Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KASUS

GANGGUAN DEPRESI ORGANIK


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
BLUD Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh

Disusun oleh :

Indra Gunawan
Sandi Aulia Abadi
Taufiq Riski
Shinta Armisda Putri
Siska Rahmi
Cut Mawarni

Dokter Pembimbing dr.


Rina Hastuti Lubis, Sp. KJ
BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA BLUD RUMAH
SAKIT JIWA ACEH BANDA ACEH 2019

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, kasih sayang dan
karunia kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Gangguan Depresi Organik ”. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas
menjalani kepaniteraan klinik senior pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa RSJ
Aceh, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
Selama penyelesaian laporan kasus ini penulis mendapatkan bantuan,
bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan terimakasih kepada dr. Rina Hastuti Lubis Sp.KJ yang telah banyak
meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam
menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
keluarga, sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dan doa dalam
menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan
dalam laporan kasus ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari pembaca sekalian demi kesempurnaan laporan kasus ini. Harapan
penulis semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan umumnya dan profesi kedokteran khususnya. Semoga Allah selalu
memberikan Rahmat dan Hikmah-Nya kepada kita semua.

Banda Aceh, Agustus 2019

Penulis
i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3
2.1 Depresi................................................................................................................ 3
2.1.1 Definisi Depresi ..................................................................................... 3
2.1.2 Etiologi dan Faktor Resiko Depresi ...................................................... 3
2.1.3 Epidemiologi Depresi ........................................................................... 6
2.1.4 Patofisiologi Depresi ............................................................................. 7
2.1.5 Menifestasi klinis dan Diagnosis Depresi ............................................. 12
2.1.6 Klasifikasi Depresi ................................................................................ 13
2.1.7 Tatalaksana Depresi .............................................................................. 14
2.1.8 Pencegahan Depresi .............................................................................. 16
2.2 Gangguan mental lainnya akibat kerusakan disfungsi otak dan penyakit fisik
adalah berbagai gangguan jiwa akibat dari disfungsi otak ....................... 17
BAB III LAPORAN KASUS ................................................................................ 19
3.1 Identitas Pasien ........................................................................................ 19
3.2 Riwayat Psikiatri ...................................................................................... 19
3.3 Pemeriksaan Fisik .................................................................................... 21
3.4 Status Mental ........................................................................................... 23
3.5 Resume .................................................................................................... 24
3.6 Diagnosis Banding .................................................................................. 25
3.7 Diagnosis Kerja ........................................................................................ 25
3.8 Diagnosis Multiaksial .............................................................................. 25
3.9 Tatalaksana .............................................................................................. 26
3.10 Prognosis ............................................................................................... 26
3.11 Follow Up .............................................................................................. 27
BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................................... 30
BAB V KESIMPULAN ......................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 36

ii
BAB I PENDAHULUAN

Depresi merupakan problem kesehatan masyarakat yang cukup serius dan


merupakan masalah dengan urutan penyakit nomor 4 di dunia pada tahun 2000. Pada
tahun 2020 diperkirakan depresi menempati penyakit urutan nomor 2 di dunia. Depresi
merupakan gangguan yang terutama ditandai oleh kondisi emosi sedih dan muram serta
terkait dengan gejala-gejala kognitif, fisik, dan interpersonal. Depresi muncul biasanya
pada orang dengan pengalaman hidup negatif, seperti kehilangan anggota keluarga,
benda berharga atau status sosial.(1)
Angka kejadian depresi pada laki-laki sekitar 12% dan pada wanita sekitar 20%
dengan rentang usia 15-44 tahun. Pada tahun 2015, 300 juta orang diperkirakan
menderita depresi atau setara dengan 4,4% populasi dunia. Depresi dapat terjadi pada
siapa saja. Gejala depresi hampir muncul pada 20% lansia yang tinggal di masyarakat.
Angka prevalensi depresi untuk anak-anak adalah 2,5 persen, dan meningkat menjadi
8,3 persen untuk remaja.(2,3)
Faktor penyebab depresi yaitu mulai dari faktor genetik sampai nongenetik
dengan faktor-faktor risiko seperti jenis kelamin, usia, status perkawinan, geografis,
kepribadian, stresor sosial, dukungan sosial, dan pekerjaan. Gejala-gejala depresi
terdiri dari gangguan emosi (perasaan sedih, murung, iritabilitas, preokupasi dengan
kematian), gangguan kognitif (rasa bersalah, pesimis, putus asa, kurang konsentrasi),
keluhan somatik (sakit kepala, keluhan saluran pencernaan, keluhan haid), gangguan
psikomotor (gerakan lambat, pembicaraan lambat, malas, merasa tidak bertenaga), dan
gangguan vegetatif (gangguan tidur, makan dan fungsi seksual).(4,5)
Dukungan sosial merupakan salah satu yang dapat dilakukan untuk menangani
pasien depresi selain terapi farmakologi. Dukungan soasial tersebut dapat berupa
memberi bantuan, semangat, penerimaan dan perhatian, sehingga bisa meningkatkan
kesejahteraan hidup bagi individu yang bersangkutan. Ada banyak efek dari dukungan
sosial karena dukungan sosial secara positif dapat memulihkan kondisi fisik dan psikis
seseorang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Terapi farmakologi yang
dapat diberikan yaitu salah satunya antidepresan.(6)

1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1 Depresi
2.1.1 Definisi Depresi
Depresi merupakan suatu gangguan mental umum yang ditandai dengan
suasana hati yang tertekan, kehilangan kesenangan atau minat, merasa kurang energi,
perasaan bersalah atau rendah diri, gangguan makan atau tidur, dan konsentrasi yang
rendah. Depresi merupakan respon terhadap stres kehidupan. Diantara situasi yang
paling sering mencetuskan depresi adalah kegagalan di sekolah atau pekerjaan,
kehilangan orang yang dicintai dan menyadari bahwa penyakit atau penuaan sedang
menghabiskan kekuatan seseorang. Depresi dianggap abnormal hanya jika dalam kurun
waktu yang lama.(7)

2.1.2 Etiologi dan faktor Resiko Depresi

Kaplan menyatakan bahwa terdapat tiga faktor penyebab depresi, yaitu:

a. Faktor biologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada
amin biogenik, seperti 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA
(Homovanilic acid), MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di
dalam darah, urin, dan cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood.
Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin
dan epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi.
Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin,
menerima input neuron yang mengandung neurotransmiter amin
biogenik.(8)
Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin.
Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung
amin biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis
Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan
pada amin biogenik sentral. Aksis neuroendokrin yang paling sering
terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan aksis hormon pertumbuhan. Aksis

3
HPA merupakan aksis yang paling banyak diteliti. Hipersekresi Cortisol
Releasing Hormone (CRH) merupakan gangguan aksis HPA yang sangat
fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat
adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem limbik atau
adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan neuromodulator yang
mengatur CRH. Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi seperti
perasaan takut dan marah berhubungan dengan Paraventriculer nucleus
(PVN), yang merupakan organ utama pada sistem endokrin dan fungsinya
diatur oleh sistem limbik. Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang
menyebabkan peningkatan sekresi CRH.(9,10)

b. Faktor Genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di
antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi
berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi
umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada
kembar monozigot.(11,12)

c. Faktor Psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi
adalah kehilangan objek yang dicintai. Faktor psikososial yang
mempengaruhi depresi meliputi peristiwa kehidupan dan stresor
lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori
kognitif, dan dukungan sosial. Peristiwa kehidupan yang menyebabkan
stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari
episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa
kehidupan memegang peranan utama dalam depresi. Klinisi lain
menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas
dalam onset depresi. Stresor lingkungan yang paling berhubungan dengan
onset suatu episode depresi adalah kehilangan
pasangan.(11,13)

4
Stresor psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang
yang dicintai, atau stresor kronis misalnya kekurangan finansial yang
berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan
dapat menimbulkan depresi. Dari faktor kepribadian, beberapa ciri
kepribadian tertentu yang terdapat pada individu, seperti kepribadian
dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai resiko tinggi untuk
terjadinya depresi, sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid
mempunyai resiko yang rendah. (11,13)
Ada beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya kejadian
depresi, yaitu:(13)

1) Genetik
Seseorang yang dalam keluarganya diketahui menderita depresi berat
memiliki risiko lebih besar menderita gangguan depresi dari pada masyarakat
pada umumnya.

2) Kepribadian
Aspek-aspek kepribadian ikut pula mempengaruhi tinggi
rendahnya depresi yang dialami serta kerentanan terhadap depresi. Orang
dengan konsep diri serta pola pikir yang negatif, pesimis, juga tipe
kepribadian introvert salah satu aspek kepribadian yang merupakan faktor
resiko tinggi terjadinya depresi.
3) Usia
Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa golongan usia muda yaitu
remaja dan orang dewasa lebih banyak terkena depresi. Namun sekarang ini
usia rata-rata penderita depresi semakin menurun yang menunjukkan bahwa
remaja dan anak-anak semakin banyak terkena depresi.

4) Gender
Wanita dua kali lebih sering terdiagnosis menderita depresi dari pada
pria. Bukan berarti wanita lebih mudah terserang depresi, karena wanita lebih

5
sering mengakui adanya depresi dari pada pria dan dokter lebih dapat
mengenali depresi pada wanita.

5) Penyakit Fisik
Perasaan terkejut dan tidak dapat menerima karena mengetahui
seseorang memiliki penyakit serius dapat mengarahkan pada hilangnya
kepercayaan diri dan penghargaan diri (self-esteem), juga depresi.

2.1.3 Epidemiologi Depresi

Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang


signifikan di dunia. Menurut data WHO pada tahun 2016, terdapat sekitar 35 juta orang
terkena depresi. depresi merupakan penyakit yang menyebabkan morbiditas di seluruh
dunia. Di Amerika Serikat sekitar 6,7% orang dewasa menderita depresi, dimna 30,4%
tergolong ke dalam depresi berat. Sebesar 70% wanita memiliki kecendrungan
mengalami depresi di bandingkan dengan laki-laki. Usia 18-29 memiliki kecendrungan
depresi sekitar 95%.sedangkan pada usia 30-44 memiliki kecendrungan depresi sekitar
80%. Prevalensi penderita depresi di Indonesia diperkirakan 2,5 - 9 juta dari 210 juta
jiwa penduduk. Pada saat setelah pubertas resiko untuk depresi meningkat 2-4 kali lipat,
dengan 20% insiden pada usia 18 tahun. Perbandingan gender saat anak-anak 1:1,
denga peningkatan resiko depresi pada wanita setelah pubertas, sehingga perbandingan
pria dan wanita menjadi 1:2. Hal ini berhubungan dengan tingkat kecemasan pada
wanita tinggi, perubahan estradiol dan testosteron saat pubertas, atau persoalan sosial
budaya yang berhubungan dengan perkembangan kedewasaan pada wanita.(2,3,14)

Depresi sering terjadi pada wanita dengan usia 25-44 tahun, dan puncaknya pada
masa hamil. Faktor sosial seperti stres dari masalah keluarga dan pekerjaan. Hal ini
disebabkan karena harapan hidup pada wanita lebih tinggi, kematian pasangan
mungkin juga menyebabkan angka yang tinggi untuk wanita tua mengalami depresi.
Penilaian gejala depresi seperti perasaan sedih atau kekecewaan yang kuat dan terus
menerus yang mempengaruhi aktivitas normal menunjukan prevalensi seumur hidup
sebanyak 9-20%.(3) Pada kriteria lain yang digunakan pada depresi berat, prevalensi

6
depresi 3% untuk pria dan 4-9% untuk wanita. Resiko seumur hidup 8-12% untuk pria
dan 20-28% untuk wanita. Sekitar 12-20% pada orang yang mengalami episode akut
berkembang menjadi sindrom depresi kronis, dan diatas 15% pasien yang mengalami
depresi lebih dari 1 bulan dapat melakukan bunuh diri. (2,3,14)

2.1.4 Patofisiologi depresi


Telah dipikirkan selama berabad-abad bahwa setidaknya beberapa bentuk
depresi disebabkan oleh atau dipelihara oleh gangguan fungsi otak, dan sejak tahun
1960-an, telah dimungkinkan untuk mempelajari proses neurobiologis tertentu yang
terkait dengan etiologi dan patogenesis gangguan mood. Beberapa penelitian telah
menginformasikan penelitian di bidang ini. Pertama, heritabilitas gangguan suasana
perasaan telah menyarankan bahwa dasar-dasar neurobiologi depresi mungkin terkait
dengan gen tertentu. Kedua, pemahaman yang lebih rinci tentang neurobiologi respons
stres telah menginformasikan model stres-diatesis interaktif dari kerentanan. Ketiga,
penemuan generasi pertama penatalaksanaan "somatik" (yaitu, ECT dan antidepresan
TCA dan MAOI) pada tahun 1940-an dan 1950-an menunjukkan target neurobiologis
yang berpotensi reversibel untuk intervensi. Metodologi untuk mempelajari
neurobiologi gangguan suasana perasaan telah berkembang lebih canggih, penelitian
yang menggunakan indikator tidak langsung dari fungsi otak, seperti kadar metabolit
monoamine atau kortisolurin, plasma, atau CSF, sebagian besar telah digantikan oleh
penelitian yang dipandu secara translasi dari transkrip gen dan proteomik. Demikian
juga, pengukuran kasar fungsi regional otak , seperti rekaman potensi yang ditimbulkan
atau pola aktivitas electroencephalographic (EEG) saat bangun dan tidur, sebagian
besar telah memberikan cara untuk strategi neuroimaging yang memungkinkan
aktivitas daerah atau sirkuit saraf tertentu untuk diperiksa saat istirahat dan selama
tantangan provokatif.(13)
Perubahan dalam aktivitas saraf dan dalam efisiensi pemrosesan informasi
dalam masing-masing dari sebelas daerah otak yang ditunjukkan di sini dapat
menyebabkan gejala episode depresi besar. Fungsionalitas di setiap wilayah otak secara

7
hipotesis dikaitkan dengan konstelasi gejala yang berbeda. PFC, korteks prefrontal; BF,
otak depan basal; S, striatum; NA, nucleus accumbens; T, talamus; Hy, hipotalamus;
A, amygdala; H, hippocampus; NT, pusat neurotransmitter batang otak; SC, sumsum
tulang belakang; C, serebelum.(13,15)

Gambar 1: Gejala depresi dan sirkuit di otak. (13,15)

Tanda-tanda, gejala, dan pengalaman subjektif yang terkait dengan depresi


telah lama terkait disfungsi proses sistem saraf pusat dasar (SSP). Sehubungan dengan
fungsi kortikal, depresi melibatkan beberapa gangguan pemrosesan informasi.
Kebanyakan orang yang depresi secara otomatis menafsirkan pengalaman dari
perspektif negatif, dan aksesnya ke memori negatif. Keadaan depresi yang lebih parah,
kognisi dan keterampilan pemecahan masalah semakin lengkapi dengan konsentrasi
yang buruk dan menurunnya kemampuan untuk menggunakan pemikiran abstrak.
Sebuah monolog virtual pikiran dan gambar negatif tampaknya berjalan dengan
autopilot, dan, tidak seperti keadaan normal kesedihan, ventilasi ke orang kepercayaan
memiliki sedikit efek yang menguntungkan. Pada kasus yang lebih ekstrim, delusi atau
halusinasi, atau keduanya, benar-benar mendistorsi pengujian realitas. Perubahan

8
neurokognitif ini menunjukkan disfungsi yang melibatkan hipokampus,
korteksprefrontal(PFC), amigdala dan struktur limbik lainnya.(15)
Karakteristik depresi berdasarkan biologis lainnya melibatkan penurunan minat
dan hilangnya reaktivitas suasana hati: Aktivitas yang spontan, tujuan yang disutradarai
menurun, dan peristiwa yang seharusnya meningkatkan suasana perasaan memiliki
sedikit atau tidak berpengaruh sama sekali. Satu berkorelasi kehilangan minat adalah
penurunan arti penting penguatan. Bahkan fungsi dasar seperti nafsu makandan libido
berkurang dalam depresi berat. Anhedonia dan penurunan titik perilaku nafsu makan
untuk disfungsi sirkuit saraf yang terlibat dalam antisipasi dan penyempurnaan
penghargaan, yang melibatkan thalamus, hipotalamus, nukleus akumbens, anterior
cingulate, dan PFC.(13,16)
Tingkat depresi yang lebih berat dan persisten, termasuk yang diklasifikasikan
sebagai gangguan depresi mayor, berhubungan dengan gangguan neurobiologis yang
luas, yang pada gilirannya terkait dengan setidaknya beberapa perbedaan yang diamati
dalam presentasi klinis dan respons terhadap perawatan khusus. Beberapa gangguan
lebih baik dipahami sebagai sifat, yang mungkin diwariskan atau diperoleh, sedangkan
yang lain jelas tergantung pada tingkatan dan dapat dipulihkan dengan pengobatan atau
remisi spontan. Beberapa kelainan yang bergantung pada tingkatan terkait dengan
gangguan depresi mayor, yang terjadi lebih sering pada pasien yang lebih tua dengan
gejala yang lebih berat, termasuk peningkatan tidur faseRapid Eye Movements (REM),
pemeliharaan tidur yang buruk, hiperkortisolisme, gangguan imunitas seluler,
penurunan aliran darah otak anterior dan metabolisme glukosa, dan peningkatan
metabolisme glukosa di amigdala. Bersama-sama, perubahan ini tampaknya
mencerminkan efek progresif dari respons jangka pendek adaptif terhadap stres
berkelanjutan. Begitu bermanifestasi dalam bentuk ini, episode depresi berat atau
depresi melankolis cenderung lebih lama, lebih melumpuhkan, lebih mudah kambuh,
dan lebih mungkin mendapat manfaat dari farmakoterapi atau ECT.(13,17)
Hipotesis di neurotropik dari tingkat depresi dinyatakan bahwa depresi dapat
disebabkan oleh turunnya sintesis protein yang terlibat dalam neurogenesis dan
plastisitas sinaptik.Salah satu mekanisme kandidat yang telah diusulkan sebagai tempat

9
kemungkinan cacat dalam transduksi sinyal dari reseptor monoamina dalam depresi
adalah gen target untuk faktor neurotropik yang diturunkan dari otak (BDNF).
Biasanya, BDNF menopang kelangsungan hidup neuron otak, tetapi di bawah tekanan,
gen untuk BDNF dapat ditekan. Stres dapat menurunkan level 5HT dan dapat
meningkat secara akut, kemudian secara kronis berkurang, baik NE dan DA. Perubahan
neurotransmiter monoamine bersama dengan jumlah BDNF yang kurang dapat
menyebabkan atrofi dan kemungkinan apoptosis neuron yang rentan di hippocampus
dan area otak lainnya seperti prefrontal cortex. Konsep tentang atrofi hippocampal yang
telah dilaporkan berkaitan dengan stres kronis dan depresi mayor dan berbagai
gangguan kecemasan, terutama PTSD. Untungnya, beberapa kehilangan neuronal ini
bisa reversibel. Yaitu, pemulihan transduksi sinyal transduksi yang berhubungan
dengan monoamine oleh antidepresan dapat meningkatkan BDNF dan faktor trofik
lainnya dan berpotensi mengembalikan sinapsis yang hilang. Di beberapa area otak
seperti hippocampus, tidak hanya dapat sinaps berpotensi dipulihkan, tetapi ada
kemungkinan bahwa beberapa neuron yang hilang bahkan mungkin digantikan oleh
neurogenesis.(14)
Neuron dari daerah hipokampus dan amygdala biasanya menekan aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal, jadi jika stres menyebabkan neuron hippokampus dan
amigdala menjadi atrofi, dengan hilangnya input penghambatan ke hipotalamus, ini
dapat menyebabkan untuk overaktivitas sumbu HPA. Pada depresi, kelainan pada aksis
HPA telah lama dilaporkan, termasuk peningkatan kadar glukokortikoid dan
ketidakpekaan sumbu HPA terhadap penghambatan umpan balik. Beberapa bukti
menunjukkan bahwa glukokortikoid pada tingkat tinggi bahkan bisa menjadi racun bagi
neuron dan berkontribusi pada atrofi mereka di bawah tekanan kronis. Pengobatan
antidepresan baru dalam pengujian yang menargetkan reseptor corticotropin-releasing
factor 1 (CRF-1), reseptor vasopresin 1B, dan reseptor glukokortikoid, dalam upaya
untuk menghentikan dan bahkan membalikkan kelainan HPA ini pada depresi dan stres
lainnya. terkait penyakit kejiwaan.(14)
Peningkatan aktivitas HPA adalah ciri respons stres mamalia dan salah satu
hubungan paling jelas antara depresi dan biologi stres kronis. Hiperkortisolemia pada

10
depresi menunjukkan satu atau lebih gangguan sentral berikut: penurunan tonus 5-HT
penghambatan; peningkatan drive dari NE, ACh, atau CRH; atau penurunan inhibisi
umpan balik dari hippocampus. Bukti peningkatan aktivitas HPA terlihat pada 20
hingga 40 persen pasien rawat jalan yang depresi dan 40 hingga 60 persen pasien rawat
inap yang depresi. Pasien yang lebih tua, terutama mereka dengan gangguan depresi
yang sangat berulang atau psikotik, adalah yang paling mungkin untuk menunjukkan
peningkatan aktivitas HPA. Meskipun hypercortisolism adalah salah satu korelasi
biologis terbaik dari melankolis atau depresi endogen, hampir tidak ada kelainan
spesifik. Misalnya, periode singkat kelaparan atau beberapa minggu kurang tidur secara
parsial dapat menyebabkan hiperkortisolisme pada orang yang sehat.(13)
Subkelompok pasien depresi yang lebih besar (20 hingga 30 persen)
menunjukkan respons TSH yang tumpul terhadap tantangan TRH. Jenis respons ini
biasanya menunjukkan hipertiroidisme, namun beberapa pasien depresi memiliki
peningkatan hormon tiroid yang signifikan secara klinis. Respons TSH yang tumpul
pada orang eutiroid dapat diakibatkan oleh penurunan regulasi hipofisis akibat
peningkatan TRH ―drive. Karena neuron yang mengandung TRH telah diidentifikasi
dalam berbagai daerah kortikal, kelainan ini mungkin memiliki asal
suprahypothalamic. Peningkatan sekresi TRH sentral, pada gilirannya, dapat dihasilkan
dari respon homeostasis terhadap penurunan neurotransmisi noradrenergik. Manfaat
terapeutik terapi ajuvan dengan 1-triiodothyronine (T3) atau hormon tiroid lainnya
dapat dimediasi oleh peredam respon homeostasis yang gagal ini. Kelainan ini mungkin
paling umum pada individu yang memiliki kemampuan untuk mengubah tiroksin
menjadi T3. Implikasi terapeutik utama dari respons TSH yang tumpul adalah bukti
peningkatan risiko kambuh meskipun terapi antidepresan preventif. Dari catatan, tidak
seperti tes penekanan deksametason (DST), respons TSH tumpul terhadap TRH sering
tidak menormalkan dengan pengobatan yang efektif.(13)

2.1.5 Menifestasi Klinis dan Diagnosis Depresi

Menurut PPDGJ, gejala- gejala depresi dapat berupa berikut ini:(18)

11
1) Gejala Utama (pada derajat ringan, sedang dan berat)
• Afek depresif
• Kehilangan minat dan kegembiraan
• Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas
2) Gejala lainnya
• Konsentrasi dan perhatian berkurang
• Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
• Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
• Pandangan masa depan yang suram dan pesimistif
• Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
• Tidur terganggu
• Nafsu makan berkurang
3) Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlikan
masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan
tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa
beratnya dan berlangsung cepat.
4) Kategori diagnosis episode depresi ringan, sedang dan berat hanya
digunakan untuk episode depresi tunggal. Episode depresi berikutnya
harus dklasifikasikan dibawah salah satu diagnosis gangguan depresi
berulang.

2.1.6 Klasifikasi Depresi


a)
Episode Depresi Ringan(18)

• Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi.


• Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
• Tidak boleh ada gejala berat diantaranya
• Lama seluruh episode sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
• Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya

12
b)
Episode Depresi Sedang(18)

• Sekurang-kurangnya ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada


episode depresi ringan
• Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya
• Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu
• Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga
c)
Episode Depresi Berat tanpa Gejala Psikotik(18)
• Semua 3 gejala utama depresi harus ada
• Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa
diantaranya harus berintensitas berat
• Bila ada gejala penting (misalnya agitas atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci.
• Episode depresi biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat
maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun
waktu kurang dari 2 minggu.

• Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,


pekerjaan atau urusan tumah tangga kecuali pada taraf yang sangat
terbatas
d)
Episode Depresi Berat dengan Gejala Psikotik(18)
• Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut episode depresi
berat tanpa gejala psikotik.
• Disertai waham, halusinasi, atau stupor depresi. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya suara yang menghina atau
menuduh, atau bau kotoran atau daging yang membusuk. Retardasi

13
psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan
waham atau halusinasi sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek.

2.1.7 Tatalaksana Depresi

1) Farmakoterapi
 Tricyclic Antidepressants
Obat ini membantu mengurangi gejala-gejala depresi dengan
mekanisme mencegah reuptake dari norephinefrin dan serotonin di sinaps atau
dengan cara megubah reseptor-reseptor dari neurotransmitter norephinefrin dan
seroonin. Obat ini sangat efektif, terutama dalam mengobati gejala-gejala akut
dari depresi sekitar 60% pada individu yang mengalami depresi. Tricyclic
antidepressants yang sering digunakan adalah imipramine, amitryiptilene, dan
desipramine.(19)

 Monoamine Oxidase Inhibitors


Obat lini kedua dalam mengobati gangguan depresi mayor adalah
Monoamine Oxidase Inhibitors. MAO Inhibitors menigkatkan
ketersediaan neurotransmitter dengan cara menghambat aksi dari
Monoamine Oxidase, suatu enzim yang normalnya akan melemahkan
atau mengurangi neurotransmitter dalam sambungan sinaptik. MAOIs
sama efektifnya dengan Tricyclic Antidepressants tetapi lebih jarang
digunakan karena secara potensial lebih berbahaya.(19)
 Selective Serotonine Reuptake Inhibitors and Related Drugs
Obat ini mempunyai struktur yang hampir sama dengan Tricyclic
Antidepressants, tetapi SSRI mempunyai efek yang lebih langsung dalam
mempengaruhi kadar serotonin. Pertama SSRI lebih cepat mengobati
gangguan depresi mayor dibandingkan dengan obat lainnya. Pasien-
pasien yang menggunakan obat ini akan mendapatkan efek yang
signifikan dalam penyembuhan dengan obat ini.(19)

14
Kedua, SSRI juga mempunyai efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan obat-obatan lainnya. Ketiga, obat ini tidak bersifat
fatal apabila overdosis dan lebih aman digunakan dibandingkan dengan
obat-obatan lainnya. Dan yang keempat SSRI juga efektif dalam
pengobatan gangguan depresi mayor yang disertai dengan gangguan
lainnya seperti: gangguan panik, binge eating, gejala-gejala
pramenstrual.(19)
 Terapi Elektrokonvulsan
Terapi ini merupakan terapi yang paling kontroversial dari
pengobatan biologis. ECT bekerja dengan aktivitas listrik yang akan
dialirkan pada otak. Elektroda-elektroda metal akan ditempelkan pada
bagian kepala, dan diberikan tegangan sekitar 70 sampai 130 volt dan
dialirkan pada otak sekitarsatu setengah menit. ECT paling sering
digunakan pada pasien dengan gangguan depresi yang tidak dapat
sembuh dengan obat-obatan, dan ECT ini mengobati gangguan depresi
sekitar 50%-60% individu yang mengalami gangguan depresi. (19)

2) Terapi Non farmakologi


 Terapi Kognitif
Terapi kognitif merupakan terapi aktif, langsung, dan time limited
yang berfokus pada penanganan struktur mental seoranpasien. Struktur
mental tersebut terdiri; cognitive triad, cognitiveschemas, dan cognitive
errors.(19)
 Terapi Prilaku
Terapi perilaku adalah terapi yang digunakan pada pasien dengan
gangguan depresi dengan cara membantu pasien untuk mengubah cara
pikir dalam berinteraksi denga lingkungan sekitar dan orang-orang

15
sekitar. Terapi perilaku dilakukan dalam jangka waktu yang singkat,
sekitar 12 minggu.(19)
 Terapi Interpersonal
Terapi ini didasari oleh hal-hal yang mempengaruhi hubungan
interpersonal seorang individu, yang dapat memicu terjadinya gangguan
mood. Terapi ini berfungsi untuk mengetahui stressor pada pasien yang
mengalami gangguan, dan para terapis dan pasien saling bekerja sama
untuk menangani masalah interpersonal tersebut.(19)

2.1.8 Pencegahan Depresi

Akibat banyaknya dampak buruk yang disebabkan oleh gangguan depresi maka
dibuat suatu pencegahan dalam menangani gangguan depresi pada individuindividu
sebelu mereka mengalami gangguan depresi tersebut. Beberapa penelitian menerapkan
terapi kognitif perilaku dan terapi interpersonal yang dimana dapat mencegah onset
awal dari terjadinya gangguan depresi pada individu-individu yang mempunyai faktor
resiko tinggi untuk mengalami gangguan depresi; sebagai contoh: terapi kognitif-
perilaku dapat digunakan untuk mencegah gangguan depresi pada individu-individu
dengan pendapatan yang rendah, yang terpapar dengan stressorstressor yang ada. (19)

Penelitian yang menjelaskan gangguan depresi terjadi pertama kali pada masa
remaja telah meyakinkan para peneliti untukk melakukan pencegahan awal pada anak
remaja yang mempunyai faktor resiko tinggi untuk mengalami gangguan depresi.
Sebagai contohnya anak remaja yang sudah menunjukkan gejala-gejala depresi ringan
– sedang secara acak mendapatkan terapi kognotof-perilaku dan control group. Para
remaja mendapatkan terapi kognitif-perilaku sebanyak 15 sesi dalam suatu
kelompokkelompok kecil setelah kam sekolah atau perkuliahan selesai. Terapi ini
berfungsi untuk membantu mereka menangani cara berpikir mereka yang negatif dan
untuk mempelajari cara belajar yang efektif. (19)

2.2 Gangguan mental lainnya akibat kerusakan disfungsi otak dan penyakit fisik

16
Gangguan mental lainnya akibat kerusakan disfungsi otak dan penyakit fisik
adalah berbagai gangguan jiwa akibat dari disfungsi otak oleh penyebab apapun yang
dapat dibuktikan atau dengan adanya kesan yang kuat melalui riawayat anamnesa,
pemeriksanaan fisik, maupun laboratorium. Disfungsi yang terjadi dapat bersifat
primer (terjadi di otak), maupun sekunder (diluar otak / sistemik) dimana tidak
mengarah ke demennsia, delirium, ataupun sindrom amnesik organik.(13)
Disfungsi yang terjadi dapat bersifat primer dan sekunder, yaitu:
a. Primer: penyakit serebral
- Epilepsi
- Ensefalitis limbik
- Huntington Disease’s
- Trauma Kepala
b. Sekunder: penyakit sistemik yang mempengaruhi otak
- Neoplasma ekstrakranial
- Lupus Eritematous syndrom
- Penyakit endokrin ( Hipotiroid/ Hipertitoid, Cushing Disease’s )
- Gangguan Metabolik (hipoglikemi, hipoksia)
- Penyakit Infeksi
- Efek toksik obat non psikotropik ( propanolol, levodopa, metildopa,
Steroid, obat hipertensi)(20)
Kriteria Umum/ pedoman diagnostik Gangguan mental lainnya akibat kerusakan
dan disfungsi otak dan penyakit fisik (F06) adalah :
a. Adanya penyakit, kerusakan atau disfungsi otak, atau penyakit fisik sistemik yang
diketahui berhubungan dengan salah satu sindrom mental yang tercantum.
b. Adanya hubungan waktu (dalam beberapa minggu/ bulan) perkembangan penyakit
yang mendasari dengan timbulnya sindrom mental.
c. Kesembuhan dari gangguan mental setelah perbaikan/ dihilangkannya penyebab
yang mendasari

17
d. Tidak adanya bukti yang mengarah pada penyebab alternatif dari sindrom mental
ini (seperti pengaruh yang kuat dari riwayat keluarga atau pengaruh stress sebagai
pencetus)
Bila ada kondisi a dan b maka dibenarkan sebagai diagnosis sementara, bila kondisi a-
d terpenuhi maka kepastian klasifikasi diagnostik menjadi lebih bermakna.(18)

BAB III LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. AGW


Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 62 tahun
Alamat : Bireun
Status Pernikahan : Sudah Menikah
Pekerjaan : Pensiunan PNS

18
Pendidikan Terakhir : S1
Agama : Islam
Suku : Aceh
TMRS : 09 Agustus 2019
Tanggal Pemeriksaan : 14 Agustus 2019

3.2 RIWAYAT PSIKIATRI

Data diperoleh dari:


1) Rekam medis : 017359
2) Autoanamnesis : 14 Agustus 2019
3) Alloanamnesis : 15 Agustus 2019

A. Keluhan Utama
Mengamuk dan mengancam orang disekitarnya

B. Riwayat Penyakit Sekarang Autoanamnesis:


Pasien mengatakan dirinya dibawa oleh istri dan Satpol PP ke rumah sakit jiwa
Aceh dalam keadaan diikat dan dibilang gila oleh istri pasien. Saat di IGD, pasien
mengamuk. Menurut pasien, dia mengamuk bukan karena gila tetapi karena kesal
karena diikat. Pasien dituduh mengamuk, mengancam cucu, dan ingin
membunuh anak perempuannya. Pasien mengaku tidak mungkin ingin
membunuh anak perempuannya dan mengancam cucunya sendiri karena semut
saja pasien mengaku tidak pernah dibunuhnya. Pasien merasa sedih karena
difitnah seperti itu. Pasien juga mengaku pasien difitnah oleh istrinya karena
istrinya tersebut berselingkuh dengan kepala sekolah tempat istrinya kerja.
Alloanamnesis: (NY. S, 55 tahun, Pendidikan: S1, Pekerjaan:
Pegawai, tgl: 14 Agustus 2019)
Pasien datang dibawa oleh keluarga dengan keluhan mengamuk, dan mengancam
anggota keluarga dengan menggunakan parang. Keluhan ini sudah terjadi sejak
2 tahun terakhir dan memberat dalam 2 minggu ini. Pada saat di IGD pasien
tampak gelisah, memaki-maki, meludah, dan menyepak barang yang ada di

19
sekitarnya. Pasien juga mudah mengamuk jika keinginannya tidak dipenuhi oleh
keluarga. Menurut keluarga pasien juga ada berkeinginan untuk bunuh diri.

C. Riwayat Penyakit Sebelumnya


1. Riwayat psikiatrik: Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini
sebelumnya
2. Riwayat penyakit medis umum: Diabetes Melitus sejak tahun 2015,
Hipertensi sejak tahun 2015, Stroke Hemoragik sejak tahun 2017

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak terdapat keluarga pasien yang juga mengalami gangguan jiwa.

E. Riwayat Pengobatan
• Insulin (Sc Lanntus 10-10-12)
• Obat Hipertensi (tidak diketahui obat apa)

F. Riwayat Penggunaan Zat


Riwayat penggunaan NAPZA dan alkohol disangkal.

G. Riwayat Sosial
Pasien tinggal dirumah bersama istri, anak, dan cucunya. Hubungan pasien
dengan keluarga kurang harmonis

H. Riwayat Pendidikan
Riwayat pendidikan terakhir pasien S1

I. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Masa prenatal : pasien merupakan anak yang direncanakan dan tidak ada
kelainan pada masa ini.
2. Masa kanak-kanak awal : Pasien dibesarkan oleh orang tua dan riwayat
tumbuh kembang normal seperti anak-anak seusianya.

20
3. Masa kanak-kanak pertengahan: Pertumbuhan dan perkembangan pasien
sama seperti anak-anak seusianya.
4. Masa kanak-kanak akhir dan remaja: Keluarga pasien mengaku bahwa
kehidupan remaja akhir pasien baik baik saja seperti teman sebayanya dan
tidak terdapat kelainan.
5. Masa dewasa : pasien memiliki masalah sosial dengan keluarga di rumah.

Pasien menjadi pendiam dan sering termenung, serta kadang-kadang

mengamuk.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Internus
1. Kesadaran : Compos mentis
2. Tekanan Darah : 120/80 mmHg
3. Frekuensi Nadi : 86 x/menit
4. Frekuensi Napas : 20 x/menit
5. Temperatur : 36,9° C

B. Status Generalisata
1. Kepala : Normocephali (+)
2. Leher : Distensi vena jugularis (-), pembesaran KGB (-)
3. Thoraks : terdapat abses ukuran 10x10 cm pada bagian
posterior
4. Paru : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
5. Jantung : BJ I > BJ I, bising (-), iktus cordis di ICS V linea
midclavicula sinistra
6. Abdomen : Asites(-), nyeri tekan (-), soepel(+)

7. Ekstremitas : edema (-), sianosis (-)


8. Genetalia : Tidak diperiksa

C. Status Neurologi

21
1. GCS : E4V5M6
2. Tanda Rangsang Meningeal : (-)
3. Peningkatan TIK : (-)
4. Mata : pupil isokor (+/+),Ø3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+)
5. Motorik : Gerakan involunter (-), Rigiditas (-)
Kekuatan otot ekstremitas superior
5555/4444
Kekuatan otot ekstremitas inferior
5555/4444
6. Sensibilitas : Dalam batas normal
7. Fungsi luhur : Dalam batas normal
8. Gangguan khusus : Tidak ditemukan

3.4 STATUS MENTAL


A. Deskripsi Umum
1. Penampilan dan : Pasien laki-laki, sesuai dengan umur
tidak rapi

2. Kebersihan : Kurang bersih


3. Kesadaran : Jernih
4. Perilaku & Psikomotor : normoaktif
5. Sikap terhadap Pemeriksa : Kooperatif

B. Mood dan Afek


1. Mood : Hipotimik
2. Afek : Datar
3. Keserasian Afek : Appropriate Afek

C. Pembicaraan
1. Arus pembicaraan
Lambat

22
2. Isi pembicaraan
Realistis

3. Asosiasi pembicaraan
Koheren

D. Pikiran
1. Arus pikir
Lambat

2. Isi pikir
• Waham (-)
• Thought (-)
• Obsesi (-)
• Preokupasi (-)
3. Proses pikir
Koheren

E. Persepsi
1. Halusinasi
Auditorik : (-)
Visual : (-)
Olfaktorius : (-)
Taktil : (-)
2. Ilusi : (-)
F. Intelektual : Tidak terganggu
G. Daya konsentrasi : Tidak terganggu
H. Orientasi
Waktu : Tidak terganggu
Tempat : Tidak terganggu

23
Orang : Tidak terganggu
I. Daya ingat

Seketika : Tidak terganggu


Jangka Pendek : Tidak terganggu
Jangka Panjang : Tidak terganggu
J. Judgment : Tidak terganggu
K. Pikiran Abstrak : Tidak terganggu
L. Pengendalian Impuls : Tidak terganggu
M. Tilikan : T1
N. Taraf Kepercayaan : Dapat dipercaya

3.5 RESUME
Tn. AGW ,62 tahun, didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah 120/80
mmHg, frekuensi nadi 86 x/menit, frekuensi napas 20x/menit, temperatur 36,9° C.
Pemeriksaan umum didapatkan abses dengan ukuran 10x10 cm pada regio thorakhalis
posterior. Pada pemeriksaan neurologi, didapatkan hemiparese sinistra, reflex fisiologis
(++/++), rigiditas (-). Pada pemeriksaan status mental, laki-laki sesuai usia, tidak rapi,
kesadaran compos mentis, aktifitas psikomotor normoeraktif, sikap terhadap pemeriksa
kooperatif, mood hipotimik, afek datar, keserasian afek: appropriate afek,
pembicaraan: arus lambat, isi pembicaran realistik, pikiran: arus lambat, isi pikir
realistik, tidak ditemukan waham, obsesi dan preokupasi, proses pikir koheren,
intelektual dan daya konsentrasi tidak terganggu, orientasi:
waktu/tempat/orang tidak terganggu, daya ingat: seketika/jangka pendek/jangka
panjang tidak terganggu, judgment tidak terganggu, pikiran abstrak tidak terganggu,
pengendalian impuls tidak terganggu. Tilikan pasien T1.

3.6 DIAGNOSIS BANDING


F06.3.32 Gangguan Depresi Organik
F25.1 Gangguan Skizoafektif tipe Depresi
F32.1 Gangguan Depresi Sedang

24
3.7 DIAGNOSIS KERJA
F06.3.32 Gangguan Depresi Organik

3.8 DIAGNOSIS MULTIAKSIAL Axis I : Gangguan Depresi Organik


Axis II : Tidak ada diagnosis
Axis III : Diabetes Melitus, Hipertensi, Post Stroke
Axis IV : Masalah Keluarga
Axis V : GAF 40-31

3.9 TATALAKSANA
A. Farmakoterapi
- Psikofarmakoterapi
Trifuloperazine 2 x 5 mg
Fluoxetin 1 x 20 mg ( pagi)
- Penyakit Dalam
Drip ciprofloxacin 1 fls /12 jam
Drip metronidazole 1 fls / 12 jam
Inj. Omeprazole 40 mg / 12 jam
Sc lantus 10-10-12
Aspilet 1x80 mg
Paracetamol 3 x 500 mg
Simvastatin 1 x 20 mg
- Neurologi
Citicolin 2 x 500 mg
Asam folat 2 x 1 tab
Mercibion 2 x 1 cap

B. Terapi Psikososial

25
1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit pasien dan
menjelaskan mengenai penggunaan obat yang tidak boleh putus.
2. Memotivasi untuk minum obat secara teratur
3. Mencoba mengalihkan pikiran-pikiran negatif dengan mengisinya dengan
kegiatan positif yang bermanfaat
4. Menjelaskan kepada keluarga & orang disekitar pasien mengenai kondisi
pasien dan meyakinkan mereka untuk selalu memberi dukungan kepada
pasien agar proses penyembuhannya lebih baik.

3.10 PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam

Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam

Quo ad Sanactionam : Dubia ad Bonam

3.11 FOLLOW UP
Tanggal Evaluasi Terapi

14 Agustus S/ Pasien kooperatif, komunikasi


2019 lancar dan terarah, susah tidur , mandi
- Trifluoperazin 2x 5 mg

26
(-), obat (+) - Fluoxetin 1x 20 mg (pagi)

O/
Penampilan: Pasien laki-laki tampak
sesuai dengan usia,tidak rapi
Kesadaran : compos mentis
Sikap : kooperatif
Psikomotor :Normoaktif
Mood : hipotimik
Afek: terbatas
Keserasian: appropriate
Pembicaraan : spontan
Arus pikir : lambat
Proses pikir : koheren
Isi pikir : realistik
Persepsi : halusinasi (-)
Tilikan : T4

A/ Depresi Organik

15 Agustus S/ Pasien kooperatif, komunikasi


2019 lancar dan terarah, susah tidur , mandi
- Trifluoperazin 2x 5 mg
(-), obat (+), pasien masih merasa
- Fluoxetin 1x 20 mg (pagi)
sedih

O/
Penampilan: Pasien laki-laki tampak
sesuai dengan usia, rapi, bersih
Kesadaran : compos mentis
Sikap : kooperatif
Psikomotor :Normoaktif

27
Mood : hipotimik
Afek: terbatas
Keserasian: appropriate
Pembicaraan : spontan
Arus pikir : lambat
Proses pikir : koheren
Isi pikir : realistik
Persepsi : halusinasi (-)
Tilikan : T4

A/ Depresi Organik

28
16 Agustus S/ Pasien kooperatif, komunikasi
2019 lancar dan terarah, susah tidur , mandi
- Trifluoperazin 2x 5 mg
(-), obat (+), Psien suka menyendiri
- Fluoxetin 1x 20 mg (pagi)
O/
Penampilan: Pasien laki-laki tampak
sesuai dengan usia, rapi, bersih
Kesadaran : compos mentis
Sikap : kooperatif
Psikomotor :Normoaktif
Mood : hipotimik
Afek: terbatas
Keserasian: appropriate
Pembicaraan : spontan
Arus pikir : lambat
Proses pikir : koheren
Isi pikir : realistik
Persepsi : halusinasi (-)

Tilikan : T4

A/ Depresi Organik

29
BAB IV PEMBAHASAN

Pasien datang dibawa kelurga dan Satpol PP dengan keluhan mengamuk dan
mengancam keluarga dengan parang, keluarga mengatakan keluhan memberat
semenjak 2 minggu ini. Sebelumnya pasien sudah sering marah marah semenjak 2
tahun ini. Pasien mempunyai Riwayat penyakit medis umum yaitu, Diabetes Melitus
sejak tahun 2015, Hipertensi sejak tahun 2015, dan Stroke Hemoragik sejak tahun 2017.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan status mental pasien
didiagnosa dengan F06.3.32 Gangguan Depresi Organik.
Depresi terkait dengan kondisi medis dapat diklasifikasikan sebagai depresi reaktif
atau psikogenik yang disebabkan oleh perubahan dalam situasi sosial penderita atau
depresi yang secara langsung disebabkan oleh kondisi medis (depresi somatogenik).

30
Depresi somatogenik selanjutnya dibagi menjadi depresi organik akibat gangguan otak
dan depresi yang berhubungan dengan penyakit sistemik.(20)
Depresi akibat gangguan otak organik (Depresi organik) sering disebut dengan
Secondary Mood Disorder dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini karena keterlibatan
"faktor organik" dari sudut pandang biologi otak telah terjadi hingga ke gangguan
mental endogen, membuat arti "organik" agak tidak tepat dan tidak jelas. Depresi
sekunder dianggap sebagai kondisi mental yang memiliki pola tertentu dan diproduksi
oleh berbagai penyebab, termasuk penyakit fisik dan penyakit
neurologis.(20)

Penyakit sistemik yang dapat/ sering menyebabkan depresi adalah penyakit endokrin
seperti hiper dan hipotiroidisme, hiper dan hipoparatiroidisme, hiper dan
hipoadrenokortisisme, hipoglikemia, sindrom Cushing, penyakit Addison dan Diabetes
Melitus. Pada penyakit endokrin, gejala emosi dan kemauan lebih utama, dibandingkan
gejala dari gangguan intelektual atau demensia nya. Selain itu, depresi cenderung
terjadi pada pasien dengan infeksi virus, seperti infeksi HIV, lalu pada pemyakit
kanker, dan Defisiensi vitamin B12. Dimana pelepasan sitokin pada penyakit sistemik
salah satu penyebab yang menimbulkan depresi. (20)

Pada kasus ini pasien mempunyai riwayat Diabetes Melitus sejak tahun 2015,
pasien mendapat terapi insulin karena sudah komplikasi. Sebuah artikel menunjukkan
bahwa penderita DM memiliki risiko sedikit lebih besar (15%) menderita depresi
dibandingkan dengan orang tanpa DM. Sementara itu orang dengan depresi memiliki
60% risiko lebih besar menderita DM tipe 2.(21)
Terapi yang dilakukan oleh pasien DM tersebut akan menimbulkan suatu
dampak tertentu, baik secara fisik maupun psikologis. Dampak secara fisik yang
dirasakan berupa perubahan berat badan, perubahan nafsu makan, sering mengalami
nyeri, keletihan, dan gangguan tidur, sedangkan secara psikologis pasien DM akan
mengalami stres, cemas, takut, sering merasa sedih, merasa tidak ada harapan, tidak
berdaya, tidak berguna, dan putus asa. (22)

31
Permasalahan emosional yang sering dialami pasien DM antara lain
penyangkalan (denial) terhadap penyakitnya sehingga mereka tidak patuh dalam
menerapkan pola hidup yang sehat, mudah marah dan frustrasi karena banyaknya
pantangan atau merasa telah menjalani berbagai jenis terapi tetapi tidak terjadi
perubahan kadar gula darah yang signifikan, takut terhadap komplikasi dan resiko
kematian, jenuh meminum obat yang harus dikonsumsi seumur hidup, atau bahkan
mengalami depresi. (22)

Selain DM, pasien pada kasus ini juga memiliki riwayat stroke yang dialami pada
tahun 2017. Pasien mendapat terapi citicolin 2x500 mg, mercibion 2x1, asam folat 2x1.
Pada penyakit kronis serebral vaskular, gejala afektif seperti depresi, euforia,
temperamen yang pendek, lekas marah/ irritable mood, dan affek yang datar dapat
terjadi. Secara khusus, suasan mood yang depresi diikuti oleh rasa yang tidak sabaran
dan inkontinensia sering terlihat. (20)
Terdapat istilah vascular depression yang khusus menggambarkan gejala klinis dari
depresi akibat penyakit vaskular seperti stroke. Apati, perubahanperubahan
psikomotor, gangguan kognitif dan gejala neurologis fokal merupakan gejala yang
sering dijumpai pada vascular depression.Umumnya gejala ini timbul dalam waktu 1-
2 bulan setelah terjadinya stroke. (20) Depresi Pasca-stroke terkadang menjadi persisten,
dikarenakan terhambatnya dalam berpikir. Dalam beberapa penelitian dilaporkan
bahwa lokasi lesi di lobus frontal sebelah kiri atau basal ganglia cenderung
menyebabkan depresi, maka dijelaskan bahwa semakin kedepan letak/ lokasi lesinya
maka semakin parah gejalanya. (23)

Pada kasus ini menurut keluarga pasien juga ada berkeinginan untuk bunuh diri.
Depresi pasca- stroke dapat diklasifikasikan dalam 3 bentuk, yaitu: (a) ringan, (b)
distimik, dan (c) berat. Depresi berat dapat menyebabkan gangguan berupa perasaan
ketidakberdayaan yang berkepanjangan dan berlebih-lebihan sehingga mendorong
penderita stroke untuk bunuh diri. (23)

Stroke menyebabkan beberapa gangguan dari fungsi otak seperti gangguan


produksi dan regulasi neurotransmitter serotonin, gangguan produksi neuroendokrin

32
serta gangguan pengaturan fungsi otonom. Gangguan-gangguan ini merupakan respon
kimiawi dan hormonal dari keadaan iskemik otak. Gangguan-gangguan tersebut
memperparah hendaya fisik dan fungsional dari penederita stroke. Hal ini
menyebabkan pasien stroke mengalami depresi baik saat fase akut maupun setelah
beberapa bulan onset stroke. Selain karena hendaya fisik dan fungsional, terdapat faktor
lain yang mempengaruhi depresi pasca stroke seperti usia, lokasi lesi, keluaran stroke,
riwayat gangguan psikiatrik dan status marital. (23)

Berdasarkan teori pada pasien dengan depresi organik, harus diobati penyakit
organiknya, yang dalam hal ini stroke, DM, hipertensi dan depresinya. Pada kasus,
pasien diberikan terapi trifluoperazin 2x 5 mg dan fluoxetine 1x 20 mg. Indikasi di
berikannya anti psikotik pada pasien ini karena pasien gaduh gelisah, trifulopreazin
adalah anti psikotik golongan tipikal. Anti psikotik sendiri terbagi menjadi dua bagian
yaitu anti psikotik golongan tipikal (anti psikotik generasi pertama) antara lain
klorpromazin, trifuloperazine, flufenazin, tioridazin, dan halloperidol. Sedangkan
golongan atipikal ( generasi keudua) antara lain, clozapine, olanzapine, quetiapine,
zotepine, risperidon, aripiprazole, dan supiride. (24)
Anti psikotik bekerja dengan menduduki reseptor dopamin, serotonin, dan
beberapa reseptor neurotransmiter lainnya. Mekanisme kerja obat Anti psikotik tipikal
adalah memblokade dopamine pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya
di sistem limbik dan ekstrapiramidal ( dopamine D2 reseptor antagonists), sehingga
efektif untuk gejala positif. Sedangkan obat anti psikotik atipikal di samping berafinitas
terhadap “ Dopamin D2 reseptors”, juga terhadap “ serotonin 5 HT2 Reseptors” (
seretonin-dopamine antagonis ), sehingga efektif juga untuk gejala negative, pada
pasien ini di berikan anti psikotik golongan tipikal walau memiliki efek samping
ekstrapiramidal sindrom yang lebih berat dari golongan atipikal, karena pasien
memiliki riwayat Diabetes Militus, tentunya kontra indikasi di berikan anti psikotik
golongan atipikal karena dapat menyebabkan sindrom metabolik.(19,24) Pada pasien ini
juga diberikan obat anti depresan, yaitu fluoxetine 1x 20 mg. Fluoxetine merupakan
obat anti depresan golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) yang
bekerja menghambat resorpsi dari serotonin. Antidepresan adalah obat yang digunakan

33
untuk pengobatan depresi. Kadar neurotransmiter terutama norepinefrin dan serotonin
dalam otak sangat berpengaruh dalam keadaan depresi dan gangguan Sistem Saraf
Pusat. Rendahnya kadar norepinefrin dan serotonin didalam otak yang menyebabkan
gangguan depresi, dan apabila kadarnya terlalu tinggi menyebabkan mania. Oleh
karena itu antidepresan adalah obat yang mampu meningkatkan kadar norepinefrin dan
serotonin didalam otak. (19,24)
Pada pasien ini juga mendapat terapi aspilet 1x 80 mg dari departemen penyakit dalam,
tentunya ini menjadi kontraindikasi karena pasien memiliki riwayat stroke hemoragik,
menurut departemen penyakit dalam diberikan aspilet untuk mencegah terjadinya
emboli paru pada pasien. Insidensi dari emboli paru meningkat secara eksponensial
dengan usia. 65% pasien mengalami emboli paru pada usia 60 tahun ke atas. Terdapat
peningkatan resiko sebesar delapan kali lipat pada pasien berusia 80 tahun
dibandingkan dengan pasien berusia kurang dari 50 tahun. Emboli akan meningkatkan
resistensi dan tekanan pada arteri pulmonalis yang kemudian akan melepaskan
senyawa-senyawa vasokonstriktor, agregasi platelet, dan sel mast. Keadaan
vasokonstriksi arteri pulmonal dan hipoksemia kemudian akan menimbulkan hipertensi
arteri pulmonal, sehingga tekanan ventrikel kanan meningkat. Selanjutnya, dilatasi dan
disfungsi ventrikel kanan akan menyebabkan penekanan septum intraventrikuler ke sisi
kiri dan regurgitasi katup trikuspidalis. Hal ini dapat mengganggu proses pengisian
ventrikel. Dengan berkurangnya pengisian ventrikel kiri, maka curah jantung sistemik
akan menurun dan mengurangi perfusi koroner. Infard miokard terjadi sebagai akibat
dari penurunan aliran koroner yang dapat menyebabkan shok kardiogenik. Apabila
tidak ditangani dengan cepat, maka dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi dan
kematian.(25)

Pada Pasien juga ditemukan abses di punggung belakang dan mendapat terapi
drip ciprofloxacin 1 fls /12 jam , drip metronidazole 1 fls/12 jam dan paracetamol.
3x500 mg.

34
BAB V KESIMPULAN

Pasien datang dibawa kelurga dan Satpol PP dengan keluhan mengamuk dan
mengancam keluarga dengan parang, keluarga mengatakan keluhan memberat
semenjak 2 minggu ini. Sebelumnya pasien sudah sering marah marah semenjak 2
tahun ini. Pasien mempunyai Riwayat penyakit medis umum yaitu, Diabetes Melitus
sejak tahun 2015, Hipertensi sejak tahun 2015, dan Stroke Hemoragik sejak tahun 2017.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan status mental pasien
didiagnosa dengan F06.3.32 Gangguan Depresi Organik.
Depresi merupakan suatu gangguan mental umum yang ditandai dengan
suasana hati yang tertekan, kehilangan kesenangan atau minat, merasa kurang energi,
perasaan bersalah atau rendah diri, gangguan makan atau tidur, dan konsentrasi yang

35
rendah. Depresi merupakan respon terhadap stres kehidupan. Gangguan depresi dapat
disebabkan oleh faktor organik maupun faktor psikososial.

DAFTAR PUSTAKA

1. Depression. Barcelona. WHO, 2005. [cited 2005 Juli].


2. Carr, A. 2001. Abnormal Psychology. Sussex: Psychology Press.
3. Steinberg, L. 2002. Adolescence. Sixth Edition. New York: McGraw Hill.
4. Lumongga N. 2009. Depresi: Tinjauan Psikologis. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
5. Mudjaddid. 2003. Waspadai Depresi pada Orang Usia Lanjut. Kompas. h.8
6. Amelia M, Saputri W, Indrawati ES. 2011. Hubungan Antara Dukungan Sosial
dengan Depresi Pada Lanjut Usia yang Tinggal di Panti Wreda Wening Wardoyo.
Vol.9(1). Jawa Tengah: Jurnal Psikologi Undip.

36
7. Utami AW, Liza RG, Ashal T. 2018. Hubungan Kemungkinan Depresi dengan
Kualitas Hidup pada Lanjut Usia di Kelurahan Surau Gadang Wilayah Kerja
Puskesmas Nanggalo Padang. Vol.7(3): hal 417–23.
8. Kaplan, HI; Saddock, BJ. 2010. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta: Widya
Medika
9. Ellenbroek, B; Youn, J. 2016. Affective Disorders in Gene-Environment
Interactions in Psychiatry, Nature, Nurture, Neuroscience. London : Elsevier Inc.
p:173-183
10. Mitchell A J. 2004. The origin of depression in : Neuropsychiatry and
behavioural neurology explained. Philadelphia : Saunders Company. p 429-33.
11. Machale S. 2003. Managing depression in physical illness. Advances in
psychiatric treatment, vol.8: p 297-306. Galagher.
12. Brent D, Lisa P. 2008. Depressive Disoders (in Childhood and Adolescence). In:
Ebert M, Nurcombe B, Loosen P, Leckman J. Current Diagosis & Treatment
Psychiatry. Ed 2 p 601-605. New York: McGraw-Hill.
13. Sadock, BJ.; Sadock, VA. 2017. Mood Disorders in Comprehensive Textbook of
Psychiatry, Volume I/II, 10 th edition. p: 4099-4403. Philadelphia : Wolters
Kluwer.

14. Kementrian Kesehatan RI. 2013. Laporan Nasional Hasil Riset Kesehatan Tahun
2013 Jakarta : Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan.
15. Stahl, SM.; Muntner, N, 2013. Mood Disorders in Stahl‘s Essential
Psychopharmacology, Neuroscientific Basis and Practical Application, 4th edition,
p:237-282. New York : Cambridge University Press.
16. Marwick, K; Birrel, M., 2013. The Mood (Affective) Disorders in Crash Course
Psychiatry, 4th Edition, p:133-137. Edinburgh : Elsevier Ltd.
17. Friedman, ES.; Anderson, IM, 2014. Handbook of Depression, second Edition, p:1-
29. London : Springer Healthcare, a part of Springer Science+Business Media.
18. Maslim, R. 2013. Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari
PPDGJ III dan DSM-5. Jakarta: PT Nuh Jaya.

37
19. Reus VI. 2004. Buku Pegangan Psikiatri Komprehensif Edisi Ketujuh. Lippicott
Williams dan Penerbit Wilkins. Philadelphia.
20. Koho, M. 2014. Depression Assosiated with Physical Illness Vol.44(6) p. 279282.
Japan: Journal of the Japan Medical Association.
21. Andreulucis, E; Hyphantis, T. 2015. Depression in Diabetes Mellitus:
Comprehensive Review. Greece: National Center for Biotechnology Information.
22. Richard, G; De Groot, S. 2014. Diabetes and Depression. England: Current
Diabetes Report.
23. Amytis, T; Bruce O; Husseini, N. 2017. Poststroke Depression: scientific Statement
for Healthcare profession Vol.48 (2). American: AHA Journal.
24. Maslim, R. 2014. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic Medication).
Jakarta: PT Nuh Jaya.
25. Octaviani, F; Kurniawan, A. 2015. Emboli Paru. Tanggerang: Universitas Pelita
Harapan.

38

Anda mungkin juga menyukai