Anda di halaman 1dari 14

REFARAT

DEPRESI PADA PASIEN HIV/AIDS

Disusun oleh :

Fitratul Azni
(102119010)

Pembimbing:

dr. Daesy Hendriati, Sp.KJ

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
RSUD Dr. RM. DJOELHAM BINJAI
2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan

karunia-Nya sehingga refarat ini dapat diselesaikan pada waktunya sebagai salah satu syarat

yang harus dipenuhi dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior di SMF bagian

Ilmu Kesehatan Jiwa RSUD Dr. RM. Djoelham Binjai. Refarat ini menyajikan suatu

pembahasan yang diuraikan secara singkat mengenai “Depresi Pada Pasien HIV/AIDS”.

Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing yaitu

dr. Daesy Hendriati, Sp.KJ atas bimbingan dan arahannya selama mengikuti Kepaniteraan

Klinik Senior di SMF bagian Ilmu Kesehatan Jiwa RSUD Dr. RM. Djoelham Binjai. Penulis

juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam

penyusunan tugas ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa refarat ini memiliki banyak kekurangan dari

kelengkapan teori maupun penuturan bahasa, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik

dan saran dari semua pihak. Harapan penulis semoga refarat ini bermanfaat bagi kita semua.

Binjai, Agustus 2020

Penulis

Fitratul Azni, S.Ked

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR………………………………………………………….. ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………. Iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………… 2
A. Depresi…………………………………………………………………... 2
1. Defenisi………………………………………………………….. 2
2. Etiologi…………………………………………………………... 2
3. Gejala dan Tingkat………………………………………………. 3
4. Faktor Resiko…………………………………………………….. 5
5. Diagnosis…………………………………………………………. 5
B. HIV/AIDS………………………………………………………………… 6
1. Defenisi……………………………………………………………. 6
2. Epidemiologi………………………………………………………. 6
3. Gejala Klinis……………………………………………………….. 7
C. Farmakologi………………………………………………………………… 7
D. Psikoterapi………………………………………………………………….. 8
E. Prognoisi…………………………………………………………………….. 9
F. Hubungan Depresi dengan HIV/AIDS……………………………………… 9
BAB III KESIMPULAN…………………………………………………………… 10
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Seseorang yang mengalami depresi ditandai dengan hilangnya rasa senang atau
ketertarikan terhadap hal-hal yang biasanya disukai. Kira-kira dua pertiga pasien depresi
mengalami fikiran akan bunuh diri dan sekitar 10 – 15% melakukan bunuh diri. Depresi
bisa disebabkan oleh faktor biologik seperti gangguan keseimbangan neurotransmitter
(norepinefrin, serotonin, dopamine, gamma amino butyric acid), gangguan regulasi
hormon, faktor genetik dan yang tidak kalah pentingnya adalah faktor psikososial (stress
kehidupan, kepribadian). Infeksi HIV/AIDS sangat erat hubungannya dengan gangguan
depresi. Penyebabnya bisa dikarenakan faktor psikologisnya ataupun efek dari agen HIV
yang sudah menginfeksi sistem saraf pusat.

Perjalanan penyakit HIV/AIDS yang progresif, penyebarannya yang luas dan cepat
serta adanya stigma dan diskriminasi pada pasien HIV/AIDS dapat menimbulkan stres
pada penderitanya. Bila gangguan psikologis ini tidak ditatalaksana dengan baik, maka
besar kemungkinan seseorang yang mengalami HIV/AIDS mengalami depresi. Jumlah
orang yang terkena HIV-AIDS didunia sampai akhir 2010 mencapai 34 juta orang
dimana dua pertiganya terdapat di Afrika Selatan kawasan Selatan Sahara. Di kawasan
itu kasus infeksi baru mencapai tujuh puluh persen, di Afrika Selatan 5,6 juta orang
terinfeksi HIV, Asia Pasifik menempati tempat kedua dengan jumlah penderita
HIV/AIDS mencapai lima juta orang. Eropa Tengah dan Barat jumlah kasus infeksi baru
HIV/AIDS sekitar 840 ribu. Sedangkan di Indonesia terdapat 5.442 kasus HIV yang
dilaporkan oleh Kemenkes dari bulan Oktober sampai Desember 2011.

Penderita HIV/AIDS yang mengalami depresi cendrung akan melakukan bunuh diri
terutama pada saat awal mengetahui terinfeksi HIV sebagai suatu respon impulsive dari
gejolak emosinya, juga resiko bunuh diri akan meningkat pada saat penyakit berlanjut
yang menyebabkan kemampuan fisik dan mental makin menurun. Dukungan sosial
merupakan salah satu penangan yang cukup efektif dalam penanganan depresi pada
pasien HIV/AIDS. Semakin besar dukungan sosial yang diberikan, maka semakin kecil
angka terjadinya depresi. Dukungan sosial ini bisa dari keluarga dekat, teman-teman,
lingkungan sekitar bahkan pemerintah.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Depresi
1. Defenisi
Depresi merupakan gangguan mental yang serius yang ditandai dengan perasaan
sedih dan cemas. Gangguan ini biasanya akan menghilang dalam beberapa hari tetapi
dapat juga berkelanjutan yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari.
Depresi adalah gangguan mental yang umum, ditandai dengan kesedihan,
kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau rendah diri, tidur terganggu
atau nafsu makan, perasaan kelelahan, dan kurang konsentrasi.
2. Etiologi
 Faktor Biologis
Banyak penelitian melaporkan abnormalitas metabolit amin biogenic- seperti asam
5-hidroksiindolasetat (5-HIAA), asam homovanilat (HVA) dan 3 metoksi- 4-
hdroksifenilglikol (MHPG)- di dalam darah, urine dan cairan serebrospinalis pasien
dengan gangguan mood.
 Faktor Neurokimia
Neurotransmitter asam amino dan peptide neuro aktif telah dilibatkan dalam
patofiologi gangguan mood. Sejumlah peneliti telah mengajukan bahwa system
messengers kedua- seperti regulasi kalsium, adenilat siklase, dan fosfatidilinositol
dapat menjadi penyebab. Asam amino glutamate dan glisin tampaknya menjadi
neurotransmitter eksitasi utama pada system saraf pusat. Glutamat dan glisin
berikatan dengan reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA), jika berlebihan dapat
memiliki efek neurotoksik. Hipokampus memiliki konsentrasi reseptor NMDA yang
tinggi sehingga mungkin jika glutamate bersama dengan hiperkortisolemia
memerantarai efek neurokognitif pada stress kronis.

 Faktor Genetik
Faktor genetik yang signifikan terlibat dalam timbulnya gangguan mood tetapi pola
pewarisan genetik terjadi melalui mekanisme yang kompleks. Tidak hanya

2
menyingkirkan pengaruh psikososial tetapi faktor nongenetik mungkin memiliki
peranan kausatif didalam timbulnya gangguan mood pada beberapa orang. Komponen
genetik memiliki peranan yang bermakna didalam gangguan bipolar I daripada
gangguan depresi berat.
 Faktor Psikososial
Peristiwa hidup dan penuh tekanan lebih sering timbul mendahului episode
gangguan mood yang megikuti. Stress yang menyertai episode pertama
mengakibatkan perubahan yang bertahan lama didalam biologi otak. perubahan yang
bertahan lama ini dapat menghasilkan perubahan keadaan fungsional berbagai
neurotransmitter dan system pemberian sinyal interaneuron, perubahan yang bahkan
mencakup hilangnya neuron dan berkurangnya kontak sinaps yang berlebihan.
Akibatnya seseorang memiliki resiko tinggi mengalami episode gangguan mood
berikutnya, bahkan tanpa stressor eksternal. Klinis lain menunjukkan bahwa peristiwa
hidup hanya memegang peranan terbatas dalam awitan dan waktu depresi.
 Faktor Kepribadian
Tidak ada satupun ciri bawaan atau jenis kepribadian yang secara khas merupakan
predisposisi seseorang mengalami depresi dibawah situasi yang sesuai. Orang dengan
gangguan kepribadian tertentu- objektif kompulsif, histrionic dan borderline-mungkin
memiliki resiko yang lebih besar untuk mengalami depresi daripada orang dengan
gangguan kepribadian antisocial atau paranoid. Gangguan kepribadian paranoid dapat
menggunakan mekanisme defense proyeksi dan mekanisme eksternalisasi lainnya
untuk melindungi diri mereka dari kemarahan didalam dirinya. Tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa gangguan kepribadian tertentu terkait dengan timbulnya
gangguan bipolar I dikemudian hari meskipun demikian, orang dengan gangguan
distemik dan siklotimik memiliki resiko gagguan depresi berat atau gangguan bipolar
I kemudian hari.

3. Gejala dan Tingkat Depresi


PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III) yang
merujuk pada ICD- 10 ( International Classification Diagnostic 10) menyebutkan

3
gejala depresi menjadi gejala utama dan gejala lainnya seperti yang terurai di bawah
ini :
 Gejala utama meliputi :
1. Perasaan depresif atau perasaan tertekan.
2. Kehilangan minat dan semangat.
3. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah.

 Gejala lain meliputi :


1. Konsentrasi dan perhatian berkurang.
2. Perasaan bersalah dan tidak berguna.
3. Tidur terganggu.
4. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang.
5. Perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri.
6. Pesimistik dan nafsu makan berkurang.

Berpedoman pada PPDGJ III yang rujuk pada ICD- 10 ( International


Classification Diagnostic 10), tingkat depresi dibedakan dalam depresi berat ,
sedang dan ringan sesuai dengan banyak & beratnya gejala serta dampaknya
terhadap fungsi kehidupan seseorang. Gejala yang dimaksudkan terdiri atas gejala
utama & gejala lainnya yaitu :

a. Ringan, sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga gejala depresi ditambah
dua dari gejala di atas ditambah dua dari gejala lainnya namun tidak boleh
ada gejala berat diantaranya. Lama periode depresi sekurang- kurangnya
selama dua minggu. Hanya sedikit kesulitan kegiatan sosial yang umum
dilakukan.
b. Sedang, sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga gejala utama depresi
seperti pada episode depresi ringan ditambah tiga atau empat dari gejala
lainnya. Lama episode depresi minimum dua minggu serta menghadaapi
kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial.

4
c. Berat, tanpa gejala psikotik yaitu semua tiga gejala utama harus ada
ditambah sekurang-kurangnya empat dari gejala lainnya. Lama episode
sekurang-kurangnya dua minggu akan tetapi apabila gejala sangat berat dan
onset sangat cepat maka dibenarkan untuk menegakkan diagnosa dalam
kurun waktu dalam dua minggu. Orang sangat tidak mungkin akan mampu
meneruska kegiatan sosial, perkerjaan, urusan rumah tangga kecuali pada
taraf yang sangat terbatas.

4. Faktor Resiko
Faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya depresi adalah sebagai berikut:
1. Kehilangan / meninggal orang (objek) yang dicintai.
2. Sikap pesimistik
3. Kecenderungan berasumsi negative terhadap suatu pengalaman yang
mengecewakan.
4. Kehilangan integritas pribadi
5. Berpenyakit degenerative kronik, tanpa dukungan sosial yang adekuat.

5. Diagnosis
Beck Depression Inventory dibuat oleh dr.Aaron T. Beck, BDI
merupakan salah satu instrumen yang paling sering digunakan untuk mengukur
derajat keparahan depresi. Para responden akan mengisi 21 pertanyaan, setiap
pertanyaan memiliki skor 1 s/d 3, setelah responden menjawab semua pertanyaan
kita dapat menjumlahkan skor tersebut, Skor tertinggi adalah 63 jika responden
mengisi 3 poin keseluruhan pertanyaan. Skor terendah adalah 0 jika responden
mengisi poin 0 pada keseluruhan pertanyaan. Total dari keseluruhan akan
menjelaskan derajat keparahan yang akan dijelaskan di bawah ini.

1-10 = normal

11-16 = gangguan mood ringan

5
17-20 = batas depresi borderline

21-30 = depresi sedang

31-40 = depresi
berat >40 =
depresi ekstrim

B. HIV/AIDS
1. Definisi
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu virus yang
menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4
sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Gejala-gejala timbul
tergantung dari infeksi oportunistik yang menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi
oleh karena menurunnya daya tahan tubuh (kekebalan) yang disebabkan rusaknya
sistem imun tubuh akibat infeksi HIV tersebut.
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang
merupakan dampak atau efek dari perkembang biakan virus HIV dalam tubuh
makhluk hidup. Sindrom AIDS timbul akibat melemah atau menghilangnya sistem
kekebalan tubuh karena sel CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusak oleh Virus
HIV.

2. Epidemiologi
United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) Global Statistics (2), bahwa
prevalensi HIV dan AIDS di dunia mencapai 36,9 juta penderita. Penderita HIV dan
AIDS terbanyak berada di wilayah Afrika sebanyak 24,7 juta penderita. Sedangkan di
Asia tercatat 4,8 juta penderita HIV dan AIDS. Di Indonesia secara kumulatif sampai
bulan Desember 2016 jumlah penderita HIV sudah mencapai 232.323 jiwa. Hanya di
tahun 2016 dilaporkan bahwa sebanyak 41.250 jiwa penderita HIV, dimana terdapat
26.099 orang (63,3%) yang berjenis kelamin laki-laki, dan sebanyak 15.151 orang
(36,7%) yang berjenis kelamin perempuan. Penyakit HIV/AIDS telah menimbulkan

6
masalah yang cukup luas terhadap individu yang terinfeksi yakni meliputi masalah
fisik,sosial, dan emosional. Salah satu masalah emosional terbesar yang dihadapi
ODHA adalah depresi. Kasus depresi pada ODHA ini diperkirakan mempunyai
frekuensi mencapai 60% dari total kasus depresi yang ada. Angka ini lebih tinggi dari
prevalensi depresi yang ada pada masyarakat umum, yaitu hanya sekitar 5-10% dari
total kasus depresi.

3. Gejala Klinis
Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya
sulit dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada
penderita penyakit lainnya. Secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Rasa lelah dan lesu
b. Berat badan menurun secara drastic
c. Demam yang sering dan berkeringat waktu malam
d. Mencret dan kurang nafsu makan
e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
f. Pembengkakan leher dan lipatan paha
g. Radang paru
h. Kanker kulit

C. Farmakologi
Pasien dapat merasakan gejala depresi yang bervariasi, beberapa gejala dapat
diringankan melalui pengobatan anti depresan. Misalnya pada pasien yang sulit tidur,
dapat diberikan anti depresan yang memiliki efek sedative.

7
Pengobatan yang digunakan untuk pasien HIV yang mengalami depresi

D. Psikoterapi
Psikoterapi adalah suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional seorang pasien
yang dilakukan oleh seorang terlatih dalam hubungan professional secara dengan maksud
hendak menghilangkan, mengubah, atau menghambat gejala-gejala yang ada, mengoreksi
perilaku yang terganggu dan mengembangkan pertumbuhan kepribadian secara positif.
Seluruh pendekatan psikoterapetik mungkin sesuai untuk pasien dengan gangguan trkait
HIV/AIDS. Baik terapi individu maupun kelompok menjadi lebih efektif. Terapi individu
dapat bersifat jangka pendek dan jangka panjang dan dapat berupa suportif, kognitif,
perilaku dan psikodinamika.
Psikoterapi supportif pada pasien HIV bertujuan untuk menguatkan daya mental yang
ada, mengembangkan mekanisme yang baru dan yang lebih baik untuk mempertahankan
kontrol diri, mengembalikan keseimbangan adaptif (dapat menyesuaikan diri). Seperti
berupa bujukan, sugesti, bimbingan, penyuluhan, hipnoterapi.

8
E. Prognosis
Serangan episode depresif mempunyai prognosis yang bervariasi secara umum
lebih baik jika di follow up dalam waktu lama. Resiko relaps berkurang jika pemberian
anti depresan dilanjutkan sampai 6 bulan setelah serangan depresif. Yang mengobati
pasien dengan HIV/AIDS perlu menyadari permasalahan psikiatri dan psikososial yang
rumit.

F. Hubungan Depresi dengan HIV/AIDS


Gangguan mood, terutama depresi , adalah komplikasi kejiwaan paling umum yang
terkait dengan penyakit HIV/AIDS. Studi menemukan orang dengan HIV/AIDS
memiliki dua kali risiko depresi dibandingkan mereka yang berisiko HIV tetapi tidak
sebenarnya terinfeksi.Depresi juga bisa menjadi konsekuensi dari cedera otak HIV
atau obat antiretroviral . Satu studi menemukan bahwa jumlah kumulatif prevelensi
depresi pada pasien HIV/AIDS adalah lebih dari 22%.
Banyak profesional perawatan kesehatan percaya bahwa diagnosis HIV/AIDS
akan menghasilkan depresi. Meskipun diagnosis pasti akan memicu kecemasan dan
kesusahan-kadang begitu parah itu merusak fungsi dan bahkan dapat menyebabkan
bunuh diri-ini jenis respons emosional-situasi tertentu adalah tidak sama dengan
depresi. Seseorang tertekan oleh diagnosis HIV/ AIDS mungkin memang memerlukan
pengobatan, yang paling mungkin untuk reaksi penyesuaian, tapi tekanan akan
menanggapi mendukung dan lain jenis psikoterapi daripada obat-obatan.

9
BAB III
KESIMPULAN

Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal. Sekitar 75% pasien yang didiagnosis AIDS
meninggal 3 tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5% kasus pasien terinfeksi HIV
yang tetap sehat secara klinis dan imunologis.
Kenali bahwa penegakan diagnosis AIDS sangat menimbulkan distress pada pasien
karena dampak sosial yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut dan prognosis tidak
menggembirakan. Pasien dapat kehilangan pekerjaan dan rasa aman finansial selain itu
kehilangan dukungan keluarga dan sahabat-sahabatnya. Lakukan tindakan yang terbaik
untuk membantu pasien mengatasi perubahan citra tubuh yang menjadi beban emosional
akibat sakit yang serius dan acaman kematian.
Manifestasi psikiatrik yang sering dijumpai berhubungan dengan infeksi HIV
berupa gangguan fungsional seperti depresi, cemas, gangguan, hingga keinginan untuk
bunuh diri. Dapat juga dijumpai gangguan mental organik seperti demensia dan delirium.
Meskipun begitu, juga dapat dikhawatirkan perubahan suasana afektif dari pasien ini juga
dipengaruhi oleh obat-obatan HIV/AIDS. Sehingga seorang psikiater harus lebih mampu
melihat gangguan ini apakah berasal dari penolakan pasien terhadap penyakitnya maupun
efek samping pengobatannya.
Perlunya pertimbangan psikoterapi pada proses pengobatan pasien HIV/AIDS
sehingga tidak hanya berorientasi pada penyembuhan gejala tetapi juga dengan melihat
aspek psikiatri dari pasien.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. J. Sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS dr.RSUP Haji Adam Malik Medan
(tesis).2008. Available
from:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6362/1/09E00196.pdf.
2. Goldenberg D, Brian A, Boyle MD. HIV dan psikiatri : bagian 1. 2000. Availablefrom :
URL: http://www.medscape.com/viewarticle/410244
3. Goldenberg D, Brian A, Boyle MD. HIV dan psikiatri : bagian 2. 2000. Available
from : URL: http://www.medscape.com/viewarticle/410244
4. Wibowo A. Frekuensi psikopatologi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) diYayasan
Pelita Ilmu (YPI) Kampung Bali. 2004. Available from
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/
5. Muchid A, Chisin, wurjati R, et al. Pharmaceutical care untuk penderita gangguan
depresif. 2007. Available fromhttp://binfar.depkes.go.id/download/PC_DEPRESI.pdf
6. Maslan R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas PPDGJ-III. Jakarta :
PT.Nuh Jaya;2001. Hal.64

Anda mungkin juga menyukai