Anda di halaman 1dari 29

Referat

GANGGUAN DEPRESI

Oleh:

Linggo Liandri (H1AP14050)


Mifta Huljannah (H1AP15050)
Siti Habiburrahmah Ash Shadar (H1AP17017)

Pembimbing:

dr. Norevia, Sp.KJ

SMF BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA


RSKJ SOEPRAPTO KOTA BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : 1. Linggo Liandri


2. Mifta Huljannah
3. Siti Habiburrahmah Ash Shadar
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu
Judul : Gangguan depresi
Bagian : Ilmu Kesehatan Jiwa
Pembimbing : dr. Norevia, Sp.KJ

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik di Bagian


Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Bengkulu.

Bengkulu, Juli 2020


Pembimbing

dr. Norevia, Sp.KJ

ii
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Allah


SWT. Akhirnya penulis dapat merampungkan referat dengan judul
“GANGGUAN DEPRESI” ini dengan baik.
Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa RSKJ Soeprapto Kota
Bengkulu, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini, penulis telah melibatkan
berbagai pihak yang berperan memberikan bantuan kepada penulis. Oleh karena
itu, penulis ingin menghaturkan ribuan terima kasih kepada:
1. dr. Norevia, Sp.KJ sebagai pembimbing yang telah bersedia meluangkan
waktu dan telah memberikan masukan-masukan, petunjuk serta bantuan
dalam penyusunan tugas ini.
2. Keluarga dan teman – teman yang telah memberikan bantuan baik
material, moril, maupun spiritual kepada penulis dalam menyusun ini.
Penulis sangat menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang positif sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan referat ini. Akhir kata semoga referat ini dapat memberikan
manfaat dan sumbangan pemikiran bagi pembaca.

Bengkulu, Juli 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 3


3.1 Definisi Depresi .................................................................... 3
3.2 Epidemiologi Depresi ............................................................ 3
3.3 Klasifikasi Depresi ................................................................. 4
3.4 Etiologi Depresi ..................................................................... 5
3.5 Gejala Depresi ....................................................................... 8
3.6 Diagnosis Depresi ................................................................... 8
3.7 Diagnosis Banding Depresi ..................................................... 12
3.8 Tatalaksana Depresi ............................................................... 13
3.9 Terapi Perilaku dan Kognitif ……………………………..... 15
3.10 Terapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT) untuk Pasien
Depresi ................................................................................... 17
3.11 Pencegahan Depresi ............................................................... 19
3.12 Prognosis Depresi .................................................................. 20

BAB III KESIMPULAN………………………………………………....... 22

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 23

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Depresi adalah kelainan mental yang umum terjadi dengan suasana


hati tertekan, kehilangan minat atau kesenangan, penurunan energi,
perasaan bersalah atau rendah diri, tidur atau nafsu makan terganggu, dan
konsentrasi yang buruk. Depresi sering muncul dengan gejala kecemasan.
Masalah-masalah ini bisa menjadi kronis atau berulang yang menyebabkan
gangguan substansial kemampuan individu dalam merespon kegiatan
sehari-hari. Dampak paling buruk dari depresi adalah bunuh diri. Hampir 1
juta nyawa hilang setiap tahun karena bunuh diri, sekitar 3000 kematian
akibat bunuh diri setiap hari (WHO, 2012).
Data World Health Organization (WHO) pada tahun 2018, terdapat
sekitar 300 juta orang didunia terkena depresi (WHO, 2018). Peltzer dan
Pengpid menemukan bahwa 21,8% orang yang disurvei melaporkan gejala
depresi sedang atau berat. Dari prevalensi tersebut, perempuan memiliki
tingkat gejala depresi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki, meskipun
perbedaan ini tidak signifikan. Dari keseluruhan orang yang disurvei,
21,4% laki-laki dan 22,3% perempuan melaporkan gejala depresi sedang
atau berat. Pada perempuan yang disurvei, kelompok remaja (15-19 tahun)
menunjukkan prevalensi gejala depresi tertinggi dibandingkan kelompok
usia lain (Peltzer dan Pengpid, 2018).
Rentang usia remaja menurut WHO yakni antara usia 15-24 tahun
(WHO, 2019). Sebanyak 32% dari remaja perempuan yang disurvei
melaporkan gejala depresi sedang atau berat. Sementara itu, pada laki-laki
yang disurvei, laki-laki berusia 20-29 tahun menunjukkan prevalensi
gejala depresi sedang atau berat tertinggi (29%) disusul remaja laki-laki
(26,6%) dibanding kelompok usia lain (Peltzer dan Pengpid, 2018). Data
Riskesdas (2013) memunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional
yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia
15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah
penduduk Indonesia (Kemenkes, 2016).

1
2

Pilihan pengobatan depresi menurut WHO, yakni dukungan


psikososial dikombinasikan obat antidepresan dan psikoterapi. Psikoterapi
yang dapat dipilih berupa terapi kognitif, psikoterapi interpersonal atau
pemecahan masalah. Antidepresan dapat menjadi sangat efektif dalam
pengobatan depresi sedang-berat dan bukan menjadi lini pertama untuk
depresi ringan. Pasien dapat mengunjungi psikiater untuk pendekatan
penanganan depresi (WHO, 2012).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Depresi


Depresi adalah gangguan jiwa umum dengan manifestasi klinis berupa
mood depresi, penurunan minat atau kesenangan, penurunan energi, merasa
bersalah atau kurang percaya diri, gangguan tidur atau nafsu makan, dan
penurunan konsentrasi. Biasanya, depresi muncul bersamaan dengan gejala
kecemasan. Efek paling buruk dari depresi adalah ide bunuh diri (WHO,
2012). Penurunan kognitif, afek, dan psikomotor pada depresi dapat
mempengaruhi pemikiran, perilaku, perasaan, dan fungsi sosial seseorang
(Ashwani, Arya dan Verma, 2012).
Pada depresi terdapat gejala psikologik dan gejala somatik. Gejala
psikologik antara lain menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistik, putus asa, rasa
ingin bekerja dan bersosialisai berkurang, tidak dapat mengambil keputusan,
mudah lupa dan timbul pikiran-pikiran bunuh diri. Gejala somatik antara lain
penderita kelihatan tidak senang, lelah, tidak bersemangat, apatis, bicara dan
gerak geriknya pelan, terdapat anoreksia, insomnia, dan konstipasi (Blazer,
2003).

3.2 Epidemiologi Depresi


Depresi merupakan diagnosis pasien rawat jalan ketujuh tertinggi di
dunia dan nomor empat penyebab disabilitas. Prevalensi depresi di seluruh
dunia berkisar antara 2,2% sampai 10,4%. Menurut Riskesdas tahun 2013,
prevalensi orang di atas 15 tahun dengan gangguan jiwa ringan atau gangguan
mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi yaitu sebesar 6%
atau sekitar 16 juta orang dari seluruh penduduk di Indonesia (Riskesdas,
2013; Kessler, 2013). Berdasarkan jenis kelamin, wanita lebih banyak
menderita depresi mayor dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 2:1.
Rata-rata depresi terjadi pada dekade kedua kehidupan, namun tidak menutup
kemungkinan untuk terjadi pada kelompok umur lain (Kessler, 2013).
Depresi dapat diklasifikasikan menjadi depresi ringan, sedang, dan
berat. Gangguan depresi berat lazim ditemukan dengan prevalensi seumur

3
4

hidup sebesar 15%. Gangguan depresi berat lebih banyak pada perempuan
dengan presentase mencapai 25%. Insiden gangguan depresi berat yaitu 10%
pada pasien yang berobat di fasilitas kesehatan primer dan 15% di fasilitas
rawat inap (Sadock, Benjamin dan Virginia, 2016).

3.3 Klasifikasi Depresi


Depresi mayor termasuk di dalam Gangguan Mood yang menurut
PPDGJ III Termasuk dalam bagian F30-F39, yakni (Maslim, 2013):
1. F32 Episode depresi
a. F32.0 Episode depresi ringan
1) Tanpa gejala somatik
2) Dengan gejala somatik
b. F32.1 Episode depresi sedang
1) Tanpa gejala somatik
2) Dengan gejala somatik
c. F32.2 Episode depresi berat tanpa gejala psikotik
d. F32.3 Episode depresi berat dengan gejala psikotik
e. F32.8 Episode depresi lainnya
f. F32.9 Episode depresi YTT
2. F33 Gangguan depresi berulang
a. F33.0 Gangguan depresi berulang, episode kini ringan
1) Tanpa gejala somatik
2) Dengan gejala somatik
b. F33.1 Gangguan depresi berulang, episode kini sedang
1) Tanpa gejala somatik
2) Dengan gejala somatik
c. F33.2 Gangguan depresi berulang, episode kini berat tanpa gejala
psikotik
d. F33.3 Gangguan depresi berulang, episode kini berat dengan gejala
psikotik
e. F33.4 Ganguan depresi berulang, sekarang dalam remisi
f. F33.8 Gangguan depresi berulang lainnya
g. F33.9 Gangguan depresi berulang YTT
5

3. F34 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) menetap


a. F34.0 Siklotimia
b. F34.1 Distimia
c. F34.8 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) menetap lainnya
d. F34.9 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) menetap YTT
4. F38 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) lainnya
a. F38.0 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) tunggal lainnya
1) .00 Episode afektif campuran
b. F38.1 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) berulang lainnya
1) .10 Gangguan depresi singkat berulang
c. F38.8 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) tunggal lainnya
YDT
5. F39 Gangguan suasana perasaan (mood[afektif]) YTT

3.4 Etiologi Depresi


Gangguan depresi disebabkan oleh banyak faktor, seperti halnya
gangguan jiwa lain. Beberapa etiologi yang memungkinkan terjadinya depresi
adalah sebagai berikut:
1. Faktor Organobiologi
Dilaporkan terdapat kelainan atau disregulasi metabolit amin
biogenik seperti 5-hydroxyindoleatic (5-HLAA), asam homovanilic
(HVA), dan 3-methoxy-4-hydroxyphenyl-glycol (MHPG) di dalam darah,
urin, dan cairan serebropinal pada pasien gangguan afektif (Ismail dan
Siste, 2014).
a. Amin Biogenik
Norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmiter yang
paling berperan dalam pasien gangguan afektif.
b. Norepinefrin
Penurunan regulasi reseptor beta adrenergik dan respon klinis
antidepresi mungkin merupakan peran langsung sistem adrenergik
pada gangguan depresi. Sebagai contoh aktifnya reseptor tersebut
mengakibatkan penurunan jumlah pelepasan norepinefrin dan reseptor
6

ini pula terletak pada neuron serotonergik yang mengatur pelepasan


jumlah serotonin.
c. Dopamin
Terdapat dua teori terbaru yaitu jalur dopamin mesolimbik yang
mengalami disfungsi atau reseptor dopamin D1 yang hipoaktif
menimbulkan gejala depresi.
d. Serotonin
Aktivitas serotonin bertanggung jawab untuk kontrol afek, agresi,
tidur, dan nafsu makan.
2. Faktor Genetik
Faktor ini merupakan faktor yang berperan dalam perkembangan,
namun jalur penurunan sangat kompleks. Penelitian dalam keluarga
didapatkan hasil bahwa generasi pertama memiliki kemungkinan 2 sampai
10 kali lebih sering mengalami depresi berat. Pada penelitian lain
didapatkan 2 dari 3 studi gangguan depresi berat diturunkan secara
biologis meskipun anak tersebut diadopsi keluarga lain. Penelitian pada
anak kembar monozigot didapatkan 53-69% sedangkan anak kembar
dizigot didapatkan 13-28% mengalami depresi berat (Ismail dan Siste,
2014).
3. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan yang membuat seseorang tertekan akan
menyebabkan terjadinya stres. Teori mengemukakan bahwa bila seseorang
mengalami stres sebelum timbul episode pertama maka terjadi perubahan
neurotransmiter, sistem sinyal intraneuron seperti penurunan kontak sinaps
dan hilangnya beberapa neuron sehingga mengakibatkan gangguan
episode berulang. Faktor lain yang berkaitan dengan stresor lingkungan
adalah kehilangan orangtua sebelum usia 11 tahun, pasangan, dan
pekerjaan dapat mengakibatkan seseorang memiliki risiko depresi 2
sampai 3 kali lebih besar (Ismail dan Siste, 2014).
7

4. Faktor Kepribadian
Semua tipe kepribadian dapat mengalami depresi sesuai dengan
situasinya. Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, histrionik, dan
ambang berisiko tinggi dibandingkan kepribadian paranoid, dan antisosial.
Riset menunjukkan pasien yang mengalami stresor dengan kepribadian
tidak percaya diri lebih sering mengalami depresi (Ismail dan Siste, 2014).
5. Faktor Psikodinamik
Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan antara lain;
a. Sigmund Freud dan Karl Abraham
Terdapat 4 hal utama yaitu: (1) gangguan hubungan ibu-anak
fase oral (10-18 bulan) menjadi faktor predisposisi episode depresi
berulang; (2) depresi dapat dihubungkan dengan cinta yang nyata
maupun fantasi kehilangan objek; (3) intropeksi merupakan
mekanisme pertahanan atas kehilangan objek yang dicintai; (4)
Kehilangan cinta dapat diekspresikan campuran antara benci dan
cinta, serta perasaan marah pada diri sendiri.
b. Heinz Kohut
Depresi dikonseptualisasikan bermula dari teori self-phychology
bahwa perkembangan jiwa anak harus dipenuhi kedua orang tua
dengan memberikan rasa percaya diri, rasa positif, dan self-cohesion.
c. John Bowlby
Rusaknya keeratan hubungan awal dan trauma akibat perpisahan
pada anak merupakan faktor predisposisi depresi sedangkan
kehilangan pada dewasa memudahkan seseorang terkena depresi pada
masa dewasa.
6. Lain-lain
Terdapat beberapa jenis obat yang dapat memicu terjadi gangguan
depresi yaitu (Muchid et al, 2007):
a. Obat kardiovaskular : β-blocker, klonidin, metildopa
b. Obat sistem saraf pusat : barbiturat, benzodiazepin, fenitoin
c. Obat hormonal : estrogen, progestin, tamoxifen
d. Lain-lain : indometasin, narkotika
8

3.5 Gejala Depresi


Menurut National Institute of Mental Health (2015), terdapat beberapa
gejala yang terjadi pada pasien depresi. Gejala klinis depresi terjadi selama
minimal dua minggu dengan gejala seperti berikut (National Institute of
Mental Health, 2015):
1. Rasa sedih yang persisten, gelisah, atau pikiran kosong
2. Merasa putus asa
3. Perasaan bersalah, merasa diri tidak berguna
4. Iritabilitas, cepat marah, gelisah
5. Hilang minat beraktifitas, termasuk aktivitas seksual
6. Lelah dan penat
7. Masalah konsentrasi, mengingat sesuatu dan membuat keputusan
8. Insomnia atau tidur berlebihan
9. Ide atau pernah mencoba bunuh diri
10. Sakit kepala, kejang, atau masalah pencernaan yang persisten dan tidak
sembuh dengan pengobatan

3.6 Diagnosis Depresi


Kriteria depresi menurut PPDGJ III (Maslim, 2013), yakni:
1. F32 Episode Depresi
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat):
a. Afek depresi
b. Kehilangan minat dan kegembiraan dan
c. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas
Gejala lainnya:
a. konsentrasi dan perhatian berkurang
b. harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d. pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. tidur terganggu
9

g. nafsu makan berkurang


Untuk episode depresi dari ketiga tingkat keparahan tersebut
diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan
diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala
luar biasa beratnya dan berlangsung cepat. Kategori diagnosis episode
depresi ringan (F32.2) hanya digunakan untuk episode depresi tunggal
(yang pertama). Episode depresi berikutnya harus diklasifikasi di bawah
salah satu diagnosis gangguan depresi berulang (F33-)
2. F32.0 Episode Depresi Ringan
Pedoman diagnostik
a. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
disebut di atas
b. Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya sampai dengan (g)
c. Tidak boleh ada gejala berat diantaranya
d. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
e. Hanya ada sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang
biasa dilakukannya
Karakter kelima : F32.00 = tanpa gejala somatik
F32.01 = dengan gejala somatik
3. F32.1 episode depresi sedang
Pedoman diagnostik
a. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
pada depresi ringan
b. Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya;
c. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
d. Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga
4. F 32.2 episode depresi berat tanpa gejala psikotik
Pedoman diagnostik
a. Semua 3 gejala utama depresi harus ada
10

b. Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa di


antaranya harus berintensitas berat
c. Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor)
yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu
untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci.
Dalam hal demikian, penilaian scara menyeluruh terhadap episode
deprsif berat masih dapat dibenarkan.
a. Episode depresi biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat,
maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun
waktu kurang dari 2 minggu.
b. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf sangat terbatas.
5. F 32.3 episode depresi berat dengan gejala psikotik
a. Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F 32.2 tersebut
di atas;
b. Disertai waham, halusinasi atau stupor depresi. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang
menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk.
Retardasi psikomotor yang berat dapat menunjukkan stupor.
Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai
serasi atau tidak serasi dengan afek (mood-congruent).
6. F 32.8 episode depresi lainnya
F32.9 episode depresi YTT
Karakter kelima : F32.00 = tanpa gejala somatik
F32.01 = dengan gejala somatik
Kriteria lain untuk menentukan diagnosis depresi berat yaitu
berdasarkan kriteria DSM-IV-TR, yaitu sebagai berikut (Sadock,
Benjamin dan Virginia, 2016):
11

a. Lima atau lebih gejala di bawah telah ada selama periode waktu 2
minggu dan menunjukkan perubahan fungsi sebelumnya serta
setidaknya satu gejalanya diantara mood menurun atau kehilangan
minat atau kesenangan.
1) Mood menurun hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti
yang ditunjukkan baik melalui laporan subjektif (contohnya
perasaan sedih atau kosong) atau pengamatan orang lain
(contohnya tampak bersedih)
2) Menurunnya minat atau kesenangan yang nyata pada semua, atau
hampir semua aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari
(seperti yang ditunjukkan laporan subjektif atau pengamatan orang
lain).
3) Penurunan berat badan yang bermakna walaupun tidak diet atau
berat badan bertambah (contohnya perubahan lebih dari 5% berat
badan dalam sebulan), atau menurun maupun meningkatnya nafsu
makan hampir setiap hari.
4) Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
5) Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat
diamatiorang lain, tidak hanya perasaan subjektif adanya
kegelisahan atau menjadi lebih lamban).
6) Lelah atau hilang energi hampir setiap hari
7) Perasaan tidak berarti atau bersalah yang tidak sesuai atau
berlebihan (yang dapat menyerupai waham) hampir setiap hari
(tidak hanya menyalahkan diri atau rasa bersalah karena sakit)
8) Menurunnya kemampuan berpikir atau berkonsentrasi, atau
keragu-raguan hampir setiap hari (baik laporan subjektif atau
diamati orang lain)
9) Pikiran berulang mengenai kematian (bukan hanya rasa takut
mati), gagasan bunuh diri berulang tanpa suatu rencana yang
spesifik, atau upaya bunuh diri atau suatu rencana spesifik untuk
melakukan bunuh diri.
b. Gejala tidak memenuhi kriteria episode campuran
12

c. Gejala menyebabkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau


hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi yang lain.
d. Gejala tidak disebabkan pengaruh fisiologis langsung zat (misalnya
penyalahgunaan obat atau dalam proses pengobatan) atau kondisi
medis umum (misalnya hipotiroidisme).
Gejala sebaiknya tidak disebabkan karena berkabung, setelah
kehilangan orang yang dicintai, gejala bertahan hingga lebih lama 2 bulan,
atau ditandai hendaya fungsi yang nyata, preokupasi patologis mengenai
ketidakberartian, gagasan bunuh diri, gejala psikotik, atau retardasi
psikomotor (Sadock, Benjamin dan Virginia, 2016).

3.7 Diagnosis Banding Depresi


1. Distimia
Gangguan distimik merupakan gangguan jiwa dengan ciri khas
perasaan yang tidak adekuat, bersalah, iritabilitas, kemarahan, penarikan
diri dari masyarakat, hilang minat, serta inaktivitas dan tidak produktif.
Menurut DSM-IV-TR, adanya gejala-gejala tersebut minimal dua tahun
(satu tahun untuk anak dan remaja) serta tidak pernah memiliki episode
depresi berat, manik, atau hipomanik. Gambaran distimik sering
bertumpang tindih dengan depresi berat. Pada gangguan distimik, gejala
subjektif lebih dominan daripada gejala objektif. Gejala seperti inersia,
letargi, dan anhedonia sering terlihat pada pagi hari, dan sebaliknya, gejala
seperti agitasi, ganggan nafsu makan dan libido, serta retardasi psikomotor
kurang nampak pada gangguan distimik (Sadock, Benjamin dan Virginia,
2016).
2. Gangguan Campuran Cemas dan Depresi
Gangguan ini menggambarkan pasien dengan gejala ansietas dan
depresi yang tidak memenuhi kriteria diagnosis gangguan ansietas atau
gangguan afektif. Kombinasi gejala depresi dan ansietas, terutama gejala
somatik, seperti tremor, palpitasi, mulut kering, dan rasa perut yang
bergejolak sering tidak didiagnosis dengan gangguan ini. Gangguan ini
dapat menimbulkan hendaya fungsional yang bermakna, sehingga
13

gangguan ini lazim ditemukan di pelayanan primer dan klinik kesehatan


jiwa rawat jalan (Sadock, Benjamin dan Virginia, 2016).

3.8 Tatalaksana Depresi


1. Terapi Farmakologi (Maramis dan Albert, 2009)
a. Golongan trisiklik
Golongan trisiklik bekerja dengan cara memblok reuptake
serotonin dan norepinefrin, sehingga kadar serotonin dan norepinefrin
di dalam otak meningkat. Contoh obat dari golongan ini adalah
amitriptilin, imipramin, klomipramin, maprotlin dan amoksapin.
b. Golongan inhibitor monoaminoksidase (MAOI)
Golongan MAOI bekerja dengan cara mencegah oksidase
monoamin yang berperan dalam oksidasi norepinefrin. Contoh obat
dari golongan ini adalah moklobemid.
c. Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
Golongan SSRI bekerja dengan menghambat reuptake serotonin
sehingga jumlah serotonin dalam otak meningkat. SSRI merupakan
golongan obat yang paling sering digunakan dalam terapi karena efek
samping yang lebih ringan daripada golongan MAOI atau Trisiklik.
Contoh obat dari golongan ini adalah flouxetin, setralin, paroxetine,
dan sitalopram.
Dalam penggunaan obat antidepresan, perlu diketahui efek samping
obat yang mempengaruhi beberapa sistem organ, yaitu (Maramis dan
Albert, 2009):
a. Efek kolinergik, seperi mulut kering, mata kabur gangguan akomodasi,
meningkatnya tekanan intraokuler, konstipasi, hipotensi ortostatik
postural, retensi urin, berkeringat, dan ileus
b. Efek susunan saraf pusat, seperti pusing, lelah, bingung, tremor,
disartria, insomnia, kejang, mendadak jatuh, dan eksaserbasi gejala
psikotik
c. Kardiovaskuler, seperti hipotensi, sinus takikardi, aritmia, dan
konduksi atrioventrikuler terganggu
14

d. Hematologis, seperti depresi sumsum tulang, leukopenia,


agranulositosis, purpura, trombositopenia, anemina hemolitik, dan
hiponatremia
e. Lain-lain, seperti hipotermia, hipertermia, gangguan pernapasan,
gangguan libido, exantema, tinitus, keluhan gastrointestinal, gangguan
hepar, dan berat badan bertambah.
2. Perawatan di rumah sakit, bila (Tomb dan David, 2004):
a. Terdapat disabilitas dalam melakukan kegiatan akibat depresi
b. Lingkungan keluarga kurang mendukung dalam roses penyembuhan
pasien
c. Mempunyai risiko bunuh diri
d. Mempunyai riwayat penyakit lain yang perlu ditangani oleh tenaga
kesehatan
3. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik diberikan sebagai terapi pasien depresi jika
(Tomb dan David, 2004):
a. Pasien masih belum sembuh setelah pengobatan selama 6 minggu atau
lebih
b. Kondisi pasien menuntut untuk remisi segera, seperti adanya keinginan
untuk bunuh diri
c. Depresi dengan gejala psikotik
d. Pasien yang tidak toleransi terhadap obat, seperti pasien dengan usia
tua yang mempunya penyakit jantung.
4. Terapi psikologis (Tomb dan David, 2004):
a. Terapi suportif
Pada terapi suportif, pasien diberikan kehangatan, empati,
perhatian, dan optimistik. Selain itu, pasien dibantu dalam mencari
masalah yang membuat pasien merasa depresi, kemudian dibantu
dalam menyelesaikan masalah tersebut. Identifikasi faktor pencetus
dan bantu pasien dalam mengkoreksinya. Jika terdapat masalah
eksternal seperti pekerjaan, bantu dalam menyelesaikan masalahnya.
15

b. Terapi kognitif perilaku:


Terapi kognitif perilaku diberikan pada pasien depresi ringan
ataupun sedang. Terapi ini memberikan pasien latihan keterampilan.
dan berbagi pengalaman-pengalaman sukses. Pasien juga dilatih untuk
mengenal dan menghilangkan pikiran negatif, sehingga mencegah
kambuhnya kembali depresi tersebut.

3.9 Terapi Perilaku dan Kognitif


a. Terapi Perilaku
Terapi perilaku menunjukan penerapan klinis prinsip-prinsip yang
dikembangkan didalam teori pembelajaran. Psikologi perilaku muncul
pada abad ke-20 sebagai reaksi terhadap metode intropeksi yang
mendominanasi psikologi pada waktu itu. John B. Watson, bapak
behaviorism, awalnya mempelajari psikologi hewan, latar belakang ini
menjadikan sebagai lompatan konseptual kecil untuk mendebat bahwa
psikologi seharusnya hanya mempedulikan fenomena yang dapat diamati
oleh public, kandungan mental tidak dapat menjadi subjek penyelidikan
ilmiah. Oleh karena hal tersebut ahli prilaku memfokuskan pada perilaku
yang tampak dan berpengaruh lingkungannya.
 Pelatihan relaksasi
Relaksasi menghasilkan efek fisiologis yang berlawanan dengan
efek fisiologis ansietas; denyut jantung lambat, meningkatnya aliran
darah perifer, dan stabilisasi neuromuscular. Berbagai metode relaksasi
yang dikembangkan adalah yoga dan Zen. Mental imagery merupakan
metode relaksasi dengan pasien diinstruksikan untuk membayangkan
dirinya berada disuatu tempat dengan kenangan yang menyenangkan
dan santai.
 Penguatan positif
Ketika respons perilaku diikuti dengan peristiwa yang
menyenangkan seperti makanan, penghidaran nyeri, atau pujian,
respons ini cenderung diperkuat dan terjadi lebih sering daripada
16

sebelumnya, prinsip ini missal pada saat pasien melakukan suatu


perkembangan maka diberikan voucer belanja.
b. Terapi kognitif
Terapi kognitif, didasarkan pada rasional teoritis yang mendasari
bahwa afek dan perilaku seseorang sebagian besar ditentukan oleh cara ia
menstruktur dunia. Penstrukturan seseorang terhadap dunia didasarkan
pada kognisi (gagasan verbal atau bergambar yang terdapat pada
kesadaran), yang berdasarkan anggapan (skema yang dikembangkan dari
pengalaman sebelumnya).
 Teori kognitif depresi
Menurut teori kognitif depresi, disfungsi kognitif merupakan inti
dari depresi, dan perubahan afektif serta fisik dan ciri depresi yang
terkait lainya merupakan akibat disfungsi kognitif, contohnya, apati
dan energy yang rendah merupakan akibat dugaan seseorang akan
kegagalan disemua area. Demikian juga, paralisis keinginan berasal
dari pesimisme seseorang serta perasaan putus asa. Trias kognitif
depresi adalah persepsi diri yang negative yaitu orang melihat diri
mereka defektif tifak adekuat, kekurangan, tidak berharga, dan tidak
diinginkan; mereka memiliki kecendrungan untuk merasakan dunia
sebagai sesuatu yang negative, menuntut, merusak diri serta
mengharapkan kegagalan maupun hukuman; dan mereka memiliki
dugaan akan kesukaran, penderitaan, kekurangan, serta kegagalan yang
terjadi terus menerus.
 Strategi dan teknik
Terapi relatif singkat dan berlangsung kira-kira 25 minggu. Jika
pasien tidak membaik pada waktu itu, diagnosis sebaiknya dievaluasi
ulang. Terapi rumatan dapat dilakukan selama beberapa tahun. Seperti
pada psikoterapi lain, perlengkapan terapis penting untuk keberhasilan
terapi. Mereka harus memberikan kehangatan, memahami pengalaman
hidup masing-masing pasien, dan benar-benar tulus serta jujur dengan
diri mereka sendiri maupun pasien. Terapis kognitif menyusun agenda
di awal setiap sesi, menugaskan pekerjaan rumah untuk dilakukan
17

diantara sesi dan mengajarkan keterampilan baru. Terapis dan pasien


secara aktif berkolaborasi.
 Aspek Didaktik
Aspek didaktik terapi mencakup penjelasan pada pasien trias
kognitif, skema dan gangguan logika. Terapis harus memberi tahu
pasien bahwa mereka akan memformulasikan hipotesis bersama dan
mengujinya selama terapi berlangsung. Terapi kognitif memerlukan
penjelasan penjelasan penuh hubungan antara depresi dan berfikir, afek
serta perilaku juga rasional untuk semua aspek terapi.
 Aspek kognitif
Pendekatan kognitif terapi mencakup empat proses: mencetuskan
pikiran otomatis, menguji pikiran otomatik, mengidentifikasi dugaan
maladaftif yang mendasari serta menguji validitas dengan maladaftif.
 Aspek perilaku
Teknik perilaku di dalam terapi kognitif antara lain menjadwalkan
aktivitas penugasan dan kesenangan,tugas bertahap, latihan kognitif,
pelatihan untuk bergantung pada diri sendiri, bermain peran dan teknik
diversi. Menjadwalkan aktivitas jam per jam adalah salah satu hal
utama yang dilakukan di dalam terapis. Pasien mencatat aktivitasnya
dan dinilai dengan terapis. Disamping aktivitas membuat jadwal,
pasien dimintaa untuk memberi nilai pada penguasaan dan kesenangan
yang diberikan oleh aktivitas tersebut. Pasien sering terkejut ketika
mengetahui bahwa mereka memiliki banyak penguasaan aktivitas dan
menikmatinya lebih dari yang mereka pikirkan.

3.10 Terapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT) untuk Pasien Depresi


Teknik kognitif berupa restrukturiasi kognitif digunakan untuk
mengubah pikiran atau keyakinan klien yang maladaptive, tidak produktif,
melemahkan dan mengadopsi pikiran dan keyakinan yang lebih membangun.
Dalam proses rekonstrurisasi kognitif, klien dilatih untuk menguasai
serangkaian keterampilan untuk menetralkan pikiran otomatis negative. Klien
diminta untuk mengevaluasi apakah pikiran yang muncul pada massa stressor
18

valid dan akutar. Secara mendasar, prosedur ini terdiri dari du acara: aplikasi
aturan ‘fakta’, yakni memiliki buki dan bersifat logis; serta degan
mempertimbangkan pikiran negatif yang muncul (Corey, 2005, Beck 1985).
CBT adalah sebuah terapi yang mengkombinasikan strategi berfikir dan
perilaku yang didasari oleh tiga hal yang saling terkait satu sama lain yaitu
pikiran, perasaan dan perilaku (Oemarjudi, 2003). Secara spesifik, pemikiran
akan mempengaruhi perasaan dan perilaku. Oleh sebab itu, teknik yang
digunakan adalah serangkaian treatment kognitif perilaku melalui kombinasi
perilaku, kognitif dan edukasi.
Ada beberapa alasan sebagai dasar pemilihan CBT. Pertama, proses
kognisi akan mempengaruhi seseorang dalam berperilaku, proses kognisi ini
akan menjadi factor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berfikir,
merasa dan bertindak. Kognisi juga merupakan proses yang memperantai
proses belajar manusia.
Kedua, pikiran, perasaan dan tingkah laku saling berhubungan secara
kausal. Konsep dasar terapi ini adalah bahwa pola pikiran manusia terbentuk
melalui proses rangkaian stimulus-kognisi-respons, yang saling terkait dan
membentuk jaringan dalam otak kemudian akan mempengaruhi terbentuknya
perasaan dan perilaku tertentu. Hal ini sesuai dengan pendekatan teori
penyebab depresi yang menyebutkan bahwa depresi dipengaruhi oleh
kesalahan berfikir.
Ketiga, beberapa penelitian menunjukkan bahwa CBT merupakan salah
satu terapi yang telah terbukti dapat mengatasi depresi, khususnya depresi
taraf sedang dan ringan bahkan berfungsi sebagai terapi jangka panjang
(Linconin & Flannaghan, 2003; Antonuccio dkk, 1997; AAHD American on
Health and Disability. 2004; NIHM, 1999).
Remaja yang depresi tidak dapat dengan mudah memuatkan perhatian.
Mereka seringkali tidak dengan mudah mengerti apa yang orang katakana
pada mereka, sehingga mau tidak mau kondisi tersebut dapat mempengaruhi
prestasi remaja yang sebagian besar berada di bangku sekolah dan sedang
mengejar cita-cita mereka.
19

Kondisi di atas yang ingin diubah melalui proses terapi yang dinamakan
CBT, terapi ini mengajarkan pada klien agar mempunyai kemampuan untuk
mengenai pikiran negatifnya dan mengevaluasi sehingga mereka mampu
mengubahnya menjadi keyakinan yang positif (Okun dalam Haeba, 2009) dan
penuh syukur. Westbrook, Kennerley & Kirk (2007) menjelaskan mengenai
tahap-tahap CBT yaitu:
a. Menemukan pikiran yang negatif. Memberikan pertanyaan langsung
untuk menemukan pikiran negatif dan menyadarkan adanya
perangkap negatif.
b. Kontruksi pikiran otomatis
c. Relaksasi
d. Keterampilan memecahkan masalah. Mengidentifikasi masalah yang
dihadapi dan terapis membantu mengidentifikasikan sumber-sumber
yang dimiliki oleh subjek.
e. Menetapkan tujuan
f. Latihan kognitif dengan menggunakan imajinasi untuk
membayangkan secara detail mengenai tahap-tahap yang akan
dilakukan oleh subjek dan konsekuensi yang mungkin dihadapi oleh
subjek.
g.Latihan untuk mengubah perilaku terhadap objek.

3.11 Pencegahan Depresi


Menurut Bennet, Jones dan Smith (2014) bentuk pencegahan dapat
dikategorikan menjadi 3 bagian; (1) primer yaitu mencegah kejadian
gangguan jiwa pada suasana yang sebenarnya tidak memiliki risiko
terjadinya depresi; (2) sekunder yaitu deteksi dengan menggunakan
instrumen sesuai usia dan pengobatan dini pada pasien depresi; (3) tersier
yaitu meminimalisir disabilitas akibat gangguan depresi (Bennet, Jones dan
Smith, 2014).
Menurut Mrazek dan Haggerty dalam penelitian Barrera, Torres dan
Munoz (2007) pencegahan terbagi atas 3 sublevel, yaitu:
20

1. Pencegahan universal ditargetkan kepada seluruh komunitas, seperti


edukasi dengan kampanye kesehatan tanpa melihat faktor risiko
seseorang.
2. Pencegahan selektif ditargetkan kepada komunitas yang memiliki faktor
risiko berdasarkan karakteristik demografi.
3. Pencegahan sesuai indikasi ditargetkan kepada seseorang yang memiliki
tanda atau gejala klinis awal (subsindromal).
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah teknik pengobatan dan
pencegahan terhadap beberapa gangguan jiwa seperti depresi (Halverson dan
Jerry, 2019). Banyak penelitian dengan metode CBT yang berbeda dalam
mencegah gangguan depresi pada remaja akan tetapi penelitian Clarke et al
dalam Barrera, Torres dan Munoz (2007) menunjukkan hasil penelitian yang
terbaik dengan metode 15 kali sesi CBT dengan pertemuan keluarga
sebanyak 3 kali dibandingkan pengobatan biasa. Pencegahan gangguan
depresi pada dewasa yang dilakukan Munoz dan Ying dalam Barrera, Torres
dan Munoz (2007) dengan metode CBT sebanyak 8 kali dalam grup kecil
untuk melihat faktor risiko berupa onset, jenis kelamin, perceraian,
sosioekonomi rendah, dan etnis. Pencegahan gangguan depresi pasca
persalinan menggunakan skoring Edinburgh Postnatal Depression Scale
(EPDS) dengan beberapa variasi frekuensi masih belum ditemukan berapa
kali pertemuan dan kapan waktu intervensi yang terbaik (Barrera, Torres dan
Munoz, 2007).
Penelitian Paykel dalam Barrera, Torrez dan Munoz (2007)
menunjukkan pasien akut (episode pertama) yang menerima cognitive
therapy (CT) sebanyak 16 sesi dengan 6 dan 14 minggu setelah pertemuan
terakhir sebagai tambahan memiliki angka kejadian (29%) relaps setelah 48
minggu terapi terakhir dilakukan dibandingkan pasien yang menerima
pengobatan saja (Barrera, Torres dan Munoz, 2007).

3.12 Prognosis Depresi


Pada pemberian terapi yang sesuai, gejala depresi pada pasien dapat
menurun 70-80%, meskipun sekitar 50% penderita tidak memberikan respon
dalam permulaan terapi. Dua puluh persen pasien depresi yang tidak diobati
21

selama setahun akan memiliki gejala yang dapat menjadi dasar penegakan
diagnosis depresi atau empat puluh persen diantaranya mengalami remisi
parsial. Remisi parsial atau riwayat depresi sebelumnya meningkatkan risiko
adanya gangguan depresi berulang dan resistensi pengobatan (Halverson dan
Jerry, 2019).
22
BAB III
KESIMPULAN

Depresi adalah gangguan jiwa umum dengan manifestasi klinis berupa


mood depresi, penurunan minat atau kesenangan, penurunan energi, merasa
bersalah atau kurang percaya diri, gangguan tidur atau nafsu makan, dan
penurunan konsentrasi. Pada depresi terdapat gejala psikologik dan gejala
somatik. Gejala psikologik antara lain menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistik,
putus asa, rasa ingin bekerja dan bersosialisai berkurang, tidak dapat mengambil
keputusan, mudah lupa dan timbul pikiran-pikiran bunuh diri. Gejala somatik
antara lain penderita kelihatan tidak senang, lelah, tidak bersemangat, apatis,
bicara dan gerak geriknya pelan, terdapat anoreksia, insomnia, dan konstipasi
Terapi pada gangguan depresi terdapat terapi perilaku dan terapi kogmitif.
Terapi perilaku menunjukan penerapan klinis prinsip-prinsip yang dikembangkan
didalam teori pembelajaran, memfokuskan pada perilaku yang tampak dan
berpengaruh lingkungannya. Teknik kognitif berupa restrukturiasi kognitif
digunakan untuk mengubah pikiran atau keyakinan klien yang maladaptive, tidak
produktif, melemahkan dan mengadopsi pikiran dan keyakinan yang lebih
membangun. Dalam proses rekonstrurisasi kognitif, klien dilatih untuk menguasai
serangkaian keterampilan untuk menetralkan pikiran otomatis negative. Klien
diminta untuk mengevaluasi apakah pikiran yang muncul pada massa stressor
valid dan akutar.

23
24

DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, WN. 2009. Keefektivan Cognitive Behaviour Therapy (CBT) Sebagai


Terapi Tambahan Pasien Skizofrenia Kronis di Panti Rehabilitasi Budi
Makati Boyolali. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Ashwani, Arya dan Verma Preeti. 2012. A Review on Pathophysiology,


Classification, and Long Term Course of Depression. International Jurnal
of Pharmacy 3(3): 90-96

Barrera, AZ., Torres, LD., Munoz, RF. 2007. Prevention of Depression: The State
of The Science at The Beginning of The 21th Century. Inter Review of Psyc,
19(6): 655–670.

Bennet, C., Jones, RB., Smith, D. 2014. Prevention Strategies For Adolescent
Depression. Adv in Pysc Treatment 20:116-124.

Blazer, D.G. 2003. Depression in Late Life: Review and commentary. J


Gerontology Med Sci 58A(3): 249-265

Halverson, Jerry L. 2019. Depression. Available at:


https://emedicine.medscape.com/article/286759-overview#a6

Ismal, RI dan Siste, K. 2014. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016. Peran Keluarga Dukung


Kesehatan Jiwa Masyarakat. Jakarta: KEMENKES RI.
https://www.kemkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-
dukung-kesehatan-jiwa-masyarakat.html [diakses Oktober 2019].

Kessler, RC. 2013. The Epidemiology of Depression Across Cultures. Journal of


National Institute of Health 34: 119-138

Maramis WF dan Albert M. 2009. Catatan ilmu kedoteran jiwa edisi 2. Jakarta:
Airlangga University Press.

Maslim, R. 2013. Buku saku diagnosis gangguan jiwa – Rujukan ringkas dari
PPDGJ III dan DSM 5. Jakarta: Unika Ajmajaya.

Muchid, A., Chusun, Wurjati, R., Komar, Z., Istiqomah, SN., Purnama, NR.,
Rostilawati., dkk. 2007. Pharmaceutical Care Unit Penderita Gangguan
Depresi. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis.

National Institute of Mental Health. 2015. Depression: What You Need To Know.
Available at: http://www.nimh.nih.gov/health/publications/depression-what-
you-need-to-know-12-2015/index.shtml
25

Peltzer, K.,& Pengpid, S.(2018). High prevalence of depressive symptoms in a


national sample of adults in Indonesia: childhood adversity,
sociodemographic factors and health risk behaviour. Asian Journal of
Psychiatry, 33, 52-59. doi: 10.1016/j.ajp.2018.03.017.

Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar tahun 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia:
Jakarta.

Sadock, BJ. &Virginia A. Sadock. 2016. Kaplan dan Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis. Jakarta: EGC

Tomb, David A. 2004. Buku saku psikiatri edisi 6. Jakarta: EGC.

World Health Organization. 2012. Depression – A Global Public Health Concern.


USA: WHO. https://www.who.int/mental_health/management/depression/
who_paper_depression_wfmh_2012.pdf

World Health Organization. 2018. Depression. USA: WHO. Available at


https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/depression

World Health Organization. 2019. Adolescent health in the South-East Asia


Region. USA: WHO. Available at: https://www.who.int/southeastasia/
health-topics/adolescent-health

Anda mungkin juga menyukai