Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA PADA GANGGUAN DEPRESI

Oleh:
Andriani Kairuniza
11.2018.052

Pembimbing:
dr. Zulvia Oktanida Syarif, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA
PERIODE 03 AGUSTUS – 05 SEPTEMBER 2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Depresi merupakan suatu gangguan keadaan tonus perasaan yang secara umum
ditandai oleh rasa kesedihan, apatis, pesimisme, dan kesepian yang mengganggu aktivitas
sosial dalam sehari-hari. Depresi biasanya terjadi pada saat stress yang dialami oleh
seseorang yang tidak kunjung reda, sebagian besar diantara kita pernah merasa sedih atau
jengkel, kehidupan yang penuh masalah, kekecewaan, kehilangan dan frustasi yang dengan
mudah menimbulkan ketidakbahagiaan dan keputusasaan. Namun secara umum perasaan
demikian itu cukup normal dan merupakan reaksi sehat yang berlangsung cukup singkat dan
mudah dihalau.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat depresi adalah gangguan mental yang
umum terjadi di antara populasi. Diperkirakan 121 juta manusia di muka bumi ini menderita
depresi. Jumlah itu terdiri dari 5,8 persen laki-laki dan 9,5 persen perempuan, dan hamya
sekitar 30 persen penderita depresi yang benar-benar mendapatkan pengobatan yang cukup,
sekalipun telah tersedia teknologi pengobatan depresif yang efektif. Ironisnya, mereka yang
menderita depresi berada dalam usia produktif, yakni cenderung terjadi pada usia kurang dari
45 tahun. Pada makalah ini saya akan membahas mengenai gangguan depresi dan tatalaksana
yang dapat diberikan.1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Gangguan depresif merupakan gangguan medik serius menyangkut kerja otak, bukan
sekedar perasaan murung atau sedih dalam beberapa hari. Gangguan ini menetap selama
beberapa waktu dan mengganggu fungsi keseharian seseorang.

Gangguan depresif masuk dalam kategori gangguan mood, merupakan periode


terganggunya aktivitas sehari-hari, yang ditandai dengan suasana perasaan murung dan gejala
lainnya termasuk perubahan pola tidur dan makan, perubahan berat badan, gangguan
konsentrasi, anhedonia (kehilangan minat apapun), lelah, perasaan putus asa dan tak berdaya
serta pikiran bunuh diri. Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang maka
orang tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia
kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya.2

2.2 Epidemiologi

Prevalensi penderita depresi di Indonesia diperkirakan 2,5 - 9 juta dari 210 juta jiwa
penduduk. Pada saat setelah pubertas risiko untuk depresi meningkat 2- 4 kali lipat, dengan
20% insiden pada usia 18 tahun. Perbandingan gender saat anak-anak 1:1, dengan
peningkatan risiko depresi pada wanita setelah pubertas, sehingga perbandingan pria dan
wanita menjadi 1:2. Hal ini berhubungan dengan tingkat kecemasan pada wanita tinggi,
perubahan estradiol dan testosteron saat pubertas, atau persoalan sosial budaya yang
berhubungan dengan perkembangan kedewasaan pada wanita.

Depresi sering terjadi pada wanita dengan usia 25-44 tahun, dan puncaknya pada
masa hamil. Faktor sosial seperti stres dari masalah keluarga dan pekerjaan. Hal ini
disebabkan karena harapan hidup pada wanita lebih tinggi, kematian pasangan mungkin juga
menyebabkan angka yang tinggi untuk wanita tua mengalami depresi.

Penilaian gejala depresi seperti perasaan sedih atau kekecewaan yang kuat dan terus
menerus yang mempengaruhi aktivitas normal, menunjukan prevalensi seumur hidup
sebanyak 9-20%. Pada kriteria lain yang digunakan pada depresi berat, prevalensi depresi 3%
untuk pria dan 4-9% untuk wanita. Risiko seumur hidup 8-12% untuk pria dan 20-28% untuk
wanita. Sekitar 12-20% pada orang yang mengalami episode akut berkembang menjadi
sindrom depresi kronis, dan diatas 15% pasien yang mengalami depresi lebih dari 1 bulan
dapat melakukan bunuh diri.3

2.3 Etiologi4,5

Depresi disebabkan oleh kombinasi banyak faktor. Adapun faktor biologis, faktor
bawaan atau keturunan, faktor psikososial, dan faktor lingkungan, yang menjadi satu
kesatuan mengakibatkan depresi.

1) Faktor biologis

Faktor biologis yang dapat menyebabkan terjadinya depresi dapat dibagi


menjadi dua hal yaitu disregulasi biogenik amin dan disregulasi neuroendokrin.
Abnormalitas metabolit biogenik amin yang sering dijumpai pada depresi yaitu 5
hydroxy indoleacetic acid (5HIAA), homovalinic acid (HVA), 3-methoxy 4-
hydrophenylglycol (MHPG), sebagian besar penelitian melaporkan bahwa penderita
gangguan depresi menunjukkan berbagai macam abnormalitas metabolik
biogenikamin pada darah, urin dan cairan serebrospinal. Keadaan tersebut mendukung
hipotesis gangguan depresi berhubungan dengan disregulasi biogenikamin. Dari
biogenik amin, serotonin dan norepinefrin merupakan neurotransmiter yang paling
berperan dalam patofisiologi depresi.

Penurunan regulasi reseptor beta adrenergic dan respon klinik antidepresan


mungkin merupakan peran langsung sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti lain
yang juga melibatkan reseptor beta2-presinaptik pada depresi, telah mengaktifkan
reseptor yang mengakibatkan pengurangan jumlah pelepasan norepinephrin. Reseptor
beta2-presinaptik juga terletak pada neuron serotonergik dan mengatur jumlah
pelepasan serotonin.

Serotonin (5-hydroxytryptamine [5-HT]) neurotransmitter sistem menunjukan


keterlibatan dalam patofisiologi gangguan afektif, dan obat-obatan yang
meningkatkan aktifitas serotonergik pada umumnya memberi efek antidepresan pada
pasien . Selain itu , 5 - HT dan / atau metabolitnya, 5-HIAA, ditemukan rendah pada
urin dan cairan serebrospinal pasien dengan penyakit afektif. Hal ini juga dibuktikan
terdapat kadar 5-HT yang rendah pada otak korban bunuh diri dibandingkan dengan
kontrol. Selain itu , ada beberapa bukti bahwa terdapat penurunan metabolit serotonin,
5 – hydroxyindole acetic acid (5-HIAA) dan peningkatan jumlah reseptor serotnin
postsinaptik 5- hydroxytryptaminetype 2 (5HT2) di korteks prefrontal pada kelompok
bunuh diri.

Aktivitas dopamin mungkin berkurang pada depresi. Penemuan subtipe baru


reseptor dopamin dan meningkatnya pengertian fungsi regulasi presinaptik dan
pascasinaptik dopamin memperkaya antara dopamin dan gangguan mood. Dua teori
terbaru tentang dopamin dan depresi adalah jalur dopamin mesolimbic mungkin
mengalami disfungsi pada depresi dan reseptor dopamin D1 mungkin hipoaktif pada
depresi.

2) Faktor psikososial

Peristiwa kehidupan dengan stress lingkungan sering mendahului episode


pertama, dibandingkan episode berikutnya. Ada teori yang mengemukakan adanya
stres sebelum episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan
lama. Perubahan ini menyebabkan perubahan berbagai neurotransmiter dan sistem
sinyal intraneuron. Termasuk hilangnya beberapa neuron dan penurunan kontak
sinaps. Dampaknya, seorang individu berisiko tinggi mengalami episode berulang
gangguan mood, sekalipun tanpa stressor dari luar.

3) Faktor kepribadian

Orang dengan beberapa gangguan kepribadian seperti, obsesifkompulsif,


histeris, dan yang ada pada garis batasnya, mungkin memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk terkena depresi dari pada orang dengan kepribadian antisosial atau paranoid.

4) Faktor psikodinamik

Pada pengertian psikodinamik depresi dijelaskan oleh Sigmund Freud dan


dikembangkan oleh Karl Abraham dikenal sebagai pandangan klasik depresi. Teori
tersebut terdiri dari 4 hal utama :

1. gangguan pada hubungan bayi dan ibu selama fase oral (10- 18 bulan awal
kehidupan) sehinga bisa terjadi depresi;
2. depresi dapat dihubungkan dengan kehilangan objek secara nyata atau
imajinasi;
3. Introjeksi dari kehilangan objek adalah mekanisme pertahanan dari stress yang
berhubungan dengan kehilangan objek tersebut
4. karena kehilangan objek berkenaan dengan campuran cinta dan benci,
perasaan marah berlangsung didalam hati.

5) Faktor genetic

Dari faktor bawaan atau keturunan menerangkan apabila salah seorang kembar
menderita depresi, maka kemungkinan saudara kembarnya menderita pula sebesar 70
%. Kemungkinan menderita depresi sebesar 15 % pada anak, orang tua, dan kakak-
adik dari penderita depresi. Apabila anak yang orangtuanya pernah menderita depresi,
sejak lahir diadopsi oleh keluarga yang tidak pernah menderita depresi, ternyata
kemungkinan untuk menderita depresi 3 kali lebih besar dibandingkan anak - anak
kandung keluarga yang mengadopsi.

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Depresi

Banyak hal yang bisa menjadi faktor risiko timbulnya depresi, yaitu :

1) Usia
Rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah kira-kira 40 tahun; dan 50%
dari pasien memiliki onset anatara usia 20-50 tahun.
2) Jenis kelamin
Pada pengamatan yang hampir universal, terlepas dari kultur atau negara, terdapat
prevalensi gangguan depresif berat yang dua kali lebih besar pada wanita
dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya kesehatan
maternal.
3) Pendidikan
Terdapat hubungan yang signifikan pendidikan dengan depresi pada usia dewasa-tua.
Tingkat pendidikan berkaitan dengan kesehatan fisik yang baik. Penelitian di Inggris
menyebutkan bahwa lansia yang hanya menamatkan pendidikan dasar mempunyai
risiko terhadap depresi 2,2 kali lebih besar.
4) Status pernikahan
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang yang tidak
memiliki hubungan interpersonal yang erat atau yang tercerai atau berpisah.
2.5 Tanda dan Gejala4

Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energi adalah gejala utama dari
depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya sedih, tidak mempunyai harapan,
dicampakkan, atau merasa tidak berharga. Emosi yang ada pada mood depresi memiliki
kualitas yang berbeda dengan emosi duka cita atau kesedihan yang normal.

Pikiran untuk bunuh diri dapat timbul pada pasien depresi. Didapatkan meraka yang
dirawat di rumah sakit dengan percobaan bunuh diri mempunyai umut hidup lebih panjang
dibanding yang tidak dirawat. Beberapa pasien depresi juga terkadang tidak menyadari ia
mengalami depresi dan tidak mengeluh adanya gangguan mood meskipun meraka terlihat
menarik diri dari keluarga, teman dan aktivitas yang sebelumnnya menarik bagi mereka.
Gejala lainnya adalah penurunan energi. Mereka biasanya akan mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan tugas, hendaya disekolah maupun pekerjaan, dan hilangnya motivasi untuk
melakukan kegiatan baru. Sekitar 80 persen pasien mengeluh masalah tidur, khususnya
terjaga dini hari (terminalinsomnia) dan sering terbangun malam hari karena memikirkan
masalah yang dihadapi. Terdapat juga keluhan peningkatan atau penurunan nafsu makan
demikian pula dengan bertambah dan menurunnya berat badan.

Kecemasan adalah gejala tersering dari depresi dan menyerang 90 persen pasien
depresi. Gejala lain termasuk haid yang tidak normal dan menurunnya minat serta aktivitas
seksual.

2.6 Klasifikasi Depresi6

Menurut PPDGJ III, kriteria diagnosis episode depresif (F32) adalah sebagai berikut :

Gejala utama ( pada derajat ringan, sedang dan berat) :

1) Afek depresif
2) Kehilangan minat dan kegembiraan
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas

Gejala lainnya :
1) Konsentrasi dan perhatian berkurang
2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4) Pandangan masa depan yang suram dan psimistik
5) Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
6) Tidur terganggu
7) Nafsu makan berkurang
 Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut
diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan
diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika
gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
 Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1)
dan berat (F32.2) hanya digunakan untuk episode depresif tunggal
(yang pertama). Episode depresif berikutnya harus diklasifikasikan
dibawah salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33.-).

Pedoman Diagnostik

F32.0 Episode Depresif Ringan

Tabel 1. Episode depresi ringan

Episode depresi ringan


- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti tersebut
diatas
- Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya: 1) sampai dengan 7).
- Tidak boleh ada gejala berat diantaranya.
- Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.
- Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.

F32.1 Episode Depresif Sedang

Tabel 2. Episode depresi sedang

Episode depresi sedang


- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada
episode depresi ringan.
- Ditambah 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya.
- Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.
- Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan
urusan rumah tangga.

F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik

Tabel 3. Episode depresi berat tanpa gejala psikotik

Episode depresi berat dengan tanpa gejala psikotik


- Semua 3 gejala utama depresi harus ada.
- Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa di
antaranya harus berintensitas berat. - Bila ada gejala penting ( misalnya agitasi
atau retardasi psikomotor) yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau
atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal
demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih
dapa dibenarkan.
- Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurangkurangnya 2 minggu,
akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2
minggu.
- Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik

Tabel 4. Episode depresi berat dengan gejala psikotik

Episode depresi berat dengan gejala psikotik


- Episode depresif berat yang memenuhi kriteri menurut F32.2 tersebut diatas.
- Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham malapetaka yang
mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi
auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh,
atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat
dapat menuju stupor.
Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau
tidak serasi dengan afek (mood-congruent).

2.7 Diagnosa Banding7


1) Bereavement (Kehilangan teman atau keluarga karena kematian)

Bereavement atau rasa kesedihan yang berlebihan karena putusnya suatu


hubungan dapat memperlihatkan gejala yang sama dengan episode depresi mayor.
Tingkat keparahan dan durasi dari gejala dan dampaknya pada fungsi sosial dapat
membantu dalam menyingkirkan antara kesedihan yang mendalam dan Major
Depressive Disorder (MDD) (Tabel 5).

Tabel 5. Perbedaan bereavement dan episode depresi mayor

Gejala Bereavement MDD


Waktu Kurang dari 2 bulan Lebih dari 2 bulan
Perasaan tidak Tidak ada Ada
berguna/tidak pantas
Ide bunuh diri Tidak ada Kebanyakan ada
Rasa bersalah, dll Tidak ada Mungkin ada
Perubahan psikomotor Agitasi ringan Melambat
Gangguan fungsi Ringan Sedang-berat

2) Gangguan Afektif Disebabkan Karena Kondisi Medis Umum

Gejala depresi dapat diperlihatkan dari efek fisiologis suatu kondisi medis
khusus yang terjadi sebelumnya. Sebaliknya, gejala fisik suatu penyakit medis utama
sulit untuk dapat didiagnosis yang berkormorbid dengan MDD. The Hospital Anxiety
and Depression Scale (HADS) sangat berguna untuk alat deteksi pasien dengan
penyakit medis dimana digunakan pertanyaan yang memfokuskan pada gejala
kognitif dibandingkan dengan gejala somatiknya. MDD sama banyaknya dengan
penyakit kronis (Tabel 6), tetapi lebih umum diabetes, penyakit tiroid, dan gangguan
neurologis (penyakit Parkinson, multiple sklerosis).

Tabel 6. Kondisi medis umum berhubungan dengan gejala depresi

Gangguan Neurologis Gangguan Endokrin


 Penyakit Alzheimer  Adrenal
 Penyakit serebrovaskular Cushing
 Neoplasma cerebral Addison

 Trauma cerebral Hyperaldosteronisme

 Infeksi SSP  Berhubungan dengan haid

 Dementia  Penyakit paratiroid

 Epilepsy  Penyakit tiroid

 Penyakit ekstrapiramidal  Defisiensi vitamin

 Penyakit Huntington B12/folat


Vitamin C
 Hidrosefalus
Niacin
 Migraine
Thiamine
 Multiple sclerosis
Gangguan lainnya
 Narcolepsy
 AIDS
 Penyakit Parkinson
 Kanker
 Supranuclear palsy progresif
 Sindrom klinefelter
 Sleep apnea
 Infark miokard
 Penyakit Wilson
 Porphyrias
Gangguan Sistemik
 Sebelum operasi
 Infeksi virus dan bakteri
 Penyakit ginjal dan uremia
Inflamasi
 Neoplasma sistemik
 Rheumatoid arthritis
 Sindrom Sjorgen
 SLE
 Artritis temporal
3) Gangguan Afektif Disebabkan Karena Zat

Efek samping obat (baik yang diresepkan atau tidak) dapat memperlihatkan
gejala depresi, jadi suatu zat yang dapat mempengaruhi gangguan mood harus dapat
dipertimbangkan dalam mendiagnosis banding MDD. Bukti dari riwayat, pemeriksaan
fisik, atau temuan laboratorium digunakan untuk dapat menentukan adanya suatu
pengalahgunaan, ketergantungan, intoksikasi/keracunan, atau kondisi putus obat yang
secara fisoilogis akan menyebabkan suatu episode depresi. Selama gejala depresi
karena pengaruh obat dapat disembuhkan dengan menghentikan penggunaan obat
tersebut, gejala putus obat dapat berlangsung selama beberapa bulan.

Obat ataupun zat yang umum disalahgunakan dan menyebabkan gangguan


mood yang dipengaruhi zat, seperti :

 Alcohol
 Amfetamin
 Anxiolitik
 Kokain
 Zat-zat halusinogen
 Hipnotik
 Inhalant
 Opioid
 Phencycline
 Sedatif

4) Gangguan Bipolar

Sejarah adanya mania atau hipomania mengidentifikasikan adanya gangguan


bipolar, tetapi semenjak gangguan bipolar sering berawal dengan episode depresi, dan
pasien bipolar mengalami episode depresi lebih lama dibandingkan dengan
hipomania/mania, hal ini penting untuk untuk mengeluarkan diagnosis bipolar ketika
sedang mendiagnosis MDD. Pada kenyataannya, 5-10% individu yang mengalami
episode depresi mayor akan memiliki episode hipomanik atau manik didalam
kehidupannya. Gejala depresi yang memperlihatkan suatu gangguan bipolar termasuk
didalamnya pemikiran yang kacau, gejala psikotik, gambaran atipikal (pipersomnia,
makan berlebihan), onset usia dini, dan episode kekambuhan. Gangguan Bipolar II
(dengan hipomania) sulit untuk dikenali karena pasien tidak mengenali hipomania
sebagai suatu kondisi yang abnormal – mereka menerima itu sebagai perasaan yang
baik. Informasi yang mendukung dari pasangan hidup, teman terdekat, dan keluarga
sering menjadi hal yang penting untuk dapat mendiagnosis. Pertanyaan-pertanyaan
yang valid, seperti kuesioner gangguan afektif, dapat membantu dalam
mengidentifikasi hipomania.

2.8 Skala Penilaian Objektif untuk Depresi4


1) The Zung Self-Rating Depression Scale
Terdiri dari 20 butir skala pelaporan. Skor normal adalah ≤ 34; skor depresi adalah ≥
50. Skala tersebut meliputi indeks global intensitas gejala depresi pasien, termasuk
kecenderungan ekspresi dari depresi.
2) The Raskin Depression Scale
Suatu skala nilai klinik yang mengukur beratnya depresi, yang dilaporkan oleh pasien
dan dokter pengamat, pada 5 poin skala dari tiga dimensi meliputi pelaporan verbal,
penampilan perilaku, dan gejala sekunder. Skala berkisar antara 3 sampai 13; skor
normal adalah 3, dan skor depresi adalah 7 atau lebih.
3) The Hamilton Rating Scale for Depression (HAM-D)
Suatu skala depresi yang terdiri dari 24 butir skala pelaporan, tiap butir berkisar antara
0 sampai 4 atau 0 sampai 2 dengan total skor antara 0 sampai 76. Dokter
mengevaluasi jawaban pasien terhadap pertanyaan tentang rasa bersalah, pikiran
bunuh diri, kebiasaan tidur dan gejala lain dari depresi, penilaian diperoleh dari
wawancara klinis.
4) Montgomery–Asberg Depression Rating Scale (MADRS)
Suatu skala nilai klinis yang terdiri dari 10 butir kuesioner diagnostic yang digunakan
untuk menilai keparahan episode depresi pada pasien dengan gangguan mood.
Dirancang pada tahun 1979 oleh para peneliti Inggris dan Swedia sebagai tambahan
untuk Skala Penilaian Hamilton untuk Depresi (HAMD) yang akan lebih sensitif
terhadap perubahan yang dibawa oleh antidepresan dan bentuk pengobatan lain
daripada Skala Hamilton.

2.9 Pemeriksaan Status Mental4


 Deskripsi umum
Kemunduran psikomotor secara umum merupakan gejala yang paling sering,
meskipun agitasi psikomotor juga terlihat, terutama pada pasien usia lanjut. Meremas
tangan dan menarik rambut adalah gejala dari agitasi. Postur tubuh juga biasanya
dibungkukkan, tidak ada gerakan spontan, sedih dan memalingkan wajah.

 Bicara

Adanya pengurangan jumlah dan volume suara, merespon pertanyaan dengan satu-
satu kata dan memperlihatkan perlambatan menjawab pertanyaan.

 Mood, afek dan perasaan

Gejala kunci adalah depresi, walaupun sekitar 50 persen pasien menyangkal perasaan
depresi dan tidak tampak depresi. Anggota keluarga dan teman kerja sering membawa
pasien untuk terapi karena terlihat menarik diri dari lingkungan sosial dan
pengurangan aktifitas secara umum.

 Pikiran

Pandangan negatif terhadap dunia dan dirinya sendiri. Isi pikir biasanya meliputi rasa
kehilangan, rasa bersalah, pikiran bunuh diri, dan kematian. Sekitar 10 persen pasien
dapat menunjukkan gejala gangguan pikiran, dengan isi pikirnya adalah hambatan dan
kemiskinan.

 Persepsi

Pada gangguan depresi berat dengan gejala psikotik memiliki delusi atau halusinasi.
Bahkan tanpa delusi atau halusinasi, beberapa dokter menyebut psychotic depression,
untuk kemunduran keseluruhan, membisu (mute), tidak mandi dan kotor.

 Orientasi

Kebanyakan pasien depresi tidak mengalami gangguan orientasi, baik orang, tempat
maupun waktu, meskipun beberapa dari mereka tidak mempunyai tenaga atau minat
untuk menjawab pertanyaan tentang subjek tersebut selama wawancara.
 Memori

Sekitar 50 sampai 75 persen pasien depresi memiliki hendaya kognitif, kadang


ditunjukkan sebagai pseudodementia depresi. Umumnya pasien mengeluhkan tidak
mampu berkonsentrasi dan mudah lupa.

 Control impuls

Sekitar 10 sampai 15 persen melakkan bunuh diri dan sekitar dua pertiganya
mempunyai ide untuk bunuh diri. Pasien dengan ciri psikotik biasanya
mempertimbangkan untuk membunuh orang sebagai manifestasi delusi, walaupun
banyak pasien depresi kurang tenaga atau motivasi untuk mengikuti suara hati untuk
melakukan kejahatan.

 Pertimbangan dan tilikan

Tilikan pasien depresi terhadap gangguannya sering berlebihan, mereka terlalu


menekankan gejalanya, gangguannya dan masalah hidup meraka. Ini menyulitkan
untuk meyakinkan pasien bahwa perbaikan mungkin terjadi.

2.10 Penatalaksanaan4,8

Penatalaksanaan pada gangguan mood harus diarahakan pada beberapa tujuan, yaitu :

1) Keselatamatan pasien harus terjamin


2) Kelengkapan evaluasi diagnostic harus dilaksanakan
3) Rencana terapi bukan hanya untuk gejala, tetapi kesehatan jiwa pasien
kedepan juga harus diperhatikan
 Rawat inap

Indikasi untuk rawat inap adalah kebutuhan untuk prosedur diagnostik, risiko
bunuh diri dan melakukan pembunuhan, dan berkurangnya kemampuan pasien secara
menyeluruh untuk asupan makanan dan tempat perlindungan. Riwayat gejala berulang
dan hilangnya sistem dukungan terhadap pasien juga menjadi indikasi dilakukan
rawat inap. Pasien dengan gangguan mood sering menolak untuk menjalani rawat
inap atas dasar keinginan sendiri. Pasien tidak dapat membuat keputusan karena
lambat berpikir, berpikir negatif, dan tidak mempunyai harapan.
 Farmakoterapi

Tujuan utama terapi yaitu mengakhiri episode saat ini dan mencegah
timbulnya episode penyakit di masa yang akan datang. Untuk itu dibagi menjadi 3
fase, yaitu terapi fase akut, terapi fase lanjutan, dan terapi fase rumatan.

a) Terapi fase akut

Dimulai dari keputusan untuk terapi dan berakhir dengan remisi. Skala
penentuan beratnya depresi (HAM-D dan MADRS) dapat membantu
menentukan beratnya penyakit dan perbaikan gejala.

Target pengobatan pada fase akut tercapainya respon atau remisi (lebih baik).
Lama terapi pada fase akut 2 sampai 6 minggu. Indikasi yang pasti untuk
perawatan di rumah sakit adalah :

1. Prosedur diagnostic
2. Risiko bunuh diri atau pembunuhan
3. Kemunduran yang parah dalam kemampuan memenuhi kebutuhan
makan dan perlindungan
4. Cepatnya perburukan gejala
5. Hilangnya sistem dukungan yang biasa didapatnya

Kombinasi terapi psikososial dan farmakoterapi memberikan hasil yang baik.


Untuk kasus ringan terapi psikososial saja juga memberikan hasil yang baik.

Panduan memilih medikasi :

1. Riwayat respons pengobatan


2. Prediksi respons gejala terapi
3. Adanya gangguan psikiatri/medic lain
4. Keamanan
5. Potensi efek samping
Tabel 7. Jenis obat antidepresan, dosis dan efek samping
b) Terapi fase lanjutan

Tujuan pengobatan pada fase ini adalah tercapainya remisi dan mencegah
relaps. Remisi yaitu bila HAM-D ≤ 7 atau MADRS ≤ 8, bertahan paling
sedikit 3 minggu. Dosis obat sama dengan fase akut.

c) Terapi fase rumatan


Tujuan untuk mencegah rekurensi. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah
risiko rekuren, biaya dan keuntungan perpanjangan terapi. Pasien yang telah
tiga kali atau lebih mengalami episode depresi atau dua episode berat
dipertimbangkan terapi pemeliharaan jangka panjang. Antidepresan yang telah
berhasil mencapai remisi dilanjutkan dengan dosis yang sama selama masa
pemeliharaan.

Salah satu kekhawatiran yang paling serius pada antidepresan adalah dapat
mengakibatkan kematian jika dikonsumsi dengan dosis berlebih. SSRI merupakan
obat pilihan karena efektif, mudah digunakan, dan relatif kurang efek sampingnya,
meskipun pada dosis tinggi. Obat baru golongan SNRI juga sudah sering digunakan
oleh psikiater. Obat trisiklik dan tetrasiklik adalah antidepresan yang paling
mematikan; SSRI, bupropion, trazodon, nefazodon, mirtazapine, venlafaksin, dan
MAOI lebih aman, walaupun obat-obat ini juga bisa bersifat letal jika dikonsumsi
dengan dosis berlebih yang dikombinasikan dengan alkohol ataupun obat lain. Efek
samping lain yang mungkin terjadi pada penggunaan antidepresan antara lain :

- Hipotensi (terutama pada usia lanjut)


- Gangguan jantung (tampak kelainan pada EKG)
- Gejala gangguan saraf otonom
- Gejala gangguan SSP
- Alergi
- Gejala hematologi
- Gejala psikis lain (gelisah dan delirium)
 Terapi psikososial

Diberikan utnuk membantu pasien mengembangkan strategi coping yang lebih


baik dalam mengatasi stressor kehidupan sehari-hari. Banyak penelitian yang telah
membuktikan bahwa psikoterapi merupakan terapi yang bermakna untuk depresi.
Pemberian psikoterapi merupakan yang dikombinasikan dengan obat memberikan
hasil yang lebih efektif dibanding dengan pemberian obat saja. Pasien juga dapat
bertahan lama dengan obat bila ia dalam proses psikoterapi.

Jenis psikoterapi yang diberikan biasanya tergantung dengan kondisi dari


pasien maupun preferensi dari dokter atau terapis. Jenis psikoterapi yang diberikan
seperti psikoterapi suportif, atau reedukatif ( psikoterapi kognitif, atau terapi perilaku
atau terapi kognitif perilaku), atau juga dengan psikoterapi rekonstruktif.

Pada saat pemilihan jenis psikoterapi penting diingat bahwa harus


memperhatikan kondisi dari pasien. Bila pasien dalam kondisi depresi berat terlebih
dengan adanya gejala psikotik, maka yang dapat dilakukan hanya psikoterapi suportif,
itupun jangan dihibur atau diberi nasihat karena kemungkinan pasien akan bertambah
sedih karena tidak mampu melaksanakan nasihat tersebut. Bila pasien sudah terlihat
lebih tenang baru dapat dipertimbangkan untuk pemberian psikoterapi kognitif, atau
kognitif perilaku atau psikoterapi dinamik.

 Terapi keluarga

Terapi keluarga sebenarnya tidak umum digunakan sebagai terapi primer dari
gangguan depresi terutama depresi berat. Namun berdasarkan bukti klinis didapatkan
terapi keluarga dapat membantu pasien untuk mengurangi dan menghadapi stress dan
untuk mengurangi adanya kekambuhan.

Indikasi dari terapi ini yaitu untuk gangguan yang membahayakan perkawinan
atau fungsi keluarga atau jika gangguan mood didasari atau dapat ditangani oleh
situasi keluarga. Terapi ini menguji peran pasien pada seluruh keluarga, juga menguji
peran dari keluarga untuk menangani gejala pasien.

 Terapi lainnya

ECT (Electro Convulsive Therapy) digunakan jika pasien tidak berespon


terhadap farmakoterapi dengan dosis yang adekuat atau tidak bisa mentoleransi
farmakoterapi atau pada klinis yang sangat berat yang memperlihatkan perbaikan
yang sangar cepat dengan penggunaan ECT.Biasa dipakai untuk depresi katatonik,
tendensi bunuh diri berulang, dan refrakter.

2.11 Prognosis4
Pada gangguan depresif kemungkinan prognosis akan baik apabila episodenya ringan,
tidak ada gejala psikotik, waktu rawat inap singkat, psikososial baik, fungsi keluarga stabil
dan lima tahun sebelum sakit secara umum fungsi sosial baik. Namun prognosis akan buruk
apabila gangguan termasuk depresi berat yang bersamaan dengan distimik, adanya
penyalahgunaan alkohol dan zat lain, ditemukan gejala cemas, dan memiliki riwayat adanya
episode depresi sebelumnya. Gangguan depresi berat sendiri bukan merupakan gangguan
depresi yang ringan karena cenderung untuk kronis dan kambuh.

BAB III

KESIMPULAN

Depresi merupakan suatu gangguan keadaan tonus perasaan yang secara umum
ditandai oleh rasa kesedihan, apatis, pesimisme, dan kesepian yang mengganggu aktivitas
sosial dalam sehari-hari. Depresi disebabkan oleh kombinasi banyak faktor. Adapun faktor
biologis, faktor bawaan atau keturunan, faktor psikososial, dan faktor lingkungan, yang
menjadi satu kesatuan mengakibatkan depresi. Menurut PPDGJ-III, depresi diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu depresi derajat ringan, sedang dan berat dimana memiliki gejala dan
tatalaksana yang berbeda tergantung tingkatannya. Tatalaksana yang utama diberikan pada
pasien ini adalah psikoterapi yang apabila memiliki derajat yang parah bisa dikombinasikan
dengan farmakoterapi berupa antidepresan. Secara umum, semakin sering pasien mengalami
episode depresi dan memiliki gejala dari gangguan depresi berat maka semakin buruk pula
prognosisnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Reddy M.S. Depression: The Disorder and the Burden. Indian Journal of
Psychological Medicine,2010; 32(1)

2. Departemen Kesehatan RI. Pharmaceutical Care untuk Penderita Gangguan Depresif.


Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2007.

3. Mayasari, Tri and Wistya NN. Overview of Depression. E-Jurnal Med Udayana.
2013; 2(11):1938–57

4. FKUI. Buku Ajar Psikiatri. Edisi ketiga. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.2017; 259-83

5. Sadock, Kaplan. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2016;189-96.

6. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III
dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, 2013; 64-5.

7. Lam, Raymond. Depression. Oxford Psychiatry Library. Oxford University Press.


2008
8. KEMENKES. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa. 2015

Anda mungkin juga menyukai