KELOMPOK 2 :
PEKANBARU
2020
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang Maha Kuasa yang telah
melimpahkan karunia nikmat bagi umat-Nya atas Ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Makalah ini tidak akan terwujud, jika tidak ada dorongan dan dukungan dari
berbagai pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kepada semua pihak untuk memberikan kritik dan saran yang
membangun demi tercapainya makalah yang lebih baik untuk kedepannya. Terima kasih.
Penyusun
Kelompok 2
2
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER..................................................................................................................1
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 3
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ............................................................................................................. 4
1.2 Tujuan penulisan ......................................................................................................... 5
1.3 Manfaat Penulisan ....................................................................................................... 5
BAB 2 TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Delirium.......................................................................................................... 6
2.2 Tanda Gejala Delirium................................................................................................. 6
2.3 Faktor Risiko Umum Delirium..................................................................................... 6
2.4 Klasifikasi..................................................................................................................... 7
2.5 Patofisiologi ................................................................................................................. 8
2.6 Pencegahan .................................................................................................................. 8
2.7 Penanganan .................................................................................................................. 9
2.8 Asuhan Keperawatan Gerontik pada pasien dengan Delirium ................................... 10
BAB 3 KASUS DAN ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Kasus .......................................................................................................................... 17
3.2 Asuhan Keperawatan................................................................................................... 19
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan.................................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 25
3
BAB 1
PENDAHULUAN
Lansia merupakan seseorang yang sudah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua
bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan
perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi
rangsangan dari dalam dan luar tubuh, seperti didalam Undang-Undang No 13 tahun 1998
yang isinya menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, telah menghasilkan kondisi sosial masyarakat yang makin membaik danusia harapan
hidup makin meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah. Banyak diantara lanjut
usia yang masih produktif dan mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia pada hakikatnya
merupakan pelestarian nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa. Menua atau menjadi tua
merupakan suatu keadaaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua
merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi
dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Nugroho, 2006).
Kata delirium berasal dari istilah latin delilare yang berarti menjadi “gila atau marah”.
Istilah ini sering didokumentasikan didalam literature medis selama lebih dari 2000 tahun.
Pertama kali dilaporkan pada masa Hippocrates yang menggunakan istilah Phrenitis (gila)
dan lethargus (letargi) untuk mendeskripsikan delirium subtype hiperaktif dan hipoaktif.
Sebagai istilah medis, delirium pertama digunakan oleh celsus diabad pertama setelah masehi
untuk mendeskripsikan gangguan mental yang berhubungan dengan demam atau trauma
kepala (Mittal dkk, 2011).
Delirium merupakan suatu keadaan mental yang abnormal yang dicirikan oleh adanya
disorientasi, ketakutan iritabilitas, salah persepsi terhadap stimulasi sensorik dan sering kali
disertai dengan halusinasi visual. Tingkah laku yang demikian biasanya menempatkan
penderita disuatu alam yang tidak berhubungan dengan lingkungannya, bahkan kadang pasien
4
sulit megenalinya sendiri. Biasanya delirium menimbulkan delusi seperti alam mimpi yang
kompleks, sistematis serta berlanjut sehingga tidak ada kontrak sama sekali dengan
lingkungannya serta secara psikologis tidak mungkin dicapai oleh pemeriksanya. Dalam
delirium individu mengalami kesulitan dalam menggerakkan, memusatkan, megalihkan dan
mempertahankan perhatian, beberapa simtom yang penting untuk didiagnosis sebagai
delirium yaitu gangguan perseptual, pembicaraan tidak koheran, insomnia atau mengantuk
pada siang hari, aktivitas psikomotor meningkat atau menurun dan disorientasi dan gangguan
ingatan (Sarason & Sarason, 1993).
Delirium merupakan penyakit yang umum dan ditemukan pada lebih dari 10% pasien
berusia 65 tahun yang dirujuk kerumah sakit. Delirium dapat terjadi sebagai akibat kondisi
otak yang akut dan kronis. Ada empat penyebab delirium yaitu penyakit otak, penyakit atau
infeksi dari bagian tubuh lain yang mempengaruhi otak, intoksikasi, putus dari zat yang
menjadi ketergantungan individu. Kejadian delirium sangat tinggi pada orang-orang yang
sudah tua dan tidak diketahui bahwa frekuensi penyakit otak organic dan penyakit sistemik
meningkat pada usia tua.
Tujuan penulisan pada makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami terkait
penyakit delirium.
Manfaat penulisan makalah ini agar pembaca dapat mejadikan acuan untuk referensi
selanjutnya serta mampu dalam memahami terkait penyakit delirium tersebut.
5
BAB 2
TINJAUAN TEORI
Delirium, suatu kondisi akut penurunan perhatian dan disfungsi kognitif, merupakan
sindrom klinis yang umum, mengancam hidup, dan dapat dicegah; umumnya terjadi
pada individu berusia 65 tahun atau lebih. Sindrom delirium dapat didefinisikan sebagai
kegagalan otak akut yang berhubungan dengan disfungsi otonom, disfungsi motorik, dan
kegagalan homeostasis kompleks dan multifaktorial, sering tidak terdiagnosis dan
ditangani dengan buruk. Kata “delirium” awalnya digunakan dalam dunia medis untuk
menggambarkan gangguan mental selama demam atau cedera kepala, kemudian
berkembang menjadi pengertian yang lebih luas, termasuk istilah “status konfusional
akut”, “sindrom otak akut”, “insufisiensi serebral akut”, “ensefalopati toksik-metabolik”.
Seiring waktu, istilah delirium berkembang untuk menjelaskan suatu kondisi akut transien,
reversibel, berfluktuasi, dan timbul pada kondisi medis tertentu.
Gejala yang sering ditemukan pada pasien delirium adalah adanya hendaya fungsi
kognitif yang onsetnya mendadak, gangguan kesadaran, perhatian, daya ingat, serta
terganggunya kemampuan di bidang perencanaan dan organisasi. Selain itu, pasien sering
datang dengan keluhan atau dikeluhkan mengalami gangguan pola tidur, mengalami
perubahan proses pikir, alterasi afek, persepsi, dan tingkat keaktifan, yang walaupun tidak
signifikan bermakna namun bermanfaat dalam identifikasi serta penatalaksanaan delirium.
a. Non-correctable
1. Usia
2. Jenis kelamin laki-laki
3. Gangguan kognitif ringan, demensia, penyakit Parkinson dijumpai pada >50%
pasien
4. Komorbiditas multipel meliputi:
6
1) Penyakit ginjal dan hati
2) Riwayat CVA
3) Riwayat jatuh dan mobilitas yang buruk
4) Riwayat delirium sebelumnya
b. Correctable
1. Gangguan pendengaran atau penglihatan meningkatkan risiko tiga kali lipat
2. Malnutrisi, dehidrasi, albumin rendah berhubungan dengan peningkatan risiko dua
kali lipat
3. Isolasi sosial, kurangtidur, lingkunganbaru, pergerakan di rumah sakit
4. Kateter indwelling dan jangka panjang
5. Tambahan tiga atau lebih medikasi yang baru
6. Tidak ada orientasi waktu
7. Merokok
c. Potentially Correctable
1. Uremia – urea darah >10 merupakan faktor risiko independen
2. Depresi
3. Rawatan rumah sakit lama – risiko meningkat setelah 9 hari
2.4 Klasifikasi
7
3. Delirium Campuran (Mixed) (45%).
Pasien menunjukkan gambaran klinis baik hiperaktif maupun hipoaktif. Masing-
masing subtipe delirium diakibatkan oleh mekanisme patofisiologi yang berbeda dan
memberikan prognosis yang juga berbeda. Delirium pasca-operasi dapat timbul pada
hari pertama atau kedua pasca-operasi, namun biasanya bersifat hipoaktif dan sering
tidak terdeteksi. Delirium dapat sulit dideteksi di ICU, mengingat uji kognitif standar
sering tidak dapat digunakan karena pasien diintubasi dan tidak dapat menjawab
pertanyaan secara verbal.
2.5 Patofisiologi
2.6 Pencegahan
8
faktor risiko. Karena delirium memiliki banyak penyebab, maka pendekatan multikomponen
merupakan yang paling efektif dan relevan secara klinis. Yale Delirium Prevention Trial
menunjukkan efektivitas protokol intervensi yang menargetkan kepada 6 faktor risiko:
reorientasi dan terapi untuk gangguan kognitif, mobilisasi dini untuk mengatasi imobilisasi,
pendekatan nonfarmakologik untuk meminimalisir penggunaan obat-obat psikoaktif,
intervensi untuk mencegah gangguan siklus tidur, metode komunikasi dan perlengkapan
adaptif (seperti kacamata dan alat bantu dengar) untuk gangguan penglihatan dan
pendengaran, dan intervensi dini untuk kekurangan cairan.
2.7 Penanganan
9
Strategi penanganan delirium secara farmakologi lebih jarang dilakukan. Terapi
farmakologi biasanya diberikan pada pasien delirium yang sesuai indikasi atau diperlukan
untuk mencegah pengobatan medis lanjutan (pada delirium hiperaktif ). Terapi farmakologi
pada kondisi hipoaktif hingga saat ini masih kontroversial. Obat-obat yang mempengaruhi
perubahan tingkah laku dapat mengaburkan status mental pasien dan menyulitkan
pemantauan, oleh karena itu hendaknya dihindari apabila memungkinkan. Haloperidol telah
luas digunakan sebagai obat pilihan untuk pengobatan agitasi akut dan memiliki kelebihan,
karena tersedia dalam bentuk parenteral, namun penggunaannya dihubungkan dengan efek
samping ekstrapiramidal dan dystonia akut yang lebih tinggi dibandingkan antipsikotik
atipikal. Beberapa antipsikotik atipikal (seperti risperidon, olanzapine, dan quetiapine)
digunakan untuk mengatasi agitasi pasien delirium, namun tidak ada data yang menunjukkan
keunggulan satu antipsikotik dibandingkan lainnya. Antipsikotik meningkatkan risiko stroke
pada pasien geriatri dengan demensia dan menyebabkan pemanjangan interval QT. Golongan
benzodiazepin, seperti lorazepam, tidak direkomendasikan sebagai terapi lini utama
pengobatan delirium, karena dapat memperberat perubahan status mental dan menyebabkan
sedasi berlebihan.
10
mungkin dapat menerangkan riwayat dan perkembangan gangguan jiwa yang
terdapat. Dari gejala-gejala psikiatrik tidak dapat diketahui etiologi penyakit badaniah
itu, tetapi perlu dilakukan pemeriksaan intern dan nerologik yang teliti. Gejala
tersebut lebih ditentukan oleh keadaan jiwa premorbidnya, mekanisme pembelaan
psikologiknya, keadaan psikososial, sifat bantuan dari keluarga, teman dan petugas
kesehatan, struktur sosial serta ciri-ciri kebudayaan sekelilingnya. Gangguan jiwa
yang psikotik atau nonpsikotik yang disebabkan oleh gangguan jaringan fungsi otak.
Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan oleh penyakit badaniah yang
terutama mengenai otak (meningoensephalitis, gangguan pembuluh darah otak, tumor
otak dan sebagainya) atau yang terutama di luar otak atau tengkorak (tifus,
endometriasis, payah jantung, toxemia kehamilan, intoksikasi dan sebagainya).
5) Fisik
Kesadaran yang menurun dan sesudahnya terdapat amnesia. Tensi menurun,
takikardia, febris, berat badan menurun karena nafsu makan yang menurun dan tidak
mau makan.
6) Psikososial
a. Genogram: minimal tiga generasi masalah yang terkait
(1) Interaksi di dalam keluarga
(2) Penentu kebijakan di dalam keluarga
b. Konsep diri
(1) Gambaran diri, stressor yang menyebabkan berubahnya gambaran diri karena
proses patologik penyakit.
(2) Identitas, bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan individu.
(3) Peran, transisi peran dapat dari sehat ke sakit, tidak sesuaian antara satu peran
dengan peran yang lain dan peran yang ragu deman individu tidak tahun
dengan jelas perannya, serta peran berlebihan sementara tidak mempunyai
kemampuan dan sumber yang cukup.
(4) Ideal diri, keinginan yang tidak sesuai dengan kenyataan dan kemampuan yang
ada.
(5) Harga diri, ketidakmampuan dalam mencapai tujuan sehingga klien merasa
harga dirinya rendah karena kegagalannya.
11
c. Hubungan social
Perkembangan hubungan sosial yang tidak menyebabkan kegagalan individu untuk
belajar mempertahankan komunikasi dengan orang lain, akibatnya klien cenderung
memisahkan diri dari orang lain dan hanya terlibat dengan pikirannya sendiri yang
tidak memerlukan kontrol orang lain. Keadaan ini menimbulkan kesepian, isolasi
sosial, hubungan dangkal dan tergantung.
d. Spiritual
Keyakinan klien terhadap agama dan keyakinannya masih kuat. tetapi tidak atau
kurang mampu dalam melaksanakan ibadahnya sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
e. Status mental
(1) Penampilan
(2) Pembicaraan
Bicara juga dapat dipengaruhi, yaitu menjadi kurang koheren dan lebih sulit
dimengerti ketika delirium memburuk. Klien dapat mengulang-ulang satu topik
atau bahasan, berbicara melantur dan sulit untuk diikuti, atau mengalami
logorea yang cepat, terpaksa, dan biasanya lebih keras dari normal. Kadang-
kadang klien dapat berteriak atau menjerit, terutama pada malam hari (Burney-
Puckett, 1996).
f. Aktivitas motoric
Klien delirium sering mengalami gangguan perilaku psikomotor. Klien mungkin
gelisah dan hiperaktif, sering menarik-narik seprai atau berupaya bangun dari
tempat tidur secara mendadak dan tidak terkoordinasi. Sebaliknya, klien dapat
mengalami perilaku motorik yang lambat, tampak lesu dan letargi dengan sedikit
gerakan.
7) Alam perasaan dan afek
Klien delirium sering mengalami perubahan mood yang cepat dan tidak dapat
diperkirakan. rentang respons emosional yang luas mungkin terjadi, seperti ansietas,
takut, iritabilitas, marah, euforia, dan apati. Perubahan mood dan emosi ini biasanya
tidak terkait dengan lingkungan klien. Ketika klien merasa sangat takut dan merasa
12
terancam, klien mungkin melawan untuk melindungi dirinya dari bahaya yang
dirasakan.
8) Persepsi
Halusinasi yang paling sering terjadi adalah halusinasi penglihatan: klien melihat
benda-benda yang tidak ada stimulusnya dalam realitas, seperti malaikat atau
gambaran yang mengerikan melayang di atas tempat tidur. Ketika lebih mampu
berpikir jernih, beberapa klien dapat menyadari bahwa mereka mengalami
mispersepsi sensori. Akan tetapi klien lainnya benar-benar meyakini salah interpretasi
mereka sebagai hal yang benar dan tidak dapat diyakinkan hal yang sebaliknya.
9) Proses piker
Proses pikir sering mengalami disorganisasi dan tidak masuk akal. Pikiran juga dapat
terpecah (tidak berkaitan dan tidak lengkap). Klien juga dapat memperlihatkan
pikiran waham yang meyakini bahwa perubahan persepsi sensorinya adalah nyata.
10) Tingkat kesadaran
Tanda utama delirium dan sering kali tanda awal delirium adalah perubahan tingkat
kesadaran yang jarang stabil dan biasanya berfluktuasi sepanjang hari. Klien biasanya
terorientasi pada orang, tetapi sering kali terdisorientasi terhadap waktu dan tempat.
Klien menunjukkan penurunan kesadaran terhadap lingkungan atau situasi dan dapat
berfokus pada stimulus yang tidak berkaitan, seperti warna seprai atau ruangan. Klien
juga mudah terdistraksi oleh suara, orang, atau mispersepsi sensorinya.
11) Memori
Klien tidak dapat memfokuskan, mempertahankan atau mengubah perhatiannya
secara efektif, dan terdapat kerusakan memori yang baru dan yang sangat baru (DSM-
IV-TR,2000). Hal ini berarti bahwa perawat harus menanyakan atau memberikan
arahan secara berulang-ulang; meskipun kemudian klien mungkin tidak mempu
melakukan hal-hal yang diminta.
12) Kemampuan penilaian
Penilaian klien mengalami gangguan. Klien sering tidak dapat menyadari situasi yang
potensial membahayakan dan tidak dapat bertindak demi kepentingan terbaik mereka
sendiri. Misalnya, klien mungkin mencoba mencabut slang intravena atau keteter
13
urine secara berulang-ulang sehingga menyebabkan nyeri dan mengganggu terapi
yang penting.
13) Daya tilik diri
Daya tilik bergantung pada keparahan delirium. Klien yang mengalami delirium
ringan dapat mengenali bahwa ia bingung, sedang mendapatkan terapi, dan mungkin
akan sembuh. Akan tetapi, klien yang mengalami delirium berat dapat tidak memiliki
daya tilik dalam situasi ini.
14) Kebutuhan klien sehari-hari
a. Tidur
Klien sukar tidur karena cemas, gelisah, berbaring atau duduk dan gelisah .
Kadang-kadang terbangun tengah malam dan sukar tidur kembali. Tidurnya
mungkin terganggu sepanjang malam, sehingga tidak merasa segar di pagi hari.
b. Selera makan
Klien tidak mempunyai selera makan atau makannya hanya sedikit, karena putus
asa, merasa tidak berharga, aktivitas terbatas sehingga bisa terjadi penurunan berat
badan.
c. Eliminasi
Klien mungkin tergnaggu buang air kecilnya, kadang-kadang lebih sering dari
biasanya, karena sukar tidur dan stres. Kadang-kadang dapat terjadi konstipasi,
akibat terganggu pola makan.
d. Mekanisme koping
Apabila klien merasa tidak berhasil, kegagalan maka ia akan menetralisir,
mengingkari atau meniadakannya dengan mengembangkan berbagai pola koping
mekanisme. Ketidak mampuan mengatasi secara konstruktif merupakan faktor
penyebab primer terbentuknya pola tiungkah laku patologis. Koping mekanisme
yang digunakan seseorang dalam keadaan delerium adalah mengurangi kontak
mata, memakai kata-kata yang cepat dan keras (ngomel-ngomel) dan menutup diri.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan utama untuk klien yang mengalami delirium adalah:
1) Resiko tinggi mencederai diri,orang lain dan lingkungan berhubungan dengan
halusinasi
14
2) Perubahan persepsi sensori: halusinasi berhubungan dengan menarik diri
3) Kurangnya interaksi sosial (isolasi sosial) berhubungan dengan sistem pendukung
yang tidak adekuat dan harga diri yang rendah
4) Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan intoleransi aktifitas
5) Defisit nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan system
pendukung yang tidak adekuat
6) Proses berpikir yang terganggu terkait dengan pemikiran delusi
7) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kognitif
3. Intervensi Keperawatan
1). Perubahan persepsi sensori: halusinasi berhubungan dengan menarik diri
Intervensi :
a. Pertahankan agar lingkungan klien pada tingkat stimulus yang rendah (penyinaran
rendah, sedikit orang, dekorasi yang sederhana dan tingakat kebisingan yang
rendah)
b. Ciptakan lingkungan psikososial :
- Sikap perawat yang bersahabat, penuh perhatian, lembuh dan hangat.
- Bina hubungan saling percaya (menyapa klien dengan ramah, memanggil
nama klien, jujur , tepat janji, empati dan menghargai).
- Tunjukkan sikap perawat yang bertanggung jawab
c. Observasi secara ketat perilaku klien (setiap 15 menit)
d. Lindungi klien dan keluarga dari bahaya halusinasi:
- Kaji halusinasi klien
- Lakukan tindakan pengawasan ketat, upayakan tidak melakukan pengikatan.
e. Tingkatkan peran serta keluarga pada tiap tahap perawatan dan jelaskan prinsip-
prinsip tindakan pada halusinasi.
2). Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan intoleransi aktifitas
Intervensi:
a. Dukung klien untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari sesuai dengan
tingkat kemampuan kien.
b. Dukung kemandirian klien, tetapi beri bantuan klien saat kurang mampu
melakukan beberapa kegiatan.
15
c. Berikan pengakuan dan penghargaan positif untuk kemampuan mandiri.
d. Perlihatkan secara konkrit, bagaimana melakukan kegiatan yang menurut
kien sulit untuk dilakukaknya.
e. Libatkan klien dalam membuat rencana atau keputusan sesuai
kemampuannya untuk berpartisipasi.
f. Bantu klien untuk menyusun kegiatan rutin harian, yang mencangkup
hygiene, aktivitas, dsb.
4. Evaluasi
Keberhasilan terapi penyebab yang mendasari delirium biasanya mengembalikan
klien ke tingkat fungsi sebelumnya .klien dan pemberi perawatan atau keluarga perlu
memahami praktik perawatan kesehatan yang penting untuk mencegah rekurensi
delirium. Hal ini dapat mencakup pemantauan kondisi kesehatan yang kronis,
penggunaan obat- obatan dengan cermat atau berhenti menggunakan alkohol dan obat
lain.
Hasil terapi untuk klien yang mengalami delirium dapat mencakup:
1. Klien akan bebas dari cedera.
2. Klien akan menunjukkan peningkatan orientasi dan kontak
realitas.
3. Klien akan mempertahankan keseimbangan aktifitas dan
istirahat yang adekuat.
4. Klien akan mempertahankan keseimbangan cairan dan nutrisi
yang adekuat.
5. Klien akan kembali ke tingkat fungsi optimalnya (Aggraini,
2014 ).
16
BAB 3
3.1 KASUS
Mrs. R adalah wanita berusia 68 tahun, wanita berbahasa daerah. Dia dirawat di unit
onkologi untuk pengobatan kanker rahim stadium lanjut. Nyonya R tinggal sendirian di
rumahnya. Ia mampu menjaga aktivitas sehari-hari dan memiliki kehidupan sosial yang aktif.
Putri Nyonya R tinggal di dekatnya dan mengunjunginya sesekali sepanjang minggu, Empat
puluh delapan jam setelah masuk, perawat melaporkan bahwa Ny. R tidak tidur, gelisah,
tertekan, menangis sesekali, dan gemetar. Selama beberapa jam terakhir, dia sering buang air
besar. Selain itu, staf melaporkan bahwa dia berbicara dengan keras dalam bahasa daerah ketika
tidak ada orang di ruangan itu.
Delirium Ny. R adalah akibat dari penarikan narkotika yang disebabkan oleh penghentian
obat pereda nyeri secara tidak sengaja, kesalahan dalam rekonsiliasi pengobatan selama rawat
inap. Nyeri pada orang dewasa yang lebih tua sering kali tidak diobati dan merupakan masalah
umum dan dapat menyebabkan delirium. Ada beberapa alat yang tersedia untuk mengukur nyeri
di antara orang dewasa yang lebih tua yang tidak dapat berkomunikasi.
Ada banyak hambatan dalam penanganan nyeri di antara lansia yang dirawat di rumah sakit,
terutama pada lansia yang memiliki gangguan kognitif atau tidak dapat berkomunikasi.
Hambatan bahasa juga berkontribusi pada kesalahan diagnosis atau penilaian nyeri yang tidak
memadai. Orang dewasa yang lebih tua dengan delirium atau demensia tidak dapat
mengungkapkan rasa sakit secara verbal dan tidak dapat dinilai rasa sakitnya menggunakan
instrumen standar.
18
3.2 Asuhan Keperawatan
FORMAT PENGKAJIAN
ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK
A. PENGKAJIAN
4. Riwayat Kesehatan
a. Status Kesehatan saat ini
19
1) Keluhan utama dalam 1 tahun terakhir:
2) Gejala yang dirasakan :bingung, gelisah, berteriak
b. Faktor pencetus :
5. Pola Fungsional
a. Persepsi kesehatan dan pola manajemen kesehatan
Kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan ketergantungan terhadap obat pereda nyeri
untuk kanker stadium lanjut
b. Nutrisi metabolik
Frekuensi makan?, nafsu makan?, jenis makanan?, makanan yang tidak disukai?,
alergi terhadap makanan?, pantangan makanan?, keluhan yang berhubungan dengan
makan?
c. Eliminasi
BAK : Frekuensi & waktu?, kebiasaan BAK pada malam hari?, keluhan yang
berhubungan dengan BAK?
BAB : Frekuensi & waktu?, konsistensi?, keluhan yang berhubungan dengan BAB?,
pengalaman memakai pencahar?
20
d. Aktifitas Pola Latihan
Rutinitas mandi?, kebersihan sehari-hari?, aktifitas sehari- hari?,apakah ada masalah
dengan aktifitas?, kemampuan kemandirian?
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : komposmentis
b. TTV :112 / 68mm Hg
c. BB/TB
d. Kepala
Rambut :
Mata :
Telinga :
Mulut, gigi dan bibir :
e. Dada :
f. Abdomen :
g. Kulit :
h. Ekstremitas Atas :
i. Ekstremitas bawah :
21
1) Pengkajian Khusus ( Format Terlampir )
a. Fungsi kognitif SPMSQ :
b. Status fungsional (Katz Indeks ) :
c. MMSE :
d. APGAR keluarga :
e. Skala Depresi :
f. Screening Fall :
g. Skala Norton :
B. ANALISA DATA
D. INTERVENSI
No Diagnosa NOC NIC
22
dengan delirium penyebab nyeri nyeri dan faktor pencetus nyeri.
2. Mengetahui permulaan
2. Observasi ketidaknyamanan nonverba
terjadinya nyeri
3. Menggunakan tindakan 3. ajarkan untuk teknik nonfarmakologi missal
pencegahan relaksasi, guide imajeri, terapi musik, distraksi
4. Melaporkan gejala
4. Kendalikan factor lingkungan yang dapat
5. Melaporkan kontrol
mempengaruhi respon pasien terhadap
nyeri
ketidaknyamanan misal suhu, lingkungan,
cahaya, kegaduhan
23
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sindrom delirium dapat didefinisikan sebagai kegagalan otak akut yang berhubungan
dengan disfungsi otonom, disfungsi motorik, dan kegagalan homeostasis kompleks dan
multifaktorial, sering tidak terdiagnosis dan ditangani dengan buruk. umumnya terjadi pada
individu berusia 65 tahun atau lebih. Gejala yang sering ditemukan pada pasien delirium yaitu
terjadinya gangguan pola tidur, mengalami perubahan proses pikir, alterasi afek, persepsi, dan
tingkat keaktifan. Klasifikasi delirium ada tiga subtipe yaitu hipoaktif (25%), hiperaktif (30%)
dan delirium campuran (45%). Pencegahan delirium yang efektif yaitu mengurangi penggunaan
obat-obatan seperti benzodiazepine atau antikolinergik. Strategi penanganan delirium secara
farmakologi lebih jarang dilakukan. Terapi farmakologi biasanya diberikan pada pasien
delirium yang sesuai indikasi atau diperlukan untuk mencegah pengobatan medis lanjutan
(pada delirium hiperaktif ).
24
DAFTAR PUSTAKA
Joaquim Cerejeira and Elizabeta B. Mukaetova- Ladinska. 2011. Review article : Aclinical
Update on Delirium: From Early Recognition to Effective Management
Kholifah, Siti Nur. (2016). Keperawatan Gerontik. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.
Luman, Andy. 2015. Sindrom Delirium. Vol. 42 No 10. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia.
Made Ayu Dwi Pradnyawati, Nyoman Ratep, Wayan Westa. Delirium Pada Pasien Rawat
Inap Dengan Skizofrenia: Sebuah Laporan Kasus Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, Denpasar, Bali.
Sarif La Ode. 2012. Asuhan Keperawatan Gerontik Berstandar Nanda, NIC, NOC, Dilengkapi
dengan Teori dan Contoh Kasus Askep. Jakarta: Nuha Medika.
Sarason, I.G & Sarason, B.R. (1993). Abnormal Psikology. The Problem Of Maladaptive
Behavior. New Jersey : Prentice Hall.
25