Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH FARMAKOTERAPI 1

“FARMAKOTERAPI DEPRESI”

OLEH

KELOMPOK 2

KELAS S1.VA

1. ALFITRA RAISYA (1701001) 6. CINDY OKTAVIANA LAIA


2. ANNISA DEYA NABILLA (1701008)
(1701003) 7. DEVI PUTRI AMITHA (1701010)
3. ANNISA INTANIA RUSTI 8. DHEA ANANDA FITRI (1701011)
(1701004) 9. EKA DEFITRI ( 1701012)
4. ANNISA MUTHMAINAH 10. HANIFAH ROHADATUL AISYI
(1701005) (1701015)
5. BAYU AJIE SATRIA (1701007) 11. FATMA NOVIA (1801128)

DOSEN PENGAMPU:
FINA ARYANI M.Sc.,Apt

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Dalam makalah ini penulis menjelaskan mengenai FARMAKOTERAPI DEPRESI .
Makalah ini di buat dalam rangka untuk melengkapi nilai penulis dan menambah
pengetahuan penulis maupun pembaca mengenai FARMAKOTERAPI DEPRESI .
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kesalahan dan
kekurangan. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki oleh penulis. Meskipun demikian, penulis berusaha agar makalah ini dapat lebih
layak untuk dibaca.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran, demi perbaikan dan
kesempurnaan makalah ini di waktu yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

Pekanbaru, September 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... i


DAFTAR ISI ......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................. 1
1.2. Tujuan Penulisan ............................................................... 2
1.3. Manfaat............................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DEPRESI ........................................ 3
2.1. Definisi ................................................................................ 3
2.2. Epidemiologi .................................................................... 4
2.3. Etiologi ............................................................................... 4
2.4. Patofisiologi ....................................................................... 6
2.5. Prognosis ........................................................................... 9
2.6. Gejala dan Tanda ............................................................. 9
2.7. Tata Laksana Terapi ........................................................ 11
BAB III KASUS .................................................................................. 21
3.1. Deskripsi Kasus ................................................................ 21
3.2. Analisis Kasus ................................................................... 21
3.3. Pemilihan Obat Rasional ................................................. 21
3.4. Evaluasi Obat Terpilih ..................................................... 21
3.5. Monitoring Dan Follow Up .............................................. 21
3.6. Komunikasi, Informasi Dan Edukasi ............................. 21
3.7. Jawaban Pertanyaan ....................................................... 21
BAB IV PENUTUP ............................................................................. 22
4.1. Kesimpulan ....................................................................... 22
4.2. Saran .................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gangguan depresi adalah salah satu jenis gangguan jiwa yang paling sering terjadi.
Prevalensi gangguan depresif pada populasi dunia adalah 3-8 % dengan 50% kasus
terjadi pada usia produktif yaitu 20-50 tahun. World Health Organization menyatakan
bahwa gangguan depresi berada pada urutan keempat penyakit di dunia. Gangguan
depresi mengenai sekitar 20% wanita dan 12% laki-laki pada suatu waktu dalam
kehidupan. Pada tahun 2020 diperkirakan jumlah penderita gangguan depresi semakin
meningkat dan akan menempati urutan kedua penyakit di dunia.

Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat.


Depresi biasanya terjadi akibat adanya stres yang dialami seseorang tidak kunjung reda
dan cenderung berkorelasi dengan kejadian dramatis yang baru saja terjadi atau menimpa
seseorang, misalnya kematian seseorang yang sangat dicintai atau kehilangan pekerjaan
yang sangat dibanggakan.

Gangguan depresi ditandai dengan berbagai keluhan seperti kelelahan atau merasa
menjadi lamban, masalah tidur, perasaan sedih, murung, nafsu makan terganggu dapat
berkurang atau berlebih, kehilangan berat badan dan iritabilitas. Penderita mengalami
distorsi kognitif seperti mengkritik diri sendiri, timbul rasa bersalah, perasaan tidak
berharga dan putus asa.

Gangguan depresi dapat diobati dan dipulihkan melalui konseling/psikoterapi dan


beberapa diantaranya memerlukan tambahan terapi fisik maupun kombinasi keduanya.
Karena ada beberapa faktor yang saling berinteraksi untuk timbulnya gangguan depresi,
penatalaksanaan yang komprehensif sangat diperlukan. Jenis terapi bergantung dari
diagnosis, berat penyakit, umur penderita dan respon terhadap terapi sebelumnya. Terapi
gangguan depresi memerlukan peran serta individu yang bersangkutan, keluarga maupun
praktisi medis dan paramedis yang profesional.

1
1.2. Tujuan Penulisan
Mahasiswa Mampu memahami hal-hal terkait dengan Farmakoterapi Depresi

1.3. Manfaat Penulisan


Mahasiswa memahami hal-hal terkait dengan Farmakoterapi Depresi

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DEPRESI

2.1. DEFINISI
Depresi adalah suatu gangguan mood yang bersifat searah(unipolar),yaitu
berupa suatu emosi yang meresap dan menetap berupa perasaan tertekan,dalam
kondisi ekstrim,sangat mempengaruhi persepsi seorang terhadap dunia.Seorang
dengan depresi lebih beresiko terhadap kejadian bunuh diri,dimana sebanyak 15%
pasien depresi yang tidak ditangani akam bunuh diri (30 kali lebih sering
dibandingkan pasien non-depresi). (Zullies Ikawati,2014)
Adapun klasifikasi episode pada bipolar adalah episode depresi berat
(Major Depressive Episode), episode manik, episode hipomanik, episode
campuran, dan siklus cepat(Rapid Cycling).

2.2. Epidemiologi
Depresi adalah salah satu gangguan mental yang cukup banyak diderita
masyarakat, dan diperkirakan mempengaruhi 121 juta orang diseluruh dunia.
Penyakit ini merupakan salah satu penyebab utama ketidakmampuan(disabilitas)
dan merupakan kontributor utama ke-4 pada penyakit-penyakit yang menjadi
beban global pada tahun 2000. Pada tahun 2020, depresi diperkirakan akan
mencapai ranking kedua sebagai penyakit disabilitas. (Zullies Ikawati,2014)
Di Indonesia, diperkirakan sekitar 15,6 juta penduduk yang mengalami
depresi. Namun hanya 8% dari penduduk yang mencari pengobatan ke
profesional (dr.Eka Viora, SpkJ ). Dan menurut Mini Internasional
Neuropsychiatric Interview prevalensi depresi pada penduduk umur ≥ 15 tahun
sekitar 6,1% dan hanya beberapa persen saja dari penderita depresi yang minum
obat/ menjalani pengobatan medis
Di Riau, diperkirakan 6,2% penduduk umur ≥ 15 tahun menderita
depresi.( Mini Internasional Neuropsychiatric Interview ).
Di Amerika, diperkirakan 5,3 % pasien menderita depresi, dan dalam
sebuah survai AS dijumpai bahwa 17% populasi memiliki sejarah gangguan
depresi dalam hidupnya. Pasien depresi juga beresiko terhadap terjadinya
alkoholisme, penyalahgunaan obat, gangguan kecemasan, dll. Pada keadaan

3
terburuk depresi dapat menyebabkan dunia kehilangan 850.000 orang setiap
tahunnya. (Zullies Ikawati,2014)
Ada kecenderungan hubungan familiar dengan kejadian depresi,dimana
diperkirakan 8-18% pasien depresi memiliki sedikitnya satu keluarga dekat
(ayah,ibu,kakak,atau adik) yang memiliki sejarah depresi. Kejadian depresi pada
wanita 2-3 kali lebiih sering dibanding pria, dan bisa terjadi pada setiap umur,
tetapi paling banyak terjadi pada usia 25-44 tahun. (Zullies Ikawati,2014)

2.3. Etiologi
Penyebab depresi sangat kompleks, melibatkan faktor genetik, biologis,
dan lingkungan. Faktor-faktor ini bisa menyebabkan gangguan depresi baik
secara tunggal atau bersama sama. Pasien depresi menunjukkan adanya
perubahan neurotransmitter otak antara lain : Norepineprin,5HT,dopamin.
(Zullies Ikawati,2014)
Teori amina biogenik menyatakan bahwa depresi disebabkan karena
kekurangan (defisiensi) senyawa monoamin terutama noradrenalin dan serotonin.
Oleh karena itu, depresi dapat dikurangi oleh obat yang dapat meningkatkan
kesediaan serotonin, dan noradrenalin, misalnya MAO inhibitor atau
antidepresan trisiklik.
Teori ini mempostulatkan bahwa serotonin (5-HT) yang rendah dapat
menyebabkan kadar norepinefrin (NE) menjadi tidak normal yang dapat
menyebabkan gangguan mood. Jika kadar norepinefrin (NE) rendah akan terjadi
depresi, dan jika kadarnya tinggi akan terjadi manik. Menurut hipotesis ini
meningkatkan kadar serotonin (5-HT) akan memperbaiki kondisi sehingga tidak
muncul gangguan mood. (Kando et al.2007).
namun ketidakseiimbangan neurotransmitter ini diketahui dapat
disebabkan oleh berbagai hal,seperti:

a) Keturunan/genetik
Kejadian depresi dan bunuh diri cenderung terjadi dalam satu keluarga.
Sebagai contoh, sekitar 8% sampai 18% dari pasien dengan depresi berat
memiliki sedikit keluarga dekat dengan riwayat depresi. Selain itu, pasien
dengan keluarga dekat yang depresi lebih mungkin menderita depresi sampai
1,5 sampai 3 kali dari orang normal.

4
b) Kepribadian
Orang dengan ciri-ciri kepribadian tertentu yang lebih cenderung menjadi
depresi antara lain adalah berpikir negatif, pesimisme, kekhawatiran yang
berlebihan, rendah diri, selalu tergantung pada orang lain, dan tanggapan yang
kurang efektif terhadap stres.
c) Situasi dan kondisi
Peristiwa sulit dalam kehidupan, kehilangan, perubahan, atau stres yang
terus menerus dapat menyebabkan kadar neurotransmitter menjadi tidak
seimbang, dan selanjutnya menyebabkan depresi. Sebalikanya, peristiwa
bahagia pun, seperti melahirkan, dapat menyebabkan perubahan kadar hormon
sehingga menyebabkan stres yang dapat memicu depresi, seperti ada depresi
postpartum.
d) Kondisi medik
Depresi juga dapat terjadi karna kondisi medis tertentu, misalnya penyakit
jantung, stroke, diabetes, kanker, gangguan hormonal.

e) Penggunaan Obat

Beberapa obat yang digunakan untuk waktu yang lama, seperti


prednison, obat tekanan darah tertentu, obat tidur, antibiotik dan bahkan pil
KB dalam beberapa kasus, bisa menyebabkan depresi atau memperburuk
kondisi depresi. Beberapa obat antikonvulsi, seperti carbamazepine, phenytoin
Obat anti kejang, seperti lamotrigin, topiramat, dan gabapentin, juga terkait
dengan risiko terjadinya bunuh diri.

f) Penyalahgunaan Zat

Meskipun telah lama dipercaya bahwa depresi menyebabkan orang


melakukan penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan dalam upaya untuk
membuat mereka merasa lebih baik, sebaliknya juga dapat terjadi, yaitu bahwa
penyalahgunaan zat dapat menyebabkan depresi.
(Zullies Ikawati,2014)

5
Kondisi Medis Umum, Gangguan Penggunaan Zat, dan Obat-obatan yang
Terkait dengan Gejala Depresi( Kando et al.2007)

2.4. Patofisiologi
Ada beberapa hipotesis mengenai patofisiologi depresi, yaitu:

a. Hipotesis amin biogenik ( biogenic amine hypothesis)

Pada tahun 1960, peneliti dari Amerika Serikat dan Eropa, secara hampir
bersamaan mengemukakan hipotesis amina biogenik pada depresi. Hipotesis
ini menyatakan bahwa depresi disebabkan oleh kekurangan dalam senyawa
katekolamin, yaitu norepinefrin (NE), dan serotonin (5HT). Ini menyatakan
bahwa perubahan biokimia dari sistem ini ditentukan secara genetik. Hipotesa
ini muncul karena pada masa lalu obat antidepresan yang paling efektif
bekerja dengan cara meningkatkan ketersediaan monoamin di sinaps,
sementara beberapa obat hipertensi yang mcnyebabkan pengurangan pada
penyimpanan NE, 5-HT, dan dopamin (DA) ternyata menyebabkan depresi
pada 15 % pasien.
Namun, penelitian berikutnya menunjukkan bahwa hipotesis amina
biogenik tidak cukup untuk menjelaskan perkembangan depresi. Selain itu,

6
obat antidepresi tradisional, terutama yang bertarget pada norepinefrin atau 5-
HT, ternyata tidak efektif pada kira-kira 40% dari pasien dengan depresi berat
atau dysthymia. Oleh karena itu, dengan keterbatasan teori amina biogenik
dalam menjelaskan patofisiologi depresi, maka peneliti melanjutkan mencari
model etiologi baru depresi. (zullies ikawati,2014)

b. Hipotesis permisif (Permissive hypothesis)

Teori lain yang berkembang untuk menjelaskan tentang patofisiologi


depresi adalah hipotesis permisif yang berfokus pada 5-HT. Sel-sel syaraf
yang mengandung 5-HT terutama terletak di raphe nuclei batang otak. Seperti
syaraf yang mengandung NE, mereka secara luas terproyeksikan ke berbagai
wilayah otak. Teori ini berkembang paralel dengan teori arnina biogenik. Pada
tahun 1960, dirumuskan hipotesis permisif yang menyatakan bahwa
berkurangnya 5-HT menyebabkan depresi karena "mengijinkan” turunnya
kadar NE.
Namun, dalam sebuah studi mengenai pengurasan (deplesi) triptofan
(prekursor 5-HT), ternyata berkurangnya 5-HT tidak berpengaruh pada
suasana hati subyek sehat yang tidak memiliki riwayat depresi. Selain itu,
hanya 50% dari orang sehat, yang memiliki riwayat depresi mengalami
kekambuhan gejala depresi setelah mereka mengalami pengurasan triptofan.
Dan juga pasien yang sudah mengalami depresi pada awal pengurasan
triptofan ternyata tidak mengalami perburukan gejala. Dengan demikian,
detisiensi 5-HT saja tidak bisa memberikan penjelasan yang cukup mengenai
terjadinya depresi. Nampaknya perlu ada peran kedua neurotransmiter (NE
dan 5-HT) secara bersama-sarna dalatn menyebabkan depresi.
(Zullies Ikawati,2014)

c. Hipotesis sensitivitas reseptor

Hipotesis amina biogenik saja tidak dapat menjelaskan keterlambatan


dalam onset Obat depresi yang memerlukan waktu sampai 6-8 minggu. Hal ini
dapat dijelaskan dengan teori sensitivitas reseptor. Teori ini menyatakan
bahwa reseptor yang berada di syaraf pasca sinaptik dapat mengalami
supersensitivitas. Supersensitivitas merupakan respon yang merupakan

7
kompensasi dari syaraf pasca sinaptik saat menerima stimulasi yang terlalu
sedikit. Syaraf akan mencoba untuk mengkompensasi kurangnya stimulasi
tersebut dengan peningkatan responsivitas syaraf. Disisi lain,syaraf pasca
sinaptik juga dapat mengimbangi kurangnya stimulasi dengan cara
meningkatkan sintesis reseptor tanibahan. Proses ini dikenal sebagai up-
regulasi.
Dengan meningkatkan jumlah neurotransmiter pada celah sinaptik,
responsivitas syaraf dapat dinormalkan. Peningkatan neurotransmiter akan
meningkatkan stimulasi pada reseptor. yang rnendorong syaraf untuk
mengimbanginya dengan penurunan sensitivitas reseptor, suatu proses yang
dikenal sebagai desensitisasi. Syaraf pasca sinaptik juga dapat
mengkompensasi peningkatan stimulasi dengan mengurangi jumlah reseptor,
sebuah proses yang dikenal sebagai regulasi.
Diketahui obat-obat an antidepresan bekerja dengan cara meningkatkan
jumlah neurotranstmiter pada celah sinaptik tersebut. Mereka melakukan ini
dengan menghalangi metabolisme monoamine atau dengan menghalangi
reuptakenya. Penggunaan Obat antidepresan kronis diperkirakan untuk
mengubah responsivitas dan jumiah reseptor pasca sinaptik. Pengamatan efek
jangka panjang antidepresan inilah yang menimbulkan teori Sensitivitas
reseptor ini. Hipotesis ini mengusulkan bahwa depresi adalah hasil dari
perubahan patologis (supersensitivitas dan up-regulasi) di lokasi reseptor,
sebagai akibat dari terlalu sedikitnya stimulasi monoamina, yaitu kekurangan
NE dan HT di celah itu. Pemberian kronis obat anti depresan yang
meningkatkan jumlah NE dan 5HT dapat menyebabkan desensitisasi dan
mungkin down-regulasi (penurunan jumlah reseptor). Menurut hipotesis ini,
perbaikan gejala depresi itu berasal dari normalisasi sensitivitas reseptor. Obat
antidepresi akan mencapai efek klinis mereka dengan mengurangi
supersensitivitas reseptor. Teori ini merupakan langkah penting menuju
pemahaman mengapa pencapaian respon klinis Obat antidepresan umumnya
membutuhkan waktu. (Zullies Ikawati,2014)

8
2.5. Prognosis
Kebanyakan individu dengan episode depresi berat akan membaik dan
berespon positif terhadap sedikitnya satu Obat antidepresan. Individu juga dapat
mengambil manfaat dari psikoterapi. Dengan waktu, pemulihan biasanya selesai,
meskipun risiko kambuh meningkat dengan setiap episode. Lebih dari separuh
dari semua orang yang pernah mengalami satu episode depresi mayor mungkin
akan mengalami episode berikutnya, sementara orang-orang dengan sejarah tiga
episode sebelumnya, kemungkinan besar akan mengalami episode yang
keempat. Karena tingkat kekambuhan yang tinggi, maka dianjurkan bahwa
individu dengan riwayat beberapa episode depresif menggunakan obat selama
sisa hidup mereka.

Pemulihan spontan mungkin memakan waktu berbulan bulan, dan selama


waktu itu pasien beresiko besar terhadap terjadinya komplikasi. Menurut DSM-
IV-TR, risiko kekambuhan sekitar 70% pada 5 tahun dan minimal 80% pada 8
tahun. Pasien dengan depresi berat berat, 76% diantaranya bisa pulih dengan
antidepresan, dibandingkan dengan 18% pada pemberian plasebo atau
psikoterapi.

Hasil terapi yang jelek umumnya disebabkan oleh pengobatan yang tidak
memadai, gejala awal yang berat (termasuk psikosis), onset pada usia dini,
banyaknya jumlah episode sebelumnya, pemulihan yang kurang sempurna
setelah 1 tahun pengobatan, gangguan mental atau medis yang sudah ada
sebelumnya mental, dan disfungsi keluarga.(Zullies Ikawati,2014)

2.6. Gejala dan Tanda


Untuk menyatakan pasien menderita depresi, perlu dilakukan pemeriksaan
mengenai kemungkinan penyebab yang berasal dari masalah medis,
psikiatrik,atau disebabkan karena obat atau penggunaan alkohol. Rasa
tertekan/sedih karena kehilangan/kematian orang yang dicintai pada orang
normal akan sembuh dengan sendirinya, sedangkan jika gejala tetap bertahan
sampai 2 bulan dan diikuti keinginan bunuh diri, kemunduran psikomotor,
kegagalan fungsional, perasaan tidak berguna dan gejala psikotik, maka
kemungkinan ia mengalami penyakit depresi.

9
Berdasarkan DSM-IV-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, 4th ed., Text Revision), pasien didiagnosa depresi jika ada lima (atau
Iebih) gejala berikut ini muncul dalam suatu periode (2 minggu) dan
menunjukkan adanya perubahan dari fungsi sebelumnya, setidaknya salah satu
dari gejala tersebut adalah (l) depresi suasana hati (2) kehilangan minat terhadap
kesenangan

A.Gejala-gejala tersebut antara Iain adalah:

1) Rasa tertekan/sedih hampir sepanjang hari dan terjadi hampir setiap


hari
2) Penurunan minat atau kesenangan yang signifikan terhadap aktivitas
apapun
3) Penurunan berat badan yang signifikan walaupun tidak melakukan diet,
atau peningkatan berat badan
4) Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
5) Agitasi psikomotor atau retardasi hampir setiap hari (dinilai oleh orang
lain, tidak hanya berdasarkan penilaian subyektif bahwa merasa tidak
bersemangat atau lebih lamban)
6) Keletihan atau kehabisan energi hampir setiap hari
7) Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah berlebihan
8) Penurunan kemampuan untuk berfikir berkonsentrasi atau ketidakyakinan,
hampir setiapatau hari
9) Berulang kali memikirkan kematian (tidak hanya ketakutan akan kematian)
dan berulang kali memiliki ide bunuh diri walaupun tanpa rencana yang
spesifik atau usaha bunuh diri atau gagasan Yang spesifik untuk melakukan
bunuh diri

B. Gejala yang mengakibatkan stress yang bermakna klinis atau gangguan pada
sosialisasi, pekerjaan, atau fungsi lain yang penting
C. Gejala yang tidak terkait langsung dengan efek fisiologi dari suatu obat (seperti
penyalahgunaan obat, suatu pengobatan) atau kondisi medis umum (seperti
hipotiroidisme)

10
D. Gejala yang tidak dapat dikaitkan dengan reaksi yang dialami akibat kehilangan
orang yang dicintai,gejala bertahan selarna lebih dari 2 bulan atau ditandai
dengan gangguan fungsional yang signifikan,dipenuhi pemikiran yang tidak
wajar mengenai perasaan tidak berharga,ide bunuh diri,gejala psikosis,reterdasi
psikomotor.
(Zullies Ikawati,2014)

2.7. Tata Laksana Terapi


1. Sasaran Terapi

Sasaran terapi depresi adalah perubahan biologis/efek berupa mood /perasaan


pasien. Karena mood pasien dipengaruhi oleh kadar 5-HT dan NE di otak, maka
sasaran utamanya modulasi 5-HT dan norepinefrin otak dengan agen agen yang
sesuai untuk mencapai kesetimbangan.

2. Strategi terapi

Tujuan terapi depresi adalah menurunkan gejala depresi dan memfasilitasi


pasien untuk kembali ke kondisi normal. Strategi nya adalah menggunakan terapi
nir obat dan atau obat anti depresan yang dapat memodulasi kadar 5-HT dan NE
diotak.

3. Terapi non farmakologi

Salah satu bentuk terapi non farmakologi untuk depresi adalah psikoterapi dan
terapi elektrokonvulsif. Diantara berbagai psikoterapi, terapi perilaku kognitif
(cognitive behavioral therapy, CBT) dan terapi interpersonal (interpersonal
therapy, IPT) tampaknya merupakan pendekatan yang paling efektif. Jika episode
depresi ringan sampai sedang dalam keparahan, psikoterapi mungkin merupakan
terapi lini pertama. Jika psikoterapi dipakai sendiri tanpa obat, hasilnya harus
terlihat nyata dalam 8 minggu dan gejala harus hilang dalam 12 minggu. Jika
kondisi ini tidak terpenuhi, maka pasien harus dipertimbangkan untuk
menggunakan obat anti depresan.

a. Terapi perilaku kognitif ( cognitive behavioral therapy, CBT)


Dalam sebuah analisis terhadap 4 studi komparasi, terapi perilaku kognitif
memiliki efek yang sepadan dengan antidepresan dalam mengatasi depresi berat bagi
11
banyak pasien. Sebagian besar keberhasilan terapi psikologis tergantung pada
keterampilan terapis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa kombinasi terapi
perilaku kognitif dengan antidepresan memiliki keuntungan terbesar bagi banyak
pasien, khususnya untuk dysthymia ( depresi kronis). Bukti medis juga telah
menemukan bahwa manfaat dari terapi kognitif bertahan setelah perawatan telah
berakhir. Terapi Perilaku kognitif telah terbukti membantu mencegah upaya bunuh
diri pada masa mendatang pada pasien dengan riwayat perilaku bunuh diri.
Terapi perilaku kognitif mungkin sangat bermanfaat bagi pasien berikut:
1. Pasien dengan depresi atipikal
2. Remaja dengan gejala depresi berat ringan
3. Wanita dengan depresi postpartum nonton psikotik
4. Anak anak dari orang tua dengan gangguan – dalam kasus ini, terapi harus
melibatkan seluruh keluarga
Terapi kognitif nampaknya tidak selektif antidepresan pada pasien dengan
depresi jenis dysthymia.

b. Terapi interpersonal ( IPT)


Mendasarkan sebagian pada teori psikodinamik, terapi interpersonal
mengakui adanya akar depresi pada masa kanak-kanak, tetapi terapi tetap berfokus
pada gejala dan masalah masalah pada saat ini yang mungkin menyebabkan
gangguan depresi. IPT tidak sebegitu efektif seperti Terapi kognitif atau perilaku.
Terapis berusaha untuk mengalihkan perhatian pasien yang telah terdistorsi oleh
depresi, mengenai interaksi sosial pasien dan keluarga sehari hari dengan rinci.

Tujuan dari pengobatan ini adalah meningkatkan keterampilan komunikasi


dan peningkatan harga diri dalam waktu singkat ( 3-4 bulan janji dengan pertemuan
setiap minggu). Diantara bentuk depresi yang dapat diatasi oleh IPT adalah depresi
yang disebabkan oleh adanya suasana berkabung, konflik terpendam dengan orang-
orang yang memiliki hubungan yang dekat, perubahan besar dalam hidup, dan
keadaan terisolasi. Sebuah studio meta analisa dari 13 penelitian yang dilakukan pada
kisaran 1974-2002 menunjukan bahwa dalam 9 penelitian, IPT lebih unggul dengan
plasebo. Selain itu, IPT lebih efektif dari CBT. Namun kombinasi IPT dengan obat
obatan tidak secara signifikan lebih efektif dibandingkan mono terapi Obat Untuk
terapi akut atau terapi pencegahan.

12
c. Terapi elektrokinvulsif ( elektroconvulsif therapy, ECT)
Terapi Electroconvulsive (ECT) adalah pengobatan yang aman dan efektif untuk
penyakit mental berat tertentu, termasuk gangguan depresi berat serta penyakit
kejiwaan terpilih lainnya. terapi yang digunakan untuk membantu mengobati penyakit
penyakit psikiatrik. Arus listrik dilewatkan melalui otak untuk memicu kejang (
periode singkat aktivitas otak tidak teratur) berlangsung sekitar 40 detik. Salah satu
teori menyatakan bahwa kejang pada otak yang dipicu oleh ECT ditujukan untuk
melepaskan neurotransmitter yang dibutuhkan didalam otak, sehingga mencapai
kesetimbangan. ECT umumnya terdiri dari ECT unilateral atau bilateral yang
diberikan 2 sampai 3 kali seminggu untuk total 6 hingga 12 perawatan. Respons
terapeutik yang cepat (10-14 hari) telah dilaporkan.
Walaupun cukup aman dan semakin canggih dalam pelaksanaannya, beberapa
efek samping mungkin terjadi antara lain kehilangan memori sementara jangka
pendek, kebingungan, mual, nyeri otot dan sakit kepala. Beberapa orang mungkin
mengalami masalah memori lama setelah ECT. Pasien mungkin akan mengalami
perbaikan dan memerlukan terapi ECT secara berkelanjutan sebagai terapi
pemeliharaan, sebagian lagi mungkin akan kembali menggunakan antidepresan,
sesuai dengan hasil terapi masing-masing.
Efektivitas ECT terhadap depresi telah dibuktikan dalam beberapa uji klinis.
Dalam sebuah studio metaklinis tentang efektivitas ECT dalam pengobatan depresi, 6
uji klinik yang melibatkan 256 menunjukkan bahwa ECT memberikan perbaikannya
yang signifikan dibandingkan dengan kontrol. Dibandingkan dengan terapi obat, hasil
meta analisis juga menunjukkan keunggulan ECT. ECT dilaporkan lebih unggul
dibandingkan beberapa antidepresan seperti golongan ke selective serotonin reuptake
inhibitor ( SSRI), tricyclic antidepresan ( TCA), monoamine oxydose inhibitor (
MAOI).

5. Terapi farmakologi
Secara umum ada 3 fase pengobatan yang perlu dipertimbangkan ketika
merawat pasien dengan gangguannya depresi yaitu:
a. Fase akut, yang berlangsung 6 sampai 10 minggu dimana tujuannya adalah
menghilangkan gejala.

13
b. Fase lanjutan, berlangsung 4 -9 bulan setelah remisi dicapai, dimana tujuannya
adalah menghilangkan gejala sisa atau mencegah kekambuhan yaitu kembalinya
gejala setelah remisi.
c. Fase pemeliharaan, yang berlangsung setidaknya 12 – 36 bulan yang
tujuannya adalah untuk mencegah terulangnya episode depresi.
Durasi terapi antidepresan tergantung pada resiko kekambuhan. Beberapa
penelitian merekomendasikan terapi seumur hidup untuk orang yang beresiko
besar kambuh ( orang yang berada dibawah 40 tahun dengan 2 atau lebih episode
sebelumnya dan orang dari segala usia dengan 3 atau lebih episode sebelumnya).
Obat antidepresan :

Regulasi neurotransmitter monoamine pada tingkat neuron. Neurotransmitter


(NTs) membawa pesan antar sel. Setiap NT umumnya berikatan dengan reseptor
tertentu, dan penggandengan ini mengawali serangkaian kejadian. NTs diserap
kembali ke dalam sel-sel saraf oleh pompa reuptake (yaitu, molekul transporter) di
mana mereka dapat didaur ulang untuk digunakan nanti atau dipecah oleh enzim.
Untuk mekanisme kerja utamanya, sebagian besar antidepresan dianggap
menghambat molekul transporter dan memungkinkan lebih banyak NT untuk tetap
berada di sinaps.

 Selektif serotonin reuptake inhibitor (SSRIs) : Bekerja dengan menghambat


reuptake 5-HT ke neuron presinap, SSRI bekerja memblokir serotonin agar
tidak diserap kembali oleh sel saraf (saraf biasanya mendaur ulang

14
neurotransmitter ini). Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi serotonin,
yang dapat meningkatkan mood dan kembali menumbuhkan minat terhadap
aktivitas yang disukai. Umumnya digunakan sebagai first-line terapi karena
relatif tidak over dosis dan toksisitas.
Contohnya : Citalopram, escitalopram, fluoxetine, fluvoxamine paroxetine,
sera;ine.
 Serotonin-noreponefrin reuptake inhibitor (SNRIs) : Desvelanfaxine,
duloxetine, venlafaxine (generasi pertama)
 Trisiklik antidepresan (TCAs) : Amytriptyline, desipramine, doxepine,
impramie, nortriptyline. Bekerja dengan menghambat pengambilan kembali
norepinefrin dan 5-HT dan memiliki afinitas terhadap reseptor adrenergik,
kolinergik, dan hitaminergik, inhibitor monoamin oksidase (MADIs) fenazin
dan tranylcoprimine meningkat konsentrasi norepinefrin, 5-HT dan dopamin
dalam sinap neuron melalui penghambatan monoamin oksidase (MAO).
 Aminoketone : Bupropion tidak memiliki efek yang berarti pada reuptake 5-
HT, sementara memiliki properti reuptake baik pada norepinefrin dan pompa
reuptake dopamin. Sifat farmakologis ini membuat bupropion unik di antara
semua antidepresan yang tersedia saat ini.
 Triazolopyridin : Trazodone dan nefazodone memiliki aksi ganda pada neuron
serotonergik, bertindak sebagai antagonis 5-HT dan inhibitor reuptake 5-HT.
Mereka juga dapat meningkatkan neurotransmisi berperantara 5-HT.
Trazodone memblokir α 1-reseptor drenergik dan histaminergik yang
mengarah pada peningkatan efek samping (mis., Pusing dan sedasi) yang
membatasi penggunaannya sebagai antidepresan.
 Tetracyclic : Mirtazapine meningkatkan aktivitas noradrenergik dan
serotonergik sentral melalui antagonisme autoreptor reseptor α-adrenergik
pusat dan heteroreseptor. Antagonisme reseptor 5-HT 2 dan 5-HT 3 masing-
masing dikaitkan dengan penurunan kecemasan dan efek samping
gastrointestinal. Blokade reseptor histamin dikaitkan dengan sifat sedatif dari
mirtazapine.
 Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOI) : meningkatkan konsentrasi NE, 5-
HT, dan DA dalam sinaps neuronal melalui penghambatan enzim MAO.
Contohnya: Phenelzine, Tranylcypromine.

15
Untuk mengatasi depresi, digunakan obat antidepresan. Obat antidepresan
digunakan untuk meningkatkan 5-HT dan norepinefrin diotak. Antidepresan tidak
menyebabkan kecanduan. Mereka bukan obat penenang dan juga tidak
menyebabkan perasaan melayang pada pasien. Antidepresan umumnya diresepkan
untuk minimal 4-6 bulan atau lebih. Beberapa pasien mungkin harus
menggunakannya selama hidup mereka.
Secara umum, antidepresan dipilih berdasarkan gejala individu pasien. Obat
harus digunakan 6-8 minggu penuh sebelum efek obat tersebut dapat
diukur/dirasakan.dosis harus ditingkatkan perlahan lahan dan pada interval
tertentu. Seorang dokter atau psikiater harus Memonitor pasien mengenai
penggunaan obat tersebut. Banyak pasien harus mencoba beberapa macam obat
sebelum mereka menemukan 1 yang paling sesuai untuk mereka.
Pasien harus mendapat informasi tentang obat mereka, misalnya potensi
efek samping, interaksi obat antidepresan dengan obat lain, dan interaksi dengan
makanan dan suplemen herbal. Beberapa antidepresan sebaiknya tidak digunakan
secara bersamaan dengan makanan tertentu, alkohol, dana atau obat obatan.
Pasien sebaiknya memberitahu dokter mengenai riwayat pengobatan dan pola
makan sebelumnya, sehingga dokter dapat membuat keputusan yang aman
mengenai antidepresan yang akan digunakan. Antidepresan juga tidak boleh
diberikan tiba tiba tanpa konsultasi dengan dokter karena dapat memicu
kekambuhan depresi nya.

16
Algoritma untuk pengobatan gangguan depresi mayor tanpa komplikasi

Rawat jalan tanpa komplikasi, fisik tanpa kontraindikasi


untuk kelas antidepresan tertentu

SSRI
(tergangtung pada banyak faktor )

Uji coba gagal karena nonresponse Respon parsial (setelah Respon


atau membatasi efek buruk
memaksimalkan dosis)

Pastikan Mempertahankan selama 4-9


Pertimbangkan augmentasi bulan untuk kelanjutan jika perlu
kepatuhan
(antidepresan non-SSRI, litium 12-36 bulan untuk
pengobatan
hormon tiroid, antiseptik atipikal pemeliharaan.
atau beralih keagen alternatif
Beralih ke agen alternatif
berbeda SSRI, antidepresan
non-SSRI

Uji coba Respon Rimisi


gagal parsial tanggapan

Uji coba Respon Rimisi


gagal parsial tanggapan Beralih ke Pertimbangka Pertahankan
antidepresa n augmentasi selama
n non-SSRI (litium setidaknya 4
Beralih ke Pertimbang Pertahankan antidepresan hingga 9 bulan
antidepresa kan selama non-ssri, untuk kelanjutan,
n non-SSRI augmentasi setidaknya 4 hormon tiroid dan jika perlu, 12
(litium hingga 9 atipikal, hingga 36 bulan
antidepresa bulan untuk antipsikotik untuk
n non-ssri, kelanjutan, pemeliharaan
hormon dan jika
tiroid, perlu, 12
atipikotik hingga 36
atipikal bulan untuk
pemeliharaan

17
BAB III
KASUS

3.1. Deskripsi Kasus


Tn. AD, 42 tahun, pendidikan terakhir tamat S1, bekerja sebagai guru, sudah
menikah, merupakan anak ke-3 dari 7 bersaudara. Pasien dikonsulkan dari bagian Neurologi
pada tanggal Oktober 2018 dengan diagnosis completed stroke, dyslipidemia, hipertensi
grade 1, dikonsulkan dengan suspect depresi post stroke. Pasien mengatakan merasa sedih
karena tidak kunjung sembuh dari sakitnya. Sesekali dalam bercerita pasien mencucurkan air
mata. Pasien mengatakan sudah 3 tahun yang lalu menderita stroke. Pasien menyadari sakit
yang dideritanya murni penyakit medis. Satu tahun kemudian pasien tidak bisa berjalan.
Awalnya pasien rajin berobat baik berobat ke medis maupun alternatif. Akan tetapi kira-kira
1 tahun ini pasien tidak mau berobat dikatakan karena merasa putus asa, mengaku merasa
bersalah karena sering merepotkan istrinya dan menjadi beban bagi keluarganya. Pasien juga
mengatakan merasa tidak berguna karena tidak dapat mengerjakan apa-apa, tidak dapat
menjaga anak, dan tidak bisa bekerja padahal pasien memiliki tanggungan terhadap 4 orang
anak, 1 istri dan 1 adik perempuannya yang masih kuliah.

Tiga bulan yang lalu pasien mengatakan mendapat serangan stroke lagi sampai pasien
tidak dapat berbicara. Pasien mengatakan “saat 3 bulan yang lalu saya tiba-tiba tidak bisa
berbicara, saat itu saya sempat berfikir untuk mengkahiri hidup dan merasa tambah putus asa,
penyakit saya tidak sembuh-sembuh justru tambah parah “. Saat mengatakan hal tersebut
tiba-tiba air mata pasien bercucuran dari matanya dan sesekali pasien mengusap pipinya
dengan menggunakan tangannya. Hal ini diperberat pula karena sejak 6 bulan terakhir istri
pasien mulai memarahi pasien dikarnakan pasien tidak mau berobat dan berusaha untuk
mencoba berjalan. Pasien mengatakan tidak bisa berjalan, menulis bahkan berbicara sehingga
membuat pasien merasa kehilangan minat untuk melakukan aktifitas. Waktu pasien banyak
dihabiskan dirumah dan tidak melakukan apa-apa. Semenjak 3 bulan ini nafsu makan pasien
dikatakan menurun dan sering tebangun saat tengah malam dan kadang sampai tidak bisa
tidur lagi.

Pasien juga mengatakan memiliki riwayat merokok akan tetapi sudah 4 tahun ini tidak
melakukannya lagi. Riwayat keluarga yang menderita gangguan jiwa tidak ada. Riwayat
penyakit kencing manis, asma, jantung, kejang disangkal oleh pasien.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital :

HT : 144/87 mmHg

N : 80 x/menit

P : 20 x/menit

GCS : E4V5M6

18
Hemiparesis spastic grade 4 dekstra

Pemeriksaan laboratorium :

HbA1c : 6,5%

LDL : 180 mg/dL

TG : 256 mg/dL

HDL : 40 mg/dL

Kolesterol Total : 289 mg/dL

Terapi : Valsartan 80 mg/d; furosemid 40 mg bid; atorvastatin 10 mg/d;


Tromboaspilet 160 mg/d;

3.2. Analisis Kasus


1. Subjektif

S : Tn. AD, 42 tahun, pendidikan terakhir tamat S1, bekerja sebagai guru, sudah menikah,
merupakan anak ke-3 dari 7 bersaudara. Pasien mengatakan sudah 3 tahun yang lalu
menderita stroke.Akan tetapi kira-kira 1 tahun ini pasien tidak mau berobat dikatakan karena
merasa putus asa, mengaku merasa bersalah karena sering merepotkan istrinya dan menjadi
beban bagi keluarganya. Pasien juga mengatakan merasa tidak berguna karena tidak dapat
mengerjakan apa-apa, tidak dapat menjaga anak, dan tidak bisa bekerja. Pasien mengatakan
tidak bisa berjalan, menulis bahkan berbicara sehingga membuat pasien merasa kehilangan
minat untuk melakukan aktifitas. Semenjak 3 bulan ini nafsu makan pasien dikatakan
menurun dan sering tebangun saat tengah malam dan kadang sampai tidak bisa tidur
lagi.Pasien juga mengatakan memiliki riwayat merokok akan tetapi sudah 4 tahun ini tidak
melakukannya lagi. Riwayat keluarga yang menderita gangguan jiwa tidak ada. Riwayat
penyakit kencing manis, asma, jantung, kejang disangkal oleh pasien.
Riwayat Pengobatan : Valsartan 80 mg/d; furosemid 40 mg bid; atorvastatin 10 mg/d;
Tromboaspilet 160 mg/d;

2.Objektif

Pemeriksaan fisik :

Pemeriksaan Hasil pasien Normal Keterangan


HT 144/87 mmHg 120/80 mmHg Normal
N 80x/menit 60-100x/menit Normal
P 20x/menit 15-24x/menit Normal

19
Pemeriksaan Laboratorium :

Pemeriksaan Hasil pasien Normal Keterangan


Hba1c 6,5 % <6,5 % Normal
LDL 180 mg/Dl <130 mg/dL Tidak normal
HDL 40 mg/dL >60 mg/Dl Tidak normal
Trigliserida 256 mg/dL <200 mg/dL Tidak normal

3.Assesment

 Pasien didiagnosis dengan episode depresi berat tanpa gejala psikotik.Secara teori
diagnosis depresi mayor menurut DSM IV dijabarkan sebagai mood yang
menurun,gangguan tidur,menurunnya nafsu makan,rendahnya rasa percaya diri atau
perasaan bersalah,pemikiran yang berulang tentang kematian atau bunuh diri.
 Kadar LDL,HDL dan trigliserida pasien tidak normal. untuk obat yang diberikan tidak
efektif
 Diagnosis : completed stroke, dyslipidemia, hipertensi grade 1

4.Plan
A.Tujuan terapi
 Mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala depresi
 Mengurangi resiko kekambuhan dan mempermudah pengendalian terhadap pola
pikiran
 Meningkatkan kembali semangat hidup pasien yang menurun.
 Menormalkan kadar LDL,HDL dan Trigliserida dengan meningkatkan dosis dari
atorvastatin

B.Sasaran Terapi

 Menghambat reabsorbsi serotonin sehingga dapat meningkatkan konsentrasi serotonin


yang dapat meningkatkan mood dan mengembalikan minat.

3.3. Pemilihan Obat Rasional


- Fluoxetin (1 x 20 mg pada pagi hari )
- Kombinasi Valsartan 80 mg/d dengan furosemid 40 mg bid
- Tromboaspilet 160 mg/d
- Atorvastatin 20 mg/d.

20
3.4. Evaluasi Obat Terpilih
 Fluoxetin
Fluoxetin merupakan antidepresan golongan Selective Serotonin Reuptake
Inhibitor (SSRI),yang digunakan untuk mengobati depresi sedang sampai
berat.Golongan SSRI bekerja memblokir serotonin agar tidak diserap kembali oleh sel
saraf sehingga meningkatkan konsentrasi serotonin yang dapat meningkatkan mood
dan kembali menumbuhkan minat.
Fluoxetin merupakan antidepresan yang palping banyak digunakan karena
fluoxetin memiliki waktu paruh yang paling panjang diantara antidepresan golongan
SSRI,sehingga fluoxetin dapat digunakan sekali sehari.

 Kombinasi Valsartan dengan furosemid


Pada kelompok terapi kombinasi,golongan antihipertensi yang sering
digunakan yaitu kombinasi antara diuretik dan CCB sebanyak 8
pasien(27,6%).Penggunaan kombinasi obat bertujuan untuk mempertahankan tekanan
darah menggunakan dua antihipertensi yang memiliki tempat aksi dan golongan yang
berbeda dan untuk meningkatkan kepatuhan pasien dengan menggunakan satu tablet
yang diminum dua atau tiga kali sehari.(Skolnik,2000).

 Tromboaspilet
Merupakan inhibitor platelet mencegah terbentuknya trombus karena
penggumpalan trombosit darah.
Tromboaspilet juga digunakan untuk membantu mencegah serangan
jantung,stroke dan sebagai antiplatelet(menghambat pembekuan darah).Tromboaspilet
mengandung acetylsalicycic acid(asetosal),obat yang termasuk golongan NSAID.

 Atorvastatin
Atorvastatin adalah obat yang digunakan untuk menurunkan kolesterol
jahat(LDL) dan trigliserida serta meningkatkan jumlah kolesterol baik(HDL) didalam
darah.Jika kolesterol dalam darah tetap terjaga dalam nilai normal,maka akan
menurunkan risiko stroke dan serangan jantung.

3.5. Monitoring Dan Follow Up


 Memonitoring kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat
 Pemeriksaan tekanan darah menggunakan alat sphymomanometer,pemeriksaan
glukosa darah dan pemeriksaan kolestrol.
 Pemantauan secara ketat terhadap penyebab timbulnya stroke yang berulang dan
gejala-gejala depresi yang timbul.
 Menjaga pola makan yang dapat menyebabkan stroke.

21
3.6. Komunikasi, Informasi Dan Edukasi
 Memberikan informasi tentang obat kepada keluarga dan pasien
 Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga pasien mengenai faktor penyebab
depresi
 Memberikan informasi, instruksi dan peringatan kepada pasien tentang efek terapi
obat dan efek samping yg mungkin timbul selama pengobatan.
 Memberikan informasi kepad pasien dan keluarga pasien mengenai kepatuhan pasien
terhadap obat

22
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Gangguan depresif merupakan gangguan yang dapat menganggu kehidupan
dan dapat diderita tanpa memandang usia, status sosial, latar belakang maupun jenis
kelamin. Gangguan depresif dapat terjadi tanpa disadari sehingga penderita terkadang
terlambat ditangani sehingga dapat menimbulkan penderitaan yang berat seperti
bunuh diri.
Dilihat dari tingginya angka penderita dan akibat dari gangguan depresif maka
gangguan ini perlu mendapat perhatian dari semua pihak. Apoteker dengan pelayanan
kefarmasiannya dapat berperan serta untuk mengindentifikasi gejala gangguan
depresif, memberikan konseling tentang terapi yang dipakai, obat yang dikonsumsi,
monitoring efek samping obat yang dikonsumsi penderita.

4.2 Saran
Demi sempurnanya makalah ini kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca agar makalah ini bisa menjadi lebih baik untuk
selanjutnya.

23
DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, J. T., Wells, B. G., Schwinghammer, T. L., and Hamilton, C. W., 2006,
Pharmacotherapy Handbook, Sixth edition, 160-162, McGraw-Hill, New York.

Belmaker, R.H., 2004, Bipolar Disorder, The New England Journal of Medicine, Vol 351 (5)
: 476-486.s

DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015, Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education Companies, Inggris.

24

Anda mungkin juga menyukai