Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK

“Asuhan Keperawatan Lansia dengan Masalah Psikososial dan Spiritual: Delirium”

KELOMPOK 2 :

YUYUN BELLA RIA BR BATUBARA 17031047

ANGEL NOVELYENI CAHYANINGTYAS 17031062

LILIK TRI RAHAYU 17031065

ALFIATUN WAHIDAH 17031066

DESI APRIANI 17031073

AYU NINDI CAHYANI NA 17031079

APRILIANA AFGHANI 17031080

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

STIKes HANG TUAH PEKANBARU

PEKANBARU

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang Maha Kuasa yang telah
melimpahkan karunia nikmat bagi umat-Nya atas Ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Makalah ini tidak akan terwujud, jika tidak ada dorongan dan dukungan dari
berbagai pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kepada semua pihak untuk memberikan kritik dan saran yang
membangun demi tercapainya makalah yang lebih baik untuk kedepannya. Terima kasih.

Pekanbaru, 29 Desember 2020

Penyusun

Kelompok 2

2
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER..................................................................................................................1
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 3
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ............................................................................................................. 4
1.2 Tujuan penulisan ......................................................................................................... 5
1.3 Manfaat Penulisan ....................................................................................................... 5
BAB 2 TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Delirium.......................................................................................................... 6
2.2 Tanda Gejala Delirium................................................................................................. 6
2.3 Faktor Risiko Umum Delirium..................................................................................... 6
2.4 Klasifikasi..................................................................................................................... 7
2.5 Patofisiologi ................................................................................................................. 8
2.6 Pencegahan .................................................................................................................. 8
2.7 Penanganan .................................................................................................................. 9
2.8 Asuhan Keperawatan Gerontik pada pasien dengan Delirium ................................... 10
BAB 3 KASUS DAN ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Kasus .......................................................................................................................... 17
3.2 Asuhan Keperawatan................................................................................................... 19
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan.................................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 25

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lansia merupakan seseorang yang sudah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua
bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan
perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi
rangsangan dari dalam dan luar tubuh, seperti didalam Undang-Undang No 13 tahun 1998
yang isinya menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, telah menghasilkan kondisi sosial masyarakat yang makin membaik danusia harapan
hidup makin meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah. Banyak diantara lanjut
usia yang masih produktif dan mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia pada hakikatnya
merupakan pelestarian nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa. Menua atau menjadi tua
merupakan suatu keadaaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua
merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi
dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Nugroho, 2006).

Kata delirium berasal dari istilah latin delilare yang berarti menjadi “gila atau marah”.
Istilah ini sering didokumentasikan didalam literature medis selama lebih dari 2000 tahun.
Pertama kali dilaporkan pada masa Hippocrates yang menggunakan istilah Phrenitis (gila)
dan lethargus (letargi) untuk mendeskripsikan delirium subtype hiperaktif dan hipoaktif.
Sebagai istilah medis, delirium pertama digunakan oleh celsus diabad pertama setelah masehi
untuk mendeskripsikan gangguan mental yang berhubungan dengan demam atau trauma
kepala (Mittal dkk, 2011).

Delirium merupakan suatu keadaan mental yang abnormal yang dicirikan oleh adanya
disorientasi, ketakutan iritabilitas, salah persepsi terhadap stimulasi sensorik dan sering kali
disertai dengan halusinasi visual. Tingkah laku yang demikian biasanya menempatkan
penderita disuatu alam yang tidak berhubungan dengan lingkungannya, bahkan kadang pasien

4
sulit megenalinya sendiri. Biasanya delirium menimbulkan delusi seperti alam mimpi yang
kompleks, sistematis serta berlanjut sehingga tidak ada kontrak sama sekali dengan
lingkungannya serta secara psikologis tidak mungkin dicapai oleh pemeriksanya. Dalam
delirium individu mengalami kesulitan dalam menggerakkan, memusatkan, megalihkan dan
mempertahankan perhatian, beberapa simtom yang penting untuk didiagnosis sebagai
delirium yaitu gangguan perseptual, pembicaraan tidak koheran, insomnia atau mengantuk
pada siang hari, aktivitas psikomotor meningkat atau menurun dan disorientasi dan gangguan
ingatan (Sarason & Sarason, 1993).

Delirium merupakan penyakit yang umum dan ditemukan pada lebih dari 10% pasien
berusia 65 tahun yang dirujuk kerumah sakit. Delirium dapat terjadi sebagai akibat kondisi
otak yang akut dan kronis. Ada empat penyebab delirium yaitu penyakit otak, penyakit atau
infeksi dari bagian tubuh lain yang mempengaruhi otak, intoksikasi, putus dari zat yang
menjadi ketergantungan individu. Kejadian delirium sangat tinggi pada orang-orang yang
sudah tua dan tidak diketahui bahwa frekuensi penyakit otak organic dan penyakit sistemik
meningkat pada usia tua.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan pada makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami terkait
penyakit delirium.

1.3 Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan makalah ini agar pembaca dapat mejadikan acuan untuk referensi
selanjutnya serta mampu dalam memahami terkait penyakit delirium tersebut.

5
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Delirium

Delirium, suatu kondisi akut penurunan perhatian dan disfungsi kognitif, merupakan
sindrom klinis yang umum, mengancam hidup, dan dapat dicegah; umumnya terjadi
pada individu berusia 65 tahun atau lebih. Sindrom delirium dapat didefinisikan sebagai
kegagalan otak akut yang berhubungan dengan disfungsi otonom, disfungsi motorik, dan
kegagalan homeostasis kompleks dan multifaktorial, sering tidak terdiagnosis dan
ditangani dengan buruk. Kata “delirium” awalnya digunakan dalam dunia medis untuk
menggambarkan gangguan mental selama demam atau cedera kepala, kemudian
berkembang menjadi pengertian yang lebih luas, termasuk istilah “status konfusional
akut”, “sindrom otak akut”, “insufisiensi serebral akut”, “ensefalopati toksik-metabolik”.
Seiring waktu, istilah delirium berkembang untuk menjelaskan suatu kondisi akut transien,
reversibel, berfluktuasi, dan timbul pada kondisi medis tertentu.

2.2 Tanda Gejala Delirium

Gejala yang sering ditemukan pada pasien delirium adalah adanya hendaya fungsi
kognitif yang onsetnya mendadak, gangguan kesadaran, perhatian, daya ingat, serta
terganggunya kemampuan di bidang perencanaan dan organisasi. Selain itu, pasien sering
datang dengan keluhan atau dikeluhkan mengalami gangguan pola tidur, mengalami
perubahan proses pikir, alterasi afek, persepsi, dan tingkat keaktifan, yang walaupun tidak
signifikan bermakna namun bermanfaat dalam identifikasi serta penatalaksanaan delirium.

2.3 Faktor Risiko Umum Delirium

a. Non-correctable
1. Usia
2. Jenis kelamin laki-laki
3. Gangguan kognitif ringan, demensia, penyakit Parkinson dijumpai pada >50%
pasien
4. Komorbiditas multipel meliputi:
6
1) Penyakit ginjal dan hati
2) Riwayat CVA
3) Riwayat jatuh dan mobilitas yang buruk
4) Riwayat delirium sebelumnya
b. Correctable
1. Gangguan pendengaran atau penglihatan meningkatkan risiko tiga kali lipat
2. Malnutrisi, dehidrasi, albumin rendah berhubungan dengan peningkatan risiko dua
kali lipat
3. Isolasi sosial, kurangtidur, lingkunganbaru, pergerakan di rumah sakit
4. Kateter indwelling dan jangka panjang
5. Tambahan tiga atau lebih medikasi yang baru
6. Tidak ada orientasi waktu
7. Merokok
c. Potentially Correctable
1. Uremia – urea darah >10 merupakan faktor risiko independen
2. Depresi
3. Rawatan rumah sakit lama – risiko meningkat setelah 9 hari

2.4 Klasifikasi

Secara umum diklasifikasikan dalam tiga subtipe yaitu:


1. Delirium Hipoaktif (25%).
Pasien bersikap tenang dan menarik diri, dengan tampilan klinis letargi dan
sedasi, berespons lambat terhadap rangsangan, dan pergerakan spontan minimal.
Tipe ini cenderung tidak terdeteksi pada rawat inap dan menyebabkan peningkatan
lama rawat dan komplikasi yang lebih berat.
2. Delirium Hiperaktif (30%).
Pasien memiliki gambaran agitasi, hipervigilansi, dan sering disertai halusinasi
dan delusi, yang walaupun lebih awal dapat terdeteksi, berhubungan dengan
peningkatan penggunaan benzodiazepin, sedasi berlebihan, dan risiko jatuh.

7
3. Delirium Campuran (Mixed) (45%).
Pasien menunjukkan gambaran klinis baik hiperaktif maupun hipoaktif. Masing-
masing subtipe delirium diakibatkan oleh mekanisme patofisiologi yang berbeda dan
memberikan prognosis yang juga berbeda. Delirium pasca-operasi dapat timbul pada
hari pertama atau kedua pasca-operasi, namun biasanya bersifat hipoaktif dan sering
tidak terdeteksi. Delirium dapat sulit dideteksi di ICU, mengingat uji kognitif standar
sering tidak dapat digunakan karena pasien diintubasi dan tidak dapat menjawab
pertanyaan secara verbal.

2.5 Patofisiologi

Delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial, dan mempengaruhi


berbagai bagian sistem saraf pusat. Hipotesis terbaru menunjukkan defisiensi jalur kolinergik
dapat merupakan salah satu faktor penyebab delirium. Delirium yang diakibatkan oleh
penghentian substansi seperti alkohol, benzodiazepin, atau nikotin dapat dibedakan dengan
delirium karena penyebab lain. Pada delirium akibat penghentian alkohol terjadi
ketidakseimbangan mekanisme inhibisi dan eksitasi pada sistem neurotransmiter. Konsumsi
alkohol secara reguler dapat menyebabkan inhibisi reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate)
dan aktivasi reseptor GABA-A (gamma-aminobutyric acid-A). Disinhibisi serebral
berhubungan dengan perubahan neurotransmiter yang memperkuat transmisi dopaminergik
dan noradrenergik, adapun perubahan ini memberikan manifestasi karakteristik delirium,
termasuk aktivasi simpatis dan kecenderungan kejang epileptik. Pada kondisi lain,
penghentian benzodiazepin menyebabkan delirium melalui jalur penurunan transmisi GABA-
ergik dan dapat timbul kejang epileptik. Delirium yang tidak diakibatkan karena penghentian
substansi timbul melalui berbagai mekanisme, jalur akhir biasanya melibatkan defisit
kolinergik dikombinasikan dengan hiperaktivitas dopaminergik.

2.6 Pencegahan

Pencegahan delirium merupakan strategi paling efektif untuk mengurangi frekuensi


dan komplikasi. Obat-obatan seperti benzodiazepine atau antikolinergik dan pencetus lain
yang dikenal dapat menyebabkan delirium secara umum hendaknya dihindari. Pencegahan
yang sukses termasuk pendekatan multikomponen juga dapat dilakukan untuk mengurangi

8
faktor risiko. Karena delirium memiliki banyak penyebab, maka pendekatan multikomponen
merupakan yang paling efektif dan relevan secara klinis. Yale Delirium Prevention Trial
menunjukkan efektivitas protokol intervensi yang menargetkan kepada 6 faktor risiko:
reorientasi dan terapi untuk gangguan kognitif, mobilisasi dini untuk mengatasi imobilisasi,
pendekatan nonfarmakologik untuk meminimalisir penggunaan obat-obat psikoaktif,
intervensi untuk mencegah gangguan siklus tidur, metode komunikasi dan perlengkapan
adaptif (seperti kacamata dan alat bantu dengar) untuk gangguan penglihatan dan
pendengaran, dan intervensi dini untuk kekurangan cairan.

2.7 Penanganan

Langkah utama adalah menilai semua kemungkinan penyebab, menyediakan


dukungan suportif dan mencegah komplikasi, dan mengatasi gejala. Karena delirium dapat
merupakan kegawatdaruratan medis, tujuan utama penanganan adalah mengetahui faktor
predisposisi dan pencetus secara dini. Strategi penanganan delirium dapat dibagi dalam
strategi nonfarmakologis dan farmakologis. Strategi penanganan nonfarmakologis merupakan
pengobatan utama seluruh pasien delirium; meliputi reorientasi dan intervensi tingkah laku.
Kombinasi pemeriksaan tersebut dapat dikerjakan dalam waktu sekitar 15 menit oleh tenaga
kesehatan terlatih, cukup andal, spesifik, serta sensitif. Demensia dan depresi sering
menunjukkan gejala mirip delirium; bahkan kedua kondisi tersebut dapat dijumpai bersamaan
dengan sindrom delirium. Pada keadaan tersebut, Tenaga kesehatan memberi instruksi yang
jelas dan sering membuat kontak mata dengan pasien. Gangguan sensorik seperti kehilangan
penglihatan dan pendengaran, dapat diminimalisir dengan menggunakan peralatan seperti
kacamata dan alat bantu dengar. Imobilisasi harus dicegah karena dapat meningkatkan
agitasi, peningkatan risiko luka, dan pemanjangan lamanya delirium. Intervensi lain termasuk
membatasi perubahan ruangan dan staf serta menyediakan kondisi perawatan pasien yang
tenang, dengan pencahayaan rendah pada malam hari. Kondisi lingkungan yang tenang
memberikan periode tidur yang tidak terganggu, cukup penting dalam penanganan delirium.
Meminimalisir penggunaan obat-obat psikoaktif dengan protocol tidur nonfarmakologis yang
meliputi 3 komponen, antara lain segelas susu hangat atau teh herbal, musik relaksasi, dan
pijat punggung.

9
Strategi penanganan delirium secara farmakologi lebih jarang dilakukan. Terapi
farmakologi biasanya diberikan pada pasien delirium yang sesuai indikasi atau diperlukan
untuk mencegah pengobatan medis lanjutan (pada delirium hiperaktif ). Terapi farmakologi
pada kondisi hipoaktif hingga saat ini masih kontroversial. Obat-obat yang mempengaruhi
perubahan tingkah laku dapat mengaburkan status mental pasien dan menyulitkan
pemantauan, oleh karena itu hendaknya dihindari apabila memungkinkan. Haloperidol telah
luas digunakan sebagai obat pilihan untuk pengobatan agitasi akut dan memiliki kelebihan,
karena tersedia dalam bentuk parenteral, namun penggunaannya dihubungkan dengan efek
samping ekstrapiramidal dan dystonia akut yang lebih tinggi dibandingkan antipsikotik
atipikal. Beberapa antipsikotik atipikal (seperti risperidon, olanzapine, dan quetiapine)
digunakan untuk mengatasi agitasi pasien delirium, namun tidak ada data yang menunjukkan
keunggulan satu antipsikotik dibandingkan lainnya. Antipsikotik meningkatkan risiko stroke
pada pasien geriatri dengan demensia dan menyebabkan pemanjangan interval QT. Golongan
benzodiazepin, seperti lorazepam, tidak direkomendasikan sebagai terapi lini utama
pengobatan delirium, karena dapat memperberat perubahan status mental dan menyebabkan
sedasi berlebihan.

2.8 Asuhan Keperawatan Gerontik pada pasien dengan Delirium


1. Pengkajian
1) Identitas
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan alamat.
2) Keluhan utama
Keluhan utama merupakan sebab utama yang menyebabkan klien datang berobat
(menurut klien dan atau keluarga). Gejala utama adalah kesadaran menurun.
3) Riwayat
Karena penyebab delirium sering terkait dengan penyakit medis, alkohol, atau obat
lain, perawat perlu mendapatkan riwayat keseluruhan area ini. Perawat mungkin perlu
mendapatkan informasi dari anggota keluarga jika kemampuan klien untuk
memberikan data terganggu.
4) Faktor predisposisi
Menemukan gangguan jiwa yang ada sebagai dasar pembuatan diagnosis serta
menentukan tingkat gangguan serta menggambarkan struktur kepribadian yang

10
mungkin dapat menerangkan riwayat dan perkembangan gangguan jiwa yang
terdapat. Dari gejala-gejala psikiatrik tidak dapat diketahui etiologi penyakit badaniah
itu, tetapi perlu dilakukan pemeriksaan intern dan nerologik yang teliti. Gejala
tersebut lebih ditentukan oleh keadaan jiwa premorbidnya, mekanisme pembelaan
psikologiknya, keadaan psikososial, sifat bantuan dari keluarga, teman dan petugas
kesehatan, struktur sosial serta ciri-ciri kebudayaan sekelilingnya. Gangguan jiwa
yang psikotik atau nonpsikotik yang disebabkan oleh gangguan jaringan fungsi otak.
Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan oleh penyakit badaniah yang
terutama mengenai otak (meningoensephalitis, gangguan pembuluh darah otak, tumor
otak dan sebagainya) atau yang terutama di luar otak atau tengkorak (tifus,
endometriasis, payah jantung, toxemia kehamilan, intoksikasi dan sebagainya).
5) Fisik
Kesadaran yang menurun dan sesudahnya terdapat amnesia. Tensi menurun,
takikardia, febris, berat badan menurun karena nafsu makan yang menurun dan tidak
mau makan.
6) Psikososial
a. Genogram: minimal tiga generasi masalah yang terkait
(1) Interaksi di dalam keluarga
(2) Penentu kebijakan di dalam keluarga
b. Konsep diri
(1) Gambaran diri, stressor yang menyebabkan berubahnya gambaran diri karena
proses patologik penyakit.
(2) Identitas, bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan individu.
(3) Peran, transisi peran dapat dari sehat ke sakit, tidak sesuaian antara satu peran
dengan peran yang lain dan peran yang ragu deman individu tidak tahun
dengan jelas perannya, serta peran berlebihan sementara tidak mempunyai
kemampuan dan sumber yang cukup.
(4) Ideal diri, keinginan yang tidak sesuai dengan kenyataan dan kemampuan yang
ada.
(5) Harga diri, ketidakmampuan dalam mencapai tujuan sehingga klien merasa
harga dirinya rendah karena kegagalannya.

11
c. Hubungan social
Perkembangan hubungan sosial yang tidak menyebabkan kegagalan individu untuk
belajar mempertahankan komunikasi dengan orang lain, akibatnya klien cenderung
memisahkan diri dari orang lain dan hanya terlibat dengan pikirannya sendiri yang
tidak memerlukan kontrol orang lain. Keadaan ini menimbulkan kesepian, isolasi
sosial, hubungan dangkal dan tergantung.
d. Spiritual
Keyakinan klien terhadap agama dan keyakinannya masih kuat. tetapi tidak atau
kurang mampu dalam melaksanakan ibadahnya sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
e. Status mental
(1) Penampilan
(2) Pembicaraan
Bicara juga dapat dipengaruhi, yaitu menjadi kurang koheren dan lebih sulit
dimengerti ketika delirium memburuk. Klien dapat mengulang-ulang satu topik
atau bahasan, berbicara melantur dan sulit untuk diikuti, atau mengalami
logorea yang cepat, terpaksa, dan biasanya lebih keras dari normal. Kadang-
kadang klien dapat berteriak atau menjerit, terutama pada malam hari (Burney-
Puckett, 1996).
f. Aktivitas motoric
Klien delirium sering mengalami gangguan perilaku psikomotor. Klien mungkin
gelisah dan hiperaktif, sering menarik-narik seprai atau berupaya bangun dari
tempat tidur secara mendadak dan tidak terkoordinasi. Sebaliknya, klien dapat
mengalami perilaku motorik yang lambat, tampak lesu dan letargi dengan sedikit
gerakan.
7) Alam perasaan dan afek
Klien delirium sering mengalami perubahan mood yang cepat dan tidak dapat
diperkirakan. rentang respons emosional yang luas mungkin terjadi, seperti ansietas,
takut, iritabilitas, marah, euforia, dan apati. Perubahan mood dan emosi ini biasanya
tidak terkait dengan lingkungan klien. Ketika klien merasa sangat takut dan merasa

12
terancam, klien mungkin melawan untuk melindungi dirinya dari bahaya yang
dirasakan.
8) Persepsi
Halusinasi yang paling sering terjadi adalah halusinasi penglihatan: klien melihat
benda-benda yang tidak ada stimulusnya dalam realitas, seperti malaikat atau
gambaran yang mengerikan melayang di atas tempat tidur. Ketika lebih mampu
berpikir jernih, beberapa klien dapat menyadari bahwa mereka mengalami
mispersepsi sensori. Akan tetapi klien lainnya benar-benar meyakini salah interpretasi
mereka sebagai hal yang benar dan tidak dapat diyakinkan hal yang sebaliknya.
9) Proses piker
Proses pikir sering mengalami disorganisasi dan tidak masuk akal. Pikiran juga dapat
terpecah (tidak berkaitan dan tidak lengkap). Klien juga dapat memperlihatkan
pikiran waham yang meyakini bahwa perubahan persepsi sensorinya adalah nyata.
10) Tingkat kesadaran
Tanda utama delirium dan sering kali tanda awal delirium adalah perubahan tingkat
kesadaran yang jarang stabil dan biasanya berfluktuasi sepanjang hari. Klien biasanya
terorientasi pada orang, tetapi sering kali terdisorientasi terhadap waktu dan tempat.
Klien menunjukkan penurunan kesadaran terhadap lingkungan atau situasi dan dapat
berfokus pada stimulus yang tidak berkaitan, seperti warna seprai atau ruangan. Klien
juga mudah terdistraksi oleh suara, orang, atau mispersepsi sensorinya.
11) Memori
Klien tidak dapat memfokuskan, mempertahankan atau mengubah perhatiannya
secara efektif, dan terdapat kerusakan memori yang baru dan yang sangat baru (DSM-
IV-TR,2000). Hal ini berarti bahwa perawat harus menanyakan atau memberikan
arahan secara berulang-ulang; meskipun kemudian klien mungkin tidak mempu
melakukan hal-hal yang diminta.
12) Kemampuan penilaian
Penilaian klien mengalami gangguan. Klien sering tidak dapat menyadari situasi yang
potensial membahayakan dan tidak dapat bertindak demi kepentingan terbaik mereka
sendiri. Misalnya, klien mungkin mencoba mencabut slang intravena atau keteter

13
urine secara berulang-ulang sehingga menyebabkan nyeri dan mengganggu terapi
yang penting.
13) Daya tilik diri
Daya tilik bergantung pada keparahan delirium. Klien yang mengalami delirium
ringan dapat mengenali bahwa ia bingung, sedang mendapatkan terapi, dan mungkin
akan sembuh. Akan tetapi, klien yang mengalami delirium berat dapat tidak memiliki
daya tilik dalam situasi ini.
14) Kebutuhan klien sehari-hari
a. Tidur
Klien sukar tidur karena cemas, gelisah, berbaring atau duduk dan gelisah .
Kadang-kadang terbangun tengah malam dan sukar tidur kembali. Tidurnya
mungkin terganggu sepanjang malam, sehingga tidak merasa segar di pagi hari.
b. Selera makan
Klien tidak mempunyai selera makan atau makannya hanya sedikit, karena putus
asa, merasa tidak berharga, aktivitas terbatas sehingga bisa terjadi penurunan berat
badan.
c. Eliminasi
Klien mungkin tergnaggu buang air kecilnya, kadang-kadang lebih sering dari
biasanya, karena sukar tidur dan stres. Kadang-kadang dapat terjadi konstipasi,
akibat terganggu pola makan.
d. Mekanisme koping
Apabila klien merasa tidak berhasil, kegagalan maka ia akan menetralisir,
mengingkari atau meniadakannya dengan mengembangkan berbagai pola koping
mekanisme. Ketidak mampuan mengatasi secara konstruktif merupakan faktor
penyebab primer terbentuknya pola tiungkah laku patologis. Koping mekanisme
yang digunakan seseorang dalam keadaan delerium adalah mengurangi kontak
mata, memakai kata-kata yang cepat dan keras (ngomel-ngomel) dan menutup diri.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan utama untuk klien yang mengalami delirium adalah:
1) Resiko tinggi mencederai diri,orang lain dan lingkungan berhubungan dengan
halusinasi

14
2) Perubahan persepsi sensori: halusinasi berhubungan dengan menarik diri
3) Kurangnya interaksi sosial (isolasi sosial) berhubungan dengan sistem pendukung
yang tidak adekuat dan harga diri yang rendah
4) Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan intoleransi aktifitas
5) Defisit nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan system
pendukung yang tidak adekuat
6) Proses berpikir yang terganggu terkait dengan pemikiran delusi
7) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kognitif
3. Intervensi Keperawatan
1). Perubahan persepsi sensori: halusinasi berhubungan dengan menarik diri
Intervensi :
a. Pertahankan agar lingkungan klien pada tingkat stimulus yang rendah (penyinaran
rendah, sedikit orang, dekorasi yang sederhana dan tingakat kebisingan yang
rendah)
b. Ciptakan lingkungan psikososial :
- Sikap perawat yang bersahabat, penuh perhatian, lembuh dan hangat.
- Bina hubungan saling percaya (menyapa klien dengan ramah, memanggil
nama klien, jujur , tepat janji, empati dan menghargai).
- Tunjukkan sikap perawat yang  bertanggung jawab
c. Observasi secara ketat perilaku klien (setiap 15 menit)
d. Lindungi klien dan keluarga dari bahaya halusinasi:
- Kaji halusinasi klien
- Lakukan tindakan pengawasan ketat, upayakan tidak melakukan pengikatan.
e. Tingkatkan peran serta keluarga pada tiap tahap perawatan dan jelaskan prinsip-
prinsip tindakan pada halusinasi.
2). Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan intoleransi aktifitas
Intervensi:
a. Dukung klien untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari sesuai dengan
tingkat kemampuan kien.
b. Dukung kemandirian klien, tetapi beri bantuan klien saat kurang mampu
melakukan beberapa kegiatan.

15
c. Berikan pengakuan dan penghargaan positif untuk kemampuan mandiri.
d. Perlihatkan secara konkrit, bagaimana melakukan kegiatan yang menurut
kien sulit untuk dilakukaknya.
e. Libatkan klien dalam membuat rencana atau keputusan sesuai
kemampuannya untuk berpartisipasi.
f. Bantu klien untuk menyusun kegiatan rutin harian, yang mencangkup
hygiene, aktivitas, dsb.
4. Evaluasi
Keberhasilan terapi penyebab yang mendasari delirium biasanya mengembalikan
klien ke tingkat fungsi sebelumnya .klien dan pemberi perawatan atau keluarga perlu
memahami praktik perawatan kesehatan yang penting untuk mencegah rekurensi
delirium. Hal ini dapat mencakup pemantauan kondisi kesehatan yang kronis,
penggunaan obat- obatan dengan cermat atau berhenti menggunakan alkohol dan obat
lain.
Hasil terapi untuk klien yang mengalami delirium dapat mencakup:
1. Klien akan bebas dari cedera.
2. Klien akan menunjukkan peningkatan orientasi  dan kontak
realitas.
3. Klien akan mempertahankan keseimbangan aktifitas dan
istirahat yang adekuat.
4. Klien akan mempertahankan keseimbangan cairan dan nutrisi
yang adekuat.
5. Klien akan kembali ke tingkat fungsi optimalnya (Aggraini,
2014 ).

16
BAB 3

KASUS DAN ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 KASUS

Mrs. R adalah wanita berusia 68 tahun, wanita berbahasa daerah. Dia dirawat di unit
onkologi untuk pengobatan kanker rahim stadium lanjut. Nyonya R tinggal sendirian di
rumahnya. Ia mampu menjaga aktivitas sehari-hari dan memiliki kehidupan sosial yang aktif.
Putri Nyonya R tinggal di dekatnya dan mengunjunginya sesekali sepanjang minggu, Empat
puluh delapan jam setelah masuk, perawat melaporkan bahwa Ny. R tidak tidur, gelisah,
tertekan, menangis sesekali, dan “gemetar”. Selama beberapa jam terakhir, dia sering buang air
besar. Selain itu, staf melaporkan bahwa dia berbicara dengan keras dalam bahasa daerah ketika
tidak ada orang di ruangan itu.

Satu-satunya intervensi yang tampaknya membantu Nyonya R adalah membawa pasien


berjalan dikoridor dengan kursi roda. Layanan penerjemahan dipanggil beberapa kali untuk
membantu menilai Ny. R. Setiap kali dia diwawancarai dengan bantuan layanan terjemahan, dia
ditemukan mengalami disorientasi dan bingung. Staf perawat mencoba beberapa strategi non-
farmakologis untuk membantu mengurangi kebingungannya dan tidak ada satupun yang
membantu. Perawat spesialis geriatri dipanggil untuk konsultasi. Penilaiannya mengungkapkan
data berikut: Suhu 98,6, denyut nadi 102, tekanan darah 112 / 68mm Hg. Suara paru-parunya
jernih secara bilateral, saturasi oksigen 96% pada udara kamar; Turgor kulit buruk, abdomen
lunak dan tidak nyeri tekan, bising usus hiperaktif di semua kuadran. Nyonya R berbicara dengan
lantang dalam bahasa daerah, gelisah, menangis dan bergoyang-goyang. Dengan bantuan
layanan penerjemahan, ditemukan bahwa Ibu R tidak koheren, tidak dapat menjawab pertanyaan
dan tidak dapat mengikuti instruksi sederhana. Pemeriksaan Kondisi Mental Mini (MMSE) tidak
dapat diperoleh. Metode Penilaian Kebingungan (CAM) diberikan dan Nyonya R positif CAM.
Mengigau dan perilaku Nyonya R yang berteriak, bingung dan gelisah sangat berbeda dari
perilakunya yang biasa. Perawat spesialis geriatrik mulai mencurigai nyeri sebagai kemungkinan
17
penyebab delirium. Sebelum timbulnya delirium, skala rasa sakitnya negatif. Perawat spesialis
geriatrik menilai Ny. R menggunakan skala nyeri observasi yang positif. Dia menghubungi putri
Nyonya R untuk mendapatkan riwayat dan tinjauan tentang obat yang dia minum di rumah.
Diketahui bahwa Ny. R telah menggunakan patch Fentanyl di rumah untuk pengobatan kanker
rahimnya. Setelah pemeriksaan fisik, patch Fentanyl tidak dapat ditemukan. Tinjauan grafik
mengungkapkan bahwa Ny. R tidak diresepkan patch Fentanyl selama dirawat di rumah sakit.
Nyonya R ditarik dari Fentanyl. Morfin IV dipesan bersama dengan patch Fentanyl transdermal
dan gejalanya teratasi.

Delirium Ny. R adalah akibat dari penarikan narkotika yang disebabkan oleh penghentian
obat pereda nyeri secara tidak sengaja, kesalahan dalam rekonsiliasi pengobatan selama rawat
inap. Nyeri pada orang dewasa yang lebih tua sering kali tidak diobati dan merupakan masalah
umum dan dapat menyebabkan delirium. Ada beberapa alat yang tersedia untuk mengukur nyeri
di antara orang dewasa yang lebih tua yang tidak dapat berkomunikasi.

Ada banyak hambatan dalam penanganan nyeri di antara lansia yang dirawat di rumah sakit,
terutama pada lansia yang memiliki gangguan kognitif atau tidak dapat berkomunikasi.
Hambatan bahasa juga berkontribusi pada kesalahan diagnosis atau penilaian nyeri yang tidak
memadai. Orang dewasa yang lebih tua dengan delirium atau demensia tidak dapat
mengungkapkan rasa sakit secara verbal dan tidak dapat dinilai rasa sakitnya menggunakan
instrumen standar.

18
3.2 Asuhan Keperawatan
FORMAT PENGKAJIAN
ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK

A. PENGKAJIAN

Hari/ Tgl :25-12-2020


Jam :
Nama Mhs : Kelompok
1. Identitas
a. Nama : Mrs. R
b. Tempat /tgl lahir :-
c. Jenis Kelamin :perempuan
d. Status Perkawinan :menikah
e. Agama :
f. Suku :

2. Riwayat Pekerjaan dan Status Ekonomi


a. Pekerjaan saat ini :
b. Pekerjaan sebelumnya :
c. Sumber pendapatan :
d. Kecukupan pendapatan :

3. Lingkungan tempat tinggal


Kebersihan dan kerapihan ruangan?, Penerangan?, Sirkulasi udara?, Keadaan kamar
mandi & WC?, Pembuangan air kotor?, Sumber air minum?, pembuangan sampah ?,
sumber pencemaran?, Privasi?, Risiko injuri?

4. Riwayat Kesehatan
a. Status Kesehatan saat ini

19
1) Keluhan utama dalam 1 tahun terakhir:
2) Gejala yang dirasakan :bingung, gelisah, berteriak

b. Faktor pencetus :

1) Timbulnya keluhan : (√ ) Mendadak ( ) Bertahap


2) Upaya mengatasi :
3) Pergi ke RS/Klinik pengobatan/dokter praktek/bidan/perawat ?
4) Mengkomsumsi obat-obatan sendiri ?, obat tradisional ?
5) Lain-lain…

c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu


1) Penyakit yang pernah diderita : kanker rahim stadium lanjut
2) Riwayat alergi ( obat, makanan, binatang, debu dll ) : tidak ada
3) Riwayat kecelakaan : tidak ada
4) Riwayat pernah dirawat di RS : pasien pernah di rawat di rs karena kanker Rahim
5) Riwayat pemakaian obat :patch Fentanyl di rumah untuk pengobatan kanker
rahimnya. Morfin IV dipesan bersama dengan patch Fentanyl transdermal

5. Pola Fungsional
a. Persepsi kesehatan dan pola manajemen kesehatan
Kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan ketergantungan terhadap obat pereda nyeri
untuk kanker stadium lanjut
b. Nutrisi metabolik
Frekuensi makan?, nafsu makan?, jenis makanan?, makanan yang tidak disukai?,
alergi terhadap makanan?, pantangan makanan?, keluhan yang berhubungan dengan
makan?
c. Eliminasi
BAK : Frekuensi & waktu?, kebiasaan BAK pada malam hari?, keluhan yang
berhubungan dengan BAK?
BAB : Frekuensi & waktu?, konsistensi?, keluhan yang berhubungan dengan BAB?,
pengalaman memakai pencahar?

20
d. Aktifitas Pola Latihan
Rutinitas mandi?, kebersihan sehari-hari?, aktifitas sehari- hari?,apakah ada masalah
dengan aktifitas?, kemampuan kemandirian?

e. Pola istirahat tidur


Lama tidur malam?, tidur siang?,keluhan yang berhubungan dengan tidur?
f. Pola Kognitif Persepsi
Kesulitan membuat keputusan ?
g. Persepsi diri-Pola konsep diri
Bagaimana klien memandang dirinya ( Persepsi diri sebagai lansia?), bagaimana
persepsi klien tentang orang lain mengenai dirinya?
h. Pola Peran-Hubungan
Peran ikatan?, kepuasan?, pekerjaan/ sosial / hubungan perkawinan?
i. Sexualitas
j. Koping-Pola Toleransi Stress
k. Nilai-Pola Keyakinan

6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : komposmentis
b. TTV :112 / 68mm Hg
c. BB/TB
d. Kepala
Rambut :
Mata :
Telinga :
Mulut, gigi dan bibir :
e. Dada :
f. Abdomen :
g. Kulit :
h. Ekstremitas Atas :
i. Ekstremitas bawah :

21
1) Pengkajian Khusus ( Format Terlampir )
a. Fungsi kognitif SPMSQ :
b. Status fungsional (Katz Indeks ) :
c. MMSE :
d. APGAR keluarga :
e. Skala Depresi :
f. Screening Fall :
g. Skala Norton :

B. ANALISA DATA

No Data Etiologi Masalah

1 Ds: Usia 68 tahun Nyeri akut


 pasien mengeluhkan
Penyakit yang diderita
gelisah
Degeneratif fungsi sel
Do:
tubuh
 nyeri
Nyeri
 Td: 112/68mmHg
 Pasien menangis
sesekali
 Gelisah

C. PRIORITAS MASALAH : nyeri akut berhubungan dengan delirium

D. INTERVENSI
No Diagnosa NOC NIC

1 Kontrol Nyeri Manajemen Nyeri Aktivitas


Nyeri akut Kriteria Hasil :
1. Lakukan pengkajian nyeri secara menyeluruh
berhubungan 1. Mengetahui faktor
meliputi lokasi, durasi, kualitas, keparahan

22
dengan delirium penyebab nyeri nyeri dan faktor pencetus nyeri.
2. Mengetahui permulaan
2. Observasi ketidaknyamanan nonverba
terjadinya nyeri
3. Menggunakan tindakan 3. ajarkan untuk teknik nonfarmakologi missal
pencegahan relaksasi, guide imajeri, terapi musik, distraksi
4. Melaporkan gejala
4. Kendalikan factor lingkungan yang dapat
5. Melaporkan kontrol
mempengaruhi respon pasien terhadap
nyeri
ketidaknyamanan misal suhu, lingkungan,
cahaya, kegaduhan

.5. Kolaborasi : pemberian Analgetik sesuai

23
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Sindrom delirium dapat didefinisikan sebagai kegagalan otak akut yang berhubungan
dengan disfungsi otonom, disfungsi motorik, dan kegagalan homeostasis kompleks dan
multifaktorial, sering tidak terdiagnosis dan ditangani dengan buruk. umumnya terjadi pada
individu berusia 65 tahun atau lebih. Gejala yang sering ditemukan pada pasien delirium yaitu
terjadinya gangguan pola tidur, mengalami perubahan proses pikir, alterasi afek, persepsi, dan
tingkat keaktifan. Klasifikasi delirium ada tiga subtipe yaitu hipoaktif (25%), hiperaktif (30%)
dan delirium campuran (45%). Pencegahan delirium yang efektif yaitu mengurangi penggunaan
obat-obatan seperti benzodiazepine atau antikolinergik. Strategi penanganan delirium secara
farmakologi lebih jarang dilakukan. Terapi farmakologi biasanya diberikan pada pasien
delirium yang sesuai indikasi atau diperlukan untuk mencegah pengobatan medis lanjutan
(pada delirium hiperaktif ).

24
DAFTAR PUSTAKA

Joaquim Cerejeira and Elizabeta B. Mukaetova- Ladinska. 2011. Review article : Aclinical
Update on Delirium: From Early Recognition to Effective Management

Kholifah, Siti Nur. (2016). Keperawatan Gerontik. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.

Luman, Andy. 2015. Sindrom Delirium. Vol. 42 No 10. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia.

Made Ayu Dwi Pradnyawati, Nyoman Ratep, Wayan Westa. Delirium Pada Pasien Rawat
Inap Dengan Skizofrenia: Sebuah Laporan Kasus Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, Denpasar, Bali.

Nugroho. (2006). Komunikasi dalam Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC.

Sarif La Ode. 2012. Asuhan Keperawatan Gerontik Berstandar Nanda, NIC, NOC, Dilengkapi
dengan Teori dan Contoh Kasus Askep. Jakarta: Nuha Medika.

Sarason, I.G & Sarason, B.R. (1993). Abnormal Psikology. The Problem Of Maladaptive
Behavior. New Jersey : Prentice Hall.

25

Anda mungkin juga menyukai