Anda di halaman 1dari 40

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI


UNIVERSITAS HASANUDDIN 2023

NEUROTRANSMITTER PADA
PASIEN SKIZOFRENIA

DISUSUN OLEH :

RESIDEN PEMBIMBING :

SUPERVISOR :

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama :

NIM :

Judul Referat : Neurotransmitter pada Pasien Skizofrenia

Adalah benar telah didiskusikan dan disetujui untuk dipresentasikan tugas referat i
ni dengan judul di atas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen Ilmu K
edokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Januari 2023

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................3

2.1. Definisi.............................................................................................................3

2.2. Prevalensi.........................................................................................................4

2.3. Etiopatogenesis................................................................................................5

2.4. Gejala Klini


s..................................................................
................................. 11

2.5. Diagnosis..........................................................................................................13

2.6. Terapi ............................................................................................................. 15


2.7. Extrapiramidal Syndrome ............................................................................ 23

2.8. Prognosis......................................................................................................... 30

BAB III KESIMPULAN.......................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................32

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Skizofrenia adalah penyakit mental kronis serius yang bisa mempengaruhi


cara seseorang berpikir, merasa, dan berperilaku. Skizofrenia dimanifestasikan
dengan gejala positif, negatif, atau kognitif, seperti halusinasi, ekspresi berkurang,
atau gangguan dalam memori. Rata-rata, timbulnya skizofrenia lebih muda antara
pria (usia 21 tahun) dibandingkan wanita (27 tahun). Skizofrenia memiliki tingkat
prevalensi 1% sebagai penyebab kecacatan ketujuh. Skizofrenia kronis sifatnya
seumur hidup sehingga mengakibatkan adanya hambatan dalam mengakses
perawatan, pendidikan, perumahan, dan pekerjaan. Banyak upaya dilakukan untuk
mencegah transisi dari psikosis episode pertama ke episode skizofrenia seperti
intervensi psikososial,maupun psikoterapi.

Pasien skizofrenia juga sembuh atau membaik dalam jangka panjang, lama,
kronis dan banyak pasien yang hidup dengan gangguan sampai usia tua (Strand et
al., 2020). Selain itu sekitar 6% dari populasi menderita penyakit mental persisten
yang parah merupakan penyakit mental yang kronis dan berulang yang
membutuhkan perawatan psikiatri intensif. Meskipun kebanyakan individu
dengan penyakit mental meninggal akibat kekerasan dan bunuh diri, tetapi
sebagian besar kematian juga disebabkan oleh penyakit kronis. Kematian akibat
penyakit kronis adalah multifaktorial seperti peningkatan penggunaan zat dan
gejala sisa medisnya, penurunan perawatan kesehatan preventif, dan akses yang
buruk ke perawatan medis.

Harapan hidup pasien skizofrenia dinegara maju rata rata kurang dari 20
tahun dari populasi berdasarkan usia, jenis kelamin maupun onset
skizofrenia.Kematian dini pada pasien skizofrenia akibat efek samping dari obat
antipsikotik,juga penyakit yang menyertai seperti jantung, kanker cedera maupun
pernafasan. Perawatan paliatif Sangat penting untuk menanggulangi penyakit,
memanajemen gejala dan mengurangi kecacatan. Selain itu juga dapat
meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi risiko bunuh diri pada pasien
dengan skizofrenia. Dengan memberi dukungan dan perhatian,perawatan paliatif
dapat dilakukan berdampingan dengan pengobatan kuratif seperti pada pasien

1
dengan terapi depresi refrakter dengan upaya bunuh diri berulang-ulang, pasien
yang memiliki niat untuk mati atau kasus skizofrenia yang parah. Peningkatan
perawatan paliatif untuk penyakit fisik pada pasien kesehatan mental sangat
penting mengingat banyak kasus komorbiditas dan tingkat kematian yang lebih
tinggi dari rata-rata pada pasien dengan SPMI karena gejala yang diabaikan atau
tidak diklasifikasikan dengan tepat.

Pada referat ini, penulis membahas tentang bagaimana perjalana


n dari penyakit skizofrenia serta neurotransmitter apa yang berper
an dalam penyakit ini.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Skizofrenia merupakan satu gangguan psikotik yang kronik, sering mereda,


namun hilang timbul dengan manifestasi klinik yang amat luas variasinya, gejala
dan perjalanan penyakit yang amat bervariasi. Skizofrenia dapat didefinisikan
sebagai suatu sindrom dengan variasi penyebab (banyak yang belum diketahui),
dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah
akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Bleuler
menyatakan terdapat gejala primer dan gejala sekunder pada gangguan
skizofrenia. Empat gejala primer yang terkait dengan skizofrenia meliputi
gangguan asosiasi, gagguan afektif, autisme, dan ambivalensi yang dirangkum
menjadi empat A: asosiasi, afek, autisme dan ambivalensi. Gejala sekunder yang
terkait dengan skizofrenia adalah halusinasi dan waham. 4

Skizofrenia (schizophrenia; dibaca "skit-se-fri-nia") adalah salah satu


gangguan jiwa berat yang dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku
individu. Skizofrenia adalah bagian dari gangguan psikosis yang terutama
ditandai dengan kehilangan pemahaman terhadap realitas dan hilangnya daya tilik
diri (insight). Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa-III
(PPDG]-III), skizofrenia adalah suatu deskripsi sindroma dengan variasi
penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat
kronis atau "deteriorating") yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada gangguan psikosis,
termasuk juga sizofrenia, dapat ditemukan gejala gangguan jiwa berat seperti
halusinasi, waham, perilaku yang kacau, dan pembicaraan yang kacau, serta
gejala negatif .15 Skizofrenia biasanya muncul selama masa remaja akhir dan
awal masa dewasa, dan meskipun onsetnya mungkin tiba-tiba, sebagian besar
pasien mengalami perkembangan yang lambat dan bertahap dari berbagai tanda
dan gejala klinis.16

3
2.2. PREVALENSI

Skizofrenia adalah masalah kesehatan masyarakat yang mempengaruhi


populasi dunia secara global. Data epidemiologis sejak dua dekade yang lalu
menyebutkan perkiraan kejadian skizofrenia adalah 1-2 permil populasi, namun
penelitian WHO sekarang menampilkan bahwa angka ini sudah meningkat
menjadi 1-3% populasi umum.1 Efek kepadatan penduduk sejalan dengan
pengamatan pravelensi skizofrenia. Kota dengan lebih dari 1 juta orang penduduk
memiliki tingkat kejadian skizofrenia yang lebih tinggi daripada kota dengan
penduduk 100.000- 500.000. Pengamatan ini meyatakan bahwa stressor sosial di
suasana perkotaan mempengaruhi timbulnya skizofrenia pada orang yang
berisiko. Insidens tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5 sampai 5,0 per 10.000
dengan beberapa variasi geografis. Di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia
seumur hidup dilaporkan secara bervariasi terentang dari 1% sampai 1,5%.

Penelitian Epidemiological Cachtment Area (ECA) yang disponsori oleh


National Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan prevalensi seumur hidup
sebesar 0,025% sampai 0,5% populasi total diobati untuk pasien skizofrenia
dalam 1 tahun. Duapertiga dari pasien yang diobati dari skizofrenia membutuhkan
perawatan di rumah sakit, hanya kira-kira setengah dari pasien skizofrenia
mendapat pengobatan, tidak tergantung pada keparahan penyakit.4 Data Riset
Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia mengalami
gangguan jiwa berat seperti skizofrenia sebanyak 0,17% atau secara absolut
penduduk Indonesia yang menderita gangguan jiwa sebanyak 400.000 jiwa.
Provinsi Jawa tengah menempati posisi kedua dengan jumlah penduduk yang
mengalami gangguan jiwa yaitu 55.406 jiwa. Faktor biologis, psikologis dan
sosial akan berdampak pada bertambahnya jumlah kasus gangguan jiwa.3 Data
Rumah Sakit Jiwa Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah pada tahun
2016 sebanyak 2.699 jiwa mengalami gangguan skizofrenia dan sebanyak 204
jiwa mengalami kekambuhan.

4
2.3. ETIOPATOGENESIS

Skizofrenia didiskusikan seolah-olah sebagai suatu penyakit yang tunggal


namun katagori diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan, mungkin dengan
kausa yang heterogen, tapi dengan gejala perilaku yang sedikit banyak yang
serupa. Belum ditemukan etiologi yang pasti mengenai skizofrenia, tetapi hasil
penelitian menyebutkan etiologi skizofrenia yaitu:

a. Biologi

Tidak ada gangguan fungsional dan struktur yang patognomonik yang


ditemukan pada penderita skizofrenia. Gangguan organik dapat terlihat pada sub
populasi pasien. Gangguan yang paling banyak dijumpai yaitu pelebaran ventrikel
3 dan lateral yang stabil dan terkadang sudah terlihat sebelum awitan penyakit,
atrofi bilateral lobus temporal medial dan lebih spesifik pada girus
parahipocampus, hipocampus dan amygdala, disorientasi spasial sel piramid
hipocampus dan penurunan volume korteks prefrontal dorso lateral. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa semua perubahan ini statis dan telah dibawa sejak
lahir dan beberapa kasus perjalanannya progresif. Lokasinya menunjukkan
gangguan perilaku yang ditemui gangguan skizofrenia, misalnya gangguan
hipocampus dikaitkan dengan infermen memori dan atrofi lobus frontalis
dihubungkan dengan gejala negatif skizofrenia. 1

b. Neurotransmitter

1) Hipotesis Dopamin

Hipotesis ini menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat aktivitas


dopaminergik yang berlebihan. Teori ini berkembang berdasarkan dua
pengamatan. Pertama, kemanjuran serta potensi sebagian besar obat
antipsikotik (yaitu, antagonis reseptor dopamin), berkorelasi dengan
kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin tipe 2 (D2).
Kedua, obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, yang terkenal adalah
afetamin, bersifat psikotomimetik. Teori dasar ini tidak menguraikan apakah
hiperaktivitas dopaminergik disebabkan pelepasan dopamin yang berlebihan,
reseptor dopamin yang terlalu banyak, hipersensitivitas reseptor dopamin

5
terhadap dopamin, atau kombinasi mekanisme tersebut. Jalur dopamin di otak
yang terlibat juga tidak dirinci dalam teori ini, meski jalur mesokortikal dan
mesolimbik paling sering disebut. Peran signifikan dopamin dalam
patofisiologi skizofrenia sejalan dengan studi yang mengukur konsentrasi
plasma metabolit utama dopamin, asam homovalinat. Studi melaporkan
adanya korelasi positif antara konsentrasi asam homovanilat dan tingkat
keparahan gejala yang timbul pada pasien. Penurunan asam homovalinat
berkorelasi dengan perbaikan gejala pada setidaknya beberapa pasien. 1

Dopamin merupakan neurotransmiter katekolamin yang berperan penting


pada skizofrenia. Empat jaras utama dopamin pada skizofrenia yaitu
mesolimbik, mesokorteks, nigrostriatum dan tuberoinfundibular. Dopamin
memediasi efeknya dengan mengikat G Protein-Coupled Receptor (GPCR)
milik reseptor D1 dan D2 yang mengaktifkan pensinyalan kaskade
intraseluler. Hipotesis dopamin sudah lama diketahui dari penelitian klinis
yang menunjukkan individu menjadi psikotik atau psikotik yang memberat
menjadi skizofrenia pada pemberian agonis dopaminergik. Pada kondisi
mesokortikostriatal yang mengalami gangguan, terjadi penurunan pelepasan
dopamin kortikal yang menyebabkan peningkatan aktivitas proyeksi neuron
glutamatergik ke midbrain dan menyebabkan peningkatan pelepasan dopamin
dan sintesis dopamin di striatum.

2) Norepinefrin

Sejumlah peneliti melaporkan bahwa pemberian obat nitpsikotik jangka


panjang menurunkan aktivitas neuron noradrenergik di lokus seruleus dan
bahwa efek terapeutik beberap aobat antipsikotik mungkin melibatkan
aktivitasnya pada reseptor adrenergik alfa-1 dan adrenergik alfa-2. Meski
hubungan antara aktivitas dopaminergik dan doradrenergik masih belum
jelas, terdapat peningkatan jumlah data yang menyatakan bahwa sistem
noradrenergik memodulasi sitem dopaminergik dalam suatu cara sehingga

6
abnormalitas sistem noradrenergik mempredisposisikan pasien untuk
mengalami relaps yang sering. 1

3) Glutamat

Gluamat telah terlibat karena konsumsi phencyclidine, antagonis


glutamat, memproduksi sindrom akut yang serupa dengan skizofrenia.
Hipotesis tentang glutamat termasuk hoperkatifitas, hipoaktifitas, dan
glutamate induced neurotoxicity. 1

Selain pendekatan dopamin, terdapat juga ketidakseimbangan dari


transmisi glutamatergik berupa reseptor NMDA. Diperkirakan bahwa
gangguan fungsional pada sistem dopaminergik diakibatkan melalui efek
modulasi dopamin pada neuron glutamat yang mempengaruhi transmisi
glutamat melalui hipofungsi reseptor NMDA. Peran glutamat pada
skizofrenia melalui hipotesis hipofungsi reseptor NMDA (Getinet Ayano,
2016). Glutamat dilepaskan dari neuron intrakortikal yang kemudian akan
mengikat ke reseptor NMDA namun dikarenakan adanya hipofungsi pada
reseptor tersebut maka glutamat tidak mampu berefek secara penuh melalui
reseptor NMDA sehingga mencegah pelepasan Gamma-Aminubutyric Acid
(GABA) yang mengakibatkan pelepasan glutamat yang kemudian akan
mempengaruhi hiperaktivitas dopamin baik pada mesolimbik maupun
mesokorteks (Stahl, 2013). Peningkatan glutamat dapat meningkatkan
kerusakan seluler melalui aktivasi reseptor NMDA yang memfasilitasi influks
kalsium dan memproduksi Nitride Oxide (NO) sehingga menyebabkan
kerusakan DNA, protein dan lipid. Glutamat biasanya akan dibersikan oleh
astrosit, yang mengubah glutamin tetapi pembersihan tersebut dapat
berkurang oleh karena efek sitokin inflamasi di astrosit

4) Asetilkolin dan Nikotin.

Pada data postmortem (data yang diambil dari orang yang telah
meninggal) pasien skizofrenia menunjukkan adanya penurunan kadar
muskarinik dan reseptor nikotin di daerah putamen bagian kaudal,
hipokampus, dan beberapa bagian prefrontal cortex. Reseptor-reseptor ini

7
berperan penting dalam regulasi neurotransmiter yang berperan dalam
kesadaran sebagai individu pada seorang, yang mengalami gangguan pada
pasien skizofrenia. 1

5) GABA

GABA merupakan neurotransmiter inhibitorik terbesar di otak dan


disintesis oleh interneuron sirkuit lokal (neuron GABA) yang mengalami
perubahan pada sintesis, reseptor maupun parvalbumin. Inhibitor GABA
telah terlibat dalam patofisiologi skizofrenia berdasarkan temuan bahwa
beberapa pasien dengan skizofrenia terjadi penurunan neuron GABAergik di
hipokampus. GABA memiliki efek regulasi terhadap aktivitas dopamin, dan
berkurangnya neuron inhibitor GABAergik dapat menyebabkan
hiperaktivitas neuron dopaminergik. Pelepasan glutamat dari neuron
piramidal intrakortikal yang mengikat ke reseptor NMDA pada interneuron
GABAergik menstimulus pelepasan GABA dan menempel pada reseptor
GABA subtipe a2 neuron piramidal glutamat lainnya dan menginhibisi
neuron tersebut yang mengakibatan penurunan pelepasan glutamat (Stahl,
2013). Berdasarkan studi PET yang menilai aktivitas GABA pada
skizofrenia, ditemukan hilangnya pensyinalan GABA pada reseptor subtipe
GABA a5 yang mengarah ke fenotip perilaku skizofrenia dan didukung oleh
studi post-mortem yang menunjukkan rendahnya protein dan mRNA reseptor
GABA subtipe a5 di hipokampus, namun perubahan tersebut dikaitkan
dengan gejala masih belum jelas.

6) Serotonin

Serotonin merupakan neurotransmitter modulator yang juga berperan


pada skizofrenia. Sama seperti dopamin, serotonin juga memiliki jalur pada
brainstem dan proyeksi ke beberapa area otak termasuk korteks. Serotonin
dapat memodulasi aktivitas sistem dopamin dan antagonis reseptor serotonin
khususnya reseptor serotonin subtipe 2A (5HT2A) mempunyai peran penting
dalam aksi antipsikotik atipikal. Hipotesis serotonin pada patofisiologi

8
skizofrenia didukung oleh pemberin antipsiotik atipikal antagonis 5HT2 yang
dapat memperbaiki gejala negatif dan efek samping motorik. Terdapat
perubahan jumlah reseptor 5HT2A dan 5HT1A kortikal pada skizofrenia,
reseptor 5HT2A yang mengaktivasi PFC juga dapat berdampak pada sistem
dopaminergik. Semua reseptor 5HT2A merupakan reseptor postsinap dan
berlokasi di banyak bagian otak. Ketika reseptor 5HT2A berada pada neuron
piramidal kortikal maka bersifat eksitatorik dan meningkatkan pelepasan
glutamat, sedangkan reseptor 5HT1A meregulasi pelepasan dopamin.

c. Genetika

Skizofrenia mempunyai komponen yang diturunkan secara bermakna,


kompleks dan poligen. Skizofrenia adalah gangguan yang bersifat familial,
semakin dekat hubungan kekerabatan semakin tinggi risiko terjadinya skizofrenia.
Frekuensi kejadian gangguan non psikotik meningkat pada keluarga skizofrenia
serta secara genetik dikaitkan dengan gangguan kepribadian ambang dan
skizotipal, gangguan obsesif - kompulsif, dan kemungkinan dihubungkan dengan
gangguan kepribadian paranoid dan antisosial.1

d. Faktor Keluarga

Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting dalam


menimbulkan kekambuhan dan mempertahankan remisi. Pasien yang berisiko
adalah pasien yang tinggal bersama keluarga yang tidak harmonis,
memperlihatkan kecemasan berlebihan, sangat protektif, terlalu ikut campur,
sangat mengritik, dan sering tidak dibebaskan oleh keluarganya.1 Beberapa
peneliti mengidentifikasi suatu cara komunikasi yang patologis dan aneh pada
keluarga-keluarga skizofrenia. Komunikasi sering samar-samar atau tidak jelas
dan sedikit tidak logis. Penelitian terbaru menyampaikan bahwa pola komunikasi
keluarga tersebut mungkin disebabkan dampak memiliki anak skizofrenia.1

e. Model Diatesis Stress

9
Model Diatesis Stress ini yaitu untuk mengintegrasikan faktor biologis,
psikososial, dan lingkungan. Seseorang memiliki kerentanan spesifik (diathesis),
yang jika mengalami stress akan dapat memicu munculnya gejala skizofrenia.
Stressor atau diathesis ini bersifat biologis, lingkungan atau keduanya. Komponen
lingkungan biologikal (seperti infeksi) atau psikologis (seperti kematian orang
terdekat). 4

f. Psikososial

1) Teori Psikoanalitik dan Psikodinamik Freud beranggapan bahwa skizofrenia


adalah hasil dari fiksasi perkembangan, dan merupakan konflik antara ego
dan dunia luar. Kerusakan ego memberikan konstribusi terhadap munculnya
gejala skizofrenia. Secara umum kerusakan ego mempengaruhi interprestasi
terhadap realitas dan control terhadap dorongan dari dalam. Pada pandangan
psikodinamik lebih mementingkan hipersensitivitas terhadap berbagai stimulus
menyebabkan kesulitan dalam setiap fase perkembangan selama anak-anak dan
mengakibatkan stress dalam hubungan interpersonal. Gejala positif diasosiasikan
dengan onset akut sebagai respon terhadap faktor pemicu dan erat kaitanya
dengan adanya konflik. Gejala negatif berkaitan erat dengan faktor biologis,
sedangkan gangguan dalam hubungan interpersonal mungkin timbul akibat
kerusakan intrapsikis, namun mungkin juga berhubungan dengan kerusakan ego
yang mendasar.1

2) Teori Belajar Anak-anak yang nantinya mengalami skizofrenian mempelajari


reaksi dan cara berfikir yang tidak rasional dengan mengintimidasi orang tua yang
juga memiliki masalah emosional yang signifikan. Hubungan interpersonal yang
buruk dari pasien skizofrenia berkembang karena pada masa anak-anak mereka
belajar dari model yang buruk. 1

3) Teori Tentang Keluarga Pasien skizofrenia sebagaimana orang yang mengalami


penyakit non psikiatri berasal dari keluarga dengan disfungsi, perilaku keluarga
yang pagtologis yang secara signifikan meningkatkan stress emosional yang harus
dihadapi oleh pasien skizofrenia.1

10
4) Teori Sosial Industrialisasi dan urbanisasi banyak berpengaruh dalam
menyebabkan gangguan skizofrenia. Data pendukung mengenai penekanan saat
ini adalah dalam mengetahui pengaruhnya terhadap waktu timbulnya onset dan
keparahan penyakit. 1

2.4 GEJALA KLINIS

Skizofrenia adalah penyakit kronis dengan gejala heterogen. Skizofrenia


dapat digolongkan pada tiga dimensi, yakni gejala positif, gejala negatif, dan
disorganisasi. Gejala positif meliputi, halusinasi, waham, gaduh gelisah, dan
perilaku aneh serta bermusuhan. Gejala negatif meliputi afek tumpul atau datar,
menarik diri, berkurangnya motivasi, miskin kontak emosional, pasif, apatis, dan
sulit berpikir abstrak. Gejalagejala disorganisasi meliputi disorganisasi
pembicaraan, disorganisasi perilaku, serta gangguan pemusatan perhatian, dan
pengolahan informasi. Gejala-gejala ini juga dikaitkan dengan hendaya sosial dan
pekerjaan pada pasien skizofrenia.4

11
Perjalanan klinis gangguan skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan
meliputi beberapa fase, dimulai dengan keadaan prodromal (awal sakit), fase aktif,
dan keadaan residual (sisa). 4

a. Fase prodromal

Fase prodromal adalah tanda dan gejala awal suatu penyakit. Pemahaman
pada fase prodromal menjadi sangat penting untuk deteksi dini, karena dapat
memberi kesempatan atau peluang yang lebih besar untuk mencegah berlarutnya
gangguan, disabilitas dan memberi kemungkinan kesembuhan yang lebih besar
jika diberi terapi yang tepat. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia berupa
cemas, depresi, keluhan somatik, perubahan perilaku dan timbulnya minat baru
yang tidak lazim.

Gejala prodromal tersebut dapat berlangsung beberapa bulan atau beberapa


tahun sebelum diagnosis pasti skizofrenia ditegakkan. Keluhan kecemasan dapat
berupa perasaan khawatir, waswas, tidak berani sendiri, takut keluar rumah, dan
merasa diteror.

Keluhan somatik dapat berupa nyeri kepala, nyeri punggung, kelemahan dan
gangguan pencernaan. Perubahan minat, kebiasaan dan perilaku dapat berupa
pasien mengembangkan gagasan abstrak, filsafat dan keagamaan. Munculnya
gejala prodromal ini dapat terjadi dengan atau tanpa pencetus, misalnya trauma
emosi, frustasi karena permintaannya tidak terpenuhi, penyalahgunaan zat,
berpisah dengan orang yang dicintai.4

b. Fase aktif

Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis
yakni kekacauan alam pikir, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien terhadap
realita mulai terganggu dan pemahaman dirinya buruk atau bahkan tidak ada.
Diagnosis pada pasien gangguan skizofrenia dapat ditegakkan pada fase aktif,
biasanya terdapat waham, halusinasi, hendaya penilaian realita, serta gangguan
alam pikiran, perasaan dan perilaku. 4

c. Fase Residual

12
Pada fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis
skizofrenia, hanya tersisa beberapa gejala sisa, misalnya berupa penarikan diri,
hendaya fungsi peran, perilaku aneh, hendaya perawatan diri, afek tumpul afek
datar, merasa mampu meramal atau peristiwa yang belum terjadi, ide atau gagasan
yang aneh, tidak masuk akal.4

2.5. KRITERIA DIAGNOSTIK

Kriteria Diagnosis Kriteria diagnosis skizofrenia pada PPDGJ-III atau ICD-10


yakni sebagai berikut :

a. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang sangat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala tersebut kurang jelas) :

1) Isi pikiran

a) Thought echo yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda;

b) Thought incertion or withdrawal yaitu isi pikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu
dari luar dirinya; dan

c) Thought broadcasting yaitu isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang


lain atau umum mengetahuinya. 2

2) Waham atau Delusinasi

a) Delusion of control yaitu waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu


kekuatan tertentu dari luar;

b) Delusion of influence yaitu waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu


kekuatan tertentu dari luar;

13
c) Delusion of passivity yaitu waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar;

d) Delusion perception yaitu pengalaman indrawi yang tak wajar, yang


bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat. 2

3) Halusinasi berupa suara yang berkomentar secara terus menerus terhadap


perilaku pasien yang mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri; atau
jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh. 2

4) Waham-waham menetap lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap


tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu atau kemampuan di atas manusia biasa2

b. Atau paling sedikitnya dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada
secara jelas:

1) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja , apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus menerus.

2) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation)
yang berakibat inkoherensia atau pembicaraan yang tidak relevan atau
neologisme.

3) Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh


tertentu (posturing) atay fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.

4) Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons emosional
yang menumpul tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari
pergaulan sosial dan menurunya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neureptika. 2

c. Adapun gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun


waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal); 2

14
d. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan,
tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitute),
dan penarikan diri secara sosial. 2

2.6.  TERAPI
Selama lebih dari 50 tahun telah mengkonfirmasi bahwa obat ant
ipsikotik efektif dalam skizofrenia. Agen ini efektif untuk mengur
angi keparahan gejala psikotik pada individu yang mengalami episod
e skizofrenia akut dan efektif untuk mengurangi risiko kekambuhan
psikotik pada pasien yang stabil.14 Obat-obatan yang digunakan untu
k mengobati schizofrenia disebut antipsikotik. Antipsikotik merupa
kan terapi obat-obatan pertama yang efektif mengobati schizoprenia.
Obat antipsikotik dibagi menjadi 2 yaitu antipsikotik golongan pe
rtama (antipsikotik tipikal) dan antipsikotik golongan kedua.15

Obat golongan pertama Fenotiazin, Butirofenon, Difenilbupiperi


din dan obat golongan kedua Clozapin, Risperidon, Paliperidon, Ola
nzapin, Quetiapin, Aripiprazol, Zisprasidon. Melakukan terapi pada
episode pertama skizofrenia adalah tantangan khusus. Diagnosis bis
a sulit ditegakkan dan gambaran klinisnya mungkin rumit karena pen
yalahgunaan zat dan faktor lainnya. Untungnya, pasien episode pert
ama memiliki tingkat respons yang tinggi dan mereka cenderung mere
spons antipsikotik dosis rendah. Sayangnya, pasien episode pertama
bisa lebih sensitif terhadap efek samping obat. Data terbaru menun
jukkan bahwa pasien yang lebih muda cenderung sangat sensitif terh
adap efek metabolik olanzapine Akibatnya, PORT merekomendasikan ba
hwa antipsikotik selain olanzapine dan clozapine menjadi pengobata
n lini pertama untuk episode pertama psikosis pada pasien yang leb
ih muda.14

15
Tatalaksana Tuntunan yang dibuat oleh American Psychiatric Ass
ociation (APA) membagi dalam tiga fase penyakit;

Fase psikotik akut yaitu bila seorang dengan skizofrenia menga


lami episode pertama atau eksaserbasi. Agitasi merupakan gejala ya
ng paling sering ditemui pada fase akut skizofrenia. Pada agitasi
terlihat adanya ansietas yang disertai dengan kegelisahan motorik,
peningkatan respon terhadap stimulus internal atau eksternal, peni
ngkatan aktivitas verbal atau motorik yang tidak bertujuan. Agitas
i juga bermanifestasi sebagai iritabilitas, tidak kooperatif, leda
kan kemarahan, sikap atau ancaman secara verbal, destruktif, dan p
enyerangan fisik. Selain itu, sensitivitas sosialnya menurun dan i
mpulsivitasnya meningkat. Misalnya, secara tiba-tiba pasien melemp
ar makanan ke lantai. Tindakan impulsivitas yang serius dapat beru
pa melukai orang lain atau bunuh diri. Tindakan ini dapat disebabk
an oleh adanya waham atau halusinasi yang berbentuk perintah yang
menyuruh pasien melakukan tindakan tersebut. Adanya riwayat tindak
an kekerasan sebelumnya atau perilaku yang berbahaya selama di rum
ah sakit, halusinasi dan waham dapat memprediksi tindakan kekerasa
n. Selama periode agitasi, pasien terlihat susah tidur, gejala-gej
ala berfluktuasi dengan cepat. Secara subjektif, pasien sangat men
derita akibat gejala-gejala yang ada. Selain itu, agitasi merupaka
n gejala yang sangat menakutkan karena sering meningkat menjadi pe
rilaku atau tindakan kekerasan (violence) dan destruktif. Tindakan
kekerasan yaitu agresi fisik oleh seseorang yang ditujukan kepada
orang lain. Yang sering menjadi korban kekerasan adalah keluarga,
petugas medik atau pasien lainnya. Oleh karena itu, intervensi cep
at sangat diperlukan untuk mencegah pasien melukai dirinya, keluar
ga atau orang lain.22

Tujuan terapi pada fase akut adalah untuk mengontrol simptom p


sikotik yang berat yaitu halusinasi, waham dan perliaku gaduh geli
sah. Instrumen PANSS- EC (Positive and Negative Symptoms Scale-Exc
ited Component) digunakan untuk mengukur derajat gaduh gelisah. Di
17
katakan gaduh gelisah bila PANSS EC lebih dari .

16
Terapi ini untuk mencegah pasien melukai dirinya atau orang la
in, mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejal
a psikotik dan gejala terkait lainnya, misalnya agitasi, agresi, d
an gaduh gelisah. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah berb
icara kepada pasien dan memberinya ketenangan. Langkah selanjutnya
yaitu keputusan untuk memulai pemberian obat oral. Pengikatan atau
penempatan pasien di ruang isolasi (seklusi) mungkin diperlukan da
n hanya dilakukan bila pasien berbahaya terhadap dirinya dan orang
lain serta bila usaha restriksi lainnya tidak berhasil. Pengikatan
tersebut hanya boleh untuk sementara yaitu sekitar dua-empat jam d
an ini digunakan untuk memulai pengobatan. Setelah mendapat obat,
biasanya pasien akan lebih tenang. Pengisolasian dan pengikata
n harus didokumentasikan dengan baik. Kondisi fisik dan psikologik
nya harus selalu dipantau atau pasien tidak boleh dibiarkan begitu
saja. Semua perubahan dan kemajuannya harus dicatat. Isolasi tidak
boleh dilakukan terhadap pasien dengan penyakit fisik berat. Fakto
r-faktor yang menyebabkan terjadinya episode akut, perlu pula dike
tahui. Mengembalikan pasien sesegera mungkin ke derajat fungsi pal
ing tinggi sebelumnya, mengembangkan aliansi dengan pasien dan kel
uarga,memformulasikan rencana terapi jangka pendek dan jangka panj
ang, menghubungkan pasien dengan institusi perawatan yang sesuai d
i komunitas, perlu pula dilakukan.

Intervensi psikososial pada fase akut bertujuan untuk menguran


gi stimulus yang berlebihan, stresor lingkungan dan peristiwa-peri
stiwa kehidupan. Memberikan ketenangan kepada ODS atau mengurangi
keterjagaan (arousal) melalui komunikasi yang baik, memberikan duk
ungan atau harapan, menyediakan lingkungan yang nyaman, tidak menu
ntut, toleran, hubungan yang bersifat suportif dengan klinikus dan
tim yang memberi layanan perawatan, perlu dilakukan.

Terapi farmakologi harus segera diberikan kepada pasien dengan


agitasi akut karena agitasi, baik pada episode pertama maupun eksa
serbasi akut, berkaitan dengan penderitaan, mengganggu kehidupan p
asien, berisiko melukai diri sendiri, orang lain, dan merusak bend

17
a-benda. Walaupun demikian, terapi yang diberikan jangan sampai me
mengaruhi penilaian terhadap diagnosis. Obat injeksi lebih baik da
ripada obat oral karena awitan kerja lebih cepat, kadar puncak pla
sma dicapai setelah 30 menit dan efek klinis terlihat setelah 15 m
enit.

Obat APG-II injeksi lebih dianjutkan karena efek samping yang


lebih minim daripada APG-1 mesikpun efektif untuk mengatasi gaduh
gelisah tetapi efek samping serius dapat terjadi. Obat- obat yang
dapat digunakan untuk mengatasi gaduh gelisah:

(a) Olanzapin, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus, dapat diula


ng setiap dua jam, dosis maksimum 30 mg/hari.

(b) Aripiprazol, dosis 9,75 mg/injeksi, intramuskulus, dapat d


iulang setiap dua jam, dosis maksimum 29,5 mg/hari

(c) Haloperidol, dosis 5 mg/injeksi, intramuskulus, dapat diul


ang setiap setengah jam, dosis maksimum 20 mg/hari

(d) Diazepam, 10mg/injeksi. Intramuskulus atau intravena, dosis ma


ksimum 30 mg/hari. Bila pasien dengan agitasi berat, kombinasi ant
ara haloperidol dengan diazepam boleh diberikan. Olanzapin dan ari
piprazole tidak boleh dikombinasikan dengan diazepam karena dapat
terjadi pemanjangan QTc sehingga dapat terjadi kematian mendadak.14

Fase stabilisasi. Selama fase stabilisasi, tujuan terapi adala


h mengurangi stres pada pasien dan memberikan dukungan untuk mengu
rangi kekambuhan, meningkatkan adaptasi pasien terhadap kehidupan
dalam masyarakat, memfasilitasi pengurangan gejala secara terus-me
nerus dan konsolidasi remisi, dan meningkatkan proses penyembuhan.
Bila pasien memiliki perbaikan dengan obat tertentu, obat ters
ebut dapat dilanjutkan dan dipantau selama enam bulan. Penurunan d
osis atau penghentian pengobatan pada fase ini dapat menyebabkan k
ekambuhan. Penilaian efek samping yang sudah terlihat pada fase ak
ut secara terus- menerus perlu dilakukan. Selain itu, penyesuaian
farmakoterapi untuk mengurangi efek samping yang dapat menyebabkan

18
ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan kekambuhan perlu pula diper
timbangkan. Tidak adanya jurang dalam pemberian pelayanan sangat p
enting karena pasien rentan terhadap kekambuhan setelah fase akut.
Orang dengan skizofrenia memerlukan dukungan dalam menjalani kehid
upan normalnya dan aktivitasnya dalam masyarakat. Untuk pasien yan
g dirawat, membuat perjanjian dengan klinikus di luar perawatan da
pat dilakukan sebelum keluar dari rumah sakit. Penyesuaian untuk h
idup di komunitas dapat difasilitasi melalui tujuan yang realistik
tanpa tekanan untuk melakukan pekerjaan dan sosial pada tingkat ya
ng lebih tinggi. Harapan yang berlebihan dapat menjadi stresor dan
meningkatkan risiko kekambuhan.

Tujuan terapi selama fase stabilisasi adalah menyakinkan pasie


n bahwa gejala yang sudah terkontrol harus dipertahankan sehingga
pasien bisa mempertahankan dan memperbaiki derajat fungsi dan kual
itas hidupnya. Edukasi tentang perjalanan dan luaran (outcome) pen
yakit, misalnya kepatuhan terhadap pengobatan dapat dimulai pada f
ase ini. Edukasi tentang manfaat obat, efek samping dan perlunya k
epatuhan terhadap obat, juga harus diberikan kepada keluarga. Fase
ini adalah fase dimana akut sudah terkontrol tetapi pasien masih b
erisiko terjadinya episode baru bila ia mengalami stresor atau bil
a obat dihentikan. Fase ini berlangsung selama 6 bulan setelah pul
ih dari simptom akut. Dosis dan jenis obat yang sama harus diperta
hankan pada fase ini. Pada fase ini pendekatan psikososial ditujuk
an untuk meningkatkan keterampilan orang dengan skizofrenia dan ke
luarga dalam mengelola gejala. Sifat pendekatan lebih luwes, menga
jak orang dengan skizofrenia untuk mengenali gejala-gejala, melati
hkan cara mengelola gejala, melatihkan kemampuan merawat diri, men
gembangkan kepatuhan menjalani pengobatan. Teknik intervensi peril
aku bermanfaat untuk diterapkan pada fase ini.

Fase stabil atau rumatan yaitu fase pasien berada dalam stadiu
m remisi. Tujuan terapi fase ini adalah untuk mencegah kekambuhan
dan membantu pasien kembali ke fungsi semulanya. Untuk menentukan
tercapainya remisi harus digunakan kriteria remisi PANSS (Positive

19
and Negative Symptoms Scale) yang nilainya tidak boleh lebih dari
3 dan harus bertahan selama 6 bulan. Ketidakpatuhan terhadap pengo
batan merupakan penyebab utama kambuhnya gejala psikotik pada skiz
ofrenia. Untuk meningkatkan kepatuhan perlu mengedukasi pasien dan
keluarga, mengurangi efek samping dan menyederhanakan cara pemberi
an obat. Paradigma terbaru tentang pengobatan skizofrenia yaitu te
rcapainya kepulihan (recovery). Dinyatakan pulih bila pasien bebas
dari simptom skizofrenia atau tidak ada lagi gejala dan membaiknya
fungsi sosial serta pekerjaan pasien, berlangsung minimal dua tahu
n, Paasien tetap dalam pengobatan.12,14

Terapi selama fase stabil bertujuan untuk mempertahankan remis


i gejala atau untuk mengontrol, meminimalisasi risiko atau konseku
ensi kekakambuhan dan mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan
(recovery). Penilaian Pada Fase Stabil Pemantauan yang terus-mener
us dan penilaian selama fase stabil penting untuk menentukan manfa
at obat yang didapat oleh pasien. Penilaian yang terus-menerus mem
buat pasien atau semua yang berinteraksi dengan pasien dapat meman
tau setiap perubahan gejala dan fungsi. Klinikus dapat mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tentang gejala tertentu dan efek samping. Pe
nggunaan Antipsikotika Pada Fase Stabil Setelah pasienmencapai fas
e stabil atau fase terapi rumatan, perencanaan terapi jangka panja
ng untuk mengurangi risiko kekambuhan, memantau dan mengurangi ber
atnya efek samping obat, perlu dilakukan. Penggunaan atipsikotika
pada fase stabil dapat mengurangi risiko kekambuhan hingga 30% per
tahun. Tanpa terapi rumatan, sekitar 60%-70% pasien akan mengalami
kekambuhan dalam satu tahun. Dalam dua tahun, kekambuhan dapat men
capai 90%. Kepatuhan terhadap obat yang digunakan sangat diperluka
n. Perlu menjalin aliansi terapetik dengan pasien agar kepatuhan t
erhadap pengobatan meningkat. Menentukan dosis efektif minimum yan
g dapat mencegah kekambuhan pada fase stabil memang agak sulit. Ti
dak ada ketentuannya sampai saat ini. Dosis tinggi sering lebih ef
ektif mengurangi kekambuhan bila dibandingkan dengan dosis rendah.
Meskipun demikian, dosis yang lebih tinggi sering menyebabkan besa

20
rnya efek samping sehingga sering tidak dapat ditoleransi. Oleh ka
rena itu, klinikus hendaklah berusaha menggunakan obat dengan dosi
s yang efek sampingnya minimal tetapi masih dalam kisaran dosis ef
ektif obat yang bersangkutan.

Obat APG-II dapat digunakan pada dosis terapetik karena ia tid


ak akan menginduksi efek samping ekstrapiramidal. Keuntungan menur
unkan dosis menjadi “dosis efektif minimal” harus menjadi pertim
bangan risiko kekambuhan dan sering terjadi eksasebasi skizofrenia.
Saat ini terbukti bahwa obat-obat APG-II berpotensi mencegah keka
mbuhan. Hal ini dapat disebabkan oleh tingginya kepatuhan, baiknya
efikasi, atau kurangnya efek samping. Ada berbagai efek samping AP
G-II, misalnya neurologik, metabolik, seksual, endokrin dan kardio
vaskuler. Pemantauan efek samping ini harus dilakukan secara teru
s-menerus. Antipsikotika bisa menyebabkan perbaikan yang substansi
al bahkan menyebabkan terjadinya remisi gejala positif. Namun, seb
agian besar pasien tetap mengalami hendaya fungsi pekerjaan atau s
osial karena adanya gejala negatif, defisit kognitif, dan gejala a
fektif. Penyebab gejala negatif residual hendaklah dievaluasi kare
na ia dapat disebabkan akibat sekunder sindrom parkinsonisme atau
sindrom depresi mayor yang tidak diobati.

Obat APG-II yang ada saat ini dapat mengatasi gejala negatif.
Risiko kekambuhan sangat tinggi bila pasien tidak menggunakan anti
psikotika. Bahkan, pasien dengan episode pertama yang tidak menggu
nakan antipsikotika, sekitar 80% mengalami kekambuhan setelah lima
tahun dalam keadaan remisi. Mempertahankan pengobatan yang terus-m
enerus dikaitkan dengan rendahnya kekambuhan. Klinikus hendaklah m
ediskusikan dengan pasien risiko jangka panjang terapi rumatan oba
t yang sedang digunakan. Selain itu, dampak kekambuhan, misalnya e
fek kekambuhan terhadap fungsi sosial, pekerjaan, perilaku yang be
rbahaya akibat kekambuhan, risiko terjadinya resisten terhadap pen
gobatan perlu pula diinformasikan). Bila ada keputusan untuk mengh
entikan pengobatan, penghentian harus berangsur-angsur (misalnya,
penurunan dosis sekitar 10% per bulan). Klinikus hendaklah mengedu

21
kasi pasien dan keluarga mengenai tanda-tanda awal kekambuhan dan
memberikan edukasi tindakan yang harus dilakukan bila gejala awal
in terlihat. Pada fase ini intervensi psikososial bervariasi terga
ntung pada status fungsional dari masing-masing orang dengan skizo
frenia.

Tujuan dari intervensi psikososial pada fase adalah untuk memp


ersiapkan orang dengan skizofrenia kembali pada kehidupan bermasya
rakat. Modalitas rehabilitasi spesifik seperti terapi remediasi ko
gnitif, pelatihan keterampilan sosial, dan terapi vokasional, coco
k untuk diterapkan pada fase ini. Pada fase ini orang dengan skizo
frenia dan keluarga juga diajarkan mengenali dan mengelola gejala
prodromal, sehingga mereka mampu mencegah kekambuhan berikutnya. I
ntervensi Farmakologi Antipsikotika efektif untuk skizofrenia baik
pada fase akut maupun pada fase yang sudah stabil dapat mengurangi
risiko kambuhnya psikotik. Tertundanya pengobatan dengan antipsiko
tika dapat memberikan dampak buruk jangka panjang misalnya burukny
a luaran simptom dan fungsi. Pemberian antipsikotika pada fase pro
dromal dapat mencegah atau menunda awitan skizofrenia.

Antipsikotika tidak hanya "antiskizofrenia". la juga efektif u


ntuk mengobati hampir semua bentuk psikosis misalnya, psikosis pad
a bipolar, pada depresi mayor, demensia, zat yang menginduksi geja
la psikosis, psikosis. Huntington dan psikosis lainnya akibat kond
isi medik.

Obat ini dibagi dalam dua kelompok, berdasarkan mekanisme kerj


anya, yaitu dopamine receptor antagonist (DRA) atau antipsikotika
generasi I (APG- I) dan serotonin dopamine antagonist (SDA) atau a
ntipsikotika generasi II (APG-II). Obat APG-I disebut juga antips
ikotika konvensional atau tipik sedangkan APG-II disebut juga anti
psikotika baru atau atipik. Sebaiknya skizofrenia diobati dengan A
PG-II. Baik efikasinya maupun efek sampingnya, APG-II lebih baik d
aripada APG-I. Sejumlah uji klinis dengan jumlah sampel besar, mis
alnya NIMH CATTE (Clinical Artipsychotic Trials of Intervention Ef

22
fectiveness) dan CUtLASS (Cost Utility of the Latest Antipsychotic
s in Schizophrenia) melaporkan bahwa EPS sangat jarang terjadi pad
a APG-Il tetapi APG-II tertentu mempunyai efek samping yaitu sindr
om metabolik. Obat APG-I berguna terutama untuk mengontrol gejala-
gejala positif sedangkan untuk gejala negatif hampir tidak bermanf
aat. Bahkan, obat APG-1 dapat memperburuk simptom negatif dan meny
ebabkan defisit kognitif. Tidak begitu halnya dengan obat APG-II,
ia bermanfat, baik untuk gejala positif maupun negative. Saat ini,
standar emas adalah APG-II. Meskipun harganya lebih mahal tetapi m
anfaatnya sangat bear.24

Sebaiknya dipilh APG-II yang efektif dengan efek samping yang


lebih ringan. Sebagian pasien skizofrenia yang menjalani rawat jal
an. Harus diperhatikan beberapa hal berikut :

• Anjurkan pasien untuk konsultasi sesering mungkin untuk mem


antau keamanannya dan untuk mendeteksi deteriorasi awal (misalnya
setiap minggu,bulan, atau bahkan setiap beberapa bulan) tergan
tung dari reliabilitas pasien. Bila pasien tidak datang kontrol,
lakukan kunjungan rumah.

• Komunikasikan segala sesuatu kepada pasien dengan jelas dan


tidak ragu-ragu. Usahakan agar kita berorientasi tujuan dan faktu
al.

• Hindari diskusi berlebihan tentang halusinasi dan waham (me


skipun penelitian terbaru meyatakan bahwa penggunaan terapi ko
gnitif untuk merubah yang dipikirkan pasien tentang suara- suara
dapat mengurangi frekuensi suara-suara tersebut).

• Bantu pasien dengan hal-hal realita (misalnya; mengatur keh


idupan dan pekerjaan). Bantu pasien menghindari stres yang berl
ebihan. Kenalilah bahwa semakin produktif dan trampil pasien sema
kin besar kemungkinannya untuk memertahankan kesembuhan. Dorongla
h pasien untuk mendapatkan pekerjaan yang sesai.

• Berikan latihan keterampilan sosial.

23
• Bicaralah tentang obat (misalnya; kebutuhan terhadap obat,
perasaan pasien tentang pemakaian obat, dll)

• Kembangkanlah hubungan penuh kepercayaan yang konsisten (se


ring sulit). Terus meneruslah bersikap empati, bahkan ketika pasi
en dalam keadaan sangat kacau, tetapi juga mempertahankan sikap p
rofesional.

• Pelajarilah kekuatan dan kelemahan pasien. Ajarkan pasien u


ntuk mengidentifikasi dekompensasi yang mengancam. Bila ada, ket
ahuilah faktor presipitasinya. Bila pasientidak datang untuk ko
ntrol, perlu dicari tahu penyebabnya (mungkin sedang kambuh). B
ila pasien sedang dekompensasi, desaklah untuk dirawat. Kenalil
ah bahwa ketergantungan dan stimulasi yang belebihan dapat memp
resipitasi terjadinya dekompensasi. Pasien ini berisiko untuk
melakukan bunuh diri ketika iasakit (terutama bila pasien mempunya
i halusinasi komando yang memerintahkan untuk merusak diri sendi
ri).

• Lakukan evaluasi keluarga

• Jangan berharap terlalu banyak. Kebanyakan pasien mempunyai


disabilitas kronik14

2. 7 EKSTRAPIRAMIDAL SYNDROM

Extrapyramidal Syndrome (EPS) adalah istilah umum yang digunakan untuk


menggambarkan berbagai macam gangguan gerakan. EPS dapat dibagi menjadi
sindroma akut (yang berkembang umumnya dalam beberapa jam atau hari pasca
pengobatan) yaitu berupa distonia akut, akatisia, parkinsonisme dan sindroma
kronis (gangguan gerakan yang berkembang setelah periode pengobatan yang
berkelanjutan) berupa diskinesia tardif.

Efek semua obat antipsikotik yang ada saat ini diperantarai oleh pelemahan
transmisi dopamin melalui aksi antagonis atau agonis parsial berefikasi rendah
pada reseptor dopamin D2. Namun demikian, “ruang” antara dosis terapeutik dan
dosis yang menghasilkan efek samping, sangat bervariasi pada semua jenis obat

24
ini. Gejala motorik ekstrapiramidal (misalnya distonia akut dan gejala
parkinsonisme seperti bradikinesia dan tremor) adalah efek samping utama
antipsikotik yang diperantarai oleh blokade pengiriman sinyal ke reseptor D2 di
sirkuit dopaminergik nigrostriatal dan tuberoinfundibular(6).

Patomekanisme EPS sendiri memiliki beberapa hipotesis, seperti penyebab


distonia akut yang masih belum pasti tetapi mungkin melibatkan proses kerja
antipsikotik sehingga terjadi sensitivitas yang lebih tinggi pada pengiriman sinyal
dopamin selanjutnya. Teori lain juga mengaitkan keadaan hipodopaminergik yang
menghasilkan aktivitas kolinergik yang lebih tinggi dan peningkatan sensitivitas
reseptor muskarinik asetilkolin. Antipsikotik yang juga memblokade reseptor D2

25
dan menyebabkan akatisia atau parkinsonisme imbas obat, lama kelamaan akan
menghasilkan diskinesia tardif. Salah satu teori penyebab diskinesia tardif
berhubungan dengan hipersensitivitas reseptor dopamin (khususnya reseptor D2).

1. Distonia Akut

Distonia adalah kontraksi otot secara terus menerus yang menyebabkan


gerakan atau postur menjadi tidak normal. Gangguan ini terjadi lebih sering pada
penggunaan antipsikotik tipikal, dan dapat mempengaruhi 3 hingga 10% individu.
Distonia yang diinduksi antipsikotik biasanya bersifat fokal, meskipun dalam
kasus yang jarang, dapat mempengaruhi beberapa kelompok otot. Reaksi distonia
bervariasi dalam hal lokasi dan tingkat keparahan serta kadang-kadang
menimbulkan nyeri. Manifestasi yang biasa terjadi adalah distonia orofasial,
lengkungan punggung, dan ekstensi leher. Laringospasme yang mengancam jiwa
juga dapat terjadi(1,7).

Beberapa waktu lalu sebelum agonis dopamin (seperti L-dopa) dan


antikolinergik (seperti benztropin) dipakai untuk mengobati Parkinson, telah
diketahui bahwa penyakit Parkinson disebabkan oleh penghancuran neuron
dopamin di daerah nigrostriatal, hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan timbal
balik antara asetilkolin dan dopamin di otak. Antikolinergik dianggap dapat
memperbaiki gejala parkinson dengan meningkatkan kadar dopamin endogen(7).
Distonia akut akibat antipsikotik diperkirakan terjadi melalui jalur ini pada
parkinson. Biasanya, neuron dopaminergik di jalur nigrostriatal memiliki efek
penghambatan pada interneuron kolinergik yang mengatur gerakan motorik dalam
tubuh. Ketika antagonis dopamin (yaitu antipsikotik) diberikan maka dopamin
endogen akan menurun. Karena antipsikotik mengurangi efek penghambatan
dopamin, hal ini menyebabkan peningkatan pelepasan interneuron kolinergik, dan
peningkatan pelepasan asetilkolin. Kombinasi penurunan dopamin (blokade
dopamin nigrostriatal pascasinaptik) dan asetilkolin yang berlebihan dianggap
menciptakan ketidakseimbangan dopaminergik-kolinergik yang mengarah pada
perkembangan gejala ekstrapiramidal (termasuk Parkinsonisme)(7).

26
Teori ini didukung oleh beberapa pengamatan dimana distonia akut biasanya
terjadi setelah inisiasi agen antipsikotik, peningkatan dosis atau peralihan ke obat
antipsikotik dengan potensi yang lebih tinggi, terutama yang diberikan secara
injeksi. Distonia akut juga kurang umum pada orang tua karena tingkat aktivitas
reseptor dopamin (D2) yang lebih rendah secara keseluruhan. Sebaliknya, ketika
obat antikolinergik (seperti benztropin) diberikan, obat tersebut akan melawan
aktivitas kolinergik yang berlebihan, dan mengurangi distonia akut dan
Parkinsonisme. Hal ini juga menjelaskan bahwa antipsikotik yang tergolong
antikolinergik (seperti klozapin, quetiapin) memiliki insiden EPS yang lebih
rendah(7).

2. Parkinsonisme

Parkinsonisme adalah sindrom klinis berupa kekakuan, tremor, dan


bradikinesia. Penyebab paling umum dari parkinsonisme adalah penyakit
Parkinson, tetapi parkinsonisme juga dapat terjadi karena penggunaan antipsikotik
(lebih tepatnya disebut sebagai Parkinsonisme yang diinduksi obat, atau
pseudoparkinsonisme, karena gejalanya bukan dari Penyakit Parkinson yang
sebenarnya). Biasanya muncul dalam beberapa hari setelah memulai pengobatan,
atau mungkin berkembang perlahan selama beberapa minggu(9).

Manifestasinya dapat berupa trias parkinsonisme: bradikinesia, rigiditas,dan


tremor, meskipun biasanya tidak terlalu khas. Tremor dianggap sebagai tanda
utama parkinsonisme yang diinduksi antipsikotik. Gejala dan tanda-tanda lain
termasuk gaya berjalan yang tidak stabil, berkurangnya kekompakan anggota
gerak, anteropulsi, hipomimia, dan sialore. Tremor postural lebih umum daripada
tremor istirahat. Tremor bibir dan otot perioral dapat diamati juga, yang juga
disebut "Rabbit Syndrome", dan drooling (tremor kasar tangan seperti sedang
membuat pil)(1).

Sekitar (40%) dari pasien yang lebih tua yang diobati dengan antipsikotik
tipikal dapat berkembang menjadi parkinsonisme yang diinduksi obat bahkan
pada dosis rendah. Antipsikotik atipikal sendiri memiliki insiden yang lebih

27
rendah dalam menyebabkan parkinsonisme(9). Interval antara penggunaan obat
dan timbulnya gejala-gejala parkinsonisme berkisar beberapa hari hingga
beberapa bulan. Parkinsonisme imbas obat biasanya berkembang antara 2 minggu
hingga 1 bulan setelah pemberian antipsikotik atau peningkatan dosis. Dalam
suatu penelitian, ditemukan (50-70%) kasus berkembang dalam 1 bulan dan
(90%) dalam 3 bulan(7).

Blokade jangka panjang reseptor D2 dan hipersensitivitas reseptor dopamine


(khususnya reseptor D2) selanjutnya dapat menyebabkan plastisitas maladaptif
dalam transmisi jaras striatokortikal hingga menyebabkan ketidakseimbangan
antara jalur langsung dan tidak langsung. Blokade reseptor D2 oleh obat
antipsikotik yang bekerja di striatum diperkirakan menyebabkan disinhibisi
GABA dan neuron striatal yang mengandung ensefalin di jalur tidak langsung
tanpa mempengaruhi jalur langsung di ganglia basalis, bersama dengan disinhibisi
nukleus subtalamus(7).

Perubahan keluaran jalur tidak langsung dari ganglia basalis-thalamocortical


motor loop, mirip dengan perubahan yang terlihat pada penyakit Parkinson.
Parkinsonisme yang diinduksi obat juga disebabkan oleh defisiensi dopamin di
otak. Reserpin, dan tetrabenazine analognya, mencegah penyimpanan dopamin
dengan mengganggu granula intra-neuronal yang mengandung amina(7).

3. Akathisia

Akathisia merupakan sensasi kegelisahan batin dan adanya dorongan untuk


terus bergerak dimana pasien biasanya akan mengulangi gerakan tanpa tujuan.
Akatisia akut sering dikaitkan dengan iritabilitas dan agitasi(9). Akatisia sangat
umum terjadi (sekitar setengah dari semua kasus EPS), kurang disadari, dan sulit
diobati yang terjadi sebagian besar dalam tiga bulan pertama perawatan(1).

Secara objektif dapat dilihat pasien akatisia menunjukkan kegelisahan dengan


gejala-gejala kecemasan, dan atau agitasi serta gerakan motorik berulang, mondar
mandir dan tidak bisa duduk diam(10). Patofisiologi akatisia kurang dipahami,
namun akathisia diperkirakan terjadi karena berkurangnya transmisi dopamin di

28
otak. Sindrom ekstrapiramidal terutama distonia akut dan pseudoparkinsonisme,
diperkirakan disebabkan oleh ketidakseimbangan dopamin dan asetilkolin di jalur
nigrostriatal otak yang diinduksi oleh agen antipsikotik yang memblokir reseptor
dopamin tipe-2(7).

Distonia dan pseudoparkinsonisme sering ditangani dengan agen


antikolinergik bersamaan seperti benztropin. Akathisia juga diamati pada agen
antipsikotik yang memblokir reseptor dopamin tipe-2, dan mendukung teori
bahwa akathisia juga terkait dengan berkurangnya transmisi dopamin di otak.
Namun, akatisia umumnya tidak merespon agen antikolinergik, hal ini
menunjukkan adanya mekanisme patofisiologi alternatif lain terkait terjadinya
akatisia(7).

4. Diskinesia Tardif

Diskinesia tardif merupakan efek samping pemakaian antipsikotik jangka


panjang tanpa pengawasan yang tepat. Diskinesia tardif adalah gerakan tidak
sadar yang abnormal setelah minimal 3 bulan perawatan antipsikotik pada pasien
tanpa penyebab lain yang dapat diidentifikasi. Perkiraan prevalensi diskinesia
tardif dari paparan antipsikotik diperkirakan (30%) dengan antipsikotik generasi
pertama, dan (20%) dengan antipsikotik generasi kedua(9).

Gejala diskinesia tardif dapat berupa gerakan stereotipik berulang pada otot-
otot wajah, mulut, dan lidah yang disebut sebagai diskinesia orofasial berupa
gerakan memutar lidah, bibir mengerut, dan gerakan mengunyah. Otot-otot wajah
bagian atas lebih jarang dipengaruhi oleh gerakan-gerakan tak sadar. Namun
demikian, dapat terlihat peningkatan kedipan mata, blefarospasme, gerak
mengernyit, dan kedutan mata. Gerakan tubuh yang bergoyang-bergoyang
bersama dengan dorongan panggul (diskinesia kopulatorik) kadang-kadang dapat
ditemukan. Pada bentuk yang meluas, pasien terlihat menyentak kaki, dan ada
fleksi-ekstensi lutut berulang yang tidak teratur. Saat berdiri di tempat, pasien

29
cenderung untuk menggeser berat badan mereka dari satu kaki ke kaki yang lain
atau berjalan mondar-mandir(7).

Patofisiologi diskinesia tardif masih kurang dipahami, tetapi diyakini sebagai


hasil dari blokade kronis reseptor dopamin, terutama D2 dan D3 oleh Dopamine
Receptor Blockers Agents (DRBAs). Antipsikotik "tipikal" mengikat erat dan
tetap melekat pada reseptor D2 untuk waktu yang lebih lama (beberapa hari)
daripada agen "atipikal". Oleh karena itu, DRBAs memiliki efek antipsikotik yang
lebih kuat tetapi kecenderungan yang jauh lebih tinggi untuk menyebabkan
diskinesia tardif daripada obat antipsikotik "atipikal", yang memiliki tingkat
antagonisme reseptor D2 yang relatif rendah dan disosiasi yang cepat (12-24 jam
setelah dosis tunggal) dari reseptor D2, sehingga hal ini mungkin menjelaskan
risiko diskinesia tardif yang lebih rendah(8).

Salah satu teori yang paling menonjol tentang patogenesis diskinesia tardif
adalah bahwa paparan kronis terhadap neuroleptik menghasilkan peningkatan
regulasi reseptor D2 dengan supersensitivitas reseptor dopamin pascasinaps. Teori
ini sulit dibuktikan tetapi didukung oleh pengamatan umum bahwa peningkatan
dosis DRBAs dapat meringankan gejala diskinesia tardif untuk sementara, dan
penghentian obat secara tiba-tiba dapat memperburuk atau bahkan menyebabkan
diskinesia tardif. Karena reseptor D2 adalah reseptor penghambat yang
diekspresikan pada neuron berduri sedang yang diproyeksikan ke jalur tidak
langsung, hipersensitivitasnya dapat mengakibatkan disinhibisi globus pallidus
internus dan nukleus subtalamus, menghasilkan berbagai gangguan gerakan
hiperkinetik.

Di sisi lain, dopamin supersensitivitas reseptor dan teori upregulation receptor


tidak dapat menjelaskan mengapa diskinesia tardif sering bertahan selama
bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun setelah penghentian DRBAs(8). Teori
lain dari patogenesis diskinesia tardif, didukung oleh penelitian pada hewan
(tikus, primata) didapatkan bahwa neuron yang mengandung asam -aminobutirat
(GABA) striatal yang rusak atau disfungsional menyebabkan hipofungsi
GABAergik dan degenerasi interneuron GABAergik striatal cepat yang mengatur
keseimbangan antara jalur ganglia basal langsung dan tidak langsung. Menurut

30
hipotesis "plastisitas sinaptik maladaptif" yang baru-baru ini diajukan,
hipersensitivitas reseptor D2 dan perubahan degeneratif pada neuron yang
disebabkan oleh peningkatan stres oksidatif dapat mengakibatkan efek sekunder
pada plastisitas sinaptik sinapsis glutamatergik pada interneuron striatal,
menyebabkan ketidakseimbangan antara ganglia basal jalur langsung dan tidak
langsung yang dapat menghasilkan output abnormal ke korteks sensorimotor.
Plastisitas sinaptik kortikal maladaptif, ditambah dengan output ganglia basal
yang abnormal, dapat menyebabkan pembentukan program motorik yang salah
kode dan gerakan abnormal(8).

Selain dopamin, reseptor neurotransmiter lain juga memiliki kecenderungan


untuk terjadinya diskinesia tardif, terutama reseptor 5-hydroxytryptamine 2 (5-
HT2) yang didistribusikan secara luas di striatum dan dianggap terlibat dalam
modulasi aktivitas motorik melalui interaksi dengan neurotransmisi dopaminergik.
Aktivitas penghambatan reseptor 5-HT2 yang tinggi dari antipsikotik “atipikal”,
dikombinasikan dengan jumlah reseptor D2 yang rendah, telah dianggap protektif
terhadap diskinesia tardif karena relatif kurangnya peningkatan regulasi reseptor
D2(8).

2.8.    PROGNOSIS

Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronik. Pasien secara berangs


ur-angsur menjadi semakin menarik diri dan tidak mampuberfungsi setelah bertah
un-tahun. Pasien dapat mempunyai waham dengan taraf ringan dan halusinasi yan
g tidak begitu jelas (samar-samar). Sebagian gejala akut dan gejala yang lebih dra
matik hilang dengan berjalannya waktu, tetapin pasien membutuhkan perlindunga
n atau menghabiskan waktunya bertahun-tahun di dalam rumah sakit jiwa

BAB III

31
KESIMPULAN

Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang dapat mempengaruhi
pikiran, perasaan dan perilaku individu. Skizofrenia adalah bagian dari gangguan
psikosis yang terutama ditandai dengan kehilangan pemahaman terhadap realitas
dan hilangnya daya tilik diri(insight).Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)2018
menunjukkan, prevalensiskizofrenia/psikosis di Indonesia sebanyak 6,7 per 1000
rumah tangga. Menurut data WHO pada tahun 2019, sebanyak 20 juta orang di
seluruh dunia yang menderita skizofrenia.

Schizoprenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan


penurunan atau ketidak mampuan berkomunikasi, gangguan realitas (halusinasi
atau waham), efek tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif (tidak mampu
berfikir abstrak) serta mengalami kesukaran melakukan aktifitas seharihari.

Beberapa neurotransmitter yang bekerja lalu terganggu pada pas


ien skizofrenia yaitu dopamin, GABA, serotonin, glutamat, norepine
frin, serta asetilkolin. Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati
schizoprenia disebut antipsikotik. Antipsikotik merupakan terapi obat-obatan
pertama yang efektif mengobati schizoprenia. Obat antipsikotik dibagi menjadi 2
yaitu antipsikotik golongan pertama (antipsikotik tipikal) dan antipsikotik
golongan kedua.

Extrapyramidal Syndrome (EPS) adalah istilah umum yang digunakan untuk


menggambarkan berbagai macam gangguan gerakan. EPS dapat dibagi menjadi
sindroma akut (yang berkembang umumnya dalam beberapa jam atau hari pasca
pengobatan) yaitu berupa distonia akut, akatisia, parkinsonisme dan sindroma
kronis (gangguan gerakan yang berkembang setelah periode pengobatan yang
berkelanjutan) berupa diskinesia tardif. Prognosisnya dari Skizofrenia
merupakan gangguan yang bersifat kronik.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Jesić MP, Jesić A, Filipović JB, Zivanović O. Extrapyramidal Syndromes


Caused by Antipsychotics. Med Pregl. 2012;

2. Musco S, Ruekert L, Myers J, Anderson D, Welling M, Cunningham EA.


Characteristics of patients experiencing extrapyramidal symptoms or other
movement disorders related to dopamine receptor blocking agent therapy. J Clin
Psychopharmacol. 2019;

3. Aryani F, Sari O. Gambaran Pola Penggunaan Antipsikotik pada Pasien


Skizofrenia di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa. J Manaj dan Pelayanan
Farm. 2016;6(1):35–40.

4. Vivi Asfianti, Alfi Sapitri Z. Gambaran Kejadian Ekstrapiramidal Sindrom


pada Pasien Terapi Antipsikotik Tipikal di Rumah Sakit Jiwa Aceh. Forte J.
2022;02(02):184–9.

5. Rompis NN, Mawuntu AHP, Jasi MT, Tumewah R. Sindrom Ekstrapiramidal. J


Sinaps. 2020;

6. Stahl SM. Stahl’s Essential Psychopharmacology: Neuroscientific Basis and


Practical Applications (4th Edition). Cambridge University Press. 2013.

7. Mehta SH, Morgan JC, Sethi KD. Drug-induced movement disorders.


Neurologic Clinics. 2015.

33
8. Waln O, Jankovic J. An update on tardive dyskinesia: From phenomenology to
treatment. Vol. 3, Tremor and Other Hyperkinetic Movements. 2013. p. 1–11.

9. Luft B. Extrapyramidal Side Effects. North Metrop Heal Serv – Ment Heal
March. 2014;21(1):1323–1251.

10. Indonesia U. Buku Ajar Psikiatri Edisi Ketiga. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2017.

11. D’Souza H. Extrapyramidal Symptoms. Treasure Isl StatPearls Publ NCBI.


2022;

12. Cornett EM, Novitch M, Kaye AD, Kata V, Kaye AM. Medication-induced
tardive dyskinesia: A review and update. Ochsner Journal. 2017.

13. Hendarsyah F. Faddly l Diagnosis dan Tatalaksana Skizofrenia Paranoid


dengan Gejala-Gejala Positif dan Negatif Diagnosis dan Tatalaksana Skizofrenia
Paranoiddengan Gejala-Gejala Positif dan Negatif.

14. Zahnia S, Wulan Sumekar D. Siti Zahnia & Dyah Wulan Sumekar | Kajian
Epidemiologis Skizofrenia MAJORITY I Volume 5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I
160.

15. World Health Organization (WHO). 2016. Diakses tanggal 3 Maret 2022
http://www.who.int/mental_health/en/.

34
16. D. Surya Yudhantara RI. Sinopsis Skizofrenia untuk Mahasiswa
Kedokteran . 2018;

17. Elvira DS dan HG (Ed). Buku ajar psikiatri. Edisi ke- 3. Cetakan ke-1. 2017;

18. Riset Kesehatan Dasar 2018. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan

KesehatanRepublik Indonesia.

19. Puri B.K laking PJ dkk. Buku Ajar Psikiatri edisi keII, Jakarta .EGC 2012.

20. Qurrotu S, Penelitian AK, Pengembangan D, Pati K. Faktor-Faktor Penyebab

Kekambuhan Pada Penderita Skizofrenia Setelah Perawatan Di Rumah Sakit

Jiwa Factors Assosiated Relapse Among Patient With Schizophrenia In Pati

Regency. Vol. Xi, JurnalLitbang. 2015.

21. Andari S, Besar B, Dan P, Pelayanan P, Sosial K. Pelayanan Sosial Panti

Berbasis Agama dalam Merehabilitasi Penderita Skizofrenia Religious Based

Social Services on Rehabilitation of Schizophrenic Patients [Internet].

Available from: www.litbang.depkes.go.id

22. R. Maslim. Diagnosis Gangguan Jiwa PPDGJ III dan DSM V. Bagian Ilmu

Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya. 2019;

35
23. Herrman Helen, Maj M, Sartorius N. Depressive disorders. Wiley-Blackwell;

2009.338 p.

24. Yuliastuti F, Mega Kusuma T. Pola Pengobatan Pasien Schizoprenia


(Hariyani, dkk)Pola Pengobatan Pasien Schizoprenia Program Rujuk Balik Di
Puskesmas Mungkid Periode Januari-Juni 2014 The Treatment Pattern Of
Schizoprenia Patient With Rujuk Balik Program InPrimary Health Care Mungkid
Period January-June 2014.

36

Anda mungkin juga menyukai