Oleh
Nama: Tatiana Dasmasela
Nim: 2018-84-085
Pembimbing:
dr. Sherly Yakobus, Sp. KJ
ii
DAFTAR ISI
.
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Gangguan depresif merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dengan gejala penyerta termasuk
perubahan pola tidur, nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan,
rasa putus asa, tak berdaya dan gagasan bunuh diri.1
Depresi adalah penyakit yang menyerang "keseluruhan hidup seseorang",
meliputi seluruh tubuh, suasana perasaan dan pikiran. ia juga mempengaruhi pola
makan dan tidur. Gangguan ini tidak sama dengan seorang yang dalam keadaan
kelelahan atau malas. Seorang yang mengalami gangguan depresi tidak dapat
"menguasai diri" dan keadaaannya untuk dapat kembali pada keadaannya seperti
semula. Tanpa penanganan yang baik maka gejala-gejala tersebut mengakibatkan
terganggunya fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya dari seseorang dan
gejala tersebut berlangsungnya jadi lebih lama. Penatalaksanaan yang sesuai dapat
menolong seseorang yang mengalami depresi untuk cepat kembali seperti semula
lebih baik. Definisi gangguan depresi adalah gangguan mental yang dikarakteristikan
dengan rasa sedih yang dalam dan berkepanjangan. Penderita hilang minat (interest)
pada sesuatu yang sebelumnya menyenangkan baginya. Biasanya disertai dengan
perubahan-perubahan lain pada dirinya misalnya berkurangnya energi, mudah lelah
dan berkurangnya aktivitas, konsentrasi dan perhatian yang berkurang, harga diri dan
kepercayaan diri yang berkurang, rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa
depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau
bunuh diri, tidur terganggu, dan nafsu makan berkurang.
2.2.Epidemiologi
Gangguan depresi berat adalah suatu gangguan yang sering terjadi, dengan
prevalensi seumur hidup kira-kira 15 % dan kemungkinan sekitar 25 % terjadi pada
2
wanita, sekitar 10% di perawatan primer dan 15% dirawat di rumah sakit. Pada anak
sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2%, dan usia remaja 5%.
Jenis Kelamin. Perempuan dua kali lipat lebih besar dibanding laki-laki.
Diduga adanya perbedaan hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan stresor
psikososial antara laki- laki dan perempuan, dan model perilaku yang dipelajari
tentang ketidakberdayaan.
Usia. Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% awitan diantara usia 20-
50 tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut usia.
Data terkini menunjukkan gangguan depresi berat diusia kurang dari 20 tahun
mungkin berhubungan dengan meningkatnya pengguna alkohol dan
penyalahgunaan zat dalam kelompok usia tersebut.
Status Perkawinan. Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai
hubungan interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau berpisah.
Perempuan yang tidak menikah memiliki kecenderungan lebih rendah untuk
menderita depresi dibandingkan dengan yang menikah namun hal ini berbanding
terbalik dengan laki-laki.
2.3.Etiologi
Dasar umum untuk gangguan depresi berat tidak diketahui, tetapi diduga faktor-
faktor dibawah ini berperan :
1. Faktor Organobiologik
Dilaporkan terdapat kelainan atau disregulasi pada metabolitamin
biogenik seperti asam 5-hydroxyindoleacetic (5-HIAA), asam homovanilic
(HVA), dan 3-methoxy-4-hydroxyphenyl-glycol (MHPG)- di dalam darah, urin
dan cairan serebrospinal (CSF) pasien dengan gangguan mood.
Amin Biogenik.
Norepinephrine dan serotonin adalah dua neurotransmitters yang paling
terlibat patofisiologi gangguan mood.
3
Norepinefrin.
Penurunan regulasi reseptor betaadrenergik dan respons klinis anti-depresi
mungkin merupakan peran langsung sistem noradrenergik pada depresi. Bukti
lain yang juga melibatkan reseptor b2-presipnatikk pada depresi, yaitu aktifnya
reseptor yang mengakibatkan pengurangan jumlah pelepasan norepinefrin.
Reseptor b2-presinaptik juga terletak pada neuron serotonergik dan mengatur
jumlah pelepasan serotonin.
Dopamin.
Aktifitas dopamin mungkin berkurang pada depresi. Penemuan subtipe baru
reseptor dopamin dan meningkatnya pegertian fungsi regulasi presinatik dan
pascasipnatik dopamin memperkaya hubungan antara dopamin dan gangguan
mood. Dua teori terbaru tentang dopamin dan depresi adalah jalur dopamin
mesolimbik mungkin mengalami disfungsi pada depresi dan reseptor dopamin
D1 mungkin hipoaktif pada depresi.
Serotonin.
Aktifitas serotonin berkurang pada depresi. Serotonin bertanggung jawab
untuk kontrol regulasi efek, agresi, tidur dan nafsu makan. Pada beberapa
penelitian ditemukan jumlah Serotonin yang berkurang di celah sinap
dikatakan bertanggung jawab untuk terjadinya depresi.
2. Faktor genetik.
Genetik merupakan faktor penting dalam perkembangan gangguan mood,
tetapi jalur penurunan sangat kompleks. Sulit untuk mengabaikan efek
psikososial, dan juga, faktor nongenetik kemungkinan berperan sebagai peyebab
berkembangnya gangguan mood, setidaknya pada beberapa orang.
3. Penelitian dalam keluarga.
Generasi pertama, 2 sampai 10 kali lebih sering mengalami depresi berat.
4. Penelitian yang berkaitan dengan adopsi.
Dua dari tiga studi menemukan gangguan depresi berat diturunkan secara
genetik. Studi menunjukan, anak biologis dari orang tua yang terkena gangguan
4
mood berisiko untuk mengalami gangguan mood walaupun anak tersebut
dibesarkan oleh keluarga angkat. 1,4
5. Faktor psikososial.
Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan.
Peristiwa kehidupan yang membuat seseorang merasa tertekan (stres) dapat
mencetuskan terjadinya depresi. Episode pertama ini lebih ringan dibandingkan
episode berikunya. Ada teori yang mengemukakan adanya stres sebelum episode
pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama. Hal ini
menyebabkan perubahan berbagai neurotransmiter dan sisten sinyal intraneuron,
termasuk hilangnya beberapa neuron dan penurunan sinaps. Dampaknya,
seseorang individu beresiko tinggi mengalami episode berulang gangguan mood,
sekalipun tanpa stresor dari luar. 1,4
Data paling mendukung sehubungan dengan peristiwa kehidupan atau stresor
lingkungan yang sering berkaitan dengan depresi adalah kehilangan orang tua
sebelum berusia 11 tahun dan kehilangan pasangan. Faktor resiko lain adalah
kehilangan ; orang yang keluar dari pekerjaannya beresiko tiga kali lebih besar
untuk timbulnya gejala dibandingkan yang bekerja.
Kehilangan objek cinta pada masa perkembangan walaupun tidak secara langsung
dapat mencetuskan gangguan depresi, namun berpengaruh pada ekspresi
penyakit, misalnya awitan timbulnya gangguan, episode yang lebih parah, adanya
gangguan kepribadian dan keinginan untuk bunuh diri. 1,4
6. Faktor kepribadian.
Semua orang, apapun pola kepribadiannya, dapat mengalami depresi ssuai
dengan situasinya. Orang dengan gangguan kepribadian obsesi-kompulsi,
histrionik dan ambang, beresiko tinggi untuk mengalami depresi dibandingkan
dengan gangguan kepribadian paranoid atau antisosial. Pasien dengan gangguan
distimik dan siklotimik beresiko mengalami gangguan depresi berat. Peristiwa
stressfull merupakan prediktor terkuat untuk kejadian episode depresi. Riset
5
menunjukan bahwa pasien yang mengalami stresor akibat tidak adadya
kepercayaan diri lebih sering mengalami depresi.1,4
2.4 Patofisiologi
Timbulnya depresi dihubungkan dengan peran beberapa neurotransmiter
aminergik. Neurotransmiter yang paling banyak diteliti ialah serotonin. Konduksi
impuls dapat terganggu apabila terjadi kelebihan atau kekurangan neurotransmiter di
celah sinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada reseptor neurotransmiter tersebut
di post sinaps sistem saraf pusat. 1,4
Pada depresi telah di identifikasi 2 sub tipe reseptor utama serotonin yaitu
reseptor 5HTIA dan 5HT2A. Kedua reseptor inilah yang terlibat dalam mekanisme
biokimiawi depresi dan memberikan respon pada semua golongan anti depresan.
Pada penelitian dibuktikan bahwa terjadinya depresi disebabkan karena
menurunnya pelepasan dan transmisi serotonin (menurunnya kemampuan
neurotransmisi serotogenik). 1,4
Beberapa peneliti menemukan bahwa selain serotonin terdapat pula sejumlah
neurotransmiter lain yang berperan pada timbulnya depresi yaitu norepinefrin,
asetilkolin dan dopamin. Sehingga depresi terjadi jika terdapat defisiensi relatif satu
atau beberapa neurotransmiter aminergik pada sinaps neuron di otak, terutama pada
sistem limbik. Oleh karena itu teori biokimia depresi dapat diterangkan sebagai
berikut: 1,4
1. Menurunnya pelepasan dan transport serotonin atau menurunnya kemampuan
neurotransmisi serotogenik.
2. Menurunnya pelepasan atau produksi epinefrin, terganggunya regulasi
aktivitas norepinefrin dan meningkatnya aktivitas alfa 2 adrenoreseptor
presinaptik.
3. Menurunnya aktivitas dopamin.
4. Meningkatnya aktivitas asetilkolin.
6
Teori yang klasik tentang patofisiologi depresi ialah menurunnya
neurotransmisi akibat kekurangan neurotransmitter di celah sinaps. Ini didukung oleh
bukti-bukti klinis yang menunjukkan adanya perbaikan depresi pada pemberian obat-
obat golongan SSRI (Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor) dan trisiklik yang
menghambat re-uptake dari neurotransmiter atau pemberian obat MAOI (Mono
Amine Oxidasi Inhibitor) yang menghambat katabolisme neurotransmiter oleh enzim
monoamin oksidase. 1,4
Belakangan ini dikemukakan juga hipotesis lain mengenai depresi yang
menyebutkan bahwa terjadinya depresi disebabkan karena adanya aktivitas
neurotransmisi serotogenik yang berlebihan dan bukan hanya kekurangan atau
kelebihan serotonin semata. Neurotransmisi yang berlebih ini mengakibatkan
gangguan pada sistem serotonergik, jadi depresi timbul karena dijumpai gangguan
pada sistem serotogenik yang tidak stabil. Hipotesis yang belakangan ini dibuktikan
dengan pemberian anti depresan golongan SSRE (Selective Serotonin Re-uptake
Enhancer) yang justru mempercepat re-uptake serotonin dan bukan menghambat.
Dengan demikian maka turn over dari serotonin menjadi lebih cepat dan sistem
neurotransmisi menjadi lebih stabil yang pada gilirannya memperbaiki gejala-gejala
depresi. Mekanisme biokimiawi yang sudah diketahui tersebut menjadi dasar
penggunaan dan pengembangan obat-obat anti depresan.1,4,6
7
d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f) Tidur terganggu
g) Nafsu makan berkurang.
Gejala-gejala diatas dialami oleh pasien hampir setiap hari dan di nilai berdasarkan
ungkapan pribadi atau hasil pengamatan orang lain misalnya keluarga pasien.
2.6 Diagnosis
Kriteria diagnosis
A. Pasien mengalami mood terdepresi (sebagai contoh., sedih atau perasaan kosong)
atau kehilangan minat atau kesenangan sepanjang waktu selama 2 minggu atau
lebih ditambah 4 atau lebih gejala-gejala berikut ini.
8
C. Gejalanya menimbulkan penderitaan atau hendaya sosial, pekerjaan atau fungsi
penting lainnya yang bermakna secara klinik.
D. Gejalanya bukanlah merupakan efek fisiologi langsung dari zat (sebagai contoh:
penyalahgunaan obat, atau medikasi) atau suatu kondisi medik umum (sebagai
contoh: hypotroidisme).
9
kehilangan minat dan kegembiraan, dan
berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja) sedikit saja dan menurunnya
aktivitas.
Gejala lainnya:
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi
periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan
berlangsung cepat.
Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1), dan berat
(F32.2) hanya digunakan untuk episode depresi tunggal yang pertama).
Episode depresif berikutnya harus diklasifikasi dibawah salah satu diagnosis
gangguan depresif berulang (F33.-).
Pedoman Diagnostik
10
Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya: (a)sampai dengan
(g).
Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya.
Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu.
Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.
Karakter kelima :
Pedoman Diagnostik
Karakter kelima :
Pedoman Diagnostik
11
Semua 3 gejala utama depresi harus ada.
Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa di
antaranya harus berintensitas berat.
Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci.
Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode
depresif berat masih dapat dibenarkan.
Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang- kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka
masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang
dari 2 minggu.
Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat
terbatas.
Pedoman Diagnostik
12
F32.8 Episode Depresif Lainnya
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien gangguan mood harus diarahkan kepada beberapa
tujuan. Pertama, keselamatan pasien harus terjamin. Kedua, kelengkapan evaluasi
diagnostik pasien harus dilaksanakan. Ketiga, rencana terapi bukan hanya untuk
gejala, tetapi kesehatan jiwa pasien kedepan juga harus diperhatikan. Walaupun
penatalakasanaan farmakoterapi dan psikoterapi harus dipikirkan pada pasien,
peristiwa kehidupan yang penuh ketegangan dapat meningkatkan angka
kekambuhan. Selanjutnya melalui terapi harus dapat menurunkan banyaknya stresor
berat dalam kehidupan pasien. Secara keseluruhan, penatalaksanaan gangguan mood
harus diserahkan kepada psikiater. Remisi penuh akan dialami pasien dalam waktu
4 bulan dengan pengobatan yang adekuat.1,4
1. Rawat Inap
Indikasi yang jelas untuk rawat inap adalah adanya kebutuhan
diagnostik, risiko bunuh diri dan melakukan pembunuhan, dan berkurangnya
kemampuan pasien secara menyeluruh untuk asupan makanan dan tempat
perlindungan. Riwayat gejala berulang dan hilangnya system dukungan
terhadap pasien juga merupakan indikasi rawat inap.4,9
Tanda klinis yang tidak telalu kuat sebagai bahan pertimbangan
adalah, penurunan berat badan, perbaikan minimal dari insomnia. Sistem
pendukung pasien harus kuat, tidak terlalu mencampuri maupun menjauhi
pasien. Tiap perubahan yang kurang baik pada gejala, tingkah laku atau sikap
pasien merupakan tanda untuk rawat inap.
Pasien dengan gangguan mood sering tidak mau menjalani rawat inap
atas dasar keinginan sendiri. Pasien tidak dapat membuat keputusan karena
lambat berpikir, berpikir negatif, dan tidak mempunyai harapan.4
13
2. Farmakoterapi.
14
pengobatan. Dokter juga harus menekankan kepada pasien tidak akan menjadi
ketergantungan dengan obat antidepresan, karena obat tidak memberikan
kepuasan segera dan dosis obat akan diturunkan secara perlahan-lahan sesuai
dengan evaluasi gejala. 1,4
15
SSRIs merupakan obat yang secara luas digunakan di Amerika
Serikat. Merupakan obat pilihan karena efektif, mudah digunakan, dan relatif
kurang efek sampingnya, meskipun pada dosis tinggi. Obat baru, bupropion,
venlafaxine, dan nefazodone sudah sering digunakan oleh psikiater. Obat-obat
tersebut lebih aman dari obat trisiklik, tetrasiklik dan MAOIs, dan
menunjukkan efektif pada uji klinik. Obat trisiklik dan tetrasiklik, trazadone
(Desyrel) dan mirtazapine dapat menyebabkan sedasi. MAOIs dibutuhkan
sebagai penghambat. obat simpatomimetik, seperti dextroamfetamin
(Dexedrine) dan metilfenidat (Ritalin) mungkin menghasilkan perbaikan
mood yang cepat (dalam minggu pertama) dan diindikasikan pemantauan
yang ketat. 1,4
16
Interaksi obat. Sistem isoenzim sitokrom P450 terlibat dalam
metabolisme berbagai obat, tetapi beberapa orang secara genetic berisiko
meningkatkan konsentrasi obat dalam darah yang dimetabolisme oleh salah
satu dari isoenzim sitokrom P450, seperti CYP 2D6.4,8
17
untuk bunuh diri atau ketidak mampuan fungsi psikososial merupakan
indikasi untuk mempertimbangkan terapi profilaksis. Terapi profilaksis
selama 5 tahun juga diberikan pada pasien dengan 2 atau lebih episode
depresi dalam waktu 5 tahun, onset episode depresi pada usia diatas 50
tahun, dan riwayat sulit untuk ditatalaksana. Jika terapi antidepresian
dihentikan, dosis obat harus diturunkan secara bertahap di atas 1 atau 2
minggu, tergantung dari waktu paruh campuran partikel. Beberapa penelitian
mengindikasikan mempertahankan pengobatan antidepresan lebih aman dan
efektif untuk menangani depresi kronik.4
Lithium
Lithium (900 sampai 1200mg per hari, kadar serum antara 0,6 dan 0,8
mEq/L) dapat ditambahkan pada dosis antidepresan selama 7 sampai 14
hari. Pendekatan ini meningkatkan secara antidepresan yang tidak berespon
menjadi berespon. Signifikan Liothyronine. Penambahan sebanyak 25
sampai 50 mg per hari liothyronin ke dalam regimen antidepresan selama 7
sampai 14 hari mengkonversikan yang tidak berespon menjadi berespon
18
terhadap antidepresi. Efek samping dari liothyronine kecil tetapi mungkin
dapat menimbulkan sakit kepala dan perasaan marah. Jika penambahann
liothyronine berhasil, penggunaan liothyronine dilanjutkan sampai 2 bulan
dan diturunkan hingga 12,5 mg tiap hari pada hari ke 3 atau 7. 1,4
4. Psikoterapi
5. Terapi keluarga.
19
mengurangi dan menghadapi stres dan untuk mengurangi adanya
kekambuhan. Terapi keluarga diindikasikan untuk gangguan yang
membahayakan perkawinan pasien atau fungsi keluarga atau jika
gangguan mood didasari atau dapat ditangani oleh situasi keluarga. 1,4
2.7 Prognosis
Gangguan depresi berat bukan merupakan gangguan yang ringan. Keadaan ini
cenderung merupakan gangguan yang kronis dan pasien cenderung mengalami relaps.
Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan depresif
memiliki kemungkinan 50 % untuk pulih di dalam tahun pertama.4,9
Rekurensi episode depresi berat juga sering, kira-kira 30 sampai 50 % dalam
dua tahun pertama dan kira-kira 50 sampai 70 % dalam 5 tahun. Insidensi relaps
adalah jauh lebih rendah dari pada angka tersebut pada pasien yang meneruskan
terapi psikofarmakologis profilaksis dan pada pasien yang hanya mengalami satu atau
dua episode depresi. 4,9
20
BAB III
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
22