“FARMAKOTERAPI DEPRESI”
OLEH
KELOMPOK 2
KELAS S1.VA
DOSEN PENGAMPU:
FINA ARYANI M.Sc.,Apt
Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Dalam makalah ini penulis menjelaskan mengenai FARMAKOTERAPI DEPRESI .
Makalah ini di buat dalam rangka untuk melengkapi nilai penulis dan menambah
pengetahuan penulis maupun pembaca mengenai FARMAKOTERAPI DEPRESI .
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kesalahan dan
kekurangan. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki oleh penulis. Meskipun demikian, penulis berusaha agar makalah ini dapat lebih
layak untuk dibaca.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran, demi perbaikan dan
kesempurnaan makalah ini di waktu yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan depresi ditandai dengan berbagai keluhan seperti kelelahan atau merasa
menjadi lamban, masalah tidur, perasaan sedih, murung, nafsu makan terganggu dapat
berkurang atau berlebih, kehilangan berat badan dan iritabilitas. Penderita mengalami
distorsi kognitif seperti mengkritik diri sendiri, timbul rasa bersalah, perasaan tidak
berharga dan putus asa.
1
1.2. Tujuan Penulisan
Mahasiswa Mampu memahami hal-hal terkait dengan Farmakoterapi Depresi
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DEPRESI
2.1. DEFINISI
Depresi adalah suatu gangguan mood yang bersifat searah(unipolar),yaitu
berupa suatu emosi yang meresap dan menetap berupa perasaan tertekan,dalam
kondisi ekstrim,sangat mempengaruhi persepsi seorang terhadap dunia.Seorang
dengan depresi lebih beresiko terhadap kejadian bunuh diri,dimana sebanyak 15%
pasien depresi yang tidak ditangani akam bunuh diri (30 kali lebih sering
dibandingkan pasien non-depresi). (Zullies Ikawati,2014)
Adapun klasifikasi episode pada bipolar adalah episode depresi berat
(Major Depressive Episode), episode manik, episode hipomanik, episode
campuran, dan siklus cepat(Rapid Cycling).
2.2. Epidemiologi
Depresi adalah salah satu gangguan mental yang cukup banyak diderita
masyarakat, dan diperkirakan mempengaruhi 121 juta orang diseluruh dunia.
Penyakit ini merupakan salah satu penyebab utama ketidakmampuan(disabilitas)
dan merupakan kontributor utama ke-4 pada penyakit-penyakit yang menjadi
beban global pada tahun 2000. Pada tahun 2020, depresi diperkirakan akan
mencapai ranking kedua sebagai penyakit disabilitas. (Zullies Ikawati,2014)
Di Indonesia, diperkirakan sekitar 15,6 juta penduduk yang mengalami
depresi. Namun hanya 8% dari penduduk yang mencari pengobatan ke
profesional (dr.Eka Viora, SpkJ ). Dan menurut Mini Internasional
Neuropsychiatric Interview prevalensi depresi pada penduduk umur ≥ 15 tahun
sekitar 6,1% dan hanya beberapa persen saja dari penderita depresi yang minum
obat/ menjalani pengobatan medis
Di Riau, diperkirakan 6,2% penduduk umur ≥ 15 tahun menderita
depresi.( Mini Internasional Neuropsychiatric Interview ).
Di Amerika, diperkirakan 5,3 % pasien menderita depresi, dan dalam
sebuah survai AS dijumpai bahwa 17% populasi memiliki sejarah gangguan
depresi dalam hidupnya. Pasien depresi juga beresiko terhadap terjadinya
alkoholisme, penyalahgunaan obat, gangguan kecemasan, dll. Pada keadaan
3
terburuk depresi dapat menyebabkan dunia kehilangan 850.000 orang setiap
tahunnya. (Zullies Ikawati,2014)
Ada kecenderungan hubungan familiar dengan kejadian depresi,dimana
diperkirakan 8-18% pasien depresi memiliki sedikitnya satu keluarga dekat
(ayah,ibu,kakak,atau adik) yang memiliki sejarah depresi. Kejadian depresi pada
wanita 2-3 kali lebiih sering dibanding pria, dan bisa terjadi pada setiap umur,
tetapi paling banyak terjadi pada usia 25-44 tahun. (Zullies Ikawati,2014)
2.3. Etiologi
Penyebab depresi sangat kompleks, melibatkan faktor genetik, biologis,
dan lingkungan. Faktor-faktor ini bisa menyebabkan gangguan depresi baik
secara tunggal atau bersama sama. Pasien depresi menunjukkan adanya
perubahan neurotransmitter otak antara lain : Norepineprin,5HT,dopamin.
(Zullies Ikawati,2014)
Teori amina biogenik menyatakan bahwa depresi disebabkan karena
kekurangan (defisiensi) senyawa monoamin terutama noradrenalin dan serotonin.
Oleh karena itu, depresi dapat dikurangi oleh obat yang dapat meningkatkan
kesediaan serotonin, dan noradrenalin, misalnya MAO inhibitor atau
antidepresan trisiklik.
Teori ini mempostulatkan bahwa serotonin (5-HT) yang rendah dapat
menyebabkan kadar norepinefrin (NE) menjadi tidak normal yang dapat
menyebabkan gangguan mood. Jika kadar norepinefrin (NE) rendah akan terjadi
depresi, dan jika kadarnya tinggi akan terjadi manik. Menurut hipotesis ini
meningkatkan kadar serotonin (5-HT) akan memperbaiki kondisi sehingga tidak
muncul gangguan mood. (Kando et al.2007).
namun ketidakseiimbangan neurotransmitter ini diketahui dapat
disebabkan oleh berbagai hal,seperti:
a) Keturunan/genetik
Kejadian depresi dan bunuh diri cenderung terjadi dalam satu keluarga.
Sebagai contoh, sekitar 8% sampai 18% dari pasien dengan depresi berat
memiliki sedikit keluarga dekat dengan riwayat depresi. Selain itu, pasien
dengan keluarga dekat yang depresi lebih mungkin menderita depresi sampai
1,5 sampai 3 kali dari orang normal.
4
b) Kepribadian
Orang dengan ciri-ciri kepribadian tertentu yang lebih cenderung menjadi
depresi antara lain adalah berpikir negatif, pesimisme, kekhawatiran yang
berlebihan, rendah diri, selalu tergantung pada orang lain, dan tanggapan yang
kurang efektif terhadap stres.
c) Situasi dan kondisi
Peristiwa sulit dalam kehidupan, kehilangan, perubahan, atau stres yang
terus menerus dapat menyebabkan kadar neurotransmitter menjadi tidak
seimbang, dan selanjutnya menyebabkan depresi. Sebalikanya, peristiwa
bahagia pun, seperti melahirkan, dapat menyebabkan perubahan kadar hormon
sehingga menyebabkan stres yang dapat memicu depresi, seperti ada depresi
postpartum.
d) Kondisi medik
Depresi juga dapat terjadi karna kondisi medis tertentu, misalnya penyakit
jantung, stroke, diabetes, kanker, gangguan hormonal.
e) Penggunaan Obat
f) Penyalahgunaan Zat
5
Kondisi Medis Umum, Gangguan Penggunaan Zat, dan Obat-obatan yang
Terkait dengan Gejala Depresi( Kando et al.2007)
2.4. Patofisiologi
Ada beberapa hipotesis mengenai patofisiologi depresi, yaitu:
Pada tahun 1960, peneliti dari Amerika Serikat dan Eropa, secara hampir
bersamaan mengemukakan hipotesis amina biogenik pada depresi. Hipotesis
ini menyatakan bahwa depresi disebabkan oleh kekurangan dalam senyawa
katekolamin, yaitu norepinefrin (NE), dan serotonin (5HT). Ini menyatakan
bahwa perubahan biokimia dari sistem ini ditentukan secara genetik. Hipotesa
ini muncul karena pada masa lalu obat antidepresan yang paling efektif
bekerja dengan cara meningkatkan ketersediaan monoamin di sinaps,
sementara beberapa obat hipertensi yang mcnyebabkan pengurangan pada
penyimpanan NE, 5-HT, dan dopamin (DA) ternyata menyebabkan depresi
pada 15 % pasien.
Namun, penelitian berikutnya menunjukkan bahwa hipotesis amina
biogenik tidak cukup untuk menjelaskan perkembangan depresi. Selain itu,
6
obat antidepresi tradisional, terutama yang bertarget pada norepinefrin atau 5-
HT, ternyata tidak efektif pada kira-kira 40% dari pasien dengan depresi berat
atau dysthymia. Oleh karena itu, dengan keterbatasan teori amina biogenik
dalam menjelaskan patofisiologi depresi, maka peneliti melanjutkan mencari
model etiologi baru depresi. (zullies ikawati,2014)
7
kompensasi dari syaraf pasca sinaptik saat menerima stimulasi yang terlalu
sedikit. Syaraf akan mencoba untuk mengkompensasi kurangnya stimulasi
tersebut dengan peningkatan responsivitas syaraf. Disisi lain,syaraf pasca
sinaptik juga dapat mengimbangi kurangnya stimulasi dengan cara
meningkatkan sintesis reseptor tanibahan. Proses ini dikenal sebagai up-
regulasi.
Dengan meningkatkan jumlah neurotransmiter pada celah sinaptik,
responsivitas syaraf dapat dinormalkan. Peningkatan neurotransmiter akan
meningkatkan stimulasi pada reseptor. yang rnendorong syaraf untuk
mengimbanginya dengan penurunan sensitivitas reseptor, suatu proses yang
dikenal sebagai desensitisasi. Syaraf pasca sinaptik juga dapat
mengkompensasi peningkatan stimulasi dengan mengurangi jumlah reseptor,
sebuah proses yang dikenal sebagai regulasi.
Diketahui obat-obat an antidepresan bekerja dengan cara meningkatkan
jumlah neurotranstmiter pada celah sinaptik tersebut. Mereka melakukan ini
dengan menghalangi metabolisme monoamine atau dengan menghalangi
reuptakenya. Penggunaan Obat antidepresan kronis diperkirakan untuk
mengubah responsivitas dan jumiah reseptor pasca sinaptik. Pengamatan efek
jangka panjang antidepresan inilah yang menimbulkan teori Sensitivitas
reseptor ini. Hipotesis ini mengusulkan bahwa depresi adalah hasil dari
perubahan patologis (supersensitivitas dan up-regulasi) di lokasi reseptor,
sebagai akibat dari terlalu sedikitnya stimulasi monoamina, yaitu kekurangan
NE dan HT di celah itu. Pemberian kronis obat anti depresan yang
meningkatkan jumlah NE dan 5HT dapat menyebabkan desensitisasi dan
mungkin down-regulasi (penurunan jumlah reseptor). Menurut hipotesis ini,
perbaikan gejala depresi itu berasal dari normalisasi sensitivitas reseptor. Obat
antidepresi akan mencapai efek klinis mereka dengan mengurangi
supersensitivitas reseptor. Teori ini merupakan langkah penting menuju
pemahaman mengapa pencapaian respon klinis Obat antidepresan umumnya
membutuhkan waktu. (Zullies Ikawati,2014)
8
2.5. Prognosis
Kebanyakan individu dengan episode depresi berat akan membaik dan
berespon positif terhadap sedikitnya satu Obat antidepresan. Individu juga dapat
mengambil manfaat dari psikoterapi. Dengan waktu, pemulihan biasanya selesai,
meskipun risiko kambuh meningkat dengan setiap episode. Lebih dari separuh
dari semua orang yang pernah mengalami satu episode depresi mayor mungkin
akan mengalami episode berikutnya, sementara orang-orang dengan sejarah tiga
episode sebelumnya, kemungkinan besar akan mengalami episode yang
keempat. Karena tingkat kekambuhan yang tinggi, maka dianjurkan bahwa
individu dengan riwayat beberapa episode depresif menggunakan obat selama
sisa hidup mereka.
Hasil terapi yang jelek umumnya disebabkan oleh pengobatan yang tidak
memadai, gejala awal yang berat (termasuk psikosis), onset pada usia dini,
banyaknya jumlah episode sebelumnya, pemulihan yang kurang sempurna
setelah 1 tahun pengobatan, gangguan mental atau medis yang sudah ada
sebelumnya mental, dan disfungsi keluarga.(Zullies Ikawati,2014)
9
Berdasarkan DSM-IV-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, 4th ed., Text Revision), pasien didiagnosa depresi jika ada lima (atau
Iebih) gejala berikut ini muncul dalam suatu periode (2 minggu) dan
menunjukkan adanya perubahan dari fungsi sebelumnya, setidaknya salah satu
dari gejala tersebut adalah (l) depresi suasana hati (2) kehilangan minat terhadap
kesenangan
B. Gejala yang mengakibatkan stress yang bermakna klinis atau gangguan pada
sosialisasi, pekerjaan, atau fungsi lain yang penting
C. Gejala yang tidak terkait langsung dengan efek fisiologi dari suatu obat (seperti
penyalahgunaan obat, suatu pengobatan) atau kondisi medis umum (seperti
hipotiroidisme)
10
D. Gejala yang tidak dapat dikaitkan dengan reaksi yang dialami akibat kehilangan
orang yang dicintai,gejala bertahan selarna lebih dari 2 bulan atau ditandai
dengan gangguan fungsional yang signifikan,dipenuhi pemikiran yang tidak
wajar mengenai perasaan tidak berharga,ide bunuh diri,gejala psikosis,reterdasi
psikomotor.
(Zullies Ikawati,2014)
2. Strategi terapi
Salah satu bentuk terapi non farmakologi untuk depresi adalah psikoterapi dan
terapi elektrokonvulsif. Diantara berbagai psikoterapi, terapi perilaku kognitif
(cognitive behavioral therapy, CBT) dan terapi interpersonal (interpersonal
therapy, IPT) tampaknya merupakan pendekatan yang paling efektif. Jika episode
depresi ringan sampai sedang dalam keparahan, psikoterapi mungkin merupakan
terapi lini pertama. Jika psikoterapi dipakai sendiri tanpa obat, hasilnya harus
terlihat nyata dalam 8 minggu dan gejala harus hilang dalam 12 minggu. Jika
kondisi ini tidak terpenuhi, maka pasien harus dipertimbangkan untuk
menggunakan obat anti depresan.
12
c. Terapi elektrokinvulsif ( elektroconvulsif therapy, ECT)
Terapi Electroconvulsive (ECT) adalah pengobatan yang aman dan efektif untuk
penyakit mental berat tertentu, termasuk gangguan depresi berat serta penyakit
kejiwaan terpilih lainnya. terapi yang digunakan untuk membantu mengobati penyakit
penyakit psikiatrik. Arus listrik dilewatkan melalui otak untuk memicu kejang (
periode singkat aktivitas otak tidak teratur) berlangsung sekitar 40 detik. Salah satu
teori menyatakan bahwa kejang pada otak yang dipicu oleh ECT ditujukan untuk
melepaskan neurotransmitter yang dibutuhkan didalam otak, sehingga mencapai
kesetimbangan. ECT umumnya terdiri dari ECT unilateral atau bilateral yang
diberikan 2 sampai 3 kali seminggu untuk total 6 hingga 12 perawatan. Respons
terapeutik yang cepat (10-14 hari) telah dilaporkan.
Walaupun cukup aman dan semakin canggih dalam pelaksanaannya, beberapa
efek samping mungkin terjadi antara lain kehilangan memori sementara jangka
pendek, kebingungan, mual, nyeri otot dan sakit kepala. Beberapa orang mungkin
mengalami masalah memori lama setelah ECT. Pasien mungkin akan mengalami
perbaikan dan memerlukan terapi ECT secara berkelanjutan sebagai terapi
pemeliharaan, sebagian lagi mungkin akan kembali menggunakan antidepresan,
sesuai dengan hasil terapi masing-masing.
Efektivitas ECT terhadap depresi telah dibuktikan dalam beberapa uji klinis.
Dalam sebuah studio metaklinis tentang efektivitas ECT dalam pengobatan depresi, 6
uji klinik yang melibatkan 256 menunjukkan bahwa ECT memberikan perbaikannya
yang signifikan dibandingkan dengan kontrol. Dibandingkan dengan terapi obat, hasil
meta analisis juga menunjukkan keunggulan ECT. ECT dilaporkan lebih unggul
dibandingkan beberapa antidepresan seperti golongan ke selective serotonin reuptake
inhibitor ( SSRI), tricyclic antidepresan ( TCA), monoamine oxydose inhibitor (
MAOI).
5. Terapi farmakologi
Secara umum ada 3 fase pengobatan yang perlu dipertimbangkan ketika
merawat pasien dengan gangguannya depresi yaitu:
a. Fase akut, yang berlangsung 6 sampai 10 minggu dimana tujuannya adalah
menghilangkan gejala.
13
b. Fase lanjutan, berlangsung 4 -9 bulan setelah remisi dicapai, dimana tujuannya
adalah menghilangkan gejala sisa atau mencegah kekambuhan yaitu kembalinya
gejala setelah remisi.
c. Fase pemeliharaan, yang berlangsung setidaknya 12 – 36 bulan yang
tujuannya adalah untuk mencegah terulangnya episode depresi.
Durasi terapi antidepresan tergantung pada resiko kekambuhan. Beberapa
penelitian merekomendasikan terapi seumur hidup untuk orang yang beresiko
besar kambuh ( orang yang berada dibawah 40 tahun dengan 2 atau lebih episode
sebelumnya dan orang dari segala usia dengan 3 atau lebih episode sebelumnya).
Obat antidepresan :
14
neurotransmitter ini). Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi serotonin,
yang dapat meningkatkan mood dan kembali menumbuhkan minat terhadap
aktivitas yang disukai. Umumnya digunakan sebagai first-line terapi karena
relatif tidak over dosis dan toksisitas.
Contohnya : Citalopram, escitalopram, fluoxetine, fluvoxamine paroxetine,
sera;ine.
Serotonin-noreponefrin reuptake inhibitor (SNRIs) : Desvelanfaxine,
duloxetine, venlafaxine (generasi pertama)
Trisiklik antidepresan (TCAs) : Amytriptyline, desipramine, doxepine,
impramie, nortriptyline. Bekerja dengan menghambat pengambilan kembali
norepinefrin dan 5-HT dan memiliki afinitas terhadap reseptor adrenergik,
kolinergik, dan hitaminergik, inhibitor monoamin oksidase (MADIs) fenazin
dan tranylcoprimine meningkat konsentrasi norepinefrin, 5-HT dan dopamin
dalam sinap neuron melalui penghambatan monoamin oksidase (MAO).
Aminoketone : Bupropion tidak memiliki efek yang berarti pada reuptake 5-
HT, sementara memiliki properti reuptake baik pada norepinefrin dan pompa
reuptake dopamin. Sifat farmakologis ini membuat bupropion unik di antara
semua antidepresan yang tersedia saat ini.
Triazolopyridin : Trazodone dan nefazodone memiliki aksi ganda pada neuron
serotonergik, bertindak sebagai antagonis 5-HT dan inhibitor reuptake 5-HT.
Mereka juga dapat meningkatkan neurotransmisi berperantara 5-HT.
Trazodone memblokir α 1-reseptor drenergik dan histaminergik yang
mengarah pada peningkatan efek samping (mis., Pusing dan sedasi) yang
membatasi penggunaannya sebagai antidepresan.
Tetracyclic : Mirtazapine meningkatkan aktivitas noradrenergik dan
serotonergik sentral melalui antagonisme autoreptor reseptor α-adrenergik
pusat dan heteroreseptor. Antagonisme reseptor 5-HT 2 dan 5-HT 3 masing-
masing dikaitkan dengan penurunan kecemasan dan efek samping
gastrointestinal. Blokade reseptor histamin dikaitkan dengan sifat sedatif dari
mirtazapine.
Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOI) : meningkatkan konsentrasi NE, 5-
HT, dan DA dalam sinaps neuronal melalui penghambatan enzim MAO.
Contohnya: Phenelzine, Tranylcypromine.
15
Untuk mengatasi depresi, digunakan obat antidepresan. Obat antidepresan
digunakan untuk meningkatkan 5-HT dan norepinefrin diotak. Antidepresan tidak
menyebabkan kecanduan. Mereka bukan obat penenang dan juga tidak
menyebabkan perasaan melayang pada pasien. Antidepresan umumnya diresepkan
untuk minimal 4-6 bulan atau lebih. Beberapa pasien mungkin harus
menggunakannya selama hidup mereka.
Secara umum, antidepresan dipilih berdasarkan gejala individu pasien. Obat
harus digunakan 6-8 minggu penuh sebelum efek obat tersebut dapat
diukur/dirasakan.dosis harus ditingkatkan perlahan lahan dan pada interval
tertentu. Seorang dokter atau psikiater harus Memonitor pasien mengenai
penggunaan obat tersebut. Banyak pasien harus mencoba beberapa macam obat
sebelum mereka menemukan 1 yang paling sesuai untuk mereka.
Pasien harus mendapat informasi tentang obat mereka, misalnya potensi
efek samping, interaksi obat antidepresan dengan obat lain, dan interaksi dengan
makanan dan suplemen herbal. Beberapa antidepresan sebaiknya tidak digunakan
secara bersamaan dengan makanan tertentu, alkohol, dana atau obat obatan.
Pasien sebaiknya memberitahu dokter mengenai riwayat pengobatan dan pola
makan sebelumnya, sehingga dokter dapat membuat keputusan yang aman
mengenai antidepresan yang akan digunakan. Antidepresan juga tidak boleh
diberikan tiba tiba tanpa konsultasi dengan dokter karena dapat memicu
kekambuhan depresi nya.
16
Algoritma untuk pengobatan gangguan depresi mayor tanpa komplikasi
SSRI
(tergangtung pada banyak faktor )
17
BAB III
KASUS
Tiga bulan yang lalu pasien mengatakan mendapat serangan stroke lagi sampai pasien
tidak dapat berbicara. Pasien mengatakan “saat 3 bulan yang lalu saya tiba-tiba tidak bisa
berbicara, saat itu saya sempat berfikir untuk mengkahiri hidup dan merasa tambah putus asa,
penyakit saya tidak sembuh-sembuh justru tambah parah “. Saat mengatakan hal tersebut
tiba-tiba air mata pasien bercucuran dari matanya dan sesekali pasien mengusap pipinya
dengan menggunakan tangannya. Hal ini diperberat pula karena sejak 6 bulan terakhir istri
pasien mulai memarahi pasien dikarnakan pasien tidak mau berobat dan berusaha untuk
mencoba berjalan. Pasien mengatakan tidak bisa berjalan, menulis bahkan berbicara sehingga
membuat pasien merasa kehilangan minat untuk melakukan aktifitas. Waktu pasien banyak
dihabiskan dirumah dan tidak melakukan apa-apa. Semenjak 3 bulan ini nafsu makan pasien
dikatakan menurun dan sering tebangun saat tengah malam dan kadang sampai tidak bisa
tidur lagi.
Pasien juga mengatakan memiliki riwayat merokok akan tetapi sudah 4 tahun ini tidak
melakukannya lagi. Riwayat keluarga yang menderita gangguan jiwa tidak ada. Riwayat
penyakit kencing manis, asma, jantung, kejang disangkal oleh pasien.
HT : 144/87 mmHg
N : 80 x/menit
P : 20 x/menit
GCS : E4V5M6
18
Hemiparesis spastic grade 4 dekstra
Pemeriksaan laboratorium :
HbA1c : 6,5%
TG : 256 mg/dL
HDL : 40 mg/dL
S : Tn. AD, 42 tahun, pendidikan terakhir tamat S1, bekerja sebagai guru, sudah menikah,
merupakan anak ke-3 dari 7 bersaudara. Pasien mengatakan sudah 3 tahun yang lalu
menderita stroke.Akan tetapi kira-kira 1 tahun ini pasien tidak mau berobat dikatakan karena
merasa putus asa, mengaku merasa bersalah karena sering merepotkan istrinya dan menjadi
beban bagi keluarganya. Pasien juga mengatakan merasa tidak berguna karena tidak dapat
mengerjakan apa-apa, tidak dapat menjaga anak, dan tidak bisa bekerja. Pasien mengatakan
tidak bisa berjalan, menulis bahkan berbicara sehingga membuat pasien merasa kehilangan
minat untuk melakukan aktifitas. Semenjak 3 bulan ini nafsu makan pasien dikatakan
menurun dan sering tebangun saat tengah malam dan kadang sampai tidak bisa tidur
lagi.Pasien juga mengatakan memiliki riwayat merokok akan tetapi sudah 4 tahun ini tidak
melakukannya lagi. Riwayat keluarga yang menderita gangguan jiwa tidak ada. Riwayat
penyakit kencing manis, asma, jantung, kejang disangkal oleh pasien.
Riwayat Pengobatan : Valsartan 80 mg/d; furosemid 40 mg bid; atorvastatin 10 mg/d;
Tromboaspilet 160 mg/d;
2.Objektif
Pemeriksaan fisik :
19
Pemeriksaan Laboratorium :
3.Assesment
Pasien didiagnosis dengan episode depresi berat tanpa gejala psikotik.Secara teori
diagnosis depresi mayor menurut DSM IV dijabarkan sebagai mood yang
menurun,gangguan tidur,menurunnya nafsu makan,rendahnya rasa percaya diri atau
perasaan bersalah,pemikiran yang berulang tentang kematian atau bunuh diri.
Kadar LDL,HDL dan trigliserida pasien tidak normal. untuk obat yang diberikan tidak
efektif
Diagnosis : completed stroke, dyslipidemia, hipertensi grade 1
4.Plan
A.Tujuan terapi
Mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala depresi
Mengurangi resiko kekambuhan dan mempermudah pengendalian terhadap pola
pikiran
Meningkatkan kembali semangat hidup pasien yang menurun.
Menormalkan kadar LDL,HDL dan Trigliserida dengan meningkatkan dosis dari
atorvastatin
B.Sasaran Terapi
20
3.4. Evaluasi Obat Terpilih
Fluoxetin
Fluoxetin merupakan antidepresan golongan Selective Serotonin Reuptake
Inhibitor (SSRI),yang digunakan untuk mengobati depresi sedang sampai
berat.Golongan SSRI bekerja memblokir serotonin agar tidak diserap kembali oleh sel
saraf sehingga meningkatkan konsentrasi serotonin yang dapat meningkatkan mood
dan kembali menumbuhkan minat.
Fluoxetin merupakan antidepresan yang palping banyak digunakan karena
fluoxetin memiliki waktu paruh yang paling panjang diantara antidepresan golongan
SSRI,sehingga fluoxetin dapat digunakan sekali sehari.
Tromboaspilet
Merupakan inhibitor platelet mencegah terbentuknya trombus karena
penggumpalan trombosit darah.
Tromboaspilet juga digunakan untuk membantu mencegah serangan
jantung,stroke dan sebagai antiplatelet(menghambat pembekuan darah).Tromboaspilet
mengandung acetylsalicycic acid(asetosal),obat yang termasuk golongan NSAID.
Atorvastatin
Atorvastatin adalah obat yang digunakan untuk menurunkan kolesterol
jahat(LDL) dan trigliserida serta meningkatkan jumlah kolesterol baik(HDL) didalam
darah.Jika kolesterol dalam darah tetap terjaga dalam nilai normal,maka akan
menurunkan risiko stroke dan serangan jantung.
21
3.6. Komunikasi, Informasi Dan Edukasi
Memberikan informasi tentang obat kepada keluarga dan pasien
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga pasien mengenai faktor penyebab
depresi
Memberikan informasi, instruksi dan peringatan kepada pasien tentang efek terapi
obat dan efek samping yg mungkin timbul selama pengobatan.
Memberikan informasi kepad pasien dan keluarga pasien mengenai kepatuhan pasien
terhadap obat
22
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Gangguan depresif merupakan gangguan yang dapat menganggu kehidupan
dan dapat diderita tanpa memandang usia, status sosial, latar belakang maupun jenis
kelamin. Gangguan depresif dapat terjadi tanpa disadari sehingga penderita terkadang
terlambat ditangani sehingga dapat menimbulkan penderitaan yang berat seperti
bunuh diri.
Dilihat dari tingginya angka penderita dan akibat dari gangguan depresif maka
gangguan ini perlu mendapat perhatian dari semua pihak. Apoteker dengan pelayanan
kefarmasiannya dapat berperan serta untuk mengindentifikasi gejala gangguan
depresif, memberikan konseling tentang terapi yang dipakai, obat yang dikonsumsi,
monitoring efek samping obat yang dikonsumsi penderita.
4.2 Saran
Demi sempurnanya makalah ini kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca agar makalah ini bisa menjadi lebih baik untuk
selanjutnya.
23
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro, J. T., Wells, B. G., Schwinghammer, T. L., and Hamilton, C. W., 2006,
Pharmacotherapy Handbook, Sixth edition, 160-162, McGraw-Hill, New York.
Belmaker, R.H., 2004, Bipolar Disorder, The New England Journal of Medicine, Vol 351 (5)
: 476-486.s
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015, Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education Companies, Inggris.
24