Anda di halaman 1dari 37

Referat

Memahami Kompleksitas Bunuh Diri dalam Depresi

Oleh:

Jolanda Aprilia Sianturi


H1AP20046

Pembimbing:
dr. Ermiati, Sp.KJ

SMF BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA


RSKJ SOEPRAPTO KOTA BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2022

i
HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Jolanda Aprilia Sianturi


NPM : H1AP20046
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu
Judul :Memahami Kompleksitas Bunuh Diri dalam Depresi
Bagian : Ilmu Kesehatan Jiwa
Pembimbing : dr. Ermiati, Sp.KJ

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu
Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu.

Bengkulu, Agustus 2022


Pembimbing

dr. Ermiati, Sp.KJ

ii
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Akhirnya penulis dapat
merampungkan referat dengan judul “Memahami Kompleksitas Bunuh Diri dalam
Depresi” ini dengan baik.
Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian Kepaniteraan
Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa RSKJ Soeprapto Kota Bengkulu, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan referat ini, penulis telah melibatkan berbagai pihak yang berperan
memberikan bantuan kepada penulis. Oleh karena itu, penulis ingin menghaturkan ribuan
terima kasih kepada:
1. dr. Ermiati, Sp.KJ sebagai pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu
dan telah memberikan masukan-masukan, petunjuk serta bantuan dalam
penyusunan tugas ini.
2. Keluarga dan teman-teman yang telah memberikan bantuan baik material, moril,
maupun spiritual kepada penulis dalam menyusun ini.
Penulis sangat menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang positif sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
referat ini. Akhir kata semoga referat ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan
pemikiran bagi pembaca.

Bengkulu, Agustus 2022


Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................................iii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iv
BAB I....................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................1
BAB II...................................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................2
2.1 Bunuh diri................................................................................................................2
2.2. Penilaian risiko keinginan dan percobaan bunuh diri............................................2
2.3. Gambaran Pengembangan Ide Bunuh Diri Menuju Upaya Bunuh Diri.................4
2.4. Tanda-tanda Individu yang Rentan untuk Melakukan Bunuh Diri........................6
2.5. Depresi....................................................................................................................7
2.5.1. Definisi..............................................................................................................7

2.5.2. Epidemiologi.....................................................................................................8

2.5.3. Klasifikasi.........................................................................................................9

2.5.4. Etiologi............................................................................................................10

2.5.5. Gejala..............................................................................................................12

2.5.6. Diagnosis.........................................................................................................13

2.5.7. Diagnosis Banding..........................................................................................16

2.5.8. Tatalaksana......................................................................................................17

2.5.9. Pencegahan......................................................................................................19

2.5.10. Prognosis........................................................................................................20

2.6. Kompleksitas Bunuh Diri dalam Depresi...........................................................20


2.6.1. Faktor risiko....................................................................................................20

2.6.2. Kerentanan genetik dan modulasi epigenetik.................................................20

2.6.3. Sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal.............................................................22

2.6.4. Sistem serotonergik.........................................................................................22

2.6.5. Penanda neuro-imunologis..............................................................................23

iv
2.6.6. Pola metabolisme............................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................30

v
BAB I
PENDAHULUAN
Bunuh diri adalah masalah kesehatan masyarakat utama, menjadi
penyebab utama cedera dan kematian di tingkat dunia, dengan sekitar satu juta
orang meninggal karena bunuh diri per tahun dan perkiraan sekitar satu kematian
bunuh diri terjadi setiap 40 detik. Bunuh diri menempati peringkat ke-2
penyebab kematian utama di antara orang berusia 10 hingga 34 tahun dan
kesepuluh di antara semua kelompok umur. Khususnya, perilaku bunuh diri
telah dikaitkan sebagai komorbiditas beberapa gangguan neuropsikiatri,
termasuk salah satunya adalah gangguan depresi mayor. 1

Gangguan depresi adalah gangguan kejiwaan umum yang dikaitkan


dengan penderitaan pribadi yang signifikan, cacat fisik dan mental, dengan
prevalensi titik global sekitar 4,7% dan prevalensi seumur hidup mulai dari 3%
di Jepang hingga 16,9% di AS, sementara di negara-negara Barat lainnya
angkanya bervariasi antara 8% dan 17%. Hubungan antara gangguan depresi dan
upaya bunuh diri dan/atau ide telah didokumentasikan dengan baik, karena ide
dan perilaku bunuh diri sering dilaporkan selama episode depresi, dengan tingkat
risiko bunuh diri setara dengan sekitar 15%. 2
Studi epidemiologi melaporkan bahwa subjek dengan depresi dengan
gangguan kecemasan adalah salah satu prediktor utama percobaan bunuh diri di
antara subjek bunuh diri yang depresi.2 Ide bunuh diri merupakan rencana awal
dari upaya bunuh diri yang diakibatkan oleh berbagai faktor dalam kehidupan.
Meskipun dikatakan bahwa sebagian individu yang memiliki ide tidak
melakukan upaya bunuh diri, namun berdasarkan kajian literatur diketahui bahwa
individu yang mengalami berbagai kombinasi peristiwa negatif dalam kehidupan
cenderung berpotensi lebih tinggi melakukan upaya bunuh diri. 2 Kombinasi yang
dimaksudkan yaitu upaya bunuh diri tidak hanya didorong oleh satu faktor
melainkan beberapa faktor pendorong, misalnya individu yang mengalami
depresi, keputusasaan serta memiliki akses untuk bertindak tentunya berisiko
lebih tinggi untuk mewujudkan ide bunuh diri menjadi upaya bunuh diri. Oleh
sebab itu, penulis ingin membahas mengenai judul tersebut.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bunuh diri


Bunuh diri adalah masalah kesehatan masyarakat global yang serius. Ini
adalah salah satu dari dua puluh penyebab utama kematian di seluruh dunia,
dengan lebih banyak kematian karena bunuh diri daripada malaria, kanker
payudara, atau perang dan pembunuhan. Hampir 800.000 orang meninggal karena
bunuh diri setiap tahun. Penurunan angka kematian akibat bunuh diri telah
diprioritaskan oleh World Health Organization (WHO) sebagai target global dan
dimasukkan sebagai indikator dalam United Nations Sustainable Development
Goals (SDGs). Program Umum WHO 13th 2019-2023 dan Rencana Aksi
Kesehatan Mental WHO 2013-2030. Tanggapan yang komprehensif dan
terkoordinasi untuk pencegahan bunuh diri sangat penting untuk memastikan
bahwa tragedi bunuh diri tidak terus menelan korban jiwa dan mempengaruhi
jutaan orang melalui kehilangan orang yang dicintai atau upaya bunuh diri. 2

2.2. Penilaian risiko keinginan dan percobaan bunuh diri


Dokter harus mampu menilai risiko bunuh diri pada pasiennya
secara individual. 3 Faktor risiko bunuh diri sering muncul, tetapi bunuh diri
tidak selalu terjadi. Faktor risiko yang pasti, yakni adanya riwayat bunuh diri
atau percobaan bunuh diri pada keluarga, jenis kelamin laki-laki, masalah
kesehatan mental pada orang tua, orientasi biseksual atau gay, riwayat
kekerasan fisik atau seksual, dan pernah melakukan percobaan bunuh diri
sebelumnya. Faktor risiko lainnya adalah faktor sosial dan lingkungan, yakni
ada tidaknya senjata tajam di rumah, hubungan anak dan orang tua yang tidak
baik, kehidupan di luar rumah yang tidak baik, kesulitan di sekolah, isolasi
sosial, dan ada atau tidaknya peristiwa dalam hidup yang menimbulkan
tekanan, seperti kesulitan asmara atau pertengkaran dengan orang tua. Masalah
kesehatan mental seseorang juga menjadi faktor predisposisi untuk melakukan
bunuh diri, diantaranya depresi, gangguan bipolar, psikosis, posttraumatic stress
disorders (PTSD), dan adanya riwayat agresi atau impulsive.4
Solomon membagi besarnya risiko bunuh diri dengan melihat adanya
tanda- tanda tertentu menjadi tanda-tanda risiko berat dan tanda-tanda bahaya.

2
Tanda-tanda risiko berat meliputi.5
1. Keinginan mati yang sungguh-sungguh dan pernyataan yang berulang-
ulang bahwa ia ingin mati (anggapan bahwa orang yang mengatakan
demikian tidak akan berbuat hal tersebut ternyata keliru).
2. Adanya depresi dengan gejala rasa bersalah dan berdosa terutama terhadap
orang- orang yang sudah meninggal, rasa putus asa, ingin dihukum berat,
rasa cemas yang hebat, rasa tidak berharga lagi, sangat berkurang nafsu
makan, seks dan kegiatan, serta adanya gangguan tidur yang berat.
3. Adanya psikosis, terutama penderita psikosis yang impulsif, serta adanya
perasaan curiga, ketakutkan dan panik. Keadaan semakin berbahaya
bila penderita mendengar suara yang memerintahkan membunuh dirinya.5
Tanda-tanda bahaya meliputi5 :
Pernah melakukan percobaan bunuh diri (jadi anggapan bahwa orang
yang pernah mencoba bunuh diri tidak akan berbuat demikian lagi juga keliru).
1. Penyakit yang menahun. Penderita dengan penyakit kronis yang
berat dapat melakukan bunuh diri karena mengalami depresi yang
disebabkan oleh penyakit yang dideritanya.
2. Ketergantungan obat dan alkohol. Alkohol dan beberapa obat
mempunyai efek melemahkan kontrol dan mengubah dorongan (impuls)
sehingga memudahkan bunuh diri.
3. Hipokhondriasis. Keluhan fisik yang konstan dan bermacam-macam
tanpa sebab organik dapat menimbulkan depresi yang berbahaya.
4. Bertambahnya umur. Bertambahnya umur, terutama pria, tanpa
pekerjaan atau kesibukan yang berarti, dapat menambah perasaan bahwa
hidupnya tidak berguna lagi. Tetapi dari beberapa artikel, di Indonesia
paling banyak terjadi bunuh diri antara umur 20-40 tahun.
5. Pengasingan diri. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak
dapat lagi menolong dan mengatasi depresi yang berat.
6. Kebangkrutan kekayaan. Individu tanpa uang, pekerjaan, teman atau
harapan masa depan, mengalami kekurangan gairah untuk hidup
dibandingkan dengan individu yang memiliki keluarga dan kedudukan
sosial yang lebih berhasil.

3
7. Catatan bunuh diri. Setiap catatan bunuh diri harus ditanggapi
sebagai tanda bahaya.
8. Kesulitan penyesuaian diri yang berlangsung lama. Individu dengan
riwayat permasalahan yang lama atau hubungan antar individu yang tidak
baik mempunyai kemungkinan lebih besar untuk melakukan bunuh diri.
9. Tidak jelas adanya keuntungan sekunder. Jika ancaman pasien tertuju
pada orang tertentu di sekitarnya, mungkin percobaan bunuh diri bertujuan
untuk memanipulasi dan mengharapkan pertolongan, maka risikonya
lebih kecil. Jika tidak terdapat keuntungan sekunder yang jelas dan
ancamannya betul-betul ditujukan pada dirinya, maka risikonya jauh
lebih besar.5
Tanda-tanda di atas ini tentu masih harus disesuaikan dengan situasi
setempat, tetapi setidaknya dokter sudah mempunyai pegangan.5
Cara terbaik untuk menilai adanya ide-ide bunuh diri adalah dengan
wawancara secara langsung atau melakukan skrining via self-report.4
Tanyakan kepada pasien dengan depresi, apakah pasien pernah
memiliki keinginan untuk membunuh dirinya sendiri. Di sisi lain, hal ini bisa
menjadi kesempatan pertama bagi pasien untuk mengungkapkan tentang ide-ide
bunuh diri yang mungkin kadang-kadang muncul.3

2.3. Gambaran Pengembangan Ide Bunuh Diri Menuju Upaya Bunuh


Diri
Secara umum ide bunuh diri termasuk pikiran dan kognisi mengenai
perilaku bunuh diri. 6
Tindakan terkait dengan kematian yang disebabkan oleh
bunuh diri diawali dengan adanya sebuah ide, pikiran atau rencana untuk
melakukan bunuh diri. Sebagian besar individu yang memiliki ide bunuh diri
tidak melakukan upaya apapun dan lebih banyak individu yang memiliki ide
bunuh diri dibandingkan dengan individu yang melakukan upaya bunuh diri. 7 Ide
bunuh diri dapat dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya faktor psikologis yang
menjadi faktor dominan atas timbulnya ide bunuh diri. 8
Salah satu faktor
psikologis yang mendorong ide bunuh diri adalah depresi. 9
Selain itu depresi
telah diidentifikasi menjadi prediktor ide bunuh diri.10 Menurut Vilhjalmsson,
Kristjansdottir dan Sveinbjarnardottir (1998) dukungan materi yang rendah,
kesulitan keuangan, kesulitan keluarga, persepsi stres, tekanan hukum memiliki

4
hubungan yang signifikan terhadap munculnya ide bunuh diri, selain itu beberapa
kondisi kronis seperti penggunaan minuman beralkohol secara berlebihan dan
berbagai bentuk kesulitan yang dialami (keputusasaan, depresi, kecemasan dan
rasa sakit) juga menjadi faktor pemicu ide bunuh diri. 11
Dalam Journal of Personality Assessment yang membahas mengenai
pengukuran ide bunuh diri, menyatakan bahwa ide bunuh diri dapat dibedakan
menjadi dua yaitu: 12
a. Keinginan dan rencana bunuh diri yang spesifik
Pemikiran umum terkait kematian dan keinginan untuk mati mulai dari
yang ringan hingga rencana spesifik yang serius serta cara mengakhiri
hidupnya atau bunuh diri.
b. Ide bunuh diri terkait reaksi dari orang lain
Pemikiran khusus yang lebih luas dibandingkan dengan keinginan dan
rencana untuk bunuh diri spesifik. Pemikiran ini terkait dengan reaksi
orang lain, termasuk persepsi orang lain terhadap harga diri seseorang
setelah mengalami kematian. Selain itu bunuh diri dianggap sebagai
bentuk balasan adalah kognisi yang terjadi pada domain ini.
Terdapat sebuah teori mengenai langkah-langkah sebelum terjadinya
bunuh diri yaitu The Three-Step Theory (3ST) of Suicide: 13
Dalam teori ini menjelaskan mengenai tahapan menuju timbulnya ide
bunuh diri kemudian berlanjut pada ide yang kuat hingga dorongan yang
memungkinkan terjadinya upaya bunuh diri. Langkah-langkah bunuh diri
dalam 3ST yaitu (1) pengembangan ide bunuh diri, (2) ide yang kuat versus ide
moderat dan (3) kemajuan dari ide menuju upaya yang dijelaskan sebagai
berikut:
a. Pengembangan ide bunuh diri
Langkah pertama menuju ide bunuh diri dimulai dari rasa sakit terlepas dari
sumbernya, baik itu rasa sakit psikologis maupun rasa sakit secara fisik. Ketika
individu memiliki pengalaman hidup dengan rasa sakit dan memiliki harapan
yang rendah terdahap masa depannya maka hal ini menjadi dorongan yang kuat
terhadap berkembangnya ide bunuh diri.

5
b. Ide yang kuat versus ide moderat
Keterhubungan individu dengan kehidupan sosialnya seperti hubungan
dengan orang terdekat, pekerjaan, peran dan minat memiliki pengaruh dalam
perkembangan ide bunuh diri. Ketika keterhubungan lebih kuat dibandingkan
dengan rasa sakit dan keputusasaan maka individu cenderung hanya memiliki ide
pasif dan tidak berkembang menjadi keinginan aktif. Apabila rasa sakit dan
keputusasaan lebih kuat dibandingkan keterhubungan maka individu cenderung
memiliki ide bunuh diri yang kuat dan keinginan aktif untuk mengakhiri
hidupnya. Selain penekanan pada rasa sakit, keputusasaan, dan keterhubungan,
faktor lain seperti depresi, keadaan pikiran, kepribadian, dan tempramen juga
berhubungan dan berpengaruh terhadap pekembangan ide bunuh diri.
c. Perkembangan ide menuju upaya bunuh diri
Secara biologis dan evolusi, manusia dapat menghindari cedera, rasa sakit
dan kematian hal ini dikarenakan oleh naluri manusia terhadap ketakutan akan
kematian. Oleh karena itu sulit bagi individu untuk memutuskan melakukan
upaya bunuh diri, namun dalam teori ini dijelaskan bahwa terdapat tiga kategori
variabel yang dapat meningkatkan kapasitas ide bunuh diri menjadi upaya bunuh
diri yaitu dispositional, acquired, dan practical. Dijelaskan bahwa dispositional
mengacu pada genetika dan sensitivitas terhadap rasa nyeri sedangkan acquired
mengacu pada pengalaman individu, seperti pengalaman rasa sakit, luka,
kecemasan dan kematian. Kemudian variabel praktis mengacu pada pengetahuan
dan akses yang memudahkan individu untuk melakukan upaya bunuh diri.

2.4. Tanda-tanda Individu yang Rentan untuk Melakukan Bunuh Diri


Bunuh diri dapat dicegah dan semua anggota masyarakat dapat
melakukan tindakan yang akan menyelamatkan kehidupan dan mencegah bunuh
diri. Sangat dibutuhkan kerjasama yang erat antara individu, keluarga,
masyarakat, profesi, dan pemerintah untuk bersama mengatasinya.
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan mengetahui ciri
atau faktor risiko individu yang rentan untuk melakukan bunuh diri atau
percobaan bunuh diri.

6
Berikut beberapa tanda peringatan yang umumnya terjadi pada orang
yang memiliki pikiran untuk bunuh diri:
1. Membicarakan tentang bunuh diri, menyakiti diri sendiri, dan kematian
2. Mulai mencari akses memiliki senjata api
3. Menarik diri dari teman, keluorga, dan sohabat
4. Perubahan suasana hati yang parah
5. Merasa putus asa dan terjebak di suatu masalah
6. Konsumsi minuman keras meningkat
7. Tidur jauh lebih lama dari biasanya atau malah memiliki masalah tidur
8. Mudah marah yang tak terkendali
9. Mulai memberikan barang-barang pribadi pada orang lain
10. Perilaku merusak atau menyakiti diri sendiri
11. Mengatakan selamat tinggal pada orang-orang seolah mereka takkan bersama
lagi
12. Berkembangnya perilaku cemas ata gelisah ketika mengalami beberapa tanda
sebelumnya.

2.5. Depresi
2.5.1. Definisi
Depresi adalah gangguan jiwa umum dengan manifestasi klinis berupa
mood depresi, penurunan minat atau kesenangan, penurunan energi, merasa
bersalah atau kurang percaya diri, gangguan tidur atau nafsu makan, dan
penurunan konsentrasi. Biasanya, depresi muncul bersamaan dengan gejala
kecemasan. Efek paling buruk dari depresi adalah ide bunuh diri. 14 Penurunan
kognitif, afek, dan psikomotor pada depresi dapat mempengaruhi pemikiran,
perilaku, perasaan, dan fungsi sosial seseorang.15
Pada depresi terdapat gejala psikologik dan gejala somatik. Gejala
psikologik antara lain menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistik, putus asa, rasa
ingin bekerja dan bersosialisai berkurang, tidak dapat mengambil keputusan,
mudah lupa dan timbul pikiran-pikiran bunuh diri. Gejala somatik antara lain
penderita kelihatan tidak senang, lelah, tidak bersemangat, apatis, bicara dan
gerak geriknya pelan, terdapat anoreksia, insomnia, dan konstipasi.16

7
2.5.2. Epidemiologi
Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan gangguan depresi sudah mulai terjadi
sejak rentang usia remaja (15-24 tahun), dengan prevalensi 6,2%. Pola prevalensi
depresi semakin meningkat seiring dengan peningkatan usia, tertinggi pada umur
75+ tahun sebesar 8,9%, 65-74 tahun sebesar 8,0% dan 55-64 tahun sebesar
6,5%.17
10 besar Penyakit Mental Disorders17

Prevalensi Depresi pada Penduduk Umur ≥ 15 Tahun menurut Kelompok


Umur 17

Depresi dapat diklasifikasikan menjadi depresi ringan, sedang, dan berat.


Gangguan depresi berat lazim ditemukan dengan prevalensi seumur hidup sebesar
15%. Gangguan depresi berat lebih banyak pada perempuan dengan presentase

8
mencapai 25%. Insiden gangguan depresi berat yaitu 10% pada pasien yang
berobat di fasilitas kesehatan primer dan 15% di fasilitas rawat inap. 18

2.5.3. Klasifikasi
Depresi mayor termasuk di dalam Gangguan Mood yang menurut PPDGJ
III Termasuk dalam bagian F30-F39, yakni.19
 F32 Episode depresi
- F32.0 Episode depresi ringan
 Tanpa gejala somatik
 Dengan gejala somatik
- F32.1 Episode depresi sedang
 Tanpa gejala somatik
 Dengan gejala somatik
- F32.2 Episode depresi berat tanpa gejala psikotik
- F32.3 Episode depresi berat dengan gejala psikotik
- F32.8 Episode depresi lainnya
- F32.9 Episode depresi YTT
 F33 Gangguan depresi berulang
- F33.0 Gangguan depresi berulang, episode kini ringan
 Tanpa gejala somatik
 Dengan gejala somatik
- F33.1 Gangguan depresi berulang, episode kini sedang
 Tanpa gejala somatik
 Dengan gejala somatik
- F33.2 Gangguan depresi berulang, episode kini berat tanpa gejala
psikotik
- F33.3 Gangguan depresi berulang, episode kini berat dengan gejala
psikotik
- F33.4 Ganguan depresi berulang ,sekarang dalam remisi
- F33.8 Gangguan depresi berulang lainnya
- F33.9 Gangguan depresi berulang YTT
 F34 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) menetap

9
- F34.0 Siklotimia
- F34.1 Distimia
- F34.8 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) menetap lainnya
- F34.9 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) menetap YTT
 F38 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) lainnya
- F38.0 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) tunggal lainnya
 .00 Episode afektif campuran
- F38.1 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) berulang lainnya
 .10 Gangguan depresi singkat berulang
- F38.8 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) tunggal lainnya YDT
 F39 Gangguan suasana perasaan (mood[afektif]) YTT

2.5.4. Etiologi
Gangguan depresi disebabkan oleh banyak faktor, seperti halnya gangguan
jiwa lain. Beberapa etiologi yang memungkinkan terjadinya depresi adalah
sebagai berikut:
1. Faktor Organobiologi
Dilaporkan terdapat kelainan atau disregulasi metabolit amin biogenik
seperti 5-hydroxyindoleatic (5-HLAA), asam homovanilic (HVA), dan 3-methoxy-
4-hydroxyphenyl-glycol (MHPG) di dalam darah, urin, dan cairan serebropinal
pada pasien gangguan afektif. 20
a. Amin Biogenik
Norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmiter yang paling
berperan dalam pasien gangguan afektif.
b. Norepinefrin
Penurunan regulasi reseptor beta adrenergik dan respon klinis antidepresi
mungkin merupakan peran langsung sistem adrenergik pada gangguan
depresi. Sebagai contoh aktifnya reseptor tersebut mengakibatkan penurunan
jumlah pelepasan norepinefrin dan reseptor ini pula terletak pada neuron
serotonergik yang mengatur pelepasan jumlah serotonin.

c. Dopamin

10
Terdapat dua teori terbaru yaitu jalur dopamin mesolimbik yang mengalami
disfungsi atau reseptor dopamin D1 yang hipoaktif menimbulkan gejala
depresi.
d. Serotonin
Aktivitas serotonin bertanggung jawab untuk kontrol afek, agresi, tidur, dan
nafsu makan.
2. Faktor Genetik
Faktor ini merupakan faktor yang berperan dalam perkembangan, namun
jalur penurunan sangat kompleks. Penelitian dalam keluarga didapatkan hasil
bahwa generasi pertama memiliki kemungkinan 2 sampai 10 kali lebih sering
mengalami depresi berat. Pada penelitian lain didapatkan 2 dari 3 studi gangguan
depresi berat diturunkan secara biologis meskipun anak tersebut diadopsi keluarga
lain. Penelitian pada anak kembar monozigot didapatkan 53-69% sedangkan anak
kembar dizigot didapatkan 13-28% mengalami depresi berat.20
3. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan yang membuat seseorang tertekan akan menyebabkan
terjadinya stres. Teori mengemukakan bahwa bila seseorang mengalami stres
sebelum timbul episode pertama maka terjadi perubahan neurotransmiter, sistem
sinyal intraneuron seperti penurunan kontak sinaps dan hilangnya beberapa
neuron sehingga mengakibatkan gangguan episode berulang. Faktor lain yang
berkaitan dengan stresor lingkungan adalah kehilangan orangtua sebelum usia 11
tahun, pasangan, dan pekerjaan dapat mengakibatkan seseorang memiliki risiko
depresi 2 sampai 3 kali lebih besar. 20
4. Faktor Kepribadian
Semua tipe kepribadian dapat mengalami depresi sesuai dengan situasinya.
Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, histrionik, dan ambang berisiko tinggi
dibandingkan kepribadian paranoid, dan antisosial. Riset menunjukkan pasien
yang mengalami stresor dengan kepribadian tidak percaya diri lebih sering
mengalami depresi. 20
5. Faktor Psikodinamik
Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan antara lain;
a. Sigmund Freud dan Karl Abraham

11
Terdapat 4 hal utama yaitu:
(1) gangguan hubungan ibu-anak fase oral (10-18 bulan) menjadi faktor
predisposisi episode depresi berulang;
(2) Depresi dapat dihubungkan dengan cinta yang nyata maupun fantasi
kehilangan objek;
(3) Intropeksi merupakan mekanisme pertahanan atas kehilangan objek yang
dicintai;
(4) Kehilangan cinta dapat diekspresikan campuran antara benci dan cinta,
serta perasaan marah pada diri sendiri.
b. Heinz Kohut
Depresi dikonseptualisasikan bermula dari teori self-phychology bahwa
perkembangan jiwa anak harus dipenuhi kedua orang tua dengan memberikan rasa
percaya diri, rasa positif, dan self-cohesion.
c. John Bowlby
Rusaknya keeratan hubungan awal dan trauma akibat perpisahan pada anak
merupakan faktor predisposisi depresi sedangkan kehilangan pada dewasa
memudahkan seseorang terkena depresi pada masa dewasa.
6. Lain-lain
Terdapat beberapa jenis obat yang dapat memicu terjadi gangguan depresi
yaitu: 21
a. Obat kardiovaskular : β-blocker, klonidin, metildopa
b. Obat sistem saraf pusat : barbiturat, benzodiazepin, fenitoin
c. Obat hormonal : estrogen, progestin, tamoxifen
d. Lain-lain : indometasin, narkotika

2.5.5. Gejala
Terdapat beberapa gejala yang terjadi pada pasien depresi. Gejala klinis
depresi terjadi selama minimal dua minggu dengan gejala seperti berikut: 22
a. Rasa sedih yang persisten, gelisah, atau pikiran kosong
b. Merasa putus asa
c. Perasaan bersalah, merasa diri tidak berguna
d. Iritabilitas, cepat marah, gelisah
e. Hilang minat beraktifitas, termasuk aktivitas seksual

12
f. Lelah dan penat
g. Masalah konsentrasi, mengingat sesuatu dan membuat keputusan
h. Insomnia atau tidur berlebihan
i. Ide atau pernah mencoba bunuh diri
j. Sakit kepala, kejang, atau masalah pencernaan yang persisten dan tidak
sembuh dengan pengobatan

2.5.6. Diagnosis
Kriteria depresi menurut PPDGJ III 19 yakni:
F32 Episode depresi
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat):
- Afek depresi
- Kehilangan minat dan kegembiraan dan
- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas
Gejala lainnya:
a. konsentrasi dan perhatian berkurang
b. harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d. pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. tidur terganggu
g. nafsu makan berkurang
Untuk episode depresi dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan
masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi
periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan
berlangsung cepat. Kategori diagnosis episode depresi ringan (F32.2) hanya
digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama). Episode depresi
berikutnya harus diklasifikasi di bawah salah satu diagnosis gangguan depresi
berulang (F33-).
F32.0 Episode depresi ringan
Pedoman diagnostik

13
- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti disebut di
atas
- Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya sampai dengan (g)
- Tidak boleh ada gejala berat diantaranya
- Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
- Hanya ada sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya
Karakter kelima: F32.00 = tanpa gejala somatik
F32.01 = dengan gejala somatik
F32.1 episode depresi sedang
Pedoman diagnostik
- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada
depresi ringan
- Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya;
- Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
- Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan
urusan rumah tangga
F 32.2 episode depresi berat tanpa gejala psikotik
Pedoman diagnostik
- Semua 3 gejala utama depresi harus ada
- Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa di
antaranya harus berintensitas berat
- Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci.
Dalam hal demikian, penilaian scara menyeluruh terhadap episode deprsif
berat masih dapat dibenarkan.
- Episode depresi biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu,
akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2
minggu.

14
- Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf sangat terbatas.
F 32.3 episode depresi berat dengan gejala psikotik
- Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F 32.2 tersebut di
atas;
- Disertai waham, halusinasi atau stupor depresi. Waham biasanya melibatkan
ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan pasien
merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfatorik
biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau
daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menunjukkan
stupor.
Jika diperlikan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau
tidak serasi dengan afek (mood-congruent).

F 32.8 episode depresi lainnya


F32.9 episode depresi YTT
Karakter kelima: F32.00 = tanpa gejala somatik
F32.01 = dengan gejala somatik
Kriteria lain untuk menentukan diagnosis depresi berat yaitu berdasarkan
kriteria DSM-IV-TR, yaitu sebagai berikut 18:
1. Lima atau lebih gejala di bawah telah ada selama periode waktu 2 minggu
dan menunjukkan perubahan fungsi sebelumnya serta setidaknya satu
gejalanya diantara mood menurun atau kehilangan minat atau kesenangan.
a. Mood menurun hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang
ditunjukkan baik melalui laporan subjektif (contohnya perasaan sedih
atau kosong) atau pengamatan orang lain (contohnya tampak bersedih)
b. Menurunnya minat atau kesenangan yang nyata pada semua, atau hampir
semua aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti yang
ditunjukkan laporan subjektif atau pengamatan orang lain).
c. Penurunan berat badan yang bermakna walaupun tidak diet atau berat
badan bertambah (contohnya perubahan lebih dari 5% berat badan dalam

15
sebulan), atau menurun mauun meningkatnya nafsu makan hampir setiap
hari.
d. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
e. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diamatiorang
lain, tidak hanya perasaan subjektif adanya kegelisahan atau menjadi
lebih lamban).
f. Lelah atau hilang energi hampir setiap hari
g. Perasaan tidak berarti atau bersalah yang tidak sesuai atau berlebihan
(yang dapat menyerupai waham) hampir setiap hari (tidak hanya
menyalahkan diri atau rasa bersalah karena sakit)
h. Menurunnya kemampuan berpikir atau berkonsentrasi, atau keragu-
raguan hampir setiap hari (baik laporan subjektif atau diamati orang lain)
i. Pikiran berulang mengenai kematian (bukan hanya rasa takut mati),
gagasan bunuh diri berulang tanpa suatu rencana yang spesifik, atau
upaya bunuh diri atau suatu rencana spesifik untuk melakukan bunuh
diri.
2. Gejala tidak memenuhi kriteria episode campuran
3. Gejala menyebabkan penderitaan yang secara klinis bermaknaatau hendaya
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi yang lain.
4. Gejala tidak disebabkan pengaruh fisiologis langsung zat (misalnya
penyalahgunaan obat atau dalam proses pengobatan) atau kondisi medis
umum (misalnya hipotiroidisme).

Gejala sebaiknya tidak disebabkan karena berkabung, setelah kehilangan


orang yang dicintai, gejala bertahan hingga lebih lama 2 bulan, atau ditandai
hendaya fungsi yang nyata, preokupasi patologis mengenai ketidakberartian,
gagasan bunuh diri, gejala psikotik, atau retardasi psikomotor.18

2.5.7. Diagnosis Banding


1. Distimia
Gangguan distimik merupakan gangguan jiwa dengan ciri khas perasaan
yang tidak adekuat, bersalah, iritabilitas, kemarahan, penarikan diri dari
masyarakat, hilang minat, serta inaktivitas dan tidak produktif. Menurut DSM-IV-
TR, adanya gejala-gejala tersebut minimal dua tahun (satu tahun untuk anak dan

16
remaja) serta tidak pernah memiliki episode depresi berat, manik, atau hipomanik.
Gambaran distimik sering bertumpang tindih dengan depresi berat. Pada
gangguan distimik, gejala subjektif lebih dominan daripada gejala objektif. Gejala
seperti inersia, letargi, dan anhedonia sering terlihat pada pagi hari, dan
sebaliknya, gejala seperti agitasi, ganggan nafsu makan dan libido, serta retardasi
psikomotor kurang nampak pada gangguan distimik.18
2. Gangguan Campuran Cemas dan Depresi
Gangguan ini menggambarkan pasien dengan gejala ansietas dan depresi
yang tidak memenuhi kriteria diagnosis gangguan ansietas atau gangguan afektif.
Kombinasi gejala depresi dan ansietas, terutama gejala somatik, seperti tremor,
palpitasi, mulut kering, dan rasa perut yang bergejolak sering tidak didiagnosis
dengan gangguan ini. Gangguan ini dapat menimbulkan hendaya fungsional yang
bermakna, sehingga gangguan ini lazim ditemukan di pelayanan primer dan klinik
kesehatan jiwa rawat jalan.18

2.5.8. Tatalaksana
1. Terapi Farmakologi.23
a. Golongan trisiklik
Golongan trisiklik bekerja dengan cara memblok reuptake serotonin dan
norepinefrin, sehingga kadar serotonin dan norepinefrin di dalam otak
meningkat. Contoh obat dari golongan ini adalah amitriptilin, imipramin,
klomipramin, maprotlin dan amoksapin.
b. Golongan inhibitor monoaminoksidase (MAOI)
Golongan MAOI bekerja dengan cara mencegah oksidase monoamin yang
berperan dalam oksidasi norepinefrin. Contoh obat dari golongan ini adalah
moklobemid.
c. Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
Golongan SSRI bekerja dengan menghambat reuptake serotonin sehingga
jumlah serotonin dalam otak meningkat. SSRI merupakan golongan obat
yang paling sering digunakan dalam terapi karena efek samping yang lebih
ringan daripada golongan MAOI atau Trisiklik. Contoh obat dari golongan ini
adalah flouxetin, setralin, paroxetine, dan sitalopram.

17
Dalam penggunaan obat antidepresan, perlu diketahui efek samping obat
yang mempengaruhi beberapa sistem organ, yaitu: 13
a. Efek kolinergik, seperi mulut kering, mata kabur gangguan akomodasi,
meningkatnya tekanan intraokuler, konstipasi, hipotensi ortostatik postural,
retensi urin, berkeringat, dan ileus
b. Efek susunan saraf pusat, seperti pusing, lelah, bingung, tremor, disartria,
insomnia, kejang, mendadak jatuh, dan eksaserbasi gejala psikotik
c. Kardiovaskuler, seperti hipotensi, sinus takikardi, aritmia, dan konduksi
atrioventrikuler terganggu
d. Hematologis, seperti depresi sumsum tulang, leukopenia, agranulositosis,
purpura, trombositopenia, anemina hemolitik, dan hiponatremia
e. Lain-lain, seperti hipotermia, hipertermia, gangguan pernapasan, gangguan
libido, exantema, tinitus, keluhan gastrointestinal, gangguan hepar, dan berat
badan bertambah.
2. Perawatan di rumah sakit, bila: 24
a. Terapat disabilitas dalam melakukan kegiatan akibat depresi
b. Lingkungan keluarga kurang mendukung dalam proses penyembuhan
pasien
c. Mempunyai risiko bunuh diri
d. Mempunyai riwayat penyakit lain yang perlu ditangani oleh tenaga
kesehatan
3. Terapi psikologis 24:
a. Terapi suportif
Pada terapi suportif, pasien diberikan kehangatan, empati, perhatian, dan
optimistik. Selain itu, pasien dibantu dalam mencari masalah yang membuat
pasien merasa depresi, kemudian dibantu dalam menyelesaikan masalah
tersebut. Identifikasi faktor pencetus dan bantu pasien dalam
mengkoreksinya. Jika terdapat masalah eksternal seperti pekerjaan, bantu
dalam menyelesaikan masalahnya.
b. Terapi kognitif perilaku:
Terapi kognitif perilaku diberikan pada pasien depresi ringan ataupun
sedang. Terapi ini memberikan pasien latihan keterampilan dan berbagi

18
pengalaman-pengalaman sukses. Pasien juga dilatih untuk mengenal dan
menghilangkan pikiran negatif, sehingga mencegah kambuhnya kembali
depresi tersebut.
4. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik diberikan sebagai terapi pasien depresi jika 24:
a. Pasien masih belum sembuh setelah pengobatan selama 6 minggu atau
lebih
b. Kondisi pasien menuntut untuk remisi segera, seperti adanya keinginan
untuk bunuh diri
c. Depresi dengan gejala psikotik
d. Pasien yang tidak toleransi terhadap obat, seperti pasien dengan usia tua
yang mempunya penyakit jantung.

2.5.9. Pencegahan
Pencegahan terbagi atas 3 sublevel, yaitu: 25
1. Pencegahan universal ditargetkan kepada seluruh komunitas, seperti edukasi
dengan kampanye kesehatan tanpa melihat faktor risiko seseorang.
2. Pencegahan selektif ditargetkan kepada komunitas yang memiliki faktor
risiko berdasarkan karakteristik demografi.
3. Pencegahan sesuai indikasi ditargetkan kepada seseorang yang memiliki
tanda atau gejala klinis awal (subsindromal). 25
Beberapa bentuk pencegahan dapat dikategorikan menjadi 3 bagian; 26
1. Primer yaitu mencegah kejadian gangguan jiwa pada suasana yang
sebenarnya tidak memiliki risiko terjadinya depresi;
2. Sekunder yaitu deteksi dengan menggunakan instrumen sesusai usia dan
pengobatan dini pada pasien depresi;
3. Tersier yaitu meminimalisir disabilitas akibat gangguan depresi 26.
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah teknik pengobatan dan
pencegahan terhadap beberapa gangguan jiwa seperti depresi.27 Banyak penelitian
dengan metode CBT yang berbeda dalam mencegah gangguan depresi pada
remaja akan tetapi penelitian menunjukkan hasil penelitian yang terbaik dengan
metode 15 kali sesi CBT dengan pertemuan keluarga sebanyak 3 kali
dibandingkan pengobatan biasa. Pencegahan gangguan depresi pada dewasa yang

19
dilakukan Munoz dan Ying dalam Barrera, Torres dan Munoz (2007) dengan
metode CBT sebanyak 8 kali dalam grup kecil untuk melihat faktor risiko berupa
onset, jenis kelamin, perceraian, sosioekonomi rendah, dan etnis. Pencegahan
gangguan depresi pasca persalinan menggunakan skoring Edinburgh Postnatal
Depression Scale (EPDS) dengan beberapa variasi frekuensi masih belum
ditemukan berapa kali pertemuan dan kapan waktu intervensi yang terbaik. 25
Penelitian Paykel dalam Barrera, Torrez dan Munoz (2007) menunjukkan
pasien akut (episode pertama) yang menerima cognitive therapy (CT) sebanyak 16
sesi dengan 6 dan 14 minggu setelah pertemuan terakhir sebagai tambahan
memiliki angka kejadian (29%) relaps setelah 48 minggu terapi terakhir dilakukan
dibandingkan pasien yang menerima pengobatan saja.25

2.5.10. Prognosis
Pada pemberian terapi yang sesuai, gejala depresi pada pasien dapat
menurun 70-80%, meskipun sekitar 50% penderita tidak memberikan respon
dalam permulaan terapi. Dua puluh persen pasien depresi yang tidak diobati
selama setahun akan memiliki gejala yang dapat menjadi dasar penegakan
diagnosis depresi atau empat puluh persen diantaranya mengalami remisi parsial.
Remisi parsial atau riwayat depresi sebelumnya meningkatkan risiko adanya
gangguan depresi berulang dan resistensi pengobatan 27.

2.6. Kompleksitas Bunuh Diri dalam Depresi


2.6.1. Faktor risiko
Meskipun etiologi bunuh diri dan depresi tentu saja kompleks, beberapa
faktor risiko bunuh diri diperkirakan berkontribusi terhadap risiko perilaku bunuh
diri termasuk faktor biologis/individu, sosial psikologis, klinis/simptomatologis
dan lingkungan.

2.6.2. Kerentanan genetik dan modulasi epigenetik


Studi keluarga menunjukkan bahwa percobaan bunuh diri dan bunuh diri
yang terpenuhi menunjukkan akumulasi keluarga,dengan perkiraan heritabilitas
perilaku bunuh diri antara 30% dan 55% dan peningkatan risiko setidaknya dua
kali lipat. Perbedaan genetik yang diwariskan memiliki peran yang relevan
dalam bunuh diri, seperti yang ditunjukkan oleh studi kembar, khususnya bahwa

20
kecocokan kembar monozigot untuk bunuh diri yang berhasil terutama lebih
tinggi daripada pasangan kembar dizigotik, masing-masing 24,1% dan 2,8%.
Sebuah studi asosiasi genom (Genome-Wide Association Study) (GWAS), tentang
pikiran dan perilaku bunuh diri depresi, menunjukkan arsitektur poli genetik
dengan banyak gen yang terlibat meskipun dengan efek kecil.
Beberapa penelitian GWAS telah dilakukan pada percobaan bunuh diri
yang memeriksa individu dengan depresi, membandingkan pelaku bunuh diri
dengan non-pencoba dan pengujian varian genetik yang mungkin berkontribusi
independen untuk percobaan bunuh diri, bukti epidemiologi menunjukkan bahwa
pewarisan bunuh diri cenderung independen dari depresi yang mendasarinya,
dengan mendukung kontribusi genetik yang berbeda untuk bunuh diri.
Skor risiko poligenik untuk percobaan bunuh diri telah menunjukkan
kemampuan prediksi sederhana dalam sampel independen, dan perkiraan
heritabilitas polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) yang kecil tapi signifikan
untuk percobaan bunuh diri telah dilaporkan.
Sebuah hubungan yang signifikan antara dua SNP (rs12415800 dan
rs4746720 dalam 3'UTR) dan CS di antara wanita depresi berusia lebih dari 50
tahun dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Gen FKBP5 yang mengkode
protein pengikat FK506 51 (FKBP51) dan berpartisipasi sebagai pengatur
reseptor glukokortikoid (GR) aktivitas, telah mendapat perhatian yang meningkat
juga, dalam kaitannya dengan perilaku bunuh diri.
Lebih lanjut, faktor distal (predisposisi) berinteraksi dengan faktor
proksimal (pencetus) dalam menentukan kejadian bunuh diri, yaitu,
predisposisi/kerentanan genetik, kesulitan awal dan modifikasi epigenetik terkait,
dan bersama-sama dapat memodulasi perilaku bunuh diri dan ciri kepribadian
yang terkait dengan bunuh diri di depresi.
Kesulitan hidup dini dianggap sebagai salah satu faktor risiko terkuat
untuk percobaan bunuh diri, yaitu, paparan pengobatan yang salah selama fase
awal perkembangan seseorang meningkatkan risiko SB pikir umur dalam waktu
2 hingga 5 kali lipat. Faktanya, peristiwa ini mungkin secara epigenetik mengatur
sistem emosi dan perilaku kunci yang pada gilirannya dapat berkontribusi pada

21
perkembangan depresi dan perilaku bunuh diri, terutama dengan menginduksi
metilasi DNA.
Sebuah penelitian menyelidiki apakah modifikasi epigenetik gen terkait
stres memainkan peran dalam perilaku bunuh diri dan apakah modifikasi ini
umum atau independen dari depresi, dengan melaporkan peningkatan yang
signifikan I DNA methylati gen terkait stres termasuk BDNF, NR3C1, FKBP5,
dan CRHBP di antara subjek depresi (dengan dan tanpa SI) dibandingkan dengan
kontrol yang sehat, bersama dengan penurunan ekspresi BDNF, NR3C1, dan
FKBP5 transkrip varian 1, 2 dan 3 secara bersamaan (tetapi tidak 4) di antara
subjek bunuh diri depresi dibandingkan dengan kontrol yang sehat.

2.6.3. Sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal


Sumbu HPA adalah sistem neuroendokrin utama yang terlibat dalam
pengaturan respons tubuh terhadap stres.Teori terkait stres depresi menyatakan
bahwa stres kronis dapat menyebabkan aktivasi jangka panjang dari sumbu HPA,
yang dapat mengakibatkan penurunan volume atau gangguan fungsi hipokampus.
corticotrophin-releasing hormone (crh) dan vasopressin adalah hormon yang
dilepaskan dari terminal saraf neurosecretory dan bekerja secara sinergis untuk
merangsang sekresi hormon adrenocorticotrophic (acth) yang tersimpan dari sel
kortikotropin, yang pada gilirannya merangsang biosintesis kortikosteroid. Studi
biologis prospektif menunjukkan bahwa disfungsi pada sumbu HPA memiliki
beberapa kekuatan prediksi untuk bunuh diri di depresi. Subjek yang terkena
depresi yang menunjukkan perilaku bunuh diri menunjukkan peningkatan kadar
crh dalam cairan serebrospinal dibandingkan dengan subjek depresi yang tidak
bunuh diri. Beberapa penelitian melaporkan bahwa non-supresi kortisol dalam
menanggapi tes tantangan deksametason merupakan prediktor kuat perilaku
bunuh diri di depresi.

2.6.4. Sistem serotonergik


Sistem serotonin telah diselidiki secara luas dalam studi subjek depresi
dan perilaku bunuh diri. Studi postmortem dari otak seseorang yang melakukan
tindakan bunuh diri telah menunjukkan bukti disfungsi serotonin di antara subyek
depresi. Pengangkut serotonin telah dilaporkan berkurang di korteks prefrontal,
hipotalamus, korteks oksipital, dan batang otak subjek yang terkena depresi yang

22
telah melakukan bunuh diri. Studi menunjukkan konsentrasi yang lebih rendah
dari metabolit serotonin asam 5-hidryndolasetat (5-hiaa) dalam cairan
serebrospinal pasien depresi yang cenderung mengembangkan perilaku bunuh diri
serta menurunkan kadar serotonin (5-ht) dan 5hiaa di batang otak korban bunuh
diri, dibandingkan dengan subjek depresi non-bunuh diri.
Pengangkut serotonin (5-htt) adalah penentu utama inaktivasi 5-ht setelah
pelepasan 5-ht di sinapsis, penurunan 5-htt telah diamati pada korban bunuh diri
dengan depresi. Beberapa penelitian postmortem telah melaporkan peningkatan 5-
ht2a pengikatan reseptor di korteks prefrontal individu yang ingin bunuh diri
dengan depresi. Sebuah meta-analisis dari studi biologi prospektif memperkirakan
rasio odds untuk prediksi penyelesaian bunuh diri menjadi 4,5 kali lipat lebih
besar untuk subjek depresi dengan tingkat 5-hiaa yang rendah dalam cairan
serebrospinal dibandingkan dengan subyek dengan tingkat 5-hiaa yang tinggi.
Gen transporter serotonin terletak pada kromosom 17q11.1-q12 dan dua
polimorfisme telah dilaporkan. Perubahan elektroensefalografi (eeg) dan berbagai
temuan polisomnografis dapat mencerminkan aktivitas serotonin pusat dan
menunjukkan bahwa skor bunuh diri yang tinggi telah dikaitkan dengan latensi
rem (gerakan mata cepat) yang lebih pendek. peningkatan waktu dan aktivitas rem
pada subjek depresi dengan sa telah dikaitkan dengan penurunan aktivitas
serotonin atau kadar 5-hiaa dalam cairan serebrospinal.

2.6.5. Penanda neuro-imunologis


Mediator inflamasi dan stres oksidatif yang menyebabkan eksitotoksisitas
mungkin memainkan peran penting dalam patofisiologi depresi dan bunuh diri,
termasuk ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi (yaitu, interleukin il-1b,
il-2, il-6, interferon-gamma inf-γ) dan tumor necrosis factor-alpha (tnf-α) versus
sitokin anti-inflamasi (yaitu, il-4 dan il-10); atau peningkatan kadar sitokin pro-
inflamasi dan tingkat keparahan depresi. Oleh karena itu, disregulasi respon imun
dapat menjadi faktor yang berkontribusi terhadap depresi pada risiko bunuh diri,
termasuk faktor pertumbuhan endotel vaskular (vegf) dan tingkat kynurenine. B
Beberapa temuan menunjukkan bahwa pasien depresi yang bunuh diri
menampilkan profil sitokin darah perifer yang berbeda dibandingkan dengan

23
pasien non-bunuh diri dengan depresi, karena perubahan spesifik dalam tingkat
sitokin inflamasi paling sering dikaitkan dengan depresi dan bunuh diri.
Secara khusus, tingkat il-8 yang lebih rendah terkait dengan penurunan
perlindungan saraf dan tingkat il-13 yang lebih tinggi telah ditemukan pada pasien
depresi dengan dibandingkan pada subjek depresi tanpa; sementara peningkatan
kadar interferon-gamma (inf-γ) dan il-6 tampaknya lebih kuat terkait dengan sa di
depresi, meskipun penelitian sebelumnya mengevaluasi pasien depresi bunuh diri
melaporkan penurunan kadar inf-γ dan il-6, dibandingkan dengan pasien depresi
non-bunuh diri.memang, penelitian lain cukup bertentangan dalam temuan,
misalnya, tingkat il-4 yang tinggi telah ditemukan pada wanita depresi dengan cs,
pasien depresi bunuh diri dan subjek depresi bunuh diri dan nonsuicidal.
Subyek depresi bunuh diri, terutama mereka yang melakukan kekerasan
sa, cenderung memiliki tingkat il-6 yang lebih tinggi dan il-2 yang lebih rendah
dibandingkan dengan subjek depresi non-bunuh diri dan kontrol yang sehat.lebih
lanjut, tingkat tnf-α yang lebih tinggi telah dilaporkan juga pada subjek depresi
yang bunuh diri dibandingkan dengan depresi non-bunuh diri dan kontrol yang
sehat, meskipun beberapa bukti tampak kontras. jalur biologis utama yang dapat
menghubungkan peradangan dan depresi adalah aktivasi aksis hpa oleh sitokin,
terutama karena stresor psikososial, yang mengakibatkan peningkatan kadar
kortisol dan pelepasan monoamina yang pada awalnya dapat meningkatkan jalur
sinyal inflamasi dan sistem kekebalan aktif. namun, tidak semua penelitian
menunjukkan korelasi positif antara sitokin inflamasi dan perilaku bunuh diri pada
subjek depresi, oleh karena itu, penelitian lebih lanjut sebaiknya menyelidiki
korelasi ini (jika ada).

2.6.6. Pola metabolisme


Uji klinis acak besar obat penurun kolesterol dan studi metaanalitik
melaporkan peningkatan kematian terkait kekerasan, termasuk bunuh diri, di
antara individu yang memakai obat penurun kolesterol serum. Pasien depresi yang
bunuh diri cenderung memiliki kadar lipid yang tidak teratur dibandingkan
dengan pasien yang tidak bunuh diri. studi klinis yang dilakukan pada subjek
psikiatri, termasuk subjek depresi, mengungkapkan hubungan antara kadar
kolesterol total yang lebih rendah dan perilaku bunuh diri.

24
Kadar kolesterol total yang lebih rendah pada pasien depresi dengan ide
bunuh diri, dibandingkan dengan subjek depresi non-bunuh diri, telah dilaporkan
dalam meta-analisis baru-baru ini. trigliserida rendah, rendahnya tingkat low-
density lipoprotein (ldl) dan rendahnya highdensity lipoprotein (hdl) secara
signifikan terkait dengan bunuh diri pada pasien depresi. sebuah hipotesis yang
diusulkan menyarankan bahwa penurunan kadar kolesterol dapat mengurangi
prekursor serotonin dan memodifikasi fungsi dan viskositas reseptor serotonin dan
transporter, dengan meningkatkan kecenderungan seseorang terhadap perilaku
impulsif, agresif, dan bunuh diri.
Konsentrasi trigliserida serum yang rendah juga dapat mengubah
metabolisme serotonin, yang menyebabkan kontrol impuls agresif yang buruk
pada subjek depresi, dengan mengakibatkan peningkatan risiko bunuh diri.
hipotesis lain menyatakan bahwa kolesterol perifer dan sentral yang rendah dapat
menurunkan viskositas lipid membran sel saraf, yang dapat menurunkan eksposur
transporter serotonin pra-sinaptik atau reseptor serotonin pasca-sinaptik. demikian
pula, penelitian lebih lanjut harus menyelidiki lebih baik peran profil metabolik
(termasuk lipid) dalam menentukan peningkatan risiko bunuh diri di antara pasien
depresi, dan mengevaluasi bagaimana obat anti-kolesterol dan anti-dislipidemia
dapat mengurangi bunuh diri pada pasien depresi.

2.6.7. Faktor neuropsikologis dan neurokognitif


Pasien dengan depresi menunjukkan defisit kognitif dalam domain
neuropsikologis, seperti memori visual dan verbal, memori kerja, perhatian,
fungsi eksekutif dan kecepatan pemrosesan, menjadi gangguan fungsi eksekutif
yang paling menonjol. Lebih khusus lagi, gangguan dalam kontrol kognitif (yaitu,
kemampuan untuk mengatur pikiran dan tindakan sendiri untuk mencapai tujuan
internal dan memungkinkan adaptasi perilaku yang fleksibel terhadap lingkungan
yang berubah), telah sangat terkait dengan patologi terkait depresi.
Gangguan kemampuan kontrol kognitif telah berkorelasi juga dengan
tingkat bunuh diri yang tinggi di antara subjek depresi. Faktanya, defisit
neurokognitif dianggap meningkatkan risiko bunuh diri karena dapat menentukan
penilaian yang salah dari situasi kehidupan seseorang dan pengambilan keputusan

25
yang terganggu. salah satu domain neuropsikologis yang sangat terganggu pada
depresi berkaitan dengan fungsi eksekutif, serangkaian proses kognitif pengaturan
diri yang penting untuk perilaku adaptif.

2.6.8. Temperamen, karakter dan sifat kepribadian


Faktor risiko bunuh diri yang terlibat dalam subjek depresi dapat
mencakup faktor distal (yaitu, faktor risiko yang tidak secara ketat terkait dengan
episode saat ini), seperti riwayat bunuh diri keluarga, onset dini gangguan mood,
penyalahgunaan alkohol/zat, kejadian awal kehidupan yang merugikan, dan ciri-
ciri kepribadian tertentu; serta faktor proksimal (yaitu, terkait dengan episode
suasana hati saat ini atau masa lalu), termasuk tingkat keputusasaan, impulsif, ide
bunuh diri, keparahan episode saat ini dalam depresi, dan peristiwa kehidupan
baru-baru ini. secara keseluruhan, kepribadian mengacu pada fitur individu dalam
pola karakteristik pemikiran, perasaan dan perilaku akibatnya dan termasuk dalam
model stres-diatesis untuk perilaku bunuh diri, faktanya, ciri-ciri kepribadian,
temperamen, dan karakter tertentu dapat mempengaruhi subjek dengan depresi
untuk mengembangkan si dan/atau sa atau sc.
Menurut model temperamen dan karakter psikobiologis cloninger,1subyek
depresi yang memiliki sa baru-baru ini selama episode depresi memiliki profil
kepribadian yang berbeda dibandingkan dengan kelompok kontrol non-bunuh
diri.faktanya, subjek depresi yang mencoba bunuh diri, menunjukkan skor yang
jauh lebih tinggi pada penghindaran bahaya (ha) (yaitu, kecenderungan untuk
merespons secara intens terhadap sinyal atau rangsangan permusuhan) dan skor
yang jauh lebih rendah dalam pengarahan diri (sd), kooperatif (co) dan ketekunan
(ps) bila dibandingkan dengan kelompok nonbunuh diri.ha adalah dimensi
temperamen yang sangat diwariskan terkait dengan sistem serotonergik yang pada
gilirannya diubah dalam perilaku bunuh diri, seperti yang disebutkan di atas. sd
meliputi fitur kepribadian seperti tanggung jawab, penerimaan diri, efektivitas;
karenanya, tingkat sd yang rendah telah dikaitkan dengan ketidakdewasaan,
integrasi diri yang buruk, ketidakefektifan dan destruktif yang terkait dengan
bunuh diri. demikian pula, konstruksi alexithymia yang diterapkan pada subjek

26
depresi, tampaknya menunjukkan korelasi antara sifat alexithymia, keparahan
depresi dan peningkatan risiko si dan sa yang lebih parah.
2.6.9. Studi neuroimaging
Studi neuroimaging menunjukkan perubahan di beberapa area otak yang
terkait dengan peningkatan kerentanan terhadap bunuh diri. Telah
didokumentasikan bahwa disfungsi otak yang terletak di korteks temporal, parietal
dan frontal (khususnya dorsolateral dan orbitofrontal) dijelaskan dalam otak
bunuh diri. Selain itu, tiga area struktural, misalnya, girus temporal superior kiri,
girus rektal, nukleus kaudatus; dan tiga area fungsional, misalnya, girus cingulate
kanan, cingulate anterior dan posterior cingulate telah diidentifikasi sebagai
terlibat dalam peningkatan kerentanan bunuh diri. Volume yang lebih kecil dari
korteks orbitofrontal (kanan dan kiri), korteks prefrontal ventrolateral kiri bawah
(VLPFC), frontal dan volume lobus temporal diamati di antara pasien depresi
berat dengan SA.
Volume materi abu-abu yang berkurang di korteks frontal, parietal,
temporal, insula, gyrus sudut kiri, nukleus lentiform, otak tengah, nukleus
accumbens, otak kecil telah dilaporkan di antara subjek depresi berat dengan SA
dan telah berkorelasi dengan tingkat keputusasaan yang lebih tinggi dan pencarian
dukungan sosial yang lebih rendah.Volume amigdala kanan dan volume
hipokampus yang lebih rendah dilaporkan di antara subjek depresi berat dengan
SA dibandingkan dengan yang tidak mencoba bunuh diri. Studi yang dilakukan
pada sampel subjek MDD dengan menggunakan resonansi magnetik fungsional
(fMRI) melaporkan konektivitas fungsional keadaan istirahat yang lebih besar di
amigdala, amplitudo fluktuasi frekuensi rendah (ALFF) yang lebih besar di girus
temporal superior kanan, girus temporal tengah kiri dan girus oksipital tengah kiri,
sementara ALFF bawah di girus frontal superior kiri, girus frontal medial ventral
kanan dan girus frontal tengah kiri, di antara subjek MDD dengan SA
dibandingkan dengan MDD tanpa SA. Studi fMRI lebih lanjut menggambarkan
pengurangan korteks orbitofrontal lateral kiri (OFC) dan aktivasi korteks oksipital
selama pilihan berisiko, aktivasi yang lebih tinggi pada hipokampus kiri dan girus
temporal tengah kiri, di antara MDD dengan SA.168-170Selain itu, sirkuit saraf
pemrosesan emosi yang disfungsional telah didokumentasikan di antara subjek

27
MDD dengan SA.171Selain itu, penelitian PET melaporkan pengikatan 5-HTT
yang lebih rendah di otak tengah, tetapi tidak di PFC ventral atau jaringan
cingulate anterior, mengurangi potensi pengikatan SERT di otak tengah/pons dan
putamen, di antara MDD dengan SA. Sebuah studi SPECT menemukan
pengurangan pengikatan SERT di OFC, area temporal, otak tengah, thalamus,
ganglia basal dan otak kecil subjek MDD dengan SA, yang pada gilirannya
berkorelasi dengan peningkatan impulsif.

28
KESIMPULAN
Perilaku bunuh diri sangat lazim di antara pasien dengan depresi namun,
depresi itu sendiri bukanlah alat yang berguna untuk pemahaman yang tepat
tentang kompleksitas bunuh diri, dan ide bunuh diri bukan proksi untuk diagnosis
depresi. Keunikan setiap pasien menentukan variabilitas ambang batas untuk
mempertahankan rasa sakit mental, suatu kondisi yang bergantung pada
pengalaman pribadi, keadaan emosional dan situasi intim yang dialami sejak masa
kanak-kanak. Oleh karena itu, seseorang dapat berargumen bahwa kesedihan
manusia, sebagian besar sebagai reaksi terhadap kehilangan, kesedihan, agak
krisis, dan lain-lain dapat berbagi fitur dengan depresi bahkan tanpa adanya
diagnosis psikiatri yang divalidasi.
Sejalan dengan itu, diagnostic and statistical manual of mental disorders
(DSM-5) edisi kelima menyatakan, “diagnosis gangguan mental harus memiliki
kegunaan klinis” tetapi “diagnosis gangguan mental tidak setara dengan
kebutuhan untuk perlakuan. Kebutuhan akan pengobatan adalah keputusan klinis
yang kompleks yang membutuhkan mempertimbangkan keparahan gejala,
penonjolan gejala (misalnya, adanya ide bunuh diri), penderitaan pasien (nyeri
mental)” dan “dengan demikian, dokter dapat menghadapi individu yang
gejalanya tidak memenuhi kriteria penuh untuk gangguan mental tetapi yang
menunjukkan kebutuhan yang jelas untuk pengobatan atau perawatan. Fakta
bahwa beberapa individu tidak menunjukkan semua gejala yang menunjukkan
diagnosis tidak boleh digunakan untuk membenarkan membatasi akses mereka ke
perawatan yang tepat.
Ada beberapa peringatan yang umumnya terjadi pada orang yang
memiliki pikiran bunuh diri, dan hal tersebut harus diperhatikan pada seseorang
yang rentan seperti pada penderita depresi berat. Keluarga serta orang terdekat
harus lebih memerhatikan dan sensitif untuk menilai keseharian seseorang yang
mengalami depresi berat agar tidak jatuh pada ide bunuh diri, percobaan bunuh
diri atau bahkan sampai melaksanakan tindakan bunuh diri.

DAFTAR PUSTAKA

29
1. Orsolini L, Latini R, Pompili M, et al. Understanding the complex of suicide
in depression: From research to clinics. Psychiatry Investig. 2020;17(3):207-
221. doi:10.30773/pi.2019.0171
2. WHO WHO. Suicide in the world: Global Health Estimates. World Heal
Organ. 2019:32.
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/326948/WHO-MSD-MER-
19.3-eng.pdf?ua=1.
3. Sadock BJ, Sadock VA. Emergency Psychiatric Medicine. In: Kaplan &
th
Sadock’s Synopsis of Psychiatry. 10 ed. Philadelphia. 2007. p. 897-907.
4. Shain BN, et al. Suicide and Suicide Attempts in Adolescents.
Pediatrics. 2007;120:669-76.
5. Maramis WF, Maramis AA. Kegawatdaruratan Jiwa. Dalam Catatan
Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi Kedua. Surabaya. p. 415-38.
6. Liu, Y., Usman, M., Zhang, J., Raza, J., & Gul, H. (2019). Making Sense of
Chinese Employees’ Suicide Ideation: Does Meaning in Life Matter? Omega
(United States), 003022281984672.
https://doi.org/10.1177/0030222819846721
7. Nock, M. K., Borges, G., Bromet, E. J., Alonso, J., Angermeyer, M.,
Beautrais, A., Bruffaerts, R., Wai, T. C., De Girolamo, G., Gluzman, S., De
Graaf, R., Gureje, O., Haro, J. M., Huang, Y., Karam, E., Kessler, R. C.,
Lepine, J. P., Levinson, D., Medina-Mora, M. E., … Williams, D. (2008).
Cross-national prevalence and risk factors for suicidal ideation, plans and
attempts. British Journal of Psychiatry, 192(2), 98–105.
https://doi.org/10.1192/bjp.bp.107.040113
8. Aulia, N., Yulastri, & Sasmita, H. (2019). Analisis Hubungan Faktor Risiko
Bunuh Diri dengan Ide Bunuh Diri pada Remaja. Jurnal Keperawatan,
11(4), 307–314.
http://journal.stikeskendal.ac.id/index.php/Keperawatan/article/view/
534/385
9. Mackenzie, S., Wiegel, J. R., Mundt, M., Brown, D., Saewyc, E.,
Heiligenstein, E., Harahan, B.,

30
& Fleming, M. (2011). Depression and Suicide Ideation Among Students
Accessing Campus Health Care. American Journal of Orthopsychiatry,
81(1), 101–107. https://doi.org/10.1111/j.1939-0025.2010.01077.
10. Ibrahim, N., Amit, N., & Suen, M. W. Y. (2014). Psychological factors as
predictors of suicidal ideation among adolescents in
Malaysia. PLoS ONE, 9(10).
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0110670
11. Vilhjalmsson, R., Kristjansdottir, G., & Sveinbjarnardottir, E. (1998).
Factors associated with suicide ideation in adults. Social Psychiatry and
Psychiatric Epidemiology, 33(3), 97–103.
https://doi.org/10.1007/s001270050028
12. Reynolds, W. M. (1991). Psychometric Characteristics of the Adult Suicidal
Ideation Questionnaire in College Students. Journal of Personality
Assessment, 56(2), 289–307. https://doi.org/10.1207/s15327752jpa5602_9
13. Klonsky, E. D., & May, A. M. (2015). The Three-Step Theory (3ST): A
New Theory of Suicide Rooted in the “Ideation-to-Action” Framework. In
International Journal of Cognitive Therapy (Vol. 8, Issue 2).
14. World Health Organization. 2012. Depression – A Global Public Health
Concern.USA:WHO.
https://www.who.int/mental_health/management/depression/who_paper_depr
ession_wfmh_2012.pdf
15. Ashwani, Arya dan Verma Preeti. 2012. A Review on Pathophysiology,
Classification, and Long Term Course of Depression. International Jurnal of
Pharmacy 3(3): 90-96
16. Blazer, D.G. 2003. Depression in Late Life: Review and commentary. J
Gerontology Med Sci 58A(3): 249-265
17. Riskesdas. 2018. Riset Kesehatan Dasar tahun 208. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia :
Jakarta.
18. Sadock, BJ. &Virginia A. Sadock. 2016. Kaplan dan Sadock Buku Ajar
Psikiatri Klinis. Jakarta : EGC

31
19. Maslim, R. 2013. Buku saku diagnosis gangguan jiwa – Rujukan ringkas dari
PPDGJ III dan DSM 5. Jakarta: Unika Ajmajaya.
20. Ismal, RI dan Siste, K. 2014. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
21. Muchid, A., Chusun, Wurjati, R., Komar, Z., Istiqomah, SN., Purnama, NR.,
Rostilawati., dkk. 2007. Pharmaceutical Care Unit Penderita Gangguan
Depresi. Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis.
22. National Institute of Mental Health. 2015. Depression: What You Need To
Know. Available at: http://www.nimh.nih.gov/health/publications/depression-
what-you-need-to-know-12-2015/index.shtml
23. Maramis WF dan Albert M. 2009. Catatan ilmu kedoteran jiwa edisi 2.
Jakarta: Airlangga University Press
24. Tomb, David A. 2004. Buku saku psikiatri edisi 6. Jakarta: EGC.
25. Barrera, AZ., Torres, LD., Munoz, RF. 2007. Prevention of Depression: The
State of The Science at The Beginning of The 21th Century. Inter Review of
Psyc, 19(6): 655–670.
26. Bennet, C., Jones, RB., Smith, D. 2014. Prevention Strategies For Adolescent
Depression. Adv in Pysc Treatment 20:116-124.
27. Halverson, Jerry L. 2019. Depression. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/286759-overview#a6

32

Anda mungkin juga menyukai