Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

DEPRESI PADA MAHASISWA KEDOKTERAN

Disusun oleh:

Muhammad Hafizh Zharfan Lubis 1920221156

Pembimbing:

dr. M. Riza Syah, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT JIWA DR. SOEHARTO HEERDJAN
PERIODE 8 FEBRUARI – 5 MARET 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat
serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah referat yang berjudul
“Depresi pada Mahasiswa Kedokteran” ini dengan baik. Selawat serta salam tak
lupa penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita
dari zaman jahiliyah hingga zaman yang terang ini dan semoga kita selalu
mendapatkan syafa’at beliau.
Terimakasih saya ucapkan kepada dr. M. Riza Syah Sp.KJ yang telah
memberikan kesempatan dan waktunya untuk menjadi pembimbing saya dalam
menyelesaikan referat ini. Makalah referat yang berjudul “Depresi pada
Mahasiswa Kedokteran” ini saya sadari masih banyak kekurangan. Oleh karena
itu, saya sebagai penulis memohon maaf jika terdapat beberapa kesalahan dalam
makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya dan bagi saya, penulis yang sedang menempuh kegiatan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan.

Jakarta, Februari 2021

Penulis
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

DEPRESI PADA MAHASISWA KEDOKTERAN

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan


Jiwa

Disusun Oleh:
Muhammad Hafizh Zharfan Lubis 1920221156

Jakarta, Februari 2021

Telah diterima dan disahkan oleh

Pembimbing

dr. M. Riza Syah, Sp.KJ


BAB I
PENDAHULUAN

Depresi merupakan gangguan jiwa umum yang ditandai dengan adanya


gejala utama yaitu mood menurun dan kehilangan minat dan kesenangan dalam
kehidupan sehari-hari. Gejala tersebut menyebabkan terjadi perubahan dalam
perilaku, taraf aktivitas dan pemikiran, dan dalam beberapa kasus, pikiran untuk
bunuh diri (Vargas et. al, 2017). Prevalensi depresi sekitar 15 persen di seluruh
dunia, dengan pada perempuan dapat mencapai 25 persen (Elvira & Hadisukanto,
2017).
Depresi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor biologis,
faktor genetik, faktor psikososial, serta adanya teori kognitif dan
ketidakberdayaan. Dalam depresi yang disebabkan oleh faktor psikososial,
peristiwa hidup dan stress lingkungan adalah salah satu yang berpengaruh.
Peristiwa hidup yang penuh tekanan lebih sering timbul mendahului gangguan
depresi. Sebuah teori menerangkan bahwa stress yang menyertai episode pertama
mengakibatkan perubahan yang bertahan lama di biologi otak. Perubahan yang
bertahan lama ini menghasilkan perubahan keadaan fungsional berbagai
neurotransmitter dan pemberian sinyal intranueron, sehingga seseorang tersebut
memiliki resiko tinggi mengalami episode gangguan berikutnya, bahkan tanpa
stressor eksternal (Sadock, BA & Sadock, VA, 2010; Elvira & Hadisukanto,
2017).
Mahasiswa kedokteran memiliki prevalensi depresi yang lebih besar jika
dibandingkan dengan populasi umum, terutama pada perempuan. Sekolah
kedokteran juga sudah dikenal merupakan lingkungan yang memiliki tingkat
stress yang lebih tinggi dari lainnya (Vargas et. al, 2017; Pachecho et. al, 2019).
Penelitian menunjukkan bahwa pada mahasiswa kedokteran sering terjadi
burnout, menyebabkan adanya distress dan disfungsi emosional yang tinggi,
munculnya gejala depresi dan meningkatnya ide untuk bunuh diri (Amir et. Al,
2018). Maka dari itu penting bagi tenaga kesehatan untuk lebih hati-hati dalam
menilai dan menangani gejala-gejala depresi yang terjadi pada mahasiswa
kedokteran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. Depresi
II.1. Definisi
Gangguan depresi termasuk dalam gangguan mood, yang mengacu pada
keadaan emosi yang menetap, bukan hanya ekspresi eksternal (afektif) pada
keadaan emosional sementara. Gangguan mood terdiri atas sekelompok tanda dan
gejala yang bertahan selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, yang
menunjukkan penyimpangan nyata fungsi habitual seseorang serta kecenderungan
untuk kambuh, sering dapat berbentuk periodik atau siklik.
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi
dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, mengalami hilangnya nafsu
makan, berpikir mati atau bunuh diri, juga adanya perubahan tidur dan aktivitas.
Gangguan depresi ini terjadi tanpa riwayat episode manik, campuran, atau
hipomanik. Episode depresif harus ada setidaknya 2 minggu (Elvira &
Hadisukanto, 2017; Sadock, BA & Sadock, VA, 2010).

II.2. Epidemiologi
Gangguan depresif berat paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur
hidup sekitar 15%. Penderita perempuan dapat mencapai 25 persen. Pada anak
sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2 persen dan usia remaja 5 persen. Jenis
kelamin perempuan dua kali lebih besar dibandingkan laki-laki. Diduga karena
adanya perbedaan hormone, pengaruh melahirkan, dan perbedaan stressor
psikososial. Usia rata-rata sekitar 40 tahun dengan hampir 50 persen awitan
diantara usia 20-50 tahun. Depresi juga lebih sering terjadi pada perempuan yang
menikah, namun hal ini berbanding terbalik dengan laki-laki. Depresi lebih sering
terjadi di daerah pedesaan dibanding daerah perkotaan (Elvira & Hadisukanto,
2017).
II.3. Etiologi
II.3.1. Faktor Biologis
Terdapat kelainan atau disregulasi pada metabolit amin biogenik seperti 5-
hydroxyindoleacetic acid (5-HLAA), homovanilic acid (HVA), dan 3-methoxy-4-
hydroxypheyl-glycol (MHPG) di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal (CSF)
pasien dengan gangguan mood (Elvira & Hadisukanto, 2017).
a. Amin Biogenik.
Norepinefrin dan serotonin adalah dua neurotransmitters yang paling terlibat
patofisiologi gangguan mood (Elvira & Hadisukanto, 2017).
1) Norepinefrin. Penurunan regulasi reseptor beta adrenergik dan respons
klinis anti-depresi mungkin berperan langsung sistem noradrenergik pada
depresi. Bukti lain yang juga melibatkan reseptor b2-presipnatik pada
depresi, yaitu aktifnya reseptor yang mengakibatkan pengurangan jumlah
pelepasan norepinefrin. Reseptor b2-presipnatik juga terletak pada neuron
serotonergik dan mengatur jumlah pelepasan serotonin
2) Dopamin. Aktivitas dopamin mungkin berkurang pada depresi. Dua teori
terbaru tentang dopamine dan depresi adalah jalur dopamine mesolimbik
mungkin mengalami disfungsi pada depresi dan reseptor dopamin D 1
mungkin hipoaktif pada depresi.
3) Serotonin. Aktivitas serotonin berkurang pada depresi. Serotonin
bertanggung jawab untuk kontrol regulasi afek, agresi, tidur dan nafsu
makan. Pada beberapa penelitian ditemukan jumlah serotonin yang
berkurang di celah sinap dikatakan bertanggung jawab untuk terjadinya
depresi.
b. Regulasi Neuroendokrin
Berbagai disregulasi neuroendokrin dilaporkan pada pasien dengan
gangguan mood. Aksis neuroendokrin utama yang dimaksud disini adalah
aksis adrenal, tiroid, serta hormon pertumbuhan. Kelainan neuroendokrin lain
yang telah digambarkan pada pasien dengan gangguan mood mecakup
berkurangnya sekresi melatonin nocturnal, pelepasan prolactin pada
pemberian triptofan, kadar basal follicle-stimulating hormone (FSH) dan
luteinizing hormone (LH), serta kadar testosterone pada laki-laki (Sadock, BA
& Sadock, VA, 2010)
c. Pencitraan Otak
Pada pasien depresi berat dengan ciri psikotik, ventrikel sererbri
cenderung membesar. Studi MRI juga menunjukkan bahwa pasien gangguan
depresif berat memiliki nucleus kaudatus dan lobus frontalis yang lebih kecil
(Sadock, BA & Sadock, VA, 2010).

II.3.2. Faktor Genetik


Genetik merupakan faktor penting dalam perkembangan gangguan mood,
tetapi jalur penurunan sangat kompleks.
a. Penelitian dalam keluarga.
Generasi pertama, 2 sampai 10 kali lebih sering mengalami depresi berat.
b. Penelitian yang berkaitan dengan adopsi (Elvira & Hadisukanto, 2017).
Dua dari tiga studi menemukan gangguan depresi berat diturunkan secara
genetik. Studi menunjukkan, anak biologis dari orang tua yang terkena
gangguan mood berisiko untuk mengalami gangguan mood walaupun anak
tersebut dibesarkan oleh keluarga angkat (Elvira & Hadisukanto, 2017).
c. Penelitian yang berhubungan dengan anak kembar.
Pada anak kembar dizigotik gangguan depresi berat terdapat sebanyak 13-
28%, sedangkan pada yang kembar monozigotik 53-69% (Elvira &
Hadisukanto, 2017).

II.3.3. Faktor Psikososial


a. Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan.
Peristiwa kehidupan yang membuat seseorang merasa tertekan (stres)
dapat mencetuskan terjadinya depresi. Episode pertama ini lebih ringan
dibandingkan episode berikutnya Ada teori yang mengemukakan adanya stres
sebelum episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak. Hal ini
menyebabkan perubahan berbagai neurotransmiter dan sistem sinyal
intraneuron, termasuk hilangnya beberapa neuron dan penurunan kontak
sinaps. Dampaknya, seorang individu berisiko tinggi mengalami episode
berulang gangguan mood, sekalipun tanpa stresor dari luar (Elvira &
Hadisukanto, 2017).

b. Faktor kepribadian
Semua orang, apapun pola kepribadiannya, dapat mengalami depresi
sesuai dengan situasinya. Orang dengan gangguan kepribadian obsesi-
kompulsi, histrionik dan ambang, berisiko tinggi untuk mengalami depresi
dibandingkan dengan gangguan kepribadian paranoid atau antisosial. Pasien
dengan gangguan dan siklotimik berisiko distimik mengalami gangguan
depresi berat (Elvira & Hadisukanto, 2017).
c. Faktor psikodinamik pada depresi
Pemahaman psikodinamik depresi yang dikemukakan oleh Sigmund
Freud dan dilanjutkan oleh Karl Abraham dikenal sebagai pandangan klasik
depresi. Teori tersebutmencakup empat hal utama: (1) gangguan hubungan
ibu-anak selama fase oral (10-18 bulan) menjadi faktor predisposisi untuk
rentan terhadap episode depresi berulang; (2) depresi dapat dihubungkan
dengan cinta yang nyata maupun fantasi kehilangan objek; (3) introjeksi
merupakan terbangkitnya mekanisme pertahanan untuk mengatasi penderitaan
akibat kehilangan objek cinta, (4) Kehilangan objek cinta, diperlihatkan dalam
bentuk campuran antara benci dan cinta, serta perasan marah yang diarahkan
pada diri sendiri (Elvira & Hadisukanto, 2017).

II.3.4. Formula Lain Depresi


a. Teori kognitif
Depresi merupakan hasil penyimpangan kognitif spesifik yang
membuat seseorang mempunyai kecenderungan menjadi depresi. Aaron Beck
menyatakan trias kognitif dari depresi mencakup: (1) pandangan terhadap diri
sendiri berupa persepsi negatif terhadap dirinya; (2) tentang lingkungan yakni
kecenderungan mengnggap dunia bermusuhan terhadapnya; dan (3) tentang
masa depan yakni bayangan dan kegagalan (Elvira & Hadisukanto, 2017).
b. Ketidakberdayaan yang dipelajari
Teori ketidakberdayaan yang dipelajari pada depresi menhubungkan
fenomena depresif dengan pengalaman peristiwa yang tidak dapat
dikendalikan.

II.4. Perjalan Penyakit


Sebelum episode pertama teridentifikasi, sekitar 50% gangguan depresi
berat memperlihatkan gejala depresi yang bermakna. Gejala depresi yang teratasi
lebih awal dapat mencegah berkembangnya gejala tersebut menjadi episode
depresi penuh. Sekitar 50% pasien dengan episode depresi pertama terjadi
sebelum usia 40 tahun. Episode depresi yang tidak ditangani akan berlangsung 6-
13 bulan. Penghentian antidepresan sebelum 3 bulan hampir selalu mengakibatkan
kambuhnya gejala, sehingga tatalaksana sebaiknya dilakukan selama 6 bulan
(Elvira & Hadisukanto, 2017).

II.5. Kriteria Diagnostik


II.5.1. Kriteria Diagnostik Menurut PPDGJ-III
Kriteria diagnostik episode depresif (F32) menurut PPDGJ-III adalah
sebagai berikut (Maslim R, 2019):
a. Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat):
1) Afek depresif
2) Kehilangan minat dan kegembiraan
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas.
b. Gejala Lainnya:
1) Konsentrasi dan perhatian berkurang
2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
5) Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
6) Tidur terganggu
7) Nafsu makan berkurang
c. Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode
lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung
cepat.
d. Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan berat
(F32.2) hanya digunakan untuk episode depresif tunggal (yang pertama).
Episode depresif berikutnya harus diklasifikasikan dibawah salah satu
diagnosis gangguan depresif berulang (F33.-).

Berikut ini adalah uraian dari masing-masing kriteria diagnostic episode


depresi menurut PPDGJ-III:
a. F32.0 Episode Depresif Ringan
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi sepeti
tersebut diatas
2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
4) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
5) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan social yang biasa
dilakukan
b. F32.1 Episode Depresif Sedang
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depress sepeti pada
episode depresi ringan (F30.0)
2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 (sebaiknya 4) dari gejala lainnya
3) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan social,
pekerjaan dan urusan rumah tangga.
c. F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik
1) Semua 3 gejala utama depresi harus ada.
2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa di
antaranya harus berintensitas berat.
3) Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian,
penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih dapat
dibenarkan.
4) Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurangkurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat,
maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun
waktu kurang dari 2 minggu.
5) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat
terbatas.
d. F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
1) Episode depresif berat yang memenuhi kriteri menurut F32.2 tersebut
diatas.
2) Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan, atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang menghina
atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi
psikomotor yang berat dapat menuju stupor. Jika diperlukan, waham
atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan
afek (mood-congruent)

II.5.2. Kriteria Diagnostik Menurut DSM-IV-TR


Kriteria diagnostik episode depresif berat menurut DSM-IV-TR adalah
sebagai berikut (Sadock, BA & Sadock, VA, 2010):
a. Lima atau lebih gejala di bawah telah ada selama periode waktu 2 minggu dan
menunjukkan perubahan fungsi sebelumnya; setidaknya satu gejalanya adalah
(1) mood menurun atau (2) kehilangan minat atau kesenangan. Catatan: jangan
memasukkan gejala yang jelas-jelas disebabkan kondisi medis umum, atau
waham atau halusinasi yang tidak kongruen-mood.
1) mood menurun hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang
ditunjukkan baik melalui laporan subjektif (cth., perasaan sedih atau
kosong) atau pengamatan orang lain (cth., tampak bersedih). Catatan:
pada anak dan remaja, bisa berupa mood iritabel.
2) menurunnya minat atau kesenangan yang nyata pada semua, atau hampir
semua aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti yang
ditunjukkan laporan subjektif atau pengamatan orang lain).
3) penurunan berat badan yang bermakna walaupun tidak diet atau berat
badan bertambah (cth., perubahan lebih dari 5% berat badan dalam
sebulan), atau menurun maupun meningkatnya nafsu makan hampir
setiap hari. Catatan: pada anak, pertimbangkan adanya kegagalan
mencapai berat badan yang diharapkan.
4) insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
5) agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati orang
lain, tidak hanya perasaan subjektif adanya kegelisahan atau menjadi
lebih lamban).
6) lelah atau hilang energi hampir setiap hari
7) perasaan tidak berarti atau rasa bersalah yang tidak sesuai atau
berlebihan (yang dapat menyerupai waham) hampir setiap hari (tidak
hanya menyalahkan diri atau rasa bersalah karena sakit)
8) menurunnya kemampuan berpikir atau berkonsentrasi, atau keragu-
raguan hampir setiap hari (baik laporan subjektif atau diamati orang lain)
9) pikiran berulang mengenai kematian (bukan hanya rasa takut mati),
gagasan bunuh diri berulang tanpa suatu rencana yang spesifik, atau
upaya bunuh diri atau suatu rencana spesifik untuk melakukan bunuh
diri.
b. Gejala tidak memenuhi kriteria episode campuran
c. Gejala menyebabkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau hendaya di
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi lain.
d. Gejala tidak disebabkan pengaruh fisiologis langsung zat (cth.,
penyalahgunaan obat, pengobatan), atau kondisi medis umum (cth.,
hipotiroidisme).
e. Gejala sebaiknya tidak disebabkan berkabung, yi., setelah kehilangan orang
yang dicintai, gejala bertahan hingga lebih lama dari 2 bulan, atau ditandai
hendaya fungsi yang nyata, preokupasi patologis mengenai ketidakberartian,
gagasan bunuh diri, gejala psikotik, atau retardasi psikomotor.
II.6. Tatalaksana
II.6.1. Terapi Psikososial
Terapi diberikan untuk membantu pasien mengembangkan strategi coping
yang lebih baik dalam mengatasi stressor dalam kehidupan sehari-hari. Dapat
diberikan psikoterapi suportif, atau re-edukatif (psikoterapi kognitif atau terapi
perilaku atau terapi kognitif perilaku) (Elvira & Hadisukanto, 2017).

II.6.2. Farmakoterapi
Penggunaan farmakoterapi spesifik diperkirakan melipatgandakan
kemungkinan pasien depresi akan pulih dalam waktu satu bulan. Namun, semua
antidepresan yang saat ini tersedia membutuhkan 3 sampai 4 minggu hingga
memberikan efek terapetik yang bermakna. Indikasi utama antidepresan adalah
episode depresif berat. Gejala pertama yang akan membaik adalah pola tidur dan
nafsu makan yang buruk. Agitasi, ansietas, episode depresif, dan rasa putus asa
selanjutnya akan membaik. Gejala target lain adalah kurang tenaga, konsentrasi
buruk, ketidakberdayaan, dan menurunnya libido (Sadock, BA & Sadock, VA,
2010). Tabel 1 menguraikan golongan obat antidepresan dan contohnya (Maslim
R, 2014):
Tabel 1. Golongan Obat Anti-Depresi
Golongan Obat Contoh Obat

Trisiklik Amitriptyline, Imipramine

Tetrasiklik Maprotiline, Mianserin

MAOI-Reversible Moclobemide

SSRI Setraline, Fluoxetine, Citalopram


SNRI Venlafaxine, Duloxetine

Melatonergic Agomelatine

Atipikal Trazodone, Mirtazapine

Mekanisme kerja obat anti-depresi adalah menghambat reuptake aminergic


neurotransmitter dan menghambat penghancuran oleh enzim monoamine
oksidase. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah neurotransmitter
aminergic tersebut pada celah sinaps neuron sehingga meningkatkan aktivitas
reseptor serotonin. Mekanisme kerja obat anti-depresi dapat digambarkan seperti
gambar 1 (Maslim R, 2014).

Gambar 1. Cara Kerja Obat Anti Depresi

Berikut adalah algoritma untuk menatalaksana pasien gangguan depresi


berat (Gambar 2) (Sadock, BA & Sadock, VA, 2010).
Gambar 2. Algoritma Tatalaksana Episode Depresi Berat
II.7. Prognosis
Episode gangguan pertama depresi berat yang dirawat di rumah sakit
angka kesembuhannya sekitar 50 persen pada tahun pertama. Depresi berat juga
sering kambuh, yakni sekitar 25 persen pada 6 bulan setelah keluar rumah sakit,
30 sampai 50 persen setelah 2 tahun pertama, dan sekitar 50 sampai 70 persen
dalam periode 5 tahun.
Kemungkinan prognosis baik bila episode ringan, tidak ada gejala
psikotik, waktu rawat inap yang singkat, indicator psikososial meliputi
mempunyai teman akrab selama remaja, fungsi keluarga stabil, fungsi social baik
5 tahun sebelum sakit. Selain itu juga tidak ada komorbiditas dengan gangguan
psikiatri lain, tidak lebih dari sekali rawat inap dengan depresi berat, onset awal
pada usia lanjut. Kemungkinan prognosis buruk bila depresi berat bersamaan
dengan distimik, penyalahgunaan alkohol dan zat lain, ditemukan gejala cemas,
ada riwayat lebih dari sekali episode depresi sebelumnya (Elvira & Hadisukanto,
2017)

II.8. Depresi pada Mahasiswa Kedokteran


Sekolah kedokteran merupakan lingkungan yang memiliki tingkat stress
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan lingkungan lainnya. Penelitian
menunjukkan bahwa mahasiswa kedokteran mangalami kejadian depresi dan
burnout yang lebih tinggi dibanding populasi umum (Kroska et. al, 2017). Studi
meta-analisis multi negara yang dilakukan oleh Rotenstein et. al pada tahun 2016
menunjukkan bahwa depresi terjadi pada 27,2% mahasiswa kedokteran, dengan
11,1% diantaranya pernah memikirkan ide bunuh diri. Dari seluruh mahasiswa
kedokteran yang mengalami depresi, hanya 15,7% yang berobat (Rotenstein et. al,
2016).
Burnout dikategorikan sebagai kelelahan emosional kronik,
depersonalisasi yang tinggi dan ketidakefektifan profesional, yang berkaitan
dengan lingkungan sosial yang kritis dalam lingkungan pekerja kesehatan.
Kelelahan emosional adalah salah satu respons dari stres ketika orang merasa
kewalahan oleh tuntutan pekerjaan tetapi kekurangan sumber daya emosional atau
fisik untuk mengatasi tuntutan tersebut. Depersonaliasi merepresentasikan
komponen konteks interpersonal yang merujuk pada respon negatif, keras hati,
atau sangat tidak terikat pada berbagai aspek pekerjaan. Kurangnya efektivitas
profesional adalah perasaan tidak kompeten, kurang dapat direduksi atau kurang
berprestasi (Puranitee et. al, 2019).
Di banyak kasus burnout dipicu oleh ketidaksesuaian antara ekspektasi
dan cita-cita karyawan dan persyaratan aktual dari posisi mereka. Faktor risiko
burnout dapat dibagi menjadi dua kategori: (1) Faktor risiko terkait individu
seperti memiliki harga diri yang buruk, tidak dapat adaptasi, ekspektasi tinggi
yang tidak realistis, dan masalah keuangan. (2) Faktor risiko organisasi seperti
konflik dengan rekan kerja, beban kerja yang berat, perubahan kelembagaan yang
cepat, berkurangnya sumber daya dan variabilitas dalam jadwal kerja. Sekitar
40% dari dokter spesialis kesehatan jiwa mengalami burnout. Dokter spesialis
emergency medicine memiliki prevalensi yang lebih tinggi yaitu sekitar 60%.
Prevalensi burnout pada dokter umum adalah 40% sampai 60%. Pada mahasiswa
kedokteran apabila terjadi burnout akan menyebabkan adanya distress dan
disfungsi emosional yang tinggi, munculnya gejala depresi dan meningkatnya ide
untuk bunuh diri (Amir et. al, 2018).
Selain faktor internal yang mempengaruhi stres psikologis pada populasi
umum (jenis kelamin, ciri-ciri kepribadian, kepercayaan, dll), penelitian
sebelumnya telah mencatat bahwa sebagian besar mahasiswa kedokteran memiliki
faktor eksternal unik yang berbeda dari mahasiswa fakultas lain. Faktor-faktor ini
diklasifikasikan sebagai stressor akademis dan non-akademis (psikososial dan
sosio-demografis). Stresor akademik meliputi: kesulitan dengan memahami dan
mempelajari silabus baru, kesulitan membaca buku teks, beban kerja tinggi,
kurikulum yang ekstensif, jam belajar yang panjang, kurangnya waktu luang atau
rekreasi; kualitas proses pendidikan yang buruk di perguruan tinggi; jadwal yang
tidak teratur, frekuensi ujian, persaingan dengan teman sebaya, dan kekhawatiran
mengenai dengan prestasi akademik atau prestasi/ketakutan akan kegagalan.
Stresor psikososial meliputi: harapan orang tua yang tinggi; sakit di rumah;
tempat tinggal baru; tekanan finansial; ketakukan akan kegagalan masa depan
dalam karir medis. Stresor sosio-demografis meliputi: jenis kelamin (pria dan
perempuan); merokok; penyalahgunaan zat, status perkawinan; kuliah sambal
bekerja; tingkat pendidikan orang tua; latar belakang budaya dan status sosial
ekonomi keluarga. Stressor tersebut dapat menyebabkan kecemasan, depresi,
kualitas tidur yang buruk, penurunan prestasi akademik, penyalahgunaan alkohol
dan zat, kepuasan hidup berkurang, hilangnya kepercayaan diri, penurunan
kualitas hidup dan gangguan kejiwaan atau bahkan ide/upaya bunuh diri (Fawzy,
M & Hamed, SA, 2017).
Kondisi stress sebelum episode depresi pertama dapat menyebabkan
perubahan biologi otak yang bertahan lama. Hal ini menyebabkan perubahan
berbagai neurotransmitter dan sistem sinyal intranueron, termasuk hilangnya
beberapa neuron dan penurunan kontak sinaps (Elvira & Hadisukanto, 2017).
Otak mengandung sejumlah besar neuron noradrenergik, serotonergik, dan
dopaminergic, yang disbut sistem monoaminergik. Neuron noradrenergik
menyebar dari batang otak ke hampir semua area otak tempat norepinefrin (NE)
memodulasi fungsi korteks prefrontal, pemrosesan memori kerja dan mengatur
perilaku dan perhatian. NE juga berperan dalam akuisisi ingatan yang
membangkitkan emosi. Serotonin (5-hydroxytryptamine: 5HT) menginervasi
semua area otak dan merupakan sistem neurotransmitter kohesif terbesar di otak,
sementara Dopamin (DA) memodulasi fungsi penghargaan dan motivasi, memori
kerja dan perhatian. Sistem monoaminergik terbukti berperan penting dalam
banyak gejala perilaku depresi, seperti suasana hati yang buruk, kewaspadaan,
motivasi berkurang, kelelahan, dan psikomotor agitasi atau retardasi (Jesulola et.
al, 2017).
Perubahan tingkat 5HT otak telah dikaitkan dengan perubahan dalam
fungsi perilaku dan somatik (termasuk nafsu makan, tidur, seks, respons nyeri,
suhu tubuh dan irama sirkadian) yang terlihat pada depresi. Demikian pula,
kelainan DA telah dikaitkan dengan gangguan motivasi, konsentrasi dan agresi,
sedangkan transmisi dopamine dapat meningkatkan hasil kognitif termasuk
pengambilan keputusan dan motivasi. Tingkat NE yang rendah (bersama dengan
5HT dan DA) juga mengakibatkan gejala depresi spektrum luas termasuk
hubungan seksual, nafsu makan, agresi, konsentrasi, minat, dan motivasi (Jesulola
et. al, 2017).

Gambar 3. Patofisiologi Episode Depresi Berat

Hipotesis ini juga dikenal sebagai hipotesis monoamine dan mengusulkan


bahwa berkurangnya ketersediaan neurotransmitter monoamine tersebut (5HT,
NE, dan DA) menyebabkan penurunan neurotransmisi dan gangguan kinerja
kognitif yang dapat menyebabkan depresi. Dalam hipotesis monoamine, terjadi
defisiensi fungsional neurotransmiter ini melalui efek degradasi monoamine
oksidase di celah sinaptik. Tindakan berkelanjutan dari sistem enzim ini
menghasilkan penurunan yang signifikan dalam ketersediaan amin biogenik di
celah sinaptik, sehingga mengakibatkan penurunan neurotransmisi seperti yang
terlihat pada depresi. Maka dari itu pengobatan depresi juga memfokuskan untuk
menjaga kadar neurotransmitter tersebut untuk tetap tinggi di celah sinaptik
(Jesulola et. al, 2017).

BAB III
KESIMPULAN

III.1. Kesimpulan
Gangguan depresi termasuk dalam gangguan mood, dimana pasian dalam
keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat, merasa
bersalah, sulit berkonsentrasi, mengalami hilangnya nafsu makan, berpikir mati
atau bunuh diri, juga adanya perubahan tidur dan aktivitas. Depresi dapat
diakibatkan oleh beberapa faktor, salah satunya faktor psikososial, yaitu peristiwa
kehidupan dan stress lingkungan. Mahasiswa kedokteran mangalami kejadian
depresi dan burnout yang lebih tinggi dibanding populasi umum. Pada mahasiswa
kedokteran apabila terjadi burnout akan menyebabkan adanya distress dan
disfungsi emosional yang tinggi, munculnya gejala depresi dan meningkatnya ide
untuk bunuh diri. Penting untuk menerapkan tatalaksana yang tepat baik secara
psikososial maupun farmakoterapi untuk mengobati pasien secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA

Amir E, Kumari S, Olivetta U, Mansoor M (2018), “Burnout and Depression


among Medical Students at Historically Black Colleges and Universities
(HBCU) Hospital System”. Int J Psychol Behav Anal 4: 151

Elvira, SD & Hadisukanto, G 2017. Buku Ajar Psikiatri Edisi 3. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.h.259-74

Fawzy, M., & Hamed, S. A. (2017). “Prevalence of psychological stress,


depression and anxiety among medical students in Egypt”. Psychiatry
Research, 255, 186–194.

Jesulola, E., Micalos, P., & Baguley, I. J. (2018). “Understanding the


pathophysiology of depression: From monoamines to the neurogenesis
hypothesis model - are we there yet?” Behavioural Brain Research, 341, 79–
90

Kroska, E. B., Calarge, C., O’Hara, M. W., Deumic, E., & Dindo, L. (2017).
“Burnout and depression in medical students: Relations with avoidance and
disengagement”. Journal of Contextual Behavioral Science, 6(4), 404–408

Maslim, R 2019, Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III, DSM-


V, dan ICD 11, Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya

Maslim, R 2014, Panduan Praktis, Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Edisi


2014, Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya

Pacheco, J. P. G., Silveira, J. B., Ferreira, R. P. C., Lo, K., Schineider, J. R.,
Giacomin, H. T. A., & Tam, W. W. S. (2019). “Gender inequality and
depression among medical students: A global meta-regression analysis”.
Journal of Psychiatric Research

Puranitee, P., Saetang, S., Sumrithe, S., Busari, J., O., Mook, W. N. K. A. V.,
Heeneman, S (2019). “Exploring burnout and depression of Thai medical
students: the psychometric properties of Maslach burnout inventory”.
International Journal of Medical Education; 10;223-229

Sadock BJ & Saadock VA, 2010, Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis
Edisi 2, Jakarta: EGC

Rotenstein, L. S., Ramos, M. A., Torre, M., Segal, J. B., Peluso, M. J., Guille, C.,
Sen, S., Mata, D. A. (2016). “Prevalence of Depression, Depressive
Symptoms, and Suicidal Ideation Among Medical Students”. JAMA, 316(21),
2214.
Vargas, M., Talledo-Ulfe, L., Heredia, P., Quispe-Colquepisco, S., & Mejia, C. R.
(2018). “Influence of habits on depression in the Peruvian medical student:
Study in seven administrative regions.” Revista Colombiana de Psiquiatría
(English Ed.), 47(1), 32–36.

Anda mungkin juga menyukai