Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN TUTORIAL 2

KELOMPOK 7

DISUSUN OLEH :

Alfina Fitriyani (20190320113) Ayun Pranandari (20190320086)


Vidya Ananda (20190320062) Jutsaniyah Fadina (20190320035)
Fadila Strinareswara (20190320002) Rakhmat Aji Waluyo (20190320122)
Eka Fitria Damayanti (20190320031) Dina Sagahum Thahura (20190320059)
Ufiya Salma (20190320083) Rana A.M Albatta 20190320123)

PROGRAM STUDY ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2019/2020

1
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah S.W.T atas berkat dan rahmatnya sehingga
laporan yang berjudul "LAPORAN TUTORIAL 2 KELOMPOK 7 BLOK JIWA" dapat
terselesai dengan tepat waktu.

Maksud dan tujuan dari penulis membuat laporan ini adalah unutk memenuhi kewajiban
seorang mahasiswa, bertanggung jawab pada tugas yang diberikan, dan untuk menyampaikan
keragaman budaya yang dikaitkan dengan aspek kesehatan

Demikian kata pengantar yang dapat penulis sampaikan, apabila terdapat kesalahan penulisan
atau bahasa mohon dimaafkan karena keterbatasan kemapuan dan pengetahuan, penulis
menyadari bahwa laporan yang disusun sangat jauh dari kata sempurna dan sesungguhnya
kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT.

Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan laporan ini, semoga laporan dapat memberikan manfaat kepada penulis maupun
pembacanya.

Yogyakarta, 15 Juni 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3

1. Definisi CROM..................................................................................................................................6

2. Pathway (etiologic dan factor resiko tanda gejala).........................................................................8

A. Etiologi............................................................................................................................................8

B. Faktor Risiko...............................................................................................................................11

C. Tanda & Gejala...........................................................................................................................11

D. Patofisiologi..................................................................................................................................11

3. Klasifikasi CROM...........................................................................................................................13

4. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang...........................................................................18

5. Askep (SDKI, SLKI, SIKI).............................................................................................................19

6. Penatalaksanaan/EBN.....................................................................................................................24

7. Penatalaksanaan CROM pada masa pandemic Covid-19............................................................28

8. IRK...................................................................................................................................................29

3
SKENARIO 2

Ms. S dibawa ke unit gawat darurat rumah sakit umum oleh orang tuanya. Wanita berusia 22
tahun ini digambarkan dalam keadaan sehat sampai 2 hari sebelum masuk rumah sakit, ketika dia
mengeluh malaise dan sakit tenggorokan dan tidak bekerja di rumah. Dia bekerja sebagai
sekretaris di sebuah kantor kecil dan memiliki catatan pekerjaan yang stabil. Menurut orang
tuanya, dia memiliki kehidupan sosial yang aktif, dan tidak ada konflik yang berarti di rumah.
Saat masuk, Ms. S sangat gelisah dan memiliki ekspresi wajah ketakutan. Pidatonya kacau dan
tidak koheren. Saat didekati oleh orang yang tidak dikenal, dia akan menjadi gelisah, mencoba
untuk turun dari tempat tidur, dan menyerang tanpa tujuan. Kadang-kadang dia akan tertidur
dengan gelisah. Suhu badannya saat masuk adalah (40°C), denyut nadinya 108x/menit, dan
pernapasannya 28x/menit. Kulitnya panas, kering, dan memerah. Menurut ibunya, Ny. S hanya
minum sedikit dalam 24 jam terakhir dan tidak buang air kecil sama sekali, tetapi dia telah
mengalami diaphoresis yang sangat banyak. Kemampuan Ms. S untuk bekerja sama dengan
pemeriksaan status mental terbatas. Dia akan menanggapi namanya sendiri dengan menoleh.
Saat ibunya bertanya dimana dia adalah, katanya "rumah," tetapi dia tidak bisa mengatakan di
mana rumahnya. Dia hanya akan memberikan bulan ketika ditanya tanggal dan mengatakan itu
Januari (tanggal sebenarnya adalah 19 Februari). Dia juga menolak memberikan hari dalam
seminggu. Pemeriksaan neurologis negatif untuk tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
dan tanda-tanda penyakit sistem saraf pusat (SSP) lokal. Diagnosis medis tentatif adalah delirium
sekunder akibat demam yang tidak diketahui asalnya. Pengobatan gejala demam, termasuk
cairan IV, supositoria aspirin, dan kasur air dingin, segera dimulai sementara studi diagnostik
lebih lanjut. Perawat yang merawat Ny. S memperhatikan bahwa dia terus gelisah, bingung dan
pidatonya masih tidak jelas. Mereka juga memperhatikan bahwa dia memilih pakaian tempat
tidur. Tiba-tiba dia menjadi sangat gelisah dan mencoba untuk bangun dari tempat tidur sambil
berteriak, "Serangga, pergi, singkirkan serangga!" Dia sedang menyikat dan menampar dirinya
sendiri di tempat tidurnya. Saat ibunya dan perawat berbicara dengannya sambil memeluknya,
dia secara bertahap menjadi lebih tenang tetapi secara berkala terus menampar "serangga" dan
membutuhkan kepastian dan reorientasi. Hasil laboratorium tambahan tersedia di kemudian hari.
Ada tusukan lumbal dilakukan, seperti magnetic resonance imaging (MRI) kepala; hasilnya
normal. Hasil skrining toksikologi darah juga negatif. Namun, electroencephalogram (EEG)

4
mengungkapkan perlambatan difus. Selain itu, peningkatan jumlah darah putih dan
ketidakseimbangan elektrolit konsisten dengan dehidrasi berat. Kultur tenggorokan dan darah
Ms. S positif untuk streptokokus β-hemolitik, dan terapi antibiotik intravena segera dimulai
sementara tindakan pendukung lainnya dilanjutkan. Keadaan mental Ms. S membaik karena
infeksinya secara bertahap dapat dikendalikan dan demamnya menurun. Fungsi kognitifnya
benar-benar normal ketika dia keluar dari rumah sakit, dengan pengecualian amnesia selama dia
mengigau.

5
Learning Objective

1. Definisi CROM
- Aji : Gangguan mental organik merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau
nonpsikotik, disebabkan oleh gangguan fungsi jaringan otak (Maramis, 2009)[2].
Dijelaskan lebih lanjut oleh Maramis (2009)[2], gangguan fungsi jaringan otak ini dapat
disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama mengenai otak (seperti, gangguan
pembuluh darah otak, tumor otak, meningoensefalitis, dll) atau di luar otak/tegkorak
(seperti, tifus, intoxikasi, payah jantung, endomtritis, toxemia kehamilan, dsb)
- Ufiya : Gangguan mental organik adalah gangguan mental yang berhubungan dengan
penyakit/gangguan sistemik atau otak yang dapat didiagnosis tersendiri. Gangguan
mental organik ini juga termasuk gangguan mental somatik yang berpengaruh terhadap
otak, yang merupakan akibat sekunder dari penyakit/gangguan sistemik di luar otak
(extracerebral).
Sumber : Mauludiyah, U. N., & Noviekayati, I. G. A. A. (2019, November). Puzzle
Ekspresi Sebagai Media Untuk Meningkatkan Kemampuan Interaksi Sosial Pada
Pasien Gangguan Mental Organik. In Prosiding Seminar Nasional Multidisiplin (Vol.
2, No. 1, pp. 238-244)
- Fadila : Menurut Yatim (2003) gangguan kognitif merupakan kelainan saraf pusat yang
menyebabkan berkurangnya daya ingat dan kognitif, gangguan berbahasa, kurang mampu
melakukan gerakan motorik, kurang mampu mengenal dan mengidentifikasi benda asing
meskipun fungsi sensori utuh, dan gangguan fungsi eksekutif (merencanakan,
mengorganisir, serta mengurutkan)
Sumber : (Wahyuni, A. (2020). Gangguan Mental Organik ec Epilepsi pada Laki-Laki
Usia 17 Tahun: Laporan Kasus. MEDULA, 9(4), 621-624.)
- Rana : Delirium is a syndrome that involves a disturbance of consciousness accompanied
by a change in cognition. Delirium usually develops over a short period, sometimes a
matter of hours, and fluctuates, or changes, throughout the course of the day. Dementia
refers to a disease process marked by progressive cognitive impairment with no change in
the level of consciousness. It involves multiple cognitive deficits, initially, memory
impairment, and later, the following cognitive disturbances may be seen

6
- Ayun : Gangguan Mental Organik adalah gangguan jiwa (psikotik maupun non-psikotik)
yang ada kaitannya dengan faktor organik (dapat berkaitan dengan penyakit/gangguan
tubuh sistemik atau gangguan otak). Pada penderita epilepsi peluang terjadinya gangguan
psikotik 6-12 kali lebih besar dibandingkan pada populasi umum. Gangguan mental
organik umumnya dialami oleh para lansia, tetapi kondisi ini juga bisa terjadi pada orang
yang lebih muda. Kondisi ini secara tidak langsung terjadi akibat kerusakan otak pada
area-area yang terkait dengan kemampuan belajar, mengingat, merencanakan, dan
mengambil keputusan. Selain itu, gangguan ini juga dapat memengaruhi kemampuan
penderitanya untuk memahami dan menggunakan bahasa dengan benar,
mengoordinasikan gerakan tubuh, juga bertindak sesuai dengan norma-norma sosial yang
ada.
- Eka : Kognisi adalah kemampuan otak untuk memproses, menyimpan, dan menggunakan
informasi. Kemampuan kognitif meliputi penalaran, penilaian, persepsi, perhatian,
pemahaman, dan memori. Gangguan kognitif adalah gangguan atau gangguan fungsi otak
yang lebih tinggi ini. Gangguan kognitif dapat berdampak buruk pada kemampuan
berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat menyebabkan orang lupa nama
anggota keluarga terdekat, tidak dapat melakukan tugas rumah tangga sehari-hari, dan
mengabaikan kebersihan diri. Gangguan mental organic adalah gangguan dimana terdapat
suatu patologi yang dapat diidentifikasi (conothnya tumor otak,penyakit cerebrovaskuler,
intoksifikasi obat dan infeksi)
- Dina : Kognitif adalah kemampuan berpikir dan memberikan rasional, termasuk proses
mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan memperhatikan (Stuart and Sundeen, 1987.
Hal.612). Gangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan dimana terdapat suatu
patologi yang dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak. penyakit cerebrovaskuler,
intoksifikasi obat). Menurut PPDGJ III gangguan mental organik meliputi berbagai
gangguan jiwa yang dikelompokkan atas dasar penyebab yang lama dan dapat dibuktikan
adanya penyakit, cedera atau ruda paksa otak, yang berakibat disfungsi otak Disfungsi ini
dapat primer seperti pada penyakit, cedera, dan ruda paksa yang langsung atau diduga
mengenai otak, atau sekunder, seperti pada gangguan dan penyakit sistemik yang
menyerang otak sebagai salah satu dari beberapa organ atau sistem tubuh.

7
- Vidya : Delirium adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang dikarasteristikkan dengan
variasi kognitif dan gangguan tingkah laku. Delirium ditandai oleh gangguan kesadaran, biasanya
terlihat bersamaan dengan fungsi gangguan kognitif secara global. Kelainan mood, persepsi dan
perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum; tremor, asteriksis, nistagmus, inkoordinasi dan
inkontinensia urin merupakan gejala neurologis yang umum. Sindrom delirium memiliki banyak
nama, beberapa literature menggunakan istilah seperti acute mental status change, altered mental
status, reversible dementia, toxic/metabolic encephalopathy, organic brain sybdrome,
dysergasticreaction dan acute confusional state.

- Alfiina : Delirium adalah sebuah sindrom neuropsikiatrik yang kompleks dengan onset
yang akut. Sindrom ini melibatkan suatu fungsi kognitif yang akut dan menyeluruh yang
mempengaruhi kesadaran, perhatian, memori, dan kemampuan perencanaan dan
organisasi. Gangguan lain, misalnya pola tidur yang berubah, gangguan proses pikir,
afek, persepsi, dan tingkat keaktifan, walaupun dipandang tidak bermakna namun
mempunyai kontribusi yang besar dalam mengidentifikasi dan menatalaksana delirium.

Kesimpulan : Gangguan mental organik merupakan suatu gangguan mental yang berkaitan
dengan penyakit atau gangguan sistemik atau gangguan otak yang dapat didiagnosis tersendiri.
gangguan mental organic meliputi berbagai gangguan jiwa akibat dari disfungsi otak oleh
penyebab apapun yang dapat dibuktikan atau dengan adanya kesan yang kuat melalui riawayat
/anamnesa, pemeriksanaan fisik, maupun laboratorium. Disfungsi yang terjadi dapat bersifat
primer (terjadi di otak), maupun sekunder (diluar otak / sistemik).

2. Pathway (etiologic dan factor resiko tanda gejala)


A. Etiologi
- Rana : Delirium almost always results from an identifiable physiological, metabolic, or
cerebral disturbance or disease or from drug intoxication or withdrawal.
- Fadila : Penyebab delirium yang umumnya reversible:
 Hipoksi, hipoglikemi, hipertermi, delirium antikolinergik, sindrom putus zat
karena alcohol/sedative.
 Infeksi, gangguan metabolic, lesi structural otak, pascaoperasi, lain-lain (kurang
tidur, retensi urin, fecal imoaction, perubahan lingkungan.)
 Intoksikasi :

8
- Intoksikasi zat: alcohol, heroin, kanabis, PCP dan LSD
- Intoksikasi obat: antikolinergik (antidepresan trisiklik), narkotik (meperidine),
hiptonik sedative (benzodiazepine), histamin-2 (H-2) blocker (simetidin),
kortikosteroid, antihipertensi sentral (melidopa dan reserpine), antiparkinsonisme
(lebodopa)
 Sindrom putus zat: alcohol, opiate, dan bezodiazepin.
 Demensia merupakan salah satu factor yang besar. Faktor risiko demensia pada
pasien delirium sebesar 25-50%. Adanya demensia meningkatkan risiko delirium
sebanyak 2-3 kali.
- Ayun : Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai pola
gejala serupa yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pasien. Penyebab
utama dapat berasal dari penyakit susunan saraf pusat seperti (sebagai contoh epilepsi),
penyakit sistemik, dan intoksikasi atau reaksi putus obat maupun zat toksik. Penyebab
delirium terbanyak terletak diluar sistem pusat, misalnya gagal ginjal, dan hati.
Neurotransmiter yang dianggap berperan adalah asetilkolin, serotonin, serta glutamat area
yang terutama terkena adalah formasio retukalaris. Penyebab delirium ada 2 :
 Penyebab intrakranial yaitu epilepsi atau keadaan pasca kejang, trauma otak
(terutama geger otak), infeksi(meningitis,ensetalitas),neoplasma,gangguan
vaskuler.
 Penyebab ekstrakranial :
1. Obat-obatan (ditelan atau diputus) seperti obat antikolinergik, (antikonvulsan,
obat antihipertensi, obat antiparkinson, obat antipsikotik, cimetidine, klonidine,
disulfiram, insulin, opiat, fensiklidine, fenitoin, ranitidine, sedatif (termasuk
alkohol), dan hipnotik, steroid).
2. Racun seperti karbon dioksida, logam berat, dan racun industri lain.
3. Disfungsi endokrin atau hipofungsi atau hiperfungsi (hipofisis, pankreas,
adrenal, paratiroid, dan tiroid).
4. Penyakit organ non endokrin seperti hati (ensefalopati hepatik), ginjal dan
saluran kemih (ensefalopati uremik), paru-paru (narkosis karbondioksida,
hipoksia), sistem kardiovaskuler (gagal jantung, aritmia, hipotensi).

9
5. Penyakit defisiensi diantaranya defisiensi tiamin, asam nikotinik, B12 atau
asam folat.
6. Infeksi sistemik dengan demam dan sepsis yaitu ketidakseimbangan elektrolit
dengan penyebab apapun keadaan pasca operatif.
7. Trauma (kepala atau seluruh tubuh).
8. Karbohidrat : hiperglikemi.
- Eka : Etiologi Delirium hampir selalu terjadi akibat gangguan atau penyakit fisiologis,
metabolik, atau otak yang dapat diidentifikasi atau dari keracunan atau penarikan obat.
Delirium merupakan sindrom yang melibatkan gangguan kesadaran yang disertai dengan
perubahan kognisi. Delirium biasanya berkembang dalam waktu singkat, terkadang
dalam hitungan jam, dan berfluktuasi, atau berubah, sepanjang hari. Klien dengan
delirium mengalami kesulitan dalam memperhatikan, mudah teralihkan dan disorientasi,
serta mungkin mengalami gangguan sensorik seperti ilusi, salah tafsir, atau halusinasi.
Kabel listrik di lantai bagi mereka mungkin tampak seperti ular (ilusi). Mereka mungkin
salah mengira terbentur gerobak cucian di lorong sebagai tembakan (salah tafsir). Mereka
mungkin melihat "malaikat" melayang di atas ketika tidak ada (halusinasi). Terkadang,
mereka juga mengalami gangguan pada siklus tidur-bangun, perubahan aktivitas
psikomotorik, dan masalah emosional seperti kecemasan, ketakutan, lekas marah, euforia,
atau apatis.
Pasien lanjut usia adalah kelompok yang paling sering didiagnosis mengigau. Antara
14% dan 24% orang yang dirawat di rumah sakit karena kondisi medis umum mengigau,
yang dapat memburuk di rumah sakit. Delirium dilaporkan pada 10% sampai 15% pasien
bedah umum, 30% pasien bedah jantung terbuka, dan lebih dari 50% pasien dirawat
karena patah tulang pinggul. Delirium berkembang pada 80% pasien yang sakit parah.
Dalam banyak kasus, penyebab delirium adalah beberapa penyebab stres, seperti trauma
pada sistem saraf pusat (SSP), toksisitas atau penarikan obat, dan gangguan metabolisme
yang berkaitan dengan kegagalan organ (Fabian & Solai, 2017). Faktor risiko delirium
termasuk peningkatan keparahan penyakit fisik, usia lebih tua, gangguan pendengaran,
penurunan asupan makanan dan cairan, obat-obatan, dan gangguan kognitif dasar seperti
yang terlihat pada demensia. Anak-anak mungkin lebih rentan mengigau, terutama yang
berhubungan dengan penyakit demam atau obat-obatan tertentu seperti antikolinergik.

10
- Alfina : Penyebab delirium menurut salah satu teori adalah terdapatnya defisiensi
neurotansmiter asetilkolin serta dopaminergik. Pada geriatri terdapat defisiensi relatif
asetilkolin hasil metabolisme oksidatif otak sehingga terjadi disfungsi mental.
Neurotransmiter asetilkolin berperanan sangat penting dalam awareness. Dopamin adalah
neurotransmiter yang sangat penting bagi fungsi motorik, perhatian, serta kognisi.

- Rana : Sign & symptoms: Clients with delirium have difficulty paying attention, are
easily distracted and disoriented, and may have sensory disturbances such as illusions,
misinterpretations, or hallucinations.

B. Faktor Risiko
- Fadila : Faktor risiko delirium :
a. Pasien sesudah operasi.
b. Kondisi khusus, misalnya ( luka bakar, HIV/AIDS, fraktur, hipoksemia,
insufisiensi organ, infeksi )
c. Gangguan metabolik

C. Tanda & Gejala


- Fadila : Delirium di tandai dengan :
1. Perubahan status mental
2. Tingkat kesadaran serta perhatian yang akut dan fluktuatif (keadaan tidak stabil) .
3. Gangguan sensorium dapat berupa penurunan kesadaran, fluktuasinya kesadaran, dan
kesadaran berkabut
4. Gangguan fungsi kognitif dapat berupa gangguan daya ingat, daya piker
5. 3P terganggu, yaitu gangguan dalam pemusatan, pertahankan, dan pengalihan
perhatian
6. Gangguan dalam orientasi, waktu, tempat dan orang
7. Gangguan persepsi, antara lain berupa halusinasi.
8. Gangguan isi pikiran, antara lain berupa waham.
9. Gangguan mood, antara lain berupa depresif, euphoria, dan cemas.

11
D. Patofisiologi
- Vidya : Delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial, dan mempengaruhi
berbagai bagian sistem saraf pusat. Hipotesis terbaru menunjukkan defisiensi jalur
kolinergik dapat merupakan salah satu faktor penyebab delirium. Delirium yang
diakibatkan oleh penghentian substansi seperti alkohol, benzodiazepin, atau nikotin dapat
dibedakan dengan delirium karena penyebab lain. Pada delirium akibat penghentian
alkohol terjadi ketidakseimbangan mekanisme inhibisi dan eksitasi pada system
neurotransmiter. Konsumsi alkohol secara reguler dapat menyebabkan inhibisi reseptor
NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan aktivasi reseptor GABA-A (gammaaminobutyric
acid-A). Disinhibisi serebral berhubungan dengan perubahan neurotransmitter yang
memperkuat transmisi dopaminergik dan noradrenergik, adapun perubahan ini
memberikan manifestasi karakteristik delirium, termasuk aktivasi simpatis dan
kecenderungan kejang epileptik. Pada kondisi lain, penghentian benzodiazepine
menyebabkan delirium melalui jalur penurunan transmisi GABA-ergik dan dapat timbul
kejang epileptik. Delirium yang tidak diakibatkan karena penghentian substansi timbul
melalui berbagai mekanisme, jalur akhir biasanya melibatkan defisit kolinergik
dikombinasikan dengan hiperaktivitas dopaminergik.
Perubahan transmisi neuronal yang dijumpaipada delirium melibatkan berbagai
mekanisme, yang melibatkan tiga hipotesis utama, yaitu:
1. Efek Langsung
Beberapa substansi memiliki efek langsung pada sistem neurotransmiter, khususnya agen
antikolinergik dan dopaminergik. Lebih lanjut, gangguan metabolik seperti hipoglikemia,
hipoksia, atau iskemia dapat langsung mengganggu fungsi neuronal dan mengurangi
pembentukan atau pelepasan neurotransmiter. Kondisi hiperkalsemia pada wanita dengan
kanker payudara merupakan penyebab utama delirium.
2. Inflamasi
Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti penyakit infl amasi, trauma,
atau prosedur bedah. Padabeberapa kasus, respons infl amasi sistemik menyebabkan peningkatan
produksi sitokin, yang dapat mengaktivasi mikroglia untuk memproduksi reaksi infl amasi pada
otak. Sejalan dengan efeknya yang merusak neuron, sitokin juga mengganggu pembentukan dan
pelepasan neurotransmiter. Proses infl amasi berperan menyebabkan delirium pada pasien dengan
penyakit utama di otak (terutama penyakit neurodegeneratif ).

12
3. Stres
Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan lebih banyak noradrenalin, dan
aksis hipotalamuspituitari- adrenokortikal untuk melepaskan lebih banyak glukokortikoid, yang
juga dapat mengaktivasi glia dan menyebab kan kerusakan neuron.
- Alfina :

3. Klasifikasi CROM
- Eka :
a) Delirium merupakan sindrom yang melibatkan gangguan kesadaran yang disertai
dengan perubahan kognisi. Delirium biasanya berkembang dalam waktu singkat,
terkadang dalam hitungan jam, dan berfluktuasi, atau berubah, sepanjang hari.
Klien dengan delirium mengalami kesulitan dalam memperhatikan, mudah

13
teralihkan dan disorientasi, serta mungkin mengalami gangguan sensorik seperti
ilusi, salah tafsir, atau halusinasi. Kabel listrik di lantai bagi mereka mungkin
tampak seperti ular (ilusi). Mereka mungkin salah mengira terbentur gerobak
cucian di lorong sebagai tembakan (salah tafsir). Mereka mungkin melihat
"malaikat" melayang di atas ketika tidak ada (halusinasi). Terkadang, mereka juga
mengalami gangguan pada siklus tidur-bangun, perubahan aktivitas psikomotorik,
dan masalah emosional seperti kecemasan, ketakutan, lekas marah, euforia, atau
apatis. Pasien lanjut usia adalah kelompok yang paling sering didiagnosis
mengigau. Antara 14% dan 24% orang yang dirawat di rumah sakit karena
kondisi medis umum mengigau, yang dapat memburuk di rumah sakit. Delirium
dilaporkan pada 10% sampai 15% pasien bedah umum, 30% pasien bedah jantung
terbuka, dan lebih dari 50% pasien dirawat karena patah tulang pinggul. Delirium
berkembang pada 80% pasien yang sakit parah. Dalam banyak kasus, penyebab
delirium adalah beberapa penyebab stres, seperti trauma pada sistem saraf pusat
(SSP), toksisitas atau penarikan obat, dan gangguan metabolisme yang berkaitan
dengan kegagalan organ (Fabian & Solai, 2017). Faktor risiko delirium termasuk
peningkatan keparahan penyakit fisik, usia lebih tua, gangguan pendengaran,
penurunan asupan makanan dan cairan, obat-obatan, dan gangguan kognitif dasar
seperti yang terlihat pada demensia. Anak-anak mungkin lebih rentan mengigau,
terutama yang berhubungan dengan penyakit demam atau obat-obatan tertentu
seperti antikolinergik.
b) Demensia mengacu pada proses penyakit yang ditandai dengan gangguan kognitif
progresif tanpa perubahan tingkat kesadaran. Ini melibatkan beberapa defisit
kognitif, awalnya, gangguan memori, dan kemudian, gangguan kognitif berikut
dapat terlihat (Graziane & Sweet, 2017):
 Afasia, yaitu kemunduran fungsi Bahasa
 Apraxia, yaitu gangguan kemampuan untuk menjalankan fungsi motorik
meskipun kemampuan motorik utuh
 Agnosia, yaitu ketidakmampuan untuk mengenali atau menamai objek
meskipun kemampuan sensoriknya utuh

14
 Gangguan dalam fungsi eksekutif, yaitu kemampuan untuk berpikir secara
abstrak dan untuk merencanakan, memulai, mengurutkan, memantau, dan
menghentikan perilaku kompleks.

c) Gangguan Amnestik

Penderita amnesia mengalami gangguan dalam kemampuan mereka untuk mengingat


informasi atau kejadian masa lalu. Klien dengan amnesia anterograde tidak dapat
mengingat kejadian di masa lalu. ingat kejadian baru-baru ini secara normal.
Amnesia retrograde mengacu pada hilangnya ingatan tentang peristiwa yang terjadi
sebelum waktu tertentu dalam kehidupan seseorang. Amnesia global transien
mengacu pada amnesia yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa jam.
Individu pulih sepenuhnya tanpa defisit memori yang bertahan lama. Para peneliti
percaya bahwa amnesia global sementara mungkin disebabkan oleh aktivitas kejang
atau kejadian seperti stroke, mirip dengan serangan iskemik transien (Answers.Com,
2009). (Istilah memori kerja, episodik, semantik, dan prosedural dijelaskan pada
Gambar 27-2.) Pemahaman tentang sistem memori yang berbeda ini dan lokasinya di
otak manusia memungkinkan dokter untuk secara efektif mengevaluasi fungsi
memori klien dan area patologi. .DSM-IV-TR menjelaskan tiga subtipe gangguan
amnestik: gangguan amnestik karena kondisi medis umum; gangguan ketuban
persisten yang diinduksi zat; dan gangguan amnestik, NOS. Lihat kotak Gejala Klinis
dan Karakteristik Diagnostik yang menyertai gangguan amnestik akibat kondisi
medis umum. Gangguan amnestik persisten yang diinduksi zat dapat terjadi terkait
dengan alkohol, obat penenang, hipnotik, anxiolytics, dan zat lain atau yang tidak
diketahui. Ciri diagnostik sama dengan yang tertera pada gangguan amnestik karena
kondisi medis secara umum. Jika ada bukti yang tidak cukup untuk menetapkan
penyebab spesifik amnesia, diagnosis gangguan amnestik, NOS, digunakan.

- Fadila : Gangguan yang diklasifikasikan sebagai gangguan mental organik dalam edisi
DSM sebelumnya telah dibagi menjadi tiga bagian terpisah dalam DSM-IV:
 Delirium, Demensia, dan Gangguan Kognitif Amnestik dan Lainnya
 Gangguan Mental Akibat Kondisi Medis Umum
 Gangguan Terkait Zat.

15
- Ufiya : Kalsifikasi Menurut Mansjoer (2008), gengguan mental organik dapat dibagi
menjadi beberapa, yaitu :
a) Delirium
Suatu sindrom dengan gejala pokok adanya gangguan kesadaran yang biasanya
tampak dalam bentuk hambatan pada fungsi kognitif . Status kebingungan akut
yang ditandai dengan kewaspadaan, perhatian, dan konsentrasi dengan awitan
akut dan berlangsung singkat (berjamjam hingga berharihari). Mempunyai
berbagai macam penyebab, semuanya mempunyai pola gejala serupa putus obat
maupun zat toksik, penyebab delirium terbanyak terletak diluar sistem saraf pusat,
misalnya gagal ginjal dan hati. Neurotransmitter yang dianggap berperan adalah
asetilkolin, serotonin, serta glutamat. Area yang terutama terkena adalah formasio
retikularis. Faktor presdiposisi terjadinya delirium : usia, kerusakan otak, riwayat
delirium, ketergantungan alkohol, diabetes, kanker, gangguan panca indera,
malnutrisi. Penyebab lainnya : Gangguan sistemik, disfungsi endokrinologis,
proses infeksi, defisiensi nutrisional, proses intracranial, intoksikasi, penarikan
diri karena obat, masalah psikiatrik. Gejala utama : kesadaran yang menurun,
penderita tidak mampu mengenal orang, dan berkomunikasi dengan baik,
bingung, cemas, gelisah, berhalusinasi, berbicara komat kamit, dan inkoherent.
b) Gangguan Amnesia
Gangguan yang ditandai oleh gejala tunggal suatu gangguan daya ingat yang
menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi social atau pekerjaan. Memiliki
banyak penyebab : Kondisi medis sistemik (defisiensi tiamin, hipoglikemia),
kondisi otak primer (kejang, trauma kepala, tumor serebral, hipoksia), penyebab
berhubungan dengan zat (gangguan penggunaan alkohol, benzodiazepine)
- Ayun : Klasifikasi sindrom delirium berdasarkan aktifitas psikomotor (tingkat/kondisi
kesadaran, aktifitas perilaku) yakni:
a. Hiperaktif
Delirium hiperaktif merupakan delirium yang paling sering terjadi. Pada pasien
terjadi agitasi, psikosis, labilitas mood, penolakan untuk terapi medis, dan
tindakan dispruptif lainnya. Kadang diperlukan pengawas karena pasien mungkin
mencabut selang infus atau kathether, atau mencoba pergi dari tempat tidur.

16
Pasien delirium karena intoksikasi, obat antikolinergik, dan alkohol withdrawal
biasanya menunjukkan perilaku tersebut. Pasien yang hiperaktif paling mudah
dikenali di ruang rawat karena sangat menyita perhatian. Pasien bisa berteriak-
teriak, jalan mondar-mandir, atau mengomel sepanjang hari. Dibandingkan
dengan tipe lain, pasien yang hiperaktif mempunyai prognosis lebih baik.
b. Hipoaktif
Adalah bentuk delirium yang paling sering, tapi sedikit dikenali oleh para klinisi.
Pasien tampak bingung, lethargia, dan malas. Hal itu mungkin sulit dibedakan
dengan keadaan fatigue dan somnolen, bedanya pasien akan dengan mudah
dibangunkan dan dalam berada dalam tingkat kesadaran yang normal. Rangsang
yang kuat diperlukan untuk membangunkan , biasanya bangun tidak komplet dan
transient. Penyakit yang mendasari adalah metabolit dan ensepalopati.
- Rana :

17
Kesimpulan : Klasifikasi CROM itu ada delirium yaitu gangguan kesadaran dengan adanya
hambatan fungsi kognitif, delirium itu ada aktif san hipoaktif. Lalu demensia yaitu gangguan
pada lansia yang berlangsung secara progresif, lambat dan serius. Yang ketiga ada amnestik
yaitu tidak dapat mengingat kejadian dimasa lalu. Lalu ke 4 ada mental ke 5 ada zat. Ke 6 ada
berdasarkan onset ada akut dan kronis

4. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang


- Vidya : Pemeriksaan penunjang : darah perifer lengkap, elektrolit, analisis gas darah, gula darah,
ureum, kreatinin, SGOT dan SGPT, urin lengkap, EKG, foto toraks dan kultur darah harus segera
dilaksanakan.
- Dina : Pemeriksaan penunjang :
Untuk membedakan dan memastikan penyebab di balik gejala yang dialami oleh pasien,
dokter akan melakukan serangkaian pemeriksaan pemindaian berikut ini:

a. CT scan pada kepala

Tes ini memungkinkan dokter untuk mengecek struktur otak serta jaringan lunak.

b. MRI pada kepala

Selain mengecek struktur otak, MRI juga bisa mendeteksi ada tidaknya kerusakan
pada otak. Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan pemeriksaan organ tubuh
yang dilakukan dengan menggunakan teknologi magnet dan gelombang radio.
Pemeriksaan organ tubuh melalui prosedur MRI sering dianggap sebagai cara yang
lebih aman. Sebab, berbeda dengan foto rontgen atau CT scan, pemeriksaan dengan
MRI tidak memancarkan radiasi sehingga cukup aman untuk dilakukan pada ibu
hamil sekalipun.

c. Electroencephalogram

Pemeriksaan yang disingkat EEG ini akan mengecek aktivitas listrik dalam otak
pasien. Pemeriksaan EEG adalah salah satu tes diagnostik utama untuk epilepsi.
Pemeriksaan ini juga dapat berperan dalam mendiagnosis gangguan otak lainnya.
Mendapatkan rekaman EEG yang baik dan benar adalah salah satu dari tujuan utama
dari pemeriksaan EEG, selain interpretasi yang benar. EEG adalah alat untuk

18
menunjang tegaknya diagnosis, selama dapat memperoleh rekaman yang baik dan
benar. Rekaman yang tidak baik justru akan menyesatkan tegaknya diagnosis.

19
5. Askep (SDKI, SLKI, SIKI)
- Vidya :

Data Etiologi Masalah


DO : Hambatan individu Gangguan komunikasi verbal

- Px tidak dapat
berbicara dengan jelas
dan tidak koheren

- Ekspresi wajah px
terlihat ketakutan

- Px tidak dapat
menyebutkan alamat
rumah, bulan, dan
hari.
DO : Defiensi bicara Gangguan Interaksi Sosial

- Px terlihat gelisah
ketika orang tak
dikenal mendekatnya

- Px gelisah, bingung,
dan pidato tidak
koheren

20
Diagnosa SLKI SIKI
Gangguan komunikasi verbal Komunikasi Verbal L.13118 Promosi Kesehatan : Defisit
b.d hambatan individu d.d px Bicara I.13492
Setelah dilakukan intervensi
tidak dapat berbicara dengan
keperawatan selama 2x24 jam - Observasi
jelas dan tidak koheren,
maka komunikasi verbal
ekspresi wajah px terlihat
1. Monitor kecepatan,
meningkat dengan kriteria
ketakutan, px tidak dapat
tekanan, kuantitas, volume,
hasil :
menyebutkan alamat rumah,
dan diksi bicara
bulan, dan hari.
1. Kemampuan berbicara
2. Monitor proses kognitif,
meningkat
anatomis, dan fisiologis yang
2. Kesesuaian ekspresi berkaitan dengan bicara
wajah/tubuh meningkat
3. Identifikasi perilaku
3. Respon perilaku membaik emosional dan fisik sebagai
bentuk komunikasi
4. Pemahaman komunikasi
membaik - Terapeutik

1. Gunakan metode
komunikasi alternative

2. Berikan dukungan
psikologis

- Edukasi

1. Anjurkan berbicara
perlahan

2. Ajarkan pasien dan


keluarga proses kognitif,
anatomis, dan fisiologis yang

21
berhubungan dengan
kemampuan berbicara

Gangguan interaksi social b.d Interaksi Sosial L. 13115 Promosi Dukungan Sosial
defiensi bicara d.d px terlihat I.09306
Setelah dilakukan intervensi
gelisah ketika orang tak
keperawatan selama 1x24 jam - Obervasi
dikenal mendekatnya, px
maka interaksi social
gelisah, bingung, dan pidato
1. Identifikasi kekuatan dan
meningkat dengan kriteria
tidak koheren.
kelemahan dalam menjalin
hasil :
hubungan
1. Perasaan nyaman dengan
- Terapeutik
situasi social meningkat

1. Berikan umpan balik positif


2. Responsif pada orang lain
terhadap aktivitas yang
meningkat
dilakukan
3. Minat melakukan kontak
2. Motivasi berpartisipasi
fisik meningkat
dalam kegiatan individu,
4. Ekspresi wajah responsive kelompok, dan social
meningkat
3. Motivasi melakukan
5. Gejala cemas menurun aktivitas diluar dan
lingkungan baru

- Edukasi

1. Anjurkan interaksi dengan


orang lain yang memiliki
kepentingan dan tujuan yang
sama

22
2. Anjurkan mengekspresikan
kemarahan secara tepat

3. Latih permainan peran


dalam keterampilan
komunikasi

- Fadila :

SDKI SLKI SIKI


Gangguan persepsi Persepsi sensori (L. 09083) Manajemen Halusinasi (I.
sensori perabaan (D. setelah dilakukan intervensi 09288)
0085) keperawatan selama 2x24 Observasi:
Berhubungan dengan jam, tingkat persepsi sensori 1) Monitor perilaku yang
gangguan perabaan yang membaik dengan kriteria megindikasi halusinasi.
ditandai dengan px hasil: 2) Monitor dan sesuaikan
merasakan sesuatu melalui 1) verbalisasi tingkat aktivitas dan
indera perabanya merasakan sesuatu stimulasi lingkungan.
melalui indra 3) Monitor isi halusinasi (mis.
perabaan menurun. kekerasan/membahayakan
2) Perilaku halusinasi diri)
menurun. Terapeutik:
3) Menarik diri 1) Pertahankan lingkungan
menurun yang aman
2) Lakukan Tindakan
keselamatan ketika tidak
dapat mengontrol perilaku
3) Diskusikan perasaan dan
respons terhadap halusinasi
4) Hindari perdebatan tentang
validasi halusinasi.

23
Edukasi:
1) Anjurkan berbicara pada
orang yang dipercaya untuk
memberi dukungan dan
umpan balik korektif
terhadap halusinasi.
2) Anjurkan melakukan
distraksi (seperti
mendengarkan kajian
murottal)
3) Ajarkan pasien dan kelurga
cara mengontrol halusinasi
Kolaborasi:
1) Kolaborasi pemberian obat
antipsikotik dan
antiansietas, jika perlu.

- Aji :

SDKI SLKI SIKI


Hipertermia b.d. dehidrasi Termoregulasi (L.14134) Manajemen Hipertermia
d.d. suhu tubuh di atas nilai Setelah dilakukan tindakan (I.15506)
normal, takikardi, kulit keperawatan 3x24 jam, Observasi:
merah, dan kulit terasa maka didapatkan - Identifikasi penyebab
hangat. termoregulasi membaik hipertermia misalnya dehidrasi.
dengan kriteria hasil: - Monitor suhu tubuh.
- Kulit merah - Monitor kadar elektrolit.
menurun. - Monitor haluaran urine.
- Takikardi menurun. - Monitor komplikasi
- Suhu tubuh akibat hipertermia.
membaik. Terapeutik:
- Suhu kulit membaik. - Sediakan lingkungan

24
yang dingin.
- Ganti linen setiap hari
atau lebih sering jika mengalami
hyperhidrosis (keringat berlebih)
- Lakukan pendinginan
eksternal misalnya kompres
dingin pada dahi, leher, dada,
abdomen, dan aksila.
Edukasi:
- Anjurkan tirah baring.
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit intravena,
jika perlu.

Kesimpulan : Gangguan komunikasi verbal, gangguan interaksi sosial, anxietas, gangguan


persepsi sensori : perabaan, hipertermi, dan termoregulasi

6. Penatalaksanaan/EBN
- Aji : Bentuk gangguan mental organik yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah
gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik,
gangguan mental lainnya YDK akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik
(F06.8). Fokus penelitian ini diperoleh dari hasil diagnosa subyek penelitian, yaitu
seorang pasien di RSJ Menur Surabaya. Diagnosa didapatkan dari hasil asesmen dan
dokumentasi yang didapatkan dari RSJ Menur Surabaya. Efek dari gangguan mental
organik ini adalah subyek mengalami interaksi sosial yang kurang optimal. Subyek
merasa setiap orang yang dijumpainya menjadi marah kepadanya. Kondisi ini
menyebabkan subyek cenderung salah mempersepsikan maksud dari lawan bicara. Selain
itu juga, menjadikan subyek tidak berani untuk melakukan interaksi sosial dengan orang

25
lain. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan puzzle ekspresi untuk meningkatkan
kemampuan interaksi sosial yang dimiliki subyek. Alasan pemilihan puzzle ekspresi ini
adalah kondisi subyek yang juga menderita retardasi mental sedang. Puzzle merupakan
salah satu permainan menyenangkan yang dapat meningkatkan kreativitas dan
merangsang kecerdasan, karena terdapat kegiatan yang menuntut adanya pemecahan
suatu permasalahan. Puzzle ekspresi yang peneliti gunakan merupakan media yang
peneliti rancang dengan melibatkan berbagai ekspresi manusia. Dasar pendekatan yang
digunakan dalam penggunaan puzzle ekspresi ini adalah pendekatan Kognitif – Perilaku.
Pendekatan ini disebut juga dengan CBT (Cognitive Behavior Therapy), yang
mengkombinasikan penerapan terapi kognitif dan terapi perilaku. Sedangkan teknik
intervensi yang penulis gunakan adalah Cognitive Restructuring.
- Ufiya : Strategi penanganan delirium dapat di bagi dalam strategi nonfarmakologis dan
farmakologis. Strategi penanganan nonfarmakologis merupakan pengobatan utama
seluruh pasien delirium; meliputi reorientasi dan intervensi tingkah laku. Tenaga
kesehatan memberi instruksi yang jelas dan sering membuat kontak mata dengan pasien.
Gangguan sensorik seperti kehilangan penglihatan dan pendengaran, dapat diminimalisir
dengan menggunakan peralatan seperti kacamata dan alat bantu dengar. Imobilisasi harus
dicegah karena dapat meningkatkan agitasi, peningkatan risiko luka, dan pemanjangan
lamanya delirium. Intervensi lain termasuk membatasi perubahan ruangan dan staf serta
menyediakan kondisi perawatan pasien yang tenang, dengan pencahayaan rendah pada
malam hari. Kondisi lingkungan yang tenang memberikan periode tidur yang tidak
terganggu, cukup penting dalam penanganan delirium. Meminimalisir penggunaan obat-
obat psikoaktif dengan protokol tidur nonfarmakologis yang meliputi 3 komponen, antara
lain segelas susu hangat atau teh herbal, musik relaksasi, dan pijat punggung. Protokol ini
dapat dilakukan sebagai bagian dari strategi pencegahan multikomponen yang efektif.
Strategi penanganan delirium secara farmakologi lebih jarang dilakukan. Terapi
farmakologi biasanya diberikan pada pasien delirium yang sesuai indikasi atau diperlukan
untuk mencegah pengobatan medis lanjutan (pada delirium hiperaktif ). Terapi
farmakologi pada kondisi hipoaktif hingga saat ini masih kontroversial. Obat-obat yang
mempengaruhi perubahan tingkah laku dapat mengaburkan status mental pasien dan
menyulitkan pemantauan, oleh karena itu hendaknya dihindari apabila memungkinkan.

26
Haloperidol telah luas digunakan sebagai obat pilihan untuk pengobatan agitasi akut dan
memiliki kelebihan, karena tersedia dalam bentuk parenteral, namun penggunaannya
dihubungkan dengan efek samping ekstrapiramidal dan distonia akut yang lebih tinggi
dibandingkan antipsikotik atipikal. Beberapa antipsikotik atipikal (seperti risperidon,
olanzapine, dan quetiapine) digunakan untuk mengatasi agitasi pasien delirium, namun
tidak ada data yang menunjukkan keunggulan satu antipsikotik dibandingkan lainnya.
Antipsikotik meningkatkan risiko stroke pada pasien geriatri dengan demensia dan
menyebabkan pemanjangan interval QT. Golongan benzodiazepin, seperti lorazepam,
tidak direkomendasikan sebagai terapi lini utama pengobatan delirium, karena dapat
memperberat perubahan status mental dan menyebabkan sedasi berlebihan
Sumber: Luman, A. (2015). Sindrom Delirium. Cermin Dunia Kedokteran, 42(10),
744-748.
- Ayun : Penatalaksanaan delirium :
 Strategi penanganan delirium dapat dibagi dalam strategi nonfarmakologis dan
farmakologis. Strategi penanganan nonfarmakologis merupakan pengobatan
utama seluruh pasien delirium; meliputi reorientasi dan intervensi tingkah laku.
Tenaga kesehatan memberi instruksi yang jelas dan sering membuat kontak mata
dengan pasien.
 Strategi penanganan delirium secara farmakologi lebih jarang dilakukan. Terapi
farmakologi biasanya diberikan pada pasien delirium yang sesuai indikasi atau
diperlukan untuk mencegah pengobatan medis lanjutan (pada delirium hiperaktif).
Terapi farmakologi pada kondisi hipoaktif hingga saat ini masih kontroversial.
Obat-obat yang mempengaruhi perubahan tingkah laku dapat mengaburkan status
mental pasien dan menyulitkan pemantauan,oleh karena itu hendaknya dihindari
apabila memungkinkan.
 Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan
farmakologis adalah psikosis dan insomnia obat, yang terpilih untuk psikosis
adalah haloperidol (Haldol), suatu obat antipsikotik golongan butirofenon, dosis
awal antara 2-10 mg IM, diulang dalam satu jam . jika pasien tetap teragitasi,
segera pasien tenang, medikasi oral dalam cairan konsentrat atau bentuk tablet
dapat dimulai, dosis oral +1,5 lebih tinggi dibandngkan dosis parenteral dosis

27
harian efektif total haloperidol 5-50 mg untuk sebagian besar pasien delirium.
selain itu ada Droperidol (Inapsine), droperidol adalah suatu butirofenon yang
tersedia sebagai suatu formula intravena alternatif ,monitoring EKG sangat
penting pada pengobatan ini. Insomnia diobati dengan golongan benzodiazepin
dengan waktu paruh pendek, contohnya hidroksizine (vistaril) dosis 25-100 mg.
- Jutsaniyah : Penatalaksanaan delirium :
 Nonfarmakologis : Target utama adalah meminimalkan faktor lingkungan yang
menyebabkan delirium, kebingungan dan kesalahan persepsi serta
mengoptimalkan stimulasi lingkungan.
 Farmakologis :

a) Antispikotik Tipikal

Haloperidol masih merupakan pilihan utama. Untuk lansia atau delirium hipoaktif
dimulai dengan dosis 0,5-1 mg/12 jam, sementara untuk usia muda dan keadaan
agitasi yang berat serta delirium hiperaktif digunakan dosis 10 mg/2 jam IV. Jika
dosis awal tidak efektif, maka dapat digandakan 30 menit kemudian selama tidak
ditemukan efek samping. Pengaruh terhadap jantung memberikan gambaran interval
QT memanjang pada EKG, sehingga pemberian haloperidol disertai dengan monitor
EKG.

b) Antipsikotik Atipikal

Dosis risperidon untuk orang tua 0,25-0,5 mg/12 jam, ollanzapin 2,5-5 mg malam
hari, quetiapin 12,5 mg malam hari (peningkatan dosis bertahap sesuai indikasi).

 Benzodiazepin
Pada pasien yang mengalami agitasi dan tidak responsif terhadap monoterapi
antipsikotik, dapat digunakan diazepam 5-10 mg IV, dapat diulang sesuai
kebutuhan. Pasien delirium dengan gejala putus alkohol diberi tiamin 100
mg/hari dan asam folat 1 mg/hari. Pemberian tiamin mendahului pemberian
glukosa IV. Benzodiazepin memberikan efek sedasi berlebih, depresi
pernapasan, ataksia dan amnesia.
 Preparat anestetil

28
Propofol dapat digunakan pada pasien yang tidak responsif terhadap
psikotropik tipikal. Efek sampingnya berupa depresi pernapasan. Propofol
bekerja cepat dan waktu paruhnya singkat. Dosis maksimum 75 ug/kg/menit.
Efek samping lain berupa hipertrigliseridemia, bradikardi, peningkatan enzim
pankreas dan asam laktat (Dewanto, 2009).
SUMBER : ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
GANGGUANS KOGNITIF DAN GANGGUAN MENTAL ORGANIK
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANUNIVERSITAS
JEMBER2017 YulfaIntanLukita DKK
- Dina : Penatalaksanaan secara umum:
1. Pasien menghentikan konsumsi obat obatan antikolargic dan psikoaktif
2. Mengajak keluarga pasien untuk menenangkan secara verbal
3. Memperbaiki siklus dan kualitas tidur pasien
4. Memberikan asupan cairan dan nutris yang cukup
5. Meningkatkan mobilisasi dengan menggunakan ROM
6. Mencegah mengatasi rasa tidak nyaman atau inkontensia
7. Pasien jangan dibiarkan sendiri karena dapat membahayakan dirinya sendiri

Penatalaksanaan nonfarmakologis untuk delirium :

1. Lakukan metode relaksasi seperti nafas dalam

2. Hindari minuman yang dapat mencegah tidur seperti kopi

7. Penatalaksanaan CROM pada masa pandemic Covid-19


- Eka : Salah satu metode yang dapat dilakukan oleh seorang pekerja sosial dalam
melakukan praktik konseling terhadap klien individu, keluarga, kelompok yaitu dengan
melakukan relaksasi. Relaksasi adalah suatu kegiatan melemaskan otot-otot pada tubuh
yang berguna untuk mengurangi ketegangan yang dirasakan oleh tubuh (Sari & Murtini).

Manfaat yang dapat dirasakan setelah melakukan proses relaksasi antara lain menurut
(Utami, 2001) yaitu:

29
1. Membantu seseorang menghindari melakukan hal-hal yang berlebihan akibat dari
stress.
2. Berkurangnya masalah yang timbul akibat stres seperti sakit kepala,tekanan darah
tinggi, insomnia dan perilaku buruk lainnya.
3. Mengurangi kecemasan dan menunjukan efek psikologis yang positif pada seseorang.
4. Meningkatkan semangat dalam menjalankan aktivitas.
5. Meningkatkan hubungan interpersonal

Sumber jurnal ;KEGIATAN RELAKSASI SEBAGAI COPING STRESS DI MASA


PANDEMI COVID-19 ,Alma Fildzah Aufar 2020

- Alfina : Penatalaksanaan delirium tentunya tidak terpisah dari penyebabnya. Identifikasi


penyakit yang mendasari serta pengobatan secara tepat perlu dilakukan. Penatalaksanaan
pasien geriatri perlu dilakukan secara paripurna yang dikenal sebagai comprehensive
geriatric assessment secara bersama dalam tim medis interdisipliner dengan partisipasi
keluarga sehingga pasien berusia lanjut memiliki derajat kesehatan optimal dan
kemampuan fungsional tertinggi.

SUMBER : Angryni, Nidya, Roza Mulyana. 2020. SINDROM DELIRIUM AKUT. Jurnal
Human Care. Volume 5. No.3

8. IRK
- Aji : Konsep Kesehatan Mental Dalam Al-Qur’ān Dan Implikasinya Terhadap Adversity
Quotient Perspektif Tafsir Al-Misbah. Atta'dib Jurnal Pendidikan Agama Islam, 1(2), 18-
29.
Ayat al-Qur’ān tentang kesehatan mental yang diterapkan dalam kesabaran dalam
menghadapi cobaan, Allah Q.S. al-Baqarah (2): 155. Ayat tersebut, penggunakan lafadz
walanabluwannakum adalah kesungguhan, Allah dengan tegas menyatakan bahwa Allah
pasti akan menguji manusia. Ujian bagi manusia seringkali terasa dalam bentuk
kesempitan, kesulitan, keberatan sebagaimana yang tersurat dalam ayat di atas; bahwa
ujian yang akan diberikan Allah adalah ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa serta
buah-buahan. Semua yang diujikan kepada manusia adalah kebutuhan manusia yang bisa

30
membuat manusia merasa dalam keadaan sulit dan putus asa. Ketakutan akan
mengganggu psikologi manusia, kekurangan makanan akan menganggu stabilitas
kehidupan manusia karena kurang tercukupinya kebutuhan primer yang berupa pangan,
demikian juga dengan kekurangan harta akan menjadikan manusia merasa serba
kekurangan dan berada dalam kesempitan
- Eka : Ketika seseorang telah pikun (ardzalil umuri), sehingga tidak mengetahui apa pun,
maka Allah akan mencatat untuknya pahala sebagaimana pahala perbuatan baik yang
dilakukan pada waktu sehatnya dulu. Dan, jika berbuat yang buruk, tidaklah dicatat dosa
baginya” (HR. Abu Ya’ala dari Anas bin Malik, r.a.). Wahai Allah, jauhkan aku dari
lemah (fisik dan mental), malas (bekerja dan ibadah), serba takut, pikun, dan kikir.
Juahkan pula aku dari siksa kubur, dan cobaan hidup yang merusak akhlakku, serta
jauhkan aku dari kamatian yang buruk (su-ul khatimah) dan siksa di akhirat” (HR.
Muslim dari Anas bin Malik r.a).

31

Anda mungkin juga menyukai