Anda di halaman 1dari 23

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI


UNIVERSITAS HASANUDDIN 2023

TREATMENT RESISTANT DEPRESSION

DISUSUN OLEH :
SR
RESIDEN PEMBIMBING :

SUPERVISOR :

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama :

NIM :

Judul Referat : Treatment Resistant Depression

Adalah benar telah didiskusikan dan disetujui untuk dipresentasikan tugas referat i
ni dengan judul di atas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen Ilmu K
edokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Januari 2023

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................1

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................2

DAFTAR ISI......................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................6

2.1. Definisi.............................................................................................................6

2.2. Prevalensi.........................................................................................................6

2.3. Etiopatofisiologi..............................................................................................7

2.4. Gejala Klini


s..................................................................
................................. 10

2.5. Diagnosis..........................................................................................................15

2.6. Terapi ............................................................................................................. 17

BAB III KESIMPULAN..................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 21

3
BAB I

PENDAHULUAN

Depresi dan gangguan suasana hati berhubungan dengan masalah kesehatan


terbesar di dunia. Banyaknya tekanan kehidupan, stres interpersonal dan penolakan
sosial, menjadi faktor risiko terbesar mengalami depresi.[2] Depresi adalah suatu
kondisi seseorang merasa sedih, kecewa saat mengalami suatu perubahan, kehilangan,
kegagalan dan menjadi patologis ketika tidak mampu beradaptasi.[2]

Depresi merupakan suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang secara afektif,


fisiologis, kognitif dan perilaku sehingga mengubah pola dan respon yang biasa
dilakukan.[4] Meskipun banyak pengobatan dan perawatan yang efektif terhadap
depresi, tetapi hanya sebagian yang menderita depresi mendapat pengobatan dan
tindakan pendekatan psikoterapi. Depresi merupakan penyebab utama keempat beban
penyakit di seluruh dunia.[3]

Lebih dari 350 juta penduduk di seluruh dunia mengalami gangguan depresi
(WHO, 2012). Satu dari empat wanita dan satu dari dari enam pria mengalami depresi
selama hidup mereka, dan 65% memiliki episode berulang dari gangguan tersebut
sehingga depresi menjadi penyebab utama penyakit secara global. Lebih dari 350 juta
penduduk di seluruh dunia mengalami gangguan depresi (WHO, 2012). Satu dari
empat wanita dan satu dari dari enam pria mengalami depresi selama hidup mereka,
65% memiliki episode berulang dari gangguan tersebut, sehingga depresi menjadi
penyebab utama penyakit secara global.[3]

Major Depressive Disorder (MDD) merupakan penyakit heterogen ditandai


dengan perasaan depresi, anhedonia, perubahan fungsi kognitif, perubahan tidur,
perubahan nafsu makan, rasa bersalah yang terjadi selama dua minggu, digambarkan
dengan hilangnya ketertarikan atau kesenangan akan aktivitas yang biasa dilakukan.
[2]

4
Terlepas dari alat perawatan yang efisien, hingga 50% individu dengan depresi
tidak menunjukkan gejala klinis yang mengalami pemulihan signifikan. Oleh
karena itu, sebagian besar beban disebabkan oleh depresi telah dikaitkan dengan
'resistensi pengobatan depresi. TRD kemungkinan besar terjadi dengan komorbiditas
fisik dan gangguan mental serta gangguan fungsional yang ditandai dan berlarut-
larut. Ini sangat berulang, dengan sebanyak 80% pasien yang membutuhkan banyak
perawatan kambuh dalam waktu satu tahun remisi dan kemungkinan pemulihan
sekitar 40% dalam 10 tahun. Seperti yang terjadi pada gangguan depresi lainnya, ada
pendekatan pengobatan yang berbeda untuk TRD. Protokol baru dan pengobatan
sumber daya telah dikembangkan untuk mengobati gangguan ini. Beberapa
contohnya adalah strategi kombinasi atau augmentasi.[2]

Maka dari itu, melalui referat ini kami akan menjelaskan tentang
Treatment Resistant Depression mulai dari definisi, prevalensi, etiol
ogi, gejala klinis, bahkan hingga pengobatan nya.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Treatment Resistant Depression artinya depresi yang resisten terhadap


pengobatan secara umum didefinisikan sebagai gangguan depresi yang tetap, tidak
mengalami perbaikan terhadap pemberian obat antidepresan yang adekuat secara
dosis, durasi, dan kepatuhan peminuman. Selama satu dekade terakhir, beberapa
penulis mengembangkan kriteria yang berbeda untuk mengkategorikan depresi yang
resisten terhadap pengobatan, beberapa mendefinisikan dengan tidak adanya
perbaikan setelah pemberian obat antidepresan TCA dengan dosis dan durasi yang
adekuat (misalnya amytriptilyne), tidak adanya perbaikan setelah pemberian obat
antidepresan MAOI (misalnya, phenelzine) selama minimal 4 minggu, tidak adanya
perbaikan setelah pengobatan dengan 1 jenis antidepresan yang secara dosis dan
durasi adekuat, tidak adanya perbaikan setelah pengobatan dengan 3 atau lebih jenis
obat antidepresan secara dosis dan durasi adekuat (salah satunya harus merupakan
jenis TCA), tidak adanya perbaikan setelah pengobatan dengan 5 atau lebih perawatan
yang secara frekuensi dan durasi adekuat, atau setidaknya tidak adanya perbaikan
setelah pemberian terapi elektrokonvulsi, atau pemberian tunggal antidepresan
heterosiklik yang lebih baru [4].

2.2. PREVALENSI

Gangguan depresi merupakan gangguan kejiwaan yang paling sering terjadi dan
merupakan penyebab utama morbiditas serta menurunnya produktivitas. Sekitar 32
sampai 35 juta orang dewasa di Amerika Serikat pernah mengalami depresi selama
masa hidup mereka [1], dan banyak dari mereka mengalami kegagalan respon
terhadap pengobatan awal [2]. Hasil studi yang dilakukan oleh Fava dan Davidson
menunjukkan bahwa terdapat sekitar 29% sampai 46% dari pasien depresi yang

6
mengalami kegagalan respon terhadap dosis dan durasi obat antidepresan yang
adekuat [3]. Bahkan sekitar 15% pasien mengalami kegagalan respon terhadap
pemberian multi terapi dan kondisi ini menciptakan beban ekonomi yang cukup berat
[4].

Corey-Lisle dan rekan menyatakan bahwa resistensi pengobatan di antara pasien


dengan depresi sebenarnya bisa lebih dari 20%. Ketika perkiraan yang lebih tinggi ini
digunakan, perkiraan beban sosial dari gangguan depresi utama di Amerika Serikat
mencapai 200 miliar dolar per tahun dan beban depresi yang resisten terhadap
pengobatan saja mencapai 64 miliar dolar per tahun. Sebuah studi sebelumnya
memperkirakan bahwa biaya sosial dari gangguan depresi adalah 124 miliar dolar per
tahun, pada tahun 2012. Perkiraan ini mungkin lebih rendah dari perkiraan yang
mungkin terjadi yaitu sebesar 188-200 miliar dolar karena perubahan temporer dalam
biaya unit layanan, misalnya, kenaikan gaji, dan kemungkinan pengecualian biaya
untuk kunjungan pasien yang tidak dilaporkan terutama karena depresi [5].

2.3. ETIOPATOGENESIS

Berdasarkan hipotesis monoamina tentang depresi, pada keadaan normal jumlah


neurotransmitter cukup banyak dengan reseptor monoamin yang cukup, selanjutnya
jumlah aktivitas neurotransmitter monoamin menjadi berkurang, terkuras, atau
disfungsional karena beberapa alasan, pada saat inilah depresi mulai terjadi. Jika
pemberian terapi tidak adekuat maka jumlah monoamin tidak akan meningkat yang
akan menyebabkan upregulasi dari reseptor monoamine, maka terjadilah depresi yang
semakin kronis. Pada pemberian antidepresan yang berulang dan tetap tidak
menyebabkan jumlah monoamin bertambah, kondisi inilah yang disebut sebagai
depresi yang resisten terhadap pengobatan.

Hipotesis neurotrofik tentang depresi menyatakan bahwa depresi dapat


disebabkan oleh berkurangnya sintesis protein yang terlibat dalam neurogenesis dan
plastisitas sinaptik yaitu Brain Derivated Neurotropic Factor. BDNF
7
mempromosikan pertumbuhan dan perkembangan neuron yang belum matang,
termasuk neuron monoaminergik, meningkatkan kelangsungan hidup dan fungsi
neuron dewasa, dan membantu menjaga koneksi sinaptik. Karena BDNF penting
untuk kelangsungan hidup neuron, tingkat penurunan dapat menyebabkan atrofi sel.
Dalam beberapa kasus, tingkat BDNF yang rendah bahkan dapat menyebabkan
kehilangan sel. Monoamina dapat meningkatkan ketersediaan BDNF dengan memulai
kaskade transduksi sinyal yang menyebabkan pelepasannya. Penurunan jumlah
monoamin yang lama akan menyebabkan penurunan jumlah BDNF dan terganggunya
pertumbuhan dan perkembangan neuron [8].

2.3.1 Faktor Resiko Depresi Resisten Terapi

Penelitian selama bertahun-tahun telah difokuskan untuk mengidentifikasi faktor


risiko yang terkait dengan depresi resisten terapi. Yang paling dapat diandalkan
antara lain:

- Lamanya episode: semakin lama episode depresi, semakin besar atrofi di daerah
otak tertentu (misalnya hippocampus), perubahan kognitif dan perilaku yang terjadi
selama episode depresi mempersulit kembali pada keadaan semula.

- Pengenalan subtipe GDM (mis, melankolis, psikotik, karakteristik atipikal atau


musiman) juga merupakan elemen penting dalam evaluasi depresi resisten terapi
karena dapat merespon secara berbeda untuk terapi yang tersedia. Depresi resisten
terapi yang lebih menonjol pada depresi bipolar daripada pada mayor depresi.

- Kurangnya perbaikan gejala dalam beberapa minggu pertama sejak awal


pengobatan.

- Komorbiditas psikiatri : munculnya gangguan kecemasan merupakan salah satu


faktor klinis yang paling kuat terkait dengan depresi resisten terapi. Secara khusus,
serangan panik, fobia sosial dan gangguan obsesif-kompulsif dapat mengakibatkan
hasil yang lebih buruk dan resisten pengobatan. Gejala cemas dan gangguan

8
kecemasan menjadi prediktor rendahnya tingkat respon dan remisi, gangguan
kepribadian (terutama avoidant dan borderline) merupakan faktor prognosis negatif .

-Usia tua : Memiliki usia kurang dari 18 tahun saat onset penyakit telah dikaitkan
dengan munculnya depresi resisten terapi dikemudian hari, meskipun masih belum
jelas apakah ini hanya mencerminkan episode keparahan atau merupakan faktor
independen yang sebenarnya. Di sisi lain, usia lebih dari 60 tahun telah dikaitkan
dengan fitur yang dapat menyebabkan resisten pengobatan, termasuk adanya
perubahan morfologi otak (misalnya, pembuluh darah), dan kondisi medis penyerta.

- Jenis Kelamin : Dalam hal jenis kelamin, ada sedikit bukti yang mendukung
gagasan bahwa jenis kelamin perempuan adalah faktor risiko untuk depresi resisten
terapi, meskipun beberapa studi menunjukkan bahwa perempuan, dibandingkan
dengan laki-laki, mungkin kurang responsif terhadap antidepresan trisiklik dan dapat
merespon secara baik untuk SSRI atau MAOIs.

Sejumlah kondisi yang mungkin penyebab relatif atau "pseudo" depresi resisten
terapi: o Dosis antidepresan subterapeutik (sekitar 20%)

o Ketidakpatuhan pasien (sekitar 40%)

o Efek samping yang berat (20% sampai 30%)

o Salah diagnosis (10% sampai 15%) (seperti : penyakit tiroid, kekurangan gizi,
sleep apnea, "laten" bipolaritas).

Akhirnya, pada pasien yang dicurigai depresi resisten terapi, munculnya


penyakit medis umum yang mendasari, terutama dari endokrin (misalnya
hipotiroidisme, sindrom Cushing) harus diteliti dengan seksama. Kondisi lain yang
berpotensi diawasi termasuk gangguan neurologis (baik kortikal dan subkortikal),
karsinoma pankreas, gangguan autoimun (misalnya rheumatologic), kekurangan
vitamin, dan infeksi virus tertentu. Selain itu, beberapa obat (mis imunosupresan,
steroid, dan obat penenang) juga dapat menyebabkan GDM kronis dan dikaitkan
dengan hasil pengobatan antidepresan yang buruk. [4]

9
2.4 GEJALA KLINIS

2.4.1 Konsep Depresi

Depresi merupakan suatu kondisi dimana seseorang merasa sedih, kecewa saat
mengalami suatu perubahan, kehilangan maupun kegagalan dan menjadi patologis
ketika tidak mampu beradaptasi. Depresi merupakan suatu kedaan yang
mempengaruhi seseorang secara afektif, fisiologis, kognitif dan perilaku sehingga
mengubah pola dan respon yang biasa dilakukan. Depresi merupakan suatu
keadaan abnormal yang menimpa seseorang yang diakibatkan ketidakmampuan
beradaptasi dengan suatu kondisi atau peristiwa yang terjadi sehingga
mempengaruhi kehidupan fisik, psikis maupun sosial seseorang.[2]

2.4.2 Gejala dan Tanda Depresi

Depresi berat secara signifikan mempengaruhi keluarga seseorang dan


hubungan pribadi, pekerjaan atau kehidupan social, tidur, kebiasaan makan, dan
kesehatan umum. Seseorang yang memiliki episode depresi utama biasanya
menunjukkan suasana hati yang sangat rendah, yang melingkupi semua aspek
kehidupan, dan ketidakmampuan untuk mengalami kesenangan dalam kegiatan
yang sebelumnya dinikmati. Orang yang depresi sibuk dengan pikiran dan perasaan
tidak berharga, rasa bersalah atau penyesalan yang terus menerus merasa tidak
pantas, tidak berdaya, putus asa, dan membenci diri sendiri. Dalam kasus yang
parah, depresi memiliki gejala psikosis. Gejala ini termasuk khayalan biasanya
tidak menyenangkan atau halusinasi. Gejala lain depresi termasuk konsentrasi yang
buruk dan memori (terutama pada mereka dengan melankolis atau psikotik fitur),
penarikan dari kegiatan sosial, penurunan gairah seks, dan pikiran tentang kematian
atau bunuh diri. Insomnia sering terjadi pada kasus depresi. Dalam polanya yang
khas, seseorang bangun sangat awal dan tidak bisa kembali tidur. Insomnia
mempengaruhi 80% dari kasus depresi, hipersomnia, atau tidur berlebihan, juga
dapat terjadi. Beberapa antidepresan juga dapat menyebabkan insomnia karena efek
10
merangsang mereka. Seseorang yang depresi dapat melaporkan beberapa gejala fisik
seperti kelelahan, sakit kepala, atau masalah pencernaan, keluhan fisik adalah
masalah yang diajukan paling umum di negara-negara berkembang, menurut WHO,
kriteria umum depresi terjadi penurunan berat badan, perilaku selalu adalah gelisah
atau lesu. Seorang yang depresi dengan usia yang lebih tua memiliki gejala kognitif
seperti lupa, dan perlambatan gerakan. Depresi sering berdampingan dengan
gangguan fisik umum di kalangan orang tua, seperti stroke, penyakit kardiovaskular,
penyakit Parkinson, dan penyakit paru obstruktif kronik .[2]

2.4.3 Manifestasi Klinik

Manifestasi depresi dalam bentuk kontinum yang terdiri atas:

(1) depresi tidak menetap, dengan gejala merasa sedih, patah semangat, kecewa,
menangis, dan merasa lelah serta tak peduli;

(2) depresi ringan, gejalanya bertambah menjadi menolak perasaan, marah,


cemas, merasa bersalah, putus asa, tidak berdaya, regresi, agitasi, menarik diri,
menyalahkan diri atau orang lain, mengalami gangguan tidur, dan makan;

(3) depresi sedang, gejala yang ditampilkan berupa: merasa pesimis, harga diri
rendah, perilaku menyakiti diri, tidak mampu merawat diri, sulit berkonsentrasi
dan nyeri abdominal; dan

(4) depresi berat, gejalanya bertambah dengan merasa putus asa total, tidak
berguna, afek datar, pergerakan tidak terarah, bingung, gangguan isi pikir,
halusinasi, dan berpikir untuk bunuh diri.

Tanda dan gejala depresi berupa:

(1) merasa sedih dan kesepian; (2) kehilangan minat dan berkurangnya energi; (3)
gangguan tidur; (4) nafsu makan berkurang; (5) kecemasan; dan (6) gangguan
endokrin. Manifestasi depresi tersebut diatas bergantung pada jenis depresi yang
dialami, dan mengarah pada terjadinya gangguan secara psikologis maupun
fisiologis
11
Tanda dan gejala depresi meliputi; gangguan tidur, agitasi, retardasi, hilangnya
libido, dan gangguan makan yang diduga berasal dari pengaruh isi pikiran negatif
terkait diri sendiri, dunia dan masa depan. Studi yang dilakukan oleh Yamada,
menemukan bahwa caregiver yang mengalami depresi dan stress berat sering
mengkritik diri sendiri, menghindar dan menarik diri. Disamping itu, caregiver juga
mengalami gangguan tidur, kualitas hidup yang rendah dan harus menyiapkan diri
terhadap kemungkinan kematian pasien secara mendadak.[2]

Tanda dan gejala depresi pada caregiver pasien penyakit jantung bervariasi dari
gangguan secara fisik hingga psikis yang bersumber dari kondisi yang dialami oleh
pasien.

Kriteria Depresi menurut Diagnostic And Statistical Manual Of Mental


Disorder, Fifth Edition (DSM-5), yang menggunakan istilah Major Depressive
Disorder (MDD) atau selanjutnya disebut Gangguan Depresi Mayor (GDM) yaitu
harus memenuhi kriteria :

A. Lima atau lebih dari gejala dibawah ini yang sudah ada bersama-sama selama 2
minggu dan memperlihatkan perubahan fungsi dari sebelumnya; minimal terdapat 1
gejala dari (1) mood yang depresi atau (2) hilangnya minat.

1. Mood depresi sepanjang hari, hampir setiap hari, yang ditunjukkan oleh
baik laporan subyektif (misalnya perasaan sedih, kosong, tidak ada harapan)
atau observasi orang lain (misalnya terlihat menangis). (catatan pada anak-
anak dan remaja, bisa mood yang iritabel).

2. Secara nyata terdapat penurunan minat atas seluruh rasa senang, aktifitas
harian, hampir setiap hari (yang ditandai oleh perasaan subyektif atau
objektif).

3. Kehilangan atau peningkatan berat badan yang nyata tanpa usaha khusus
(contoh : perubahan 5% atau lebih berat badan dalam 1 bulan terakhir), atau
penurunan dan peningkatan nafsu makan yang hampir terjadi setiap hari.

12
(catatan : Pada anak-anak, perhatikan kegagalan mencapai berat badan yang
diharapkan).

4. Sulit tidur atau tidur berlebih hampir setiap hari.

5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (teramati oleh orang
lain, bukan semata-mata perasaan gelisah atau perlambatan yang subyektif).

6. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.

7. Perasaan tidak berguna atau rasa bersalah yang mencolok (bisa bersifat
waham) hampir setiap hari (bukan semata-mata menyalahkan diri atau rasa
bersalah karena menderita sakit).

8. Penurunan kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, atau penuh keragu-


raguan hampir setiap hari (baik sebagai hal yang dirasakan secara subyektif
atau teramati oleh orang lain).

9. Pikiran berulang tentang kematian (bukan sekedar takut mati), pikiran


berulang tentang ide bunuh diri dengan atau tanpa rencana yang jelas, atau
ada usaha bunuh diri atau rencana bunuh diri yang jelas.

B. Gejala-gejala ini secara klinis nyata menyebabkan distress atau hendaya dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting kehidupannya.

C. Episodenya tidak terkait dengan efek fisiologis zat atau kondisi medis lainnya.

Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III


episode depresi harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut :

궥 Gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat) :

- afek depresif

- kehilangan minat dan kegembiraan, dan

13
- berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.

궥 Gejala lainnya :

a. Konsentrasi dan perhatian berkurang

b. harga diri dan kepercayaan diri berkurang

c. gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

d. pandangan masa depan yang suram dan pesimistis

e. gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

f. tidur terganggu

g. nafsu makan berkurang

궥 Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan


masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi
periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan
berlangsung cepat.

궥 Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan berat
(F32.2) hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama). Episode
depresif berikutnya harus diklasifikasikan dibawah salah satu diagnosis gangguan
depresif berulang (F33,-).

Respon merupakan suatu konsep penting bagi dokter dan pasien yang dapat
digunakan untuk mendefinisikan “pengurangan gejala klinis yang bermakna yang
mengarah ke pemulihan fungsional”. Dalam sebuah penelitian, respon secara
konvensional adalah penurunan 50% atau lebih gejala dasar, yang diukur dengan
skala penilaian depresi seperti HAM-D atau MADRS. Ini berarti bahwa pasien yang
tidak mencapai penurunan 50% dianggap resistan pengobatan. Menurut American
Psychiatric Association respon didefinisikan sebagai penurunan 50% dari tingkat
keparahan depresi yang diukur selama ≥ 3 minggu.[2]
14
Berdasarkan gambaran klinis, depresi resisten terapi biasanya merujuk pada
sebuah respon inadekuat pada sedikitnya satu antidepresan dengan dosis dan durasi
yang adekuat. Gambaran ini mungkin termasuk keadaan klinis yang beranekaragam,
dari kegagalan pada satu jenis antidepresan hingga kegagalan multiple dengan gejala
depresi jangka panjang dan persisten meskipun pengobatan kompleks.[2]

2.5 DIAGNOSIS

Definisi lainnya memberikan hanya kriteria batasan waktu durasi pemberian obat
antidepresan dengan frekuensi diberikan secara terus menerus selama minimal 6
minggu. Definisi ini meskipun tidak menyentuh aspek jenis pilihan obat anti
depresan akan tetapi dapat untuk menjadi tolak ukur seorang psikiater dimana
seharusnya berhenti dan mulai mengevaluasi ulang pilihan terapinya [3].

Meskipun tidak ada konsensus pasti mengenai tingkat keparahan gejala untuk
memenuhi syarat adanya depresi yang resisten terhadap pengobatan, akan tetapi
beberapa ahli menyarankan untuk menjadikan skor Hamilton Depression Rating
Scale (HDRS) minimal 16 sampai 17 sebagai konfirmasi bahwa pasien mengalami
depresi yang resisten terhadap pengobatan [4].

Beberapa model pengklasifikasian depresi yang resisten terhadap pengobatan


telah diusulkan, semuanya dimaksudkan untuk menjelaskan konsep dari depresi
yang resisten terhadap pengobatan. Meskipun beberapa tumpang tindih antara satu
dengan yang lainnya, terutama dalam pembobotan parameter kuantitatif dan
kualitatif yang digunakan sebagai pertimbangan akan tetapi model klasifikasi saat
ini berkontribusi pada penentuan diagnosa yang lebih tepat terhadap terjadinya
depresi yang resisten ter- hadap pengobatan [6].

Thase dan Rush mengajukan model klasifikasi 5 tahap resistensi yaitu :

Tahap 0 : tanpa percobaan pengobatan apapun, sampai saat ini dinilai tidak
adekuat

15
Tahap I : Tidak adanya perbaikan gejala setelah pen gobatan 1 jenis obat
antidepresan dengan dosis dan durasi yang adekuat.

Tahap II : Tidak adanya perbaikan gejala setelah pen gobatan 2 jenis obat
antidepresan dengan dosis dan durasi yang adekuat.

Tahap III : Resistensi tahap II ditambah tidak adanya per baikan setelah
pemberian TCA yang adekuat

Tahap IV : Resistensi tahap III ditambah tidak adanya per baikan pemberian
MAOI yang adekuat

Tahap V: Resistensi tahap IV plus tidak adanya perbaikan setelah terapi


elektrokonvulsi bilateral

Dalam model ini, pasien diklasifikasikan sesuai dengan jumlah dan kelompok
antidepresan yang tetap tidak menghasilkan perbaikan, dengan klasifikasi yang
berurutan dari yang lebih umum (SSRI dan TCA) ke terapi yang kurang umum
(MAOIs atau electroconvulsive therapy) [7]. Meskipun dalam model ini dosis dan
durasi tidak dijelaskan dengan rinci akan tetapi model ini paling banyak digunakan
dan model lainnya biasanya merupakan turunan dari model Thase and Rush.

2.6.  TERAPI
Penderita gangguan depresi yang telah mendapatkan terapi psikiatri non
intervensi secara optimal dan telah mendapatkan terapi Electroconvulsive Therapy
(ECT) sebagai terapi paralel dan tetap tidak berhasil maka kondisi ini disebut sebagai
depresi yang resisten terhadap pengobatan, dalam kondisi ini dianjurkan untuk
melakukan intervensi neuromodulasi (meskipun ada beberapa ahli yang menyarankan
pada tahap 1 resistensi sudah dapat dilakukan neuromodulasi [11]. Pada beberapa
kasus penggunaan ECT masih memiliki stigma negatif dan dianggap menyebabkan
kemunduran kognitif [12].

16
Terapi psikiatri non intervensi yang optimal dimaksudkan meliputi pemberian
macam obat, dosis maupun durasi pemberiannya. Rangkaian terapi dengan obat anti
depresan ini disebut sebagai terapi psikiatri non intervensi. Dikatakan durasi yang
cukup untuk pemberian terapi antidepresan adalah empat sampai enam minggu.
Pilihan berikutnya adalah melakukan penggantian obat ke antidepresan dengan
mekanisme tindakan yang berbeda.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa beralih dari antidepresan trisiklik ke


kelompok antidepresan alternatif dapat menghasilkan tingkat respons positif 50
sampai 60 persen [13]. Selain itu juga dapat dilakukan terapi kombinasi dengan
memberikan dua atau lebih agen antidepresan bersamaan misalnya menambahkan
trazodone, desipramine atau bupropion dengan fluoxetin dapat menghasilkan respon
terapeutik yang berbeda dari pada yang dihasilkan dengan penggunaan fluoksetin
saja [6]. Serta juga dapat diakukan terapi augmentasi melibatkan penambahan obat
diluar antidepresan, empat obat yang sering digunakan dalam terapi augmentasi
adalah lithium, hormon tiroid, beta blocker pindolol dan buspirone [14].

Jika telah dilakukan pemberian psikofarmaka sebagaimana dijelaskan diatas


masih juga tidak memberikan efek perbaikan terhadap gejalanya maka disarankan
pemberian terapi elektrokonvulsi. Terapi elektrokonvulsi terbukti mengurangi
pemikiran tentang bunuh diri dan meringankan gejala depresi. Hal ini terkait dengan
terjadinya peningkatan lini sel glial yang menurun akibat terjadinya penurunan BDNF
yang termasuk dalam faktor neurotropika pada penderita depresi [15]. Meskipun
sebenarnya ECT merupakan bagian dari intervensi neuromodulasi. Terdapat semakin
banyak bukti untuk efektivitas, tolerabilitas, dan keamanan ntervensi neuromodulasi.
Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) saat ini merupakan rekomendasi lini
pertama untuk pasien dengan depresi yang telah gagal setidaknya 1 antidepresan. ECT
tetap menjadi lini kedua pengobatan untuk pasien dengan depresi yang resisten
terhadap pengobatan, walaupun dalam beberapa situasi, mungkin dianggap sebagai
lini pertama. Rekomendasi lini ketiga termasuk transcranial Direct Current

17
Stimulation (tDCS) dan Vagus Nerve Stimulation (VNS). Sedangkan Deep Brain
Stimulation (DBS) masih berada dalam tahap investigasi penelitian [16,17].

● Dalam kasus respons parsial atau non-respons setelah 4–8 ming


gu pengobatan meskipun dosis pengobatan telah dimaksimalkan, mono
terapi AD kedua harus diuji coba selama 4-8 minggu lebih lanjut de
ngan pemantauan respons; pilihan untuk kedua perawatan lini termasu
k beralih ke kelas AD yang berbeda, menambah atau menggabungkan mo
dalitas perawatan.

● Setelah kegagalan pengobatan lini kedua setelah 4-8 minggu pem


antauan meskipun dosis dan kepatuhan memadai (didefinisikan sebaga

18
i PRD), pengobatan lini ketiga harus ditawarkan; pilihan pengobatan
untuk PRD termasuk memaksimalkan dosis, beralih ke kelas yang berbe
da, menambah atau menggabungkan modalitas pengobatan. Kombinasi at
au augmentasi rejimen pengobatan lini ketiga harus berbeda dengan
rejimen gagal yang digunakan pada pengobatan lini kedua. Berdasarkan
data klinis yang tersedia dan persetujuan FDA, panel menganggap b
ahwa esketamine, agen penambah, bisa menjadi pilihan lini ketiga yan
g potensial untuk pengobatan PRD.

● Pilihan pengobatan non-farmakologis dapat dipertimbangkan sela


ma pengobatan lini kedua MDD, dan PRD.

Penilaian ulang respon pengobatan selama pengobatan sangat pentin


g untuk mengoptimalkan manajemen. Jadwal tindak lanjut yang lebih sin
gkat setelah inisiasi pengobatan direkomendasikan untuk populasi khus
us, seperti pasien dengan episode berulang, pasien dengan depresi ber
at, pasien dengan komorbiditas fisik atau psikiatris (misalnya, gangg
uan kepribadian, diagnosis ganda, kecemasan kelainan, dll.), pasien l
anjut usia, pasien yang sedang hamil, atau pasien yang berisiko menga
lami penyalahgunaan zat. Respon pengobatan harus dinilai dan langkah
selanjutnya diputuskan oleh dokter setelah mempertimbangkan risiko da
n manfaat secara hati-hati. Skala klinis (misalnya, skala CGI, PHQ-9)
memberi dokter dukungan tambahan saat menilai respons pengobatan.

BAB III

KESIMPULAN

Definisi depresi resisten terapi yang dapat diterima di seluruh dunia sampai saat
ini tidak ada. Telah diusulkan bahwa kegagalan mencapai remisi dengan uji dua atau

19
lebih antidepresan yang adekuat untuk mendefinisikan depresi resisten terapi. Depresi
resisten terapi dapat didefinisikan secara luas sebagai kegagalan keseluruhan untuk
respon pengobatan yang diketahui efektif untuk depresi mayor. Terdapat 5 model
tahapan telah diajukan, semuanya dimaksudkan untuk memperjelas konsep dari
depresi resisten terapi, yaitu Thase and Rush model, European Staging Model, Model
Tahapan Massachusetts General dan Maudsley staging model dan. Manajemen
farmakologis pada depresi resisten terapi meliputi penggantian antidepresan,
kombinasi antridepesan dan penggunaan terapi adjuvan dalam setiap terapi gangguan
depresi mayor.

Dalam kasus respons parsial atau non-respons setelah 4–8 minggu


pengobatan meskipun dosis pengobatan telah dimaksimalkan, monoterapi
AD kedua harus diuji coba selama 4-8 minggu lebih lanjut dengan peman
tauan respons; pilihan untuk kedua perawatan lini termasuk beralih ke
kelas AD yang berbeda, menambah atau menggabungkan modalitas perawa
tan.

Setelah kegagalan pengobatan lini kedua setelah 4-8 minggu pemant


auan meskipun dosis dan kepatuhan memadai (didefinisikan sebagai PRD),
pengobatan lini ketiga harus ditawarkan; pilihan pengobatan untuk PR
D termasuk memaksimalkan dosis, beralih ke kelas yang berbeda, menamb
ah atau menggabungkan modalitas pengobatan. Kombinasi atau augmentasi
rejimen pengobatan lini ketiga harus berbeda dengan rejimen gagal yan
g digunakan pada pengobatan lini kedua. Berdasarkan data klinis yang
tersedia dan persetujuan FDA, panel menganggap bahwa esketamine, agen
penambah, bisa menjadi pilihan lini ketiga yang potensial untuk pen
gobatan PRD.

Pilihan pengobatan non-farmakologis dapat dipertimbangkan selama peng


obatan lini kedua MDD, dan PRD.

DAFTAR PUSTAKA

20
[1] Lipsman N, Sanjar T, Downar J, Sidney H, Kennedy, Lozano A, et al. Review

Neuromodulation for treatment-refractory major. 2014;186(1):33–9.

[2] Kessler RC, Berglund P, Demler O, Jin R, Koretz D, Merikangas KR, et al. The

Epidemiology of Major Depressive Disorder. Natl Comorbity Surv Replication.

2003;289(23):3095–105.

[3] Fava M, Davidson KG. Definition and epidemiology of treatment-resistant

depression. Psychiatr Clin North Am. 1996;19(2):179–98.

[4] Berlim MT, Turecki G. Definition, assessment, and staging of treatment-resistant

refractory major depression: A review of current concepts and methods. Can J

Psychiatry. 2007;52(1):46–54.

[5] Mrazek DA, Hornberger JC, Altar CA, Degtiar I. A Review of the Clinical,

Economic, and Societal Burden of Treatment-Resistant Depression: 1996– 2013.

Psychiatr Serv [Internet]. 2014;65(8):977– 87.

[6] Fornaro M, Giosuè P. Current Nosology of Treatment Resistant Depression : A

Controversy Resistant to Revision. Clin Pract Epidemiol Ment Heal. 2010;6:20–4.

[7] Souery D, Amsterdam J, Montigny C De, Lecrubier Y, Montgomery S, Lipp O, et

al. Treatment resistant depression : methodological overview and operational

criteria. Eur Neuropsychopharmacol. 1999;9:83–91.

[8] Stahl SM. Stahl’s Essential Psychopharmacology. Fourth Edi. New York:

Cambridge University Press; 2013. 535 p.

21
[9] Sharma M, Zibly Z, Deogaonkar M, Rezai A. Neuromodulation in psychiatry.

The Medical Basis of Psychiatry: Fourth Edition. 2016. 847-867 p.

[10] Wijeratne C, Sachdev P. Treatment-Resistant Depression: Critique of Current

Approaches. Aust New Zeal J Psychiatry [Internet]. 2008;42(9):751– 62. Available

from: http://journals.sagepub.com/ doi/10.1080/00048670802277206

[11] Brunoni AR, Teng CT, Correa C, Imamura M, Brasil-neto JP, Boechat R, et al.

Neuromodulation approaches for the treatment of major depression. Arq

Nuropsiquaiatr. 2010;68(3):433–51.

[12] Blumberger DM, Mulsant BH. What Is the Role of Brain Stimulation Therapies

in the Treatment of Depression ? Curr Psychiatry Rep. 2013;15(28 May):368.

[13] Nemeroff CB. Prevalence and management of treatment-resistant depression. J

Clin Psychiatry. 2007;68(8):17–25.

[14] Kasper S, Montgomery S. Treatment-Resistant Depression. Vol. 234. 2009.

p.229-234

[15] Olchanski N, McInnis Myers M, Halseth M, Cyr PL, Bockstedt L, Goss TF, et

al. The Economic Burden of Treatment-Resistant Depression. Clin Ther [Internet].

2013;35(4):512–22. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/

j.clinthera.2012.09.001

[16] Milev R V, Giacobbe P, Kennedy SH, Blumberger DM, Daskalakis ZJ, Downar

J, et al. Canadian Network for Mood and Anxiety Treatments (CANMAT) 2016

22
Clinical Guidelines for the Management of Adults with Major Depressive Disorder :

Section 4 . Neurostimulation Treatments. Can J Psychiatry. 2016;6(9):561–75.

[17] Akhtar H, Bukhari F, Nazir M, Nabeel M. Therapeutic Efficacy of

Neurostimulation for Depression : Techniques , Current Modalities , and Future

Challenges. Neurosci Bull. 2016;32(1):115–

23

Anda mungkin juga menyukai