Anda di halaman 1dari 52

Proses Keperawatan pada Pasien dengan

Psikosa

Disusun Oleh :

1. Nida Amalia 220110130009


2. Nina Putri Asih 220110130026
3. Zihan Rahminabillah 220110130055
4. Upi Parida 220110130108
5. Annida Nur Shalihah 220110130118
6. Silmina Nur Firdaus 220110130146

Fakultas Keperawatan
Universitas Padjadjaran
2015
Daftar Isi

Daftar Isi ................................................................................................................................................. 1


BAB I ...................................................................................................................................................... 2
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................ 2
1.2 Tujuan ..................................................................................................................................... 3
BAB II..................................................................................................................................................... 4
2.1 Definisi Psikosa ...................................................................................................................... 4
2.2 Klasifikasi Psikosa .................................................................................................................. 4
2.2.1 Fungsional ....................................................................................................................... 4
2.2.2 Organik ......................................................................................................................... 13
2.2.3 Gangguan Psikotik Lain ................................................................................................ 39
2.3 Proses Keperawatan pada Pasien Psikosa ............................................................................. 43
2.6.1 Pengkajian Keperawatan ............................................................................................... 43
2.6.2 Diagnosa Keperawatan ................................................................................................. 45
8. Intervensi Keperawatan......................................................................................................... 45
BAB III ................................................................................................................................................. 50
3.1 Simpulan ............................................................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 50

1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut data World Health Organization (WHO), masalah gangguan kesehatan jiwa di
seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. Pada tahun 2001 WHO
menyatakan paling tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami gangguan kesehatan
jiwa. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan
kesehatan jiwa. Sementara itu, menurut Uton Muchtar Rafei, Direktur WHO wilayah Asia
Tenggara hampir 1/3 dari penduduk di wilayah ini penah mengalami gangguan
neuropsikiatri. Hal ini dapat dilihat dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
1995 saja di Indonesia diperkirakan sebanyak 264 dari 1.000 anggota rumah tangga
menderita gangguan kesehatan jiwa. Arul Anwar (Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat
Departemen kesehatan) mengatakan bahwa jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di
masyarakat sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa
rasa cemas depresi, stress,, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja sampai skizofrenia. Di
era globalisasi, gangguan kejiwaan meningkat sebagai contoh penderita tidak hanya dari
kalangan bawah sekarang kalangan pejabat dan masyarakat lapisan menengah ke atas juga
terkena gangguan jiwa (Yosep, 2009).
Prognosis untuk skizofrenia pada umumnya kurang begitu menggembirakan. Sekitar 25%
pasien dapat pulih dai episode awal dan fungsinya dapat kembali pada tingkat premorbid
sebelum munculnya gangguan tersebut. Sekitar 25% pasien tidak akan pernah pulih dan
perjalanan penyakitnya cenderung memburuk. Sekitar 50% berada diantaranya, ditandai ada
kekambuhan priodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali untuk waktu
yang singkat. Mortalitas pasien skizofrenia lebih tinggi secara signifikan daripada populasi
umum. Sering terjadi bunuh diri, gangguan fisik yang menyertai masalah penglihatan dan
gigi, tekanan darah tinggi diabetes, penyakit yang ditularkan secara seksual (Arif, 2006).
Undang Undang Kesehatan Jiwa No. 03 tahun 1966 ditetapkan oleh pemerintah Republik
Indonesia (RI), maka jalan lebih terbuka untuk mnghimpun semua potensi guna secara
bertahap melaksanakan modernisasi semua sistem rumah sakit serta fasilitas kesehatan jiwa
di Indonesia. Direktorat Kesehatan Jiwa mngadakan kerjasama dengan berbagai instansi
pemerintahan dan dengan bagian Ilmu Kedokteran Jiwa dari Fakultas Kedokteran pemerintah
maupun dengan badan Internasional (Maramis, 2004). Pemberian obat yang tidak tepat
dengan standar dan tujuan terapi, maka akan merugikan pasien. Penggunaan obat yang tidak

2
rasional seperti tidak tepat indikasi, dosis, obat dan pasien sering kali dijumpai dalam praktik
sehari hari, baik di PUSKESMAS, rumah sakit maupun swasta. Hal tersebut dapat menjadi
penyebab kegagalan terapi pengobatan skizofrenia (Anonim, 2000).
Oleh karena itu, penulis menulis makalah ini yang akan dibahas pada mata kuliah Sistem
Neuro 2. Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang sifatnya merusak, melibatkan gangguan
berfikir, persepsi, pembicaraan, emosional, dan gangguan perilaku. Gangguan psikotik adalah
gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidakmampuan individu menilai kenyataan yang
terjadi. Masalah skizofrenia dan gangguan psikotik ini bukan hanya terjadi di negara
Indonesia saja, melainkan di berbagai belahan dunia lain seperti belahan bumi Barat, Selatan
dan Utara. Baiklah untuk mengetahui lebih lanjut, marilah kita sama sama membaca,
memahami dan mengupas masalah tersebut pada makalah ini.

1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu menjelaskan perilaku abnormal yang
menyangkut skizofrenia dan ganggaun psikotik.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Psikosa


Psikosis adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (sense of reality).
Kelainan seperti ini dapat diketahui berdasarkan gangguan-gangguan pada perasaan,pikiran,
kemauan, motorik, dst. sedemikian berat sehingga perilaku penderita tidak sesuai lagi dengan
kenyataan. Perilaku penderita psikosis tidak dapat dimengerti oleh orang normal, sehingga
orang awam menyebut penderita sebagai orang gila (W.F. Maramis (2005 : 180).
Psychosis is a loss of contact with reality, usually including false ideas about what is
taking place or who one is (delusions) and seeing or hearing things that aren't there
(hallucinations). Psikosis, menurutMedline Plus adalah kelainan jiwa yang ditandai dengan
hilangnya kontakdengan realitas, biasanya mencakup ide-ide yang salah tentang apa yang
sebenarnya terjadi, delusi, atau melihat atau mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada
(halusinasi) (Medline Plus, 2000).
Psikosa adalah kelainan jiwa dengan gangguan yang terjadi pada semua aspek
kepribadiannya, sehingga menyebabkan penderita tidak dapat lagi berhubungan dengan
realitas, penderita hidup didunianya sendiri, delusi dan perilaku yang tidak dapat dimengerti
oleh orang normal.
2.2 Klasifikasi Psikosa
2.2.1 Fungsional
1. Psikotik Mania Depresif
a. Definisi
Psikosa mania depresif merupakan kekalutan mental yang serius
berbentuk gangguan emosional yang ekstrim, yaitu terus menerus bergerak
antara gembira ria tertawa-tawa (elation) sampai dengan rasa depresif sedih
putus asa. Penderitanya selalu dihinggapi ketegangan-ketegangan afektif dan
agresi yang terhambat-hambat. Impuls-impulsnya kuat, tetapi pendek-pendek,
dan tidak bisa dikontrol atau dikendalikan. Misalnya pikiran kacau dan
ingatannya jadi semakin mundur. Pasien menjadi sangat egosentris, dan
tingkah lakunya jadi kekanak-kanakan. Ia merasa selalu gelisah, dan tidak
pernah merasa puas.
b. Etiologi

4
a. Sebab organic
1) Gangguan glanduler pada kelenjar-kelenjar thyroid, gonadal, dan
parathyroid.
2) Infeksi-infeksi, trauma atau luka-luka, dan keracunan.
3) Tipe-tipe jasmani yang piknis mempunyai kecenderungan mendapat
gangguan penyakit ini.
b. Sebab herediter
1) Tipe-tipe kepribadian extrovert juga mempunyai korelasi dengan
gangguan mania depresif.
2) Tidak ada control emosi. Tidak ada integrasi antara rasa-rasa penurut
tunduk patuh dengan tendens-tendens harga diri yang ekstrim.
c. Klasifikasi
a. Tingkat hipomania
Kegelisahan yang berlebih-lebihan. Pasien menjadi aktif sekali, tidak
mengenal jemu. Bicaranya cepat, gembira dan penuh gairah. Dia menjadi
sangat irritable, tidak toleran, dan tidak sabaran. Orang dengan hipomania
tidak perlu dimasukan ke rumah sakit.
b. Tingkat mania akut
Pikiran dan ide-idenya begitu cepat bergerak atau berganti-ganti,
sehingga bicaranya tidak jelas dan ketinggalan (ketinggalan dari
pikirannya). Hilang kemampuan berorientasi, dan kesadarannya jadi
kabur. Ia sering mengalami euphoria. Pasien harus di rawat di rumah
sakit.
c. Tingkat mania hiperakut
Emosinya sangat meluap-luap dan dalam luapan perasaan yang hebat
ini ia sama sekali kehilangan kontak dengan kenyataan. Ia berbahaya bagi
dirinya sendiri maupun orang lain, karena ia memiliki dorongan untuk
melakukan kekerasan, suka berkelahi, dan bersifat destruktif.
Gejala depresif timbul pada psikosa ini. Kraeplin (1899) membagi depresi
menjadi 3 sesuai dengan gejalanya yaitu:
a. Depresi ringan (retradasi biasa). Pasien merasa murung dan putus asa,
tidak bisa berkonsentrasi, patah semangat, pesimistik terhadap masa
depan, lelah dan lesu, merasa tidak dapat melakukan kegiatan yang biasa,
ingatan belum banyak terganggu.

5
b. Depresi akut (acute melancholia). Pasien mengasingkan diri secara total,
dan aktivitas hilang, ia sulit sekali bicara, baru menjawab pertanyaan
sesudah menunggu dalam jangka waktu yang lama atau tidak menjawab
sama sekali. Keinginan mati begitu kuat.
c. Depresi stupor. Pasien benar-benar membeku, diam seperti patung,
menolak untuk berbicara dan bergerak. Menolak untuk dipenuhi
kebutuhan fisiologisnya, kesadaran kabur karena dihiasi oleh delusi tidak
karuan.
d. Manifestasi Klinis
a. Symptom pada saat manis (gembira, excited)
1) Penderita jadi sangat aktif, amat ribut dan lari kesana kemari.
Gerakannya banyak sekali. Biasanya pasien amat gelisah.
2) Penderita sangat tidak sabaran dan tidak toleran. Menjadi irritable dan
gelisah.
3) Kesadarannya kabur, idenya campur aduk dan khaotis. Ia tidak lagi
mengenal larangan dan pantangan-pantangan.
4) Ada disorientasi total terhadap ruang, tempat, dan waktu.
5) Emosinya pendek-pendek dan meledak-ledak. Dalam keadaan excited
ini pasien sering melakukan kekerasan, membanting-banting dan
merusak segala sesuatu yang dapat dijangkaunya. Dia menjadi rebut
dan lari kegila-gilaan.
6) Penderita selalu merasa dikejar-kejar oleh ilusi-ilusi serta halusinasi
visual dan aural.
7) Pada stadium berat, di saat pasien mengalami excited, dia bisa
melakukan serangan-serangan, kekerasan dan usaha-usaha untuk
membunuh orang lain atau bunuh diri.
b. Symptom pada saat depresif:
1) Penderita menjadi melankolis, depresif, sangat sedih, banyak
menangis, dihinggapi ketakutan dan kegelisahan.
2) Perasaannya tidak pernah merasa puas. Merasa tidak berguna dan
disia-siakan dalam hidupnya. Ia merasa sebatang kara di dunia,
menjadi pasif, acuh tak acuh, dan apatis.
3) Dihinggapi halusinasi-halusinasi dan delusi yang menakutkan atau
yang menimbulkan kepedihan hati.

6
4) Merasa jemu hidup dan berputus asa. Ia ingin mati dan melakukan
usaha-usaha untuk bunuh diri.
5) Kesadarannya jadi kabur. Biasanya disertai retradasi motoric, dan
retradasi mental yang semakin memburuk.
Pasien penderita psikosa mania depresif sangat perlu mendapatkan
beberapa penatalaksanaan medis. Penatalaksanaan tersebut yaitu
mengontrol pasien dengan menggunakan obat-obat penenang berdosis
tinggi dan mengurung mereka di dalam ruangan tertutup, pemberian
litium (litium mungkin mengurangi gejala dengan menstabilkan
proses yang berfungsi untuk melepaskan neurotransmitter dan
mengurangi kepekaan neuron), obat trisiklik untuk depresi, dan obat
antikosulvan untuk mengurangi simtom mania akut.
2. Skizofrenia
a. Definisi
Skizofrenia (schizophrenia) adalah gangguan yang terjadi pada fungsi
otak. Melinda Herman (2008), mendefinisikan skizofrenia sebagai penyakit
neurologis yang mempengaruhi persepsi pasien, cara berfikir,bahasa, emosi,
dan perilaku sosialnya (Neurogical disease that affects a persons perception,
thinking, language, emotion, and social behavior) (Yosep, 2009).
b. Epidemiologi
Lebih dari 90% pasien dengan skizofrenia mengalami halusinasi.
Halusinasi adalah persepsi yang salah atau palsu tetapi tidak ada rangsangan
yang menimbulkannya (tidak ada objeknya). Halusinasi muncul sebagai suatu
proses panjang yang berkaitan dengan kepribadian seseorang. Karena itu,
halusinasi dipengaruhi oleh pengalaman psikologis seseorang (Baihaqi, 2007).
Menurut WHO, satu dari empat orang akan mengalami gangguan mental atau
neurologis pada suatu saat dalam kehidupannya. Hal ini mengartikan bahwa
hamper setiap orang beresiko akan mengalami gangguan jiwa.
c. Etiologi
a. Faktor genetik Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang
skizofrenia akan mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa
faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada
penyakit ini (Yosep, 2009).

7
b. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang
disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-
neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa
skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan
di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal
terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine
yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter
lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan
peranan (Durand, 2007).
c. Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin
lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan
orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga
(Wiraminaradja & Sutardjo, 2005).
d. Manifestasi klinis
Indikator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain:
1. ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang
tersenyum, acuh tak acuh.
2. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah,
kadang menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial).
3. Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan,
atau memindahkan atensi.
4. Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial,
tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu
dan tak disiplin
Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas :
1. Gejala-gejala Positif
Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala-
gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat
diamati oleh orang lain.
2. Gejala-gejala Negatif
Gejala-gejala yang dimaksud disebut negatif karena merupakan
kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal seseorang. Termasuk kurang

8
atau tidak mampu menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan
perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati
kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara (alogia).
e. Klasifikasi
Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia, pasien harus memenuhi kriteria:
1. Berlangsung paling sedikit 6 bulan
2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna: dibidang pekerjaan, hubungan
interpresonal dan fungsi mendukung-diri sendiri.
3. Pernah menggalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama sebagian
dari periode tersebut.
4. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skinzoafektif, gangguan
mood mayor, autisme atau gangguan organik.
Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM) yaitu: DSM-III (American Psychiatric Assosiation,
1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (American Psychiatric Assosiation,1994)
dan DSM-IV-TR (American Psychiatric Assosiation,2000). Berikut ini adalah
tipe skizofrenia dari DSM-IV-TR 2000. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
gejala yang dominan yaitu (Davison, 2006) :
1. Tipe paranoid
Tipe ini paling sering dan stabil, biasanya terjadi lebih lambat
dibandingkan dengan tipe yang lain. Pasein harus menunjukkan adanya
waham yang konsisten, Waham biasanya adalah waham kejar atau waham
kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham
kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul. Ciri-ciri
lainnya meliputi ansietas,kemarahan, menjaga jarak dan suka
berargumentasi, dan agresif.
2. Tipe diorganisasi
Pada pasein ditemukan : pembicaraan kacau, tingkah laku kacau dan
afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan disertai kekonyolan dan
tertawa tidak sesuai dengan isi pembicaraan dan bertingkahlaku yang serius
menggangugu aktifitas sehari-hari.
3. Tipe katatonik
Ciri utama terdapat gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi
ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang

9
berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan
berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali,
mengulang ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku
orang lain (echopraxia).
4. Tipe yang tidak terdiferensiansi
Pasien mengalami halusinasi yang menonjol, waham dan gejala-gejala
psikosis aktif yang menonjol (mis: kebingunga, inkoheren),indikasi yang
sangat ruwet,emosi yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya
delusi, referensi yang berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang
sangat besar, autisme seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada
fase yang menunjukkan ketakutan.
5. Tipe residual
Pasien dalam keadaan remisi dari psikosis akut tetapi masih
memperhatikan gejala-gejala residual (mis: penarikan diri secara sosial,
pikiran-pikiran ganjil, inaktifitas dan afek datar (tidak serasi)) Tidak adanya
waham, halusinasi, bicara terorganisasi dan perilaku katatonik seperti
keyakinan-keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak
wajar yang tidak sepenuhnya delusional.
f. Penatalaksanaan
1. Terapi somatik
Obat antipsikotik yang sering di pakai antipsikotik atipikal.rumatan
dengan dosis rendah di berikan setelah kekambuhan pertama. Ketidakpatuhan
lazim terjadi. Antipsikotik tradisional terutama berguna untuk mengendalikan
gejala-gejala positif, sedangkan antipsikotik atipikal baru, sangat membantu
pasien dengan gejala negatif. Waspadai penggunaan dosis yang berlebih dalam
jangka lama karena secara kronis dapat mengganggu fungsi pasien.
Penambahan litium atau benzodiazepin(mis: diazepan 15-30 mg perhari /
klonazepan 5-15 mg perhari) pada subgrup skinzofrenia (terutama pada pasien
cemas) dapat sangat membantu.
2. Terapi kejang listrik (ECT, eletroconvulsive therapy) dapat juga
bermanfaat untuk mengontrol dengan cepat beberapa psikosis akut.
Sangant sedikit pasien skinzofrenia yang tidak merespin obat-obtan, dapat
membaik dengan ECT tidak dapat diramalkan.
3. Terapi psikososial

10
Terapi psikososial cenderung kearah hubungan interpersonal dan
intrapersonal pasien skizofrenia. Terapi ini terdapat 3 jenis yaitu terapi
perilaku, terapi keluarga, dan terapi kelompok.
a. Terapi perilaku
Terapi perilaku menggunakan pendekatan latihan keterampilan sosial
untuk meningkatkan kemampuan social, memenuhi diri sendiri, dan
komunikasi interpersonal. Selain itu, ada pula latihan keterampilan
perilaku. Latihan ini bisa dilakukan dengan cara menampilkan video,
permainan simulasi (role playing), dan memberikan kesempatan kepada
pasien untuk melakukan pekerjaan rumah tentang keterampilan yang telah
dilakukan. Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi bahkan
menghilangkan respon tidak lazim jika pasien bersosialisasi dengan orang
lain seperti kontak mata yang buruk, ekspresi wajah yang aneh, tidak
adanya respon peka terhadap social, atau tidak persepsi emosi terhadap
orang lain.
b. Terapi keluarga
Terapi ini dilakukan di rumah ketika pasien telah diberikan izin keluar
dari rumah sakit. Keluarga akan diberikan informasi mengenai keadaan
pasien, diberitahu juga bagaimana mengekspresikan perasaan yang positif
atau negative, dan bagaimana cara menyelesaikan masalah bersama-sama
dalam satu keluarga.Keterlibatan keluarga dalam proses penyembuhan
pasien skizofrenia sangat penting. Setidaknya keluarga dapat mencegah
kambuhnya gejala-gejala pada pasien skizofrenia. Selain itu, jika keluarga
terlibat maka pasien pun akan merasa mendapatkan dukungan secara
psikologis dari keluarga.
c. Terapi kelompok
Terapi kelompok untuk pasien skizofrenia biasanya memusatkan pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Terapi kelompok
terbukti efektif untuk menurunkan isolasi social, meningkatkan rasa
kebersamaan, dan meningkatkan kesadaran akan kenyataan (tidak terjadi
halusinasi lagi).Cara terapi ini yaitu beberapa orang akan berkumpul dan
saling berkomunikasi. Terapis (perawat) berperan sebagai fasilitator dan
pemberi arah komunikasi berlangsung. Sedangkan peserta yang lain
memberikan tanggapannya tentang pikiran dan perasaannya

11
3. Waham
a. Definisi
Klien yang waham berpikir bahwa ia memiliki banyak kekuatan dan bakat
serta tidak merasa tidak terganggu jiwanya atau ia merasa sangat kuat dan
sangat terkenal. (Varcarolis dalam Fundamental of Psychiatric Mental Health
Nursing [2006:397])
Waham adalah keyakinan yang salah yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realita
normal. (Stuart dan Sundeen,1998)
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan tetapi
dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain, keyakinan
berasal dari pemikiran klien dimana sudah kehilangan kontrol. (Dep Kes RI,
1994)
b. Proses Terjadinya Waham
a. Fase lack of human need
Waham ini terjadi karena sangat pentingnya pengakuan bahwa ia eksis
di dunia ini. Dapat dipengaruhi juga oleh rendahnya penghargaan saat
tumbuh kembang (life span history)
b. Fase lack of self esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan
antara self ideal dengan self reality (kenyataan) serta dorongan kebutuhan
yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui
kemampuannya.
c. Fase control internal external
Klien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia katakan adalah
kebohongan dan tidak sesuai dengan kenyataan. Lingkungan sekitar klien
memberikan koreksi, tetapi tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya
toleransi dan keinginan menjaga perasaan.
d. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung lama kelamaan klien menganggap
sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya
diulang-ulang.
e. Fase comforting

12
Klien merasa nyaman dengan kebohongannya dan menganggap bahwa
semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya.
f. Fase improving
Apabila tidak ada upaya koreksi, setiap waktu keyakinan yang salah
pada klien akan meningkat.
c. Manifestasi Klinis
1. Waham kebesaran
Meyakini bahwa ia memiliki kebesaran/ kekuasaan khusus, diucapkan
berulangkali tapi tidak sesuai dengan kenyataan.
2. Waham curiga
Meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/ mencederai dirinya, diucapkan berulangkali tapi tidak sesuai
dengan kenyataan.
3. Waham agama
Memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan,
diucapkan berulangkali tapi tidak sesuai dengan kenyataan.
4. Waham somatik
Meyakini bahwa bagian tubuhnya terganggu, diucapkan berulangkali
tapi tidak sesuai dengan kenyataan.
5. Waham nihilistik
Meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/ meninggal,
diucapkan berulangkali tapi tidak sesuai dengan kenyataan.
2.2.2 Organik
1. Psikosa Akibat Zat dan Alkohol
Penyalahgunaan Zat
a. Definisi
Intoksikasi zat adalah sindrom spesifik-zat yang terjadi akibat ingesti atau
pajanan baru-baru ini terhadap zat (APA.2000). Perubahan kognitif dan
prilaku yang terjadi berkaitan dengan efek zat pada SSP dan sangat beragam,
Bergantung pada individu dan jenis zat.respon umum mencakup suka
berkelahi, alam perasaan labil, hambatan membuat keputusan, dan gangguan
koordinasi motorik.
DSM-IV-TR membedakan antara dua gangguan penggunaan zat:
penyalahgunaan zat dan kecanduan zat.

13
1. Penyalahgunaan zat adalah pola maladaptif penggunaan zat yang
dimanifestaikan dengan efek samping yang signifikan dan berulang terkait
penggunaan zat (APA.2000).
2. Kecanduan zat ditegakkan berdasarkan bukti toleransi, putus zat, atau pola
pelaku konvulsif yang berkaitan dengan zat tersebut. kecanduan zat baru
dapat ditegakkan jika terdapat tiga tanda berikut:
1. toleransi
2. putus zat
penggunaan zat yang berlebihan dari yang direncanakan.
b. Epidemiologi
Di amerika serikat saja, lebih dari 100.000 individu per tahun menjalani
rawat inap akibat alkohol dan obat lain yang menggannggu kejiwaan. Pada
beberapa tahun terakhir, komunitas medis semakin peduli terhadap
penyalahgunaan zat pada wanita dan lansia. Individu yang berusia antara 18
dan 24 tahun menggunakan berbagai zat dalam jumlah sangat banyak, tetapi
juga terdapat kekhawatiran tentang pengggunaan zat pada remaja.
c. Etiologi
Etiologi masalah ini merupakan kombinasi faktor neurobiologis, genetik,
sosial dan psikologis (Allen. 1996).
d. Fisiologi
Semua obat psikoaktif yang disalahgunakan langsung memengaruhi otak
dan SPP, mengubah neurotransmiter yang penting untuk komunikasi
intraseluler. Aksi ini mengakibatkan perubahan perasaan, pikiran dan perilaku.
perubahan khusus bergantung pada jenis zat, rute pemberian, jumlah dosis,
adaya obat lain, dan kesehataan umum individu.
e. Zat yang disalahgunakan
Depresan SSP
Contoh depresan SSP meliputi alkohol, benamdiazepin, tranquilizer
minor, barbiturat, klocahidrat, meprobamat, dan metakualon. Depresan
mempengaruhi batang otak dan pusat pernafasan. Mekanisme bervariasi,
tetapi cenderung berkaitan dengan perubahan konsentrasi salah satu atau
kombinasi neurotransmiter. Efek depresan SSP meliputi reaksi otot,
sedasi, dan penurunan ansietas. Intoksikasi akibat depresan SPP ditandai

14
dengan pelo, ataksia, hambatan membuat keputusan, agitasi, dan depresi.
Intoksikasi baru dapat mengakibatkan paranoia, kejangm stupur, koma,
apnea, dan bahkan kematian.
Gejala Putus Zat
Awitan putus zat akibat depresan SSP terjadi dalam beberapa jam
atau beberapa hari setelah menghentikan atau mengurangi penggunaan
obat. Putus zat dapat terjadi selama penggunaan jangka lama jika toleransi
individu yang semakin tinggi menurunkan efek obat.
Detoksifikasi
Putus alkohol biasanya diobati dengan mengurai dosis
klordiazepoksida (Libirum) secara progresif pada interval 4jam selama 5
hari. Dosis tambahan perlu diberikan berdasarkan adanya gejala putus zat,
dan diberikan jika perlu. putus depresan SPP biasanya diatasi dengan
benzodiazepin atau barbiturat. Obat kerja lama, seperti diazepam
(Valiyum) dan klordiazepoksida memberi detoksifikasi yang lebih ringan,
tetapi beberapa praktisi lebih memilih obat kerja singkat untuk mencegah
efek kumulatif.
Stimulan SSP
Obat ini menstimulasi SSP dengan meningkatkan kerja
neurotransmiter dopamin dan norepinefrin efek stimulan SSP, antara lain:
kewaspadaan, euforia, penurunan selera makan dan peningkatan respon
seksual. Intoksikasi stimulan SSP ditandai dengan ansietas, konfusi,
paranoia, iritabilitas, waham kebesaran, rinitis, insomnia, halusinasi
peraba, peningkatan tanda-tanda vital, nyeri dada, aritmia jantung, pupil
dilatasi, dan gawat napas. Kejang dapat terjadi akibat intoksikasi kokan.
Gejala putus zat
Depresi, agitasi, gagasan bunuh diri, keletihan, insomnia, mimpi buruk,
tidur lama, lapar, dan keinginan kuat untuk menggunakan zat, merupakan
gejala putus stimulan SSP.
Detoksifikasi
Detoksifikasi mencakup menstabilkan tanda-tanda vital dan mengelola
prilaku mereka. Detoksifikasi dilakukan dengan kombinasi terapi suportif
dan obat dengan klordiazepoksida (Librium) atau haloperidol (Haldol),
dan diazpam (Valium) dapat digunakan untuk mengendalikan kejang.

15
Opiat
Contoh opiat meliputi heroin, morgfin, kodein, opium, meperidin
(Demerol), dan metadon. Obat ini menstimulasi reseptor opiat di otak,
yang menyerupai kerja endorfin alami. Opiat memproduksi kesenangan
intens yang dianggap sebagai "Rush". efek lain opiat meliputi analgesia
dan penurunan motilitas gastrointestial. Intoksikasi opiat ditandai dengan
depresi pernapsan, pelo, pupil konstriksi, hipotensi ortostatik, mual,dan
muntah.
Gejala putus zat
Gejala putus zat opiat meliputi mengigil, berkeringat, peningkatan nadi
dan tekanan darah, nyeri otot, kram abdomen, keinginan kuat untuk
menggunakan obat, rinorea, menguap, mengantuk, dan koma.
Detoksifikasi
Metadon diberikan per oral dengan dosis yang diturunkan untuk
mendtoksifikasi klien. Jika detoksifikasi telah selesai, fenobarbital
diturunkan hingga akhirnya dihentikan. Klonidin (Catapres), obat
alternatif, mengatasi gejalas putus opiat, dan jika dikombinasikan dengan
naltrekson (Antagonis opioid) dapat mempersingkat periode putus zat
komplet.
Halusinogen
Contoh halusiogen meliputi asam dietilamid lisergat (lysergic acid
diethylamide,LSD), meskalin, psilosibin, ketamin, dan "obat yang dibuat"
menyerupai amfetamin sintetik, ekstasi. Halusinogen memiliki efek
simpatomimetik, tetapi mekanisme kerjanya yang pasti tidak diketahui.
Intoksikasi halusinogen ditandai dengan takikardia, hipertensi, dan pupil
dilatasi.
Gejala putus zat
Penggunaan halusiogen tidak menyebabkan ketergantuna fisik; dengan
demikian, tidak terdapat meliputi respons panik atau reaksi yang
mengakibatkan distres, delirium yang dimanifestasikan dengan halusinasi,
paranoia, dan agitasi. Gejala ini biasanya terakhir dalam 24 jam, tetapi
gejala psikotik terkadang menetap dan membutuhkan tetapi pengobatan
psikotopika.

16
Kanabinoid
Kanabinoid adalah mariyuana dan hashish. Obat ini menekan pusat
luhur otak. Kanabinoid menghasilkan efek euphoria dan mengubah
persepsi, dan intoksikasi ditandai dengan ansietas, kecurigaan, hambatan
membuat keputusan, halusinasi, takikardi, dan konjungtiva iritasi dan
merah (blloodshot eye). Kanabinoid meningkatkan efek depresan SSP,
termasuk alkohol.
Gejala Putus Zat
Gejala putus zat meliputi gelisah,iritabilitas, insomnia, berkeringat,
mual dan muntah.
Detoksifikasi
Terapi tidak diindentifikasikan untuk terapi dari kanabinoid.
Fensiklidin
Menimbulkan efek simpatik dan antikolinegrik perifer serta efek
pisikonimetik , antikolinegrik dan adregenik pusat.
Gejala Putus Zat
Tidak ada gejala putus zat berkaitan dengan fensiklidin tetapi klien
dapat mengalami latargi,depresi dan leinginan kuat untuk menggunakan
zat.
Detoksifikasi
Tidak perlu dilakukan deteksifikasi.
Inhalan
Inhalan menyebabkan kerusakan difus pada fungsi otak. Jenis inhalan
meliputi lem, cat, pelarut cat, semprotan aersol, cairan pembersih, gasolin,
cairan pengoreksi mesin ketik, dinitrogen oksida dan amil nitrit.
Gejala Putus Zat
Penggunaan inhalan mengakibatkan bentuk ketergantungan
pdikologos, tetapi gejala putus zat secara fisik belum didokumentasikan
Detoksifikasi
Detoksifikasi tidak indikasikan untuk inhalan.
Nikotin
Nikotin mendesak efek agonis pada reseptor nikotinNikotin di sistem
saraf pusat dan perifer untuk menginisiasi kerja obat.

17
Gejala Putus Zat
Gejala timbul dalam 24 jam penurunan atau penghentian penggunaan
nikotin. Gejala meliputi iritabilitas, keinginan kuat untuk mengkonsumsi
nikotin, penurunan frekuensi jantung, tremor, sakit kepala, sulit
konsentrasi, dan insomnia.
Detoksifikasi
Koyo atau permen karet nikotin efektif dalam meredakan gejala putus
zat dan penggunaannya dikurangi secara bertahap, hingga akhirnya
dihentikan
Penyalahgunaan dan Ketergantungan Alkohol
a. Definisi
Penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol adalah gangguan
berhubungan dengan zat yang paling sering. Biaya langsung dan tidak
langsung bagi masyarakat di Amerika Serikat untuk gangguan berhubungan
dengan alkohol (alcohol-relatied disorders).
Penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol sering kali disebut sebagai
alkoholisme; tetapi karena "alkoholisme" tidak mempunyai definisi yang
persis, istilah ini tidak digunakan dalam diagnositic and Statistical Manual of
Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV) atau pada sebagaian besar sistem
diagnostik lain yang dikenal secara resmi.
b. Epidemiologi
Kira-kira 85 persen dari semua penduduk Amerika Serikat pernah
menggunakan minuman yang mengandung alkohol sekurangnya satu kali
selama hidupnya, dan kira-kira 51 persen dari semua orang dewasa di
Amerika Serikat merupakan pengguna alkohol saat ini. Alkohol merupakan
masalah kesehatan nomor tiga terbesar di Amerika Serikat sekarang ini, bir
berjumlah untuk kira-kira setengah dari semua konsumsi alkohol, minuman
keras (liqur) untuk kira-kira sepertiga, dan anggur (wine) untuk kira-kira
seperenam. kira-kira 35 sampai 45 per sen dari semua orang dewasa di
Amerika Serikat sekurangnya pernah mengalami satu periode masalah
berhubungan dengan alkohol yang sementara, biasanya berupa satu episode
amnestik akibat alkohol (sebagai contoh, tidak sadar), mengendarai kendaraan
bermotor saat terintoksikasi, atau bolos bekerja atau belajar karena minum
yang berlebihan.

18
kira-kira 90 persen orang dewasa muda yang berusia 18 sampai 25
tahun, 92 persen orang dewasa yang berusia 26 sampai 34 tahun, 92 persen
orang dewasa yang berusia 26 sampai 34 tahun, dan 87 persen orang dewasa
yang berusia 35 tahun atau lebih pernah menggunakan alkohol selama
hidupnya, dibandingkan dengan kira-kira 46 persen kaum muda yang berusia
12 sampai 17 tahun. kira-kira 64 persen orang dewasa muda dan 62 persen
yang berusia 26 sampai 34 tahun pernah menggunakan alkohol dalam bulan
terakhir.
Angka penggunaan alkohol adalah lebih stabil dibandingkan angka
untuk zat lain, walaupun persentasi remaja yang melaporkan bahwa mereka
pernah menggunakan alkohol adalah menurun secara dramatis dari tahun
1979 ke tahun 1991. Antara tahun 1990 dan 1991 terjadi sedikit peningkatan
pada presentasi orang dewasa berusia 18 sampai 25 tahun dan mereka yang
berusia 26 tahun atau lebih yang melaporkan penggunaan alkohol selama
hiupnya, tahun terakhirnya, dan bulan terakhirnya. Tetapi, tidak satupun dari
perubahan ini bermakna secara statistik.
c. Faktor Resiko
1. Jenis Kelamin. Laki-laki secara signifikan lebih mungkin dibandingkan
wanita untuk menggunakan alkohol dalam bulan terakhir, kira-kira 48
persen dibandingkan dengan 44 persen.
2. Ras dan Etnisitas. Kulit putih secara bermakna lebih mungkin
dibandingkan kulit hitam dan hispanik untuk menggunakan alkohol dalam
bulan terakhir, dan Hispanik lebih mungkin dibandingkan kulit hitam
untuk menggunakan alkohol dalam periode waktu tersebut.
3. Kepadataan Populasi. Penduduk daerah metropolitan besar dan
metropolitan kecil secara bermakna lebih mungkin dibandingkan
penduduk daerah nonmetropolitan untuk pernah menggunakan alkohol
selama periode waktu tersebut.
4. Daerah. Penduduk daerah Timur Laut, Utara Tengah, dan Barat secara
bermakna lebih mungkin daripada penduduk daerah Selatan untuk pernah
menggunakan alkohol dalam bulan terakhir.
5. Usia dan Jenis Kelamin. Kelompok usia dengan persentasi penggunaan
alkohol yang tertinggi, yang juga merupakan kelompok usia yang
mengkonsumsi alkohol paling banyak, adalah kelompok dalam usia antara

19
20 sampai 35 tahun. Tetapi, fakta tersebut mempunyai risiko menutupi
fakta bahwa kira-kira 50 persen remaja yang berusia 12 sampai 17 tahun
perah mencoba minuman yag menggunakan alkohol sekurangnya satu
kali, dan kira-kira 25 persen dari kelompok usia tersebut menyebutkan
dirinya masih menggunakan alkohol (current user).
Lebih banyak laki-laki daripada wanita yang menggunakan alkohol,
dan rasio diagnosis gangguan berhubungan dengan alkohol pada laki-laki
dan wanita adalah 2 banding 1 atau 3 berbading 1. Perjalanan
penyalahgunaan alkohol juga berbeda antara kedua jenis kelamin. Dan
jarang bagi gejala gangguan berhubungan dengan alkohol untuk timbul
pada seorang laki-laki setelah usia 45 tahun, dan timbulnya gejala tersebut
harus mengarahkan dokter untuk segera memerika pasien untuk adanya
gangguan mood atau gangguan psikiatrik skunder. Berbeda dengan
perjalana gangguan berhubungan dengan alkohol yang dapat diperkirakan
pada laki-laki, perjalanan gangguan pada wanita adalah bervariasi.
6. Ras dan Tempat. Walaupu angka gangguan berhubungan dengan alkohol
secara tradisonal adalah paling tingi pada laki-laki muda kulit putih.
Bukti-bukti sekarang menunjukan bahwa laki-laki muda kulit hitam dan
laki-laki muda Hispanik mungkin telah melawati angka gangguan
berhubungan dengan alkohol pada laki-laki muda kulit putih. laki-laki dan
wanita asli Amerika dan Eskimo juga mempunyai prevalensi gangguan
berhubungan dengan alkohol yang tinggi.
Konsumsi alkohol sangat bervariasi pada daerah geografis. Minum
alkohol lebih sering di dareah perkotaan dibandikan daerah pedesaan.
Konsumsi alkohol paling tinggi di daerah Timur Laut Amerika Serikat
dan paling rendah di daerah Selatan. Angka harapan untuk gangguan
berhubungan dengan alkohol kira-kira sama di Amerika Serikat dan
Jerman, Swedia, Denmark, dan Inggris. Angka harapan lebih tinggi di
Protugis, Spanyol, Italia, Prancis, dan bekas Uni Soviet dibaningkan
Amerika Serikat.
7. Faktor Psikososial. Ganggungan berhubungan dengan alkohol ditemukan
pada orang dari semua kelas sosioekonomi. Pada kenyataannya, orang
alkoholik di perkampungan miskin adalah kurang dari 5 persen dari orang
dengan ganggung berhubungan dengan alkohol di Amerika Serikat. Selain

20
itu, gangguan berhubungan dengnan alkohol khususnya tinggi pada orang
yang telah mencapai derajat yag tinggi da berada dalam kelas
sosioekonimi yang tinggi.
8. Komorbiditas (Diagosis Ganda) dengan Gangguan Mental Lain
Komorbiditas biasanya berarti adanya diagnosis psikiatrik tambahan pada
seseorang yang mempunyai suatu diagnosis gangguan berhubungan
dengan alkohol. Diagnosis psikiatrik yang paling sering berhubungan
dengan gangguan berhubungan dengan alkohol adalah gangguan
berhubungan dengan zat lain, gangguan kepribadian antisosial, gangguan
mood, dan gangguan kecemasan.
9. Gangguan Kepribadian Antisosal. hubungan gangguan kepribadian
antisosial cukup sering pada laki-laki dengan suatu gangguan
berhubungan dengan alkohol dan dapat mendahului perkembangan
gangguan berhubungan dengan alkohol. Penelitian lain telah menyatakan
bahwa gangguan kepribadian antisosial dan gangguan berhubungan
dengan alkohol merupakan kesatuan diagosis yang benar-benar terpisah
yang tidak berhubungan sebab akibat.
10. Gangguan mood. Kira-kira 30 persen orang dengan gangguan
berhubungan dengan alkohol memenuhi kriteria diagnostik untuk
gangguan depresi berat pada wanita alkoholik dibandingkan pada laki-laki
alkoholik. Beberapa penilitian telah menemukan bahwa depresi
kemungkinan telah terjadi pada pasien dengan berhubungan dengan
alkohol yang mempunyai konsumsi alkohol harian yang tinggi dan yang
mempunyai riwayat keluarga penyalahgunaan alkohol.
11. Gangguan Kecemasan. Alkohol adalah efektif dalam menghilangkan
kecemasaan, dan banyak orang menggunakan alkohol karena alesan
tersebut. Walaupun komorbiditas antara gangguan berhubungan dengan
alkohol dan gangguan mood telah dikenal luas, kurang diketahui bahwa
kemungkinan 25 sampai 50 persen dari semua orang dengan gangguan
berhubungnan dengan alkohol juga memenuhi kiteria diagnostik untuk
suatu gangguan kecemesan.
12. Bunuh Diri. sebagian besar perkiraan tentang prevalensi bunuh diri di
antara pasien dengan gangguan berhubungan dengan alkohol terentang
dari 10 sampai 15 persen, walaupun penggunaan alkohol itu sendiri

21
mungkin terlibat dalam persentasi bunug diri yang jauh lebih tinggi.
Beberapa peneliti pernah mempertanyakan apakah angka bunuh diri pada
orang dengan gangguan berhubungan dengan alkohol adalah sama
tingginya dengan perkiraan angka tersebut.
d. Etiologi
Gangguan berhubungan dengan alkohol, seperti hampir semua keadaan
psikiatrik lainnya, kemungkinan mewakili suatu kelompok proses penyakit
yang heterogen. Pada tiap kasus individual, faktor psikososial, genetika, atau
perilaku mungkin lebih penting dari pada faktor lainnya. Didalam tiap
kumpulan faktor tunggal-faktor bilogis sebagai contoh-satu elemen (Seperti
gen reseptor neurotransmiter) mungkin lebih terlibat dari pada elemen lainnya
(seperti pompa ambilan neurotransmiter).
1. Riwayat Masa Kanak-kanak
Gangguan berhubungan dengan alkohol pada anak-anak yang berada
dalam risiko akan memiliki gangguan berhubungan dengan alkohol karena
satu atau lebih orangtuanya adalah terkena. anak-anak yang berada dalam
risiko tinggi untuk mengalami gangguan berhubungan dengan alkohol
telah ditemukan dalam penelian percobaan memliki, rata-ratanya, suatu
rentang defisit pada tes neurokognitif, penurunan amplitudo gelomblang
P300 paa tes potensial cetusan (Evoked Potential), dan berbagai kelainan
pada pencatatan elektronsfalogram (EEG).
Riwayat masa anak-anak adanya gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas
atau gangguan konduksi atau keduanya meningkatkan risiko anak untuk
memiliki gangguan berhubungan dengan alkohol pada masa dewasanya.
Khususnya gangguan keperibadian antisosial, seperti yang dinyatakan
diatas, juga merupakan predisposisi seseorang kepada suatu gangguan
berhubungan dengan alkohol.
2. Faktor Psikoanalitis
Menurut teori psikoanalitis, orang dengan superego yangn keras yang
bersifat menghukum diri sendiri berpaling ke alkohol sebagai cara
menghilangkan stres bawah sadar mereka. Aforisme psikoanalitis yang
umum adalah bahwa superego dapat larut dalam alkohol. Pada tingkat
yang kurang teoretis, akohol dapat disalahgunakan oleh beberapa orang

22
sebagai cara untuk menurunan ketegangan, kecemasan, da berbagai jenis
sakit psikis.
3. Faktor Sosial dan Kultural
Asrama perguruan tinggi dan basis militer adalah dua contoh
lingkunga dimana minum berlebih dan sering minum sering kali
dipandang sebagai normal dan perliku yang diharapkan secara sosial.
4. Faktor Perilaku dan Pelajaran
Sama seperti faktor kultural dapat mempengaruhi kebiasaan minum,
demikian juga kebiasaan di dalam keluarga itu sendiri, khusunya
kebiasaan minum pada orang tua dapat mempengaruhi kebiasaan minum.
Dari sudut pandangan perilaku, penekanannya adalah pada aspek
pendorong positif dari alkohol, yang dapat aspek pendorong positif dari
alkohol, yang dapat menyebabkan perasaan sehat dan euforia pada
seseorang.
5. Faktor Genetika dan Biologi Lainnya
Banyak penelitian telah menunjukan bahwa orang dengan sanak
saudara tingkat pertama yang terpengaruh oleh gangguan berhubungan
dengan alkohol adalah tiga sampai empat kali lebih mungkin memiliki
gangguan berhubungan dengan alkohol daripada orang yang tidak
memiliki sanak saudara tingkat pertama yang terpengaruh. Dan pasien
gangguan berhubungan dengan alkohol dengan riwayat keluarga adanya
penyalahgunaa alkohol kemungkinan memiliki gangguan dalam bentuk
berat dan mempunyai angka asupan alkohol yang lebih tinggi dan lebih
banyak berhubungan dengan alkohol dibandingkan dengan pasien tanpa
riwayat keluarga tersebut.
e. Efek Fisiologis dari Alkohol
Istilah "alkohol" ditunjukan pada sekelompok besar molekul organik yag
memiliki gugus hidroksil (-OH) yang melekat pada atom karbon jenuh.
Senyawa yang terkandung dalam alkohol termasuk mentanol, butanol,
aldehida, fenol, tannins, dan sejumlah kecil berbagai logam. Walaupun
senyawa-senyawa dapat menyebabkan suatu efek psikoaktif yang berbeda
pada berbagai minuman yang mengandung alkohol, perbedaan tersebut dalam
efeknya adalah minimal dibandingkan dengan efek etanol itu sendiri.
Absorpsi

23
Kira-kira 10 persen alkohol yang dikonsumsi diabsorbsi dilambung,
sisanya diabsorbsi diusus kecil. Konsentrasi puncak alkohol dalam darah
dicapai dalam waktu 30 sampai 90 menit, biasanya dalam 45 sampai 60
menit, tergantung pada apakah alkohol diminum saat lambung kosong, yang
meningkatkan absorpsi, atau diminum bersama makanan, yang
memperlambat absorpsi.
Jika alkohol telah diabsorbsi ke dalam aliran darah, alkohol
didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Karena alkohol terlarut secara
seragam di dalam cairan tubuh, jaringan yang mengandung proporsi air yang
tinggi memiliki konsentrasi alkohol yang tinggi. Efeck intoksikasi menjadi
lebih besar jika konsentrasi alkohol darah adalah naik daripada jika turun
(Efek Mellanby). Karena alasan tersebut kecepatan absorpsi mempunyai suatu
penunjang langsung merespons intoksikasi.
Metabolisme
Kira-kira 90 persen alkohol yang diabsorbsi dimetabolisme melalui
oksidasi dihati; sisanya 10 persen diekskresikan tanpa diubah oleh ginjal dan
paru-paru. Kecepatan oksidasi di hati adalah konstan dan tidak tergantung
pada kebutuhan energi tubuh. Tubuh mampu untuk memmetabolisme kira-
kira 15mg/dl setiap jam, dengan rentang 10 sampai 34 mg/dl setiap jam.
Alkohol dimetabolisme oleh dua enzim; alkohol dehidrogenase (ADH)
dan aldehida dehidrogenase. AH mengatalisasikan konversi alkohol menjadi
asetaldehida, yang merupakan senyawa toksik. Aldehida dehidrogenase
mengatalisasikan konversi asetaldehida menjadi asam asetat.
f. Efek pada Otak
Biokimiawi, Teori yang telah lama ada tentang efek biokimiawi dari alkohol
menyatakan efeknya pada membran neuron. Tetapi pada penggunaan jangka
pendek menyebabkan meningkatnya fluditas. Fluditas membran adalah
penting untuk dapat berfungsinya reseptor, saluran ion, dan protein fungsinya
pada membran lainnya secara normal. Penilitian terakhir mencoba untuk
mengidentifikasi sasaran molekul spesifik untuk efek alkohol.
Efek perilaku. Hasil akhir aktivitas molekular adalah bahwa fungsi alkohol
sebagai suatu depresan, sangat mirip dengan barbiturat dan benzodiazepin,
dan terdapat suatu tingkat toleransi silang (cross-tolerance) dan
ketergantungan silang (cross-dependence).

24
Efek pada tidur. Walaupun asupan alkohol dimalam hari biasanya
menyebabkan semakin mudahnya tertidur (yaitu, menurunnya latensi tidur),
alkohol juga mempunyai efek merugikan pada arsitektur tidur. secara spesifik,
penggunaan alkohol berhubungan dengan menurunnya tidur REM (rapid eye
movement), menurunnya tidur dalam (stadium 4), dan meningkatnya
fragmentasi tidur, termasuk lebih banyakanya dan lebih lamanya episode
terbangun.
g. Efek Fisiologis Lain
Hati. Efek merugikan utama yang berhubungan dengan penggunaan alkohol
adalah berhubungan dengan kerusakan hati. Penggunaan alkohol, walaupun
episode singkat (selama beberapa minggu) meningkatnya minum, dapat
menyebabkan suatu akumulasi lemak dan protein, yang menyebabkan
timbulnya perlemakan hati (fatty liver), yang kadang-kadang ditemukan pada
pemeriksaan fisik infiltrasi lemak di hati dan kerusakan hati yang serius masih
belum jelas.
Sistem gastrointestinal. Asupan alkohol yang banyak dapat menggangu
proses pencernaan dan absorpsi makanan yang normal. sebagai akibatnya,
makanan yang dikonsumsi akan dicerna secara adekuat. Penyalahgunaan
alkohol juga tampak menghambat kapasitas usus untuk mengabsorbsi
berbagai zat gizi, termasuk vitamin dan asam amino. Efek tersebut, disertai
dengan seringnya kebiasaan diet yang buruk pada orang dengan gangguan
berhubungan dengan alkohol, dapat menyebabkan defisiensi vitamin yang
serius, khususnya vitamin B.
Sistem tubuh lain. Asupan alkohol yag signifikan telah dihubungkan dengan
meningkatnya tekanan darah, disregulasi lipoprotein dan trigliserida, dan
meningkatnya resiko untuk terjadinya infark miokardium dan penyakit
serebrovaskular. Intoksikasi akut dapat juga berhubungan dengan
hipoglikemia yang, jika tidak dikenali, dapat menyebabkan kematian
mendadak pada orang yang terintoksikasi.
h. Gangguan Psikotik Akibat Alkohol
Kriteria diagnostik untuk gangguan psikotik akibat alko.hol (sebagai
contoh waham dan halusinasi). Halusinasi yang paling sering adalah auditoris,
biasanya berupa suara-suara , tetapi suara tersebut sering kali tidak terstruktur,
karakteristiknya adalah, memfitnah, mencela atau mengancam walaupun

25
beberapa pasien melaporkan suara menyenangkan. Halusinasi biasanya
berhubungan dengan orang yang telah menggunakan alkohol dalam waktu
lama.
i. Penatalaksanaan
Pengobatan halusinanasi berhubangan dengan putus alkohol adalah sangat
mirip dengan DTs-benzodiazepin , nutrisi yang adekuat dan cairan yang
diperlukan. Jika regimen gagal dan pada kasus jangka panjang , antipsikotik
dapat digunakan.
2. Psikosa Akibat Trauma
Peristiwa penuh tekanan atau traumatic pada masa kanak-kanak awal memiliki
efek jangka panjang pada perkembangan otak, memengaruhi sistem saraf dan
endokrin yang memediasi respons terhadap stress dan menimbulkan perubahan
permanen setelah trauma (Gillspie & Nemeroff, 2005). Gangguan stress
pascatrauma (pascatraumatic stress disorders, PTSD) dan gangguan stress akut
(acute stress disorders, ASD) terjadi sebagai respons terhadap pengalaman
personal atas peristiwa yang mengakibatkan ancaman kematian atau kematian
actual atau cedera serius, sebagai respons setelah menyaksikan peristiwa yang
melibatkan kematian atau cedera serius, sebagai respons terhadap pembelajaran
mengenai kematian yang tidak terduga atau tragis, atau sebagai respons terhadap
penganiyaan atau pengabaian pada masa kanak-kanak, cedera serius, atau
ancaman kematian atau cedera pada anggota keluarga atau teman dekat. Individu
tersebut berespons dengan perasaan takut yang ekstrem, ketidakberdayaan, atau
kengerian. Anak dapat mengekspresikan perilaku agitasi atau perilaku tak terarah
(APA, 2002).
Psikosa traumatik disebabkan oleh luka (trauma) pada kepala, karena jatuh,
dipukul, kecelakaan, atau luka ditembak. Kesadaran hilang untuk sementara
waktu, lalu orang tersebut menjadi sembuh kembali. Simptomnya saat terdapat
luka berupa shock otak yang kemudian berkembang menajdi lupa post-traumatic.
Sebab-sebab trauma ialah
1. Shock otak : karena satu benturan dengan benda keras lalu terjadi pendarahan
di otak, sehingga peredaran darah serta oksigen terganggu; juga fungsi otak
ikut terganggu. Pasien tidak sadar sementara waktu lalu sadar setelah bebrapa
jam atau hari dengan mengalami amnesia untuk sementara waktu secara
partial atau secara total.perubahan emosinya: lekas marah atau jadi euphoris.

26
2. Ada kerusakan-kerusakan pada otak dan jaringan otak : disebabkan oleh
benturan yang menimbulkan luka pada otak atau adanya bagian tulang yang
masuk dalam daerah jaringan otak. pasien tidak sadar dalam wwktu yang
cukup lama, lalu pasein mengeluh sakit kepala yang hebat, pusing, muntah dan
lemas sekali. Menjadi tidak tenang,dihinggapi delirium, lekas marah yang
berlangsung selama beberapa waktu. Jika terjadi gangguan pada jaringan otak
maka yang terjadi , sangat sensitif terhadap suara dan sinar,gerakan gerakan
sedikit sajah menyebabkan rasa pening dan mual di sertai demam, detak
nadinya lambat, berlangsung selama beberapa hari samapi beberapa minggu.
3. Keadaan mental : mengalami coma, jika sadar sering diselingi delirium
(waanzin), kehilangan kesadaran orientasi terhadap tempat dan waktu. Tidak
tahan mendengar suara ,terlalu cemas, gelisah, disertai macam-macam
halusinasi, merasa takut pada bahaya-bahaya. Ada gangguan intelek dan
gangguan pada fungsi motorik sentral.

Pendaran pada otak umumnya menyebabkan efek: tidak dapat melakukan


konsentrasi , ingatan terganggu, gerakan motorik yang tidak terkendali. Jika
terjadi pendarahan yang hebat akan menimbulkan kematian.sesudah pasien
sembuh, biasanya ada peninggalan gejala seperti menjadi lumpuh dan
serangan serangan kejang. Jika kerusakan yang terjadi berat sekali dan intensif
maka pasien kemudian menjadi kepribadian pasca-traumatik dengan gejala;
kontrol diri dan rasa-rasa etisnya berkurang, dan suka marah marah, terdapat
gangguan diorientasi terhadap waktu dan tempat, amnesia berat dan lekas lupa
(korsakoff syndrome).
Trauma otak terjadi pada anak anak oleh penyakit encephalitis, gejala yang
ditimbulkan seperti:
a) Anti-sosial, bandel, tidak suka menurut: suka merusak dan menjadi sangat
agresif. Sifat bengis, ada deviasi-deviasi seksual.
b) Suka mencuri, suka berkelahi dan menipu. Gejala pasca traumatik ini
sering disebabkan oleh adanya rasa-rasa ketakutan.
Pengobatan medis: jagalah ketenangan, jangan sampai pasien merasa cemas.
Lalu dilakukan re-edukasi dan rehabilitasi terhadap keadaan mentalnya. Pada
anak-anak, kesembuhannya akan berlangsung lebih cepat dari pada orang dewasa.

27
Sebaliknya, luka-luka yang berat akan mengakibatkan psikosa berat dan retardari
mental.
3. Delirium
a. Definisi
Tanda utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, biasanya
terlihat bersamaann dengan gangguan fungsi kognitif secara global. Biasanya,
delirium mempunyai onset yang mendadak (beberapa jam atau hari),
perjalanan yang singkat dan berfluktuasi, dan perbaikan yang cepat jika faktor
penyebab diidentifikasi dan dihilangkan. Tetapi, masing-masing ciri
karakteristik tersebut dapat bervariasi pada pasien individual.
Delirium merupakan suatu sindrom, bukan suatu penyakit. Delirium
diketahui mempunyai banyak sebab, semuanya menyebabkan pola gejala yang
sama yang berhubungan dengan tingkat kesadaran pasien dan gangguan
kognitif. Sebagian besar penyebab delirium terletak di luar sistem saraf pusat,
contohnya, gagal ginjal atau hati.
b. Epidemiologi
Kira-kira 10 sampai 15% pasien di bangsal bedah umum, 15 sampai 25%
pasien di bangsal medis umum mengalami delirium selama mereka tinggal di
rumah sakit. Kira-kira 30% pasien di unit perawatan intensif dan unit
perawatan jantung intensif dan 40 sampai 50% pasien yang dalam pemulihan
setelah pembedahan fraktur panggul mempunyai suatu episode delirium.
Diperkirakan 20% pasien dengan luka bakar berat dan 30% pasien dengan
sindrom imunodefisiensi didapat (AIDS) mempunyai episode delirium saat
dirawat di rumah sakit.
c. Etiologi
Penyebab utama dari delirium adalah penyakit sistem saraf pusat, penyakit
sistemik, dan intoksikasi maupun putus dari agen farmakologis atau toksik.
Neurotransmiter utama yang dihipotesiskan berperan pada delirium adalah
asetilkolin, dan daerah neuroanatomis utama adalah formasi retikularis. Juga,
satu penyebab delirium yang paling sering adalah toksisitas dari banyak sekali
medikasi yang diresepkan yang mempunyai aktivitas antikolinergik. Formasi
retikularis batang otak adalah daerah utama yang mengatur perhatian dan
kesadaran, dan jalur utama yang berperan dalam delirium adalah jalur
tegmental dorsalis, yang keluar dari formasi retikularis mesensefalik ke tektum

28
dan talamus. Neurotransmiter lain yang berperan adalah serotonin dan
glutamat.
Pasien dengan konsentrasi litium serum lebih besar dari 1,5 m#q/L berada
dalam resiko delirium. Onset delirium pada pasien tersebut mungkin ditandai
oleh letargi umum, kegagapan, dan fasikulasi otot yang berkembang selama
perjalanan beberapa hari sampai minggu.
d. Manifestasi Klinis
Gejala kunci dari derilium adalah suatu gangguan kesdaran yang
digambarkan sebagai penurunan kejernihan kesdaran terhadap lingkungan,
dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan, atau
mengalihkan perhatian. Keadaan delirium mugkin didahului selama beberapa
hari oleh perkembangan kecemasan, mengantuk, insomnia, halusinasi transien,
mimpi menakutkan dimalam hari, dan kegelisahan.
a. Kesadarn (Arousal)
Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien
dengan delirium. Satu pola ditandai oleh hiperaktivitas yang berhubungan
dengan peningkatan kesiagaan. Pola lain ditandai oleh penurunan
kesiagaan. Pada pasien dengan putus zat biasanya mengalami delirium
hiperaktivitas, yang juga dapat disertai dengan tanda otonomik, seperti
kemerahan kulit, pucat, berkeringat, takikardia, pupil berdilatasi mual,
muntah, dan hipertermia. Pasien dengan gejala hipoaktif kadang-kadang
diklasifikasikan sebagai sedang depresi, katatonik, mengalami demensia.
b. Orientasi
Orientasi terhadap waktu sering kali hilang. Orientasi terhadap tempat
dan kemampuan untuk mengenali orang lan mungkin juga terganggu pada
kasus yang berat. Pasien delirium jarang kehilangan orientasi terhadap
dirinya sendiri.
c. Bahasa dan kognisi
Kelainan dalam bahasa dapat berupa bicara yang melantur, tidak
relevan, atau membingungkan (inkoheren) dan kemampuan untuk
mengerti pembicaraan. Fungsi kognitif yang terganggu adalah fungsi
ingatan dan kognitif umum. Kemampuan untuk menyusun,
mempertahankan, dan mengingat kenangan mungkin terganggu. Pasien
delirium juga mempunyai gangguam kemampuan memecahkan masalah

29
dan mungkin mempunyai waham yang tidak sistematik, kadang-kadang
paranoid.
d. Persepsi
Sering kali mempunyai ketidakmampuan umum untuk membedakan
stimulus sensorik dan untuk mengintegrasikan persepsi sekarang dengan
pengalaman masa lalu. Halusinasi juga relatif sering pada pasien delirium.
Halusinasi paling sering adalah visual dan auditoris, walaupun halisinasi
juga dapat taktil atau olfaktoris.
e. Mood
Gejala yang paling sering adalah kemarahan, kegusaran, rasa takut
yang tidak beralasan, apati, depresi, dan euforia.
f. Gejala penyerta
Gejala neurologis yang timbul sering kali adalah disfasia, tremor,
asteriksis, inkoordinasi, dan inkonintesia urine.
e. Penatalaksanaan
Tujuan utama adalah untuk mengobati gangguan dasar yang menyebabkan
delirium. Jika kondisinya adalah toksisitas antikolinergik, pengguanaan
physostigmine salicylate (Antilirium) 1 sampai 2 mg IV atau IM, dengan dosis
ulang dalam 15-30 menit, dapat diindikasikan. Tujuan pengobatan penting
lainnya adalah memberikan bantuan fisik, sensorik, dan lingkungan.
Farmakologis
Dua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan
farmakologis adalah psikosis dan insomnia. Obat bagi psikosis adalah
haloperidol (Haldol), suatu obat antipsikotik golongan butyrophenone.
Tergantung pada usia, berat badan, dan kondisi fisik pasien, dosis awal antara
2-10 mg intramuskular, diulang dalam satu jam jika pasien tetap teragitasi.
Droperidol (Inapsine) adalah suatu butyrophenone yang tersedia sebagai
suatu formula intravena alternatif, monitoring EKG sangat penting pada
pengobatan ini. Golongan phenothiazine harus dihindari, karena obat tersebut
disertai dengan aktivitas antikolinergik yang bermakna.
Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine dengan
waktu paruh pendek atau dengan hydroxyzine (Vistaril), 25-100 mg.
Golongan benxodiazepine dengan waktu paruh panjang dan barbiturate harus

30
dihindari kecuali obat tersebut telah digunakan sebagai bagian dari pengobatan
untuk gangguan dasar.
4. Demensia
a. Definisi
Demensia merupakan sindrom yang ditandai oleh berbagai gangguan
fungsi kognitif tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dapat
dipengaruhi pada demensia adalah inteligensia umum, belajar dan ingatan,
bagasa, memecahkan masalah, orientasi, persepsi, perhatian dan konsentrasi,
pertimbangan dan kemampuan sosial. Gangguan mungkin progresif atau statis,
permanen atau reversibel.
b. Epidemiologi
Demensia sebenarnya adalah penyakit penuaan. Di USA sebanyak 5%
orang yang berusia 65 tahun menderita demensia berat, dan 15% menderita
demensia ringan. Pada orang yang berusia 80 tahun kira-kira 20% mengalami
demensia berat. Dari semua pasien yang menderita demensia, 50-60%
menderita demensia tipe Alzheimer. Faktor resiko untuk perkembangan
demensia tipe Alzheimer adalah wanita, memiliki riwayat keluarga dengan
gangguan tersebut, dan memiliki riwayat cedera kepala.
Demensia vaskular berjumlah 14-30% dari semua kasus demensia. Lebih
sering terjadi pada laki-laki. Kira-kira 10-15% pasien menderita demensia
vaskular dan demensia tipe Alzheimer yang terjadi bersama-sama.
c. Etiologi
a. Penyakit Alzheimer
b. Demensia vaskuler
Varietas: Infark multipel (dinamakan demensia multi-infark), lakuna,
penyakit Binswanger, mikroinfark kortikal.
c. Obat dan toksin (termasuk demensia alkoholik kronis)
d. Massa intrakranial: tumor, massa subdural, abses otak
e. Anoksia
f. Trauma: cedera kepala, demensia pugilistika (punch-drunk syndrome)
g. Hidrosefalus tekanan normal: gangguan neurodegeneratif, penyakit
parkinson, penyakit huntington, palsi supranuklear progresif, penyakit
pick, sklerosis lateral amiotropik, degenerasi spinoserebralis, degenerasi

31
olivopontoserebralis, oftalmoplegia plus, lekodistrofi metakromatik
(bentuk dewasa), penyakit hallervorden-spatz, penyakit wilson.
h. Infeksi: penyakit creutzfeldt-jakob, AIDS, ensevalitis virus,
lekoensefalopati multilokal progresif, sindrom behcet, neurosifilis,
meningitis bakterial kronis, meningitis kriptokokus, meningitidis jamur
lain.
i. Gangguan nutrisional: sindrome wernicke-korsakoff (defisiensi tiamin),
defisiensi vitamin B12, defisiensi folat, pelagra, penyakit marchiafava-
bignami, defisiensi seng.
j. Gangguan metabolik: leukodistrofi metakromatik, leukodistrofi adrenal,
demensia dialisis, hipotiroidisme dan hipertiroidisme, insufisiensi ginjal,
sindrom cushing, insufisiensi hepatik, penyakit paratiroid.
k. Gangguan peradangan kronis: lupus dan gangguan vaskular-kolagen lain
dengan vaskulitis intraserebral.
l. Sklerosis multipel
m. Penyakit whipple
d. Manifestasi Klinis
Pada stadium awal demensia, pasien menunjukkan kesulitan untuk
mempertahankan kinerja mental, fatigue, dan kecenderungan gagal untuk
memecahkan makalah. Ketidakmampuan tugas menyebar ke tugas-tugas
harian.
a. Gangguan daya ingat. Merupakan ciri awal dan paling menonjol,
khususnya pada demensia yang mengenai korteks.
b. Orientasi. Karena daya ingat peting untuk orientasi terhadap orang, tempat
dan waktu, orientasi dapat terganggu selama perjalanan penyakit
demensia.
c. Gangguan bahasa. Terjadi pada demensia yang mengenai korteks. Ditandai
oleh cara berbicara yang samar-samar, stereotipik, tidak tepat, atau
berputar-putar. Pasien juga mungkin memiliki kesulitan dalam
menyebutkan nama suatu benda.
d. Perubahan kepribadian
e. Psikiatrik. Depresi dan kecemasan adalah gejala utama pada 40-50%
pasien demensia.

32
f. Neurologis. Afasia, apraksia, agnosia, kejang, nyeri kepala, pusing,
pingsan, kelemahan, tanda neurologis fokal, dan gangguan tidur. Palsi
serebrobulbar, disartria, dan disfagia.
g. Reaksi katastropik. Pasien demenisa juga menunjukkan penurunan
kemampuan untuk menerapkan perilaku abstrak.
h. Sindrom sundowner. Ditandai oleh mengantuk, konfusi, ataksia, dan
terjatuh secara tidak disengaja
e. Penatalaksanaan
Pendekatan pengobatan umum pada pasien demensia adalah untuk
memberikan perawatan medis suportif, bantuan emosional untuk pasien dan
keluarganya, dan pengobatan farmakologis untuk gejala yang spesifik,
termasuk gejala perilaku yang mengganggu. Pemeliharaan kesehatan fisik
pasien, lingkungan yang mendukung, dan pengobatan farmakologis
simptomatik diindikasikan dalam pengobatan sebagian besar jenis demensia.
Pengobatan simptomatik termasuk pemeliharaan diet gizi, latihan yang tepat,
terapi rekreasi dan aktivitas, perhatian terhadap masalah visual dan auditoris,
dan pengobatan masalah medis yang menyertai. Perhatian khusus harus
diberikan pada pengasuh atau anggota keluarga yang menghadapi frustasi,
kesedihan dan masalah psikologis saat mereka merawat pasien selama periode
waktu yang lama.
Farmakologis
Dapat diberikan benzodiazepin untuk insomnia dan kecemasan,
antidepresan untuk depresi, dan obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi.
Namun, perhatikan kemungkinan efek idiosinkratik dari obat pada lanjut usia.
Obat dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi harus dihindari, walaupun
beberapa data menyatakan bahwa thioridazine (Mellaril), yang mempunyai
aktivitas kolinergik yang tinggi, mungkin merupakan obat yang efektif untuk
mengontrol perilaku pasien demensia jika diberikan dalam dosis kecil.
Benzodiazepin kerja singkat dalam dosis kecil adalah medikasi ansiolitik dan
sedatif yang lebih disukai untuk pasien demensia. Zolpidem (Ambien) dapat
juga digunakan untuk tujuan sedatif. Tetrahydroaminoacridine (Tacrine) telah
dianjurkan oleh FDA sebagai suatu pengobatan untuk penyakit Alzheimer.
5. Gangguan Amnestik
a. Definisi

33
Gangguan amnestik ditandai terutama oleh gejala tunggal suatu gangguan
daya ingat yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau
pekerjaan.
b. Epidemiologi
Amnesia paling sering ditemukan pada gangguan penggunaan alkohol dan
cedera kepala.
c. Etiologi
Struktur anatomi utama yang terlibat dalam daya ingat dan perkembangan
gangguan amnestik adalah pada struktur diensefalik dan struktur lobus
midtemporalis. Gangguan amnestik mempunyai banyak penyebab yang
potensial. Diantranya adalah:
a. Kondisi medis sistemik: defisiensi tiamin (sindrom korsakoff),
hipoglikemia.
b. Kondisi otak primer: kejang, trauma kepala (tertutup dan tembus), tumor
serebral (terutama talamik dan lobus temporalis), penyakit
serebrovaskular (terutama talamik dan lobus temporalis), prosedur bedah
pada otak, ensefalitis karena herpes simplex, hipoksia, amnesia global
transien, terapi elektrokonvulsif, sklerosis multipel.
c. Penyebab berhubungan dengan zat: gangguan penggunaan alkohol,
neurotoksin, benzodiazepin (dan sedatif-hipotonik lain), banyak preparat
yang dijual bebas.
d. Manifestasi Klinis
Adanya perkembangan gangguan daya ingat yang ditandai oleh gangguan
kemampuan untuk mempelajari informasi baru (amnesia anterograd) dan
ketidakmampuan untuk mengingat pengetahuan yang sebelumnya diingat
(amnesia retrograd).
Daya ingat jangka pendek (short-term memory) dan daya ingat baru saja
(recent memory) biasanya terganggu. Daya ingat jauh (remote past memory)
untuk informasi atau yang dipelajari secara mendalam (overlearned), biasanya
tetap baik. Tetapi daya ingat untuk peristiwa yang kurang lama (lebih dari 10
tahun) biasanya terganggu. Daya ingat segera (immediate memory) tetap intak.
Onset gejala dapat mendadak seperti pada trauma, serangan
serebrovaskular, dan gangguan akibat zat kimia neurotoksik. Dapat juga
terjadi secara bertahap, seperti pada defisiensi zat gizi dan tumor serebral.

34
Amnesia dapat terjadi singkat (short duration) disebut transien (bila
berlangsung selama sebulan atau kurang) atau lama (long duration) disebut
sebagai menetap atau persisten bila berlangsung lebih dari sebulan.
e. Subtipe
a. Penyakit serebrovaskular
Penyakit serebrovaskular yang mengenai talamus medial secara
bilateral, khususnya pada bagian anterior, sering disertai dengan gejala
gangguan amnestik. Gangguan amnestik berasal dari pecahnya suatu
aneurisma di arteri komunikans anterior, yang menyebabkan suatu infark
di daerah basal otak depan.
b. Sklerosis multipel
Proses patofisiologis dari sklerosis multipel adalah pembentukan plak
yang tampaknya terjadi secara acak di dalam parenkim otak. Jika plak
terjadi di lobus temporalis dan daerah diensefalik, gejala gangguan daya
ingat dapat terjadi.
c. Sindrom korsakoff
Sindrom korsakoff adalah sindrom amnestik yang disebabkan oleh
defisiensi tiamin, yang paling sering berhubungan dengan kebiasaan
nutrisional yang buruk dari seorang dengan penyalahgunaan alkohol
kronik.
d. Blackout alcoholic
Terjadi pada beberapa orang dengan penyalahgunaan alkohol yang
berat. Secara karakteristik, orang alkoholik terbangun di pagi hari dan
tidak mampu mengingat malam sebelumnya, saat terintoksikasi.
e. Terapi elektrokonvulsif
Terapi ECT biasanya disertai dengan amnesia retrograd untuk periode
beberapa menit sebelum pengobatan dan suatu amnesia anterograd setelah
pengobatan. Defisit daya ingat ringan dapat menetap selama 1-2 bulan
setelah siklus pengobatan ECT, tetapi gejala menghilang secara lengkap 6-
9 bulan setelah pengobatan.
f. Cedera kepala
Gangguan amnestik yang disebabkan oleh cedera kepala seringkali
berhubungan dengan suatu periode amnesia retrograd sebelum kecelakaan
traumatis dan amnesia terhadap kecelakaan traumatis sendiri. Beratnya

35
cedera otak berhubungan dengan lama dan beratnya sindrom amnestik,
tetapi yang berhubungan paling baik dengan perbaikan akhir adalah derajat
perbaikan klinis amnesia selama minggu-minggu pertama setelah pasien
mencapai kesadaran.
g. Amnesia global transien
Amnesia global transien ditandai dengan kehilangan tiba-tiba
kemampuan mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau untuk
mengingat informasi baru. Sindrom seringkali ditandai oleh hilangnya
tilikan mengenai masalah, sensorium yang jernih, konfusi dengan derajat
ringan, dan kemampuan untuk melakukan tugas kompleks yang telah
dipelajari dengan baik. Episode berlangsung dari 6 sampai 24 jam.
f. Penatalaksanaan
Pendekatan utama adalah mengobati penyebab dasar dari gangguan
amnestik. Saat pasien amnestik menunjukkan suportif tentang tanggal, waktu
dan lokasi pasien dapat menurunkan kecemasan pasien.
Faktor Psikodinamika
Fase pemulihan pertama, dimana pasien tidak mampu memproses apa
yang terjadi karena pertahanan ego sangat besar. Pada pemulihan fase kedua,
saat realisasi tentang kejadian cedera timbul, pasien mungkin menjadi marah
dan merasa dikorbankan. Pemulihan fase ketiga adalah fase integratif.
6. Gangguan Mental Karena Kondisi Medis Umum
a. Gangguan Degeneratif
Gangguan degeneratif yang mengenai ganglia basalis sering disetai
dengan gangguan pergerakan dan juga dengan depresi, demensia, dan psikosis.
Contohnya adalah penyakit Parkinson, penyakit Huntington, penyakit Wilson,
dan 33penyakit Fahr.
b. Epilepsi
Gejala praiktal pada epilepsi parsial kompleks adalah termasuk sensasi
otonomik, sensasi kognitif, keadaan afektif, dan, secara klasik, automatisme.
Gejala iktal yang terjadi adalah perilaku yang tidak terinhibisi,
terdisorganisasi, dan singkat.
Gejala interiktal yang muncul adalah gangguan kepribadian, gejala
psikotik, kekerasan, dan gejala gangguan mood.
Obat yang terpilih untuk berbagai jenis kejang diantaranya adalah:

36
1. Kejang tonik-klonik umum (grand mal): phenobarbital (Luminal),
phenytoin (Dilantin), carbamazepine (Tegretol), valproic acid (Depakene).
2. Kejang absence (petit mal): ethosuzimide (Zarotin), valporic acid
(Depakene), trimethadione (Tridione).
3. Kejang parsial sederhana (fokal): phenobarbital (Luminal), phenytoin
(Dilantin).
4. Kejang parsial kompleks (lobus temporalis): phenytoin (Dilantin),
carbamazepine (Tegretol).
5. Kejang mioklonik, atonik, akinetik, dan absence atipikal: clonazepam
(Klonopin), diazepam (Valium).
6. Spasme infantil: hormon adrenokortikotropik, kortikosteroid.
7. Status epileptikus: diazepam (Valium), phenobarbital (Luminal),
amobarbital (Amytal), phenytoin (Dilantin), paraldehyde, obat anestetik.
c. Tumor Otak
Kira-kira 50% pasien dengan tumor otak mengalami gejala mental. Kira-
kira 80% pasien tumor otak dengan gejala mental mempunyai tumor didaerah
otak frontalis atau limbik, ketimbang didaerah parientalis atau temporalis.
Gejala yang terjadi diantaranya adalah gangguan kognisi atau gangguan fungsi
intelektual, gangguan keterampilan berbahasa, gangguan daya ingat, gangguan
persepsi, dan perubahan kesiagaan.
Walaupun kista koloid bukan tumor otak namun dapat menyebabkan
gejala mental tertentu seperti depresi, labilitas emosi, gejala psikotik dan
perubahan kepribadian.
d. Trauma Kepala
Dua gejala utama yang terjadi adalah gejala dari gangguan kognitif dan
gejala dari sekuela perilaku. Setelah suatu periode amnesia pascatraumatis,
biasanya terjadi pemulihan selama 6-12 bulan, sedangkan gejala sisanya
kemungkinan akan menjadi permanen. Masalah kognitif yang paling sering
terjadi adalah menurunnya kecepatan pemrosesan informasi, penurunan
perhatian, meningkatnya distraktibilitas, defisit dalam pemecahan masalah dan
kemampuan terus berusaha, dan masalah dengan daya ingat dan mempelajari
informasi baru. Berbagai ketidakmampuan bahasa juga ditemukan.
Pada perilaku, gejala yang utama adalah perubahan kepribadian, depresi,
meningkatnya impulsivitas, dan meningkatnya agresi.

37
Pengobatan gangguan kognitif dan perilaku pada pasien trauma kepala
pada dasarnya adalah sama dengan pendekatan pengobatan yang digunakan
pada pasein lain dengan gejala tersebut. Satu perbedaan adalah bahwa pasien
trauma kepala mungkin rentan terhadap efek samping yang berhubungan
dengan obat psikotropik, dengan demikian obat tersebut harus dimulai dengan
dosis yang lebih rendah dari biasanya dan harus dititrasi naik secara lebih
lambat dari biasanya. Antidepresan standar dapat digunakan untuk mengobati
depresi, dan baik antikonvulsan maupun antipsikotik dapat digunakan untuk
mengobati agresi dan impulsivitas. Pendekatan lain pada gejala adalah lithium
(Eskalith), penghambat saluran kalsium, dan antagonis adrenergik-beta.
e. Gangguan Demielinasi
Gangguan demielinasi utama adalah sklerosis multipel. Gangguan
demielinasi lainnya adalah sklerosis lateral amiotropik, leukodistrofi
metakromatik, adrenoleukodistrofi, gangliosidosis, panensefalitis sklerosis
subakut, dan penyakit Kufs. Semua gangguan tersebut disertai dengan gejala
neurologis, kognitif, dan perilaku.
f. Penyakit Infeksi
Contohnya adalah ensefalitis herpes simpleks, ensefalitis rabies,
neurosifilis, meningitis kronis, panensefalitis sklerosis subakut, penyakit
creutzfeldt-jacob, dan kuru.
g. Gangguan Kekebalan
Gangguan kekebalan utama yang dapat terjadi adalah AIDS, dan Lupus.
h. Gangguan Endokrin
Dapat terjadi karena adanya gangguan tiroid, gangguan paratiroid,
gangguan adrenal, dan gangguan hipofisis.
i. Gangguan Metabolisme
Ensefalopati metabolik adalah penyebab disfungsi organik otak yang
sering dan dapat menyebabkan perubahan proses mental, perilaku, dan fungsi
neurologis. Tanda yang paling awal kemungkinan adalah gangguan daya
ingat, khususnya ingatan yang baru saja (recent memory), dan gangguan
orientasi. Gangguan metabolisme yang terjadi contohnya adalah ensefalopati
hepatik, ensefalopati uremik, ensefalopati hipoglikemik, ketoasidosis diabetik,
dan porfiria intermiten akut.
j. Gangguan Nutrisional

38
Terjadi dikarenakan adanya defisiensi niasin, timin, dan kobalamin.
2.2.3 Gangguan Psikotik Lain
1. Gangguan Skizofreniform
a. Definisi
Pada gangguan skizofreniform biasanya gejala berlangsung sekurangnya
satu bulan, tetapi kurang dari enam bulan. Pasien dengan gangguan
skizofreniform kembali pada tingkat fungsi dasarnya jika gangguan telah
menghilang. Sebaliknya pasien yang memenuhi criteria skizofrenia gejalanya
harus ditemukan sekurangnya selama enam bulan. Jika dalam satu keluarga
mengalami skizofreniform, maka keluarga lain juga berisiko tinggi menderita
gangguan psikotik tetapi distribusi gangguan tersebut berbeda dari distribusi
yang ditemukan pada keluarga dengan skizofrenia dan gangguan bipolar.
b. Epidemiologi
Insidensi, prevalensi, dan rasio jenis kelamin dari gangguan
skizofreniform belum dilaporkan dalam literature. Beberapa klinis memiliki
kesan bahwa gangguan paling sering terjadi pada remaja dan dewasa muda.
c. Etiologi
Menurut Langfeldt tahun 1939 psikosis skizofreniform merupakan suatu
kelompok pasien heterogen, pada umumnya beberapa pasien menderita suatu
gangguan yang mirip dengan skizofrenia. Sedangkan pasien lainnya menderita
suatu gangguan yang mirip dengan gangguan mood. Beberapa data
menyatakan bahwa pasien dengan gangguan skizofreniform kemungkinan
memiliki pembesaran ventrikel serebral, sperti yang ditentukan dengan
pemeriksaan tomografi dan pencitraan resonansi magnetic (MRI). Pembesaran
ventrikel pada gangguan skizofreniform tidak berhubungan dengan ukuran
hasil akhir atau ukuran biologis lainnya.
d. Diagnosis
Kriteria diagnostic skizofreniform menurut DMS-IV yang pertama adalah
adanya gejala fase aktif (waham halusinasi, afek yang datar). 2 kriteria
berikutnya adalah kriteria penyingkiran untuk gangguan skizoefektif,
gangguan mood, gangguan berhubungan dengan zat, dan gangguan mental
karena kondisi medis umum.
e. Terapi

39
Gejala psikotik biasanya diobati dengan pemberian obat antipsikotik
selama tiga sampai enam bulan. Terapi electronvulsif (ECT) mungkin
diindikasikan untuk beberapa pasien, khususnya pasien dengan cirri katatonik
atau terdepresi yang nyata. Percobaan pemberian lithium (eskalith) atau
valprote (depakene) mungkin diperlukan untuk pengobatan dan pencegahan
jika pasien memiliki spisode yang rekuren. Psikoterapi biasanya diperlukan
untuk membantu pasien mengintegrasikan pengalaman psikotik ke dalam
pengertiannya tentang pikiran, otak dan kehidupan.
2. Gangguan Skizoafektif
a. Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup dari gangguan skizoafektif kurang dari 1%,
kemungkinan dalam rentang 0,5 0,8%. Tetapi angka tersebut adalah angka
perkiraan, karena berbagai penelitian terhadap gangguan skizoafektif telah
menggunakan kriteria diagnoatik yang bervariasi. Berdasarkan jenis kelamin
prevalensi gangguan lebih rendah pada laki-laki dibandingkan pada wanita,
khususnya wanita yang telah menikah.
b. Etiologi
Penyebab gangguan skizoafektif tidak diketahui,tetapi 4 model konseptual
telah diajukan yaitu (1) Gangguan skizoafektif mungkin merupakan tipe
skizofrenia atau suatu tipe gangguan mood. (2) Gangguan sizoafektif mungkin
merupakan ekpresi bersama-sama dari skizofrenia dan gangguan mood. (3)
Ganguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe psikosis ketiga yang
berbeda, tipe yang tidak berhubungan dengan gangguan skizofrenia dan
gangguan mood. (4) kemungkina terbesar adalah gangguanbahwa gangguan
skizoafektif adalah kelompok gangguan yang heterogen yang meliputi semua
tiga kemungkinan pertama.
c. Gambaran Klinis
Tanda dan gejala skizoafektif merupakan semua tanda dan gejala
skizofrenia, episode manic dan gangguan depresif. Gejala skizoafrenik dan
gangguan mood dapat ditemukan bersama-sama atau dalam cara yang
bergantian. Pergantian penyakit dapat bervariasi dari satu eksaserbasi dan
remisi sampai satu perjalanan jangka panjang yang memburuk.
d. Diagnosis

40
Kriteria diagnostic utama untuk gangguan skizoafektif adalah bahwa
pasien memenuhi kriteria diagnostic untuk episodedepresif berat atau episode
manic yang bersama-sama dengan ditemukannya kriteria diagnostic untuk fase
aktif dari skizofrenia. Disamping itu pasien harus memiliki waham atau
halusinasi selama sekurangnya 2 minggu tanpa adanya gejala gangguan mood
yang menonjol. DSM-IV membantu klinisi untuk menentuka apakah pasien
menderita skizoafektif, tipe bipolar, tipe depresif. Seorang pasien menderita
bipolar jika episode yang ada adalah tipe manic atau suatu episode campuran
dan episode depresif berat. Selain itu pasien diklasifikasikan menderita tipe
depresif.
e. Terapi
Prinsip dasar yang mendasari farmakoterapi untuk gangguan skizoafektif
adalah bahwa protocol antidepresan dan antimanik diikuti jika semua
diindikasikan dan bahwa antipsikotik digunakan hanya jika diperlukan untuk
pengendalian jangka pendek. Jika protocol thymoleptik tidak efektif dalam
pengendalian gejala atas dasar berkelanjutan, medikasi antipsikotik dapat
diindikasikan.selain itu pasien juga dapat mengkonsumsi kombinasi obat
tegretol,lithium atau valprote. Pasien dengan gangguan skizoafektif, tipe
depresif harus diberikan percobaan antidepresan dan electrokonvulsif sebelum
mereka diputuskan tidak responsive terhadap terapi antidepresan.
3. Gangguan Delusional
a. Definisi
Merupakan suatu psikiatrik dimana gejala utama adalah waham. Waham
pada gangguan delusional juga dapat bersifat kebesaran, erotic, cemburu,
somatic dan campuran. Gangguan ini berbeda dengan gangguan skizofrenia
dan gangguan mood, karena pada pasien gangguan delusional tidak ditemukan
gejala lain seperti halusinasi, pendataran afektif dan gangguan pikiran.
b. Epidemiologi
Prevalensi gangguan delusional di Amerika Serikat sekarang ini
diperkirakan 0,025-0,03%. Jadi gangguan delusional jauh lebih jarang
daripada skizofrenia. Insidensi tahunan gangguan delusional adalah 1-3 kasus
per 100.000 populasi, kira-kira 4% dari semua perawatan pertama kali di RS
psikiatrik untuk psikosis karena kondisi medis umum atau suatu zat. Usia
onset rata-rata adalah 40 tahun. Tetapi rentang usianya adalah 18-90 tahun.

41
c. Etiologi
Penyebab gangguan delusional tidak diketahui. Pasien yang sekarang
menderita gangguan delusional kemungkinan memiliki suatu kelompok
kondisi yang heterogen dengan waham sebagai gejala yang menonjol.
Gangguan delusional jauh lebih jarang disbanding skizofrenia dan gangguan
mood, dimana gangguan delusional mempunyai onset yang lambat daripada
skizofrenia dan mempunyai predominasi wanita yang jauh lebih kurang
darpada yang ditemukan pada gangguan mood. Faktor biologis jelas
menyebabkan waham tetapi tidak pada orang dengan tumor otak. Faktor unik
yang masih belum dimengerti dalam otak dan kepribadian pasien adalah
kemungkinan relevan dengan patofisiolohi dari gangguan delusional.
Disamping itu faktor atau teori psikodinamika spesifik tentang gejala waham
adalah anggapan tentang orang hipersensitif dan mekanisme ego spesifi :
formasi reaksi, proyeksi, dan penyangkalan.
d. Gambaran Klinis
a. Status mental
b. Mood, perasaan, dan afek : pasien adalah konsisten dengan isi waham.
c. Gangguan persepsi
d. Gangguan isi pikiran
4. Gangguan Psikotik Singkat
DSM-IV mengkombinasikan 2 konsep diagnostic. Pertama gangguan
berlangsung singkat yaitu kurang dari 1 bulan tetapi sekurangnya 1 hari, gejala
mungkin memenuhi kriteria diagnosis untuk skizofrenia. Kedua, gangguan
mungkin berkembang sebagai respon terhadap stressor psikososial yang parah
atau kelompok stressor.
a. Epidemiologi
Pada umumnya gangguan ini dianggap jarang, seperti dinyatakan oleh
satu penelitian tentang pengrekrutan militer dimana insidensi psikosis reaktif
singkat DSM-III-R diperkirakan adalah 1,4 per 100.000 dari yang direkrut.
Dengan memasukkan episode psikotik singkat yang tidak disertai dengan
faktor pencetus yang jelas dalam DSM-IV.
b. Etiologi
Penyebab dari psikotik singkat tidak diketahui dan diagnosis
kemungkinan termasuk kelompok gangguan yang heterogen. Pasien dengan

42
gangguan psikotik singkat yang pernah memilki gangguan kepribadian
mungkin memiliki kerentanan biologis atau psikologis kea rah perkembangan
gejala psikotik. Pada perumusan psikodinamika dinyatakan adanya mekanisme
menghadapai (coping mechanism) yang tidak adekuat dan kemungkinan
adanya tujuan sekunder pada pasiendengan gejala psikotik. Teori
psikodinamika tambahan menyatakan bahwa gejala psikotik adalah suatu
pertahanan terhadap fantasi yang dilarang, pemenuhan yang tidak tercapai,
atau suatu pelepasan dari situasi psikososial tertentu.
c. Gambaran Klinis
Gejala gangguan psikotik singkat selalu termasuk sekurangnya satu gejala
psikosi utama. Gejala karakteristik untuk gangguan psikotik singkat adalah
perubahan emosional, pikiran atau perilaku yang aneh, berteriak-teriak atau
diam membisu dan gangguan daya ingat untuk peristiwa yang belum lama
terjadi. Beberapa data menyatakan bahwa di Amerika Serikat, paranoria
merupakan gejala yang menonjol dalam gangguan ini. Pada psikiatrik Prancis,
Bouffe Delirante adalah sama dengan gangguan psikotik singkat.
d. Terapi
1. Perawatan di Rumah Sakit
Jika seorang pasien psikotik secara akaut,perawatan dirumah sakit
diperlukan untuk pemeriksaan dan perlindungan pasien. Pemeriksaan
pasien membutuhkan monitoring ketat terhadap gejala dan pemeriksaan
tingkat bahaya pasien terhadapa dirinya dan orang lain.
2. Farmakoterapi
Dua kelas obat yang harus dipertimbangkan dalam pengibatan
gangguan psikotik singkat adalah obat antipsikotik dan benzodiazepine.
Pada psien yang berisiko tinggi mengalami efek samping estrapiramidal
suatu obat antikolinergik kemungkinan harus diberikan bersama-sama
dengan antipsikotik sebagai profilaksis terhadap gejala gangguan
pergerakan akibat medikasi.

2.3 Proses Keperawatan pada Pasien Psikosa


2.6.1 Pengkajian Keperawatan
1. Identitas

43
Nama/Jenis Kelamin, umur, tanggal masuk RS, No CM, alamat, pendidikan,
status perkawinan, pekerjaan, sumber data, suku, bentuk tubuh.
2. Faktor Predisposisi
a. Faktor Biologis
Gangguan perkembangan pada otak atau susunan saraf pusat yang dapat
menimbulkan gangguan orientasi realita (halusinasi) seperti hambatan
perkembangan otak khususnya bagian frontal, temporal dan limbik.
b. Faktor Psikologis
Keluarga dan lingkungan pasien dapat mempengaruhi respon psikologis klien.
Adapun beberapa sikap yang mempengaruhi gangguan orientasi realita yaitu
penolakan dan kekerasan dalam kehidupan.
c. Faktor sosial budaya
Kemiskinan, konflik sosial budaya, dan kehidupan hyang terisolasi serta tress
yang menumpuk juga dapat menyebabkan gangguan orientasi realita.
3. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi dapat muncul dari faktor biologis, psikologi, dan faktor
budaya. Stressor pencetus dapat berasal dari internal pasien maupun eksternal
pasien. Menurut Townsend (2009) stressor yang ekstrim dapat mencetuskan fase
psikotik.
4. Mekanisme koping
Regresi : upaya untuk menanggulangi kecemasan dan hanya tersisa sedikit
energi untuk menjalanakan aktifitas sehari-sehari
Proyeksi : keinginan yang tidak dapat ditoleransi. Pasien mencurahkan emosi
pada orang lain akibat kesalahan diri sendiri
Menarik diri : dapat ditampilkan dengan reaksi fisik maupun psikologis.
Reaksi fisik akan menunjukkan bahwa pasien menghindari masalah atau
stressor, sedangkan reaksi psikologis menunjukkan prilaku apatis, mengisolasi
diri, disertai rasa takut dan bermusuhan.
5. Tanda dan gejala Halusinasi
Pada pasien psikosa, halusinasi dan waham merupakan ciri dari penyakit ini.
Halusinasi pendengaran : pasien melirikan matanya seperti mendengar suara atau
yang berbicara, mendengarkan dengan penuh perhatian orang tidak sedang

44
berbicara dan menatap benda mati, menggerakan mulut, dan terlibat percakapan
dengan orang yang tidak tampak atau benda mati.
Halusinasi penglihatan : pasien seolah melihat sesuatu atau seseorang yang tidak
tampak. Pasien dapat terlihat gugup, senang dan ketawa, ketakutan atau ditakuti
oleh hayalannya, benda mati atau stimulus yang tidak terlihat.
Halusinasi penghidu, pengecapan dan peraba : halusinasi jenis ini jarang terjadi,
hanya sekitar 10% dari total kasus pasien dengan halusinasi.
6. Tanda dan gejala Waham
Waham kebesaran : pasien meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan
khusus yang akan diucapkan berulang-ulang, namun tidak sesuai kenyataannya.
Waham curiga : pasien akan meyakini bahwa ada seseorang atau sekelompok
orang yang berusaha merugikan atau mencederai dirinya dan juga diucapkan
berulang-ulang dan tidak sesuai kenyataan.
Waham agama : pasien memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara
berlebihan dan diucapkan berulang kali dan tidak sesuai dengan kenyataan.
Waham kejar : pasien mengatakan bahwa ada sekelompok atau seseorang yang
mengejar-ngejar ia yang diucapkan berulang kali dan tidak sesuai dengan
kenyataan.
7. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tanda-tanda vital : TD, RR, HR, dan Suhu biasanya dalam keadaan
normal / stabil. Kecuali saat pasien berada dalam kondisi cemas yang berat
sehingga nilai tanda-tanda vital dapat meningkat.
8. Pemeriksaan penunjang
MRI : untuk menunjukkan adanya ketidaksimetrisan pada lobus temporal
2.6.2 Diagnosa Keperawatan
1. Risiko perilaku kekerasan: terhadap diri sendiri atau orang lain
2. Isolasi sosial
3. Ketidakefektifan koping individu
4. Perubahan sensori persepsi: pendengaran/ penglihatan
5. Perubahan proses piker
6. Hambatan komunikasi verbal
7. Gangguan pola tidur
8. Intervensi Keperawatan
1. Risiko perilaku kekerasan: terhadap diri sendiri atau orang lain

45
a. Pertahankan stimulus yang tidak berlebihan pada lingkungan klien (penerangan
redup, sedikit orang, dekorasi sederhana, tidak bising).
Rasional: ansietas meningkat di lingkungan dengan banyak stimulus. Klien yang
curiga dan agitasi dapat mempersepsikan individu lain sebagai ancaman.
b. Observasi perilaku klien dengan sering (setiap 15 menit). Lakukan observasi saat
beraktivitas rutin, untuk mencegah kecurigaan individu.
Rasional: observasi ketat sangat penting sehingga intervensi segera dilakukan jika
perlu untuk menjamin keselamatan klien (dan orang lain).
c. Singkirkan semua benda-benda berbahaya dari lingkungan klien.
Rasional: pada saat klien agitasi atau bingung, benda-benda tersebut tidak
digunakan untuk mencederai diri sendiri atau orang lain.
d. Upayakan mengalihkan perilaku kekerasan saat ansietas muncul ke kegiatan fisik
(misal memukul kantong tinju).
Rasional: kegiatan fisik merupakan cara efektif dan aman untuk menghilangkan
ketegangan yang terpendam.
e. Pertahankan dan tunjukkan sikap yang tenang di hadapan klien.
Ansietas menular dan dapat ditularkan dari perawat kepada klien.
2. Isolasi sosial
a. Tunjukkan sikap menerima melalui kontak singkat, tetapi sering.
Rasional: sikap menerima meningkatkan harga diri dan memfasilitasi rasa
percaya klien kepada orang lain.
b. Tunjukkan penghargaan positif tanpa pamrih.
Rasional: hal ini menunjukkan kepercayaan Perawat terhadap klien sebagai
manusia yang berguna.
c. Temani klien untuk memberi dukungan selama aktivitas kelompok yang
menakutkan atau sulit bagi klien..
Rasional: kehadiran individu yang dipercaya memberi klien keamanan emosi.
d. Jujur dan tepati semua janji.
Rasional: kejujuran dan kesedihan meningkatkan hubungan saling percaya.
e. Hati-hati dalam memberi sentuhan terapeutik. Beri klien ruang ekstra dan cara
untuk keluar dari interaksi bila ia menjadi terlalu gelisah.
Rasional: klien yang curiga dapat mempersepsikan sentuhan sebagai sikap
mengancam.

46
f. Beri obat penenang sesuai order dokter. Pantau keefektifan dan efek samping obat
tersebut.
Rasional: obat antipsikosis membantu mengurangi gejala psikosis pada beberapa
individu sehingga memfasilitasi interaksi orang lain.
3. Ketidakefektifan koping individu
a. Dorong perawat yang sama untuk sedapat mungkin tetap merawat klien
Rasional: agar terbina hubungan saling percaya
b. Hindari kontak fisik
Rasional: klien yang curiga dapat mengartikan sentuhan sebagai sikap
mengancam.
c. Hindari tertawa, berbisik-bisik, atau bicara pelan jika klien dapat melihat,
tetapi tidak mendengar, pembicaraan.
Rasional: klien yang curiga sering kali menganggap orang lain sedang
membicarakan dirinya, dan perilaku serba rahasia seperti ini dapat memicu
perasaan paranoid.
d. Jujur dan tepati semua janji.
Rasional: sikap jujur dan dapat dipercaya dapat meningkatkan hubungan
saling percaya.
e. Gunakan pendekatan kreatif untuk meningkatkan asupan makanan.
Rasional: klien yang curiga meyakini bahwa mereka akan diracuni dan
menolak mengonsumsi makanan yang disiapkan oleh seseorang.
4. Perubahan sensori persepsi: pendengaran/ penglihatan
a. Observasi tanda-tanda halusinasi klien (sikap mendengarkan, tertawa atau bicara
sendiri, menghentikan pembicaraan di tengah kalimat).
Rasional: intervensi awal dapat mencegah respons agresif terhadap perintah
halusinasi.
b. Hindari menyentuh klien sebelum memberi tahu klien bahwa perawat akan
melakukan tindakan tersebut.
Rasional: klien dapat mempersepsikan sentuhan sebagai ancaman dan bereaksi
dengan cara yang agresif.
c. Tunjukkan sikap menerima sehingga mendorong klien menceritakan
halusinasinya kepada perawat.
Rasional: tindakan ini penting untuk mencegah kemungkinan cedera pada klien
maupun orang lain karena perintah halusinasi.

47
5. Perubahan proses pikir
a. Sampaikan kepada klien bahwa perawat menerima keyakinan klien yang salah,
tetapi tidak membenarkan keyakinan tersebut.
Rasional: penting untuk mengkomunikasikan kepada klien bahwa perawat tidak
menerima waham sebagai realitas.
b. Jangan membantah atau menyangkal keyakinan tersebut. Gunakan keraguan yang
masuk akal sebagai teknik terapeutik.
Rasional: membantah atau menyangkal keyakinan klien sama sekali tidak
bermanfaat karena waham tidak hilang melalui pendekatan ini, dan terbinanya
hubungan saling percaya dapat terhalang.
c. Bantu klien menghubungkan keyakinan yang salah dengan waktu saat terjadi
peningkatan ansietas.
Rasional: bila klien dapat belajar memutus ansietas yang meningkat, waham
dapat dicegah.
d. Beri penguatan dan fokuskan klien pada realitas. Jangan dukung pemikiran
irasional. Bicarakan mengenai kejadian dan orang-orang yang nyata.
Rasional: diskusi yang berfokus pada gagasan yang salah sama sekali tidak
berguna, dan dapat memperburuk psikosis.
6. Hambatan komunikasi verbal
a. Gunakan teknik validasi dan klarifikasi untuk menerjemahkan pola komunikasi
klien.
Rasional: teknik ini menunjukkan klien pandangan orang lain terhadap dirinya,
sedangkan perawat bertanggung jawab menyampaikan bahwa perawat tidak
begitu paham akan komunikasi klien.
b. Pertahankan konsistensi penugasan perawat
Rasional: untuk memfasilitasi kepercayaan dan kemampuan memahami tindakan
dan komunikasi klien.
c. Bila klien tidak dapat atau tidak mau bicara (mutisme), gunakan teknik terapeutik
mengatakan secara tidak langsung.
Rasional: hal ini dapat membantu menunjukkan empati, membina kepercayaan,
dan pada akhirnya mendorong klien mendiskusikan masalah yang menyakitkan.
7. Gangguan pola tidur
a. Buat lingkungan yang tenang, dengan sedikit stimulus.

48
Rasional: lingkungan dengan banyak stimulus meningkatkan hiperaktivitas dan
menghalangi tercapainya istirahat dan tidur.
b. Pantau pola tidur. Buatkan jadwal aktivitas yang meliputi waktu tetap untuk tidur
atau istirahat.
Rasional: data dasar akurat yang penting untuk perencanaan perawatan guna
membantu klien yang mengalami masalah ini.
c. Kaji tingkat aktivitas klien
Rasional: klien dapat kolaps akibat kelelahan jika hiperaktivitas tidak diputus dan
istirahat tidak tercapai.
d. Cegah asupan minuman berkafein, seperti teh, kopi, dan cola.
Rasional: kafein merupakan stimulan SSP dan dapat menghambat tidur serta
istirahat klien.

49
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan

DAFTAR PUSTAKA

Ann, Isaacs. 2004. Panduan Belajar:Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik Ed.3.
Jakarta: EGC
Kaplan dan Sadock. 2010. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis.
Tanggerang: Binarupa Aksara Publisher
Kartono, Kartini. 2003. Patologi sosial Gangguan-Gangguan Kejiwaan Ed.2. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persaba
Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University
Press.pp:256-257
OBrien, Patricia G, dkk. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Psikiatrik: Teori & Praktik.
Jakarta: EGC
Tomb, David A. 2003. Buku Saku Psikiatrik Ed.6. Jakarta: EGC
Townsend, Mary. C. 2010. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Psikiatri: Rencana Asuhan &
Medikasi Psikotropik, Edisi 5. Jakarta: EGC.

50
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32883/4/Chapter%20II.pdf
http://digilib.unimus.ac.id/files/.../jtptunimus-gdl-ekaanggima-6722-2-babii.pdf

51

Anda mungkin juga menyukai