Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

Oktober 2016

GANGGUAN KEPRIBADIAN ANANKASTIK

Disusun Oleh :

Ni Made Novi Rahmawati, S.Ked


11 777 060

Pembimbing : dr. Merry, Sp.KJ

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2015
BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan mood meliputi sekelompok besar gangguan, dengan mood patologis


serta gangguan yang terkait mood yang mendominasi gambaran klinisnya. Istilah
gangguan mood , yang dalam edisi Diagnostic and Stastistical Manual of mental
Doisorders (DSM) sebelumnya dikenal sebagai gangguan afektif, saat ini lebih
disukai karena istilah ini mengacu pada kedaan emosi yang menetap, bukan hanya
ekspresi eksternal (afektif) pada keadaan emosional sementara. Pada gangguan mood,
pengendalian hilang dan terdapat pengalaman subjektif akan adanya penderitaan yang
berat. Mood dapat normal, meningkat, atau menurun.1

Pasien dengan mood meningkat menunjukkan adanya ekspansivitas flight of


ideas, tidur berkurang, harga diri meningkat, serta gagasan kebesaran. Pasien dengan
mood menurun menunjukkan hilangnya energy dan minat, rasa bersalah, sulit
berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, serta pikiran mengenai kematian atau bunuh
diri. 1,2

Bidang psikiatri memisahkan depresi berat dan angguan bipolar sebagai gangguan
yang berbeda, pertimbangan kembali telah dilakukan baru-baru ini terhadap
kemungkinan bahwa gangguan bipolar sebenarnya adalah ekspresi depresi berat,
yang lebih parah. 1,2

Pada pengamatan universal, prevalensi gangguan depresif berat pada wanita dua
kali lebih besar dari pada laki-laki. Gangguan Bipolar mempunyai prevalensi yang
sama antara laki-laki dan perempuan. Lebih banyaknya perempuan yang tercatat
mengalami depresi bisa disebabkan oleh pola komunikasi wanita yang ingin
memberitahukan masalahnya kepada orang lain dan harapan untuk mendapatkan
bantuan atau dukungan sedangkan pada laki-laki cenderung untuk memikirkan
masalahnya sendiri dan jarang menunjukkan emosinya.1
Berbagai penelitian mengungkapkan golongan usia muda yaitu remaja dan
dewasa awal lebih mudah terkena depresi. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut
terdapat tahap-tahap serta tugas perkembangan yang penting yaitu peralihan dari
masa anak-anak ke masa remaja, remaja ke dewasa, masa sekolah ke masa kuliah dan
bekerja serta masa pubertas ke masa pernikahan. Survei telah melaporkan prevalensi
yang tinggi dari depresi terjadi pada usia 18-44 tahun. Penurunan kecenderungan
depresi pada usia dewasa diduga karena berkurangnya respon emosi seseorang seiring
bertambahnya usia, meningkatnya kontrol emosi dan kekebalan terhadap pengalaman
dan peristiwa hidup yang dapat memicu stress. 1,2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif)

Gangguan mood meliputi sekelompok besar gangguan, dengan mood patologis


serta gangguan yang terkait mood yang mendominasi gambaran klinisnya. Istilah
gangguan mood , yang dalam edisi Diagnostic and Stastistical Manual of mental
Doisorders (DSM) sebelumnya dikenal sebagai gangguan afektif, saat ini lebih
disukai karena istilah ini mengacu pada kedaan emosi yang menetap, bukan hanya
ekspresi eksternal (afektif) pada keadaan emosional sementara. Pada gangguan mood,
pengendalian hilang dan terdapat pengalaman subjektif akan adanya penderitaan yang
berat.1

B. Klasifikasi Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif)

Menurut DSM-IV TR, gangguan depresif berat (juga dikenal sebagai depresi
unipolar) terjadi tanpa riwayat episode manic, campuran atau hipomanik.1

Gangguan bipolar didefinisikan sebagai gngguan perjalanan klinis satu atau lebih
episode manic dan kadang-kadang episode depresif berat. 1,4

Episode manic adalah suatu periode khas mood abnormal, terus meningkat,
ekspansif, atau irritabel setidaknya selama 1 minggu atau kurang. Episode hipomanik
memiliki durasi setidaknya 4 hari dan menyerupai episode manic kecuali bahwa pada
hipomanik, gangguan tidak cukup berat untuk menimbulkan hendaya fungsi sosial
atau pekerjaan serta tidak ada ciri psikotik. 1,4
C. Epidemiologi

Gangguan Afektif Episode Manik Gangguan Depresif


Bipolar
Berdasarkan data Berdasarkan data Gangguan depresif
American Psychiatri American Psychiatri berat paling sering
Assiciation prevalensi Assiciation prevalensi terjadi, dengan
gangguan bipolar sekitar episode manic sekitar prevalensi sekitar 15%.
5-15%. Awitan gangguan 0,4-1,6%. 1,2 Penderita perempuan
bipolar berkisar dari dapat mencapai 25%,
masa kanak-kanak (5-6 sekitar 10% perawatan
tahun) sampai 50 primer dan 15%
tahun.1,2 dirawat di Rumah
Sakit. Pada anak
sekolah didapatkan
prevalensi sekitar 2%
dan usia remaja 5%. 1,2

D. Etiologi
1) Faktor Genetik

Pada studi keluarga menemukan bahwa keluarga derajat pertama proban (orang
di dalam keluarga yang pertama kali diidentifikasi sakit) gangguan bipolar, lebih
cenderung mengalami gangguan yang sama besar 8 sampai 18 kali daripada keluarga
derajat pertama subjek kontrol, dan 2 kali sampai 10 kali cenderung mengalami
gangguan depresif berat. Studi keluarga juga menemukan bahwa keluarga derajat
pertama proban dengan gangguan depresif berat lebih cenderung mengalami
gangguan bipolar sebesar 1,5 sampai 2,5 kali dari pada keluarga derajat pertama
subjek kontrol yang normal, dan 2 sampai 3 kali lebih cenderung mengalami
gangguan depresif berat. Kemungkinan mengalami gangguan mood berkurang jika
derajat hubungan keluarga jauh. Contohnya, keluarga derajat kedua misalnya sepupu,
lebih kecil kemungkinan nya terkena dari pada keluarga derajat pertama, misalnya
saudara laki-laki. Pewarisan gangguan bipolar juga tampak dalam fakta bahwa sekitar
50% pasien gangguan bipolar setidaknya memiliki satu orang tua dengan gangguan
mood, paling sering gangguan depresif berat. Jika salah satu orang tua memiliki
gangguan bipolar terdapat 25% kemungkinan bahwa setiap anaknya juga memiliki
gangguan mood, jika kedua orang tua memiliki gangguan bipolar terdapat 50-75%
kemungkinan anaknya memiliki gangguan mood. 1,5

Studi anak kembar menunjukkan bahwa angka konkordinasi untuk gangguan


bipolar pada kembar monozigot adalah 33%-90%, untuk gangguan depresif berat
angka konkordinasi pada kembar monozigot sekitar 50%. 1,2,5
Studi keterkaitan, hubungan antara gangguan mood terutama gangguan bipolar
dan penanda genetic telah dilaporkan untuk kromosom 5, 11, 18 dan gen X. gen
reseptor D2 terletak pada kromosom 5. Gen untuk tirosin hidroksilase, yaitu enzim
yang membatasi laju sintesis katekolamin, terletak pada kromosom 11. Pada satu
studi penanda pada kromosom 18 di temukan di 28 keluarga inti dengan gangguan
bipolar. 1

2) Neurochemistry dan Mood Disorders


Komunikasi dan koordiansi dalam informasi antara area di otak bergantung pada
neurotransmitter. Jika neurotransmiter ini berada pada tingkat yang normal, otak akan
bekerja secara harmonis. Kekurangan neurotransmiter serotonin, norepinefrin dan
dopamin dapat menyebabkan depresi. Di satu sisi, jika neurotransmiter ini berlebih
dapat menjadi penyebab gangguan manik.1
Neurotransmiter lain seperti GABA dan peptida neuroaktif seperti vasopresin dan
opiat endogen juga berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa sistem pembawa kedua (second messenger) seperti
adenylate cyclase, phosphatidylinositol dan regulasi kalsium mungkin memiliki
relevansi dengan penyebab gangguan mood.1,5
Regulasi abnormal pada sumbu neuroendokrin mungkin dikarenakan fungsi
abnormal neuron yang mengandung amine biogenik. Secara teoritis, disregulasi pada
sumbu neuroendokrin seperti sumbu tiroid dan adrenal terlibat dalam gangguan
mood. Pasien dengan gangguan mood mengalami penurunan sekresi melatonin
nokturnal, penurunan pelepasan prolaktin, penurunan kadar FSH dan LH serta
penurunan kadar testosteron pada laki-laki.1

3) The Neuroendocrine System


System endokrin memainkan peran penting dan regulasi respon seseorang
terhadap stress. Kelenjar endokrin, seperti pituitary, tiroid, dan kelenjar adrenal,
berlokasi pada seluruh bagian tubuh. Dalam merespon sinyal dari otak, kelenjar ini
mengeluarkan hormone ke dalam darah. Salah satu jalur penting dalam sistem
endokrin yang mungkin terkait erat dengan etiologi gangguan mood disebut dengan
hypothalamic-pituitary-adrenal(HPA) axis. Ketika seseorang mendeteksi ancaman di
lingkungan, sinyal hipotalamus kelenjar pituitari untuk mengeluarkan hormon yang
disebut ACTH, yang pada gilirannya memodulasi sekresi hormon, seperti kortisol,
dari kelenjar adrenal kedalam aliran darah. Peningkatan kadar kortisol membantu
orang untuk mempersiapkan diri untuk menanggapi ancaman dengan meningkatkan
kewaspadaan dan memberikan lebih banyak bahan bakar untuk otot sementara juga
terjadi penurunan minat dalam kegiatan lain yang mungkin mengganggu
perlindungan diri(seperti tidur dan makan).1
Asosiasi antara HPA axis dan depresi diindikasikan oleh bukti tentang
dexamethasone suppression test(DST), yang telah digunakan secara ekstensif untuk
mempelajari disfungsi endokrin pada pasien dengan gangguan mood.1,2
4) PSYCHOSOCIAL FACTORS
Onset dan maintenance dari clinical depression jelas terkat dengan sebuah
gangguan atau kegagalan dari mekanisme normal yang meregulasi emosi negative
yang mengikuti kerugian besar. Pada masa awal abad ke 20, teori psychodynamic
menitikberatkan peran sentral dari interpersonal relationship dan loss of significant
others dalam pengaturan tingkat depresi yang juga membawa suatu depressive
episode.

1. Gangguan Afektif Bipolar


a. Definisi

Gangguan bipolar yaitu gangguan mood yang kronis dan berat yang ditandai
dengan episode mania dan depresi. Sebelumnya, gangguan bipolar disebut dengan
manic depresif atau gangguan spectrum bipolar.

b. Etiologi
1) Faktor Genetik
Kromosom 11 dan gangguan bipolar.

Pada tahun 1987, satu studi melaporkan hubungan antara gngguan bipolar di
antara anggota keluarga Ordo lama Amish dan penanda genetic lengan pendek
kromosom 11. Dengan perluasan keturunan berikutnya dan timbulnya gangguan
bipolar pada anggota keluarga yang sebelumnya tidak terkena, penerapan hubungan
statistic dihentikan. Peristiwa ini secara efektif mengambarkan derajat kehati-hatian
yang harus digunakan dalam melakukan dan menginterpretasikan studi keterkaitan
genetic pada gangguan jiwa. 1

Kromosom X dan gangguan Bipolar

Keterkaitan telah lama diduga antara gangguan bipolar dan region pada
kromosom X yang berisi gen buta warna dan defisiensi glukosa-6-fosfat
dehidrogenase. Seperti pada sebagian besar studi tentang psikiatri, penerapan teknik
genetic molecular telah memberikan hasil kontradiktif, sejumlah studi menemukan
keterkaitan dan studi lainnya tidak. Interpretasi yang paling konservatif adalah
kemungkinan bahwa gen terkait-X merupakan faktor munculnya gangguan bipolar
pada sejumlah pasien dan keluarga.1

Faktor Organobiologik

Serotonin
Neuron serotonergik berproyeksi dari nukleus rafe dorsalis batang otak ke
korteks serebri, hipotalamus, talamus, ganglia basalis, septum, dan hipokampus.
Proyeksi ke tempat-tempat ini mendasari keterlibatannya dalam gangguan-gangguan
psikiatrik. Ada sekitar 14 reseptor serotonin, 5-HT1A dst yang terletak di lokasi
yang berbeda di susunan syaraf pusat. Sistem serotonin yang berproyeksi ke nukleus
suprakiasma hipotalamus berfungsi mengatur ritmik sirkadian (siklus tidur-bangun,
temperatur tubuh, dan fungsi axis HPA). Serotonin bersama-sama dengan
norepinefrin dan dopamin memfasilitasi gerak motorik yang terarah dan bertujuan.
Serotonin menghambat perilaku agresif pada mamalia dan reptilia.
Serotonin merupakan zat penghantar saraf yang berpengaruh terhadap
munculnya perasaan nyaman dan optimis. Kelainan Serotonin (5HT) berimplikasi
terhadap beberapa jenis gangguan jiwa yang mencakup ansietas, depresi, psikosis,
migren, gangguan fungsi seksual, tidur, kognitif, dan gangguan makan.
Fungsi : Relaksasi, perasaan nyaman, bahagia, optimis, perasaan bugar,
kemampuan memfokuskan konsentrasi dan perhatian, dorongan untuk makan. Jika
kadar serotonin rendah mengakibatkan perasaan tertekan, susah tidur, sulit
konsentrasi, mengalami kelelahan, merasa harga diri rendah. Yang paling sering :
jantung berdebar-debar, halusinasi, sesak napas, gangguan makan, dan gangguan
tidur. Namun jika kadar serotonin ini meningkat akan mengakibatkan meningkatnya
percaya diri, mood elasi (suasana perasaan yang meningkat).2,6
Kelainan pada otak juga dianggap dapat menjadi penyebab penyakit ini. Terdapat
perbedaan gambaran otak antara kelompok sehat dengan penderita bipolar. Melalui
pencitraan magnetic resonance imaging (MRI) dan positron-emission tomography
(PET), didapatkan jumlah substansia nigra dan aliran darah yang berkurang pada
korteks prefrontal subgenual. Tak hanya itu, Blumberg dkk dalam Arch Gen
Psychiatry 2003 pun menemukan volume yang kecil pada amygdala dan hipokampus.
Korteks prefrontal, amygdala dan hipokampus merupakan bagian dari otak yang
terlibat dalam respon emosi (mood dan afek). Penelitian lain menunjukkan ekspresi
oligodendrosit-myelin berkurang pada otak penderita bipolar. Seperti diketahui,
oligodendrosit menghasilkan membran myelin yang membungkus akson sehingga
mampu mempercepat hantaran konduksi antar saraf. Bila jumlah oligodendrosit
berkurang, maka dapat dipastikan komunikasi antar saraf tidak berjalan lancar.1,5,6

c. Diagnosis
Kriteria Diagnosis Menurut PPDGJ III

F31. Gangguan Afektif Bipolar


Gangguan ini tersifat oleh episode berulang (sekurang-kurangnya dua episode)
dimana afek pasien dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, pada waktu tertentu
terdiri dari peningkatan afek disertai penmbahan energi dan aktivitas (mania atau
hipomania), dan pada waktu lain berupa penurunan afek disertai pengurangan
energi dan aktivitas (depresi).
Yang khas adalah bahwa biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode.
Episode manik biasanya mulai dengan tiba-tiba dan beralngsung antara 2 minggu
sampai 4-5 bulan, episode depresi cenderung berlangsung lebih lama (rata-rata
sekitar 6 bulan) meskipun jarang melebihi 1 tahun kecuali pada orang usia lanjut.
Kedua macam episode itu seringkali terajadi setelah peristiwa hidup yang penuh
stres atau trauma mental lain (adanya stres tidak esensial untuk penegakan
diagnosis).3
Termasuk: gangguan atau psikosis manik-depresif.
Tidak termasuk: gangguan bipolar, episode manik tunggal (F30).

F31.0 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Hipomanik


Pedoman Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis pasti:
(a) Episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk hipomania (F30.0); dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik, manik,
depresif atau campuran) di masa lampau.3

F31.1 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik Tanpa Gejala Psikotik
Pedoman Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis pasti:
(a) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania tanpa gejala
psikotik (F30.1); dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik, manik,
depresif atau campuran) di masa lampau.3

F31.2 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik Dengan Gejala Psikotik
Pedoman Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis pasti:
(a) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania dengan gejala
psikotik (F30.2); dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik, manik,
depresif atau campuran) di masa lampau.3
F31.3 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Ringan atau Sedang
Pedoman Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis pasti:
(a) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif
ringan (F32.0) ataupun sedang (F32.1); dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atau
campuran di masa lampau.3

F31.4 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat Tanpa Gejala
Psikotik
Pedoman Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis pasti:
(a) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat
tanpa gejala psikotik (F32.2); dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atau
campuran di masa lampau.3

F31.5 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat Dengan Gejala
Psikotik
Pedoman Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis pasti:
(a) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat
dengan gejala psikotik (F32.3); dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atau
campuran di masa lampau.3
F31.6 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Campuran
Pedoman Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis pasti:
(a) Episode yang sekarang menunjukkan gejala-gejala manik, hipomani, dan
depresif yang tercampur atau bergantian dengan cepat (gejala mania/
hipomania dan depresi sama-sama mencolok selama masa terbesar dari
episode penyakit yang sekarang, dan telah berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu); dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik, atau
campuran di masa lampau.3

2. Episode Manik

Mood yang meningkat, ekspansif atau iiritabel adalah tanda khas epsidoe manic.
Mood yang meningkat bersifat euforik. Walaupun orang terlibat mungkin mengenali
sifat mood pasien yang tidak biasa, orang mengenal pasien menyadari bahwa hal
tersebut tidak normal. Mood dapat irritable khususnya ketika rencana seseorang yang
ambisius dengan terang-terangan ditentangi. Kecenderungan menanggalkan pakaian
di temapat umu, menggunakan pakaian serta perhiasan dengan warna mencolok
dengan kombinasi yang tidak biasa atau aneh, serta ketidakpedulian terhadap hal-hal
kecil (misalnya lupa menutup telepon) juga merupakan gejala khas gangguan ini.
[asien bertindak secara impulsive secara bersamaan dengan rasa yakin dan bertujuan.
Pasien manic sering memilki preokupasi terhadap gagasan kegamaan, politik,
keuangan, seksual dapat berubah menjadi system waham yang rumit.1,2,3

Faktor Psikodinamik Mania.

Sebagian besar teori mania memandang episode manic sebagai pertahananterhadap


depresi yang mendasari. Karl Abraham meyakini bahwa epsidoe manic dapat
mencerminkan ketidakmampuan menoleransi suatu tragedy perkembangan, misalnya
kehilangan orang tua. Keadaan manik juga dapat terjadi akibat superego yang bersifat
tirani, yang mengahsilkan kritik diri yang dapat ditoleransi yang kemudian digantikan
kepuasaan diri yang bersifat euphoria. Bertram Lewin menganggap ego pasien manic
dibanjiri impuls yang menyenangkan seperti seks atau impuls yang ditakuti seperti
agresi . Klein juga memandang mania sebagai rekasi defense terhadap depresi dengan
menggunakan defense manic seperti omnipoten, sehingga orang tersebut memilki
waham kebesaran. 1

Kriteria Diagnosis Menurut PPDGJ III

F30. Episode Manik

Kesamaan karakteristik dalam afek yang meningkat, disertai peningkatan dalam


jumlah dan kecepatan aktivitas fisik dan mental, dalam berbagai derajat
keparahan. Kategori ini hanya untuk episode manic tunggal (yang pertama),
termasuk gangguan afektif bipolar, episode manic tunggal. Jika ada episode
afektif (depresi, manic atau hipomanik) sebelumnya atau sesudahnya, termasuk
gangguan afektif bipolar.3

F30.0 Hipomania
Pedoman diagnostic
Derajat gangguan yang lebih ringan dari mania, afek yang meninggi atau
berubah disertai peningkatan aktivitas, menetap selama sekurang-kurangnya
beberapa hari berturut-turut, pada suatu derajat intensitas dan yang bertahan
melebihi apa yang digambarkan bagi siklotimia dan tidak disertai halusinasi
atau waham
Pengaruh nyata atas kelancaran pekerjaan dan aktivitas sosial memang sesuai
dengan diagnosis hipomania, akan tetapi bila kekacauan itu berat atau
menyeluruh, maka diagnosis mania (F30.1 atau F30.2) harus ditegakkan.3
F30.1 Mania tanpa Gejala Psikotik
Pedoman diagnosis
Episode harus berlangsung sekurang-kuragnya 1 minggu, dan cukup berat
sampai mengacaukan seluruh atau hamper seluruh pekerjaan dan aktivitas
sosial yang biasa di lakukan.
Perubahan afek harus disertai dengan energy yang bertambah sehingga terjadi
aktivitas berlebihan, percepatan dan kebanyakan bicara, kebutuhan tidur yang
berkurang, ide-ide perihal kebesaran/grandiose ideas dan terlalu optimistic.
Episode harus berlangsung sekurang-kuragnya 1 minggu, dan cukup berat
sampai mengacaukan seluruh atau hamper seluruh pekerjaan dan aktivitas
sosial yang biasa di lakukan.
Perubahan afek harus disertai dengan energy yang bertambah sehingga terjadi
aktivitas berlebihan, percepatan dan kebanyakan bicara, kebutuhan tidur yang
berkurang, ide-ide perihal kebesaran/grandiose ideas dan terlalu optimistic.3

F30.2 Mania dengan Gejala Psikotik


Pedoman diagnosis
Gambaran klinis merupakan bentuk mania yang lebih berat dari F30.1 (mania
tanpa gejala psikotik)
Harga diri yang membumbung dan gagasan kebesaran dapar berkembang
menjadi waham kebesaran (delusion of grandeur), irritabilitas dan kecurigaan
menjadi waham kejar (delusion of persecution). Waham dan halusinasi sesuai
dengan keadaan afek tersebut (mood-congruent).3

3. Gangguan Depresif
a. Definisi

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan


dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada
pola tidur dan nafsu makan, psokomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa
putus asa dan tak berdaya serta gagasan bunuh diri.1,2
Depresi merupakan gangguan mental yang paling banyak menimbulkan beban
distabilitas, meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan risiko bunuh diri. Berdasarkan
studi Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), gangguan mental
menempati urutan keempat penyebab disabilitas pada tahun 2000.1,2

b. Etiologi
Faktor Organobiologik
Faktor neurotransmiter: Dari biogenik amin, norepinefrin dan serotonin
merupakan dua neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan
mood. Norepinefrin hubungan yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah dasar antara
turunnya regulasi reseptor B-adrenergik dan respon antidepresan secara klinis
memungkinkan indikasi peran sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti-bukti
lainnya yang juga melibatkan presinaptik reseptor adrenergik dalam depresi, sejak
reseptor reseptor tersebut diaktifkan mengakibatkan penurunan jumlah norepinefrin
yang dilepaskan. Presipnatik reseptor adrenergik juga berlokasi di neuron
serotonergik dan mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan. Dopamin juga sering
berhubungan dengan patofisiologi depresi. Faktor neurokimia lainnya seperti gamma
aminobutyric acid (GABA) dan neuroaktif peptida (vasopressin dan opiate endogen)
telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood (Rush et al., 1998).1
Dilaporkan terdapat kelainan atau disregulasi pada metabolik amin biogenic
seperti asam 5-hydroxyindoleacetic (5-HIAA), asam homovanilic (HVA), dan 3-
methoxy-4-hydroxyphenylglicol (MHPG) di dalam darah, urin dan cairan
serebrospinal pasien dengan gangguan mood. 1,2

1) Amin biogenic
Norepinefrin penularan regulasi reseptor beta adrenergic dan respon klinis anti
depresi mungkin merupakan peran langsung system noradrenergic pada depresi.
Bukti lain yang juga melibatkan reseptor b2-presinaptik pada depresi, yaitu
aktifnya reseptor yang mengakibatkan pengurangan jumlah pelepasan norepinefrin
reseptor b2-presinaptik juga terletak pada neuron serotonergik dan mengatur
jumlah pelepasan serotonin.1,2
2) Dopamin
Aktivitas dopamine berkurang pada depresi. Penemuan subtipe baru reseptor
dopamine dan meningkatnya pengertian fungsi regulasi presinaptik dan
pascasinaptik dopamine memperkaya hubungan antara dopamine dan gangguan
mood. Dua teori terbaru tentang dopamine dan depresi adalah jalur dopamine
mesolimbik mungkin mengalami disfungsi pada depresi dan reseptor dopamine D1
mungkin hipoaktif pada depresi. 1,2
3) Serotonin
Aktivitas serotonin berkurang pada depresi. Serotonin bertanggung jawab untuk
kontrol regulasi afek, agresi, tidur dan nafsu makan. Pada beberapa penelitian
ditemukan jumlah serotonin yang berkurang dicelah sinap dikatakan bertanggung
jawab untuk terjadinya depresi. 1,2

Faktor Genetik
faktor yang signifikan dalam perkembangan gangguan mood adalah genetik.
Pada penelitian anak kembar terhadap gangguan depresi berat pada anak, pada anak
kembar monozigot adalah 50%, sedangkan dizigot 10-25% (Sadock & Sadock,
2010). Menurut penelitian Hickie et al., menunjukkan penderita lateg onset depresi
terjadi karena mutasi pada gene methylene tetrahydrofolate reductase yang
merupakan kofaktor yang terpenting dalam biosintesis monoamin. Mutasi ini tidak
bisa diketemukan pada penderita early onset depresi (Hickie et al, 2001). 1,2

Faktor Psikososial
Peristiwa hidup dan stress lingkungan terdapat pengamatan klinis yang bertahan
lama bahwa peristiwa hidup yang penuh tekanan lebih sering timbul mendahului
episode gangguan mood yang mengikuti. Sebuah teori yang diajukan untuk
menerangkan pengamatan ini adalah bahwa stress yang menyertai episode pertama
mengakibatkan perubahan yang bertahan lama di dalam biologic otak. Perubahan
yang bertahan lama ini dapat menghasilkan perubahan keadaan fungsional berbagai
neurotransmitter dan system pemberian signal intraneuron, perubahan yang bahkan
dapat mencakup hilangnya neuron dan berkurangny kontak sinaps yang berlebihan.
Akibatnya, seseorang memiliki resiko tinggi mengalami episode gangguan mood
berikutnya, bahkan tanpa stressor eksternal. 1,2
Data yang paling meyakinkan menunjukkan bahwa peristiwa hidup yang paling
sering menyebabkan timbulnya depresi di kemudian hari pada seseorang adalah
kehilangan orang tua sebelum usia 11 tahun. Stressor lingkungan yang paling sering
menyebabkan awitan episode depresi adalah kematian pasangan. Faktor risiko adalah
PHK seseorang yang keluar dari pekerjaan sebanyak tiga kali lebih cenderung
memberikan laporan gejala episode depresif berat daripada orang yang bekerja. 1,2

Faktor Kepribadian

Tidak ada satupun ciri bawaan atau jenis kepribadian yang secara khas merupakan
predisposisi seseorang mengalami depresi, semua manusia dengan pola kepribadian
apapun, dapat dan mengalami depresi di bawah situasi yang sesuai. Orang dengan
gangguan kepribadian tertentu obsesif kompulsif, histrionic, dan borderline mungkin
memilki resiko yang lebih besar untuk mengalami depresi daripada orang dengan
gangguan kepribadian antisocial atau paranoid. Gangguan kepribadian paranoid dapat
menggunakan mekanisme defense proyeksi dan mekansisme eksternalisasi lainnya
untuk melindungi diri mereka dari kemarahan di dalam dirinya. Tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa gangguan kepribadian tertentu terkait dengan timbulnya
gangguan bipolar 1di kemudian hari, meskipun demikian orang dengan gangguan
distimik dan siklotimik memiliki resiko mengalami gangguan depresi berat atau
gangguan bipolar 1 di kemudian hari. 1,2
Faktor psikodinamik pada depresi
Teori tersebut mencakup 4 hal utama :
1. Gangguan hubungan ibu-anak selama fase oral (10-18 bulan) menjadi faktor
predisposisi untuk rentan terhadap episode depresi berulang.
2. Depresi dapat dihubungkan dengan cinta yang nyata maupun fantasi kehilangan
objek.
3. Introjeksi merupakan terbangkitnya mekanisme pertahanan untuk mengatasi
penderitaan akibat kehilangan objek cinta.
4. Kehilangan objek cinta, diperlihatkan dalam bentuk campuran antara benci dan
cinta, serta perasaan marah yang diarahkan pada diri sendiri. 1,2

Formulasi lain dari depresi


Teori Kognitif
Menurut teori kognitif, depresi terjadi akibat distorsi kognitif spesifik yang
terdapat pada seseorang yang rentan terhadap depresi. Distorsi tersebut yang di sebut
sebagai depresogenic schemata, merupakan cetakan kognitif yang menerima data
internal maupun ekternal dengan cara yang diubah oleh pengalaman sebelumnya.
Beck memberikan postulat trias kognitif depresi yang terdiri atas (1) pandangan
mengenai diri, aturan diri yang negatif, (2) mengenai lingkungan-kecenderungan
mengalami dunia sebagai sesuatu yang memusuhi dan menuntut, (3) mengenai masa
depan-harapan mengenai penderitaan dan kegagalan. Terapi mencakup modifikasi
distorsi ini. 1,2

c. Diagnosis
Kriteria diagnosis menurut PPDGJ III3
1) Gejala Utama
Afek Depresif
Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas
2) Gejala lainnya:
Konsentrasi dan perhatian berkurang
Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
Tidur terganggu
Nafsu makan berkurang

Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut di perlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih
pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.

F32.0 Episode Depresif Ringan


Pedoman diagnostik
Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti tersebut
diatas
Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya

F32.1 Episode Depresif Sedang


Pedoman diagnostik
Skurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gajala utama depresi seperti pada
episode depresi ringan (F30.0)
Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya
Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu
Menghadapai kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
dan urusan rumah tangga

F32.2 Episode Depresif Berat tanpa gejala Psikotik


Pedoman diagnostik
Semua 3 gejala utama depresi harus ada
Di tambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa di
antaranya harus berintensitas berat
Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan benyak gejalanya secara rinci
Dalam hal demikian, penilian secara menyeluruh terhadap episode depresif
berat masih dapat dibenarkan.
Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 3 minggu,
akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2
minggu
Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

F32.3 Episode Depresif Berat dengan gejala Psikotik


Pedoman Diagnostik
Episode depresif berat yang memenuhi criteria menurut F32.2 tersebut
diatas
Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentag dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam,
dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau
olfatorik biasanya berupa suara yang menghina, menuduh, atau bau
kotoran, atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat
menuju pada stupor.
Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat di tentukan sebagai serasi
atau tidak serasi dengan afek (mood-congruent).

F33 Gangguan Depresif Berulang


Pedoman Diagnostik
Gangguan ini tersifat, dengan episode berulang dari:
- Episode depresi ringan (F32.0)
- Episode depresi sedang (F32.1)
- Episode depresi berat (F32.2 dan F32.3)
Episode masing-masing rata-rata lamanya sekitar 6 bulan, akan tetapi
frekuensinya lebih jarang dibandingkan dengan gangguan bipolar.
Tanpa riwayat adanya episode tersendiri dari peningkatan afek dan
hiperaktif yang memenuhi criteria mania (F30.1 dan F30.2)
Namun kategori ini tetap harus digunakan jika ternyata ada episode singkat
dari peninggian afek dan hiperaktivitas ringan yang memenuhi criteria
hipomania (F30.0) segera sesudah suatu episode depresif (kadang-kadang
tampaknya dicetuskan oleh tindakan pengobatan depresi)
Pemulihan keadaan biasanya sempurna diantara episode namun sebagian
kecil pasien mungkin mendapat depresi yang akhirnya menetap, terutama
pada usia lanjut (untuk keadaan ini, kategori ini harus tetap digunakan)
Episode masing-masing, dalam berbagai tingkat keparahan, seringkali
dicetuskan oleh peristiwa kehidupan yang penuh stress atau trauma mental
lain (adanya stress tidak esensial untuk penegakkan diagnosis)
E. Farmakoterapi Gangguan Perasaan (Mood/Afektif)
Terapi pasien dengan gangguan mood harus ditujukan pada beberapa tujuan.
Pertama, keamanan pasien harsu terjamin, kedua, evaluasi diagnostic lengkap pada
pasien harus dilakukan. Ketiga, rencana terapi yang ditujukan tidak hanya pada
gejala saat itu tetapi kesejahteraan pasien di masa mendatang juga harus dimulai.
Walaupun terapi saat ini yang menekankan pada farmakoterapi dan psikoterapi
ditujukan pada pasien secara individual, peristiwa hidup yang penuh tekanan juga
dikaitkan dengan meningkatnya angka kekambuhan pada pasien dengan gangguan
mood. Dengan demikian, terapi harus menurunkan jumlah dan keparahan stressor di
dalam kehidupan pasien.1
a. Anti Depresan
Antidepresan adalah kelompok obat-obat yang heterogen dengan efek utama dan
terpenting adalah untuk mengendalikan gejala depresi. Disamping itu juga digunakan
untuk beberapa indikasi lain seperti gangguan cemas dan lain-lain.1,7,8
Secara umum diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Derivate trisiklik
Imipramin
Amitriptilin
2. Derivate tetrasiklik
Maproptilin
Mianserin
3. Derivate MAOI (MonoAmine Oksidase Inhibitor)
Moclobemide
4. Derivate SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
Sertralin
Fluoxetine
Fluvoxamine
Paroxetine
Escitalopram
Cara Kerja :
Depresi terjadi karena rendahnya kadar serotonin di pasca sinaps. Secara umum
antidepresan bekerja di system neurotransmitter serotonin dengan cara meningkatkan
jumlah serotonin di pasca sinaps. Golongan trisiklik dan tetrasiklik bersifat
serotonergik dengan mengambat ambilan kembali neurotransmitter yang di lepaskan
di celah sinaps tetapi tidak selektif, dengan demikian kemungkinan muncul berbagai
efek samping yang tidak di harapkan dapat terjadi. Sementara SSRI bekerja dengan
cara yang sama dan hambatan bersifat selektif terhadap hanya neurotransmitter
serotonin (5HT2). Kelompok MAOI bekerja di presinaps dengan cara menghambat
enzim yang memecah serotonin sehingga jumlah serotonin yang dilepaskan ke celah
sinap bertambah dan dengan demikian yang diteruskan ke pasca sinaps juga
bertambah.2,8
Efek Samping
Beberapa efek samping yang mungkin terjadi antara lain:8
1. Hipotensi
2. Gangguan irama jantung
3. Gejala Psikis lain (maniak, gelisah dan delirium)

b. Anti-Mania
Antimania yang juga disebut sebagai mood modulator atau mood stabilizer
merupakan obat yang digunakan untuk mengatasi gejala sindrom mania dan
mencegah berubah-ubahnya suasana hati pasien. Episode berubahnya mood pada
umumnya tidak berhubungan dengan peristiwa-peristiwa kehidupan. Gangguan
biologis yang pasti belum diidentifikasi tapi diperkirakan berhubungan dengan
peningkatan aktivitas katekolamin. Berdasarkan hipotesis, sindrom mania
disebabkan oleh tingginya kadar serotonin dalam celah sinaps neuron khususnya
pada sistem limbik.2,7,8
Klasifikasi umum:
1. Lithium Carbonate
2. Carbamazepin (tegretol)
3. Asam Valproate (depakane)
4. Natrium Divalproex (Depakote)

Mekanisme Kerja
Sindrom mania disebabkan oleh tingginya kadar serotonin dalam celah sinaps
neuron, khususnya pada system limbic yang berdampak terhadap dopamine receptore
supersensitivity.8

F. PSIKOTERAPI
Ventilasi : memberikan kesempatan kepada pasien untuk menceritakan keluhan
dan isi hati serta perasaan sehingga pasien merasa lega.1
Terapi berorientasi psikoanalitik
Pendekatan psikoanalitik pada gangguan mood didasarkan pada teori
psikoanalitik mengenai depresi dan mania. Tujuan psikoterapi psikoanalitik
adalah untuk mendapatkan perubahan pada struktur atau karakter kepribadian
seseorang dan bukan semata-mata untuk menghilangkan gejala. Perbaikan dalam
kepercayaan diri, mekanisme coping (mengatasi masalah), kapasitas untuk
berdukacita, dan kemampuan untuk mengalami berbagai macam emosi
merupakan tujuan psikoanalisa.1
Terapi Kognitif
Terapi kognitif yang awalnya dikembangkan Aaron Beck, memfokuskan pada
distorsi kognitif, diperkirakan ada pada gangguan depresi berat. Distorsi tersebut
mencakup perhatian selektif terhadap aspek negative keadaan dan kesimpulan
patologis yang tidak realistis mengenai konsekuensi. Contohnya, apatis atau
kurang tenaga adalah akibat pengaharapan pasien mengenai kegagalan disemua
area. Tujuan terapi kognitif adalah meringankan episode depresif dan mencegah
kekambuhan dengan mengembangkan cara berpikir alternatif, fleksibel dan
positif serta melatih respon perilaku kognitif yang baru.1,2
Terapi Berorientasi Keluarga
Bertujuan untuk melatih emosional keluarga terhadap pasien agar dapat
membantu penyembuhan pasien. Memberikan masukan dan penjelasan kepada
keluarga pasien tentang keadaan pasien agar dapat memberikan dukungan moral
dan menciptakan lingkungan kondusif yang dapat membantu proses
penyembuhan.1
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan mood meliputi sekelompok besar gangguan, dengan mood patologis


serta gangguan yang terkait mood yang mendominasi gambaran klinisnya. Istilah
gangguan mood , yang dalam edisi Diagnostic and Stastistical Manual of mental
Doisorders (DSM) sebelumnya dikenal sebagai gangguan afektif, saat ini lebih
disukai karena istilah ini mengacu pada kedaan emosi yang menetap, bukan hanya
ekspresi eksternal (afektif) pada keadaan emosional sementara. Pada gangguan
mood, pengendalian hilang dan terdapat pengalaman subjektif akan adanya
penderitaan yang berat. Mood dapat normal, meningkat, atau menurun.
Menurut DSM-IV TR, gangguan depresif berat (juga dikenal sebagai depresi
unipolar) terjadi tanpa riwayat episode manic, campuran atau hipomanik.Episode
manic adalah suatu periode khas mood abnormal, terus meningkat, ekspansif, atau
irritabel setidaknya selama 1 minggu atau kurang. Episode hipomanik memiliki
durasi setidaknya 4 hari dan menyerupai episode manic kecuali bahwa pada
hipomanik, gangguan tidak cukup berat untk menimbulkan hendaya fungsi sosial atau
pekerjaan serta tidak ada ciri psikotik. Gangguan bipolar didefinisikan sebagai
gngguan perjalanan klinis satu atau lebih episode manic dan kadang-kadang episode
depresif berat.

Faktor yang berperan sebagai penyebab gangguan mood adalah faktor biologis,
faktor genetika, dan faktor psikososial. Penatalaksanaan untuk gangguan mood adalah
dengan Psikoterapi serta farmakoterapi. Pemilihan agen-agen farmakoterpi untuk
gangguan mood adalah tergantung pada toleransi pasien terhadap efek samping dan
penyesuaian efek samping terhadap kondisi pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan & Sadock. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi.2. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta: 2010.
2. Elvira SD, Hadisukanto G, Buku Ajar Psikiatri, Badan Penerbit FKUI, Jakarta:
2010
3. Maslim R, 2001,Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III, Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, Jakarta
4. Soreff S, McInnes LA. Bipolar Affective Disorder. [Online]. 2010 Feb 9 [cited
2010 June 4]; Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/286342-overview
5. Israr.A.yayan. Jurnal Gangguan Afektif Bipolar. Faculty of Medicine
University of Riau Pekanbaru, Riau.Files of DrsMed FK UNRI
(http://www.Files-of-DrsMed.tk:2009
6. Bonaventura, P., Voom,P., Luyten, WHML, Jurzak M, . 1999. Detailed mapping
of serotonin 5-HT1B and 5-HT-1D reseptor messenger RNA and ligand binding
sites in guinea-pig brain and trigeminal ganlion:clues for fungtion.
Neuroscience.
7. Brunton LL, Blumenthal DK, Parker KL, Buxton ILO. Goodman and Gilman's
Manual of Pharmalogical and Therapeutics: Drug Therapy of Depression and
Anxiety Disordes, Pharmacotherapy of Psychosis and Mania. San Francisco:
McGraw-Hill. 2008. p. 278-318.
8. Maslim, Rusdi, 2007, Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Edisi
3, Bagian ilmu kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai