NEUROTRANSMITTER PADA
PASIEN SKIZOFRENIA
DISUSUN OLEH :
RESIDEN PEMBIMBING :
SUPERVISOR :
Nama :
NIM :
Adalah benar telah didiskusikan dan disetujui untuk dipresentasikan tugas referat i
ni dengan judul di atas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen Ilmu K
edokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Mengetahui,
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
2.1. Definisi.............................................................................................................3
2.2. Prevalensi.........................................................................................................4
2.3. Etiopatogenesis................................................................................................5
2.5. Diagnosis..........................................................................................................13
2.8. Prognosis......................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................32
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Pasien skizofrenia juga sembuh atau membaik dalam jangka panjang, lama,
kronis dan banyak pasien yang hidup dengan gangguan sampai usia tua (Strand et
al., 2020). Selain itu sekitar 6% dari populasi menderita penyakit mental persisten
yang parah merupakan penyakit mental yang kronis dan berulang yang
membutuhkan perawatan psikiatri intensif. Meskipun kebanyakan individu
dengan penyakit mental meninggal akibat kekerasan dan bunuh diri, tetapi
sebagian besar kematian juga disebabkan oleh penyakit kronis. Kematian akibat
penyakit kronis adalah multifaktorial seperti peningkatan penggunaan zat dan
gejala sisa medisnya, penurunan perawatan kesehatan preventif, dan akses yang
buruk ke perawatan medis.
Harapan hidup pasien skizofrenia dinegara maju rata rata kurang dari 20
tahun dari populasi berdasarkan usia, jenis kelamin maupun onset
skizofrenia.Kematian dini pada pasien skizofrenia akibat efek samping dari obat
antipsikotik,juga penyakit yang menyertai seperti jantung, kanker cedera maupun
pernafasan. Perawatan paliatif Sangat penting untuk menanggulangi penyakit,
memanajemen gejala dan mengurangi kecacatan. Selain itu juga dapat
meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi risiko bunuh diri pada pasien
dengan skizofrenia. Dengan memberi dukungan dan perhatian,perawatan paliatif
dapat dilakukan berdampingan dengan pengobatan kuratif seperti pada pasien
1
dengan terapi depresi refrakter dengan upaya bunuh diri berulang-ulang, pasien
yang memiliki niat untuk mati atau kasus skizofrenia yang parah. Peningkatan
perawatan paliatif untuk penyakit fisik pada pasien kesehatan mental sangat
penting mengingat banyak kasus komorbiditas dan tingkat kematian yang lebih
tinggi dari rata-rata pada pasien dengan SPMI karena gejala yang diabaikan atau
tidak diklasifikasikan dengan tepat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
3
2.2. PREVALENSI
4
2.3. ETIOPATOGENESIS
a. Biologi
b. Neurotransmitter
1) Hipotesis Dopamin
5
terhadap dopamin, atau kombinasi mekanisme tersebut. Jalur dopamin di otak
yang terlibat juga tidak dirinci dalam teori ini, meski jalur mesokortikal dan
mesolimbik paling sering disebut. Peran signifikan dopamin dalam
patofisiologi skizofrenia sejalan dengan studi yang mengukur konsentrasi
plasma metabolit utama dopamin, asam homovalinat. Studi melaporkan
adanya korelasi positif antara konsentrasi asam homovanilat dan tingkat
keparahan gejala yang timbul pada pasien. Penurunan asam homovalinat
berkorelasi dengan perbaikan gejala pada setidaknya beberapa pasien. 1
2) Norepinefrin
6
abnormalitas sistem noradrenergik mempredisposisikan pasien untuk
mengalami relaps yang sering. 1
3) Glutamat
Pada data postmortem (data yang diambil dari orang yang telah
meninggal) pasien skizofrenia menunjukkan adanya penurunan kadar
muskarinik dan reseptor nikotin di daerah putamen bagian kaudal,
hipokampus, dan beberapa bagian prefrontal cortex. Reseptor-reseptor ini
7
berperan penting dalam regulasi neurotransmiter yang berperan dalam
kesadaran sebagai individu pada seorang, yang mengalami gangguan pada
pasien skizofrenia. 1
5) GABA
6) Serotonin
8
skizofrenia didukung oleh pemberin antipsiotik atipikal antagonis 5HT2 yang
dapat memperbaiki gejala negatif dan efek samping motorik. Terdapat
perubahan jumlah reseptor 5HT2A dan 5HT1A kortikal pada skizofrenia,
reseptor 5HT2A yang mengaktivasi PFC juga dapat berdampak pada sistem
dopaminergik. Semua reseptor 5HT2A merupakan reseptor postsinap dan
berlokasi di banyak bagian otak. Ketika reseptor 5HT2A berada pada neuron
piramidal kortikal maka bersifat eksitatorik dan meningkatkan pelepasan
glutamat, sedangkan reseptor 5HT1A meregulasi pelepasan dopamin.
c. Genetika
d. Faktor Keluarga
9
Model Diatesis Stress ini yaitu untuk mengintegrasikan faktor biologis,
psikososial, dan lingkungan. Seseorang memiliki kerentanan spesifik (diathesis),
yang jika mengalami stress akan dapat memicu munculnya gejala skizofrenia.
Stressor atau diathesis ini bersifat biologis, lingkungan atau keduanya. Komponen
lingkungan biologikal (seperti infeksi) atau psikologis (seperti kematian orang
terdekat). 4
f. Psikososial
10
4) Teori Sosial Industrialisasi dan urbanisasi banyak berpengaruh dalam
menyebabkan gangguan skizofrenia. Data pendukung mengenai penekanan saat
ini adalah dalam mengetahui pengaruhnya terhadap waktu timbulnya onset dan
keparahan penyakit. 1
11
Perjalanan klinis gangguan skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan
meliputi beberapa fase, dimulai dengan keadaan prodromal (awal sakit), fase aktif,
dan keadaan residual (sisa). 4
a. Fase prodromal
Fase prodromal adalah tanda dan gejala awal suatu penyakit. Pemahaman
pada fase prodromal menjadi sangat penting untuk deteksi dini, karena dapat
memberi kesempatan atau peluang yang lebih besar untuk mencegah berlarutnya
gangguan, disabilitas dan memberi kemungkinan kesembuhan yang lebih besar
jika diberi terapi yang tepat. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia berupa
cemas, depresi, keluhan somatik, perubahan perilaku dan timbulnya minat baru
yang tidak lazim.
Keluhan somatik dapat berupa nyeri kepala, nyeri punggung, kelemahan dan
gangguan pencernaan. Perubahan minat, kebiasaan dan perilaku dapat berupa
pasien mengembangkan gagasan abstrak, filsafat dan keagamaan. Munculnya
gejala prodromal ini dapat terjadi dengan atau tanpa pencetus, misalnya trauma
emosi, frustasi karena permintaannya tidak terpenuhi, penyalahgunaan zat,
berpisah dengan orang yang dicintai.4
b. Fase aktif
Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis
yakni kekacauan alam pikir, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien terhadap
realita mulai terganggu dan pemahaman dirinya buruk atau bahkan tidak ada.
Diagnosis pada pasien gangguan skizofrenia dapat ditegakkan pada fase aktif,
biasanya terdapat waham, halusinasi, hendaya penilaian realita, serta gangguan
alam pikiran, perasaan dan perilaku. 4
c. Fase Residual
12
Pada fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis
skizofrenia, hanya tersisa beberapa gejala sisa, misalnya berupa penarikan diri,
hendaya fungsi peran, perilaku aneh, hendaya perawatan diri, afek tumpul afek
datar, merasa mampu meramal atau peristiwa yang belum terjadi, ide atau gagasan
yang aneh, tidak masuk akal.4
a. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang sangat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala tersebut kurang jelas) :
1) Isi pikiran
a) Thought echo yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda;
b) Thought incertion or withdrawal yaitu isi pikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu
dari luar dirinya; dan
13
c) Delusion of passivity yaitu waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar;
b. Atau paling sedikitnya dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada
secara jelas:
1) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja , apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus menerus.
2) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation)
yang berakibat inkoherensia atau pembicaraan yang tidak relevan atau
neologisme.
4) Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons emosional
yang menumpul tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari
pergaulan sosial dan menurunya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neureptika. 2
14
d. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan,
tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitute),
dan penarikan diri secara sosial. 2
2.6. TERAPI
Selama lebih dari 50 tahun telah mengkonfirmasi bahwa obat ant
ipsikotik efektif dalam skizofrenia. Agen ini efektif untuk mengur
angi keparahan gejala psikotik pada individu yang mengalami episod
e skizofrenia akut dan efektif untuk mengurangi risiko kekambuhan
psikotik pada pasien yang stabil.14 Obat-obatan yang digunakan untu
k mengobati schizofrenia disebut antipsikotik. Antipsikotik merupa
kan terapi obat-obatan pertama yang efektif mengobati schizoprenia.
Obat antipsikotik dibagi menjadi 2 yaitu antipsikotik golongan pe
rtama (antipsikotik tipikal) dan antipsikotik golongan kedua.15
15
Tatalaksana Tuntunan yang dibuat oleh American Psychiatric Ass
ociation (APA) membagi dalam tiga fase penyakit;
16
Terapi ini untuk mencegah pasien melukai dirinya atau orang la
in, mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejal
a psikotik dan gejala terkait lainnya, misalnya agitasi, agresi, d
an gaduh gelisah. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah berb
icara kepada pasien dan memberinya ketenangan. Langkah selanjutnya
yaitu keputusan untuk memulai pemberian obat oral. Pengikatan atau
penempatan pasien di ruang isolasi (seklusi) mungkin diperlukan da
n hanya dilakukan bila pasien berbahaya terhadap dirinya dan orang
lain serta bila usaha restriksi lainnya tidak berhasil. Pengikatan
tersebut hanya boleh untuk sementara yaitu sekitar dua-empat jam d
an ini digunakan untuk memulai pengobatan. Setelah mendapat obat,
biasanya pasien akan lebih tenang. Pengisolasian dan pengikata
n harus didokumentasikan dengan baik. Kondisi fisik dan psikologik
nya harus selalu dipantau atau pasien tidak boleh dibiarkan begitu
saja. Semua perubahan dan kemajuannya harus dicatat. Isolasi tidak
boleh dilakukan terhadap pasien dengan penyakit fisik berat. Fakto
r-faktor yang menyebabkan terjadinya episode akut, perlu pula dike
tahui. Mengembalikan pasien sesegera mungkin ke derajat fungsi pal
ing tinggi sebelumnya, mengembangkan aliansi dengan pasien dan kel
uarga,memformulasikan rencana terapi jangka pendek dan jangka panj
ang, menghubungkan pasien dengan institusi perawatan yang sesuai d
i komunitas, perlu pula dilakukan.
17
a-benda. Walaupun demikian, terapi yang diberikan jangan sampai me
mengaruhi penilaian terhadap diagnosis. Obat injeksi lebih baik da
ripada obat oral karena awitan kerja lebih cepat, kadar puncak pla
sma dicapai setelah 30 menit dan efek klinis terlihat setelah 15 m
enit.
18
ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan kekambuhan perlu pula diper
timbangkan. Tidak adanya jurang dalam pemberian pelayanan sangat p
enting karena pasien rentan terhadap kekambuhan setelah fase akut.
Orang dengan skizofrenia memerlukan dukungan dalam menjalani kehid
upan normalnya dan aktivitasnya dalam masyarakat. Untuk pasien yan
g dirawat, membuat perjanjian dengan klinikus di luar perawatan da
pat dilakukan sebelum keluar dari rumah sakit. Penyesuaian untuk h
idup di komunitas dapat difasilitasi melalui tujuan yang realistik
tanpa tekanan untuk melakukan pekerjaan dan sosial pada tingkat ya
ng lebih tinggi. Harapan yang berlebihan dapat menjadi stresor dan
meningkatkan risiko kekambuhan.
Fase stabil atau rumatan yaitu fase pasien berada dalam stadiu
m remisi. Tujuan terapi fase ini adalah untuk mencegah kekambuhan
dan membantu pasien kembali ke fungsi semulanya. Untuk menentukan
tercapainya remisi harus digunakan kriteria remisi PANSS (Positive
19
and Negative Symptoms Scale) yang nilainya tidak boleh lebih dari
3 dan harus bertahan selama 6 bulan. Ketidakpatuhan terhadap pengo
batan merupakan penyebab utama kambuhnya gejala psikotik pada skiz
ofrenia. Untuk meningkatkan kepatuhan perlu mengedukasi pasien dan
keluarga, mengurangi efek samping dan menyederhanakan cara pemberi
an obat. Paradigma terbaru tentang pengobatan skizofrenia yaitu te
rcapainya kepulihan (recovery). Dinyatakan pulih bila pasien bebas
dari simptom skizofrenia atau tidak ada lagi gejala dan membaiknya
fungsi sosial serta pekerjaan pasien, berlangsung minimal dua tahu
n, Paasien tetap dalam pengobatan.12,14
20
rnya efek samping sehingga sering tidak dapat ditoleransi. Oleh ka
rena itu, klinikus hendaklah berusaha menggunakan obat dengan dosi
s yang efek sampingnya minimal tetapi masih dalam kisaran dosis ef
ektif obat yang bersangkutan.
Obat APG-II yang ada saat ini dapat mengatasi gejala negatif.
Risiko kekambuhan sangat tinggi bila pasien tidak menggunakan anti
psikotika. Bahkan, pasien dengan episode pertama yang tidak menggu
nakan antipsikotika, sekitar 80% mengalami kekambuhan setelah lima
tahun dalam keadaan remisi. Mempertahankan pengobatan yang terus-m
enerus dikaitkan dengan rendahnya kekambuhan. Klinikus hendaklah m
ediskusikan dengan pasien risiko jangka panjang terapi rumatan oba
t yang sedang digunakan. Selain itu, dampak kekambuhan, misalnya e
fek kekambuhan terhadap fungsi sosial, pekerjaan, perilaku yang be
rbahaya akibat kekambuhan, risiko terjadinya resisten terhadap pen
gobatan perlu pula diinformasikan). Bila ada keputusan untuk mengh
entikan pengobatan, penghentian harus berangsur-angsur (misalnya,
penurunan dosis sekitar 10% per bulan). Klinikus hendaklah mengedu
21
kasi pasien dan keluarga mengenai tanda-tanda awal kekambuhan dan
memberikan edukasi tindakan yang harus dilakukan bila gejala awal
in terlihat. Pada fase ini intervensi psikososial bervariasi terga
ntung pada status fungsional dari masing-masing orang dengan skizo
frenia.
22
fectiveness) dan CUtLASS (Cost Utility of the Latest Antipsychotic
s in Schizophrenia) melaporkan bahwa EPS sangat jarang terjadi pad
a APG-Il tetapi APG-II tertentu mempunyai efek samping yaitu sindr
om metabolik. Obat APG-I berguna terutama untuk mengontrol gejala-
gejala positif sedangkan untuk gejala negatif hampir tidak bermanf
aat. Bahkan, obat APG-1 dapat memperburuk simptom negatif dan meny
ebabkan defisit kognitif. Tidak begitu halnya dengan obat APG-II,
ia bermanfat, baik untuk gejala positif maupun negative. Saat ini,
standar emas adalah APG-II. Meskipun harganya lebih mahal tetapi m
anfaatnya sangat bear.24
23
• Bicaralah tentang obat (misalnya; kebutuhan terhadap obat,
perasaan pasien tentang pemakaian obat, dll)
2. 7 EKSTRAPIRAMIDAL SYNDROM
Efek semua obat antipsikotik yang ada saat ini diperantarai oleh pelemahan
transmisi dopamin melalui aksi antagonis atau agonis parsial berefikasi rendah
pada reseptor dopamin D2. Namun demikian, “ruang” antara dosis terapeutik dan
dosis yang menghasilkan efek samping, sangat bervariasi pada semua jenis obat
24
ini. Gejala motorik ekstrapiramidal (misalnya distonia akut dan gejala
parkinsonisme seperti bradikinesia dan tremor) adalah efek samping utama
antipsikotik yang diperantarai oleh blokade pengiriman sinyal ke reseptor D2 di
sirkuit dopaminergik nigrostriatal dan tuberoinfundibular(6).
25
dan menyebabkan akatisia atau parkinsonisme imbas obat, lama kelamaan akan
menghasilkan diskinesia tardif. Salah satu teori penyebab diskinesia tardif
berhubungan dengan hipersensitivitas reseptor dopamin (khususnya reseptor D2).
1. Distonia Akut
26
Teori ini didukung oleh beberapa pengamatan dimana distonia akut biasanya
terjadi setelah inisiasi agen antipsikotik, peningkatan dosis atau peralihan ke obat
antipsikotik dengan potensi yang lebih tinggi, terutama yang diberikan secara
injeksi. Distonia akut juga kurang umum pada orang tua karena tingkat aktivitas
reseptor dopamin (D2) yang lebih rendah secara keseluruhan. Sebaliknya, ketika
obat antikolinergik (seperti benztropin) diberikan, obat tersebut akan melawan
aktivitas kolinergik yang berlebihan, dan mengurangi distonia akut dan
Parkinsonisme. Hal ini juga menjelaskan bahwa antipsikotik yang tergolong
antikolinergik (seperti klozapin, quetiapin) memiliki insiden EPS yang lebih
rendah(7).
2. Parkinsonisme
Sekitar (40%) dari pasien yang lebih tua yang diobati dengan antipsikotik
tipikal dapat berkembang menjadi parkinsonisme yang diinduksi obat bahkan
pada dosis rendah. Antipsikotik atipikal sendiri memiliki insiden yang lebih
27
rendah dalam menyebabkan parkinsonisme(9). Interval antara penggunaan obat
dan timbulnya gejala-gejala parkinsonisme berkisar beberapa hari hingga
beberapa bulan. Parkinsonisme imbas obat biasanya berkembang antara 2 minggu
hingga 1 bulan setelah pemberian antipsikotik atau peningkatan dosis. Dalam
suatu penelitian, ditemukan (50-70%) kasus berkembang dalam 1 bulan dan
(90%) dalam 3 bulan(7).
3. Akathisia
28
otak. Sindrom ekstrapiramidal terutama distonia akut dan pseudoparkinsonisme,
diperkirakan disebabkan oleh ketidakseimbangan dopamin dan asetilkolin di jalur
nigrostriatal otak yang diinduksi oleh agen antipsikotik yang memblokir reseptor
dopamin tipe-2(7).
4. Diskinesia Tardif
Gejala diskinesia tardif dapat berupa gerakan stereotipik berulang pada otot-
otot wajah, mulut, dan lidah yang disebut sebagai diskinesia orofasial berupa
gerakan memutar lidah, bibir mengerut, dan gerakan mengunyah. Otot-otot wajah
bagian atas lebih jarang dipengaruhi oleh gerakan-gerakan tak sadar. Namun
demikian, dapat terlihat peningkatan kedipan mata, blefarospasme, gerak
mengernyit, dan kedutan mata. Gerakan tubuh yang bergoyang-bergoyang
bersama dengan dorongan panggul (diskinesia kopulatorik) kadang-kadang dapat
ditemukan. Pada bentuk yang meluas, pasien terlihat menyentak kaki, dan ada
fleksi-ekstensi lutut berulang yang tidak teratur. Saat berdiri di tempat, pasien
29
cenderung untuk menggeser berat badan mereka dari satu kaki ke kaki yang lain
atau berjalan mondar-mandir(7).
Salah satu teori yang paling menonjol tentang patogenesis diskinesia tardif
adalah bahwa paparan kronis terhadap neuroleptik menghasilkan peningkatan
regulasi reseptor D2 dengan supersensitivitas reseptor dopamin pascasinaps. Teori
ini sulit dibuktikan tetapi didukung oleh pengamatan umum bahwa peningkatan
dosis DRBAs dapat meringankan gejala diskinesia tardif untuk sementara, dan
penghentian obat secara tiba-tiba dapat memperburuk atau bahkan menyebabkan
diskinesia tardif. Karena reseptor D2 adalah reseptor penghambat yang
diekspresikan pada neuron berduri sedang yang diproyeksikan ke jalur tidak
langsung, hipersensitivitasnya dapat mengakibatkan disinhibisi globus pallidus
internus dan nukleus subtalamus, menghasilkan berbagai gangguan gerakan
hiperkinetik.
30
hipotesis "plastisitas sinaptik maladaptif" yang baru-baru ini diajukan,
hipersensitivitas reseptor D2 dan perubahan degeneratif pada neuron yang
disebabkan oleh peningkatan stres oksidatif dapat mengakibatkan efek sekunder
pada plastisitas sinaptik sinapsis glutamatergik pada interneuron striatal,
menyebabkan ketidakseimbangan antara ganglia basal jalur langsung dan tidak
langsung yang dapat menghasilkan output abnormal ke korteks sensorimotor.
Plastisitas sinaptik kortikal maladaptif, ditambah dengan output ganglia basal
yang abnormal, dapat menyebabkan pembentukan program motorik yang salah
kode dan gerakan abnormal(8).
2.8. PROGNOSIS
BAB III
31
KESIMPULAN
Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang dapat mempengaruhi
pikiran, perasaan dan perilaku individu. Skizofrenia adalah bagian dari gangguan
psikosis yang terutama ditandai dengan kehilangan pemahaman terhadap realitas
dan hilangnya daya tilik diri(insight).Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)2018
menunjukkan, prevalensiskizofrenia/psikosis di Indonesia sebanyak 6,7 per 1000
rumah tangga. Menurut data WHO pada tahun 2019, sebanyak 20 juta orang di
seluruh dunia yang menderita skizofrenia.
32
DAFTAR PUSTAKA
33
8. Waln O, Jankovic J. An update on tardive dyskinesia: From phenomenology to
treatment. Vol. 3, Tremor and Other Hyperkinetic Movements. 2013. p. 1–11.
9. Luft B. Extrapyramidal Side Effects. North Metrop Heal Serv – Ment Heal
March. 2014;21(1):1323–1251.
10. Indonesia U. Buku Ajar Psikiatri Edisi Ketiga. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2017.
12. Cornett EM, Novitch M, Kaye AD, Kata V, Kaye AM. Medication-induced
tardive dyskinesia: A review and update. Ochsner Journal. 2017.
14. Zahnia S, Wulan Sumekar D. Siti Zahnia & Dyah Wulan Sumekar | Kajian
Epidemiologis Skizofrenia MAJORITY I Volume 5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I
160.
15. World Health Organization (WHO). 2016. Diakses tanggal 3 Maret 2022
http://www.who.int/mental_health/en/.
34
16. D. Surya Yudhantara RI. Sinopsis Skizofrenia untuk Mahasiswa
Kedokteran . 2018;
17. Elvira DS dan HG (Ed). Buku ajar psikiatri. Edisi ke- 3. Cetakan ke-1. 2017;
18. Riset Kesehatan Dasar 2018. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan
KesehatanRepublik Indonesia.
19. Puri B.K laking PJ dkk. Buku Ajar Psikiatri edisi keII, Jakarta .EGC 2012.
22. R. Maslim. Diagnosis Gangguan Jiwa PPDGJ III dan DSM V. Bagian Ilmu
35
23. Herrman Helen, Maj M, Sartorius N. Depressive disorders. Wiley-Blackwell;
2009.338 p.
36