DOSEN
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami,sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang asuhan keperawatan depresi pada lansia.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat amemperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Lanjut usia adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua
orang yang dikarunia usia panjang. Menurut World Health Organisation
(WHO) Lansia adalah seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas.
Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki
tahapan akhir dari fase kehidupannya. Pada kelompok yang dikategorikan
lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut Aging Process. Proses menua
ini ditandai dengan perubahan pada fisik maupun mental lansia (Nauli,
Yuliatri, & Savita, 2014).
1
ke pelayanan kesehatan maupun peningkatan obat psikofarmaka yang
diresepkan oleh dokter (Hawari, 2013). Diperkirakan dari jumlah lanjut usia
di Indonesia pada tahun 2013 yaitu 24 juta jiwa, 5% mengalami depresi.
Akan meningkat 13,5% pada lanjut usia yang memiliki penyakit kronis dan
dirawat inap. Proporsi terbanyak terdapat pada daerah padat penduduk seperti
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat (Rachmaningtyas, 2013).
1.3 Tujuan
2
5. Mahasiswa mamou memahami Faktor – faktor yang
meningkatkan depresi pada lansia.
6. Mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan depresi pada
lansia.
7. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan teori
depresi pada lansia.
8. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan kasus
depresi pada lansia.
1.4 Manfaat
1. Bagi Penulis
Memperoleh pengetahuan tentang Asuhan keperawatan depresi pada lansia
serta meningkatkan keterampilan dan wawasan.
2. Bagi Pembaca
Memperoleh dan menambah wawasan Asuhan keperawatan depresi pada
lansia.
3. Bagi Fakultas Keperawatan dan Kebidanan UNUSA
Bahan masukan bagi calon perawat untuk meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan dengan Asuhan keperawatan depresi pada lansia.
3
BAB 2
TINJAUAN TEORI
a. Faktor biologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada
amin biogenik, seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA
4
(Homovanilic acid), MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di
dalam darah, urin dan cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood.
Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan
epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada
pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang rendah. Pada
terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin berperan dalam
patofisiologi depresi (Kaplan, 2010). Selain itu aktivitas dopamin pada
depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada pengobatan yang
menurunkan konsentrasi dopamin seperti Respirin, dan penyakit dimana
konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson, adalah disertai gejala
depresi. Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin,
amphetamine, dan bupropion, menurunkan gejala depresi (Kaplan, 2010).
Disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat
pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input neuron yang
mengandung neurotransmiter amin biogenik. Pada pasien depresi
ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat
kelainan fungsi neuron yang mengandung amin biogenik. Sebaliknya, stres
kronik yang mengaktivasi aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA)
dapat menimbulkan perubahan pada amin biogenik sentral. Aksis
neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan aksis
hormon pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak
diteliti (Landefeld et al, 2004). Hipersekresi CRH merupakan gangguan
aksis HPA yang sangat fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi
yang terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem umpan balik kortisol
di sistem limpik atau adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan
neuromodulator yang mengatur CRH (Kaplan, 2010). Sekresi CRH
dipengaruhi oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut dan marah
berhubungan dengan Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan
organ utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem
limbik. Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan
peningkatan sekresi CRH. Pada orang lanjut usia terjadi penurunan
produksi hormon estrogen. Estrogen berfungsi melindungi sistem
5
dopaminergik negrostriatal terhadap neurotoksin seperti MPTP, 6 OHDA
dan methamphetamin. Estrogen bersama dengan antioksidan juga merusak
monoamine oxidase. Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter.
Sistem saraf pusat mengalami kehilangan secara selektif pada sel – sel
saraf selama proses menua. Walaupun ada kehilangan sel saraf yang
konstan pada seluruh otak selama rentang hidup, degenerasi neuronal
korteks dan kehilangan yang lebih besar pada sel-sel di dalam lokus
seroleus, substansia nigra, serebelum dan bulbus olfaktorius. Bukti
menunjukkan bahwa ada ketergantungan dengan umur tentang penurunan
aktivitas dari noradrenergik, serotonergik, dan dopaminergik di dalam
otak. Khususnya untuk fungsi aktivitas menurun menjadi setengah pada
umur 80-an tahun dibandingkan dengan umur 60-an tahun.
b. Faktor Genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko
di antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita
depresi berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan
populasi umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan
40% pada kembar monozigot.
Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara khusus,
hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan
kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat individual,
sehingga dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah genetik.
c. Faktor Psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi
adalah kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Ada sejumlah
faktor psikososial yang diprediksi sebagai penyebab gangguan mental
pada lanjut usia yang pada umumnya berhubungan dengan kehilangan.
Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya
otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan,
peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi
kognitif (Kaplan, 2010) Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial
meliputi penurunan percaya diri, kemampuan untuk mengadakan
6
hubungan intim, penurunan jaringan sosial, kesepian, perpisahan,
kemiskinan dan penyakit fisik (Kane, 1999).
Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa
kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika,
kegagalan yang berulang, teori kognitif dan dukungan sosial (Kaplan,
2010). Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan.
Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering
mendahului episode pertama gangguan mood dari episode selanjutnya.
Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan
utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan
hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor lingkungan
yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah
kehilangan pasangan (Kaplan, 2010). Stressor psikososial yang bersifat
akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya
kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan
interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi.
Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang
terdapat pada individu, seperti kepribadian dependen, anankastik,
histrionik, diduga mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya depresi.
Sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid (kepribadian yang
memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif) mempunyai resiko yang
rendah (Kaplan, 2010).
Faktor psikodinamika. Berdasarkan teori psikodinamika Freud,
dinyatakan bahwa kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan
depresi (Kaplan, 2010). Dalam upaya untuk mengerti depresi, mendalilkan
suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Ia menyatakan
bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal
karena identifikasi dengan objek yang hilang. Freud percaya bahwa
introjeksi mungkin merupakan cara satu-satunya bagi ego untuk
melepaskan suatu objek, membedakan melankolia atau depresi dari duka
cita atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan harga diri
7
yang melanda dalam hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri
sendiri, sedangkan orang yang berkabung tidak demikian.
Kegagalan yang berulang. Dalam percobaan binatang yang dipapari
kejutan listrik yang tidak bisa dihindari, secara berulang-ulang, binatang
akhirnya menyerah tidak melakukan usaha lagi untuk menghindari. Disini
terjadi proses belajar bahwa mereka tidak berdaya. Pada manusia yang
menderita depresi juga ditemukan ketidakberdayaan yang mirip (Kaplan,
2010).
Faktor kognitif. Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu,
menyebabkan distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup,
penilaian diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang
negatif tersebut menyebabkan perasaan depresi (Kaplan, 2010).
Secara umum gejala depresi mayor berupa jiwa yang tertekan hampir
setiap hari, kesedihan, menangis, keputusasaan, tidak berharga atau perasaan
bersalah berlebihan, gangguan psikomotor, kehilangan minat dan kesenangan
dalam beraktivitas, kesulitan dalam berfikir dan berkonsentrasi, kehilangan
nafsu makan, gangguan pola tidur, dan kelelahan, pikiran berulang tentang
kematian, dan percobaan/ide bunuhdiri (Deshotels, 2004). Pada penelitian
lain, gejala depresi dibagi ke dalam tiga gejala yaitu gejala afektif, kognitif
dan somatik. Gejala depresi yang termasuk ke dalam gejala afektif berupa
jiwa yang tertekan, kesedihan, menangis; gejala kognitif seperti berfikir
mengenai ketidakberdayaan, keputusasaan, tidak berharga, bunuh diri,
kehilangan minat dan kesenangan dalam beraktivitas; dan gejala somatik
seperti tidak bersemangat, kehilangan nafsu makan, gangguan pola tidur, dan
kelelahan(Sari, 2012)
8
macam seperti sakit kepala, berdebar-debar, sakit pinggang, gangguan
gastrointestinal, dan sebagainya. Penyakit fisik yang diderita lansia sering
mengacaukan gambaran depresi, antara lain mudah lelah dan penurunan berat
badan. Inilah yang menyebabkan depresi pada lansia sering tidak terdiagnosa
maupun diterapi dengan baik.
Penyebab lain kesulitan dalam mengenal depresi pada lansia adalah
baik lansia maupun keluarga biasanya tidak memperdulikan gejala-gejala
depresif. Mereka menganggap bahwa gejala-gejala tersebut normal bagi orang
yang telah mencapai usia tua. Lansia sendiri sering gagal mengenali depresi
yang terjadi pada dirinya . Beberapa penelitian melaporkan bahwa sampai
sepertiga lansia yang menderita depresi mayor tidak menggambarkan mood
mereka sebagai mood terdepresi. Selain itu lansia sering menutupi rasa
sedihnya dengan justru menunjukkan dia lebih aktif . Para klinisi juga
mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi depresi pada lansia dengan
menggunakan kriteria pada DSM-IV. Kriteria diagnostik tersebut tidak
disesuaikan dengan golongan usia. Seringkali terjadi kesulitan dalam
memisahkan depresi dari perubahan fisik khas yang terkait usia, penyakit, dan
gejala-gejala yang terjadi di masa tua (Soejono, 2014).
9
tidak ada bantahan terhadap bukti- bukti bahwa “gangguan depresi yang
lebih berat terlebih lagi terjadi karena dipengaruhi oleh perubahan
psikobiologi (Sari, 2012).
b. Teori Psikologis
Teori psikoanalitik ini memberi kesan bahwa depresi berkaitan dengan
adanya permasalahan pada pengalaman masa kecil yang belum
terselesaikan (Pastorino & Portillo, 2006). Dan teori ini dinilai sebagai
reaksi pada suatu kehilangan (Sal, 2003). Teori ini masih memakai teori
yang dikemukakan oleh Freud pada tahun 1917 bahwa inti dari depresi
adalah kemarahan yang berbalik pada diri sendiri, membenci diri dan
menyalahkan diri sendiri (Frisch & Frisch, 1998). Pengalaman masa kecil
yang tidak bahagia, di mana seorang anak kehilangan kasih sayang dari
orang tua atau orang yang semestinya mencintainya baik karena
kegagalan peran orang tua dalam mendidik dan memelihara anaknya
ataupun karena kehilangan sosok orang tua (Santrock, 2005). Anak itu
akan merasa kecewa, dicampakkan, diabaikan dan kehilangan karena
tidak ada tempat bergantung dan persetujuan dalam memutuskan hal- hal
yang terjadi dalam kehidupan anak tersebut (Santrock). Dia akan marah,
namun anak tidak dapat mengeluarkan amarahnya secara terbuka pada
orang yang seharusnya menyayangi mereka (biasanya ibu, orang tua)
yang menimbulkan konflik pada dirinya sendiri. Akhirnya rasa marah itu
berbalik pada dirinya menjadikan dia marah, benci dan menyalahkan diri
sendiri dan berakhir pada depresi (Smith, et al, 2003). Ketika dia
memasuki masa remaja dan dewasa dan mulai membentuk hubungan
baru dengan orang lain, perasaan diabaikan dan dicampakkan akan
muncul ketika mengalami kehilangan dan depresi akan muncul lagi
(Pastorino & Portillo, 2006).
Hal ini dapat dialami lansia juga. Blazer (2002) mengidentifikasi
faktor- faktor yang berpotensi menyebabkan depresi pada lansia, yaitu
ageisme, kehilangan peran sosial, status ekonomi sosial yang rendah,
pernah mengalami depresi sebelumnya, termasuk trauma masa kecil dan
kemiskinan, stresor sosial, termasuk stres dalam menjalani kehidupan,
10
jaringan sosial yang tidak adekuat, misalnya sudah janda/ duda, punya
sedikit teman, dan punya sedikit kerabat dan keluarga, berkurangnya
interaksi sosial, intergrasi sosial yang buruk, seperti lingkungan yang
tidak stabil, ketidakbebasan dalam menganut suatu keyakinan dan
kombinasi dari faktor- faktor di atas.Teori lain mengenai psikologis
terkait kebiasaan adalah teori learned helplessness yang dikemukakan
oleh Martin Seligman. Teori ini menerangkan ketidakberdayaan
seseorang ketika mengalami stres yang berkepanjangan di mana dia tidak
bisa lagi mengontrol keadaan tersebut. Pada situasi ini individu merasa
pasrah (menyerah) dan depresi (Santrock). Pada penelitian yang
dilakukan oleh Nolen dan Hoeksema pada tahun 1995 dan 2000 dalam
Santrock tahun 2005 bahwa koping yang dimiliki oleh pada sebagian
individu yang depresi karena keadaan di atas dengan merenungkan
depresi yang dialami. Individu tersebut hanya berfokus tentang perasaan
depresi itu tanpa memikirkan jalan keluar untuk keluar dari keadaan
depresi tersebut (Santrock). Hal ini akan menjadikan mereka tetap berada
dalam situasi depresi.
c. Teori Triase Kognitif
Teori triase kognitif merupakan jalan untuk menjelaskan depresi secara
umum, dan depresi pada lanjut usia secara khusus. Triase kognitif yang
menjadi patokan untuk menilai diri seseorang adalah, dari gambaran
dirinya, lingkungan atau pengalaman hidup mereka, dan masa depan
mereka (Miller, 2004). Jika salah satu dari tiga hal ini bernilai negatif,
maka bisa menjadi indikator terjadinya depresi. Orang yang depresi
memiliki cara berfikir negatif dan salah, dan mereka tidak menyadarinya
(Pastorino &Portillo, 2006). Misalnya, ketika mengalami peristiwa yang
sulit mereka merasa mereka tidak berharga ataupun mereka memandang
masa depan mereka tidak punya harapan. Orang yang depresi ini percaya
bahwa mereka tidak sanggup untuk mencegah situasi negatif yang
mereka alami dan mengubahnya (Smith, et al, 2003). Hal ini akan
menyebabkan mereka terus berada dalam keadaan depresi yang lebih
parah lagi.Teori triase kognitif merupakan jalan untuk menjelaskan
11
depresi secara umum, dan depresi pada lanjut usia secara khusus. Triase
kognitif yang menjadi patokan untuk menilai diri seseorang adalah, dari
gambaran dirinya, lingkungan atau pengalaman hidup mereka, dan masa
depan mereka (Miller, 2004). Jika salah satu dari tiga hal ini bernilai
negatif, maka bisa menjadi indikator terjadinya depresi. Orang yang
depresi memiliki cara berfikir negatif dan salah, dan mereka tidak
menyadarinya (Pastorino &Portillo, 2006). Misalnya, ketika mengalami
peristiwa yang sulit mereka merasa mereka tidak berharga ataupun
mereka memandang masa depan mereka tidak punya harapan. Orang
yang depresi ini percaya bahwa mereka tidak sanggup untuk mencegah
situasi negatif yang mereka alami dan mengubahnya (Smith, et al, 2003).
12
yang menjadi dasar terjadinya depresi, walaupun harus memerlukan
investigasi lebih lanjut untuk menjelaskan keberadaan depresi (Williamson).
Sebaliknya, depresi juga bisa memperberat ketidakmampuan. Namun harus
mencakup gejala depresi berupa hilangnya nafsu makan, adanya gangguan
tidur, kelelahan yang menjurus ke arah gangguan fungsional fisik dan
ketidakmampuan
a. Terapi fisik
1) Obat
Secara umum, semua obat antidepresan sama efektivitasnya. Pemilihan
jenis antidepresan ditentukan oleh pengalaman klinikus dan pengenalan
terhadap berbagai jenis antidepresan. Biasanya pengobatan dimulai
dengan dosis separuh dosis dewasa, lalu dinaikkan perlahan-lahan
sampai ada perbaikan gejala .Jenis – jenis obat antidepressant :
13
psikomotor. SSRI juga dapat menimbulkan efek samping
ekstrapiramidal khususnya pada pasien depresi dengan komorbiditas
penyakit syaraf. Salah satu efek samping berbahaya darin SSRI adalah
Central Serotonin Syndrom , yang dapat timbul bila digunakan bersama
obat-obat yang dapat memacu transmisi serotonin, seperti MAOIs dan
obat-obat dekongestan ( phenylpropanolamine ). Penggunaan
fluvoksamin bersama teofilin harus dihindari karena dapat
menyebabkan takikardi supraventricular yang serius.
Pasien dengan keluhan insomnia dapat dipilihkan preparat antidepresi
yang bersifat sedative kuat seperti mirtazepin atau trazodone. SSRI dan
Tianeptin bersifat non sedative dan dikatakan efektif memperbaiki
keluhan gangguan kognitif pada pseudodemensia.Trazodone baik untuk
mereka dengan keluhan disfungsi seksual, tetapi dapat mengakibatkan
hipotensi ortostatik.
Pemberian antidepresi dimulai dengan dosis rendah dinaikkan perlahan-
lahan ( start low and go slow ). Pengobatan antidepresi dibedakan atas
tiga fase, yaitu :
1. Fase akut yang berlangsung antara 6 -12 minggu. Pada tahap ini
dosis optimal obat untuk memperbaiki gejala depresi diharapkan
tercapai.
14
2) Terapi elektrokonvulsif (ECT)
Untuk pasien depresi yang tidak bisa makan dan minum, berniat bunuh
diri atau retardasi hebat maka ECT merupakan pilihan terapi yang
efektif dan aman. ECT diberikan 1-2 kali seminggu pada pasien rawat
inap, unilateral untuk mengurangi confusion/memory problem. Terapi
ECT diberikan sampai ada perbaikan mood (sekitar 5-10 kali),
dilanjutkan dengan anti depresan untuk mencegah kekambuhan.
b. Terapi Psikologik
1) Psikoterapi
Psikoterapi individual maupun kelompok paling efektif jika dilakukan
bersama-sama dengan pemberian antidepresan. Baik pendekatan
psikodinamik maupun kognitif behavior sama keberhasilannya.
Meskipun mekanisme pasikoterapi tidak sepenuhnya dimengerti,
namun kecocokan antara pasien dan terapis dalam proses terapeutik
akan meredakan gejala dan membuat pasien lebih nyaman, lebih
mampu mengatasi persoalannya serta lebih percaya diri.
2) Terapi kognitif
Perilaku bertujuan mengubah pola pikir pasien yang selalu negatif
(persepsi diri, masa depan, dunia, diri tak berguna, tak mampu dan
sebagainya) ke arah pola pikir yang netral atau positif. Ternyata pasien
usia lanjut dengan depresi dapat menerima metode ini meskipun
penjelasan harus diberikan secara singkat dan terfokus. Melalui latihan-
latihan, tugas-tugas dan aktivitas tertentu terapi kognitif bertujuan
merubah perilaku dan pola pikir.
3) Terapi keluarga
Problem keluarga dapat berperan dalam perkembangan penyakit
depresi, sehingga dukungan terhadap keluarga pasien sangat penting.
Proses penuaan mengubah dinamika keluarga, ada perubahan posisi
dari dominan menjadi dependen pada orang usia lanjut. Tujuan terapi
terhadap keluarga pasien yang depresi adalah untuk meredakan
perasaan frustasi dan putus asa, mengubah dan memperbaiki
15
sikap/struktur dalam keluarga yang menghambat proses penyembuhan
pasien.
4) Penanganan ansietas (relaksasi)
Teknik yang umum dipergunakan adalah program relaksasi progresif
baik secara langsung dengan instruktur (psikolog atau terapis
okupasional) atau melalui tape recorder. Teknik ini dapat dilakukan
dalam praktek umum sehari-hari. Untuk menguasai teknik ini
diperlukan kursus singkat terapi relaksasi. Penanganan depresi dapat
dilakukan pada lansia itu sendiri, keluarga lansia dan masyarakat,
yaitu :
1. Diri sendiri (Lansia)
1) Berfikir positif
2) Terbuka bila ada masalah
3) Menerima kondisi apa adanya
4) Ikut kegiatan pengajian
5) Tidur yang cukup
6) Olahraga teratur
7) Optimis
8) Rajin beribadah
9) Latihan relaksasi
10) Ikut beraktivitas dan bekerja sesuai kemampuan
2. Keluarga
1) Dukung lansia tetap berkomunikasi
2) Ajak lansia berdiskusi setiap minggu sekali
3) Mendengarkan keluhan lansia
4) Berikan bantuan ekonomi
5) Dukung kegiatan lansia
6) Ikut serta anak dan cucu merawat lansia
7) Memberikan kesempatan lansia beraktivitas sesuai dengan
kemampuan
16
3. Masyarakat
1) Sediakan sarana posbindu untuk pelayanan kesehatan lansia
2) Siapkan tempat dan waktu latihan aktivitas lansia
3) Support group
A. Pengkajian
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor genetik
17
e. Model kognitif
g. Model perilaku
h. Model biologik
18
2. Faktor Presipitasi
3. Mekanisme koping
19
4. Perilaku
20
5. Faktor Presipitasi
B. Masalah Keperawatan
C. Analisa Data
N Data Masalah
o
1. DS : Klien mengatakan putus asa Gangguan alam perasaan : koping
dan tidak berdaya, tidak individu maladaptive
berharga, tidak ada harapan
setelah ditinggal suami dan anak
satu-satunya.
DO :
Klien tampak sedih
Klien tampak menangis
21
2. DS : Risiko menciderai diri sendiri :
a. Klien mengatakan ingin depresi
memukul diri sendiri jiwa
ingat suami dan anak-
anaknya
b. Klien mengatakan bila
ingat suami dan anaknya
lebih banyak sendiri dan
marahmarah
DO :
a. Klien tampak gelisah
b. Klien tampak memukul
diri sendiri
c. Klien tampak tidak bisa
mengontrol impuls
22
D. Pohon Masalah
Sedih kronis
E. Diagnosa Keperawatann
23
F. Intervensi
Dx Kriteria
No Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil
1. Gangguan TUM : Klien 1. Bina hubungan Hubungan
alam Klien tidak menunjukka saling percaya saling percaya
perasaan : Terjadi n tanda- a. Sapa klien sebagai dasar
depresi gangguan tanda dengan ramah, interaksi yang
berhubungan alam perasaaan percaya ucapkan terapeutik
dengan : depresi kepada dengan sopan,
koping TUK (1) : perawat ciptakan
maladaptive Dapat suasana tenang
membina dan santai.
hubungan b. Terima klien
saling percaya apa adanya
c. Pertahankan
kontak mata
saat
berhubungan
d. Tunjukkan
sikap empati
dan penuh
perhatian pada Memberikan
klien hal-hal yang
Klien 2. Tanyakan kepada adaptif yang
TUK (2) : mampu klien tentang perasaan dapat
Klien dapat menggunak saat ini digunakan oleh
menggunakan an koping a. Beri dorongan klien bila ada
koping adaptif. adaptif yang untuk masalah
baik. mengungkapkan
perasaan dan
mengatakan bahwa
24
perawat
memahami apa yag
dirasakan
b. Tanyakan
kepada
pasien cara yang
bisa dilakukan
mengatasi perasaan
sedih/ menyakitkan Mengurangi
c. Diskusikan beban pikiran
dengan pasien yang dirasakan
manfaat dari oleh klien.
koping yang biasa
digunakan
3. Dengarkan
ungkapan perasaan
klien dengan empati.
2. Risiko tinggi TUM : Klien a. Pantau dengan 1. Memantau
menciderai Klien tidak menunjukka seksama risiko secara
diri : menciderai n tidak ada bunuh diri seksama
berhubungan diri sendiri tanda-tanda /melukai diri dapat
dengan TUK : untuk b. Jauhkan dan mengetahui
depresi Klien menciderai simpan alat- lebih dini
Risiko tinggi terlindung dari diri dengan alat yang tanda-tanda
menciderai perilaku tanda : digunakan oleh ingin
diri : menciderai diri tenang pasien untuk menciderai
berhubungan menciderai diri
dengan Klien dapat Klien dirinya
depresi menggunakan minum ditempat yang 2. Dapat m
obat dengan obat secara aman dan enghindari
benar dan benar dan terkunci keinginan
tepat tepat pasien
c. Jauhkan alat- untuk
25
alat yang melukai
membahayaka diri.
n pasien
3. Mempermu
d. Diskusikan
dah perawat
tentang obat
mengawasi
(nama,
pasien
dosis,frekuensi
, efek samping
4. Minum
minum obat)
obat secara
e. Bantu
benar dapat
menggunakan
membantu
obat dengan
penyembuh
prinsip 5 benar
an pasien
(benar pasien,
obat, dosis,
cara dan
waktu)
f. Anjurkan
membicarakan
efek samping
yang
dihasilkan
G. Evaluasi
a. Semua sumber pencetus stress dan persepsi klien dapat digali. Semua
sumber pencetus stress dan persepsi klien dapat digali.
b. Masalah klien mengenai konsep diri, rasa marah dan hubungan
interpersonal Masalah klien mengenai konsep diri, rasa marah dan
hubungan interpersonal dapat digali.
c. Perubahan pola tingkah laku dan respon klien tersebut tampak. Perubahan
pola tingkah laku dan respon klien tersebut tampak.
26
d. Riwayat individu klien dan keluarganya sebelum fasedepresi dapat
dievaluasi Riwayat individu klien dan keluarganya sebelum
fasedepresi dapat dievaluasi sepenuhnya.
e. Tindakan untuk mencegah kemungkinan terjadinya bunuh diri telah
dilakukan. Tindakan untuk mencegah kemungkinan terjadinya bunuh
diri telah dilakukan.
f. Tindakan keperawatan telah mencakup semua aspek dunia klien.
Tindakan keperawatan telah mencakup semua aspek dunia klien.
g. Reaksi perubahan klien dapat diidentifikasi dan dilalui dengan baik
oleh klien.
27
BAB 3
Klien Ny.N 60 th, datang ke emergensi dengan keluhan merasa dirinya sudah
tidak berguna lagi, tidak berarti, tidak ada tuhuan hidup, putus asa dan cenderung
ingin bunuh diri. Pada awalnya sikap prilaku dan tindakan klien sebelumnya biasa-biasa
saja, tetapi setelah ia mendapat kabar yang sangat menyedihkan, yaitu orang yang paling
disayanginya dan dicintainya (suaminya) dilabarkan telah mengalami kecelakaan dan
nyawanya tidak dapat ditolong. Suami klien mengalami kecelakaan di jalan tol Jagorawi
antara mobil yang dikendarainya ditabrak sebuah mobil bus “Sinar Terang“ jurusan
Jakarta - Bogor yang sedang melaju dengan kecepatan yang tinggi. Menurut keluarganya
klien sudah mendapat kabar, langsung syok dan pingsan, dan begitu sadar dia tidak tahu
apa-apa yang sudah terjadi. Tapi prilaku dan tindakannya berubah, yaitu emosinya
semakin meledak-ledak dan sering memecahkan barang-barang yang ada di dapur. Untuk
itu, anak klien tidak tega melihat prilaku klien tersebut dan akhirnya membawa klien ke
RS Jiwa dengan alasan diajak shopping/belanja.
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Nama klien : Ny. N
Umur : 60 Tahun
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
28
Pekerjaan : Guru SD
b.Keluhan Sekarang
1) Data Subjektif
Sering melamun, emosi meledak-ledak, tertawa dan menangis
seketika, sering melempar-lempar barang.
2) Data Objektif
Klien mengamuk dan meronta-ronta tidak menerima dirinya
dibawa ke RSJ, dia meributkan dan memarah-marahin anggota
keluarga dan petugas sekitar.
3. Data Biologis
a. Pola Makan dan Minum
Di rumah
29
Menurut keluarganya, klien 3x/sehari dengan menu nasi lauk
pauk dan porsi habis. Klien tidak memiliki pantangan dan alergi
pada makanan.
Di RS
Klien makan 3 kali/sehari dengan porsi tidak habis dengan menu
dari rumah sakit. Klien tidak suka bubur. Minum 6-7 gelas/hari.
b. Pola Eliminasi
Di rumah
BAB 1x/hari dengan konsistensi lembek. BAK 4-5 kali/hari dan
tidak ada hambatan.
Di RS
Klien BAB 1x dalam 2 hari, dengan konsistensi lembek. BAK 3-
4x/ hari.
Di RS
Klien tidur terus selama 6 jam/hari dan jam tidur tidak menentu.
Klien masih sering tidur siang.
d. Pola Kebersihan
Di rumah
Menurut klien dan keluarganya, klien mandi 2x/hari gosok gigi
seiap kali mandi dan klien keramas 2 hari sekali.
Di RS
Klien mandi hanya di lap dan gosok gigi 1x/hari, selama dirawat
klien belum pernah dirawat.
30
e. Pola Aktivitas
Di rumah
Klien sebagai ibu rumah tangga yang baik, mengasuh 2 anaknya.
Klien sangat perhatian dan sayang dengan keluarganya.
Di RS
Klien banyak menolak sewaktu diberi obat. Klien suka
menyendiri dan melamun. Klien juga sering terrawa, menangis
dan menjerit.
4. Data Sosial
a. Pendidikan dan Pekerjaan
Klien tamatan D2 PGSD, klien sebagai guru SD di salah satu SD di
kampungnya.
b. Hubungan sosial
Sebelum klien mengalami gangguan jiwa, hubungan dengan
keluarga, tetangga dan masyarakat sekitar cukup harmonis. Tapi
setelah musibah menimpa dirinya, justru sebaliknya, banyak orang
menjauh, hubungannya tidak rukun, dan banyak warga sekitar yang
takut kepadanya.
5. Data Spiritual
Klien beragama Islam, dan menurut keluarga klien, sebelum klien
mengalami gangguan jiwa seperti ini, ia rajin sholat dan tidak pernah
meninggalkannnya, tetapi setelah kejadian ini ia malah tidak pernah
sholat.
31
B. Pohon Masalah
Depresi
Keputusasaan
D. Analisa Data
NO. DATA MASALAH PENYEBAB
1 DO : Berduka Kehilangan
- klien tampak menangis disfungsional
- Klien tidak mau diajak bicara
DS :
- Suara tangis klien terdengar keras
dan mengganggu lingkungan
sekitar.
- Klien mengatakan bahwa dia ingin
sendirian dan jangan diganggu.
32
2 DO : Keputusasaan Berduka
- Klien tampak emosinya tidak sabil. disfungsional
Terkadang menangis yang diikui
diikuti dengan tertawa.
- Klien tidak mau bergabung
dengan teman sekitarnya.
- Klien jarang mengikuti aktivitas
yang ada di dalam ruangan
maupun di luar ruangan sesuai
jadwal.
DS :
- Klien mengatakan bahwa dia
benar-benar terpukul atas
kejadian ini.
- Klien selalu mengatakan males
mengikuti kegiatan seperti ini
33
E. PERENCANAAN KEPERAWATAN
Umur : 26 th
Ruangan/kamar : Elang I
DIAGNOSA
NO TUJUAN INTERVENSI RASIONALISASI IMPLEMENTAS
KEPERAWATAN
1 Berduka TUK :
disfungsional b/d Pasien mampu a. tentukan pada a) Pengkajian data a) Menentukan
kehilangan. menyatakan tahap berduka dasar yang pada tahap
secara verbal manakah pasien akurat adalah berduka pasie
perilaku2 yang
terfiksasi. Dan penting untuk yang terfiksas
berhubungan
identifikasi perencanaan Dan identifika
dengan tahap-
tahap perilaku yang keperawatan perilaku yang
Berduka berhubungan yang efektif bagi berhubungan
dengan tahap ini. pas. Berduka. dengan tahap
b. Kembangkan b) Rasa percaya ini.
hub. Saling merupakan dasar b) Mengembang
percaya dengan untuk suatu n hub. Saling
TUM :
Pasien akan pasien. hubungan yang percaya deng
mengekspresika Perlihatkan teraupetik. pasien.
n kemarahan empati dan c) Latihan fisik Perlihatkan
terhadap perhatian memberikan empati dan
kehilangan c. Bantu pasien suatu metode perhatian
dalam 1 minggu. untuk yang aman dan c) Membantu
mengeluarkan efektif untuk pasien untuk
kemarahan yang mengeluarkan mengeluarkan
terpendam kemaharan yang kemarahan
melalui terpendam. yang
berpartisipasi d) Umpan balik terpendam
dalam aktivitas posiif melalui
motorik besar. meningkatkan berpartisipasi
d. Bantu pasien harga diri dan dalam aktivita
dalam mendorong motorik besa
pemecahan pengulangan
masalahnya perilaku yang
34
sebagai usaha diharapkan. d) Membantu
unuk pasien dalam
menentukan pemecahan
metode koping masalahnya.
yang lebih
adaptif terhadap
pengalaman
kehilangan.
e. Dan terapi
reminiscense
untuk
mengetahui
tingkat depresi
pada lansi
35
stabil secara terutama nutrisi, Dapat c) Membantu
fisiologis dan tidur dan hygiene Melindungi pasien untuk
mampu personal. Dan Pasien memenuhi
memenuhi
berikan medikasi Menurunkan kebutuhan
kebutuhan
dan pengobatan Stres Mendesak. perawatan di
perawatan
diri somatik. c) Perubahan
d) Dan terapi fisiologis terjadi
reminiscense pada gangg. Alam
untuk perasaan,
mengetahui perawatan fisik
tingkat depresi dan terapi
pada lansi somatik
diperlukan untuk
mengatasi
masalah
tersebut.
36
37
BAB 4
APLIKASI JURNAL
Tahun : 2019
Depresi merupakan bagian dari gangguan suasana hati atau mood, depresi terjadi
pada lansia karena adanya perubahan dalam proses menua dan masalah yang
timbul akibat perubahan tersebut . Prevalensi depresi pada lansia didunia berkisar
8-15 % dan hasil meta analisis dari laporan negara-negara didunia mendapatkan
prevalensi rata-rata depresi pada lansia adalah 13,5 % Adapun prevalensi depresi
pada lansia yang menjalani perawatan di RS dan panti perawatan sebesar 30-45%.
Prevalensi depresi pada lansia pada unit perawatan yang lama mencapai 25% dan
disertai dengan stressor seperti penyakit kronis dan ketidakmampuan demensia,
nyeri kronik, kematian pasangan hidup, gangguan depresi yang sudah ada
sebelumnya dan penempatan dalam suatu institusi atau panti. Tingkat depresi pada
lansia sebelum dilakukan terapi reminiscence setengahnya dari responden
mengalami depresi berat sebanyak 15 responden (51,7%). Tingkat depresi pada
lansia sesudah dilakukan terapi reminiscence hampir setengahnya dari
respondenmengalami depresi ringan sebanyak 14 responden (48,3%). Ada
pengaruh yang signifikan terapi reminiscence terhadap penurunan tingkat depresi
pada lansia di Panti Sosial Tresna Werda Budi Pertiwi Kota Bandung Tahun
2018, dengan p value 0,000.
38
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Lanjut usia adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua
orang yang dikarunia usia panjang. Menurut World Health Organisation
(WHO) Lansia adalah seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun ke
atas. Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah
memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Pada kelompok yang
dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut Aging
Process. Proses menua ini ditandai dengan perubahan pada fisik maupun
mental lansia
5.2 Saran
39
DAFTAR PUSTAKA
Sari, K. (2012). Gambaran Tingkat Depresi Pada Lanjut Usia (Lansia) Di Panti
Sosial Tresna Wredha Budi Mulia 01 Dan 03 Jakarta Timur. Jurnal
Universitas Indonesia, 1–74.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/21410/Chapter?sequence=4
https://www.academia.edu/14546510/ASUHAN_KEPERAWATAN_LANSIA_DENGAN_DEP
RESI
40
Naskah Role Play
Sinar mentari menyinari kota jakarta, yang begitu hangat . namun nenek
wilo tak kunjung move on di karenakan 1 minggu lalu suami dari nenek wilo
mengalami kecelakaan di tol jagorawi. Nenek wilo tidak bisa menerima
kenyataan tentang kepergian suaminya, perilakunya. Yang nenek inginkan
hanyalah bunuh diri, purus asa, tidak berarti,mengamuk-amuk. Anak nenek wilo
tidak tega dengan kondisi yang semakin hari perilakunya tak kunjung berubah.
Dan pada akhirnya anak membawa nenek ke rumah sakit di jakarta.
Nenek wilo : ( marah dan membuang semua peralatan rumah yang ada di
buang begini ya ?
Anak : ( Semakin hari kondisi nenek semakin memburuk, apa aku harus
membawa nenek ke rumah sakit ya ) “ isi suara hati “.
Anak : nenek ayok ikut aku jalan- jalan ( membujuk nenek agar nenek
segera di bawa ke rumah sakit untuk di periksakan)
Perawat : assalamualaikum saya perawat riska yang berjaga hari ini mulai
41
Pukul 07.00-15.00 ( lalu perawat pun memeriksa kondisi keadaan
nenek wilo )
Perawat : sebelumnya kondisi nenek ini kenapa ya adek kalo boleh tau
Anak : begini ya sus, dua minggu yang lalu kakek saya meninggal sus, lalu nenek
Itu sus seminggu yang lalu setelah kehilangan kakek nenek kondisinya itu
Menurun, ngelamun, tidak mau makan, sus setiap hari seperti itu sus
Perawat : turut berduka cita atas meninggalnya kakek “ tak lama kemudian
melakukan pemeriksaan “
Perawat : ya sudah nek mungkin nenek masih bersedih turut berduka cita ya nek
Nenek wilo : harusnya saya itu melarang suami saya untuk pergi, tetapi suami
saya bersih kukuh untuk pergi berangkat kerja
Pada saat nenek bercerita perawat menggunakan teknik pendengar pasif dan diam
Nenek tidak bersalah, itu semua sudah ada yang mengatur nek dan itu
Juga sudah takdir nek, jadi nenek harus bersabar ya doakan kakek disana
Nenek jangan bersedih ya kalau nenek bersedih kakek pun juga ikut
42
Nenek wilo : iya
Perawat : assalamualaikum saya perawat riska yang berjaga hari ini mulai
Td : 110/90 Mmhg
Suhu : 36,8 C
RR : 20 x/ menit
Keesokan harinya setelah semua pemeriksaan sudah dilakukan dan tidak sudah
dilakukan
Perawat : assalamualaikum saya perawat riska yang berjaga hari ini mulai
Perawat : alhamdulilah, hari ini hari ini saya akan mengajak nenek untuk
Perawat terus memberikan perhatian dan Dan terapi reminiscense kepada nenek
wilo dan keadaannya semakin hari semakin membaik dan nenek wilo mulai pulih
43
dari depresinya, dan nenek wilo tidak lagi menyalahkan dirinya sendiri atas apa
yang sudah terjadi.dan nenek wilo sudah bisa menerima kenyaatan dan keadaan
kalau suaminya sudah tiada.
44
Pertanyaan
apakah obat untuk lansia depresi ? Dan jika ada apakah obat tersebut
menyebabkan kecanduan ?
jika ada seorang nenek tinggal bersama cucunya tetapi cucunya masih awam
dengan depresi. Bagaimana cara edukasi pd anak tersebut tentang depresi
lansia?
mbah mbah yang sering ngomel dan ngedumel apakah itu termasuk
depresi ?
45