Anda di halaman 1dari 19

PAPER

GANGGUAN DEPRESI BERAT

Referat Ini Disusun Untuk Melengkapi Persyaratan Dalam Mengikuti Kegiatan Kepaniteraan
Klinik Senior Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa

RSU Haji Medan

Pembimbing :

dr. Nazli Mahdinasari Nasution, M.Ked, Sp. KJ

Disusun Oleh :

Rosa Elyta Magdalena Manurung 102121025

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM

RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN

2021
KATA PEGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan YME, yang telah mencurahkan nikmat dan
karunia-Nya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas refarat ini. Berkat
kemudahan yang diberikan Tuhan YME, penulis dapat menyelesaikan tugas referat yang
berjudul “GANGGUAN DEPRESI BERAT ”. Dalam penyusunan Referat ini, penulis
mendapatkan beberapa hambatan serta kesulitan. Akan tetapi dengan bantuan dari berbagai
pihak hal tersebut dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan paper ini,
terutama kepada dr. Nazli Mahdinasari Nasution, M.Ked, Sp.KJ selaku pembimbing. Semoga
segala bantuan yang penulis terima akan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.

Adapun penulisan tugas referat ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan kepaniteraan klinik senior bagian Ilmu Jiwa Rumah Sakit Umum Haji Medan. Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang ditujukan untuk
membangun.

Medan, 26 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi .............................................................................................. .3
2.2 Epidemiologi ..................................................................................... .4
2.3 Etiologi ............................................................................................... 4
2.4 Perjalanan Gangguan Depresi Berat...................... .............................. 5
2.5 Manifestasi Klinis................................................................................. 6
2.6 Diagnosis ............................................................................................ 7
2.7 Diagnosis Banding ............................................................................... 9
2.8 Pemeriksaan Status Mental .................................................................. 9
2.9 Penatalaksanaan ................................................................................... 11

BAB III KESIMPULAN


3.1 Kesimpulan .......................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Emosi merupakan perasaan yang meliputi psikis, somatik dan perilaku yang

berhubungan dengan afek dan mood. Kata emosi digunakan untuk perasaan yang dihayati

secara sadar, sedangkan kata afek dirujukkan pada dorongan – dorongan yang lebih

mendalam yang mendasari perasaan. Mood merupakan peresapan emosi yang dialami

dapat diutarakan dan terpantau oleh orang lain. Sebagai contoh adalah depresi, elasi dan

marah. Gangguan depresi termasuk dalam kelompok gangguan mood. 1

Depresi adalah gangguan multifaktorial, dengan berbagai faktor resiko yang memiliki

interaksi dari aspek bawaan pasien. Genetik, asuhan awal dan kepribadian dapat

meningkatkan kerentanan terhadap depresi dengan episode yang muncul tergantung dari

tingkat stres akut dan kronik yang dialami.2

Pada paper ini penulis akan membahas tentang gangguan depresi berat. Gangguan

depresi berat digambarkan dengan hilangnya ketertarikan atau kesenangan akan aktivitas

yang biasa dilakukan. Depresi berat secara signifikan mempengaruhi keluarga seseorang

dan hubungan pribadi, pekerjaan atau kehidupan sosial, tidur, kebiasaan makan, dan

kesehatan umum. Dalam kasus yang parah, depresi memiliki gejala psikosis. Gejala ini

termasuk khayalan atau halusinasi.

Gangguan depresi berat adalah tipe paling umum dari gangguan mood yang dapat di

diagnosis, dengan perkiraan prevalensi semasa hidup berkisar antara 10% hingga 25%

untuk wanita dan 5% hingga 12% untuk pria. Depresi berat, khususnya pada episode yang

parah, dapat disertai dengan ciri psikosis, seperti delusi bahwa tubuhnya digerogoti

penyakit. Orang dengan depresi berat juga dapat mengalami halusinasi, seperti mendengar

1
2

suara-suara orang lain, atau iblis, yang mengutuk mereka atas kesalahan yang

dipersepsikan.3

Depresi berat dapat memicu gejala psikotik, khususnya waham dan halusinasi. Waham

dan halusinasi yang muncul umumnya terkait dengan dosa dan perasaan bersalah. Gejala

ini akan bertambah berat jika tidak ada dukungan dari keluarga dan teman terdekat. Ada

lebih dari dua pertiga pasien depresi di seluruh dunia yang berpikiran untuk bunuh diri,

dan 10-15 persen dari jumlah tersebut benar-benar menjalankan pemikirannya. Sebagian

individu dengan gangguan depresi malah tidak menyadari depresinya dan tidak

mengeluhkan suatu gangguan suasana perasaan tertentu. Meski demikian, mereka

menunjukkan aktivitas penarikan diri dari keluarga, teman, dan aktivitas sosial yang

sebelumnya mereka sukai.4

Kemudian, berdasarkan latar belakang diatas, penulis akan menjabarkan definisi,

etiologi, gejala, pemeriksaan pada pasien Gangguan Depresi Berat hingga

pengobatannya/tatalaksana.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Gangguan depresi berat adalah tipe paling umum dari gangguan mood yang dapat di

diagnosis, dengan perkiraan prevalensi semasa hidup berkisar antara 10% hingga 25%

untuk wanita dan 5% hingga 12% untuk pria. Depresi berat, khususnya pada episode yang

lebih berat atau parah, dapat disertai dengan ciri psikosis, seperti delusi bahwa tubuhnya

digerogoti penyakit. Orang dengan depresi berat juga dapat mengalami halusinasi, seperti

mendengar suara-suara orang lain, atau iblis, yang mengutuk mereka atas kesalahan yang

dipersepsikan. Episode-episode depresi berat dapat berlangsung dalam jangka bulanan atau

satu tahun atau bahkan lebih.3

Pada pasien gangguan depresi berat mempunyai beberapa tanda dan gejala depresi yang

serius. Manifestasi klinis sangat bervariasi mulai dari retardasi, menarik diri sampai iritabel

dan agitasi. Pada 25 % kasus (50% pada orang tua) diduga dicetuskan oleh stresor. Gejala

– gejala paling berat sering dialami pada pagi hari, beberapa penderita tidak menyadari

bahwa Ia sedang depresi. Pada gangguan depresi yang sangat menonjol, gejalanya dapat

diamati oleh orang lain.5

Suatu episode depresi berat ditandai dengan munculnya lima atau lebih ciri-ciri atau

simptom-simptom selama suatu periode 2 minggu, yang mencerminkan suatu perubahan

dari fungsi sebelumnya. Paling tidak satu dari ciri-ciri tersebut harus melibatkan mood yang

depresi atau kehilangan minat atau kesenangan dalam beraktivitas. Selain itu, penegakkan

diagnosis memerlukan hadirnya empat simptom tambahan, seperti gangguan tidur atau

nafsu makan, kehilangan energi, perasaan tidak berarti, pikiran untuk bunuh diri, dan sulit

berkonsentrasi.3

3
4

2.2 Epedemiologi

Gangguan depresi berat paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur hidup sekitar

15%. Penderita perempuan dapat mencapai 25%, sekitar 10% di perawatan primer dan 15

% perawatan di Rumah Sakit. Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2 % dan

usia remaja 5 %. Jenis kelamin perempuan dua kali lipat lebih besar dibanding laki-laki.

Diduga adanya perbedaan hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan stresor psikososial

antara laki-laki dan perempuan. Usia rata-rata sekitar 40 tahunan. Hampir 50% awitan

diantara usia 20 – 50 tahun. Terkadang berhubungan dengan meningkatnya pengguna

alkohol dan penyalahgunaan zat dalam kelompok usia tersebut. Paling sering terjadi pada

orang yang tidak mempunyai hubungan interpersonal yang erat atau pada mereka yang

bercerai atau berpisah. Perempuan yang tidak menikah memiliki kecenderungan lebih

rendah untuk menderita depresi dibandingkan dengan yang menikah namun hal ini

berbanding terbalik untuk laki-laki. Depresi berat sering terjadi di daerah pedesaan

dibanding daerah perkotaan.6

Prevalensi episode depresi berat meningkat dari 25,5% pada episode pertama menjadi

50,0% di episode kelimabelas dan prevalensi episode psikotik meningkat dari 8,7% pada

episode pertama menjadi 25,0% di episode kelimabelas. Pola yang sama ditemukan terlepas

dari jenis kelamin, usia saat terjadinya depresi, dan tahun saat terjadinya episode yang

pertama.7

2.3 Etiologi1

Berbagai faktor resiko yang memiliki interaksi dari aspek bawaan pasien. Genetik,

asuhan awal dan kepribadian dapat meningkatkan kerentanan terhadap depresi, dengan

episode yang muncul tergnatung dari tingkat stres akut dan kronik yang dialami.
5

a. Amin Biogenik

Norepinefrin dan serotonin adalah dua neurotransmitter yang paling terlibat pada

patofisiologi gangguan mood.

b. Norepinefrin

Penurunan regulasi reseptor beta adrenergik dan respons klinis anti depresi mungkin

berperan langsung sistem noradrenergik pada depresi. Bukti lain yang juga melibatkan

reseptor depresi yang mengakibatkan pengurangan jumlah pelepasan norepinefrin.

c. Dopamin

Aktivitas dopamin mungkin berkurang pada depresi. Penemuan subtipe baru reseptor

dopamin dan meningkatnya pengertian fungsi regulasi presipnatik dan pascasipnatik

dopamin memperkaya hubungan antara dopamain dan gangguan mood.

d. Serotonin

Aktivitas serotonin berkurang pada depresi. Serotonin bertanggung jawab untuk kontrol

regulasi afek, agresi, tidur dan nafsu makan. Pada beberapa penelitian ditemukan

jumlah Serotonin yang berkurang dicelah sinap dikatakan bertanggung jawab untuk

terjadinya depresi.

e. Faktor Genetik

Genetik merupakan faktor penting dalam perkembangan gangguan mood, tetapi jalur

penurunan sangat kompleks. Sulit untuk mengabaikan efek psikososial, dan juga faktor

nongenetik kemungkinan berperan sebagai penyebab berkembangnya gangguan mood,

setidaknya pada beberapa orang.

2.4 Perjalanan gangguan depresi berat6

Sebelum episode pertama teridentifikasi, sekitar 50% persen gangguan depresi berat

memperlihatkan gejala depresi yang bermakna. Gejala depresi yang teridentifikasi secara

dini dan dapat teratasi lebih awal dapat mencegah berkembangnya gejala-gejala menjadi
6

episode depresi penuh. Pada pasien dengan gangguan depresi berat, walaupun gejala telah

ada, umumnya belum menujukkan suatu pramorbid gangguan kepribadian. Sekitar 50%

pasien dengan episode depresi pertama terjadi sebelum usia 40 tahun. Awitan yang terjadi

setelah usia 40 tahun biasanya dihubungkan dengan tidak adanya riwayat gangguan mood

dalam keluarga, gangguan kepribadian anti sosial dan penyalahgunaan alkohol. Episode

depresi yang tidak ditangani akan berlangsung 6 – 13 bulan. Kebanyakan penanganan

episode depresi sekitar 3 bulan. Prosedur baku tatalaksana gangguan depresi setidaknya

dilakukan selama 6 bulan agar tidak mudah kambuh. Penghentian antidepresen sebelum 3

bulan hampir hampir selalu mengakibatkan kambuhnya gejala. Apabila gangguan menjadi

progresif maka episode akan cenderung lebih sering dan berlangsung lebih lama.

2.5 Manifestasi Klinis1

Episode depresi, mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energi adalah

gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasannya sedih, tidak mempunyai

harapan, dicampakkan, atau tidak berharga. Emosi pada mood depresi kualitasnya berbeda

dengan emosi duka cita atau kesedihan yang normal. Sekitar dua per tiga pasien

mempunyai pikiran untuk melakukan bunuh diri. Dan 10 sampai 15 persen diantaranya

melakukan bunuh diri. Mereka yang dirawat di Rumah Sakit dengan percobaan bunuh diri

dan ide bunuh diri mempunyai umur hidup lebih panjang dibanding yang tidak dirawat.

Beberapa pasien depresi terkadang tidak menyadari ia mengalami depresi dan tidak

mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka menarik diri dari keluarga, teman dan

aktivitas yang sebelumnnya menarik bagi dirinya. Sekitar 80 persen mengeluh masalah

tidur, khususnya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan sering terbangun di malam hari

karena memikirkan masalah yang dihadapi. Kebanyakan pasien menujukkan peningkatan

atau penurunan nafsu makan demikian pula dengan bertambah dan menuurn berat

badannya serta mengalami tidur lebih lama dari yang biasanya.


7

Gejala utama :

- Afek depresif

- Kehilangan minat dan kegembiraan

- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah ( rasa lelah yang

nyata sesudah kerja sedikit saja ) dan menurunnya aktivitas.

Gejala lainnya :

- Konsentrasi dan perhatian berkurang

- Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

- Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

- Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis

- Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

- Tidur terganggu

2.6 Diagnosis

Pedoman diagnostik depresi berat dengan gejala psikotik

Disertai waham, halusinasi atau stuppor depresif. Waham biasanya melibatkan ide

tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan pasien biasanya merasa

olfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau

daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju stuppor. Jika diperluka,

waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek (mood

congruent).

Kriteria diagnosis gangguan depresi berat

a. Pasien mengalami mood terdepresi (sebagai contoh, sedih atau perasaan

kosong) atau kehilangan minat atau kesenangan sepanjang waktu selama 2 minggu

atau lebih ditambah 4 atau lebih gejala berikut ini insomnia atau hiperinsomnia
8

b. hampir setiap hari, menurunnya minat atau kesenangan hampir pada semua

kegiatan hampir sepanjang waktu, perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak

sesuai atau rasa tidak berharga hampir sepanjang waktu, kehilangan energi atau

letih hampir sepanjang waktu, menurunnya kemampuan untuk berpikir atau

konsentrasi sulit membuat keputusan hampir sepanjang waktu, selera makan dapat

meningkat atau menurun, dalam penemuan ditemukan agitasi atau retardasi, dan

timbul pikiran berulang tentang mati atau ingin bunuh diri.

c. Gejalanya tidak memenuhi untuk kriteria episode campuran

d. Gejalanya bukanlah merupakan efek fisiologi langsung dari zat ( sebagai contoh

penyalahgunaan obat, atau medikasi) atau suatu kondisi medik umum. Contohnya

( hypothyroidsm).

e. Gejalanya tidak lebih baik dibandingkan dengan dukacita, misalnya setelah

kehilangan seseorang dicintai, gejala menetap lebih dari 2 bulan atau ditandai

dengan preokupasi rasa ketidakbahagiaan yang abnormal, ide bunuh diri, gejala

psikotikatau retardasi psikomotor.1

Pedoman diagnostik depresi berat tanpa gejala psikotik

a. Semua 3 gejala utama depresi harus ada

b. Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa diantaranya

harus berintensitas berat.

c. Bila ada gejala penting ( mislanya agitasi atau retardasi psikomotor ) yang

mencolok, maka mampu untuk melaporkan banyak gejalnya secara rinci. Dalam hal

demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresi berat masih dapat

dibenarkan.
9

d. Episode depresi biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan

tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan

untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu.

e. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan

atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas. 8

2.7 Diagnosis Banding9

a. Gangguan Mood Disebabkan oleh Kondisi Medis Umum (Tumor otak, gangguan

metabolik, HIV AIDS, Penyakit Parkinson dan Penyakit Cushing)

b. Gangguan Mood diinduksi Zat

c. Skizofrenia

d. Berduka

e. Gangguan Kepribadian

f. Gangguan Skizoafektif

g. Gangguan Penyesuaia dengan Mood Depresi

h. Gangguan Tidur Primer

2.8 Pemeriksaan Status Mental1

Kemunduran psikomotor secara umum merupakan gejala yang paling sering, meskipun

agitasi psikomotor juga terlihat, terutama pada pasien usia lanjut. Meremas tangan dan

menarik rambut merupakan gejala dari agitasi. Secara sederhana pasien depresi mempunyai

postur tubuh yang dibungkukkan, tidak ada gerakan spontan, sedih, dan memalingkan

wajah. Pada pemeriksaan klinis, pasien depresi memperlihatkan keseluruhan gejala dan

kemunduran psikomotor yang tampak serupa dengan pasien skizofrenia katatonik.

Walaupun sekitar 50 persen pasien menyangkal perasaan depresi dan tidak tampak

depresi. Anggota keluarga dan teman kerja sering membawa pasien untuk terapi karena

menarik diri dari lingkungan sosial dan pengurangan aktifitas secara umum. Gangguan
10

depresi berat dengan ciri psikotik mempunyai delusi atau halusinasi, bahkan tanpa delusi

atau halusinasi, beberapa dokter menyebut psychotic depression, untuk kemunduran secara

keseluruhan, membisu tidak mandi, dan kotor. Mood incongruent adalah suatu kondisi

yang pada saat bersamaan pada pasien depresi ditemukan adanya delusi dan halusinasi yang

menetap, selain itu juga ditemukan perasaan bersalah, tidak berharga, kegagalan,

penderitaan dan keadaan penyakit somatik (seperti kanker dan kerusakan otak).

Gambarannya adalah ketidaksesuaian antara isi delusi atau halusinasi dengan mood

depresi. Ketidaksesuaian isi delusi dengan mood pada pasien depresi tentang kemampuan

yang berlebihan, pengetahuan, dan sesuatu yang berharga sebagai contoh pasien percaya

bahwa seseorang tersiksa karena dia Messiah. Pandangan negatif terhadap dunia dan

dirinya sendiri. Isi pikir mereka sering meliputi rasa kehilangan, rasa bersalah, pikiran

bunuh diri, dan kematian. Sekitar 10 % dari semua pasien depresi menunjukkan gejala

gangguan pikiran, biasanya dalam isi pikiran adalah hambatan dan kemiskinan.

Kebanyakan pasien depresi tidak terganggu orientasinya baik orang, tempat, dan waktu,

meskipun beberapa dari mereka tidak mempunyai tenaga atau minat untuk menjawab

pertanyaan tentang subjek tersebut selama wawancara. Sekitar 50 sampai 75 persen dari

pasien depresi menunjukkan pseudodementia depresi, umumnya pasien mengeluhkan tidak

mampu konsentrasi dan gampang lupa. 10 sampai 15 persen pasien depresi melakukan

bunuh diri dan sekitar dua pertiganya mempunyai ide untuk bunuh diri. Pasien dengan ciri

psikotik biasanya mempertimbangkan untuk membunuh orang sebagau manifestasi delusi,

walaupun banyak pasien depresi kurang tenaga atau motivasi untuk mengikuti suara hati

melakukan kejahatan. Pasien dengan gangguan depresi memiliki resiko untuk bunuh diri

ketika energi mereka mulai meningkat dan menjalankan rencana untuk bunuh diri. Tidak

bijaksana apabila dokter memberi resep antidepresan dalam jumlah besar, terutama obat

trisiklik, pada saat pasien keluar dari rumah sakit. Menilai sikap dan perilaku pasien terkini,
11

selama wawancara. Tilikan pasien depresi terhadap gangguannya sering berlebihan mereka

terlalu menekankan gejalanya, gangguannya, dan masalah hidup mereka. Ini menyulitkan

untuk meyakinkan pasien bahwa perbaikan mungkin terjadi. Pada wawancara dan

perbincangan pasien depresi terllau melebihkan hal buruk dan meminimalkan hal baik.

Kesalahan dokter, sering tidak mempercayi penjelasan pasien depresi yang menyatakan

pengobatan dengan antridepresan sebelumnya tidak berespon. Dianggap pernyataan itu

mungkin salah dan dibutuhkan sumber lainuntuk mendapatkan informasi tentang hal

tersebut.

2.9 Penatalaksanaan2

Antidepresan direkomendasikan hanya untuk pasien dengan depresi sedang berat atau

untuk pasien dengan gejala-gejala sub batas (subthreshold) depresi yang persisten, atau

depresi ringan hingga sedang yang tidak mendapatkan manfaat dari intervensi psikososial.

Pemberian selective serotonin reuptake inhibitor atau SSRI ( misalnya sertralin, paroxetine,

citalopram, fluoxetine) sebagai lini pertama antidepresan, karena memiliki efek samping

paling sedikit. Semua antidepresan memiliki efektivas serupa apabila diresepkan dengan

dosis yang benar dan diberikan dalam jangka waktu yang cukup. Para klinisi cenderung

untuk memilih suatu antidepresan tidak berdasarkan efikasi, namun berdasarkan profil efek

sampingnya (dengan mempertimbangkan preferensi dan komorbiditas pasien), dan

terhadap gejala depresi mana yang paling merepotkan. Antidepresan paling efektif

diberikan pada depresi sedang-berat. Sekitar 50% dari pasien akan berespons

(dibandingkan dengan 30% pada plasbo), apabila diresepkan dengan dosis yang adekuat

untuk periode yang tepat dan cukup lama (biasanya 4-6 minggu, lebih lama pada orang

dewasa yang lebih tua), dengan pemberiaan edukasi dan dukungan yang sesuai. Bila

antidepresan telah memberikan remisi dari gejala-gejala, pemberian obat harus dilanjutkan

dengan dosis penuh (yaitu pada dosis yang menimbulkan remisi) paling tidak selama 6
12

bulan untuk mengurangi tingkat kekambuhan. Pasien-pasien dengan riwayat gangguan

depresi berulang bisa mendapatkan manfaat dari pemakaian antidepresan dengan periode

yang lebih lama, bahkan mungkin seumur hidup untuk kasus yang berat. Efek profilaksis

dari antidepresan untuk mengurangi kekambuhan telah diperlihatkan paling tidak selama 5

tahun pengobatan (dengan imipramin). Penatalaksanaan seringkali gagal karena dosis obat

tidak adekuat, durasi dari tatalaksana atau buruknya kesepakatan antara pasien dan dokter.

Bila pasien tidak berespons terhadap pemberian antidepresan dengan dosis yang tepat untuk

durasi yang benar, strategi berikut mungkin dapat digunakan :

 Mengkaji ulang diagnosis : apakah depresi merupakan penyebab dari mood mereka

yang menurun? Apakah mereka menggunakan alkohol atau zat? Apakah mereka

memiliki gangguan psikiatri yang berbeda? Apakah terdapat penyebab stres

psikososial yang sedang berlangsung?

 Pertimbangkan terapi psikososial, apabila hal ini belum dilaksanakan.

 Meningkatkan dosis dari antidepresan yang sedang digunakan (misalnya dari

sertralin (SSRI) menjadi venlafaxine (SSNRI).

 Pertimbangkan untuk menambahkan antidepresan yang diberikan saat ini dengan

litium atau antidepresan lain, misalnya mirtazapine (biasanya dilakukan oleh

psikiater)

 Pertimbangkan terapi kejang listrik (TKL) apabila memenuhi kriteria.

 Suatu episode depresi dengan ciri psikotik biasanya membutuhkan penggunaan

ajuvan dari medikasi antipsikotik.

Penatalaksanaan pasien gangguan mood harus diarahkan kepada beberapa tujuan.

Pertama, keselamatan pasien harus terjamin. Kedua, kelengkapan evaluasi diagnostik

pasien harus diaksanakan. Ketiga, rencana terapi bukan hanya unntuk gejala, tetapi
13

kesehatan jiwa pasien kedepan harus diperhatikan. Secara keseluruhan, penatalaksanaan

gangguan mood harus diserahkan kepada psikiater.

a) Farmakoterapi

Obat trisiklik digunakan selama 40 tahun untuk gangguan depresi berat.

Penggunaan farmakoterapi secara spesifik diperkirakan kemungkinan sembuh dua

kali lipat dalam waktu satu bulan. Meskipun demikian, masih ada permasalahan

dalam penanganan gangguan depresi berat. Beberapa pasien tidak berespons

dengan terapi pertama. Antidepresan membutuhkan waktu 3 sampai 4 minggu

untuk memberikan efek terapi yang bermakna, meskipun ada yang menunjukkan

efek terapi lebih awal dan secara relatif semua antidepresan akan menjadi toksik

pada dosis berlebihan dan menunjukkan efek samping. Antidepresan lainnya adalah

Selective Seratonine Reuptake Inhibitor (SSRI) seperti fluoxetine, paroxetine

(paxil), dan sertraline (zoloft). Anti depresan golongan lain misalnya venlafaxine,

nefazodone dan mirtrazapine. Prinsip indikasi untuk antidepresi adalah episode

depresi berat. Gejala pertama yang menjadi pegangan adalah sulit tidur dan

gangguan dalam pola makan. Gejala lainnya yang dapat timbul adalah mengamuk,

cemas, dan rasa putus asa. Edukasi pasien yang adekuat tentang kegunaan

antidepresan sebagai hal penting untuk kesuksesan terapi termasuk pemilihan obat

dan dosis yang sesuai. Ketika mengenalkan penggunaan obat kepada pasien, dokter

perlu menekankan gangguan depresi berat adalah kombinasi dari faktor biologi dan

psikologi, kedua duanya mendapatkan manfaat dengan terapi pengobatan. Dokter

juga harus menekankan kepada pasien bahwa obat antidepresan tidak membuat

menjadi ketergantungan, dan obat akan diturunkan secara perlahan – lahan sesuai

dengan evaluasi gejala. Apabila pada 3 minggu setelah pemberian obat antidepresan

pasien belum memperlihatkan perbaikan gejala atau perbaikan gejala kurang dari
14

20% maka perlu mengganti antidepresan dengan golongan lainnya. Hal yang paling

serius dipikirkan adalah menyebabkan kematian pada dosis berlebih. Obat trisiklik

dan tetrasiklik merupakan obat antidepresan yang paling sering menyebabkan

kematian. SSRI, bupropion, trazodone, nefazodone, mirtazapine, venlafaxine dan

MAOI bersifat aman, meskipun masing-masing obat ini akan menyebabkan

kematian jika dikombinasikan dengan alkohol atau obat lain. Hal yang menarik dari

obat antidepresan adalah keamanan pada jantung. Hipotensi adalah efek samping

serius dari banyak antidepresan, khususnya pada orangtua.

b) Saran untuk gaya hidup

Seluruh pasien dengan penurunan mood harus disarankan untuk menghindari

alkohol dan penggunaan zat, makan dengan diet sehat, berolahraga rutin dan

melakukan higiene tidur yang baik ( misalnya menghindari kafein dan merokok

pada malam hari, tidak tidur pada siang hari, menentukan waktu rutin untuk tidur

dan bangun, tidak tidur pada siang hari, menentukan waktu rutin untuk tidur dan

bangun, tidak menggunakan kamar tidur untuk belajar atau menonton televisi ).

c) Tatalaksana psikologis

Penatalaksanaan psikologis digunakan sebagai lini pertama untuk depresi ringan,

dan dalam kombinasi dengan pemberian obat untuk tatalaksana depresi sedang-

berat. Sebagaian dari beratnya depresi ditentukan oleh jumlah gejala, namun

sebagian besar oleh derajat fungsional ( yaitu apakah pasien masih dapat memenuhi

peran sosial dan okupasi secara normal ).

 Cognitive - behavioral therapy (CBT)

 Interpersonal therapy (IPT)

 Terapi psikodinamik

 Intervensi keluarga marital


BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Emosi merupakan perasaan yang meliputi psikis, somatik dan perilaku yang

berhubungan dengan afek dan mood. Sebagai contoh adalah depresi, elasi dan marah.

Gangguan depresi termasuk dalam kelompok gangguan mood. Gangguan depresi berat

digambarkan dengan hilangnya ketertarikan atau kesenangan akan aktivitas yang biasa

dilakukan. Berbagai faktor resiko yang memiliki interaksi dari aspek bawaan pasien.

Genetik, asuhan awal dan kepribadian dapat meningkatkan kerentanan terhadap depresi

Pasien mengalami mood terdepresi ( sebagai contoh, sedih atau perasaan kosong)

atau kehilangan minat atau kesenangan sepanjang waktu selama 2 minggu atau lebih

ditambah 4 atau lebih gejala berikut ini insomnia atau hiperinsomnia hampir setiap hari,

menurunnya minat atau kesenangan hampir pada semua kegiatan hampir sepanjang

waktu, perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak sesuai atau rasa tidak berharga

hampir sepanjang waktu, kehilangan energi atau letih hampir sepanjang waktu,

menurunnya kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi sulit membuat keputusan

hampir sepanjang waktu, selera makan dapat meningkat atau menurun, dalam

penemuan ditemukan agitasi atau retardasi, dan timbul pikiran berulang tentang mati

atau ingin bunuh diri.

Terapi pada gangguan depresi berat meliputi psikoterapi dan farmakoterapi.

Psikoterapi antara lain CBT dan interpersonal. Farmakoterapi meliputi antidepresan.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Prasetyo J. (2017). Buku Ajar Psikiatri. Edisi III. Jakarta. Badan Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

2. Kusumawardhani A, Lukman P, Kaligis F. (2017). Buku Crash Course Psikiatri.

Edisi I. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

3. Hadi I, Fitriwijayati, Devianty R, Rosyanti L. (2017). Gangguan Depresi Mayor

(Mayor Depressive Disorder). Volume 9 No.1. Kendari. Keperawatan Poltekkes

Kemenkes Kendari.

4. Kurniawan Y & Sulisttyarini I. (2017). Terapi Kognitif Perilaku Untuk Mengurangi

Episode Depresi Berat Dengan Gejala Psikotik. Volume 1 No.1. Semarang.

Fakultas Psikologi Universitas Semarang.

5. Amir N. (2016). Depresi Aspek Neurobiologi Diagnosis Dan Tatalaksana. Edisi II.

Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

6. Sadock, Benjamin J. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis / Benjamin J.

Sadock, Virginia A. Sadock ; alih bahasa, Profitasari, Tiara Mahatmi Nisa ; editor

bahasa Indonesia, Husny Muttaqin, Retna Neary Elseria Sihombing. – Ed. 2 –

Jakarta : EGC; 2010

7. Christian J, Ratep N, Westa. (2020). Episode Depresi Berat Dengan Gejala Psikotik

Pada Wanita. Bali. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali.

8. Maslim R. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari

PPDGJ III Dan DSM V. Jakarta. Fakultas Kedokteran UNIKA Atmajaya.

9. Kemenkes RI. Pedoman Pelayanan Kegawatdaruratan Psikiatri. 2015

Anda mungkin juga menyukai