Disusun oleh :
dr. Ismaniah
Pendamping :
Halaman
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI i
BAB IV PEMBAHASAN...................................................................... 25
BAB V PENUTUP.................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA
i
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan depresi adalah suatu gangguan berulang dan serius terkait dengan menurunnya
fungsi dan kualitas hidup, morbiditas medis, dan kematian. WHO menempatkan depresi sebagai
peringkat keempat penyebab disabilitas di seluruh dunia, dan diperhitungkan pada tahun 2020, akan
menjadi penyebab utama yang kedua. 1,2
Depresi merupakan gangguan jiwa yang makin meningkat angka kejadiannya di berbagai
belahan dunia seiring dengan berjalannya waktu. Pasien dengan mood terdepresi merasakan hilangnya
energi dan minat, perasaan bersalah, kesulitan berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, dan pikiran
tentang kematian atau bunuh diri. 3
Menurut Riskesdas (2007) sebanyak 19 juta penduduk (11,6%) Indonesia mengalami
gangguan mental emosional (cemas dan depresi). Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatrik
yang sering ditemukan dengan prevalensi seumur hidup adalah kira kira 15%. Secara global,
prevalensi gangguan depresi berat pada wanita dua kali lebih besar dari pria. Pada umumnya onset
untuk gangguan depresi berat adalah pada usia 20 sampai 50 tahun, namun yang paling sering adalah
pada usia 40 tahun. Depresi berat juga sering terjadi pada orang yang tidak menikah dan bercerai atau
berpisah. 4
Berdasarkan hasil penelitian sejumlah studi pada pasien depresi yang dirawat oleh spesialis,
hampir 50% pasien tidak sembuh dalam kurun waktu 6 bulan dan 10% memiliki perjalanan penyakit
yang kronis. Para peneliti meyakini bahwa lebih dari setengah kasus bunuh diri terjadi pada orang
yang mengalami depresi. Hal tersebut menunjukkan bahwa depresi dapat memiliki efek yang
menghancurkan.2
Pada kebanyakan orang, gangguan depresi ini dapat diobati. Ketersediaan pengobatan yang
efektif dan pemahaman yang lebih baik tentang dasar biologis terjadinya depresi dapat mengurangi
hambatan dalam deteksi dini, diagnosis yang akurat serta keputusan untuk mencari perawatan medis.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2. Epidemiologi
Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur hidup sekitar 15
persen. Perempuan dapat mencapai 25%. Sekitar 10% perawatan primer dan 15% dirawat di rumah
sakit. Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2%. Pada usia remaja didapatkan prevalensi 5%
dari komunitas memiliki gangguan depresif berat. 7
1. Jenis Kelamin
Perempuan 2x lipat lebih besar disbanding laki-laki. Diduga adanya perbedaan hormon,
pengaruh melahirkan, perbedaan stresor psikososial antara laki-laki dan perempuan, dan model
perilaku yang dipelajari tentang ketidakberdayaan. 7
Pada pengamatan yang hampir universal, terdapat prevalensi gangguan depresif berat yang dua
kali lebih besar ada wanita dibandingkan dengan laki-laki. Pada penelitian lain disebutkan bahwa
wanita 2 hingga 3 kali lebih rentan terkena depresi dibandingkan laki-laki.Walaupun alasan adanya
perbedaan tersebut tidak diketahui, alasan untuk perbedaan tersebut didalilkan sebagai keterlibatan
dari perbedaan hormonal, efek kelahiran, perbedaan stressor psikososial dan model perilaku
keputusasaan yang dipelajari.3,8
4
Pada penelitian yang dilakukan NIMH (2002) ditemukan bahwa prevalensi yang tinggi pada
wanita dibandingkan pria kemungkinan dikarenakan adanya ketidakseimbangan regulasi hormon yang
langsung mempengaruhi substansi otak yang mengatur emosi dan mood contohnya dapat dilihat pada
situasi PMS (Pre Menstrual Syndrome). Untuk wanita yang telah menikah, depresi dapat diperparah
dengan masalah keluarga dan pekerjaan, merawat anak dan orangtua lanjut usia, kekerasan dalam
rumah tangga dan kemiskinan.
2. Usia
Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% onset diantara usia 20-50 tahun. Gangguan
depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut usia. Data terkini menunjukkan gangguan
depresi berat diusia kurang dari 20 tahun. Mungkin berhubungan dengan meningkatnya pengguna
alkohol dan penyalahgunaan zat dalam kelompok usia tersebut.7
Pada umumnya, rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah kira-kira 40 tahun,
dimana 50% dari semua pasien mempunyai onset antara usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif
berat juga memiliki onset selama masa anak-anak atau pada lanjut usia. Beberapa data epidemiologis
menyatakan bahwa insidensi gangguan depresif berat mungkin meningkat pada orang-orang yang
berusia kurang dari 20 tahun. 3 Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Akhtar (2007) didapatkan
bahwa tingkat prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok usia 20-24 tahun (14,3%) dan yang terendah
pada kelompok usia >75 tahun (4,3%), sementara data yang didapatkan dari NIMH (2002)
menyebutkan bahwa tingkat depresi terbanyak ditemukan pada kelompok usia >18 tahun (10%).
3. Status Perkawinan
Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan interpersonal yang erat atau
pada mereka yang bercerai atau berpisah. Wanita yang tidak menikah memiliki kecenderungan lebih
rendah untuk menderita depresi dibandingkan dengan wanita yang menikah namun hal ini berbanding
terbalik untuk laki-laki.7
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang yang tidak memiliki
hubungan interpersonal yang erat, pasangan yang bercerai atau berpisah. Penelitian yang dilakukan
oleh Akhtar (2007) memperlihatkan bahwa prevalensi tertinggi dari depresi didapatkan pada pasangan
yang bercerai atau berpisah.3,8
5
4. Faktor Sosioekonomi dan Budaya
Tidak ditemukan korelasi antara status sosioekonomi dan gangguan depresi berat. Depresi
lebih sering terjadi di daerah pedesaan disbanding daerah perkotaan. 7
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Academy on An Aging Society (2000)
didapatkan data bahwa pada kelompok responden dengan pendapatan rendah ditemukan tingkat
depresi yang cukup tinggi yaitu sebesar 51%. Pada penelitian Akhtar (2007) ditemukan tingkat depresi
terendah pada kelompok pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar (9,1%) dan sebaliknya
tingkat depresi yang tertinggi ditemukan pada responden dengan kelompok pendidikan yang lebih
tinggi sebesar (13,4%). Walaupun hasil ini dapat menjadi indikasi adanya perbedaan tingkat depresi
pada tingkat pendidikan, namun hal tersebut tidak memiliki korelasi positif dengan terjadinya
gangguan depresif. 3,8
2.3 Etiologi
2. Faktor Biokmia
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam metabolit amin
biogenik yang mencakup neurotransmitter norepinefrin, serotonin dan dopamine (Gambar 2.1.4.1).
Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa selain faktor neurotransmitter yang telah disebutkan di
atas, ada beberapa penyebab lain yang dapat mencetuskan timbulnya depresi yaitu neurotransmitter
6
asam amino khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptida neuroaktif, regulasi
neurendokrin dan neuroanatomis.3
Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan terutama oleh adanya kelainan
pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon pertumbuhan. Selain itu kelainan lain yang telah digambarkan
pada pasien dengan gangguan mood adalah penurunan sekresi nocturnal melantonin, penurunan
pelepasan prolaktin terhadap pemberian tryptophan, penurunan kadar dasar FSH (Follicle Stimullating
Hormon) dan LH (Luteinizing Hormon), dan penurunan kadar testosteron pada laki-laki.9
7
Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi katekolamin pada
reseptor otak. Reserpin yang menekan amina otak diketahui kadang-kadang
menimbulkan depresi lambat.5
Disamping itu, MHPG (Metabolit primer noradrenalin otak) menurun dalam
urin pasien depresi sewaktu mereka mengalami episode depresi dan meningkat di saat
mereka gembira.5
b. Hipotesis Indolamin
Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5-hidroxitriptamin (5
HT). metabolit utamnya asam 5-hidroksi indolasetat (5HIAA) menurun dalam LCS
pasien depresi, dan 5 HIAA rendah pada otak pasien yang bunuh diri. L-Triptofan,
yang mempunyai efek antidepresi meningkatkan 5HT otak. 5
3. Faktor Hormon
Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol dan kegagalan menekan
sekresi kortisol sesudah pemberian dexametason. Pasien depresi resisten terhadap penekanan
dexametason dan hasil abnormal ini didapatkan pada sekitar 50% pasien, terutama pada pasien dengan
depresi bipolar, waham dan ada riwayat penyakit ini dalam keluarga.5
Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan pruerperium atau menopause. Bunuh diri
dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum menstruasi. Selama penyakit afektif berlangsung sering
timbul amenore. Hal ini menggambarkan bahwa gangguan endokrin mungkin merupakan faktor
penting dalam menentukan etiologi.5
4. Faktor Kepribadian Premorbid
Personalitas siklotimik menjadi sasaran gangguan afek ringan selama hidupnya, keadaan ini
tidak berhubungan dengan penyebab eksterna. Kepribadian depresi ditunjukkan dengan perilaku
murung, pesimis dan kurang bersemangat. Personalitas hipomania berperilaku lebih riang, energetik
dan lebih ramah dari rata-rata.7
Mereka dengan rasa percaya diri rendah, senantiasa melihat dirinya dan dunia luar dengan
penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami stres besar, mereka cenderung akan mengalami depresi.
Para psikolog menyatakan bahwa mereka yang mengalami gangguan depresif mempunyai riwayat
pembelajaran depresi dalam pertumbuhan perkembangan dirinya. Mereka belajar seperti model yang
8
mereka tiru dalam keluarga, ketika menghadapi masalah psikologik maka respon mereka meniru
perasaan, pikiran dan perilaku gangguan depresif. Orang belajar dengan proses adaptif dan maladaptif
ketika menghadapi stres kehidupan dalam kehidupannya di keluarga, sekolah, sosial dan lingkungan
kerjanya. Faktor lingkungan mempengaruhi perkembangan psikologik dan usaha seseorang mengatasi
masalah. Faktor pembelajaran sosial juga menerangkan kepada kita mengapa masalah psikologik
kejadiannya lebih sering muncul pada anggota keluarga dari generasi ke generasi. Jika anak
dibesarkan dalam suasana pesimistik, dimana dorongan untuk keberhasilan jarang atau tidak biasa,
maka anak itu akan tumbuh dan berkembang dengan kerentanan tinggi terhadap gangguan depresif.7
5. Faktor Lingkungan
Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih banyak peristiwa dalam
hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak memuaskan dan mereka keluar dari lingkungan social.
80% serangan pertama depresi didahului oleh stress, tetapi angka ini akan jatuh menjadi hanya 50%
pada serangan berikutnya. Pasien depresi diketahui juga lebih sering pada anak yang kehilangan orang
tua di masa kanak-kanak dibandingkan dengan populasi lainnya.5
Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai, pekerjaan tempatnya
berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal, sakit kronis dan krisis dalam keluarga merupakan
pemicu episode gangguan depresif. Seringkali kombinasi faktor biologik, psikologik dan lingkungan
merupakan campuran yang membuat gangguan depresif muncul. 7
Satu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi adalah bahwa peristiwa kehidupan yang
menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood daripada episode
selanjutnya. Satu teori yang diajukan untuk menjelaskan pengamatan tersebut adalah bahwa stress
yang menyertai episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama. Perubahan
yang bertahan lama tersebut dapat meyebabkan perubahan keadaan fungsional berbagai
neurotransmitter dan sistem pemberi sinyal intraneuronal. Hasil akhir dari perubahan tersebut akan
menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk menderita episode gangguan
mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya stresor external.3,7
2.4 Klasifikasi
1. Episode Depresif
9
Pada semua tiga variasi dari episode depresif khas yang tercantum di bawah ini:
ringan, sedang dan berat, individu biasanya menderita suasana perasaan (mood) yang
depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energy yang menuju
meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas. Biasanya ada rasa lelah
yang nyata sesudah kerja sedikit saja. Gejala lazim lainnya adalah. 10
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada episode tipe ringan
sekalipun)
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang
Suasana perasaan (mood) yang menurun itu berubah sedikit dari hari ke hari, dan
sering kali tak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya, namun dapat memperlihatkan variasi
diurnal yang khas seiring berlalunya waktu. Sebagaimana pada episode manik, gambaran
klinisnya juga menunjukkan variasi individual yang mencolok, dan gambaran tak khas
adalah lumrah, terutama di masa remaja. Pada beberapa kasus, anxietas, kegelisahan dan
agitasi motorik mungkin pada waktu-waktu tertentu lebih menonjol daripada depresinya,
dan perubahan suasana perasaan (mood) mungkin juga terselubung oleh cirri tambahan
seperti iritabilitas, minum alkohol berlebih, perilaku histrionik, dan eksaserbasi gejala
fobik atau obsesif yang sudah ada sebelumnya, atau oleh preokupasi hipokondrik. Untuk
episode depresif dari ketiga-tiganya tingkat keparahan, biasanya diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih
pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat. 10
Beberapa di antara gejala tersebut di atas mungkin mencolok dan
memperkembangkan cirri khas yang dipandang secara luas mempunyai makna klinis
khusus. Contoh paling khas dari gejala somatik ialah kehilangan minat atau kesenangan
pada kegiatan yang biasanya dapat dinikmati, tiadanya reaksi emosional terhadap
lingkungan atau peristiwa yang biasanya menyenangkan, bangun pagi lebih awal 2 jam
atau lebih daripada biasanya, depresi yang lebih parah pada pagi hari, bukti objektif dari
10
retardasi atau agitasi psikomotor yang nyata (disebutkan atau dilaporkan oleh orang lain),
kehilangan nafsu makan secara mencolok, penurunan berat badan (sering ditentukan
sebagai 5% atau lebih dari berat badan bulan terakhir), kehilangan libido secara mencolok.
Biasanya, sindrom somatik ini hanya dianggapp ada apabila sekitar empat dari gejala itu
pasti dijumpai. 3,10
Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 terssebut di atas,
disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Wahamnya biasanya melibatkan ide
tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan pasien dapat merasa
bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara
yang menghina atau menuduh atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi
psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi
dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan suasana perasaan (mood). 3,10,11
Diagnosis banding. Stupor depresif perlu dibedakan dari skizofrenia katatonik,
stupor disosiatif, dan bentuk stupor organik lainnya. Kategori ini hendaknya hanya
digunakan untuk episode depresif berat tunggal dengan gejala psikotik; untuk episode
selanjutnya harus digunakan subkategori gangguan depresif berulang. 3,10,11
12
depresif (khususnya jenis somatik) yang berfluktuasi dengan gejala non diagnostik seperti
ketegangan, keresahan dan penderitaan; dan campuran gejala depresif somatik dengan
nyeri atau keletihan menetap yang bukan akibat penyebab organik (seperti yang kadang-
kadang terlihat pada pelayanan rumah sakit umum). 3,10,11
Episode depresi. Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energy adalah gejala
utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya sedih, tidak mempunyai harapan,
13
dicampakkan, atau tidak berharga. Emosi pada mood depresi kualitasnya berbeda dengan emosi duka
cita atau kesedihan yang normal.5
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat, merasa
bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala
lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetative
(termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu
menghasilkan hendaya interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan. 7
Adapun gambaran klinik dari pasien depresi ini antara lain7:
1. Adanya gejala psikologis berupa penurunan vitalitas umum, yang mungkin dinyatakan
pasien sebagai suatu kehilangan dan sedih. Biasanya dia menarik diri dari kehidupan
sosialnya. Segala sesuatu kelihatannya tanpa harapan, selalu murung, ansietas mungkin ada
atau pasien mungkin mencoba untuk menyembunyikan keluhannya (depresi senyum).
2. Variasi diurnal, dimana semua gejala cenderung memburuk pada dini hari dan membaik di
siang hari.
3. Bunuh diri, dapat menjadi tanda awal penyakit. Kemungkinan bunuh diri sulit diduga
sebelumnya, tetapi selalu harus diperhitungkan. Pikiran bunuh diri seharusnya selalu
ditanyakan dan jika ada harus dianggap serius. Penderita depresi jarang membunuh
keluarganya, tetapi kalau terjadi biasanya karena dia merasa harus menyelamatkan
keluarganya dari kehidupan yang sengsara.
4. Retardasi atau perlambatan berpikir biasa ditemukan dan dicerminkan dalam pembicaraan
serta pergerakannya. Ada kemiskinan pikiran dan kesulitan berkonsentrasi. Pada kasus
lain agitasi mungkin menjadi gejala dominan, disertai dengan adanya kegelisahan motorik
yang nyata.
5. Perasaan bersalah sering ditemukan disertai mengomeli diri sendiri dan turunnya penilaian diri.
Dalam kasus berat, bisa timbul waham dimana penyakit yang dideritanya merupakan suatu
hukuman untuk dosanya di masa lampau, baik itu dosa yang dikhayalkannya maupun kesalahan
yang memang benar-benar pernah ia lakukan. Pasien juga bisa merasa bahwa dia dipandang
rendah dan dituduh bejad oleh orang lain. Kemungkinan ada keasyikan sendiri, hipokondriasis
dan waham hipokondria. Mungkin juga ada waham kemiskinan atau waham nihilistik.
6. Halusinasi jarang ditemukan, tetapi dapat timbul pada kasus berat.
14
7. Depersonalisasi dan derealisasi tidak jarang terjadi. Pasien menyatakan bahwa dia
kehilangan perasaan dan mempunyai sensasi asing. Dia merasa tidak nyata dan baginya
benda-benda terlihat tidak nyata.
8. Pikiran dan tindakan berisi perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri mungkin
ditemukan.
9. Insomnia sering ditemukan. Gejala khasnya pasien mula-mula bangun dini hari, kemudian
semakin lama semakin pagi dan bahkan akhirnya dapat menjadi insomnia total.
10. Anoreksia, konstipasi, gangguan pencernaan, penurunan berat badan, amenore dan
kehilangan libido biasa ditemukan. Mungkin terjadi kelelahan dan letargi, atau tanda
autonom ansietas.
Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua pertiga pasien
depresi, dan 10-15% melakukan bunuh diri. Mereka yang dirawat dirumah sakit dengan
percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri mempunyai umur hidup lebih panjang disbanding yang
tidak dirawat. Beberapa pasien depresi terkadang tidak menyadari ia mengalami depresi dan
tidak mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka menarik diri dari keluarga, teman
dan aktifitas yang sebelumnya menarik bagi dirinya. Hampir semua pasien depresi (97%)
mengeluh tentang penurunan energi dimana mereka mengalami kesulitan menyelesikan tugas,
mengalami kendala disekolah dan pekerjaan, dan menurunnya motivasi untuk terlibat dalam
kegiatan baru. Sekitar 80% pasien mengeluh masalah tidur, khusunya terjaga dini hari (terminal
insomnia) dan sering terbangun dimalam hari karena memikirkan masalh yang dihadapi.
Kebanyakan pasien menunjukkan peningkatan atau penurunan nafsu makan, demikian pula
dengan bertambah dan menurunnya berat badan serta mengalami tidur lebih lama dari yang
biasa.3,10,11
2.6 Diagnosis3,10,11,12
Konsep gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk kepada DSM-IV
dan konsep disability berasal dari The ICD-10 Classification of Mental and Behavioral
Disorders. Menurut PPDGJ (2003), gangguan afektif berupa depresi dapat terbagi menjadi
episode depresif dan episode depresif berulang, dimana episode depresif sendiri terbagi
menjadi episode depresif ringan, sedang, dan berat. Sedangkan untuk episode berulang terbagi
15
menjadi episode berulang episode kini ringan, episode kini sedang, episode kini berat tanpa
gejala psikotik, episode kini berat dengan gejala psikotik dan episode kini dalam remisi.
DSM-IV mendefinisikan sejumlah gangguan psikiatrik yang dapat diidentifikasi
(meskipun ada kemungkinan tumpang tindih) dan berisi kriteria diagnostik yang spesifik untuk
setiap diagnosis. Diagnosis dibuat berdasarkan kenyataan dari riwayat pasien yang khas dan
tampilan klinis yang cocok dan memenuhi sejumlah kriteria diagnostik yang ditentukan (suatu
diagnostik politetik, tidak perlu seluruh kriteria dipenuhi untuk membuat diagnosa).
DSM-IV telah memperbaiki reabilitas diagnosis (kemungkinan orang yang berbeda akan
membuat diagnosis yang sama pada pasien yang sama), tetapi hanya mempunyai dampak yang
sederhana terhadap validitas. Hal ini boleh jadi karena DSM-IV telah memecah kondisi
psikiatrik menjadi terlalu banyak bagian-bagian dan setiap bagian tidak mewakili suatu kondisi
yang sah. Walaupun DSM-IV dapat dipergunakan lintas kultural, penggunaannya pada situasi
tertentu memerlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan gejala-gejala.
Di samping kriteria yang ditentukan secara operasional, DSM-IV juga menggunakan
sistem klasifikasi multiaksial untuk menangkap informasi penting lainnya, yaitu:
1. Aksis I : Gangguan-gangguan klinis yang digambarkan di atas.
2. Aksis II : Gangguan-gangguan kepribadian atau retardasi mental
3. Aksis III : Gangguan-gangguan fisik yang berhubungan dengan
gangguan mental
4. Aksis IV : Daftar masalah psikososial dan lingkungan, bisaanya
selama setahun sebelumnya, tetapi tidak selalu demikian, seperti tidak punya pekerjaan,
perceraian, problem keuangan, korban penelantaran anak dan lain-lain.
DSM-IV telah menyusun gangguan mood tambahan baik di dalam badan teks dan didalam
appendiks. Gangguan-gangguan tersebut adalah sindrom yang berhubungan dengan depresi,
berupa gangguan depresif ringan (minor depressive diorder), gangguan depresif singkat rekuren,
dan gangguan disforik pramenstruasi. Pada gangguan depresif ringan keparahan gejala tidak
mencapai keparahan yang diperlukan untuk diagnosis gangguan depresif berat. Pada gangguan
depresif singkat rekuren gejala episode depresif memang mencapai keparahan gejala yang
diperlukan untuk diagnosis gangguan depresif berat tetapi hanya untuk waktu singkat, dengan
lama waktu yang tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat.
16
DSM-IV menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat secara terpisah dari
kriteria diagnostik untuk diagnosis berhubungan dengan depresi, dan juga menuliskan deskriptor
keparahan untuk episode depresif berat.
Kepentingan yang potensial untuk mengenali ciri melankolik dari gangguan depresif
berat adalah untuk mengidentifikasi suatu kelompok pasien yang dinyatakan oleh beberapa
data adalah lebih responsive terhadap terapi farmakologi daripada pasien nonmelankolik.
Selain dari klasifikasi yang telah dipaparkan di atas, ada beberapa instrumen-instrumen
pengukur tingkat depresi dapat digunakan untuk membantu memberikan penilaian yang
objektif terhadap kondisi depresi yang dialami oleh pasien. Berikut ini adalah beberapa
instrumen yang sering digunakan, yaitu:
a. Beck’s Depression Inventory
b. Hamilton Depression Scale
c. The Zung Self-Rating Depression Scale
Beck Depression Inventory (BDI) adalah tes depresi untuk mengukur keparahan dan
kedalaman dari gejala – gejala depresi seperti yang tertera dalam the American Psychiatric
Association's Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition (DSM-
17
IV) pada pasien dengan depresi klinis. BDI dapat digunakan untuk dewasa ataupun remaja
yang berumur 13 tahun ke atascan be used for both adults and adolescents 13 years of age and
older, dan merupakan sebuah ukuran standar dari depresi yang terutama digunakan dalam
penelitian dan untuk mengevaluasi dari efekttivitas pengobatan dan terapi.
BDI tidak dapat digunakan sebagai instrumen untuk mendiagnosis, tetapi lebih kepada
identifikasi dari adanya depresi dan tingkat keparahannya sesuai dengan criteria dari DSM-IV.
Pertanyaan-pertanyaan yang tertera pada BDI II menilai gejala-gejala khas dari depresi seperti
gangguan mood, pesimisme, perasaan gagal, ketidakpuasan diri, perasaan bersalah, merasa
dihukum, ketidaksukaan terhadap diri sendiri, pendakwaan terhadap diri, pikiran untuk bunuh
diri, menangis, irittabilitas, penarikan diri dari kehidupan sosial, gambaran tubuh, kesulitan
bekerja, insomnia, kelelahan, nafsu makan, kehilangan berat badan dan kehilangan libido.
2.8 Penatalaksanaan3,12,13,14
Pengobatan pasien dengan gangguan mood harus diamanahkan pada sejumlah tujuan. Pertama,
keamanan pasien harus terjamin. Kedua, pemeriksaan diagnostik yang lengkap pada pasien harus
dilakukan. Ketiga, suatu rencana pengobatan harus dimulai yang menjawab bukan hanya gejala
sementara tetapi juga kesehatan pasien selanjutnya.
Dokter harus mengintegrasikan farmakoterapi dengan intervensi psikoterapeutik. Jika dokter
memandang gangguan mood pada dasarnya berkembang dari masalah psikodinamika, ambivalensi
mengenai kegunaan obat dapat menyebabkan respons yang buruk, ketidakpatuhan, dan kemungkinan
dosis yang tidak adekuat untuk jangka waktu yang singkat. Sebaliknya, jika dokter mengabaikan
kebutuhan psikososial pasien, hasil dari farmakoterapi mungkin terganggu
1. Terapi Farmakologis
Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam efek farmakologisnya.
Variasi tersebut merupakan dasar untuk pengamatan bahwa pasien individual mungkin
berespons terhadap antidepresan lainnya. Variasi tersebut juga merupakan dasar untuk
membedakan efek samping yang terlihat pada antidepresan.
Pembedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah pada proses farmakologis
yang terjadi, dimana ada antidepresan yang memiliki efek farmakodinamika jangka pendek
utamanya pada tempat ambilan kembali (reuptake sites) atau pada tingkat inhibisi enzim
18
monoamine oksidasi. bekerja untuk menormalkan neurotransmitter yang abnormal di otak
khususnya epinefrin dan norepinefrin. Antidepresan lain bekerja pada dopamin. Hal ini
sesuai dengan etiologi dari depresi yang kemungkinan diakibatkan dari abnormalitas dari
sistem neurotransmitter di otak (NIMH, 2002). Obat antidepresan yang akan dibahas
adalah antidepresi generasi pertama (Trisiklik dan MAOIs), antidepresi golongan kedua
(SSRIs) dan antidepresi golongan ketiga (SRNIs).
a. Trisiklik
Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum digunakan sebagai
pengobatan lini pertama untuk gangguan depresif berat (Kaplan, 2010). Golongan
trisiklik ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu trisiklik primer, tetrasiklik
amin sekunder (nortriptyline, desipramine) dan tetrasiklik tersier (imipramine,
amitriptlyne). Dari ketiga golongan obat tersebut, yang paling sering digunakan adalah
tetrasiklik amin sekunder karena mempunyai efek samping yang lebih minimal. Obat
golongan tetrasiklik sering dipilih karena tingkat kepuasan klinisi dikarenakan harganya
yang murah karena sebagian besar golongan dari obat ini tersedia dalam formulasi
generik.
Golongan obat trisiklik bekerja dengan menghambat reuptake neurotransmitter di
otak. Secara biokimia, obat amin sekunder diduga bekerja sebagai penghambat reuptake
norepinefrin, sedangkan amin tersier menghambat reuptake serotonin pada sinaps
neuron.hal ini mempunyai implikasi bahwa depresi akibat kekurangan norepinefrin
lebih responsive terhadap amin sekunder, sedangkan depresi akibat kekurangan
serotonin akan lebih responsive terhadap amin tersier.
2.9 Prognosis3,12,13
Gangguan mood cenderung memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan pasien
cenderung mengalami kekambuhan. Episode depresif yang tidak diobati berlangsung 6 sampai
13 bulan, sementara sebagian besar episode yang diobati berlangsung kira-kira 3 bulan.
Menghentikan antidepresan sebelum 3 bulan hampir selalu menyebabkan kembalinya gejala.
Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan depresif berat
memiliki kemungkinan 50% untuk pulih dalam tahun pertama. Banyak penelitian telah
berusaha untuk mengidentifikasi indikator prognostik yang baik dan buruk di dalam perjalanan
gangguan depresif berat. Episode ringan, tidak adanya gejala psikotik, fungsi keluarga yang
stabil, tidak adanya gangguan kepribadian, tinggal dalam waktu singkat di rumah sakit dalam
waktu yang singkat, dan tidak lebih dari satu kali perawatan di rumah sakit adalah indikator
prognostik yang baik. Prognosis buruk dapat meningkat oleh adanya penyerta gangguan
distimik, penyalahgunaan alkohol dan zat lain, gejala gangguan kecemasan, dan riwayat lebih
dari satu episode sebelumnya.
21
III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Ny. L
Nomor RM : 30.87.23
Umur : 28 tahun
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Pasian datang dibawa oleh suaminya dengan kondisi badan lemas serta tidak mau bicara.
Suami mengatakan istrinya mulai mengalami perubahan sikap sejak sekitar 1 bulan terakhir.
Istrinya baru saja melahirkan anak kedua mereka pada bulan juni 2022 di RSDI. Suaminya
mengatan istrinya mulai kurang nafsu makan sekitar 1 bulan terakhir serta sering diam. Sekitar 1
minggu yang lalu suaminya pergi bekerja ke kaltim dan meninggalkan istri serta kedua anaknya
dirumah. Suami mengatakan istrinya menelfon meminta suaminya untuk pulang karena merasa
badan tidak enak, kepala terasa pusing, nafsu makan menurun, mual, serta muntah jika masuk
makanan, sedangkan istrinya harus memberi ASI kepada anaknya yang belum genap berusia
2bulan. Suami pulang dari kaltim pada malam selasa, saat dirumah suami mengatakan karena
istrinya tidak mau makan suami mencoba membelikan nasi goreng dan meminta istrinya untuk
22
makan, tetapi istri tidak mau makan, saat itu lah suami mulai berkata dengan nada tinggi dan
memaksa istri untuk makan, jika tidak dimakan maka nasi goreng akan di hamburkan oleh
suaminya. Setelah kejadian itu istri mulai semakin diam. Pada selasa sore sekitar pukul 3 sore
pasien izin dengan suaminya untuk BAB beberapa kali masuk kamar mandi dan ke2 kali masuk
kamar mandi istri lama berada didalam. Setelah keluar dari kamar mandi pasien lemas dan tidak
mau bicara, kemudian langsung dibaawa suaminya ke IGD RSDI tanpa melihat pergelangan
tangan istrinya, hanya saja suami menemukan surat yang berisi pesan wasiat istri untuk dirinya,
Saat sampai di IGD pasienkurang efektif diajak berbicara, saat ditanya pun masin hanya
diam dengan tatapan yang tmpak kosong serta apek muka yang datar, beberapa kali mata pasien
berlingang air mata saat coba ditanya. Suamipun saat megajak bicara tidak di respon oleh pasien.
Beberapa saat kemudian sekitar 1 jam pasien mulai bisa diajak berkomunikasi, os
mengatakan kalua dirinya merasakan badan tidak enak, kepala terasa pusing sekitar 1 mingguan
terakhir, serta telinga kiri terasa panas sudh berbuan bulan. Saat ditanya soal pergelangan tangan,
os menceritakan kalua saat pukul 3 sore tadi ada bisikan pada telingan kiri nya yang meminta
nya untuk masuk kekamar mandi, os pun menurutti untuk masuk kekamar mandi, ssat
dikamarmandi suara bisikan itu meminta nya untuk menyayat pergelangan tangna kirinya
kertas. saat tidak mau melakukan os merasa ada yang mendorongnya dari belakang sehingga os
terjatuh. Saat ditanya sejak kapan pasien mendengar bisikan os mengatakan baru kali ini yakni
sejak jam 3 sore itu, dan tidak ada melihat bayangan apa pun. Os juga mengeluh mual, muntah
TekananDarah : 109/73mmHg
Suhu : 36.7 °C
Respirasi : 22 kali/menit
c. Kepala/leher
Hidung : epistaksis (-), secret berlebih tidak ada, pernafasan cuping hidung (-
e. Toraks :
Pal : FV D=S
24
Per : sonor all regio pulmo
g. Abdomen :
Perkusi : timpani,.
- Superior dextra : jejas (-), pitting edema (-), parese (-), akral hangat
- Superior sinistra : jejas (-), pitting edema (-), parese (-), akral hangat
- Inferior dextra : jejas (-), pitting edema (-), parese (-), akral hangat
- Inferior sinistra : jejas (-) pitting edema (-), parese (-), akral hangat
Keadaan Spesifik
a. Keadaan afektif
Afek : tumpul
Mood : Hipotimik
b. Hidup emosi
Stabilitas : tidak Stabil
Dalam-dangkal : Normal
Pengendalian : tidak Terkendali
Adekuat-Inadekuat : Inadekuat
Echt-unecht : unecht
Skala diferensiasi : Menyempit
Einfuhlung : sukar dinilai
Arus emosi : lambat
V. PEMERIKSAAN LAIN
a. Pemeriksaan radiologi/foto thoraks : Tidak dilakukan
b. Pemeriksaan radiologi/ CT scan : Tidak dilakukan
c. Pemeriksaan darah rutin : Tidak dilakukan
d. Pemeriksaan laboratorium : dilakukan
e. Pemeriksaan urin : Tidak dilakukan
f. Pemeriksaan LCS : Tidak dilakukan
g. Pemeriksaan elektroensefalogram : Tidak dilakukan
27
Hasil Laboratorium (09/08/2022)
VII. DIAGNOSIS
VIII. TATALAKSANA
- IVFD NS 20tpm
28
PO: -Sertraline 50mg 1x1
- KAPSUL MALAM ( Risperidon 2mg + Trihexyphenidyl 1mg + clobazam 10mg) 1x1
IX. FOLLOW UP
Tanggal/
S O A P
Jam
29
14/08/22 Tidak mau KU : TSS - Depresi -ivfd Ns 20tpm
06.00 makn,mual,lemastdk GCS : berat -inj ranitidin /12j
bsa tidur,mendengar E4V5M6 dengan -inj
bisikan TD : gejala ondancentron/12j
98/72 psikotik PO:
mmHg Sentraline 50mg
HR : 2x1
86 Risperidone 2mg
x/meni Thp 1mg
t RR : Clobazam 10mg
27
x/meni
t Temp
: 36,2
Spo2:
99%
30
BAB IV
PEMBAHASAN
Telah dilaporkan sebuah kasus pasien dewasa perempuan usia 28 tahun, dengan diagnosis
Depresi berat dengan gejala psikotik, dirawat diruang parkit RSD Idaman Kota Banjarbaru
Depresi berat dengan gejala psikotik adalah depresi berat dengan gejala psikotik adalah
perasaan sedih, rasa lelah yang berlebihan setelah aktivitas rutin yang biasa, hilang minat dan
semangat, malas beraktivitas dan biasanya menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan
sosial, perkerjaan rumah dan urusan rumah tangga, gangguan pola tidur dan terdapat waham dan
disertai pasien malas untuk berbicara hanya diam saja. Serta kehilangan nafsu makan yang membuat
pasien makin kurus. Serta pasien sering diam dengan tatapan kosong kadang tampang sedih dengan
mata yang berkaca-kaca. Os juga memiliki halusinasi audiotorik yang memintanya untuk menyayat
pergelanan tangannya.
31
Pada pasien tidak terdapat riwayat dahulu seperti perasaan mood sangat senang, bersemangat
dan ingin selalu beraktivitas dan tidak ada perasaan cemas yang berlebihan. Serta pasien juga tidak
pernah mendengar suara bisikan. Sehingga diagnosis banding lainnya seperti gangguan afektif bipolar
dan gangguan skizoafektif tipe depresi dapat disingkirkan.
Penilaian diagnosis dinilai secara multiaksial menurut PPDGJ – III, yaitu:
1) Aksis I : F32.3 Episode depresi berat dengan gejala psikotik
2) Aksis II : Kepribadian
3) Aksis III : Tidak ada diagnosis
4) Aksis IV : ekonomi, keluarga
5) Aksis V : GAF Scale 50-41
Dilihat dari penilaian fungsi secara global, gangguan yang dialami pasien tergolong dalam skala
GAF scale GAF 50-41 karena pada pasien terdapat simptom yang tergolong berat, berupa keinginan
untuk bunuh diri.
Penderita ini mendapat terapi psikofarmaka dengan Persidalsentraline 50mg 1x1, kemudia kapsul
yg berisi (Risperidone 2 mg + Trihexyphenidyl 1 mg + clobazam). Sentraline merupakan obat
antidepresan yang menghambat “re-uptake aminergic neurotransmitter” dan menghambat
penghancuran oleh enzim “monoamine oxidase” sehingga terjadi peningkatan jumlah “aminergic
neurotransmitter” pada celah sinaps neuron yang dapat meningkatkan aktivitas reseptor serotonin2.
Dengan meningkatnya aktivitas serotonin maka gangguan pada keadaan emosional, tidur, nafsu
makan, energi dan ketertarikan dengan aktivitas sosial dapat teratasi.
Risperidone merupakan obat antipsikosis generasi kedua yang bekerja dengan memblokade
dopamin pada reseptor postsinaps neuron di otak sehingga efektif untuk gejala positif, serta berafinitas
dengan reseptor serotonin 5 HT2 sehingga efektif juga untuk gejala negatif. Sementara THP
digunakan untuk mengatasi gejala ekstrapiramidal akibat efek samping obat, seperti antipsikotik.
Gejala ekstrapiramidal tersebut antara lain tremor, tubuh kaku, gerakan tidak normal dan tidak
terkendali baik pada wajah maupun anggota tubuh lainnya, serta gelisah.
Selain terapi psikofarmaka, perlu juga dilakukan psikoterapi berupa ventilasi (memberikan
kesempatan kepada pasien untuk menceritakan masalahnya) dan konseling (meyakinkan pasien dapat
mengatasi masalahnya). Penting juga dilakukan sosioterapi yang melibatkan peran keluarga pasien
32
agar dapat memahami keadaan pasien sekarang ini dan mampu mengerti kebutuhan pasien serta terus
dapat menjaga hubungan dengan pasien.
33
BAB V
PENUTUP
Telah dilaporkan sebuah kasus depresi berat dengan gejala psikotik pada Ny. L yang
berusia 28 tahun. Pasien masuk ke IGD RSUD Idaman Banjarbaru pada tanggal 09 agustus 2022
pukul 18.00. Dari anamnesis didapatkan keluhan pasien badan lemas disertai tidak mau bicara.
Serta pasien mengalami perubahan sikap sejak 1 bulan yang lalu, mual (+)muntah(+)3x jika
makan sesuatu, pusing,telinga kiri terasa panas, serta mengeluh ada bisikan pada telinga kiri
34
DAFTAR PUSTAKA