Anda di halaman 1dari 34

Referat

HIPOMANIA

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik


Senior pada Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas
Syiah Kuala Rumah Sakit Jiwa Aceh Banda Aceh

Oleh:

Hilma Nazaruddin
2107501010024

Pembimbing:
dr. Juwita Saragih, Sp.KJ (K)

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RUMAH SAKIT JIWA ACEH
BANDA ACEH
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Hipomania”. Shalawat beserta salam penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW
yang telah membawa umat manusia ke masa yang menjunjung tinggi ilmu
pengetahuan.

Referat ini disusun sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan
Klinik Senior pada Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa, Rumah Sakit Jiwa Aceh. Ucapan
terima kasih serta penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada dr. Juwita
Saragih, Sp.KJ (K) yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing penulis
dalam penulisan referat ini.

Akhir kata penulis berharap semoga Referat ini dapat bermanfaat bagi penulis
dan bagi semua pihak khususnya di bidang kedokteran dan berguna bagi para
pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran pada umumnya
dan ilmu kesehatan jiwa khususnya. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak untuk referat ini.

Banda Aceh, 10 Mei 2022

Penulis,

Hilma Nazaruddin

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ ii


DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 3
2.1 Definisi ........................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi .................................................................................. 4
2.3 Etiologi ........................................................................................... 4
2.4 Patofisiologi ................................................................................... 10
2.5 Manifestasi Klinis .......................................................................... 10
2.6 Kriteria Diagnosis .......................................................................... 14
2.7 Diagnosis Banding ......................................................................... 24
2.8 Tatalaksana..................................................................................... 19
BAB III Kesimpulan ................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan mood seperti gangguan afektif bipolar perlu mendapat perhatian.


Resiko bunuh diri meningkat pada penderita bipolar yang tidak diterapi yaitu 5,5
per 1000 pasien. Sementara yang diterapi hanya 1,3 per 1000 pasien. Gangguan
depresi juga banyak ditemui pada wanita sebesar 10-25%. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dan Eropa, diperkirakan 9-
26% wanita dan 5-12% pria pernah mengalami depresi yang gawat di dalam
kehidupan mereka. Hampir 2/3 individu yang mengalami depresi memikirkan
untuk bunuh diri dan hanya 10-15 % yang melakukan percobaan bunuh diri. Mereka
yang dibawa ke rumah sakit karena percobaan bunuh diri akan lebih berhasil bunuh
diri daripada mereka yang belum pernah dirawat di rumah sakit. Hampir semua
pasien (97%) mengeluh bahwa mereka kekurangan energi, sukar menyelesaikan
tugas mereka, prestasi belajar menurun, prestasi pekerjaan menurun, kurang
motivasi untuk menerima tugas atau proyek baru. Namun, banyak individu yang
tidak menyadari bahwa mereka menderita depresi dan pengobatan depresi.
Penegakan diagnosis perlu diputuskan dengan cermat untuk mengurangi angka
morbiditas maupun mortalitas pasien dengan gangguan afektif dan dapat diterapi
dengan baik. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membuat referat mengenai
gangguan suasana perasaan (mood/afek).1,3
Kelainan fundamental dari kelompok gangguan suasana perasaan adalah
perubahan suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya ke arah depresi, atau ke
arah elasi (suasana perasaan yang meningkat). Gangguan suasana perasaan meliputi
episode manik, gangguan bipolar (episodik manik-depresif), episode depresi,
depresif berulang, dan waham menetap.5
Kesehatan mental atau jiwa menurut UU No.3/1961 adalah suatu kondisi
yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, emosional yang optimal dari
seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain.
Seseorang yang memiliki mental atau jiwa yang sehat berarti mampu mengatasi
tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta memiliki
sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Menkes 2005). Ketika hal-hal

1
tersebut tidak dapat lagi dilakukan maka individu itu dapat dikatakan mengalami
gangguan mental.4
Gangguan suasana perasaan (mood/affek disorder) merupakan hal yang
umum dan lazim. Gangguan ini terbanyak ditemukan baik di pelayanan kesehatan
mental maupun dalam praktek dokter medis umum. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan di Amerika Serikat dan Eropa, diperkirakan 9-26% wanita dan 5-
12% pria pernah mengalami depresi yang gawat didalam kehidupan mereka.
Gangguan suasana perasaan itu sendiri didefinisikan sebagai perubahan suasana
perasaan (mood) atau afek biasanya kea rah depresi dengan atau tanpa ansietas yang
menyertainya atau ke ararh elasi (suasana perasaan yang meningkat). Apabila
perubahan ini terjadi secara bergantian maka disebut unipolar, sedangkan apabila
terjadi secara bersamaan disebut bipolar. Perubahan afek ini biasanya disertai
dengan suatu perubahan pada keseluruhan tingkatan aktivitas.1,2
Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan suasana
perasaan antara lain faktor biologi termasuk didalamnya faktor genetik. Menurut
penelitian, anak dari pasien bipolar kemungkin 18 kali lebih besar terkena gangguan
suasana perasaan. Selain itu faktor biologis lainnya yang menjadi penyebab adalah
neurotransmitter, endokrin, ritme tidur, dan aktifitas otak. Faktor psikologis dan
faktor sosial juga dapat mempengaruhi angka kejadian terjadinya gangguan suasana
perasaan seseorang.8
Sebagian besar orang yang mengalami manik, setidaknya sekali dalam
hidup mereka di lain waktu akan memiliki gangguan depresi. Kombinasi dari dua
episode, yang berada di kutub yang berlawanan dari suasana hati, disebut gangguan
bipolar atau gangguan afektif bipolar. Jarang terjadi, beberapa orang menunjukkan
fitur dari kedua manik dan depresi pada saat yang sama. Mereka hiperaktif
sementara juga mengalami suasana hati yang depresi. Pasien tersebut dikatakan
memiliki gangguan afektif campuran.7

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Episode hipomania merupakan mood elasi, ekpansif atau iritabel yang


menetap, selama periode tertentu, berlangsung paling sedikit satu minggu atau
waktunya bisa kurang dari satu minggu. Menurut PPDGJ III, episode manik
diartikan sebagai kesamaan karakteristik dalam afek yang meningkat, disertai
peningkatan dalam jumlah dan kecepatan aktivitas fisik dan mental, dalam berbagai
derajat keparahan. Kategori ini hanya untuk satu episode manik tunggal (yang
pertama), termasuk gangguan afektif bipolar, episode manik tunggal. Jika ada
episode afektif sebelumnya atau sesudahnya, termasuk gangguan afektif bipolar.1,2

Gambar dibawah ini menunjukkan gangguan mood pada Bipolar:

Gambar 2.1 Siklus suasana hati pasien bipolar.3

Episode mania berlangsung secara tiba-tiba dan dalam jangka waktu 2


minggu sampai 4-5 bulan, sedangkan episode depresi cenderung berlangsung lebih
lama (rata-rata sekitar 6 bulan) namun tidak sampai satu tahun kecuali pada orang
usia lanjut 3.

3
2.2 Epidemiologi

Data terkait angka kejadian hipomania tidak disebutkan dengan jelas,


namun angka kejadian episode mania atau hipomania pada pasien dengan gangguan
bipolar terdapat beberapa sumber. Data WHO (2017) menunjukkan gangguan
bipolar mempengaruhi sekitar 60juta orang di seluruh dunia. Sekitar 1 dari setiap
100 orang dewasa terkena gangguan bipolar pada beberapa titik dalam kehidupan
mereka. Biasanya dimulai antara usia 15 sampai 19 tahun dan jarang terjadi setelah
usia 40 tahun. Pada laki- laki dan perempuan mempunyai kemungkinan sama untuk
terkena gangguan bipolar (RCPpsych, 2015). Anak-anak juga dapat mengalami
gangguan bipolar, penyakit ini biasanya berlangsung seumur hidup.3

Setiap tahun 2,9% populasi Amerika Serikat didiagnosis menderita gangguan


bipolar, dan hampir 83% kasus tergolong parah (Mind, 2017). Prevalensi gangguan
bipolar I menunjukkan data yang sama besar antara laki-laki dan perempuan.
Sedangkan pada gangguan bipolar tipe II, menunjukkan prevalensi pada perempuan
lebih besar daripada laki-laki. Depresi atau distimia yang terjadi pertama kali pada
prapubertas memiliki risiko untuk menjadi gangguan bipolar3,4.

2.3 Etiologi

2.3.1 Faktor genetik


Penyebab gangguan hipomania sampai saat ini belum dapat diketahui dengan
pasti. Data keluarga menunjukkan bahwa apabila dari salah satu orangtua memiliki
gangguan mood, seorang anak akan memiliki risiko antara 10 dan 25% mewarisi
gangguan mood. Jika orang tua terkena bipolar, risiko ini berpengaruh besar
terhadap anaknya.5

4
Mendelian – Single Major Locus

Gambar 2.2 Model transmisi genetik penularan gangguan bipolar26


Risiko keluarga dengan pasien gangguan mood bipolar adalah 25%, dan
berulang pasien gangguan depresi adalah 20%. Risiko anak-anak dari satu orang
tua dengan gangguan mood bipolar adalah 27% dan dari kedua orang tua dengan
gangguan mood bipolar adalah 74%. Maka dari itu, faktor genetik sangatlah
berpengaruh dan dapat membuat individu rentan terkena gangguan mood.6

2.3.2 Faktor Biokimia


Asetilkolin dan GABA juga diduga terlibat (Ahuja, 2011). Dua
neurotransmiter yang sering terlibat dalam patofisiologi gangguan mood adalah
norepinefrin dan serotonin26.

Serotonin
Serotonin telah menjadi Neurotransmiter amina biogenik yang paling
sering dikaitkan dengan depresi, identifikasi beberapa subtipe serotonin dapat
26
meningkatkan mood . Ketika neurotransmiter serotonin ini dilepaskan ke
sinaps, maka saat itulah pompa bekerja me-reuptake beberapa neurotransmiter
sebelum mencapai neuron postsinaptik. Hasil studi sebelumnya menunjukkan
bahwa gejala depresi pada riwayat keluarga yang memiliki depresi disebabkan
karena pengurangan triptofan, dimana triptofan merupakan prekursor utama
seretonin. Efek ini tidak diamati di antara orang-orang yang tidak memiliki
riwayat depresi pribadi atau keluarga. Kelainan bipolar sangat sering dikaitkan

5
dengan berkurangnya sensitivitas reseptor serotonin (Kring et al., 2012). Alur
metabolisme 5-HT melibatkan deliminasi oksidarif oleh MAO, kemudian
aldehid dirubah menjadi asam 5-hidroksiindol asetat (5-HIAA) oleh aldehid
dehidrogenase7.

Dengan efek yang sangat besar reuptake serotonin selectif inhibitor


(SSRI) telah dilakukan pada pengobatan depresi, serotonin telah menjadi
neurotransmiter aminogen biogenik yang terkenal dikaitkan dengan depresi.
Identifikasi beberapa subtipe serotonin juga meningkatkan kegembiraan dalam
grup riset tentang pengembangan pengobatan depresi yang lebih spesifik. Selain
itu SSRI dan antidepresan serotonergik lainnya efektif dalam pengobatan
depresi, data lain menunjukkan bahwa serotonin terlibat dalam patofisiologi
depresi. Penipisan serotonin dapat memicu depresi, dan beberapa pasien dengan
kecenderungan bunuh diri memiliki concentration serebrospinal fluid (CSF)
serotonin metabolit rendah dan konsentrasi serotonin yang rendah dalam
trombositnya.26

Dopamin
Data menunjukkan bahwa aktivitas dopamin dapat dikurangi dalam depresi
dan meningkat pada mania.26 Dopamin disekresikan oleh neuron-neuron yang
berasal dari substansia nigra, neuron-neuron ini terutama berakhir pada regio striata
ganglia basalis. Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tirosin,
amfetamin, dan bupropion, mengurangi gejala depresi. Dua teori baru tentang
dopamin dan depresi adalah bahwa jalur dopamin mesolimbik mungkin tidak
berfungsi dalam depresi dan reseptor dopamin D1 mungkin hipoaktif dalam depresi
26
. Fungsi dopamin adalah sebagai agen inhibisi. Dopamin bersifat inhibisi pada
beberapa area tapi juga eksitasi pada beberapa area. Pasien gangguan bipolar
apabila terjadi penurunan dopamin akan menyebabkan terjadinya episode depresi,
sebaliknya peningkatan dari dopamin akan menyebabkan terjadinya episode
mania.26

6
Gambar 2.3 Proyeksi dopaminergik utama dalam CNS.26

Norepinefrin
Otak mengandung sistem saraf yang terpisah. Otak menggunakan tiga
katekolamin berbeda yaitu dopamin, norepinefrin, dan epinefrine. Setiap sistem
secara anatomis berbeda dan melayani terpisah, peran fungsional dalam bidang
persarafan7,8. Derajat CSF dari metabolit amina menunjukkan penurunan
norepinefrin dan / atau fungsi 5-HT dalam depresi.8 Keduareseptor D1 dan D2
memodulasi pelepasan NE dan epinepfrine.8 Dalam beberapa kasus kesehatan,
bahwa pada orang depresi terjadi pengurangan jumlah neurotransmiter tertentu
(monoamina seperti norepinefrin).9 Ada jumlah NE dalam jumlah yang relatif
besar hipotalamus dan di bagian tertentudari sistem limbik, seperti nukleus pusat
amigdala dan dentate gyrus hippocampus.8

Korelasi yang disarankan oleh studi ilmu dasar antara downregulation


atau penurunan sensitivitas reseptor β-adrenergik dan antidepresan klinis
mungkin merupakan bagian data yang paling menarik yang menunjukkan peran
langsung untuk sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti lain juga menerapkan
presinaptik β2- reseptor dalam depresi karena aktivasi reseptor ini menghasilkan
penurunan jumlah pelepasan norepinefrin. Reseptor presinaptik β2 juga terletak

7
pada serotonergik neuron yang berfungsi untuk mengatur jumlah serotonin yang
dilepaskan.26

Gangguan Neurotransmiter lainnya


Tingkat kolin yang tidak normal, merupakan prekursor ACH, hasil
otopsi di otak beberapa orang pasien depresi telah ditemukan kolin. Obat agonis
kolinergik dan antagonis memiliki efek klinis yang berbeda pada depresi dan
mania. Agonis dapat menghasilkan kelesuan, anergia, dan retardasi psikomotor
dalam subyek sehat, dapat memperburuk gejala depresi, dan dapat mengurangi
gejala mania.26 Benzodiazepin menghasilkan efek dengan bekerja pada reseptor
benzodiazepine (GABAbenzodiazepine kompleks reseptor), dengan demikian
secara tidak langsung meningkatkan aksi GABA, penghambat utama
Neurotransmiter di otak manusia, atau dengan kata lain memperbaiki mood
kembalinormal.3

GABA ialah neurotransmiter penghambat yang sering disebut sebagai


"substansi valium alam". Apabila GABA berada di luar jangkauan (nilai
ekskresi tinggi atau rendah), artinya bahwa neurotransmiter rangsang terlalu
sering mengacau otak. GABA akan dikirim untuk mencoba menyeimbangkan
mood kembali.9,10

GABA (gamma aminobutyric acid) adalah Neurotransmiter penghambat


utama pada SSP dan berperan penting dalam mengatur kecemasan dan
mengurangi stres.26 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelainan pada
GABA mungkin berperan gangguan mood yang parah. Sebagai Neurotransmiter
penghambat, GABA memfasilitasi koordinasi aktivitas kortikal yang dapat
mempengaruhi kemampuan pemrosesan kognitif. Dengan demikian perubahan
pada sistem GABAergic dapat menyebabkan gangguan pada pasien gangguan
bipolar.9,10 Menurut penelitian Mann et al tahun 2014 pasien bipolar mengalami
penurunan kadar GABA pada CSF, penurunan ini menyebabkan peningkatan
kecemasan psikis dan depresi berat.8

GABA merupakan hasil dari sintesis glutamat yang di katalis oleh GAD
(Glutamat dekarboksilase).11 Setelah terjadinya eksositosis, GABA akan
berdifusi dari presinap menuju celah sinap dan berikatan dengan reseptornya

8
kemudian GABA akan direuptake menuju presinap dan diuptake menuju glia
oleh GAT-1/2/3, peningkatan uptake akan mengakibatkan penurunan GABA
pada celah sinap, efek dari penurunan GABA akan memicu terjadinya gangguan
bipolar dengan episode depresi.12,35,36

Gambar 2.4 Mekanisme Patofisiologi GABA12,13

2.3.3 Faktor Psikososial

Faktor Stres Lingkungan


Kehamilan juga adalah stres yang biasanya menyerang wanita dengan
riwayatpenyakit mania dan depresi. Serta kemungkinan dapat terjadi psikosis
postpartum.13,34

Hubungan antara kehidupan yang penuh stress dengan episode suasana


hati yang pertama telah dilaporkan untuk kedua pasien dengan gangguan depresi
mayordan pasien dengan gangguan bipolar I. Sebuah teori yang diusulkan untuk
menjelaskan pengamatan ini adalah stres yang menyertai episode pertama
menghasilkan perubahan jangka panjang di otak. Perubahan-perubahan yang

berlangsung lama ini dapat mengubah berbagai keadaan fungsional

9
Neurotransmiter dan sistem pensinyalan intraneuronal, perubahan yang
mungkin termasuk kehilangan neuron dan pengurangan berlebihan dalam portal
sinaptik. Akibatnya, seseorang memiliki risiko lebih tinggi mengalami episode
gangguan mood berikutnya.26 Meningkatnya jumlah peristiwa hidup yang penuh
tekanan sebelum kekambuhan memiliki efek rumit dan bukan efek presipitasi
pada depresi meskipun memiliki peran dalam episode mania. Stres yang
meningkat pada periode awal perkembangan mungkin lebih penting dalam
depresi.8,33

Faktor Personal
Pada dasarnya semua manusia, memiliki pola kepribadian yang
menjadikannya depresi. Orang dengan gangguan kepribadian tertentu OCD,
histrionik mungkin memiliki risiko depresi lebih tinggi daripada orang-orang
dengan gangguan kepribadian antisosial atau paranoid. Itu dapat menggunakan
proyeksi dan mekanisme pertahanan eksternal lainnya untuk melindungi diri
dari kemarahan dalam diri mereka. Penelitian telah menunjukkan bahwa stres
yang dirasakan pasien sebagai refleksi negatif pada dirinya lebih cenderung
menghasilkan depresi. Selain itu, pemicu stres yang tampak ringan bagi orang
lainjustru sangat berdampak menghancurkan pasien.26

Faktor Psikodinamik pada Depresi dan Mania


Pandangan dari Sigmund Freud dan diperluas oleh Karl Abraham dikenal
sebagai pandangan klasik tentang depresi. Teori tersebut berkaitan erat dengan
empat hal penting: (1) gangguan pada hubungan bayi-ibu selama fase awal (10
sampai 18 bulan pertama kehidupan) menjadi predisposisi kerentanan depresi
selanjutnya; (2) depresi yang dapat dikaitkan dengan objek yang nyata atau yang
dibayangkan; (3) introjeksi yang berasal dari objek merupakan mekanisme
pertahanan yang diajukan untuk mengatasi kesusahan menyikapi kehilangan
objek;dan (4) membayangkan benda yang hilang dianggap sebagai campuran
cinta dan benci, perasaan marah diarahkan ke dalam dirinya sendiri.26

2.4 Patofisiologi
Tiga neurotransmiter paling banyak telah dipelajari dalam hal
kemungkinan terjadinya gangguan mood: norepinefrin, dopamin, dan serotonin

10
. Neurotransmisi dopaminergik adalah salah satu dari banyak neuorotransmisi
yang berpengaruh dan berkaitan langsung pada kejadian mood pasien dengan
gangguan bipolar, dengan terjadinya penurunan dopamin akan menyebabkan
terjadinya episode depresi. Sedangkan, peningkatan dari dopamin akan
menyebabkan terjadinya episode mania.26 Mania dan depresi juga keduanya
dikaitkan dengan kadar serotonin rendah.13,33

Gambar 2.5 Jalur serotonin dan dopamin dalam otak14

Patofisiologi dari gangguan bipolar akibat disregulasi sirkuit neural yang

dipengaruhi oleh perubahan fungsional dan perubahan struktural. Hal tersebut

dapat terjadi akibat ketidakseimbangan volume otak. Pada studi pencitraan

struktural menunjukkan bahwa depresi berat dihubungkan dengan penurunan

volume 5-10%di hipokampus.14 Eksositosis, merupakan proses peng-ekskresian

neurotransmiter ke celah sinaptik. Di mana selaput vesikula menyatu dengan

tombol presinaptik. Sinapsis adalah titik persimpangan antara dua neuron. Di

sela celah, neurotransmiter mengikat reseptor membran: protein besar

menempati di membran sel neuron pasca sinaptik. Neurotransmiter ini melintasi

celah Sinaps yang mana merupakan ruang antara akson satu neuron dan dendrit

neuron berikutnya ke jalur saraf.14,32

11
Gambar 2.6 Perubahan fungsional otak pada orang dengan gangguan
bipolar15
Keterangan :
Area otak yang terkait dengan kontrol kognitif, yang bermanifestasi mengurangi
responsif, diberi label biru. Sebaliknya, area otak limbik dan para-limbik yang
terlibat dalam regulasi emosional, terkait dengan respons kesuburan, diberi label
dengan warna merah.

Gambar 2.7 Kondisi normal saraf glial (A) & Kondisi inflamasi
peripheral sarafglial (B)15

Keterangan:
Gambar A. Saraf glial berperan dalam mengoptimalkan fungsi sistem saraf
pusat. Terdapat tiga jenis sel glial diantaranya mikroglia, oligodendrosit, dan
astroglia. Mikroglia memiliki peran dalam sistem proteksi/kekebalan (1),

12
menangkap respon inflamasi perifer. Oligodendrosit memiliki peran untuk
mengoptimalkan sinyal neuronal dengan cara membentuk benang-benang
myelin (2). Astrosit menjalankan tugasnya dengan mempertahanankan sawar
darah otak dan sebagai gap neurovaskular (3), perlindungan sinapsi neuron (4)
dengan membuang ion berlebih, pelepasan ATP untuk mengurangi pelepasan
glutamat (5), menstabilkan mikrogliamelalui pelepasan ATP, GABA, TGFb (6),
membantu siklus melalui BDNF dan GDNF ke neuron, mikroglia, dan
oligodendrosit (7), GDNF yang dilepas juga mendukung fungsi astrosit (8).15

Gambar B. Mikroglia merespon adanya inflamasi perifer yang disampaikan oleh


makrofag perivaskular dengan melepaskan ATP, sitokin, kemokin, RNS dan
ROS (1). Astrosit memberikan feedback positif dengan juga melepaskan ATP
dansitokin, yang memicu pelepasan sitokin inflamasi lebih lanjut oleh mikroglia
dan menyebabkan siklus inflamasi berkelanjutan (2). Astrosit tidak mampu
mempertahankan sawar darah otak dan kerjanya tidak optimal sebagai
penyambungneurovaskular (3). Glutamat tidak dapat diturunkan di celah sinap,
astrosit sebaliknya melepaskan sejumlah neurotransmiter yang hasilnya
menghasilkan kelebihan glutamat (4). Pelepasan GABA dikurangi (5). Astroglia
juga mengurangi BNDF dan GNDF (6) BDNF (Brain-Derived Neurotrophic
Factor) memegang peranan penting dalam mengatur pelepasan serotonin,
glutamat, dan gamma-aminobutyric acid (GABA), serta modulasi tidur.
Sedangkan GDNF (Glial Cell Line-Derived Neurotrophic Factor) adalah
regulator penting dalam neuroplastisitas, pengeluaransinyal MA (monoamine)
dan GABA, serta aktivasi mikroglia. Penurunan BDNF dan GDNF
menghasilkan mikroglia terus teraktivasi, terjadi penggangguan sistem
pembuatan benang myelin, serta apoptosis neuron. Mikroglia yang aktif
menunjukkan peningkatan aktivitas enzim indolamine 2,3-dioxygenase yang
mengubah triptofan menjadi asam kuinolat. Peningkatan metabolisme triptofan
menjadi asam kuinolat mengganggu sinyal serotonin akibat penipisan triptofan,
sementara asam kuinolat yang dilepaskan berkontribusi terhadap
neurotoksisitas. Glutamat yang dilepaskan dari astroglia mengakses reseptor N-
methyld-aspartate (NMDA) di ekstra-sinaptik, hasilnya menyebabkan

13
penambahan penekanan sintesis BDNF dan aktivasi proapoptosis. Asam kuinolat
merupakan agonis NMDA yang selanjutnya dapat mempotensiasi eksitasi.
Selanjutnya, sitokin proinflamasi mengganggu sistem 5HT dan dopamin,
selanjutnya mengganggu sinyal monoamin.15,31

2.5 Manifestasi Klinis


Manic Episode
Manik biasanya dimulai dengan tiba-tiba, dan gejala meningkat selama
beberapa hari. Seperti perilaku aneh, halusinasi, dan delusi paranoid, terjadinya
penurunan produktifitas dimasyarkat.15 Di luar rumah sakit, pasien sering kali
menggunakan alkohol yang berlebihan. Kecenderungan untuk melepaskan
pakaian di tempat umum, mengenakan pakaian dan perhiasan dengan warna
shining dalam kombinasi yang freak, dan kurangnya perhatian terhadap hal kecil
(misalnya, lupa menutup telepon). Pasien bertindak impulsif dan pada saat yang
sama merasa memiliki keyakinan dan tujuan.26

Hypomanic Episode
Episode hipomania tidak ada kerusakan yang nyata dalam fungsi sosial
atau pekerjaan, tidak ada delusi, dan tidak ada halusinasi. Beberapa pasien
mungkin lebih produktif dari biasanya, namun 5% sampai 15% pasien dapat
dengan cepat beralih ke episode manik.16 Mood yang elevasi, ekspansif, dan
iritabel merupakan ciri khas dari episode manik. Elevasi ditandai dengan
euforia, mudah tersinggung, berkurang kebubutuhan tidur, dan kecenderungan
megambil risiko, bicara lebih banyak. Grandiositas atau meningkatnya
kepercayaan diri, seperti kecenderungan menggunakan pakaian dengan warna
cerah dan perhiasan berlebihan, atau kombinasi yang aneh. Bertindak impulsif,
bersamaan dengan perilaku yang mengarah ke tujuan. Biasanya sering
disibukkan dengan ide agama, politik, keuangan, seksual, atau penganiayaan
yang dapat berkembang menjadi sistem delusi yang kompleks.16,17,31
• Mood, Afek, dan Perasaan. Pasien manik biasanya euforik, tapi mereka
mungkin juga iritabel, khususnya ketika muncul mania. Pasien ini juga
memiliki toleransi rendah terhadap frustasi, yang dapat mengarahkan ke

14
rasa marah dan bermusuhan. Pasien manik dapat labil secara emosi, berganti
dari tertawa ke iritabilitas ke depresi dalam hitungan menit atau jam.18
• Pembicaraan. Pasien manik tidak dapat disela ketika meraka sedang
berbicara, dan mereka sering menjadi/dianggap pengganggu bagi orang-
orang di sekeliling mereka. Pembicaraan mereka sering terganggu. Ketika
mania menjadi lebih intens, pembicaraan menjadi semakin keras, semakin
cepat, dan sulit diartikan, kemudian diisi dengan lelucon, sajak, bermain
dengan kata-kata, serta tidak relevan ketika keadaan mania semakin
meningkat. Masih pada tingkat aktivitas yang lebih besar, asosiasi menjadi
longgar, kemampuan untuk berkonsentrasi memudar, serta flight of ideas,
word salad, dan neologisme timbul. Pada cetusan manik akut, pembicaraan
dapat benar-benar inkoheren dan tidak dapat dibedakan dengan orang
dengan skizofrenia.18,30
• Gangguan persepsi. Waham timbul pada 75% pasien manik. Waham
manik yang kongruen mood sering berkenaan dengan kemakmuran,
kemampuan yang luar biasa, atau kekuatan. Waham bizar dan tidak
kongruen mood dan halusinasi juga terjadi pada mania.18,30
• Pikiran. Isi pikir pasien mania mencakup tema kepercayaan diri dan
membesarkan diri. Pasien manik sering mudah teralih perhatiannya, dan
dungsi kognitif pada keadaan manik ditandai dengan arus gagasan yang
tidak tertahan dan dipercepat.18,30
• Penilaian dan Tilikan. Gangguan dalam penilaian merupakan tanda khas
pasien manik. Mereka dapat melanggar hukum dalam hal kartu kredit,
aktivitas seksual, serta keuangan dan kadang-kadang melibatkan keluarga
mereka di dalam kehancuran keuangan mereka. Pasien manik juga memiliki
sedikit tilikan terhadap gangguan mereka.18,30
• Taraf dapat Dipercaya. Pasien manik dikenal tidak dapat dipercaya
informasinya. Oleh karena berbohong dan menipu lazim pada mania, klinisi
yang tidak berpengalaman mungkin mengobati pasien manik dengan sikap
meremehkan yang tidak sesuai.18,30

15
2.6 Diagnosis

Kriteria diagnostik episode manik adalah sebagai berikut:36

A. Menurut PPDGJ III


F 30.0 Hipomania
• Gangguan lebih ringan dari mania. Afek yang meninggi/berubah
disertai peningkatan aktivitas yang menetap minimal beberapa hari
berturut-turut.
• Ada pengaruh nyata atas kelancaran pekerjaan dan aktivitas sosial.
F30.1 Mania tanpa gejala psikotik

• Episode harus berlangsung minimal 1 minggu dan cukup berat


sampai mengacaukan pekerjaan dan aktivitas sosial.
• Perubahan afek harus disertai dengan energi yang bertambah
sehingga terjadi aktivitas berlebihan, percepatan dan kebanykan
bicara, berkurangnya kebutuhan tidur, Grandiose ideas, dan terlalu
optimistic.
F 30.2 Mania dengan gejala psikotik

• Gambaran klinis lebih berat dari mania tanpa gejala psikotik.


• Harga diri yang membumbung dan gagasan kebesaran dapat
berkembang menjadi waham kebesaran. Iritabilitas dan kecurigaan
menjadi waham kejar. Waham dan halusinasi sesuai dengan
keadaan afek.

B. Menurut DSM V
• Mood elasi, ekspansif atau iritabel yang menetap, selama periode
tertentu, berlangsung paling sedikit satu minggu (atau waktunya
bisa kurang dari satu minggu bila dirawat inap).36
• Selama periode gangguan mood tersebut, tiga (atau lebih), gejala di
bawah ini menetap dengan derajat berat yang bermakna : 36
1. Grandiositas atau meningkatnya kepercayaan diri

16
2. Berkurangnya kebutuhan tidur (merasa segar dengan hanya
tidur 3 jam )
3. Bicara lebih banyak dari biasanya atau adanya desakan untuk
tetap berbicata
4. Loncatan gagasan atau pengalaman subjektif bahwa pikirannya
berlomba
5. Distrakbilitas (perhatian mudah terlalih kepada stimulus
eksternal yang tidak relevan atau tidak penting)
6. Meningkatnya aktivitas yan bertujuan (sosial, perkerjaan,
sekolah, seksual) atau agitasi psikomotor
7. Keterlbatan yang berlebihan dalam aktivitas yang
menyenangkan yang berpotensi merugikan (inventasi bisnis
yang kurang perhitungkan, hubungan seksual yang sembrono,
atau terlalu boros )
• Gangguan mood sangat berat sehingga menyebabkan hendaya
yang jelas dalam fungsi pekerjaan, aktivitas sosial yang biasa
dilakukan, hubungan dengan orang lain, atau memerlukan
perawatan untuk menghindari melukai diri sendiri atau orang lain,
atau dengan gambaran psikotik
• Gejala-gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung
penggunaan zat(misalnya, penyalahgunaan zat, obat, atau terapi
lainnya) atau kondisi medik umum (misalnya hipertiroid).

Episode Hipomania
a. Periode yang berbeda dari suasana normal yang tidak normal dan terus-
menerus meningkat, ekspansif, atau mudah tersinggung dan aktivitas dan
energi yang tidak normal dan terus-menerus meningkat, berlangsung paling
tidak 4 hari berturut-turut dan sebagian besar hari, hampir setiap hari.19,20
b. Selama periode gangguan mood dan peningkatan energi atau aktivitas, tiga
(atau lebih) dari gejala berikut empat (jika mood hanya mudah tersinggung)
hadir pada tingkat signifikan dan merupakan perubahan yang nyata dari

17
perilaku yang biasa:19,20
1. Harga diri meningkat atau berlebihan.
2. Berkurangnya kebutuhan tidur (misalnya terasa telah beristirahat setelah
tidur hanya 3 jam).
3. Lebih banyak bicara dari biasanya atau tekanan untuk terus berbicara.
4. Gagasan flight atau pengalaman subyektif bahwa pikiran sedang
berlomba.
5. Distractibility (yaitu perhatian terlalu mudah tertarik ke rangsangan
eksternal yang tidak penting atau tidak relevan), seperti yang dilaporkan
atau diamati.

6. Peningkatan aktivitas yang diarahkan pada tujuan (baik secara sosial, di


tempat kerja atau di sekolah, atau seksual) atau agitasi motorik (aktivitas
tanpa tujuan).
7. Keterlibatan berlebihan dalam aktivitas yang memiliki potensi
konsekuensi menyakitkan yang tinggi (misalnya, terlibat dalam pembelian
eceran yang tidak terbatas, ketidaksopanan seks, atau investasi bisnis yang
bodoh).
c. Episode ini terkait dengan perubahan fungsi yang tidak jelas yang tidak
seperti karakteristik individu jika tidak bergejala.
d. Gangguan dalam mood dan perubahan fungsi dapat diamati oleh orang lain.
e. Episode ini tidak cukup parah untuk menyebabkan kerusakan yang
ditandai pada fungsi sosial atau pekerjaan atau memerlukan rawat inap.
Jika ada fiturpsikotik, episode tersebut menurut definisi mania.
f. Episode ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya,
penyalah gunaan obat) atau kondisi medis lainnya. Episode hipomania
lengkap yang muncul selama pengobatan antidepresan (misalnya,
pengobatanterapi elektrokonvulsif) namun berlanjut pada tingkat sindrom
sepenuhnya diluar efek fisiologis pengobatan tersebut adalah bukti yang
cukup untukdiagnosis episode hipomania. Namun, hati-hati diindikasikan
sehingga satu atau dua gejala (terutama pada mudah tersinggung, gelisah,
atau agitasi setelah penggunaan antidepresan) tidak dianggap memadai
untuk diagnosis episode hipomania, atau juga indikasi diatesis bipolar.

18
Catatan: Kriteria a-f merupakan episode hipomania. Episode hipomania
umum terjadi pada kelainan bipolar I namun tidak diperlukan untuk
diagnosis gangguan bipolar I.

2.7 Tatalaksana

2.7.1 Terapi Non Farmakologi


Menggobati penyalagunaan zat serta pemberian nutrisi yang baik dengan
protein normal dan asupan asam lemak esensial, berolahraga, tidur yang cukup,
pengurangan stres, dan terapi psikososial.21,29 Ini bisa dilakukan dengan
memberikan dukungan, edukasi, dan bimbingan kepada orang-orang dengan
gangguan bipolar dan keluarga penderita gangguan bipolar. Beberapa perawatan
psikoterapi yang digunakan untuk mengobati gangguan bipolar meliputi:23,28
• Terapi kognitif (CBT)
• Terapi keluarga
• Terapi psycotherapy interpersonal

2.7.2 Electroconvulsive Therapy


Bentuk perawatan psikologis yang berbeda telah terbukti membantu
mengurangi gejala depresi.22 Electroconvulsive therapy (ECT) adalah
perawatan yang aman dan efektif untuk penyakit mental berat tertentu. Pasien
dengan depresi adalah target untuk ECT yang cocok untuk diterapkan.24,25
Electroconvulsive Therapy (ECT) dapat memberikan bantuan bagi orang dengan
gangguan bipolar berat yang tidak dapat sembuh dengan perawatan lainnya.
Terkadang ECT digunakan untuk gejala bipolar saat kondisi medis lainnya,
termasuk kehamilan, yang terlalu berisiko minum obat. Pasien gangguan bipolar
harus mendiskusikan kemungkinan manfaat dan risiko ECT dengan profesional
kesehatan. Dikarenakan ECT dapat menyebabkan beberapa efek samping
jangka pendek, termasuk kebingungan, disorientasi, dan penurunan memori.
Hingga amnesia. 23,27

19
2.7.3 Terapi Farmakologi

Pengobatan bentuk mania dan hipomania yang lebih ringan jelas belum
dipelajari secara memadai, meskipun secara umum diasumsikan bahwa apa yang
berhasil untuk mania harus bekerja untuk hipomania juga; namun, keputusan klinis
umumnya dibuat berdasarkan kerangka rasio manfaat:risiko, dan oleh karena itu
diperlukan lebih banyak studi headto-head dan uji coba spesifik pada subpopulasi
ini. Mania psikotik telah dipelajari dengan lebih baik, dan sebagian besar laporan
percobaan memberikan analisis terpisah untuk pasien psikotik versus nonpsikotik.
Akhirnya, mania campuran juga telah dipelajari dalam beberapa percobaan, dan
mungkin merespon lebih baik terhadap valproat, antipsikotik atipikal—atau
kombinasi keduanya—daripada terapi tradisional lainnya, namun tetap menjadi
tantangan, terutama karena tingginya risiko beralih ke depresi.28,29

Tujuan pengobatan episode manik akut atau campuran adalah untuk


meringankan gejala dan memungkinkan kembalinya fungsi psikososial ke tingkat
normal. Mencapai kontrol cepat agitasi, agresi, dan impulsif sangat penting untuk
memastikan keselamatan pasien dan orang-orang di sekitar mereka, dan untuk
memungkinkan pembentukan aliansi terapeutik. Terkadang, rawat inap wajib
diperlukan untuk memulai pengobatan yang efektif.30

Meskipun kriteria diagnostik memungkinkan episode mood bipolar


didefinisikan sebagai hipomanik, manik, atau campuran, sulit untuk
membedakannya secara andal. Derajat atau peningkatan suasana hati itu sendiri
bukanlah faktor penentu dalam memilih di antara ketiga diagnosis; sebaliknya,
tingkat gangguan dan gangguan perilaku, sebagaimana dibuktikan oleh agresi,
agitasi, psikosis, penilaian yang buruk, dan disfungsi sosial atau pekerjaan, adalah
pencetus perhatian klinis yang biasa dan karenanya menjadi target utama
intervensi. Oleh karena itu, dalam istilah praktis, pasien bipolar I yang mengalami
episode hipomanik, manik, atau campuran biasanya dapat dikelola dengan strategi
"peningkatan mood akut" yang umum. Namun, bahkan jika pemisahan antara
pengobatan akut dan pengobatan jangka panjang masuk akal dari perspektif
operasional, dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi jelas bahwa pendekatan
terbaik untuk pengobatan gangguan bipolar adalah pendekatan manajemen

20
integratif, menangani masalah-masalah mendesak dan akut sambil tetap menjaga
perspektif jangka panjang dan hasil fungsional. Untuk alasan ini, pengobatan mania
harus selalu memperhitungkan masalah jangka panjang, termasuk tidak hanya
penilaian cross-sectional tetapi juga polaritas episode yang dominan, dan prinsip-
prinsip umum sebagaimana ditentukan dalam decalogue untuk pengelolaan
gangguan bipolar sebagai berikut:34,35,36

1. Untuk memastikan keselamatan pasien dan orang lain


2. Untuk mengobati dan mengurangi keparahan episode mood akut ketika
mereka terjadi
3. Untuk mengobati gejala psikotik ketika terjadi
4. Untuk menghindari bersepeda dari satu episode ke episode lainnya
5. Untuk mencegah perilaku bunuh diri
6. Untuk mengurangi frekuensi episode mood
7. Untuk mengobati gejala subthreshold
8. Untuk mengobati penyakit penyerta, kesehatan secara keseluruhan, dan
masalah kognitif
9. Untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan perawat tentang gangguan
dan meningkatkan kepatuhan pengobatan
10. Untuk membantu fungsi pasien seefektif mungkin antara: semua episode

Obat yang paling banyak digunakan dalam keadaan akut adalah lithium,
beberapa antikonvulsan (valproate, carbamazepine), antipsikotik standar
(misalnya, haloperidol, chlorpromazine), antipsikotik atipikal (misalnya,
quetiapine, olanzapine, risperidone, ziprasidone, aripiprazole, clozapine), dan
benzodiazepin. (misalnya, lorazepam, clonazepam). Pilihan pengobatan awal
dipengaruhi oleh riwayat pengobatan pasien saat ini dan sebelumnya, kebutuhan
untuk resolusi agitasi dan agresi yang cepat, karakteristik episode manik, dan
adanya siklus cepat, serta kemauan pasien sendiri untuk menerima pengobatan
tertentu. terapi dan rute pemberian. Bila memungkinkan, terapi oral harus
ditawarkan terlebih dahulu, tetapi injeksi intramuskular merupakan alternatif jika
terapi oral tidak dapat diberikan dengan andal.33

21
Konsensus yang diterbitkan, pedoman klinis, dan algoritme pengobatan
menunjukkan beberapa perbedaan dalam rekomendasi mereka untuk pengobatan
lini pertama dan kedua mania akut. Meskipun mayoritas mendukung penggunaan
monoterapi dengan litium, valproat, dan dalam beberapa kasus olanzapine dan
antipsikotik lainnya pada mania ringan hingga sedang, ada peningkatan pengakuan
bahwa sejumlah besar pasien akhirnya akan menerima dua atau lebih obat.32

Litium

Lithium telah digunakan dalam pengobatan mania bipolar akut selama lebih
dari 50 tahun, dan telah menunjukkan keunggulan dibandingkan plasebo dalam
beberapa uji klinis terkontrol. Di penelitian ini, persentase pasien yang
menunjukkan setidaknya perbaikan sedang setelah 2 sampai 3 minggu pengobatan
berkisar antara 40% sampai 80%. Lithium tampaknya paling efektif pada pasien
dengan mania klasik (euforia), sementara tingkat respons relatif buruk pada
keadaan campuran atau siklus cepat.34

Kelemahan terapi lithium termasuk indeks terapeutiknya yang sempit


(tingkat plasma yang direkomendasikan 0,8 hingga 1,2 mmol/L), tolerabilitas yang
buruk, terutama pada dosis yang lebih tinggi, dan risiko "rebound mania" saat putus
obat. Efek samping yang umum dari lithium adalah tremor, polidipsia, poliuria,
dan, dalam jangka panjang, hipotiroidisme. Terlepas dari kekurangan ini, lithium
tetap berperan sebagai pengobatan lini pertama dan secara luas dilihat sebagai
pembanding standar emas untuk agen yang lebih baru, belum lagi mungkin
memiliki efek antisuicidal. Lithium juga telah dievaluasi dalam kaitannya dengan
agen antimanik lainnya. Perbandingan head-to-head dengan obat antipsikotik
(biasanya klorpromazin) umumnya menemukan lithium lebih unggul dalam hal
perbaikan keseluruhan gejala, suasana hati, dan ide, tetapi lebih buruk sehubungan
dengan hiperaktivitas motorik dan onset tindakan. Lithium sama manjurnya dengan
quetiapine dalam uji coba double-blind acak selama 12 minggu. Dalam studi acak
tiga kelompok yang membandingkan plasebo, litium, dan valproat, litium dan
valproat sama efektifnya dalam memperbaiki gejala manik.33

Perbandingan acak dari penstabil mood (lithium atau valproate), sendiri


atau dalam kombinasi dengan antipsikotik, umumnya menemukan bahwa

22
kombinasi lebih unggul daripada monoterapi untuk kontrol cepat gejala manik.
Sebaliknya, dua studi double-blind gagal menunjukkan keunggulan lithium plus
antipsikotik (haloperidol atau pimozide) dibandingkan antipsikotik saja dalam
pengobatan mania akut. Litium juga ditemukan dapat ditoleransi dengan baik
dalam kombinasi dengan antipsikotik atau antikonvulsan.31

Antikonvulsan

Valproat

Pertama kali sodium valproat digunakan untuk pengobatan mania akut dan
pencegahan gangguan mood bipolar. Terutama berguna pada pasien yang sulit
sembuh dengan litium. Kisaran dosis biasanya 1000-3000 mg/hari (tingkat darah
terapeutik adalah 50-125 mg/ml). Memiliki onset of action yang lebih cepat
daripada litium, oleh karena itu, dapat digunakan dalam perawatan mania secara
efektif.31

Karbamazepin

Karbamazepin telah dianggap sebagai alternatif yang masuk akal untuk


lithium ketika kurang efektif. Karbamazepin adalah senyawa trisiklik yang efektif
dalam pengobatan depresi bipolar. Pertama kali dipasarkan untuk pengobatan
neuralgia trigeminal tetapi juga terbukti berguna untuk terapi epilepsy.30

Onset of action obat lebih cepat dibandingkan dengan litium, namun lebih
lambat dibandingkan valproat. Kisaran dosis karbamazepin adalah 600-1600
mg/hari (tingkat darah terapeutik adalah 4-12 mg/ml). Penggunaan karbamazepin
dalam pengobatan gangguan bipolar baru-baru ini menurun, sebagian karena
potensinya dengan interaksi obat lain. Karbamazepin dapat digunakan untuk
mengobati mania akut dan juga untuk terapi profilaksis. Efek samping umumnya
tidak lebih besar dan terkadang kurang dari yang terkait dengan litium.
Karbamazepin dapat digunakan sendiri atau, pada pasien sulit sembuh, dapat
dikombinasikan dengan litium atau dengan asam valproat. Penggunaan
karbamazepin sebagai penstabil mood mirip dengan penggunaannya sebagai
antikonvulsan.32

23
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan afektif merupakan sekelompok penyakit yang bervariasi


beratnya. Gangguan afektif terdiri dari episode manik, gangguan bipolar, episode
depresif, gangguan depresif berulang, dan gangguan afektif menetap. Gangguan
bipolar bersifat episodik, ditandai oleh gejala-gejala manik, depresif, maupun
campuran, biasanya rekuren dan dapat berlangsung seumur hidup. Penegakan
diagnosa penting untuk memberikan penatalaksanaan yang tepat bagi pasien.
Hipomania merupakan mood elasi, ekpansif atau iritabel yang menetap,
selama periode tertentu, berlangsung paling sedikit satu minggu atau waktunya bisa
kurang dari satu minggu. Menurut PPDGJ III, episode manik diartikan sebagai
kesamaan karakteristik dalam afek yang meningkat, disertai peningkatan dalam
jumlah dan kecepatan aktivitas fisik dan mental, dalam berbagai derajat keparahan.
Kategori ini hanya untuk satu episode manik tunggal (yang pertama), termasuk
gangguan afektif bipolar, episode manik tunggal. Jika ada episode afektif
sebelumnya atau sesudahnya, termasuk gangguan afektif bipolar.
Faktor yang berperan penting sebagai penyebab gangguan mood adalah
faktor biologis, faktor genetika, dan faktor psikososial. Penatalaksanaan untuk
gangguan mood adalah dengan terapi psikososial serta farmakoterapi. Pemilihan
agen-agen farmakoterapi untuk gangguan mood adalah tergantung pada toleransi
pasien terhadap efek samping dan penyesuaian efek samping terhadap kondisi
pasien.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Klaus, F., et al. (2020). Loss aversion and Risk Aversion in Non-Clinical
Negative Symptoms and Hypomania. Frontiers in Psychiatry, pp. 11
2. Putra, Hendrikus Gede Surya Adhi. (2014). Gangguang Afektif Bipolar Mania
dengan Psikotik: Sebuah Laporan Kasus.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/do wnload/8514/6375.
3. Ahuja, Niraj. 2011. A Short Text Book Psychiatry Seventh Edition. India:
Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd.
4. American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorder Edition (DSM-V). Washington: American Psychiatric
Publishing.
5. Amsterdam, JD., 2020. Efficacy and safety of long-term Fluoxetine versus
lithium monotherapy of bipolar II disorder: a randomized, double-blind,
placebo- substitution study. The American Journal of Psychiatry. DOI:
10.1176/appi.ajp.2009.09020284
6. Bengesser SA, Lackner N, Birner A, Fellendorf FT. 2019. Peripheral markers
of oxidative stress and antioxidative defense in euthymia of bipolar disorder—
Gender and obesity effects. J Affect Disord 172:367–374
7. Brunton, L., Parker, K., Blumenthal, D., Buxton, I., 2010. Goodman & Gilman:
Manual Farmakologi dan Terapi (Sukandar, E.Y. Trans). Jakarta: EGC.
8. Chisholm-Burns M.A., Schwinghammer T.L., Wells B.G., Malone P.M.,
Kolesar,J.M. and Dipiro J.T., 2016. Pharmacotherapy Principles and Practice.
Mc Graw-Hill Companies, New York.
9. Ciraulo, D., Shader, R., & GreenBlatt, D. 2020. Clinical Pharmacology and
Therapeutics of Antidepressants. Pharmacotherapy of Depression, 33-123.
10. Detke H. C., Delbello M. P., Landry J., dan Usher R. W. 2018.
Olanzapine/Fluoxetine Combination in Children and Adolescents With Bipolar
I Depression: A Randomized, Double-Blind, Placebo-Controlled Trial. J Am
Acad Child Adolesc Psychiatry. Vol. 54, No. 3:217–224.

25
11. Ferrari, AJ., 2018. A systematic review of the global distribution and
availability of prevalence data for bipolar disorder. Elsevier. DOI:
10.1016/j.jad.2010.11.007
12. Flemming, Kelly., 2018. Mayo Clinic Neurology Board Review: Basic
Sciences and Psychiatry for Initial Certification. New York: Mayo Clinic
Scientific Press
13. Gao, K., 2017. Treatment-emergent mania/hypomania during antidepressant
monotherapy in patients with rapid cycling bipolar disorder. Wiley. DOI:
10.1111/j.1399-5618.2008.00637.x
14. Gonzalez-Pinto A., Vieta E., Reed C., Novick D., Barraco A., Aguado J., dan
haro J. M. 2018. Efectiveness of Olanzapine Monotherapy and Olanzapine
Combination Treatment in The Long Term Following Acute Mania – Result of
a Twi Year Observational Study in Bipolar Disorder. Journal of Affective
Disorder. No. 131:320-329.
15. Ikawati, Z., 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat. Yogyakarta:
Bursa Ilmu.Jiwo, T., 2012. Gangguan jiwa bipolar: Panduan bagi pasien,
keluarga dan teman dekat. Purworejo: Pusat Pemulihan dan Pelatihan Bagi
Penderita Gangguan Jiwa.
16. Katzung, et al 2012. Basic & Clinical Pharmacology Twelfth Edition. United
States: The McGraw-Hill Companies, Inc. Kring, A.M., Johnson, S.L.,
Davisonm, G.C., and Neale, J..M., 2012. Abnormal Psychology Twelfth
Edition. United States: John Wiley & Sons, Inc.
17. Maletic, V dan Raison C. 2014. Integrated Neurobiology Of Bipolar Disorder.
USA: Frontiers in psychiatry. DOI: 10.3389/fpsyt.2014.00098 Volume 5 : 98
18. Mauri M. C., Palleta S., Maffini M., Colasanti A., Dragogna F., Di Pace C.,
dan Altamura A. C. 2020. Clinical Pharmacology of Atypical Antipsychotics:
An Update. EXCLI Journal. No. 13: 1163-1191.
19. McCance, K., Huether, S., 2019. Pathophysiology : The Biologic Basis For
Disease In Adults and Children Seventh Edition. Canada: Elsevier Inc.
20. Mental Health. 2020. Bipolar Disorder. http://www.mentalhealth.gov/what-to-
look-for/mood-disorders/bipolar-disorder/index.html.

26
21. Mintz, D. 2015. Bipolar Disorder: Overview, Diagnostic Evaluation and
Treatment.http://www.austenriggs.org/sites/default/files/resources/Bipolar%2
0Disorder_Mintz_PDF.pdf.
22. Neal, M.J., 2012. Medical Pharmacology At a Glance (Surapsari, J. Trans).
Jakarta: Erlangga.
23. NIMH (National Institute of Mental Health), 2016. Bipolar Disorder in Adults.
United States.
24. Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar), 2018. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
25. Rothschild, AJ., 2012. The Evidence Based Guide to Antidepressant
Medications. London: American Psychiatric Publishing.
26. Sadock, B., Sadock, V., & Ruiz, P. (2015). Synopsis of Psychiatry Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry. New York: Artists Rights Society.
27. Shah N., Grover S., dan Rao G. P. 2017. Clinical Practice Guidlines for
Management of Bipolar Disorder. Indian J. Psychiatry. No. 59:51-66.
28. Stahl, S. M. (2013). Stahl’s Essential Psychopharmacology Neuroscientific
Basis and Practical Application fourth edition. New York: Cambrige Medicine
Press.
29. Strakowski S. M., Adler C. M., Almeida J., Altshuler L. L., Blumberg H. P.,
ChangK. D., et al. 2012 The functional neuroanatomy of bipolar disorder: a
consensus model. Bipolar Disord. No. 14:313–325.
30. Tasman, A., Kay, J., Lieberman, JA., 2015. Psychiatry Fourth Edition. United
Kingdom: Wiley.
31. Taylor, E.H., 2006. Atlas of Bipolar Disorder. United Kingdom: Taylor &
Francis Group.
32. Trevor, AJ., Katzung, BG., 2013. Katzung & Trevors's Pharmacology
Examination & Board Review. United States : McGraw-Hill Education.
33. Videbeck, Sheila L. 2011. Psychiatric–Mental Health Nursing 5th
Edition.China: Wolters Kluwer Health & Lippincott Williams & Wilkins
34. Wells, B., Dipiro, J., Dipiro, C., & Schwinghammer, T. (2015).
Pharmacotherapy Handbook. In B. Wells, Psychiatric Disorder (pp. 694-711).
United State Of America: McGraw-Hill Education

27
35. WHO (World Health Organization). 2018. Mental disorders:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs396/en/.
36. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJIII) di
Indonesia III, Cetakan I. Departemen Kesehatan R.I., DirektoratJendral
Pelayanan Medik.

28

Anda mungkin juga menyukai