Anda di halaman 1dari 25

;BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2019


UNIVERSITAS PATTIMURA

GANGGUAN DEPRESI BERAT DENGAN GEJALA PSIKOTIK

Oleh
Nama: Tatiana Dasmasela
Nim: 2018-84-085

Pembimbing:
dr. Sherly Yakobus, Sp. KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
DAFTAR ISI

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ……………………………………………………………. i


Daftar isi …………………………………………………………………. ii
BAB I Pendahuluan ……………………………………………………… 1
BAB II Pembahasan
2.1. Definisi ………………………………………………………….. 2
2.2. Epidemiologi …………………………………………………… 2
2.3. Etiologi ………………………………………………………….. 3
2.4. Patofisiologi ……………………………………………………. 6
2.5. Gejala Klinis ……………………………………………………… 7
2.6. Diagnosis ..…………………………….………………………….. 10
2.7. Penatalaksanaan ………………………………………………….. 12
2.8. Prognosis ………………………………………………………… 16
BAB III Kesimpulan ……………………………………………...…... 17
Daftar Pustaka ………………………………………………...….. 18

.
BAB I
PENDAHULUAN

Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah masyarakat.


Berawal dari stres yang tidak diatasi, maka seseorang bisa jatuh ke fase depresi.
Penyakit ini sering diabaikan karena dianggap dapat hilang sendiri tanpa pengobatan.
Padahal, depresi yang tidak diterapi dengan baik bisa berakhir dengan bunuh diri.1

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan depresi sebagai peringkat


keempat penyebab disabilitas di seluruh dunia, dan diperhitungkan pada tahun 2020,
akan menjadi penyebab utama yang kedua.2

Depresi semakin diakui sebagai penyakit kronis atau berulang. Berdasarkan


hasil penelitian sejumlah studi pada pasien depresi yang dirawat oleh spesialis,
hampir 50% pasien tidak sembuh dalam kurun waktu 6 bulan dan 10% memiliki
perjalanan penyakit yang kronis. Para peneliti meyakini bahwa lebih dari setengah
kasus bunuh diri terjadi pada orang yang mengalami depresi. Ini menunjukkan
depresi dapat memiliki efek yang menghancurkan. Namun pada kebanyakan orang,
penyakit ini bisa diobati. Ketersediaan pengobatan yang efektif dan pemahaman
yang lebih baik tentang dasar biologis terjadinya depresi dapat mengurangi hambatan
dalam deteksi dini, diagnosis yang akurat serta keputusan untuk mencari perawatan
medis.3

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Gangguan depresif merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dengan gejala penyerta termasuk
perubahan pola tidur, nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan,
rasa putus asa, tak berdaya dan gagasan bunuh diri.1
Depresi adalah penyakit yang menyerang "keseluruhan hidup seseorang",
meliputi seluruh tubuh, suasana perasaan dan pikiran. ia juga mempengaruhi pola
makan dan tidur. Gangguan ini tidak sama dengan seorang yang dalam keadaan
kelelahan atau malas. Seorang yang mengalami gangguan depresi tidak dapat
"menguasai diri" dan keadaaannya untuk dapat kembali pada keadaannya seperti
semula. Tanpa penanganan yang baik maka gejala-gejala tersebut mengakibatkan
terganggunya fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya dari seseorang dan
gejala tersebut berlangsungnya jadi lebih lama. Penatalaksanaan yang sesuai dapat
menolong seseorang yang mengalami depresi untuk cepat kembali seperti semula
lebih baik. Definisi gangguan depresi adalah gangguan mental yang dikarakteristikan
dengan rasa sedih yang dalam dan berkepanjangan. Penderita hilang minat (interest)
pada sesuatu yang sebelumnya menyenangkan baginya. Biasanya disertai dengan
perubahan-perubahan lain pada dirinya misalnya berkurangnya energi, mudah lelah
dan berkurangnya aktivitas, konsentrasi dan perhatian yang berkurang, harga diri dan
kepercayaan diri yang berkurang, rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa
depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau
bunuh diri, tidur terganggu, dan nafsu makan berkurang.

2.2.Epidemiologi
Gangguan depresi berat adalah suatu gangguan yang sering terjadi, dengan
prevalensi seumur hidup kira-kira 15 % dan kemungkinan sekitar 25 % terjadi pada

2
wanita, sekitar 10% di perawatan primer dan 15% dirawat di rumah sakit. Pada anak
sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2%, dan usia remaja 5%.
Jenis Kelamin. Perempuan dua kali lipat lebih besar dibanding laki-laki.
Diduga adanya perbedaan hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan stresor
psikososial antara laki- laki dan perempuan, dan model perilaku yang dipelajari
tentang ketidakberdayaan.
Usia. Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% awitan diantara usia 20-
50 tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut usia.
Data terkini menunjukkan gangguan depresi berat diusia kurang dari 20 tahun
mungkin berhubungan dengan meningkatnya pengguna alkohol dan
penyalahgunaan zat dalam kelompok usia tersebut.
Status Perkawinan. Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai
hubungan interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau berpisah.
Perempuan yang tidak menikah memiliki kecenderungan lebih rendah untuk
menderita depresi dibandingkan dengan yang menikah namun hal ini berbanding
terbalik dengan laki-laki.

2.3.Etiologi
Dasar umum untuk gangguan depresi berat tidak diketahui, tetapi diduga faktor-
faktor dibawah ini berperan :
1. Faktor Organobiologik
Dilaporkan terdapat kelainan atau disregulasi pada metabolitamin
biogenik seperti asam 5-hydroxyindoleacetic (5-HIAA), asam homovanilic
(HVA), dan 3-methoxy-4-hydroxyphenyl-glycol (MHPG)- di dalam darah, urin
dan cairan serebrospinal (CSF) pasien dengan gangguan mood.
Amin Biogenik.
Norepinephrine dan serotonin adalah dua neurotransmitters yang paling
terlibat patofisiologi gangguan mood.

3
Norepinefrin.
Penurunan regulasi reseptor betaadrenergik dan respons klinis anti-depresi
mungkin merupakan peran langsung sistem noradrenergik pada depresi. Bukti
lain yang juga melibatkan reseptor b2-presipnatikk pada depresi, yaitu aktifnya
reseptor yang mengakibatkan pengurangan jumlah pelepasan norepinefrin.
Reseptor b2-presinaptik juga terletak pada neuron serotonergik dan mengatur
jumlah pelepasan serotonin.
Dopamin.
Aktifitas dopamin mungkin berkurang pada depresi. Penemuan subtipe baru
reseptor dopamin dan meningkatnya pegertian fungsi regulasi presinatik dan
pascasipnatik dopamin memperkaya hubungan antara dopamin dan gangguan
mood. Dua teori terbaru tentang dopamin dan depresi adalah jalur dopamin
mesolimbik mungkin mengalami disfungsi pada depresi dan reseptor dopamin
D1 mungkin hipoaktif pada depresi.
Serotonin.
Aktifitas serotonin berkurang pada depresi. Serotonin bertanggung jawab
untuk kontrol regulasi efek, agresi, tidur dan nafsu makan. Pada beberapa
penelitian ditemukan jumlah Serotonin yang berkurang di celah sinap
dikatakan bertanggung jawab untuk terjadinya depresi.
2. Faktor genetik.
Genetik merupakan faktor penting dalam perkembangan gangguan mood,
tetapi jalur penurunan sangat kompleks. Sulit untuk mengabaikan efek
psikososial, dan juga, faktor nongenetik kemungkinan berperan sebagai peyebab
berkembangnya gangguan mood, setidaknya pada beberapa orang.
3. Penelitian dalam keluarga.
Generasi pertama, 2 sampai 10 kali lebih sering mengalami depresi berat.
4. Penelitian yang berkaitan dengan adopsi.
Dua dari tiga studi menemukan gangguan depresi berat diturunkan secara
genetik. Studi menunjukan, anak biologis dari orang tua yang terkena gangguan

4
mood berisiko untuk mengalami gangguan mood walaupun anak tersebut
dibesarkan oleh keluarga angkat. 1,4

5. Faktor psikososial.
Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan.
Peristiwa kehidupan yang membuat seseorang merasa tertekan (stres) dapat
mencetuskan terjadinya depresi. Episode pertama ini lebih ringan dibandingkan
episode berikunya. Ada teori yang mengemukakan adanya stres sebelum episode
pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama. Hal ini
menyebabkan perubahan berbagai neurotransmiter dan sisten sinyal intraneuron,
termasuk hilangnya beberapa neuron dan penurunan sinaps. Dampaknya,
seseorang individu beresiko tinggi mengalami episode berulang gangguan mood,
sekalipun tanpa stresor dari luar. 1,4
Data paling mendukung sehubungan dengan peristiwa kehidupan atau stresor
lingkungan yang sering berkaitan dengan depresi adalah kehilangan orang tua
sebelum berusia 11 tahun dan kehilangan pasangan. Faktor resiko lain adalah
kehilangan ; orang yang keluar dari pekerjaannya beresiko tiga kali lebih besar
untuk timbulnya gejala dibandingkan yang bekerja.
Kehilangan objek cinta pada masa perkembangan walaupun tidak secara langsung
dapat mencetuskan gangguan depresi, namun berpengaruh pada ekspresi
penyakit, misalnya awitan timbulnya gangguan, episode yang lebih parah, adanya
gangguan kepribadian dan keinginan untuk bunuh diri. 1,4
6. Faktor kepribadian.
Semua orang, apapun pola kepribadiannya, dapat mengalami depresi ssuai
dengan situasinya. Orang dengan gangguan kepribadian obsesi-kompulsi,
histrionik dan ambang, beresiko tinggi untuk mengalami depresi dibandingkan
dengan gangguan kepribadian paranoid atau antisosial. Pasien dengan gangguan
distimik dan siklotimik beresiko mengalami gangguan depresi berat. Peristiwa
stressfull merupakan prediktor terkuat untuk kejadian episode depresi. Riset

5
menunjukan bahwa pasien yang mengalami stresor akibat tidak adadya
kepercayaan diri lebih sering mengalami depresi.1,4

2.4 Patofisiologi
Timbulnya depresi dihubungkan dengan peran beberapa neurotransmiter
aminergik. Neurotransmiter yang paling banyak diteliti ialah serotonin. Konduksi
impuls dapat terganggu apabila terjadi kelebihan atau kekurangan neurotransmiter di
celah sinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada reseptor neurotransmiter tersebut
di post sinaps sistem saraf pusat. 1,4
Pada depresi telah di identifikasi 2 sub tipe reseptor utama serotonin yaitu
reseptor 5HTIA dan 5HT2A. Kedua reseptor inilah yang terlibat dalam mekanisme
biokimiawi depresi dan memberikan respon pada semua golongan anti depresan.
Pada penelitian dibuktikan bahwa terjadinya depresi disebabkan karena
menurunnya pelepasan dan transmisi serotonin (menurunnya kemampuan
neurotransmisi serotogenik). 1,4
Beberapa peneliti menemukan bahwa selain serotonin terdapat pula sejumlah
neurotransmiter lain yang berperan pada timbulnya depresi yaitu norepinefrin,
asetilkolin dan dopamin. Sehingga depresi terjadi jika terdapat defisiensi relatif satu
atau beberapa neurotransmiter aminergik pada sinaps neuron di otak, terutama pada
sistem limbik. Oleh karena itu teori biokimia depresi dapat diterangkan sebagai
berikut: 1,4
1. Menurunnya pelepasan dan transport serotonin atau menurunnya kemampuan
neurotransmisi serotogenik.
2. Menurunnya pelepasan atau produksi epinefrin, terganggunya regulasi
aktivitas norepinefrin dan meningkatnya aktivitas alfa 2 adrenoreseptor
presinaptik.
3. Menurunnya aktivitas dopamin.
4. Meningkatnya aktivitas asetilkolin.

6
Teori yang klasik tentang patofisiologi depresi ialah menurunnya
neurotransmisi akibat kekurangan neurotransmitter di celah sinaps. Ini didukung oleh
bukti-bukti klinis yang menunjukkan adanya perbaikan depresi pada pemberian obat-
obat golongan SSRI (Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor) dan trisiklik yang
menghambat re-uptake dari neurotransmiter atau pemberian obat MAOI (Mono
Amine Oxidasi Inhibitor) yang menghambat katabolisme neurotransmiter oleh enzim
monoamin oksidase. 1,4
Belakangan ini dikemukakan juga hipotesis lain mengenai depresi yang
menyebutkan bahwa terjadinya depresi disebabkan karena adanya aktivitas
neurotransmisi serotogenik yang berlebihan dan bukan hanya kekurangan atau
kelebihan serotonin semata. Neurotransmisi yang berlebih ini mengakibatkan
gangguan pada sistem serotonergik, jadi depresi timbul karena dijumpai gangguan
pada sistem serotogenik yang tidak stabil. Hipotesis yang belakangan ini dibuktikan
dengan pemberian anti depresan golongan SSRE (Selective Serotonin Re-uptake
Enhancer) yang justru mempercepat re-uptake serotonin dan bukan menghambat.
Dengan demikian maka turn over dari serotonin menjadi lebih cepat dan sistem
neurotransmisi menjadi lebih stabil yang pada gilirannya memperbaiki gejala-gejala
depresi. Mekanisme biokimiawi yang sudah diketahui tersebut menjadi dasar
penggunaan dan pengembangan obat-obat anti depresan.1,4,6

2.5 Gejala Klinis


Suatu mood depresif, kehilangan minat dan kegembiraan serta berkurangnya
energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata
sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas merupakan tiga gejala utama
depresi.
Gejala lainnya dapat berupa :
a) Konsentrasi dan perhatian berkurang
b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

7
d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f) Tidur terganggu
g) Nafsu makan berkurang.
Gejala-gejala diatas dialami oleh pasien hampir setiap hari dan di nilai berdasarkan
ungkapan pribadi atau hasil pengamatan orang lain misalnya keluarga pasien.

2.6 Diagnosis
Kriteria diagnosis

Kriteria diagnosis gangguan depresi berat

A. Pasien mengalami mood terdepresi (sebagai contoh., sedih atau perasaan kosong)
atau kehilangan minat atau kesenangan sepanjang waktu selama 2 minggu atau
lebih ditambah 4 atau lebih gejala-gejala berikut ini.

 Tidur. Insomnia atau insomnia hampir setiap hari


 Minat Menurunnya minat atau kesenangan hampir pada semua kegiatan
hampir sepanjang Waktu.
 Rasa bersalah. Perasaan ber salah yang berlebihan atau tidak sesuai atau rasa
tidak berharga hamper sepanjang waktu
 Energi. Kehilangan energi atau letih hampir sepanjang waktu
 Konsentrasi. Menurunnya kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi; sulit
membuat keputusan hampir sepanjang waktu.
 Selera makan. Dapat menurun atau meningkat
 Psikomotor.Dalam pengamatan ditemukan agitasi / retardasi
 Bunuh diri. Timbul pikiran berulang tentang mati / ingin bunuh diri

B. Gejalanya tidak memenuhi untuk kriteria episode campuran (episode depresi


berat dan episode manik).

8
C. Gejalanya menimbulkan penderitaan atau hendaya sosial, pekerjaan atau fungsi
penting lainnya yang bermakna secara klinik.

D. Gejalanya bukanlah merupakan efek fisiologi langsung dari zat (sebagai contoh:
penyalahgunaan obat, atau medikasi) atau suatu kondisi medik umum (sebagai
contoh: hypotroidisme).

E. Gejalanya tidak lebih baik dibandingkan dengan dukacita, misalnya, setelah


kehilangan seseorang yang dicintai, gejala menetap lebih dari 2 bulan atau
ditandai hendaya fungsi yang jelas, preokupasi rasa ketidakbahagian yang
abnormal, ide bunuh diri, gejala psikotik atau retardasi psikomotor

Gangguan Depresi berat, episode tunggal. DSM-IV-TR mengelompokkan kriteria


diagnostik untuk gangguan depresi berat episode pertama. Perbedaan antara pasien
ini dan mereka yang mempunyai episode gangguan depresi berat ke dua atau lebih
disebabkan karena ketidakjelasan perjalanan penyakit pasien yang hanya satu
episode.1,4

Gangguan depresi berat berulang. Pasien yang mengalami sedikitnya episode ke


dua dari depresi digolongkan dalam DSM-IV-TR sebagai gangguan depresi berat
berkurang. Masalah utama diagnosis episode berulang gangguan depresi berat
adalah menentukan kriteria untuk menemukan resolusi dari tiap periode. Dua
variabel resolusi adalah derajat gejala dan panjang resolusi. DSM-IV-TR
menentukan episode depresi yang berbeda berjarak setidaknya selama 2 bulan
pasien secara bermakna bebas dari gejala depresi. 1,4

Menurut PPDGJ III, Klasifikasi depresi beserta gejalanya adalah sebagai


berikut :3

F32 EPISODE DEPRESIF

 Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat):


 afek depresif

9
 kehilangan minat dan kegembiraan, dan
 berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja) sedikit saja dan menurunnya
aktivitas.
 Gejala lainnya:

(a) konsentrasi dan perhatian berkurang;

(b) harga diri dan kepercayaan diri berkurang;

(c) gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna;

(d) pandangan masa depan yang suram dan pesimistis;

(e) gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri;

(f) tidur terganggu;

(g) nafsu makan berkurang.

 Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi
periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan
berlangsung cepat.
 Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1), dan berat
(F32.2) hanya digunakan untuk episode depresi tunggal yang pertama).
Episode depresif berikutnya harus diklasifikasi dibawah salah satu diagnosis
gangguan depresif berulang (F33.-).

F32.0 Episode Depresif Ringan

Pedoman Diagnostik

 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti


tersebut diatas;

10
 Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya: (a)sampai dengan
(g).
 Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya.
 Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu.
 Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.

Karakter kelima :

F32.00 = Tanpa gejala somatik

F32.01 = Dengan gejala somatik

F32.1 Episode Depresif Sedang

Pedoman Diagnostik

 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada


episode depresi ringan (F30.0);
 Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainya;
 Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.
 Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
dan urusan rumah tangga.

Karakter kelima :

F32.10 = Tanpa gejala somatik

F32.11 = Dengan gejala somatic

32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik

Pedoman Diagnostik

11
 Semua 3 gejala utama depresi harus ada.
 Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa di
antaranya harus berintensitas berat.
 Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci.
 Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode
depresif berat masih dapat dibenarkan.
 Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang- kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka
masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang
dari 2 minggu.
 Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat
terbatas.

F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik

Pedoman Diagnostik

 Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut


diatas;
 Disertai waham, halusinaSi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi
auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau
menuduh, atau bau kotoran atau _daging membusuk. Retardasi
psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor.
Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi
atau tidak serasi dengan afek (mood congruent).

12
F32.8 Episode Depresif Lainnya

F32.9 Episode Depresif YTT

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien gangguan mood harus diarahkan kepada beberapa
tujuan. Pertama, keselamatan pasien harus terjamin. Kedua, kelengkapan evaluasi
diagnostik pasien harus dilaksanakan. Ketiga, rencana terapi bukan hanya untuk
gejala, tetapi kesehatan jiwa pasien kedepan juga harus diperhatikan. Walaupun
penatalakasanaan farmakoterapi dan psikoterapi harus dipikirkan pada pasien,
peristiwa kehidupan yang penuh ketegangan dapat meningkatkan angka
kekambuhan. Selanjutnya melalui terapi harus dapat menurunkan banyaknya stresor
berat dalam kehidupan pasien. Secara keseluruhan, penatalaksanaan gangguan mood
harus diserahkan kepada psikiater. Remisi penuh akan dialami pasien dalam waktu
4 bulan dengan pengobatan yang adekuat.1,4

1. Rawat Inap
Indikasi yang jelas untuk rawat inap adalah adanya kebutuhan
diagnostik, risiko bunuh diri dan melakukan pembunuhan, dan berkurangnya
kemampuan pasien secara menyeluruh untuk asupan makanan dan tempat
perlindungan. Riwayat gejala berulang dan hilangnya system dukungan
terhadap pasien juga merupakan indikasi rawat inap.4,9
Tanda klinis yang tidak telalu kuat sebagai bahan pertimbangan
adalah, penurunan berat badan, perbaikan minimal dari insomnia. Sistem
pendukung pasien harus kuat, tidak terlalu mencampuri maupun menjauhi
pasien. Tiap perubahan yang kurang baik pada gejala, tingkah laku atau sikap
pasien merupakan tanda untuk rawat inap.

Pasien dengan gangguan mood sering tidak mau menjalani rawat inap
atas dasar keinginan sendiri. Pasien tidak dapat membuat keputusan karena
lambat berpikir, berpikir negatif, dan tidak mempunyai harapan.4

13
2. Farmakoterapi.

Gangguan depresi berat. Penanganan efektif dan spesifik, seperti obat


trisiklik, untuk gangguan depresi berat telah digunakan selama 40 tahun.
Penggunaan secara spesifk farmakoterapi diperkirakan kemungkinan sembuh
dua kali lipat dalam waktu satu bulan. Meskipun demikian, masih ada
permasalahan dalam penanganan gangguan depresi berat: Beberapa pasien
tidak berespons dengan terapi pertama. Antidepresan memburuhkan waktu 3
sampai 4 minggu untuk memberikan efek terapi yang bermakna, meskipun
ada yang menunjukkan efek terapi lebih awal; dan secara relatif, semua
antidepresan yang tersedia menjadi toksik pada dosis yang kelebihan dan
menunjukkan efek samping. 1,4

Antidepresan lainnya adalah Selective Serotonine Reuptake Inbibitor


(SSRI), seperti fuoxetine, paroxetine (Paxil), dan Sertraline (Zoloft). Anti-
depresan golongan lain misalnya bupropion, venlafaxine, nefazodone
(Serzone) dan mirtazapine (Remeron), menunjukkan secara klinis hasil yang
sama efektif dengan obat terdahulu tetapi lebih aman dan toleransinya lebih
baik. 1,4

Prinsip indikasi untuk antidepresi adalah episode depresi berat. Gejala


pertama yang menjadi pegangan adalah sulit tidur dan gangguan dalam pola
makan. Gejala lainnya yang dapat timbul adalah mengamuk, cemas, dan rasa
putus asa. Target gejala lainnya termasuk energi menurun, kurang konsentrasi,
tidak berdaya, dan menurunnya libido.4,8

Edukasi pasien yang adekuat tentang kegunaan antidepresan sebagai hal


penting untuk kesuksesan terapi termasuk pemilihan obat dan dosis yang
paling sesuai. Ketika mengenalkan penggunaan obat kepada pasien, dokter
perlu menekankan gangguan depresi berat adalah kombinasi dari faktor
biologi dan psikologi; kedua-duanya mendapatkan manfaat dengan terapi

14
pengobatan. Dokter juga harus menekankan kepada pasien tidak akan menjadi
ketergantungan dengan obat antidepresan, karena obat tidak memberikan
kepuasan segera dan dosis obat akan diturunkan secara perlahan-lahan sesuai
dengan evaluasi gejala. 1,4

Pada pemberian antidepresan, obat akan memperlihatkan efek


antidepresan yang optimal dalam sampai 4 minggu. Timbulnya efek samping
menunjukkan obat bekerja, tetapi efek samping yang timbul ini harus
dijelaskan secara detail. Sebagai contoh, beberapa pasien yang meminum
antidepresan golongan SSRIs menjadi gelisah, mual dan muntah sebelum
adanya perbaikan gejala. Efek samping ber- kurang seiring berjalannya waktu.
Dengan obat trisiklik dan MAOis, dokter akan menjelaskan pada pasien
bahwa gejala yang akan membaik lebih awal adalah adanya perbaikan tidur
dan selera makan, yang diikuti oleh perbaikan pada perasaan kurang energi,
dan terakhir perasaan depresi, untungnya hal terakhir merupakan gejala yang
terakhir muncul. Apabila pada 3 minggu setelah pemberian obat antidepresan
pasien belum memperlihatkan perbaikan gejala atau perbaikan gejala kurang
dari 20% maka perlu mengganti antidepresan dengan antidepresan golongan
lainnya. Namun setelah 3-6 minggu pemberian antidepresan, hanya
didapatkan respon parsial, maka dosis obat harus terus dinaikkan sampai dosis
maksimal atau dengan pemberian augmentasi, misalnya dengan litium, atau
psikostimulan, yang terbukti pada penelitan mempercepat perbaikan gejala
dalam waktu 1-2 minggu pada 25 persen pasien.4,9

Alternatif pengobatan. ECT biasanya digunakan jika pasien tidak


berespon terhadap farmakoterapi dengan dosis yang sudah adekuat atau tidak
dapat mentoleransi farmakoterapi atau pada tampilan klinis yang sangat berat
yang memperlihatkan perbaikan sangat cepat dengan penggunaan ECT. 1,4

Obat yang tersedia

15
SSRIs merupakan obat yang secara luas digunakan di Amerika
Serikat. Merupakan obat pilihan karena efektif, mudah digunakan, dan relatif
kurang efek sampingnya, meskipun pada dosis tinggi. Obat baru, bupropion,
venlafaxine, dan nefazodone sudah sering digunakan oleh psikiater. Obat-obat
tersebut lebih aman dari obat trisiklik, tetrasiklik dan MAOIs, dan
menunjukkan efektif pada uji klinik. Obat trisiklik dan tetrasiklik, trazadone
(Desyrel) dan mirtazapine dapat menyebabkan sedasi. MAOIs dibutuhkan
sebagai penghambat. obat simpatomimetik, seperti dextroamfetamin
(Dexedrine) dan metilfenidat (Ritalin) mungkin menghasilkan perbaikan
mood yang cepat (dalam minggu pertama) dan diindikasikan pemantauan
yang ketat. 1,4

Efeksamping. Hal yang paling serius dipikirkan adalah menyebabkan


kematian pada dosis berlebih. Obat trisiklik dan tetrasiklik, merupakan obat
antidepresan yang paling sering menyebabkan kematian. SSRIs, bupropion,
trazodone, nefazodone, mirtazapine, venlafaxine dan MAOIs bersifat aman,
meskipun masing-masing obat ini dapat menyebabkan kematian jika
dikombinasikan dengan alkohol atau obat lain. Hal lain yang menarik
perhatian dari obat antidepresan adalah keamanan pada jantung. Obat trisiklik
dan tetrasiklik secara umum kurang aman. Hipotensi adalah efek samping
yang serius dari banyak antidepresan, khususnya pada orang tua. Antidepresan
konvensional, amoxapine (Asendin), maprotiline (Ludiomil), nortriptyline
(Aventy), dan trazodone juga sedikit menyebabkan hipotensi, demikian pula
dengan bupropion dan SSRIs. Efek samping seksual pada penggunaan
antidepresan. Hampir semua antidepresan kecuali nefazodone dan
mirtazapine, menyebabkan penurunan ibido, disfungsi ereksi, atau
anorgasmia. Obat serotonergık mungkin yang paling dekat berhubungannya
dengan efek samping seksual dibanding dengan campuran noradrenergik. 1,4

16
Interaksi obat. Sistem isoenzim sitokrom P450 terlibat dalam
metabolisme berbagai obat, tetapi beberapa orang secara genetic berisiko
meningkatkan konsentrasi obat dalam darah yang dimetabolisme oleh salah
satu dari isoenzim sitokrom P450, seperti CYP 2D6.4,8

3. Terapi tipe spesifik

Beberapa tipe klinik dari episode depresi berat mempunyai berbagai


respon terhadap antidepresi. Sebagai contoh, pasien gangguan depresi berat
dengan figur atipikal (kadang disebut bysteroid dysphoria) mungkin
berespons dengan MAOIs. Lithium adalah obat lini pertama untuk pasien
depresi pada bipolar I. Antidepresan tunggal kurang efektif untuk episode
depresi berat dengan ciri psikotik. Biasanya dokter mengkombinasikan
antidepresan dan antipsikotik. Beberapa penelitian menunjukkan ECT efektif
untuk indikasi ini, mungkin lebih efektif dibandingkan farmakoterapi. 1,4

Petunjuk klinis umum. Kesalahan klinis tersering berawal dari kegagalan


pengobatan yaitu penggunaan obat antidepresan dosis sangat rendah untuk
waktu yang sangat singkat. Jika pasien tidak memberikan respon terhadap
dosis yang sesuai setelah pengobatan selama 2 atau 3 minggu, dokter dapat
memutuskan untuk melakukan tes konsentrasi plasma dari obat jika tes
tersedia untuk obat yang digunakan. 1,4
Durasi dan profilaksis. Terapi antidepresan harus dipertahankan setidak-
tidaknya 6 bulan atau sesuai lamanya pengobatan pada episode sebelumnya.
Beberapa penelitian menunjukkan terapi profilaksis dengan antidepresan,
efektif mengurangi jumlah dan keparahan tiap kekambuhan. 4

Satu penelitian menyimpulkan jika episode depresi terpisah kurang


dari 2 ½ tahun, terapi profilaksis selama 5 tahun mungkin merupakan
indikasi. Faktor lain yang mempengaruhi terapi profilaksis adalah tingkat
keparahan episode depresi sebelumnya. Episode yang melibatkan pikiran

17
untuk bunuh diri atau ketidak mampuan fungsi psikososial merupakan
indikasi untuk mempertimbangkan terapi profilaksis. Terapi profilaksis
selama 5 tahun juga diberikan pada pasien dengan 2 atau lebih episode
depresi dalam waktu 5 tahun, onset episode depresi pada usia diatas 50
tahun, dan riwayat sulit untuk ditatalaksana. Jika terapi antidepresian
dihentikan, dosis obat harus diturunkan secara bertahap di atas 1 atau 2
minggu, tergantung dari waktu paruh campuran partikel. Beberapa penelitian
mengindikasikan mempertahankan pengobatan antidepresan lebih aman dan
efektif untuk menangani depresi kronik.4

Kegagalan pemberian obat


Jikaobat antidepresan pertama telah digunakan dengan adekuat dan
sesuai dan yakin bahwa konsentrasi plasma telah diperoleh namun gejala
belum menunjukkan perbaikan yang memuaskan maka dapat diambil
tindakan untuk menambahkan obat dengan lithium, liothyronine (the
levorotator isomer of triiodothyronine (T3) atau L-triptofan, atau ganti
dengan obat primer alternatif. Strategi yang jarang digunakan adalah
mengkombinasikan obat trisiklik atau tetrasiklik dengan SSRI (atau
mungkin dengan MAO), dan yang menggunakan SSRI dengan bupropion,
venlafaxine, nefazodone, obat trisiklik dan tetrasiklik, mirtazapine,
trazodone, atau mungkin dengan MAOI. 1,4

Lithium

Lithium (900 sampai 1200mg per hari, kadar serum antara 0,6 dan 0,8
mEq/L) dapat ditambahkan pada dosis antidepresan selama 7 sampai 14
hari. Pendekatan ini meningkatkan secara antidepresan yang tidak berespon
menjadi berespon. Signifikan Liothyronine. Penambahan sebanyak 25
sampai 50 mg per hari liothyronin ke dalam regimen antidepresan selama 7
sampai 14 hari mengkonversikan yang tidak berespon menjadi berespon

18
terhadap antidepresi. Efek samping dari liothyronine kecil tetapi mungkin
dapat menimbulkan sakit kepala dan perasaan marah. Jika penambahann
liothyronine berhasil, penggunaan liothyronine dilanjutkan sampai 2 bulan
dan diturunkan hingga 12,5 mg tiap hari pada hari ke 3 atau 7. 1,4

4. Psikoterapi

Diberikan untuk membantu pasien mengembangkan strategi coping


yang lebih baik dalam mengatasi stressor kehidupan sehari-hari. Banyak
penelitian telah membuktikan bahwa psikoterapi merupakan terapi yang
bermakna untuk depresi. Pemberian psikoterapi dan obat, lebih efektif.
Terapi gabungan ini lebih baik hasilnya daripada hanya pemberian obat
saja. Pasien juga dapat bertahan lebihlama menggunakan obat bila ia dalam
proses psikoterapi. Jenis psikoterapi yang diberikan, ter gantung pada
kondisi pasien dan preferensi terapis atau dokternya. Dapat diberikan
psikoterapi suportif, atau reedukatif (mis.psikoterapi kognitif, atau terapi
perilaku atau terapi kognitif perilaku), atau psikoterapi rekonstruktif. Yang
perlu diingat pada pemilihan jenis psikoterapi yaitu tentang kondisi pasien:
bila pasien dalam kondisi depresi berat terlebih yang dengan ciri psikotik
yang dapat dilakukan hanya psikoterapi suportif, itu pun jangan dihiBur
atau langsung diberi nasihat (karena pasien akan bertambah sedih bila tidak
mampu melaksanakan nasihat dokternya). Bila pasien sudah lebih tenang
(tidak dipengaruhi gejala psikotiknya), dapat dipertimbangkan pemberian
psikoterapi kognitif, atau kognitif-perilaku atau psikoterapi dinamik. 1,4

5. Terapi keluarga.

Terapi keluarga tidak umum digunakan sebagai terapi primer


untukngangguan depresi berat. Bukti klinis mendapatkan bahwa terapi
keluarga dapat membantu pasien dengan gangguan mood untuk

19
mengurangi dan menghadapi stres dan untuk mengurangi adanya
kekambuhan. Terapi keluarga diindikasikan untuk gangguan yang
membahayakan perkawinan pasien atau fungsi keluarga atau jika
gangguan mood didasari atau dapat ditangani oleh situasi keluarga. 1,4

2.7 Prognosis

Gangguan depresi berat bukan merupakan gangguan yang ringan. Keadaan ini
cenderung merupakan gangguan yang kronis dan pasien cenderung mengalami relaps.
Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan depresif
memiliki kemungkinan 50 % untuk pulih di dalam tahun pertama.4,9
Rekurensi episode depresi berat juga sering, kira-kira 30 sampai 50 % dalam
dua tahun pertama dan kira-kira 50 sampai 70 % dalam 5 tahun. Insidensi relaps
adalah jauh lebih rendah dari pada angka tersebut pada pasien yang meneruskan
terapi psikofarmakologis profilaksis dan pada pasien yang hanya mengalami satu atau
dua episode depresi. 4,9

20
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan depresi berat merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia


yang berkaitan dengan perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada psikomotor, kemampuan kognitif, pembicaraan dan fungsi vegetatif.
Penyebab dari gangguan depresi terdiri dari faktor biologis, faktor genetika
dan faktor psikososial. Pada hipotesis timbulnya depresi dihubungkan dengan peran
beberapa neurotransmiter aminergik. Hipotesis tersebut menjadi dasar penggunaan
dan pengembangan obat-obat anti depresan.
Untuk menegakkan diagnosis gangguan depresi berat, PPDGJ III mensyarati
harus didapati tiga gejala utama gangguan depresi dan minimal empat gejala lainnya
dan beberapa di antaranya harus berintensitas berat.
Pada gangguan depresi yang sering terdapat pikiran-pikiran atau rancangan bunuh
diri, maka sebaiknya penderita dirawat di rumah sakit dengan pemberian terapi
elektrokonvulsi di samping psikoterapi dan obat anti depresan.
Pemberian anti depresan diberikan melalui tahapan-tahapan, yaitu dosis
initial, titrasi, stabilisasi, maintenance dan dosis tapering. Dimana dosis dan lama
pemberiannya berbeda-beda. Kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi adalah
pengobatan yang paling efektif untuk gangguan depresi berat.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiguna, I Made.. Gangguan Mood. Dalam : Kaplan – Sadock. Sinopsis


Psikiatri. Jilid I. Tangerang : Binarupa Aksara. 2010
2. Christian J, Ratep N, Westa W. Episode Depresi Berat dengan Gejala
Psikotik pada Wanita: Sebuah Laporan Kasus. Bali: Bagian/ SMF Ilmu
Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Sanglah - Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. 2017
3. Maslim. R: Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia, edisi 3, Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI,
Jakarta, 2002.
4. M Ismail, Irawati R dan Siste, Kristiana. 2013. Gangguan Depresi : Buku Ajar
Psikiatri UI. Edisi kedua. Jakarta : Badan Penerbit FKUI.
5. W.F . Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran jiwa, Universitas Airlangga, 1980
6. Elvira S, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Ed 3. Jakarta: Kedokteran
Universitas Indonesia. 2018

22

Anda mungkin juga menyukai