Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN

SEHAT MENTAL LANJUT USIA

OLEH :
KELOMPOK 5
Kelas : A.12-B

NAMA KELOMPOK :

1. Ni Kadek Ayu Mirnayanti 18.321.2878


2. Ni Luh Putu Dita Puspita Sari 18.321.2896

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2020
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur yang tiada terhingga penulis haturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), karena atas rahmat dan karunia-Nya, karya tulis yang
berjudul “asuhan keperawatan sehat mental lanjut usia
” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Karya tulis ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kesehatan
Jiwa I, dalam menempuh Pendidikan Program Studi S1 Keperawatan, Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Wira Medika Bali pada semester genap tahun 2020, yang diampu oleh Ibu Desak
Made Ari Dwi Jayanti, S.Kep., Ns., M.Fis.
Dalam keberhasilan penyusunan karya tulis ini, tentunya tidak luput dari bantuan
beberapa pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan karya tulis ini.
Penulis menyadari bahwa, karya tulis ini masih jauh dari yang sempurna. Oleh
kerena itu, segala kritik dan saran perbaikan sangat diharapkan demi karya-karya penulis
berikutnya. Semoga karya tulis ini ada manfaatnya.

Denpasar, 9 Maret 2020

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................. 2
1.4 Manfaat Penulisan ................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Lansia................................................................................... 3
2.2 Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Perubahan Fungsi Lansia.............. 3
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa Lansia……........... 5
2.4 Masalah Kesehatan Lansia..................................................................... 6
2.5 Penyakit Psikiatri.................................................................................... 7
2.6 Pendekatan Perawatan Lansia................................................................ 9
2.7 Asuhan Keperawatan Jiwa pada Lansia.................................................11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................................24
3.2 Saran.......................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penuaan adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Walaupun proses penuaan
benar adanya dan merupakan sesuatu yang normal, tetapi pada kenyataannya proses in
menjadi beban bagi orang lain dibandingkan dengan proses lain yang terjadi. Perawat
yang akan merawat lansia harus mengerti sesuatu tentang aspek penuaan yang normal
dan tidak normal.
Pelayanan/asuhan keperawatan gangguan mental pada lanjut usia memerlukan
pengetahuan khusus karena kemungkinan perbedaan dalam manifestasi klinis,
ptogenesis, dan patofisiologi gangguan mental antara dewasa muda dan lanjut usia.
Faktor penyulit pada pasien lanjut usia juga perlu dipertimbangkan. Faktor – faktor
tersebut adalah sering adanya penyakit dan kecacatan medis penyerta, pemakaian banyak
medikasi, dan peningkatan kerentanan terhadap gannguan kognitif.
Program Epidemiologikal Catchment Area (ECA) dari National Institute of Mental
Healt telah menemukan bahwa gangguan mental yang paling sering pada lanjut usia
adalah gangguan depresif, gangguan kognitif, dan fobia. Lanjut usia juga memiliki resiko
tinggi untuk bunuh diri dan gejala psikiatrik akibat obat. Banyak gangguan mental pada
lanjut usia dapat dicegah, dihilangkan, atau bahkan dipulihkan. Sejumlah faktor
resikopsikososial juga dapat mempredisposisiskan lanjut usia kepada gangguan mental.
Faktor resiko tersebut adalah ilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian
teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi, keterbatasan
finansial, dan penurunan fungsi kognitif.
Saat ini udah dapat diperkirakan bahwa 4 juta lansia di Amerika mengalami
gangguan kejiwaan seperti demensia, psikosis, atau kondisi lainnya. Hal ini
menyebabkan perawat dan tenaga kesehatan profesional yang lai memiliki tanggung
jawab yang lebih untuk merawat Lansia dengan masalah kesehatan jiwa dan emosi.
Kesehatan mentl padaLansia dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti status fisiologi dan
psikologi, kepribadian, sosial support, sosial ekonomi dan pola hidup.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Lansia?
2. Apa saja aspek-Aspek yang Mempengaruhi Perubahan Fungsi Lansia?
3. Apa saja faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa Lansia?
4. Apa saja masalah Kesehatan Lansia?
5. Apa saja macam-macam penyakit Psikiatris?
6. Bagaimana pendekatan Perawatan Lansia?
7. Bagaimana Asuhan Keperawatan Jiwa pada Lansia?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Lansia
2. Untuk mengetahui aspek-Aspek yang Mempengaruhi Perubahan Fungsi Lansia
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa Lansia
4. Untuk mengetahui apa saja masalah Kesehatan Lansia
5. Untuk mengetahui apa saja macam-macam penyakit Psikiatris
6. Untuk mengetahui bagaimana pendekatan perawatan lansia
7. Untuk mengetahui bagaimana Asuhan Keperawatan Jiwa pada Lansia

1.4 Manfaat Penulisan


1. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang Asuhan Keperawatan gangguan jiwa
pada Lansia
2 Memudahkan kita dalam memberikan perawatan pada Lansia yang mengalami
gangguan jiwa.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Lansia adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti died dan mempertahankan struktur dan
fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakan yang diderita.
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan
kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain.
Keadaan itu cenderung berpotensi  menimbulkan masalah kesehatan secara umum
maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia. Lansia adalah seseorang yang
lebihdari 75 tahun.
Penuaan adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Walaupun proses
penuaan benar adanya dan merupakan sesuatu yang normal, tetapi pada kenyataannya
proses ini menjadi beban bagi orang lain dibadingkan dengan proses lain yang terjadi.
Perawat yang akan merawat lansia harus mengerti sesuatu tentang aspek penuaan
yang normal dan tidak normal

2.2 Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Perubahan Fungsi Lansia


Masalah kesehatan mental pada lansia dapat berasal dari 4 aspek yaitu fisik,
psikologik, sosial dan ekonomi. Masalah tersebut dapat berupa emosi tidak labil,
mudah tersinggung, gampang merasa dilecehkan, kecewa, tidak bahagia, perasaan
kehilangan, dan tidak berguna. Lansia dengan problem tersebut menjadi rentan
mengalami gangguan psikiatrik seperti depresi, ansietas (kecemasan), psikosis
(kegilaan) atau kecanduan obat. Pada umumnya masalah kesehatan mental lansia
adalah masalah penyesuaian. Penyesuaian tersebut karena adanya perubahan dari
keadaan sebelumnya (fisik masih kuat, bekerja dan berpenghasilan) menjadi
kemunduran.
Aspek psikologi merupakan faktor penting dalam kehidupan seseorang dan
menjadi semakin penting dalam kehidupan seorang lansia. Aspek psikologis ini lebih
menonjol daripada aspek materiil dalam kehidupan seorang lansia. Pada umumnya,

3
lansia mengharapkan: panjang umur, semangat hidup, tetap berperan sosial,
dihormati, mempertahankan hak dan hartanya, tetap berwibawa, kematian dalam
ketenangan dan diterima di sisi-Nya, dan masuk surga. Keinginan untuk lebih dekat
kepada Allah merupakan kebutuhan lansia. Proses menua yang tidak sesuai dengan
harapan tersebut, dirasakan sebagai beban mental yang cukup berat.
Aspek sosial yang terjadi pada individu lanjut usia, meliputi kematian
pasangan hidupnya/teman-temannya, perubahan peran seorang ayah/ibu menjadi
seorang kakek/nenek, perubahan dalam hubungan dengan anak karena sudah harus
memerhitungkan anak sebagai individu dewasa yang dianggap sebagai teman untuk
dimintai pendapat dan pertolongan, perubahan peran dari seorang pekerja menjadi
pensiunan yang sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah. 
Aspek ekonomi berkaitan dengan status sosial dan prestise. Dalam masyarakat
sebagai seorang pensiunan, perubahan pendapatan karena hidupnya tergantung dari
tunjangan pensiunan. Kondisi-kondisi khas yang berupa penurunan kemampuan ini
akan memunculkan gejala umum pada individu lanjut usia, yaitu “perasaan takut
menjadi tua.”
Pada umumnya, perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan
ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua,
namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering
diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status,
dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari
model kepribadiannya dan sangat tergantung pada sikap mental individu dalam
menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada yang menerima, ada yang takut
kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang
seolah-olah pasrah terhadap pensiun.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa aspek mental yang ada pada diri
manusia adalah aspek-aspek yang dapat menentukan sifat dan karakteristik manusia
itu sendiri. Perbuatan dan tingkah laku manusia sangat ditentukan oleh keadaan
jiwanya yang merupaka motor penggerak suatu perbuatan. Oleh sebab itu aspek-aspek
mental tersebut bisa manusia kendalikan melalui proses pendidikan.

4
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa Lansia
Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia.
Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat
menikmati hari tua mereka dengan bahagia.
Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat mempengaruhi
kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:
1. Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya
kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya
tenaga berkurang, enerji menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang
makin rapuh, dan sebagainya. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah
memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua
dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun
sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan
kepada orang lain. Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik
yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi
psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk
mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia harus
mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan
bekerja secara seimbang.
2. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan
dengan berbagai gangguan fisik seperti : Gangguan jantung, gangguan
metabolisme, misal diabetes millitus, vaginitis, baru selesai operasi : misalnya
prostatektomi, kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu
makan sangat kurang, penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi,
golongan steroid, tranquilizer.
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :
a. Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia
b. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh
tradisi dan budaya.
c. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.

5
d. Pasangan hidup telah meninggal.
e. Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa
lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dan sebagainya.

3. Perubahan Aspek Psikososial


Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan
fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,
pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan
perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif)
meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan,
tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami
perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia.
4. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan
ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari
tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun
sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran,
kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih
tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga
di atas.

2.4 Masalah Kesehatan Lansia


Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah kesehatan yang
dibahas pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang merupakan bagian dari
Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi
aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain (Depkes.RI, 2014)
Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari masalah kesehatan
pada lansia yang menyangkut aspek promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta
psikososial yang menyertai kehidupan lansia. Sementara Psikogeriatri adalah cabang
ilmu kedokteran jiwa yang mempelajari masalah kesehatan jiwa pada lansia yang
menyangkut aspek promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta psikososial yang
menyertai kehidupan lansia.

6
Ada 4 ciri yang dapat dikategorikan sebagai pasien Geriatri dan Psikogeriatri,
yaitu :
1. Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin meningkatnya usia
2. Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degeneratif
3. Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila :
Ketergantungan pada orang lain (sangat memerlukan pelayanan orang lain).
Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan karena berbagai
sebab, diantaranya setelah menajalani masa pensiun, setelah sakit cukup berat dan
lama, setelah kematian pasangan hidup dan lain-lain.
4. Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis) sehingga
membawa lansia kearah kerusakan / kemerosotan (deteriorisasi) yang progresif
terutama aspek psikologis yang mendadak, misalnya bingung, panik, depresif,
apatis dan sebagainya. Hal itu biasanya bersumber dari munculnya stressor
psikososial yang paling berat, misalnya kematian pasangan hidup, kematian sanak
keluarga dekat, terpaksa berurusan dengan penegak hukum, atau trauma psikis.

2.5 Penyakit Psikiatris


Gangguan yang paling banyak diderita adalah gangguan depresi, demensia,
fobia, insomnia, paranoid dan gangguan terkait penggunaan alkohol. Lansia dengan
usia di atas 75 tahun juga beresiko tinggi melakukan bunuh diri. Banyak gangguan
mental pada lansia dapat dicegah, diperbaiki, bahkan dipulihkan.
1. Gangguan demensia
Faktor resiko demensia yang sudah diketahui adalah usia, riwayat keluarga, dan
jenis kelamin wanita. Perubahan khas pada demensia terjadi pada kognisi,
memori, bahasa, dan kemampuan visuospasial, tapi gangguan perilaku juga sering
ditemui, termasuk agitasi, restlessness, wandering, kemarahan, kekerasan, suka
berteriak, impulsif, gangguan tidur, dan waham.
2. Gangguan depresi
Gejala yang sering muncul pada gangguan depresif adalah menurunnya
konsentrasi dan fisik, gangguan tidur (khususnya bangun pagi terlalu cepat dan
sering terbangun [multiple awakenings]), nafsu makan menurun, penurunan berat
badan, dan masalah-masalah pada tubuh.

7
3. Gangguan kecemasan
Termasuk gangguan panik, ketakutan (fobia), gangguan obsesif-kompulsif,
gangguan kecemasan yang menyeluruh, gangguan stres akut, dan gangguan stres
pasca trauma.
Tanda dan gejala ketakutan (fobia) pada lansia tidak seberat daripada yang lebih
muda, tetapi efeknya sama. Gangguan kecemasan mulai muncul pada masa remaja
awal atau pertengahan, tetapi beberapa dapat muncul pertama kali setelah usia 60
tahun.
Pengobatan harus disesuaikan dengan penderita dan harus diperhitungkan
pengaruh biopsikososial yang menghasilkan gangguan. Farmakoterapi dan
psikoterapi dibutuhkan.
4. Gangguan insomnia
Kebiasaan atau pola tidur lansia dapat berubah, yang terkadang dapat
mengganggu kenyamanan anggota keluarga lain yang tinggal serumah. Perubahan
pola tidur dapat berubah tiak bisa tidur sepanjang malam dan sering terbangun
pada malam hari, sehingga lansia melakukan kegiatannya pada malam hari.
Penyebab insomnia pada lansia:
a. Kurangnya kegiatan fisik dan mental sepanjang hari sehingga mereka masih
semangat sepanjang malam
b. Tertidur sebentar-sebentar sepanjang hari
c. Gangguan cemas dan depresi
d. Tempat tidur dan suasana kamar kurang nyaman
e. Sering berkemih pada waktu malam karena banyak minum pada malam hari
f. Infeksi saluran kemih
5. Gangguan paranoid
Lansia terkadang merasa bahwa ada orang yang mengancam mereka,
membicarakan, serta berkomplot ingin melukai atau mencuri barang miliknya
Gejala Paranoid:
a. Perasaan curiga dan memusuhi anggota keluarga, teman-teman, atau orang-
orang di sekelilingnya
b. Lupa akan barang-barang yang disimpannya kemudian menuduh orang-orang
di sekelilingnya mencuri atau menyembunyikan barang miliknya

8
c. Paranoid dapat merupakan manifestasi dari masalah lain, seperti depresi dan
rasa marah yang ditahan
d. Tindakan yang dapat dilakukan pada lansia dengan paranoid adalah
memberikan rasa aman dan mengurangi rasa curiga dengan memberikan alas
an yang jelas dalam setiap kegiatan. Konsultasikan dengan dokter bila gejala
bertambah berat.

2.6 Pendekatan Perawatan Lansia


Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lanjut usia sangat
perlu ditekankan pendekatan yang dapat mencakup sehat fisik, psikologis, spiritual
dan sosial. Hal tersebut karena pendekatan dari satu aspek saja tidak akan menunjang
pelayanan kesehatan pada lanjut usia yang membutuhkan suatu pelayanan yang
komprehensif. Pendekatan inilah yang dalam bidang kesehatan jiwa (mental health)
disebut pendekatan eklektik holistik, yaitu suatu pendekatan yang tidak tertuju pada
pasien semata-mata, akan tetapi juga mencakup aspek psikososial dan lingkungan
yang menyertainya. Pendekatan Holistik adalah pendekatan yang menggunakan
semua upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan lanjut usia, secara utuh dan
menyeluruh.
1. Pendekatan fisik
Perawat mempunyai peranan penting untuk mencegah terjadinya cedera sehingga
diharapkan melakukan pendekatan fisik, seperti berdiri disamping klien,
menghilangkan sumber bahaya dilingkungan, memberikan perhatian dan
sentuhan, bantu klien menemukan hal yang salah dalam penempatannya,
memberikan label gambar atau hal yang diinginkan klien.
2. Pendekatan psikologis
Disini perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan
edukatif pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter,
interpreter terhadap segala sesuatu yang asing, sebagai penampung rahasia yang
pribadi dan sebagai sahabat yang akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran
dan ketelitian dalam memberikan kesempatan dan waktu yang cukup banyak
untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para lanjut usia merasa puas.
Perawat harus selalu memegang prinsip “Tripple”, yaitu sabar, simpatik dan

9
service. Hal itu perlu dilakukan karena perubahan psikologi terjadi karena
bersama dengan semakin lanjutnya usia. Perubahan-perubahan ini meliputi gejala-
gejala, seperti menurunnya daya ingat untuk peristiwa yang baru terjadi,
berkurangnya kegairahan atau keinginan, peningkatan kewaspadaan, perubahan
pola tidur dengan suatu kecenderungan untuk tiduran diwaktu siang, dan
pergeseran libido. Perawat harus sabar mendengarkan cerita dari masa lampau
yang membosankan, jangan menertawakan atau memarahi klien lanjut usia bila
lupa melakukan kesalahan . Harus diingat kemunduran ingatan jangan
dimanfaatkan untuk tujuan tertentu. Bila perawat ingin merubah tingkah laku dan
pandangan mereka terhadap kesehatan, perawat bila melakukannya secara
perlahan –lahan dan bertahap, perawat harus dapat mendukung mental mereka
kearah pemuasan pribadi sehinga seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak
menambah beban, bila perlu diusahakan agar di masa lanjut usia ini mereka puas
dan bahagia.
3. Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam hubungan
lansia dengan Tuhan atau agama yang dianutnya dalam keadaan sakit atau
mendeteksi kematian. Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut
usia yang menghadapi kematian. Seorang dokter mengemukakan bahwa maut
sering kali menggugah rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh berbagai
macam faktor, seperti ketidakpastian akan pengalaman selanjutnya, adanya rasa
sakit dan kegelisahan kumpul lagi dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Dalam menghadapi kematian setiap klien lanjut usia akan memberikan reaksi
yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara dalam mengahadapi hidup ini.
Adapun kegelisahan yang timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga, perawat
harus dapat meyakinkan lanjut usia bahwa kalaupun keluarga tadi ditinggalkan ,
masih ada orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu
menghantui pikiran lanjut usia.
4. Pendekatan social
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu upaya
perawat dalam pendekatan social. Memberi kesempatan untuk berkumpul bersama
dengan sesama klien usia berarti menciptakan sosialisasi mereka. Jadi pendekatan
social ini merupakan suatu pegangan bagi perawat bahwa orang yang dihadapinya

10
adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Penyakit memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada para lanjut usia untuk mengadakan
konunikasi dan melakukan rekreasi, misal jalan pagi, nonton film, atau hiburan
lain. Tidak sedikit klien tidak tidur terasa, stress memikirkan penyakitnya, biaya
hidup, keluarga yang dirumah sehingga menimbulkan kekecewaan, ketakutan atau
kekhawatiran, dan rasa kecemasan. Tidak jarang terjadi pertengkaran dan
perkelahian diantara lanjut usia, hal ini dapat diatasi dengan berbagai cara yaitu
mengadakan hak dan kewajiban bersama. Dengan demikian perawat tetap
mempunyai hubungan komunikasi baik sesama mereka maupun terhadap petugas
yang secara langsung berkaitan dengan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut
usia.

2.7 Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Lnasia


1. Pengkajian Pasien Lansia
Pengkajian pasien lansia menyangkut beberapa aspek yaitu biologis,
psikologis, dan sosiokultural yang beruhubungan dengan proses penuaan yang
terkadang membuat kesulitan dalam mengidentifikasi masalah keperawatan.
Pengkajian perawatan total dapat mengidentifikasi gangguan primer. Diagnosa
keperawatan didasarkan pada hasil observasi pada perilaku pasien dan
berhubungan dengan kebutuhan.
a. Wawancara
Dalam wawancara ini meliputi riwayat: pernah mengalami perubahan fungsi
mental sebelumnya?. Kaji adanya demensia, dengan alat-alat yang sudah
distandardisasi (Mini Mental Status Exam (MMSE)).
Hubungan yang penuh dengan dukungan dan rasa percaya sangat penting
untuk wawancara yang positif kepada pasien lansia. Lansia mungkin merasa
kesulitan, merasa terancam dan bingung di tempat yang baru atau dengan
tekanan. Lingkungan yang nyaman akan membantu pasien tenang dan focus
terhadap pembicaraan.
b. Keterampilan Komunikasi Terapeutik
Perawat membuka wawancara dengan memperkenalkan diri dan menjelaskan
tujuan dan lama wawancara. Berikan waktu yang cukup kepada pasien untuk
menjawab, berkaitan dengan pemunduran kemampuan untuk merespon verbal.

11
Gunakan kata-kata yang tidak asing bagi klien sesuai dengan latar belakang
sosiokulturalnya. Gunakan pertanyaan yang pendek dan jelas karena pasien
lansia kesulitan dalam berfikir abstrak. Perawat dapat memperlihatkan
dukungan dan perhatian dengan memberikan respon nonverbal seperti kontak
mata secara langsung, duduk dan menyentuk pasien.
Melihat kembali kehidupan sebelumnya merupakan sumber data yang baik
untuk mengidentifikasi masalah kesehatan pasien dan sumber dukungan.
Perawat harus cermat dalam mengidentifikasi tanda-tanda kepribadian pasien
dan distress yang ada. Perawat tidak boleh berasumsi bahwa pasien
memahami tujuan atau protocol wawancara pengkajian. Hal ini dapat
meningkatkan kecemasan dan stres pasien karena kekurangan informasi.
Perawat harus memperhatikan respon pasien dengan mendengarkan dengan
cermat dan tetap mengobservasi.
c. Setting wawancara
Tempat yang baru dan asing akan membuat pasien merasa cemas dan takut.
Lingkungan harus dibuat nyaman. Kursi harus dibuat senyaman mungkin.
Lingkuangan harus dimodifikasi sesuai dengan kondisi lansia yang sensitif
terhadap suara berfrekuensi tinggi atau perubahan kemampuan penglihatan.
Data yang dihasilkan dari wawancara pengkajian harus dievaluasi dengan
cermat. Perawat harus mengkonsultasikan hasil wawancara kepada keluarga
pasien atau orang lain yang sangat mengenal pasien. Perawat harus
memperhatikan kondisi fisik pasien pada waktu wawancara dan faktor lain
yang dapat mempengaruhi status, seperti pengobatan media, nutrisi atau
tingkat cemas.
d. Fungsi Kognitif
Status mental menjadi bagian dari pengkajian kesehatan jiwa lansia karena
beberapa hal termasuk :
 Peningkatan prevalensi demensia dengan usia.
 Adanya gejala klinik confusion dan depresi.
 Frekuensi adanya masalah kesehatan fisik dengan confusion.
 Kebutuhan untuk mengidentifikasi area khusus kekuatan dan keterbatasan
kognitif .

12
e. Status Afektif
Status afektif merupakan pengkajian geropsikiatrik yang penting. Kebutuhan
termasuk skala depresi. Seseorang yang sedang sakit, khususnya pada leher,
kepala, punggung atau perut dengan sejarah penyebab fisik. Gejala lain pada
lansia termasuk kehilangan berat badan, paranoia, kelelahan, distress
gastrointestinal dan menolak untuk makan atau minum dengan konsekuensi
perawatan selama kehidupan.
Sakit fisik dapat menyebabkan depresi sekunder. Beberapa penyakit yang
berhubungan dengan depresi diantaranya gangguan tiroid, kanker, khususnya
kanker lambung, pancreas, dan otak, penyakit Parkinson, dan stroke. Beberapa
pengobatan da[at meningkatkan angka kejadian depresi, termasuk steroid,
Phenothiazines, benzodiazepines, dan antihypertensive. Skala Depresi Lansia
merupakan ukuran yang sangat reliable dan valid untuk mengukur depresi.

f. Respon Perilaku
Pengkajian perilaku merupakan dasar yang paling penting dalam perencanaan
keperawatan pada lansia. Perubahan perilaku merupakan gejala pertama dalam
beberapa gangguan fisik dan mental. Jika mungkin, pengkajian harus
dilengkapi dengan kondisi lingkungan rumah. Hal ini menjadi modal pada
faktor lingkungan yang dapat mengurangi kecemasan pada lansia.
Pengkajian tingkah laku termasuk kedalam mendefinisikan tingkah laku,
frekuensinya, durasi, dan faktor presipitasi atau triggers. Ketika terjadi
perubahan perilaku, ini sangat penting untuk dianalisis.
g. Kemampuan fungsional
Pengkajian fungsional pada pasien lansia bukan batasan indokator dalam
kesehatan jiwa. Dibawah ini merupakan aspek-aspek dalam pengkajian
fungsional yang memiliki dampak kuat pada status jiwa dan emosi.
h. Mobilisasi
Pergerakan dan kebebasan sangat penting untuk persepsi kesehatan pribadi
lansia. Hal yang harus dikaji adalah kemampuan lansia untuk berpindah di
lingkungan, partisipasi dalam aktifitas penting, dan mamalihara hubungan
dengan orang lain. Dalam mengkaji ambulasi , perawat harus mengidentifikasi

13
adanya kehilangan fungsi motorik, adaptasi yang dilakukan, serta jumlah dan
tipe pertolongan yang dibutuhkan. Kemampuan fungsi
i. Activities of Daily Living
Pengkajian kebutuhan perawatan diri sehari-hari (ADL) sangat penting dalam
menentukan kemampuan pasien untuk bebas. ADL ( mandi, berpakaian,
makan, hubungan seksual, dan aktifitas toilet) merupakan tugas dasar. Hal ini
sangat penting dalam untuk membantu pasien untuk mandiri sebagaimana
penampilan pasien dalam menjalankan ADL.
j. The Katz Indeks
Angka Katz indeks dependen dibandingkan dengan independen untuk setiap
ADL seperti mandi, berpakaian, toileting, berpindah tempat , dan makan.
Salah satu keuntungan dari alat ini adalah kemampuan untuk mengukur
perubahan fungsi ADL setiap waktu, yang diakhiri evaluasi dan aktivitas
rehabilisasi.
k. Fungsi Fisiologis
Pengkajian kesehatan fisik sangat penting pada pasien lansia karena interaksi
dari beberapa kondisi kronis, adanya deficit sensori, dan frekuensi tingkah
laku dalam masalah kesehatan jiwa. Prosedur diagnostic yang dilakukan
diantaranya EEG, lumbal; funksi, nilai kimia darah, CT Scan dan MRI. Selain
itu, nutrisi dan pengobatan medis juga harus dikaji.
1. Nutrisi
Beberapa pasien lansia membutuhkan bantuan untuk makan atau rencana
nutrisi diet. Pasien lansia yang memiliki masalah psikososial memiliki
kebutuhan pertolongan dalam makan dan monitor makan. Perawat harus
secara rutin mengevaluasi kebutuhan diet pasien. Pengkajian nutrisi harus
dikaji lebih dalam secara perseorangan termasuk pola makan rutin, waktu
dalam sehari untuk makan, ukuran porsi, makanan kesukaan dan yang
tidak disukai.
2. Pengobatan Medis
Empat faktor lansia yang beresiko untuk keracunan obat dan harus dikaji
yaitu usia, polifarmasi, komplikasi pengobatan, komorbiditas.
3. Penyalahgunaan Bahan-bahan Berbahaya

14
Seorang lansia yang memiliki sejarah penyalahgunaan alcohol dan zat-zat
berbahaya beresiko mengalami peningkatan kecemasan dan gangguan
kesehatan lainnya apabila mengalami kehilangan dan perubahan peran
yang signifikan. Penyalahgunaan alcohol dan zat-zat berbahaya lainnya
oleh seseorang akan menyebabkan jarak dari rasa sakit seperti kehilangan
dan kesepian.
4. Dukungan Sosial
Dukungan positif sangat penting untuk memelihara perasaan sejahtera
sepanjang kehidupan, khususnya untuk pasien lansia. Latar belakang
budaya pasien merupakan faktor yang sangat penting dalam
mengidentifikasi support system. Perawat harus mengkaji dukungan sosial
pasien yang ada di lingkungan rumah, rumah sakit, atau di tempat
pelayanan kesehatan lainnya. Keluarga dan teman dapat membantu dalam
mengurangi shock dan stres di rumah sakit.
5. Interaksi Pasien- Keluarga
Peningkatan harapan hidup, penurunan angka kelahiran, dan tingginya
harapan hidup untuk semua wanita yang berakibat pada kemampuan
keluarga untuk berpartisipasi dalam pemberian perawatan dan dukungan
kepada lansia. Kebanyakan lansia memiliki waktu yang terbatas untuk
berhubungan dengn anaknya. Masalah perilaku pada lansia kemungkinan
hasil dari ketiakmampuan keluarga untuk menerima kehilangan dan
peningkatan kemandirian pada anggota keluarga yang sudah dewasa.

Diagnosa Keperawatan
a Gangguan pola tidur b.d ansietas
b Gangguan proses pikir berhubungan dengan kehilangan memori, degenerasi
neuron irreversible.
c Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis daan kognitif.
d Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi, transmisi
dan atau integrasi sensori ( defisit neurologist).
e Kurang perawatan diri : hygiene nutrisi, dan atau toileting berhubungan
dengan ketergantungan fisiologis dan atau psikologis.

15
f Potensial terhadap ketidakefektifan koping keluarga berhubungan dengan
pengaruh penyimpangan jangka panjang dari proses penyakit

Intervensi Keperawatan
a Gangguan pola tidur b.d ansietas.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kunjungan klien memiliki pola tidur
yang teratur.
Kriteria Hasil:
 Klien mampu memahami factor penyebab gangguan pola tidur.
 Klien mampu menentukan penyebab tidur inadekuat.
 Klien mampu memahami rencana khusus untuk menangani atau
mengoreksi penyebab tidur tidak adekuat.
 Klien mampu menciptakan pola tidur yang adekuat dengan penurunan
terhadap pikiran yang melayang-layang (melamun).
 Klien tampak atau melaporkan dapat beristirahat yang cukup.
Intervensi :
1. Jangan menganjurkan klien untuk tidur siang apabila berakibat efek
negative terhadap tidur pada malam hari.
Rasional: irama sikardian (siklus tidur bangun) yang tersinkronisasi
disebabkan oleh tidur siang yang singkat.
2. Evaluasi efek obat klien yang mengganggu tidur.
Rasional: derangement psikis terjadi bila terdapat penggunaan
kortikosteroid termasuik perubahan mood, insomnia.
3. Tentukan kebiasaan dan rutinitas waktu tidur malam dengan kebiasaan
klien (member susu hangat).
Rasional: mengubah pola yang sudah terbiasa dari asupan makan klien
pada malam hari terbukti mengganggu tidur.
4. Berikan lingkungan yang nyaman untuk meningkatkan tidur.
Rasional: hambatan kortikal pada formasi retikuler akan berkurang selama
tidur, meningkatkan respon otomatik, karenanya respon kardiovaskuler
terhadap suara meningkat selama tidur.

16
5. Buat jadwal intervensi untuk memungkinkan waktu tidur lebih lama.
Rasional: gangguan tidur terjadi dengan seringnya tidur dan mengganggu
pemulihan sehubungan dengan gangguan psikologis dan fisiologis,
sehingga irama sikardian terganggu.
6. Berikan makanan kecil sore hari, susu hangat, mandi, dan massage
punggung.
Rasional: meningkatkan relaksasi dengan perasaan mengantuk.
7. Putarkan music yang lembut atau “suara yang jernih”.
Rasional: menurunkan stimulasi sensori dengan menghambat suara lain
dari lingkungan sekitar yang akan menggaggu tidur.
8. Berikan obat sesuai indikasi seperti amitriptilin.
Rasional: Efektik menangani pseudodemensia atau depresi menigkatkan
kemampuan untuk ttidur, tetapi antikolinergik dapat mencetuskan bingung,
memperburuk kognitif an efek samping hipertensi ortostatik.

b. Gangguan proses pikir berhubungan dengan kehilangan memori, degenerasi


neuron irreversible.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kunjungan klien dapat berpikir
rasional.
Kriteria hasil :
 Klien mampu memperlihatkan kemampuan kognitif untuk menjalani
konsekuensi kejadian yang menegangkan terhadap emosi dan pikiran
tentang diri
 Klien mampu mengembangkan strategi untuk mengatasi anggapan diri
yang negative
 Klien mampu mengenali perubahan dalam berfikir atau tingkah laku dan
factor penyebab
 Klien mampu memperlihatkan penurunan tingkah laku yang tidak
diinginkan, ancaman, dan kebingungan.
Intervensi:

17
1. Kembangkan lingkungan yang mendukung dan hubungan klien-perawat
yang terapeutik
Rasional: mengurangi kecemasan dan emosional, seperti kemarahan,
meningkatkan pengembanagan evaluasi diri yang positif dan mengurangi
konflik psikologis.
2. Kaji derajat gangguan kognitif, seperti perubahan orientasi, rentang
perhatian, kemampuan berfikir. Bicarakan dengan keluarga mengenai
perubahan perilaku.
Rasional: memberikan dasar perbandingan yang akan datang dan
memengaruhi rencana intervensi. Catatan: evaluasi orientasi secar
berulang dapat meningkatkan risiko yang negative atau tingkat frustasi.
3. Pertahankan lingkungan yang menyenangkan dan tenang.
Rasional: kebisingan merupakan sensori berlebihan yang meningkatkan
gangguan neuron
4. Tatap wajah klien ketika sedang berbicara dengan klien
Rasional: menimbulkan perhatian, terutama pada klien dengan gangguan
perceptual.
5. Gunakan distraksi. Bicarakan tentang kejadian yang sebenarnya saat klien
mengungkapkan ide yang salah, jika tidak meningkatkan kecemasan.
Rasional: lamunan membantu dalam meningkatkan disorientasi. Orientasi
pada realita meningkatkan perasaan realita klien, penghargaan diri dan
kemuliaan (kebahagiaan personal).
6. Hormati klien dan evaluasi kebutuhan secara spesifik.
Rasional: klien dengan penurunan kognitif pantas mendapatkan
penghormatan, penghargaan, dan kebahagiaan.
7. Bantu klien menemukan hal yang salah dalam penempatannya. Berikan
label gambar atau hal yang diinginkan klien. Jangan menentang.
Rasional: menurunkan defensive jika klien menyadari kesalahan.
Membantah klien tidak akan mengubah kepercayaan dan menimbulkan
kemarahan.
8. Berikan obat sesuai indikasi seperti, siklandelat.
Rasional ; meningkatkan kesadaran mental.

18
c. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis dan kognitif.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kunjungan klien tidak mengalami
cedera.
Kriteria hasil :
 Klien mampu meningkatkan tingkat aktivitas.
 Klien dapat beradaptasi dengan lingkungan untuk mengurangi risiko
trauma atau cedera
 Klien tidak mengalami trauma atau cedera
 Keluarga mampu mengenali potensial di lingkungan dan mengidentifikasi
tahap-tahap untuk memperbaikinya.

Intervensi:
1. Kaji derajat gangguan kemampuan, tingkah laku impulsive dan penurunan
persepsi visual. Bantu keluarga mengidentifkasi risiko terjadinya bahaya
yang mungkin timbul.
Rasional: mengidentifikasi risiko di lingkungan dan mempertinggi
kesadaran perawat akan bahaya. Klien dengan tingkah laku impulsive
berisiko trauma karena kurang mampu mengendalikan perilaku. Penurunan
persepsi visual berisiko terjatuh
2. Hilangkan sumber bahaya lingkungan.
Rasional: klien dengan gangguan kognitif, gangguan persepsi adalah awal
terjadi trauma akibat tidak bertanggung jawab terhadap kebutuhan
keamanan dasar.
3. Alihkan perhatian saat perilaku teragitasi atau berbahaya, seperti memanjat
pagar tempat tidur.
Rasional: mempertahankan keamanan dengan menghindari konfrontasi
yang meningkatkan risiko terjadinya trauma.
4. Gunakan pakaian sesuai dengan lingkungan fisik atau kebutuhan klien.
Rasional: perlambatan proses metabolism mengakibatkan hipotermia.
Hipotalamus dipengaruhi proses penyakit yang menyebabkan rasa
kedinginan.

19
5. Kaji efek samping obat, tanda keracuna (tanda ekstrapiramidal, hipotensi
ortostatik, gangguan penglihatan, gangguan gastrointestinal).
Rasional: klien yang tidak dapat melaporkan tanda/gejala obat dapat
menimbulkan kadar tolsisitas pada lansia. Ukuran dosis/penggantian obat
diperlukan untuk mengurangi gangguan.
6. Hindari penggunaan restrain terus-menerus. Berikan kesempatan keluarga
tinggal bersama klien selama periode agitasi akut.
Rasional: membahayakan klien, meningkatkan agitasi dan timbul risiko
fraktur pada klien lansia (berhubungan dengan penurunan kalsium tulang).

d. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi, transmisi


dan atau integrasi sensori ( defisit neurologis ).
Tujuan:
Setelah dilakukan dilakukan keperawatan kunjungan tidak terjadi penurunan
lebih lanjut pada persepsi sensori klien.
Kriteria hasil :
 Klien mengalami penurunan halusinasi.
 Klien mampu mengembangkan strategi psikososial untuk mengurangi
stress atau mengatur perilaku.
 Klien mampu mendemonstrasikan respon yang sesuai stimulasi.
Intervensi:
1. Kaji derajat sensori atau gangguan persepsi dan bagaimana hal tersebut
mempengaruhi klien termasuk penurunan penglihatan atau pendengaran.
Rasional : keterlibatan otak memperlihatkan masalah yang bersifat
asimetris menyebabkan klien kehilangan kemampuan pada salah satu sisi
tubuh. Klien tidak dapat mengenali rasa lapar atau haus.
2. Anjurkan memakai kacamata atau alat bantu dengar sesuai kebutuhan
Rasional : meningkatkan masukan sensori, membatasi atau menurunkan
kesalahan intepretasi stimulasi.
3. Pertahankan hubungan orientasi realita. Memberikan petunjuk pada
orientasi realita dengan kalender, jam, atau catatan.

20
Rasional : menurunkan kekacauan mental dan meningkatkan koping
terhadap frustasi karena salah persepsi dan disorientasi. Klien menjadi
kehilangan kemampuan mengenali keadaan sekitar.
4. Ajarkan strategi mengatasi stress.
Rasional : menurunkan kebutuhan akan halusinasi
5. Libatkan dalam aktivitas sesuai indikasi dengan keadaan tertentu, seperti
satu ke satu pengunjung, kelompok sosialisasi pada pusat demensia, terapi
okupasi.
Rasional : memberi kesempatan terhadap stimulasi partisipasi dengan
orang lain.
e. Kurang perawatan diri : hygiene nutrisi, dan atau toileting berhubungan
dengan ketergantungan fisiologis dan atau psikologis.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatankunjungan klien mampu melakukan
aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan.
Kriteria hasil :
 Klien mampu mengidentifikasi dan menggunakan sumber pribadi atau
komunitas yang dapat memberikan bantuan.
Intervensi:
1. Identifikasi kesulitan dalam berpakaian/ perawatan diri.
Rasional: memahami penyebab yang mempengaruhi intervensi. Masalah
dapat diminimalkan dengan menyesuaikan atau memerlukan konsultasi
dari ahli.
2. Identifikasi kebutuhan akan kebersihan diri dan berikan bantuan sesuai
kebutuhan.
Rasional: seiring perkembangan penyakit kebutuhan kebersihan dasar
mungkin dilupakan.
3. Lakukan pengawasan dan berikan kesempatan untuk melakukan sendiri
sesuai kemampuan.
Rasional: mudah sekali terjadi frustasi jika kehilangan kemandirian.
4. Beri banyak waktu untuk melakukan tugas
Rasional: pekerjaan yang tadinya mudah sekarang menjadi terhambat
karena penurunan motorik dan perubahan kognitif.

21
5. Bantu mengenakan pakaian yang rapi dan indah.
Rasional: meningkatkan kepercayaan hidup.
f. Potensial terhadap ketidakefektifan koping keluarga berhubungan dengan
pengaruh penyimpngan jangka panjang dari proses penyakit.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x kunjungan koping keluarga
efektif.
Kriteria hasil :
 Klien mampu mengidentifikasi atau mengungkapkan sendiri untuk
mengatasi keadaan.
 Keluarga mampu menerima kondisi orang yang dicintai dan
mendemonstrasikan tingkah laku koping positif dalam mengatasi keadaan.
 Klien mampu menggunakan system pendukung yang ada secara efektif.
Intervensi:
1. Bantu keluarga mengungkapkan persepsinya tentang mekanisme koping
yang digunakan.
Rasional: keluarga dengan keterbatasan pemahaman tentang strategi
koping memerlukan informasi akibat konflik.
2. Libatkan keluarga dalam pendidikan dan perencanaan perawatan dirumah.
Rasional: memudahkan beban terhadap penanganan dan adaptasi dirumah.
3. Fokuskan pada masalah spesifik sesuai dengan yang terjadai pada klien.
Rasional: penurunan penyakit mengikuti perkembangan yang tidak
menentu
4. Realistis dan tulus dalam mengatasi semua permasalahan.
Rasional: menurunkan stress yang menyelimuti harapan yang keliru.
5. Anjurkan untuk tidak membatasi pengunjung.
Rasional: kontak kekeluargaan merupakan dasar dari realitas, terbebas dari
kesepian.
6. Rujuk pada sumber pendukung seperti perawatan lansia, pelayanan
dirumah, berhubungan dengan asosiasi penyakit demensia.
Rasional: memberikan tanggung jawab pada tempat perawatan,
mengurangi kejenuhan dan resiko terjadinya isolasi social dan mencegah
kemarahan keluarga.

22
Evaluasi
Stuart dan Sundeen (1995) menyebutkan beberapa kondisi dan perilaku perawat
yang diperlukan pada saat melakukan evaluasi dalam proses keperawatan, yaitu:
1. Kondisi perawat :
Supervisi, analisis diri, peer review, partisipasi pasien dan keluarga
2. Perilaku perawat ;
Membandingkan respon pasien dan hasil yang diharapkan, mereview proses
keperawatan, memodifikasi proses keperawatan sesuai yang dibutuhkan,
berpartisipasi dalam peningkatan kualitas dari aktifitas yang dilakukan.

23
BAB III
PENUTUP

7.1 Kesimpulan.
Perawat yang bekerja dengan lansia yang memiliki gangguan kejiwaan harus
menggabungkan keterampilan keperawatan jiwa dengan pengetahuan gangguan
fisiologis, proses penuaan yang normal, dan sosiokultural pada lansia dan
keluarganya. Sebagai pemberi pelayanan perawatan primer, perawat jiwa lansia harus
pandai dalam mengkaji kognitif, afektif, fungsional, fisik, dan status perilaku.
Perencanaan dan intervensi keperawatan mungkin diberikan kepada pasien dan
keluarganya atau pemberi pelayanan lain.
Perawat jiwa lansia mengkaji penyediaan perawatan lain pada lansia untuk
mengidentifikasi aspek tingkah laku dan kognitif pada perawatan pasien. Perawat jiwa
lansia harus memiliki pengetahuan tentang efek pengobatan psikiatrik pada lansia.
Mereka dapat memimpin macam-macam kelompok seperti orientasi, remotivasi,
kehilangan dan kelompok sosialisasi dimana perawat dengan tingkat ahli dapat
memberikan psikoterapi.

7.2 Saran
1. Diharapkan mahasiswa benar-benar mampu memahami tentang asuhan
keperawatan kehilangan disfungsional
2. Untuk institusi pendidikan hendaknya lebih melengkapi literatur yang berkaitan
dengan kehilangan

24
DAFTAR PUSTAKA

Stuart & Sundeen. 2014. Principles and Practice of Psychiatric Nursing Fifth Edition. United
State of America : Mosby.
Carpenito, L. “ Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis”, Edisi ke-6, EGC,
Jakarta, 2013
Nugroho, Wahjudi. “Keperawatan Gerontik”, Edisi ke-2, EGC, Jakarta 2013.

Leeckenotte, Annete Glesler. “Pengkajian Gerontologi”, Edisi ke-2, EGC, Jakarta, 2012.

Watson, Roger. “Perawatan Lansia”, Edisi ke-3, EGC, Jakarta 2013.

Kusharyadi. 2011. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Jakarta:Salemba Medika

Maryam, R. Siti. 2012. Mengenal Usi Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: SalembaMedika

Nugroho, Wahjudi. 2015. Perawatan Lanjut Usia.Jakarta: EGC

Tamher, S., Noorkasiani. 2014. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan asuhan
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Watson, Roger. 2013. Perawatan Pada Lansia. Jakarta: EGC

Stuart & Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psychiatric Nursing Fifth Edition. United
State of America : Mosby.

Carpenito, L. “ Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis”, Edisi ke-6, EGC,
Jakarta, 2011.

Nugroho, Wahjudi. “Keperawatan Gerontik”, Edisi ke-2, EGC, Jakarta 2000.

Leeckenotte, Annete Glesler. “Pengkajian Gerontologi”, Edisi ke-2, EGC, Jakarta, 2011.

Watson, Roger. “Perawatan Lansia”, Edisi ke-3, EGC, Jakarta 2013.

Anda mungkin juga menyukai