Anda di halaman 1dari 31

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR

”MENTAL HEALTH”

Oleh:

Muhammad Irham Nur (K011171318)


Hilery Upa Pongsapan (K011171322)
Titi Novia Sari (K011171326)
Sri Astuti Zainuddin (K011171330)
Susi Susanti (K011171331)
Dahnial Ramadhana (K011171335)
Andi Hanan Qonitah (K011171336)
Mifta Annajasi Muslimin (K011171339)
Julia Clara Rasal (K011171346)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “ Mental Health” ini tepat pada
waktunya. Adapun makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Epidemiologi Penyakit Tidak Menular”.
Selanjutnya, kami ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. kami
tidak lupa juga menyampaikan terima kasih kepada teman-teman yang selalu
memberikan semangat dan motivasi, yang telah berjuang bersama dari awal hingga
selesainya makalah tentang “Mental Health” ini.
Kami menyadari bahwa hasil penyusunan makalah ini masih dalam kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan baik dari aspek materi maupun non materi, sehingga
kami mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sebagai sebuah pembelajaran untuk makalah berikutnya. Semoga makalah tentang “
Mental Health” ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Makassar, 22 April 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
2. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
3. Tujuan ....................................................................................................... 2
4. Manfaat ..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3
1. Definisi Mental Health .............................................................................. 3
2. Etiologi Penyakit Mental Health ............................................................... 4
3. Patofisiologi Penyakit Mental Health ....................................................... 5
4. Gambaran Epidemiologi Penyakit Mental Health .................................... 9
5. Faktor Risiko Penyakit Mental Health ...................................................... 14
6. Cara Diagnose Penyakit Mental Health .................................................... 17
7. Upaya Pencegahan Penyakit Mental Health ............................................. 18
8. Upaya Pengobatan Penyakit Mental Health .............................................. 21
BAB III IDE INOVATIF UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT ...................... 26
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 27

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap individu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dituntut
untuk bekerja dan berusaha agar keinginan dari dirinya dapat terpenuhi. Untuk
memenuhi kebutuhannya tersebut manusia memerlukan jasmani yang sehat.
Karena apabila jasmani atau tubuh terganggu maka semua aktivitas individu
tersebutpun terganggu. Menurut WHO (World Health Organization) sehat
adalah suatu keadaan berupa kesejahteraan fisik, mental dan sosial secara
penuh bukan semata-mata hanya terbebas dari penyakit dan keadaan lemah
tertentu. Apabila mental dan jasmani individu tersebut sehat tentunya akan
sedikit kemungkinan terjadinya gangguan untuk meelakukan aktivitas sehari-
hari. Jika mental individu tersebut sehat maka individu tersebut dapat
terhindar dari gejala-gejala gangguan dan penyakit jiwa, sehingga ia dapat
menyesuaikan diri dan dapat memanfaatkan segala potensi dan bakat yang
dimiliki. Dengan keadaan mental yang sehat maka individu tersebut dapat
bekembang secara optimal. Maka dari itu kita sebagai mahasiswa perlu
mempelajari kesehatan mental agar nanti saat menghadapi individu yang
memiliki gejala-gejala gangguan mental agar dapat segera diatasi sehingga
individu tersebut tidak kearah patologi (sakit mental). Maka dari itu kami
menyususun makalah yang membahas tentang kesehatan mental.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang definisis mental health?
2. Bagaimana etiologi penyakit mental health?
3. Bagaimana patofisiologi penyakit mental health?
4. Bagaimana gambaran epidemiologi penyakit mental health?
5. Apa faktor risiko penyakit mental health?
6. Bagaimana cara diagnose penyakit mental health?
7. Apa upaya pencegahan penyakit mental health?

1
8. Bagaimana upaya pengobatan penyakit mental health?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisis mental health.
2. Untuk mengetahui etiologi penyakit mental health.
3. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit mental health.
4. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit mental health.
5. Untuk mengetahui faktor risiko penyakit mental health.
6. Untuk mengetahui cara diagnose penyakit mental health.
7. Untuk mengetahui upaya pencegahan penyakit mental health.
8. Untuk mengetahui upaya pengobatan penyakit mental health.
D. Manfaat
Adapun manfaat dari penyusunan makalah ini yaitu menambah
pengetahuan pembaca mengenai penyakit mental health.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Mental Health


Melihat tren global, gangguan jiwa atau lemahnya kesehatan mental
tidak lagi dipandang sebagai isu perfier dalam pembangunan kesehatan.
Meski gangguan mental belum terlalu dipandang sebagai problem
epidemiologis, nyatanya memilikidampak yang cukup signifikan dalam
membuat jutaan orang hidup dalam disabilitas
Kesehatan mental alih bahasa dari Mental Health. Definisi-definisi
yang diajukan para ahli diwarnai oleh keahlian masing-masing. Menurut
World Health Organization dalam Winkel (1991) disebutkan : Sehat adalah
suatu keadaan berupa kesejahteraan fisik,mental dan social secara penuh dan
bukan semata-mata berupa absensinya penyakit atau keadaan lemah tertentu.
Dedinisi ini memberikan gambaran yang luas dalam keadaan
sehat,mencangkup berbagai aspek sehingga diharapkan dapat mewujudkan
kesejahteraan hidup. dapat memanfaatkan segala potensi dan bakat yang ada
semaksimal mungkin dan membawa kepada kebahagiaan bersama serta
mencapai keharmonisan jiwa dalam hidup.
Menurut Dr. Jalaluddin dalam bukunya “Psikologi Agama” bahwa:
“Kesehatan mental merupakan suatu kondisi batin yang senantiasa berada
dalam keadaan tenang, aman dan tentram, dan upaya untuk menemukan
ketenangan batin dapat dilakukan antara lain melalui penyesuaian diri secara
resignasi (penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan)”.
Menurut paham ilmu kedokteran, kesehatan mental merupakan suatu
kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional
yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan
keadaan individu tersebut.

3
Menurut Zakiah Darodjat, terhindarnya seseorang dari gejala-gejala
ganggun dan penyakit jiwa, dapat menyesuaikan diri, dapat memanfaatkan
segala potensi dan bakat yang ada semaksimal mungkin dan membawa
kebahagiaan bersama serta mencapai keharmonisan jiwa dalam hidup.
Oleh karena itu Kesehatan mental adalah keserasian atau kesesuaian
antara seluruh aspek psikologis dan dimiliki oleh seorang untuk
dikembangkan secara optimal agar individu mampu melakukan kehidupan-
kehidupan sesuai dengan tuntutan-tuntutan atau nilai-nilai yang berlaku secara
individual, kelompok maupun masyarakat luas sehingga yang sehat baik
secara mental maupun secara sosial. Sikap hidup individu yang sehat dan
normal adalah sikap yang sesuai dengan norma dan pola hidup kelompok
masyarakat, sehingga ada relasi interpersonal dan intersosial yang
memuaskan.

B. Etiologi Penyakit Mental Health


Dari beberapa penyebab atau etiologi gangguan kesehatan mental,
faktor genetik dan kelainan struktur dan cara kerja otak. Hingga cedera kepala
menjadi faktor penyebab yang paling banyak ditemukan. Kesehatan mental
juga dapat dipengaruhi oleh peristiwa dalam kehidupan yang meninggalkan
dampak yang besar pada kepribadian dan perilaku seseorang. Peristiwa-
peristiwa tersebut dapat berupa kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan
anak, diskriminasi etnis dan/atau agama, kemiskinan, isolasi sosial, atau stress
berat jangka panjang. Trauma yang didapat bisa berakumulasi dan
menyebabkan gangguan ringan sampai gangguan berat terhadap cara Anda
berpikir, merasa, bertindak, dan bagaimana Anda memandang peristiwa dalam
hidup. Penyakit mental bisa mengubah cara seseorang dalam menangani stres,
berhubungan dengan orang lain, dan membuat pilihan. Gangguan mental bisa

4
menjadi kondisi kronis jika tidak mendapatkan penanganan medis yang
mumpuni.

C. Patofisiologi Penyakit Mental Health


Berdasarkan statistik, setiap satu dari empat orang menderita
gangguan mental atau perilaku. Diantara semua jenis gangguan itu, ada yang
dinilai sangat aneh bahkan sulit untuk diterima dalam kehidupan
bermasyarakat. Semakin diselami kita akan mengetahui bahwa otak manusia
itu semakin misterius. Berikut adalah 10 contoh gangguan mental aneh yang
ternyata berpotensi dialami oleh semua orang.
1. Sindrom Quasimodo
Sindrom quasimodo biasa juga disebut sebagai body dysmorphic
disorder, adalah gangguan mental yang sangat amat berbahaya.
Gangguan ini dikenal dengan pikiran obsesif tentang kecacatan fisik
berlebihan atau imajiner. Penderitanya akan secara konstan melihat ke
cermin untuk menemukan sudut terbaik di mana kecacatannya itu tidak
akan nampak.
Mereka merawat penampilan mereka secara berlebihan. Mereka
memiliki banyak permasalahn asmara yang disebabkan karena faktor
“kecacatan” ini. Kepercayaan diri mereka sangat rendah dan sangat
tertekan dalam bergaul karena merasa sekelilingnya melihat
“kecacatannya” kemudian menertawakannya. Merasa senasib? Keanehan
sindrom ini diungkap dalam sebuah film pendek berjudul Contracuerpo.
2. Erotomania
Mereka yang menderita erotomania adalah milik seseorang yang
mencintainya, khususnya seseorang yang memiliki status sosial lebih
tinggi (misalnya selebritis). Penderitanya percaya bahwa penggemar
imajinernya menunjukkan sikap mereka melalui tanda-tanda khusus,
sinyal-sinyal rahasia, telepati dan pesan berkode di media.

5
Melawan gangguan ini bisa dikatakan sulit, bahkan jika yang
seharusnya dianggap penggemar itu sudah terang-terangan menolaknya.
Penolakan tersebut dianggap para pederita erotomania sebagai strategi
untuk menyembunyikan hubungan mereka dari masyarakat. Gangguan ini
diangkat pertama kali ke publik dalam film From the Land of the Moon
(Marion Cotillard).
3. Delusi Capgrass
Sindrom ini membuat penderitanya percaya bahwa seseorang yang
dekat dengannya atau bahkan dirinya sendiri telah ditukar tempat dengan
seorang doppelganger. Penderitanya mengungkapkan bahwa niat buruk
mereka akan terwakili dari “kembarannya” yang terlihat persis seperti
mereka.
Gangguan ini biasanya disertai dengan Schizophrenia. Film The
Double, yang diangkat dari novel F. M. Dostoevsky dengan judul sama,
mengungkapkan esensi dari gangguan ini.
4. Delusi Fregoli
Dalam kasus ini, penderitanya percaya kebalikannya: dibalik topeng
orang asing atau sekelilingnya adalah orang-orang yang dekat dengannya,
dianggap secara konstan menggunakan makeup dan mengubah
penampilan dalam rangka pengejaran. Sindrom ini pertama dikenal pada
tahun 1927 di mana seorang gadis cilik meyakini bahwa ia sedang dikejar
oleh dua aktor dari theater tempat langganan ia menonton, mengambil
bentuk orang yang dikenal atau pernah ditemuinya. Topik ini dibahas
sebagian dalam film animasi berjudul Anomalisa.
5. Sindrom Adele
Sindrom adele adalah obsesi yang membuat seseorang mengalami rasa
cinta patologis. Para dokter belakangan menilainya sebagai gangguan
mental yang secra serius mengganggu kehidupan dan kesehatan

6
seseorang, dibandingkan dengan kecanduan judi, alkohol dan
kleptomania.
Gejala gangguan ini menyerupai depresi mendalam tapi bisa jadi lebih
berbahaya: penganiayaan terhadap seseorang, penipuan diri, harapan yang
delusif/menyesatkan, pengorbanan diri secra sukarela, mengacuhkan
nasihat dari teman maupu orang dekat lainnya, tindakan ceroboh dan
kehilangan ketertarikan dalam topik ataupun aktivitas lain. Kamu bisa
menonton The Story od Adele H , sebuah film tentang sindrom dan
seorang wanita muda yang mendasari penamaan sindrom tersebut.
6. Cryptomnesia
Cryptomnesia adalah bentuk kecacatan memori di mana seseorang
tidak bisa mengingat dengan jelas kapan kejadian tertentu terjadi ataupun
apakah itu mimpi ataukah kenyataan. Misalnya, ketika ia sedang menulis
puisi atau sekedar mengingat sesuatu yang baru saja mereka baca, itu
sudah dibedakan. Dengan kata lain, sumber informasinya dengan mudah
terlupakan, jadi penderitanya tidak bisa memastikan apakah ide itu milik
mereka atau orang lain.
Sindrom ini sering beriringan dengan fenomena “jamais vu”, sebagai
lawan dari “deja vu”, ketika datang sebuah perasaan tentang tempat atau
orang yang jelas berhubungan setiap hari, tapi ia merasa seperti yang
pertama kalinya. Kamu bisa melihat contoh kasusnya di tayangan The
Science of Sleep.
7. Sindrom Alice in Wonderland
Sindrom ini merubah persepsi penderitanya tentang semua barang dan
ruang di sekelilingnya: mereka bisa menangkap semuanya dalam bentuk
yang lebih kecil ataupun besar, atau menyadari bahwa segalanya luas tapi
secara aneh merasa begitu dekat. Kasus yang paling sulit adalah ketika
seseorang menangkap tubuh mereka secara tidak layak: mereka tidak
mampu memahami bentuk dan dimensi. Terkait hal ini, baik itu mata dari

7
penderitanya maupun organ lainnya tidak ada yanng rusak, perubahan ini
hanya terkait dengan kondisi mental.
8. Obsessive-compulsive disorder (OCD)
Penderita Obsessive-compulsive disorder (OCD) dikenal dengan
pikiran penuh kecemasan yang obsesif di mana mereka tidak bisa
mengontrol ataupun menyingkirkannya. Itu berhubungan dengan
semacam ritual atau aksi yang serasa harus dilakukan.
Dalam waktu bersamaan, penderitanya sebenarnya sadar atas
keanehan tindakannya, tapi dengan tidak melakukannya maka akan
membawa pada kecemasan yang parah, di mana rasa tersebut sangat tidak
nyaman. Contoh nyata dari orang yang menderita OCD adalah karakter
Leonardo DiCaprio di film The Avigator.
9. Paraphrenia
Paraphrenia adalah kombinasi dari delusi dan keangkuhan. Pikiran
delusional penderitanya secara konstan diiringi dengan pseudo-halusinasi
dan “memori yang keliru”.
Penderitanya merasa bahwa diri mereka adalah golongan penguasa
dunia, menganggap mereka abadi , penentu generasi dan menyatakan
bahwa mereka menulis buku-buku dari penulis terkenal yang bekerja di
bawah mereka dalam pseudonyms. Orang dengan diagnosa ini terlihat
sangat arogan dan misterius.
10. Gangguan Kepribadian Ganda
Gangguan identitas disosiatif adalah gangguan mental langkah yang
membagi kepribadian seseorang dan ada kesan beberapa kepribadian
berbeda dalam satu tubuh. Individu-individu dalam satu tubuh ini bisa
memiliki jenis kelamin, usia, kebangsaaan, temperamen, kemampuan
mental, pandangan dan penyakit yang berbeda-beda.
Penyebab dari gangguan ini adalah trauma masa kecil: yang terbentuk
dengan tujuan sebagai perlindungan psikologis. Anak tersebut akan mulai

8
menganggap apa yang terjadi bukan dialami mereka tapi oleh orang lain,
kamu bisa membaca dari buku tulisan Daniel Keyes. Karakter utama dari
film Split juga menderita gangguan ini.
Penelitian menyebutkan bahwa potensi gangguan di atas di alami oleh
semua orang adalah sama besarnya. Siapapun bisa mengalaminya, bahkan di
luar kesadaran penderitanya. Dilansir dari brightside. me, sesuai yang sudah
kamu baca, kamu perlu meyakinkan dirimu sendiri bahwa kamu tidak
memiliki gangguan manapun yang ada di atas. Apabila kamu mengalaminya,
selalu saja ada jalan keluar untuk mengatasinya, itulah perlunya mengenal diri
sendiri.

D. Gambaran Epidemiologi Penyakit Mental Health


1. Epidemiologi Kesehatan Mental di Dunia
World Health Organization (WHO) (2009) memperkirakan sebanyak
450 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan mental, terdapat sekitar
10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk
diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama
hidupnya. Gangguan jiwa yang mencapai 13% dari penyakit secara
keseluruhan dan kemungkinan akan berkembang menjadi 25% ditahun 2030.
Gangguan jiwa ditemukan disemua negara, pada perempuan dan laki-laki,
pada semua tahap kehidupan, orang miskin maupun orang kaya baik pedesaan
maupun perkotaan mulai dari yang ringan sampai berat.
Menurut hasil survey Badan Kesehatan Dunia, secara global saat ini di
dunia di jumpai 450 juta orang dengan gangguan jiwa, yang terdiri dari : 150
juta depresi, 90 juta gangguan pengguanaan zat dan alkohol, 38 juta 2
epilepsi, 25 juta skizofrenia, serta hampir 1 juta melakukan bunuh diri setiap
tahun. Salah satu gangguan jiwa yang terdapat di seluruh dunia adalah
skizofrenia. Skizofrenia merupakan gangguan neurologis yang
mempengaruhi persepsi, cara pikir, bahasa, emosi dan perilaku sosial klien.

9
(Iyus,2007) salah satu gejala dari skizofrenia adalah halusinasi. Halusinasi
merupakan gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu hal yang
tidak terjadi (Maramis, 2005). Halusinasi merupakan gejala yang paling
sering muncul pada klien skizofrenia yaitu 70% (Setyo, 2008).
Gangguan kesehatan mental khususnya depresi memberikan kontribusi
yang besar bagi beban penyakit. Depresi menjadi beban penyakit nomor tiga
di seluruh dunia, mencapai urutan kedelapan di negara-negara berkembang.,
dan menempati yrytan pertama pada negara dengan penghasilan menengah
keatas (World Health Organization, 2008).
Gangguan mental emosional merupakan suatu keadaan yang
mengindikasikan adanya perubahan emosional pada individu yang dapat
berkembang pada keadaan patologis (Idaini et al., 2009). Prevalensi gangguan
mental emosional pada penduduk Indonesia yang berumur di atas 15 tahun
sebesar 11,6% berdasarkan data riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2007.
Gangguan mental dan perilaku yang tidak eksklusif untuk kelompok
tertentu, mereka ditemukan pada orang dari semua daerah, semua negara dan
semua masyarakat. Sekitar 450 juta orang menderita gangguan mental
menurut perkiraan WHO diberikan dalam Laporan Kesehatan Dunia 2001.
Satu dari empat orang akan mengembangkan satu atau lebih gangguan mental
atau perilaku selama hidup mereka. Gangguan mental dan perilaku terjadi
pada 8 Universitas Sumateera Utara setiap titik waktu pada sekitar 10% dari
populasi orang dewasa di seluruh dunia. Seperlima dari remaja dibawah usia
18 tahun mengalami masalah perkembangan, emosional atau perilaku, satu
dari delapannya memiliki gangguan mental, sedangkan pada anak-anak yang
kurang beruntung angka ini adalah satu dari lima. Gangguan neurologis dan
mental terhitung 13% dari keseluruhan Disability Adjusted Life Years
(DALYs) dikarenakan semua penyakit dan cedera di dunia. Lima dari 10
penyebab utama kecacatan diseluruh dunia adalah kondisi kejiwaan, termasuk
depresi, penggunaan alkohol, skizofrenia dan kompulsif. Proyeksi perkiraan

10
pada tahun 2020 gangguan neuropsikiatri akan mencapai 15% dari kecacatan
di seluruh dunia, dengan depresi unipolar sendiri terhitung 5,7% dari DALYs.

2. Epidemiologi Kesehatan Mental di Indonesia


Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) di
Indonesia prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukan dengan
gejala-gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun
ke atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat,
seperti schizifrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang.
Berdasarkan data Riskesdas 2013 dan dikombinasikan dengan data pusdatin
Kemenkes dengan waktu yang di sesuaikan, prevalensi gangguan jiwa di Jawa
Tengah sebanyak 0,23% untuk usia di atas 15 tahun dari jumlah penduduk
24.o89.433 orang berarti sekitar 55.406 orang di provinsi Jawa Tengah
mengalami gangguan jiwa berat, dan lebih dari 1 juta orang di Jawa Tengah
mengalami gangguan mental emosional. Berdasarkan data instalasi rekam
medik di RSJ Daerah Surakarta pada bulan Januari dan Februari 2015,
ditemukan masalah keperawatan pada klien rawat inap dan rawat jalan yaitu
halusinnasi menempati urutan pertama dengan 4.021 kasus, disusul dengan
resiko perilaku kekerasan 3980 kasus, defisit perawatan diri 1.754 kasus,
isolasi sosial 1.871 kasus, harga diri rendah 1.026 kasus dan waham 401
kasus.
Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil.
Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan,
Bali, dan Jawa Tengah. Proporsi RT yang pernah memasang ART gangguan
jiwa berat 14,3 persen dan terbanyak pada penduduk yang tinggal di pedesaan
(18,2%), seta pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan
terbawah (19,5%). Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk
Indonesia 6,0 persen. Privinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional

11
tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatam, Jawa Barat, DI
Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur (Riskesdas, 2013).
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 oleh
Badan Peneliti dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan dengan
menggunakan rancangan sampel dari susenas BPS pada 65.664 rumah tangga,
menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional pada usia 15
tahun ke atas mencapai 140 kasus per 1.000 anggota rumah tangga.
Sedangkanprevalensi gangguan mental emosional pada usia 5-14 tahun adalah
104 per 1.000 anggota rumah tangga. Berdasarkan survei kesehatan mental
rumah tangga (SKMRT) pada tahun 1995 di 11 kota di Indonesia
menunjukkan bahwa prevalensi gejala gangguan kesehatan mental adalah
sebesar 185/1000 penduduk rumah tangga. Prevalensi di atas 100 per 1000
anggota rumah tangga di anggap sebagai masalah kesehatan yang perlu
mendapat perhatian (Keputusan Menteri Kesehatan no. 48 tahun 2006). Orang
dewasa yang berusia lebih dari 60 tahun, banyak menderita gangguan mental
atau neurologis. Sebesar 6,6% dari total cacat yang di alami oleh lansia
berusia lebih dari 60 tahun banyak dikaitkan dengan mental maupun
gangguan neurologis.
Gangguan neuropsikiatri yang paling umum dari kelompok lansia
adalah demensiadan depresi. Gangguan kecemasan mempengaruhi 3,8%
populasi lansia adalah demensia dan depresi. Gangguan kecemasan
mempengaruhi 3,8% populasi lansia, masalah penggunaan narkoba
mempengaruhi hampir 1% dari total populasi lansia, dan hampir seperempat
kematian yang terjadi pada lansia dikarenakan perbuatan menyakiti diri
sendiri yang dilakukan oleh lansia (WHO, 2013).
Hasil analisis lanjutan riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa ada
hubungan yang kuat antara masalah gangguan mental emosional dengan
lansia, khususnya pada usia 65 tahun ke atas (Idaini et al., 2009). Lanjut usia
menurut undang-undang no. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia

12
adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Umur Harapan
Hidup (UHH) Indonesia meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPMN), pada tahun 2009 UHH
di Indonesia adalah 70,7 tahun, pada tahun 2010 meningkat menjadi 70,9
tahun. Pada tahun 2011 dan tahun 2012 UHH di Indonesia adalah sebesar 71,7
tahun (Bappenas, 2013).
Peningkatan UHH akan menyebabkan meningkatnya jumlah lanjut
usia (lansia) di Indonesia setiap tahunnya. Jumlah lansia di Indonesia pada
tahun 2010 lalu berdasarkan hasil sensus adalah sebesar 24 juta jiwa atau
sebesar 9,7% dari total populasi. Penduduk lansia diperkirakan akan melonjak
menjadi 11,34% dari total penduduk Indonesia pada 2020 mendatang. Suatu
wilayah apabila memiliki penduduk tua lebih dari 7% maka wilayah tersebut
dikatan memiliki struktur penduduk tua (Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 2011).
Berdsarkan data di atas, maka Indonesia termasuk negara dengan
struktur penduduk tua . meningkatnya UHH merupakan indikator baiknya
perbaikan dalam bidang kesehan. Namun hal ini akan memberikan sebuah
tantangn tersendiri karena juga akan dapat menimbulkan berbagai masalah
kesehatan, terutama angka kesakitan akibat penyakit degeneratif akan
meningkat (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Hal tersebut dikarenakan lansia mengalami proses menua. Penuaan
merupakan proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki maupun mengganti diri, mempertahankan struktur serta fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas ( termasuk infeksi)
dan memperbaiki kerusakan yang di derita (Santoso & Ismail, 2009).

13
E. Faktor Risiko Penyakit Mental Health
1. Faktor Sosial Demografi
a. Umur
Menurut Koening dan Blazer (2003), risiko gangguan penyakit mental
emosional pada pasien yang berusia 50 tahun lebih desibabkan factor
biologi yang mungkin disebabkan perubahan pada system syaraf pusat.
Hal ini mungkin menyebabkan terjadinya depresi. Menurut penelitian
Marini (2008) unur lansia yang berusia diatas 70 tahun lebih berisiko
mengalami gangguan mental emosional.
b. Jenis Kelamin
Diagnostic gangguan mental adalah sama untuk semua jenis kelamin,
namun wanita lebih rentan terkena gangguan mental emosional karena
disebabkan perubahan hormon dan perbedaan karakteristik antara laki-laki
dan perempuan karena perubahan hormon, karakteristik wanita lebih
mengedepankan emosional daripada rasional yang juga mempengaruhi.
Ketika menghadapi suatu masalah, wanita cenderung menggunakan
perasaan (Marini, 2008).
c. Status perkawinan
Gangguan emosional lebih banyak terjadi pada seseorang yang hidup
sendiri baik karena bercerai atau memang tidak menikah. Riset yang
dilakukan Andrianne Frech (2002) ahli sosiologi dari Universitas Ohio,
AS. Orang yang cerai, pisah, janda/duda atau belum kawin cenderung
berisiko tinggi melakukan bunuh diri disbanding yang sudah kawin (Stuart
dan Sundeen, 2001).
d. Tingkat Pendidikan
Pendidikan yang tinggi dapat menghasilkan keadaan social ekonomi
dan kemandirian yang baik juga. Pendidikan yang rendah berhubungan
dengan peningkatan risiko kesehatan mental.

14
e. Status Pekerjaan
Kehilangan identitas kerja sering berdampak besar bagi orang yang
telah pensiun. Mereka kehilangan struktur pada kehidupan harian mereka
saat tidak lagi memiliki jadwal kerja. Interaksi social dan interpersonal
yang terjadi pada lingkungan kerja telah hilang. Sebagai penyeseaian,
mereka harus menyusun jadwal bermakna dan jaringan social pendukung (
Potter Perry, 2009).
f. Status Sosial Ekonomi
Ketika seseorang sakit maka tidak akan terlalu berdampak buruk pada
orang yang memiliki penghasilan, tetapi bagi yang tidak berpenghasilan
dapat menimbulkan stress dan gangguan mental.
Menurut beberapa penelitian tingkat social ekonomi keluarga juga
merupakan salah satu factor yang menentukan gangguan emosional,
semakin tinggi sumber ekonomi keluarga akan mendukung stabilitas dan
kebahagiaan keluarga. Apabila status ekonomi pada tahap yang sangat
rendah sehingga kebutuhan dasar saja tidak terpenuhi inilah yang akan
menimbulkan konflik keluarga yang menyebabkan gangguan mental
emosional.
2. Menderita penyakit kronis
Salah satu faktor risiko terjadinya gangguan mental adalah penyakit
fisik (kronis), hal inijuga sesuai model medil menurul Meyer, et. al., yang
dijelaskan bahwa perubahan perilaku dalam gangguan mental emosional
adalah disebabkan oleh penyakit biologis perilaku menyimpang yang
berhubungan dengan toleransi responden terhadap stress.
3. Penggunaan Obat dan Alkohol
Orang yang menyalahgunakan obat memiliki risiko gangguan mental
(kecemasan) sebesar 13,8 kali dan depresi sebesar 18,8 kali (Hawari,
1990). Etiologik yang berhubungan dengan penggunaan alkohol adalah

15
genetika dan psikososial yang meliputi status social ekonomi dan riwayat
kesulitan sekolah.
4. Religi
Tingkat spiritual seseorang terbukti memiliki pengaruh yang besar
terhadap kesehatan jiwa karena orang yang non religious kurang tabah
dan kurang mampu mengatasi stress, sehingga lebih sering mengalami
gangguan jiwa.
5. Dukungan sosial
Dukungan sosial yang tinggi dapat melindungi diri dari kejadian
depresi pada usia lanjut. Dukungan pekerjaan kurang penting
dibandingkan persamaan (usia dan hobi), tingkat kepercayaan diri,
mempunyai pasangan hidup dan tingkat keakraban, kejadian hidup yang
menyedihkan mungkin mempercepat depresi/gangguan mental (Golberg,
2007).
6. Status gizi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh Dr. Susan
McElroy, seorang professor psikiatri di Universitas Cincinnati
menemukan bahwa orang yang memiliki berat badan lebih atau obesitas
memiliki tingkat depresi yang tinggi dan rasa cemas berlebih disbanding
orang yang memiliki berat badan normal.
7. Riwayat Gangguan Jiwa / Keturunan (Skizoprenia)
Faktor keturunan yang mempengaruhi kesehatan seseorang dalam
kasus tertentu seperti retardasi mental. Berdasarkan teori neurologi dan
adanya faktor konstitusi menunjukkan bahwa faktor genetik keseluruhan
ataupun yang diperolehnya dapat beroeran dalam kemungkinan terjadinya
gangguan depresi.

16
F. Cara Diagnose Penyakit Mental Health

Menurut KBBI,diagonasa adalah penentuan jenis penyakit dengan cara


meneliti (memeriksa) gejala-gejalanya. Cara mendiagnosa penyakit mental
health atau kesehatan mental adalah dengan cara deteksi dini juga penegakan
diagnosis.
1. Pelaksanaan deteksi dini adalah kegiatan menggolongkan pasien dengan
gangguan jiwa berdasarkan keluhan psikis yang frekuensinya
berkelanjutan (pusing, sakit perut, tidak bisa tidur) walaupun pada saat
dilakukan pemeriksaan fisik pasien dinyatakan sehat. Penggolongan
(deteksi dini) juga bisa didapatkan berdasarkan hasil pertanyaan yang
dilakukan di ruang konsultasi oleh petugas kesehatan. Data penderita
gangguan jiwa dapat berasal dari rumah sakit, laporan masyarakat,
pencatatan oleh kader, LSM, institusi pendidikan/akademi keperawatan
dan petugas Puskesmas. Pelaksanaan deteksi dini dilakukan oleh petugas
kesehatan kepada pasien dengan gangguan jiwa. Deteksi dini
dilaksanakan setiap kali melakukan pemeriksaan. Selain itu, deteksi dini
juga dapat dilakukan di luar Puskesmas, semisal melalui penjaringan di
sekolah. Upaya yang dilakukan Puskesmas untuk mengatasi kendala
dalam pelaksanaan deteksi dini yaitu melakukan penyuluhan oleh petugas
promkes, menyampaikan melalui pertemuan kader terkait mekanisme
pertahanan jiwa tiap orang, dan meningkatkan frekuensi pelaksanaan
sosialisasi. Sedangkan faktor-faktor yang mendukung dalam pelaksanaan
deteksi dini adalah keterusterangan pihak keluarga pasien, kesadaran dan
kemauan dari pihak pasien untuk datang ke Puskesmas dan mengobati
penyakitnya
Penegakan diagnosis merupakan tahapan yang sejalan dengan deteksi
dini, yakni mengidentifikasi gangguan jiwa pada pasien berdasarkan
kriteria tertentu pada saat dilakukan pemeriksaan. Penegakan diagnosis

17
dilakukan oleh petugas kesehatan kepada pasien dengan gangguan jiwa.
Penegakan diagnosis dilaksanakan setiap kali melakukan pemeriksaan.
Penegakan diagnosis dilakukan melalui penegakan anamnesa yakni 70%
dari penegakan anamnesa sebagai bentuk pemeriksaan penunjang apabila
terjadi infeksi, karena laboratorium yang ada merupakan laboratorium
sederhana (laboratorium umum).

G. Upaya Pencegahan Penyakit Mental Health


1. Peningkatan kesehatan (health promotion)
Upaya promotif kesehatan jiwa bertujuan untuk mempertahankan dan
meningkatkan derajat kesehatan jiwa masyarakat, menghilangkan stigma,
diskriminasi, pelanggaran hak asasi ODGJ, serta meningkatkan
pemahaman, keterlibatan, dan penerimaan masyarakat terhadap kesehatan
jiwa. Oleh karena itu penting untuk melaksanakan upaya promotif di
lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, tempat kerja, masyarakat,
fasilitas pelayanan kesehatan, media massa, lembaga keagamaan dan
tempat ibadah, serta lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan.
2. General and spesific protection
Upaya preventif kesehatan jiwa bertujuan untuk mencegah terjadinya
masalah kejiwaan, mencegah timbul dan/atau kambuhnya gangguan jiwa,
mengurangi faktor risiko akibat gangguan jiwa pada masyarakat secara
umum atau perorangan, serta mencegah timbulnya dampak masalah
psikososial yang dilaksanakan di lingkungan keluarga, lembaga dan
masyarakat.
3. Early diagnosis and promt treatment
Melakukan penatalaksaan dengan terapi yang tepat untuk mengobati
dan menghentikan proses penyakit, menyembuhkan orang sakit dan
mencegah terjadinya penyakit.

18
4. Disability limitation
Dilaksanakan melalui kegiatan pemberian pelayanan kesehatan
terhadap ODGJ yang mencakup proses diagnosis dan penatalaksanaan
yang tepat sehingga ODGJ dapat berfungsi secara wajar di lingkungan
keluarga, lembaga dan masyarakat. Tujuan upaya kuratif adalah untuk
penyembuhan dan pemulihan, pengurangan penderitaan, pengendalian
disabilitas, dan pengendalian gejala penyakit. Kegiatan penatalaksanaan
kondisi kejiwaan pada ODGJ dilaksanakan di fasilitas pelayanan bidang
kesehatan jiwa.
5. Rehabilitation
Upaya rehabilitatif kesehatan jiwa bertujuan untuk mencegah dan
mengendalikan disabilitas, memulihkan fungsi sosial, memulihkan fungsi
okupasional, mempersiapkan dan mempersiapkan dan memberi
kemampuan ODGJ agar mandiri di masyarakat. Upaya rehabilitatif ini
meliputi rehabilitatif psikiatrik, psikososial, serta rehabilitatif sosial
(dapat dilaksanakan dalam keluarga, masyarakat, dan panti sosial).

Program pemerintah yang sedang berjalan:

Saat ini, upaya kesehatan jiwa di Indonesia dikelola oleh Direktorat


Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA
Kementerian Kesehatan. Visinya yaitu meningkatkan pelayanan kesehatan
jiwa masyarakat yang optimal dan berkeadilan yang akan dicapai dalam kurun
2015-2019 dengan fokus utama pada kemandirian dan kemitraan masyarakat
mewujudkan jiwa yang sehat, mutu, pemerataan dan keterjangkauan
pelayanan, perhatian pada kelompok risti dan pelayanan di rumah, serta
profesionalisme tenaga kesehatan jiwa.

Direktorat Keswa Kemenkes mencanangkan Program Indonesia Bebas


Pasung. Program tersebut telah memiliki pencapaian. Sebelum program bebas

19
pasung dijalankan, hingga tahun 2009, jumlah kasus ODGJ dipasung yang
ditemukan berjumlah 213 orang dan 170 orang diantaranya dibebaskan dan
mendapat pelayanan medik. Namun sejak 2010 hingga bulan Desember 2014,
jumlah kasus ODGJ dipasung yang ditemukan menjadi 6.671 kasus dengan
5.937 kasus dibebaskan dan mendapat pengobatan medik.

Direktorat Keswa Kemenkes juga menangani gangguan


penyalahgunaan NAPZA sebagaimana menurut WHO menyatakan gangguan
penggunaan NAPZA merupakan penyakit otak kronis kambuhan yang dapat
ditanggulangi dengan berbagai program pencegahan dan pemulihan.
Gangguan ini dalam ICD-1014 disebut sebagai gangguan mental dan perilaku
akibat zat psikoaktif.

Penanganan dini bagi pengguna NAPZA diwujudkan dalam program


Wajib Lapor. Program ini mendorong pecandu agar datang mencari
pertolongan secara sukarela sehingga dapat menjalankan rehabilitasi sesuai
hasil asesmen. Harapannya, program ini dapat meningkatkan kesadaran
keluarga sehingga mampu sedini mungkin mengenali anggota keluarganya
yang terlibat masalah penggunaan NAPZA dan membawanya kepada layanan
terapi rehabilitasi.

Kebijakan yang diterapkan dalam bentuk aksi pada masyarakat tidak


hanya dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk program nasional. Beberapa
komunitas memberi perhatian dan menunjukkan kepedulian terhadap
penanganan kesehatan. Gerakan berbasis komunitas (misal Komunitas Peduli
Skizofrenia Indonesia), ketersediaan psikolog di Puskesmas (D.I.
Yogyakarta), kader kesehatan jiwa dan Desa Siaga Sehat Jiwa, pemanfaatan
teknologi (misal aplikasi kesehatan jiwa di masyarakat oleh Dirkeswa
Kemenkes RI dan Pijar Psikologi).

20
H. Upaya Pengobatan Penyakit Mental Health
Konsep upaya kesehatan mental di Indonesia yaitu kegiatan untuk
mewujudkan derajat kesehatan mental yang optimal bagi setiap individu,
keluarga dan masyarakat dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pelaksanaan upaya kesehatan jiwa berdasarkan asas keadilan,
perikemanusiaan, manfaat, transparansi, akuntabilitas, komprehensif,
perlindungan, serta non diskriminasi.
Upaya kuratif dilaksanakan melalui kegiatan pemberian pelayanan
kesehatan terhadap ODGJ yang mencakup proses diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat sehingga ODGJ dapat berfungsi secara wajar di
lingkungan keluarga, lembaga dan masyarakat. Tujuan upaya kuratif adalah
untuk penyembuhan dan pemulihan, pengurangan penderitaan, pengendalian
disabilitas, dan pengendalian gejala penyakit. Kegiatan penatalaksanaan
kondisi kejiwaan pada ODGJ dilaksanakan di fasilitas pelayanan bidang
kesehatan jiwa (Ayuningtyas dkk, 2018).
Selanjutnya upaya rehabilitatif kesehatan jiwa bertujuan untuk
mencegah dan mengendalikan disabilitas, memulihkan fungsi sosial,
memulihkan fungsi okupasional, mempersiapkan dan mempersiapkan dan
memberi kemampuan ODGJ agar mandiri di masyarakat. Upaya rehabilitatif
ini meliputi rehabilitatif psikiatrik, psikososial, serta rehabilitatif sosial (dapat
dilaksanakan dalam keluarga, masyarakat, dan panti sosial) (Ayuningtyas dkk,
2018).

Ada beberapa terapi sakit jiwa yang bisa dilakukan oleh penderita
gangguan jiwa. Dan tentu saja hal ini dilakukan oleh terapis yang memang
sudah ahli.

21
1. Psikofarmalogi
Psikofarmalogi merupakan terapi kejiwaan yang mana melibatkan
penggunaan obat-0batan di dalamnya. Sehingga untuk menangani pasien-
pasien gangguan jiwa tersebut akan diberikan terapi obat-obatan untuk
menangani gejala-gejala sakit jiwa yang ada.
Terapi ini memang cukup ampuh untuk diterapkan pada berbagai jenis
penyakit jiwa. Terapi ini biasanya memiliki tujuan agar dapat
menghilangkan gejala-gejala klinis yang muncul pada gangguan fungsi
neurotransmitter yang ada di dalam tubuh penderita. Untuk jangka waktu
pemberian obat-obatan ini pun dilakukan pada jangka waktu yang cukup
lama, dapat mencapai bulanan bahkan hingga bertahun-tahun lamanya
tergantung kondisi pasien.
2. Psikososial
Terapi ini memiliki tujuan agar penderita gangguan jiwa dapat mampu
untuk beradaptasi kembali dengan lingkungan sosial dimana dirinya tinggal
serta dapat menjaga dirinya sendiri. Terapi ini memang cukup penting bagi
penderita yang mengalami macam-macam gangguan jiwa, baik itu
gangguan kepribadian maupun gangguan mental. Hal ini akan meningkat
sisi kemandirian di dalam diri nya sendiri.
Ada banyak orang yang memiliki masalah pada kesehatan mental yang
mana jika tidak dibantu oleh orang-orang yang ada di sekitarnya
menyebabkan ketergantungan untuk penderitanya. terapi ini memang
cukup ampuh untuk menolong pasien agar tidak selalu bergantung pada
orang lain dan tidak menjadi beban bagi keluarganya sendiri. Meskipun
menjalani terapi psikososial ini namun penderita harus tetap dapat
menempuh terapi obat-obatan.
3. Psikoterapi
Psikoterapi merupakan salah satu jenis terapi dalam psikologi. Terapi
ini memang sangat dibutuhkan bagi setiap orang yang mengalami

22
gangguan pad amentalnya. Terapi ini menjaid alternatif yang sering dipilih,
tidak hanya mengatasi pada kejiwaaan seseorang namun juga memulihkan
kondisi mental penderitanya. Ada beberapa metode psikoterapi yang bisa
dipilih berdasarkan pada kebutuhan dan kondisi pasien.
 Terapi Psikodinamik
Terapi ini merupakan jenis terapi psikoterapi yang mana
menggunakan metode berbicara terbuka antara pasien dan terapis.
Pada metode ini pasien akan dibuat senyaman mungkin sehingga dapat
mengobrol secara terbuka kepada terapis. Setelah terasa nyaman
barulah pasien dapat mengurakan isi hati dan pikirannya tanpa ada
gangguan yang berasal dari luar.
Saat pasien merasa nyaman tentunya proses mengutarakan
pikirannya akan berjalan dengan lancar, biasanya pola perilaku dari
pasien akan mudah terlihat secara tidak sadar saat berlangsungnya
terap ini. Dari sanalah kemudian terapis dapat menyimpulkan
mengenai sumber dan penyebab dari masalah pasien. Setelah
penyebab dapat terdeteksi kemudian terapis akan melakukan beragam
pengubahan-pengubahan yang berkaitan tentang perilaku abnormal
dari pasien.
 Terapi Perilaku Dialektik
Terapi perilaku dialektik memiliki tujuan untuk bisa menolong
penderita gangguan jiwa yang memiliki tanda-tanda depresi dan
berperilaku aneh. Dengan adanya terapi ini maka terapi skana
mencoba untuk bisa mendalami pikiran serta perilaku yang ekstrim
dari pasien tersebut. Setelah itu lah baru terapis akan mencoba untuk
mengajarkan kepada pasien untuk bisa mengembangkan kemampuan
pada interpersonalnya dengan cara meniru sehingga pasien dapat
berperilaku normal kembali.

23
 Terapi perilaku kognitif
Solusi lainnya adalah melalui terapi perilaku kognitif. Terapi ini
juga dibutuhkan dengan menyesuaikan kondisi dari pasien. Melalui
terapi ini nantinya pola pikir pasien yang berkonteks negatif dapat
berubah menjadi positif. Dari sanalah kemudian perilaku pasien bisa
berubah menjadi lebih baik lagi bahkan tidak kambuh kembali.
Terapi ini tidak terlalu rumit dan sangat praktis, namun sangat
membutuhkan kerja sama yang baik antara terapis dan pasien. Terapi
perlu mengamati dan kemudian membuat evaluasi mengenai perilaku
pasien yang mana berdasarkan pada tugas yang sudah tersedia.
Biasanya penderita yang memiliki gangguan mood, fobia, anoreksia,
dan sejenisnya adalah yang paling cocok untuk mengikuti terapi ini.
Biasanya ini berjalan hingga dalam jangka waktu 7 bulan lamanya.
 Terapi Interpersonal
Jenis terapi ini adalah solusi yang tepat bagi penderita depresi
yang diakibatkan karena masalah interaksi sosialnya dengan orang
lain. Kelainan yang terjadi dalam berinteraksi biasanya akan dibedah
dalam proses terapi ini. Mulai dari apa yang menjadi penyebabnya
hingga bagaimana cara menyembuhkannya untuk bisa kembali
normal. Biasanya terapi perlu dilakukan hingga dalam jangka waktu
20 minggu lamanya. Terapi ini nantinya dapat membantu pasien dalam
mningkatkan kemampuan interpersonalnya.
4. Rehabilitasi
Program rehabilitasi masih termasuk di dalam pengobatan sakit jiwa
yang penting dilakukan. Cara ini dilakukan oleh institusi ataupun lembaga
rehabilitasi pad asebuah rumah sakit jiwa. Ada beragam kegiatan yang
dirancang pada program terapi ini, misalnya saja pada terapi kelompok

24
yang memiliki tujuan agar penderita dapat terbebas dari depresi maupun
stress.
Terapi kelompok ini juga nantinya akan bertujuan untuk bisa membuat
pasien memahami tentang penyebab stress yang dideritanya dan kemudian
dapat diatasi dengan cara yang lebih baik. Biasanya terapi kelompok ini
melalui kegiatan kegiatan seperti kesenian, keagamaan, rekresasi,
ketrampilan, kursus-kursus tertent yang diterapkan kepada pasien. Terapi
ini berlangsung setidaknya 3-6 bulan dengan sesi evaluasi minimal 2 kali,
yaitu pada saat sebelum pasien berpartisipasi mengikuti program dan pasca
pasien akan hendak dikembalikan pada keluarga dan masyarakat. Pada
program rehabilitasi ini, dukungan keluarga menjadi hal yang cukup
penting agar mempercepat proses pemulihhan pasien.
5. Terapi Psikoreligius
Sesuai dengan namanya, terapi ini memang berkaitan dengan ritual
keagamaan, mulai dari berdoa, sembahyang, melakukan puji-pujian kepada
Pencipta, ceramah keagamaan, kajian kitab suci, dan masih banyak lainnya.
Pengalaman spritual inilah yang kemudian dibutuhkan oleh pasien yang
menderita gangguan mental. Bisa dipercaya atau tidak, terapi ini akan
membuat pikiran penderita merasa lebih dekat dengan ilahi nantinya.

25
BAB III
IDE INOVATIF UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT

 Belajar menerima suatu masalah yang sulit diatasi atau hal-hal yang tidak
dapat diubah.
 Selalu berpikir positif dan memandang bahwa segala sesuatu yang terjadi di
dalam hidup ada hikmahnya.
 Meminta saran dari orang terpercaya untuk mengatasi masalah yang sedang
dialami.
 Belajar mengendalikan diri dan selalu aktif dalam mencari solusi.
 Melakukan aktivitas fisik, meditasi, atau teknik relaksasi guna meredakan
ketegangan emosi dan menjernihkan pikiran.
 Melakukan hal-hal baru yang menantang dan lain dari biasanya guna
meningkatkan rasa percaya diri.
 Menyisihkan waktu untuk melakukan hal-hal yang disukai.
 Melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk membantu orang lain.
Cara ini dapat membuat seseorang lebih tabah dalam menghadapi masalah,
terutama jika bisa membantu seseorang yang memiliki masalah lebih berat
dari yang dialaminya.
 Menghindari cara-cara negatif untuk meredakan stres, misalnya merokok,
mengonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan, atau menggunakan
narkoba.
 Bekerja dengan mengedepankan kualitas bukan kuantitas, agar manajemen
waktu lebih baik dan hidup juga lebih seimbang.

26
DAFTAR PUSTAKA

Ayuningtyas,D., Misnaniarti, Rayhani,M., 2018. Analisis Situasi Kesehatan Mental


Pada Masyarakat Di Indonesia Dan Strategi Penanggulangannya. Jurnal Ilmu
Kesehatan Masyarakat, 9(1) :1-10.

Ayuningtyas, Dumilah .,dkk. 2018. Analisis situasi kesehatan mental pada


masyarakat di Indonesia dan strategi penanggulangannya. Jurnal Ilmu
Kesehatan Masyarakat,, 9(1)

Hothasian, J. M., Suryawati, C., Fatmasari, E. Y., 2019. Evaluasi Pelaksanaan


Program Upaya Kesehatan Jiwa di Puskesmas Bandarharjo Kota Semarang
Tahun 2018. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 7 (1), hal. 75-83.

Suyoko (2012) Faktor-faktor Risiko yang Berhubungan dengan Gangguan Mental


Emosional pada Lansia di Jakarta (Analisis data riskesdas 2007).
Skripsi.Universitas Indonesia.

27

Anda mungkin juga menyukai