Anda di halaman 1dari 9

Tinjauan Pustaka

IDENTIFIKASI ASAL USUL

Oleh :

Nurul Ainun A NIM 17309123-------

Ismaniah NIM 1730912320060

Penguji :

dr. Iwan Aflanie, M. Kes, Sp. F, S.H

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

FAKULTAS KEDOKTERAN ULM

RSUD ULIN BANJARMASIN

Juni, 2019
DAFTAR ISI

BAB I.............................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................1

BAB II...........................................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................

BAB III..........................................................................................................
KESIMPULAN..............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan


membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang.1,2 Penentuan identitas
korban seperti halnya penentuan identitas tersangka pelaku kejahatan merupakan
bagian terpenting dalam penyidikan.3,4 Identifikasi tersebut penting sekali
dilakukan terhadap korban meninggal karena merupakan perwujudan HAM dan
penghormatan terhadap orang yang sudah meninggal.5
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 133 ayat tiga
tertulis “Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap
mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi
cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat”.6
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa proses identifikasi merupaka hal yang
pentig untuk dilaksanakan sebelum proses selanjutnya yaitu pemeriksaan mayat
(otopsi).7,8
Identifikasi dapat dilakukan dalam tiga cara: visual (kerabat atau kenalan
melihat jenazah); data secara rinci (misalnya, data ante-mortem yang cocok
dengan informasi yang dikumpulkan selama autopsy dan informasi situasional
lainnya); dan secara ilmiah atau objektif (misalnya, pemeriksaan gigi, sidik jari,
atau DNA). Identifikasi tidak mutlak berdasarkan urutan diatas; jika
perlangsungan proses identifikasi menjadi lebih sulit, cara selanjutnya yang
dilakukan. Bila memungkinkan, identifikasi visual harus dilengkapi dengan salah
satu dari dua metode lain.9
Pada dasarnya, identifikasi terdiri dari dua metode utama, yaitu: 1)
identifikasi komparatif, yaitu bila selain data post mortem juga tersedia data ante
mortem, dalam suatu komunitas yang terbatas, dan 2) identifikasi rekonstruktif,
yaitu bila tidak tersedia data ante mortem dan komunitas tidak terbatas.7
Penentuan identifikasi personal dapat menggunakan metode identifikasi visual,
doukumen, properti, pemeriksaan medik, gigi, serologik, sidik jari, analisis DNA,
dan secara eksklusi. Identitas seseorang dapat dipastikan bila paling sedikit dua
metode yang digunakan memberikan hasil positif (tidak meragukan).1,10
Prosedur identifikasi mengacu pada prosedur DVI (Disaster Visum
Identification) Interpol. Proses DVI yang terdiri dari 5 fase yaitu The Scene, Post
Mortem Examination, Ante Mortem Information retrieval, Reconcilition dan
Debriefing.11,12,13
Pada fase pertama, tim awal yang datang ke TKP melakukan pemilihan
antara korban hidup dan korban mati selain juga mengamankan barang bukti yang
dapat mengarahkan oada pelaku apabila bencana terjadi merupakan bencana yang
diduga akibat ulah manusia. Pada korban mati diberikan label sebagai penanda.
Label yang harus memuat informasi tim pemeriksa, lokasi penemuan, dan nomor
tubuh/mayat. Label ini akan sangat membantu dalam proses penyidikan
selanjutnya.12,13,14
Fase kedua dalam prodses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Fase ini
dapat berlangsung bersaan dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini,
para ahli identifikasi, dokter forensik dan gigi forensic melakukan pemeriksaan
untuk mencari data postmortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan
terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat.
Dilakukan pula pengambilan jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data ii
dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar Interpol.11,12,13,14
Fase ketiga adalah fase epengumpulan data antemortem dimana ada tim
kecil yang menerima laporan oramg yang diduga menjadi korban. Tim ini
meminta masukan data sebanyak-banyaknya dari kelurga korban. Data yang
diminta mulai dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda
lahir,tato,tahi lalat, bekas operasi, dan lain-lain), data rekam medis dari dokter
keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang (kelurahan
atau kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya. Apabila tidak ada
data sidik DNA korban maka dilakukan pengambilan sampel darah dari keluarga
korban.Data Ante Mortem diisikan ke dalam yellow form berdasarkan standar
interfol.11,12,13,14
Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase keempat yaitu fase
rekonsiliasi apabila terdapat kecocokan antara data Ante Mortem dan Post Mortem
dengan kriteria minimal 1 macam Primary Identifiers atau 2 macam Secondary
Indentifiers.13,14
Setelah selesai keseluruhan proses identifikasi, dengan hasil memuaskan
maupun tidak, proses identifikasi korban bencana ini belumlah selesai. Masih ada
satu fase debriefing. Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses identifikasi
selesai. Pada fase debriefing, semua orang yang terlibat dalam proses identifikasi
berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap semua hal yang berkaitan dengan
pelaksaan proses identifikasi korban bencana, baik sara, prasarana, kinerja,
prosedur, serta hasil identifikasi. Hal-hal baik apa yang dapat terus dilakukan di
masa yang akan datang, apa yang bisa ditingkatkan, hal-hal apa yang tidak bpleh
terulang lagi dimasa datang, kesulitan apa yang ditemui dan apa yang harus
dilakukan apanila mendapatkan masalh yang sama dikemudian hari, adalah
beberapa hal yang wajib dibahas pada saat debriefing.13
Secara teoritis, kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar pada
setiap kasus bencana namun dalam kenyataannya sering kali menemui kendala
teknis, maupun nonteknis. Jumlah jenazah yang banyak, tempat penyimpanan
jenazah yang minim, waktu yang terbatas, jumlah forensic yang terbatas, otoritas
keluarga serta kurangnya koordinasi menimbulkan masalah dalam menerapkan
prosedur DVI secara konsisten.
5
BAB III
KESIMPULAN

Di Indonesia, angka kejadian bencana yang merenggut banyak nyawa


semakin meningkat. Kondisi ini tercermin dari pemberitaan media massa yang
seringkali memuat berita mengenai kejadian bencana, seperti aksi teror bom,
kecelakaan transportasi, gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan
gunung berapi, puting beliung, dan lain-lain. Bencana itu sendiri ada yang
merupakan bencana alam, seperti banjir, gempa, longsor, gunung meletus,
tsunami, serta angin topan. Ada pula bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia,
misalnya ledakan bom dan kecelakaan transportasi seperti pesawat jatuh, atau
kapal tenggelam. Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan
tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Prosedur
identifikasi mengacu pada prosedur DVI (Disaster Visum Identification) Interpol.
Proses DVI yang terdiri dari 5 fase yaitu The Scene, Post Mortem Examination,
Ante Mortem Information retrieval, Reconcilition dan Debriefing. Secara teoritis,
kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar pada setiap kasus bencana
namun dalam kenyataannya sering kali menemui kendala teknis, maupun
nonteknis. Jumlah jenazah yang banyak, tempat penyimpanan jenazah yang
minim, waktu yang terbatas, jumlah forensic yang terbatas, otoritas keluarga serta
kurangnya koordinasi menimbulkan masalah dalam menerapkan prosedur DVI
secara konsisten.
DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’im WAT, Sidhi, Hertian S, et


al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 1997.

2. Rajesh B. Principle of Forensic Medicine and Toxicology [monograph


online]. New Delhi: jaypeee Brother Medical, 2011 [cited 2012 Sept 16].
Availablefrom:http://www.jaypeedigital.com/BookDetails.aspx?
id=9789350254936&sr=1.

3. Ilmu Kedokteran Forensik Universitas Hasanudin. Identifikasi


Forensik[homepage on the internet]. Nodate [cited 2012 Agu 18]. Available
from:http//med.unhas.ac.id/forensic/index.php?
option=com_content&task=view&id=14&Itemid=1

4. Idries AM. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan.


Jakarta: CV Sagung Seto;2008.

5. Humas UA. Peran Dokter gigi dalam identifikasi korban bencana. Universitas
Airlangga [homepage on the internet]. 2008 [cited 2012 Ags 20]. Available
from: http//www.unair.ac.id/berita.unair.php?id=6963.

6. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 8


tahun 1981.

7. Sampurna B, Samsu Z, Siswaja TD. Peranan Ilmu Forensik dalam Penegakan


Hukum, sebuah Pengantar. Jakarta: Pustaka Dwipar, 2008.

8. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik (Edisi Pertama).. Jakarta:


Bina Rupa Aksara;1997.

9. Cordner S, McKelvie H. Developing standars in international forensic work


to identify missing persons [homepage on the internet]. 2002 [cited 2012 Aug
18]. Available from:
http://www.icrc.org/eng/assets/files/other/irrc_848cordner,pdf.

10. Singh S. Penatalakanaanidentifikasi korban bencana. Majalah Kedokteran


Nusantara [serial online]. 2008 [cited 2012 Aug 25];41(4):254-258. Available
from: http//repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18620/1/mkn-des2008-
41% 20%2811%29.pdf.

11. Pusponegoro AD, dkk., 2006, Identifikasi korban bencana massal. In:
Paturusi IA, Pusponegoro AD Hamuworno GB, (Eds), Penatalaksanaan
korban bencana massal. 3rd ed, Departemen Kesehatana Republik Indonesia,
Jakarta, pages 123-130.

12. Mulyono A, dkk., 2006, Pedoman penatalaksanaan identifikasi korban mati pada bencana massal.
2nd ed. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

13. Disaster Victim Identification Workshop on enhancing operational preparedness in Eastern Region
of Indonesia. In conjunction with the Center for H uman Identification – Victorian Institute of
Forensic Medicine / Monash University, the Singapore Health Sciences Authority, and Universitas
Airlangga. Surabaya, 24-26 November 2007.

14. INTERPOL. Disaster victim identification guide 2009. Diakses 14 Jan 2012. Diunduh dari: URL:
www.interpol.int/Media/Files/INTERPOLExpertise/ DVI/ DVI-Guide.

Anda mungkin juga menyukai