meningkatkan motivasi untuk berubah dan partisipasi aktif
dalam pelayanan klinis.
3. Destigmatisasi : masih banyak pendapat klinisi yang menstigma bahwa
penderita skizofrenia tidak mungkin pulih sepenuhnya. Hal ini dapat
menghambat proses rekoveri. Pada saat diagnosa rekoveri dibuat, maka
stigma pada penderita skizofrenia juga semakin menurun.
4. Pemberdayaan : merupakan suatu hal yang dapat mendukung terjadinya
rekoveri dan tetap harus dilanjutkan meskipun individu telah mencapai
rekoveri karena dapat melindungi individu tersebut dari relaps karena
adanya stres.
5. Tilikan diri, kebebasan dan motivasi. Pada negara maju, penderita
skizofrenia yang pengangguran akan mendapat tunjangan kompensasi baik
tunjangan ekonomi dan tunjangan kesehatan. Penderita skizofrenia juga
mendapatkan kompensasi berupa pengurangan waktu dan beban kerja. Hal
ini dapat berdampak buruk pada outcome.

11
6. Adanya kolaborasi dengan tenaga medis, sarana dan prasarana serta
model layanan kesehatan yang mendukung dapat mempercepat
proses rekoveri.
7. Adanya tatalaksana atau program kemandirian dapat meningkatkan
perasaan pemberdayaan yang dapat menjadi sebuah motivasi yang
mendukung terapi
8. Terkontrolnya komorbiditas dari penyakut lain, misalnya
penyalahgunaan zat.
9. Adanya kepatuhan dalam pengobatan.
10. Dapat dikendalikannya stresor yang mempengaruhi coping dan
ketrampilan sosial.
11. Gejala negatif merupakan faktor prediksi buruknya status fungsi
karena berhubungan dengan avolition, asociality, dan keduanya
berhubungan dengan terganggunya kapasitas dalam pekerjaan dan
sosialisasi.

12
BAB 3
KESIMPULAN
Skizofrenia merupakan suatu sekelompok sindroma yang kronis dengan
manifestasi klinis yang bervariasi antar indvidu yang meliputi gejala positif, gejala
negatif dan gejala kognitif serta mengganggu diri dan lingkungan. Tahapan dari
gangguan skizofrenia dapat dibagi menjadi 5 fase, yang meliputi fase premorbid,
fase prodromal, fase akut, fase stabil dan fase stabilisasi. Terdapat berbagai macam
domain outcome, antara lain clinical outcome, functional outcome, dan fungsi
kognitif. Kepuasan subyektif juga perlu mendapat perhatian dalam menilai
outcome.
Remisi adalah suatu kondisi hilangnya atau berkurangnya hingga intensitas
yang sangat minimal dari gejala positif, gejala negatif dan gejala umum yang
spesifik yang tidak lagi berhubungan secara signifikan dengan tingkah laku dan
dibawah batas gejala yang digunakan untuk mendiagnosis awal dari skizofrenia
serta dalam jangka waktu 6 bulan. Tujuan dari tatalaksana remisi adalah mencegah
terjadinya recurence, dan mengurangi gejala klinis yang ada dengan
mengoptimalkan tatalaksana psikofarmaka, sehingga penderita akan memiliki
tilikan yang lebih baik mengenai gejala yang dialami, kondisi medis umum dan
fungsi sehari-harinya.
Rekoveri merupakan suatu kondisi di mana penderita skizofrenia telah
mencapai remisi gejala, dan disertai pulihnya fungsi kognitif, sosial, pekerjaan dan
mampu berpartisipasi penuh di lingkungan komunitasnya, sedikitnya telah
berlangsung selama 2 tahun. Penatalaksanaan rekoveri harus bersifat holistik
dengan mengoptimalkan tatalaksana psikososial dan tetap mempertahankan
tatalaksana farmakoterapi dengan dosis rumatan, sehingga dapat mengontrol
kondisi gejala psikotik yang dialami dan memfasilitasi partisipasi penderita
skizofrenia dalam perawatan psikososial.

13
14

DAFTAR PUSTAKA
1. American Psychiatric Association (2013) Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, 5th Edition,. Washington DC: American Psychiatry
Association.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes Republik Indonesia
(2013) Riset Kesehatan Dasar, Rikesdas.
3. Bellack AS (2006) Scientific and consumer models of recovery in schizophrenia:
Concordance, contrasts, and implications. Schizophrenia Bulletin 32:432-442.
4. Brown S, Inskip H, Barraclough B (2000) Causes of the excess mortality of
schizophrenia. Br J Psychiatry 177:212-217.
5. Cassidy CM, Norman R, Manchanda R, et al. (2010) Testing definitions of
symptom remission in first episode psychosis for prediction of functional outcome
at 2 years. Schizophrenia Bulletin 35:1001-1008.
6. Davidson L, Schumutte T, Dinzeo T, et al. (2008) Remission and recovery in
schizophrenia: Practitioner and Patient Perspectives. Schizophrenia Bulletin 34:5-
8.
7. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik (1993) Pedoman
penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen
Kesehatan R.I.
8. Green MF (2001) Schizophrenia revealed: from neurons to social
interactions.New York: W.W. Norton & Company, Inc.
9. Green MF (2006) Cognitive impairment and functional outcome in schizophrenia
and bipolar disorder. J Clin Psychiatry 67(suppl9):3-8.
10. Fleischhacker WW, Eerdekens M, Karcher K (2003) Treatment of schizophrenia
with long-acting injectable risperidone: a 12-month open-label trial of the

14
a. first long-acting second-generation antipsychotic. The Journal of
Clinical Psychiatry 64(10):1250-1257.
11. Harrison G, Hopper K, Craig T, et al. (2001) Recovery from psychotic
illness: a 15-and 25-year international follow-up study. Br J Psychiatry
178:506-517.

15

Anda mungkin juga menyukai