Oktober 2016
Disusun Oleh :
PENDAHULUAN
Bidang psikiatri memisahkan depresi berat dan angguan bipolar sebagai gangguan
yang berbeda, pertimbangan kembali telah dilakukan baru-baru ini terhadap
kemungkinan bahwa gangguan bipolar sebenarnya adalah ekspresi depresi berat,
yang lebih parah. 1,2
Pada pengamatan universal, prevalensi gangguan depresif berat pada wanita dua
kali lebih besar dari pada laki-laki. Gangguan Bipolar mempunyai prevalensi yang
sama antara laki-laki dan perempuan. Lebih banyaknya perempuan yang tercatat
mengalami depresi bisa disebabkan oleh pola komunikasi wanita yang ingin
memberitahukan masalahnya kepada orang lain dan harapan untuk mendapatkan
bantuan atau dukungan sedangkan pada laki-laki cenderung untuk memikirkan
masalahnya sendiri dan jarang menunjukkan emosinya.1
Berbagai penelitian mengungkapkan golongan usia muda yaitu remaja dan
dewasa awal lebih mudah terkena depresi. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut
terdapat tahap-tahap serta tugas perkembangan yang penting yaitu peralihan dari
masa anak-anak ke masa remaja, remaja ke dewasa, masa sekolah ke masa kuliah dan
bekerja serta masa pubertas ke masa pernikahan. Survei telah melaporkan prevalensi
yang tinggi dari depresi terjadi pada usia 18-44 tahun. Penurunan kecenderungan
depresi pada usia dewasa diduga karena berkurangnya respon emosi seseorang seiring
bertambahnya usia, meningkatnya kontrol emosi dan kekebalan terhadap pengalaman
dan peristiwa hidup yang dapat memicu stress. 1,2
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut DSM-IV TR, gangguan depresif berat (juga dikenal sebagai depresi
unipolar) terjadi tanpa riwayat episode manic, campuran atau hipomanik.1
Gangguan bipolar didefinisikan sebagai gngguan perjalanan klinis satu atau lebih
episode manic dan kadang-kadang episode depresif berat. 1,4
Episode manic adalah suatu periode khas mood abnormal, terus meningkat,
ekspansif, atau irritabel setidaknya selama 1 minggu atau kurang. Episode hipomanik
memiliki durasi setidaknya 4 hari dan menyerupai episode manic kecuali bahwa pada
hipomanik, gangguan tidak cukup berat untuk menimbulkan hendaya fungsi sosial
atau pekerjaan serta tidak ada ciri psikotik. 1,4
C. Epidemiologi
D. Etiologi
1) Faktor Genetik
Pada studi keluarga menemukan bahwa keluarga derajat pertama proban (orang
di dalam keluarga yang pertama kali diidentifikasi sakit) gangguan bipolar, lebih
cenderung mengalami gangguan yang sama besar 8 sampai 18 kali daripada keluarga
derajat pertama subjek kontrol, dan 2 kali sampai 10 kali cenderung mengalami
gangguan depresif berat. Studi keluarga juga menemukan bahwa keluarga derajat
pertama proban dengan gangguan depresif berat lebih cenderung mengalami
gangguan bipolar sebesar 1,5 sampai 2,5 kali dari pada keluarga derajat pertama
subjek kontrol yang normal, dan 2 sampai 3 kali lebih cenderung mengalami
gangguan depresif berat. Kemungkinan mengalami gangguan mood berkurang jika
derajat hubungan keluarga jauh. Contohnya, keluarga derajat kedua misalnya sepupu,
lebih kecil kemungkinan nya terkena dari pada keluarga derajat pertama, misalnya
saudara laki-laki. Pewarisan gangguan bipolar juga tampak dalam fakta bahwa sekitar
50% pasien gangguan bipolar setidaknya memiliki satu orang tua dengan gangguan
mood, paling sering gangguan depresif berat. Jika salah satu orang tua memiliki
gangguan bipolar terdapat 25% kemungkinan bahwa setiap anaknya juga memiliki
gangguan mood, jika kedua orang tua memiliki gangguan bipolar terdapat 50-75%
kemungkinan anaknya memiliki gangguan mood. 1,5
Gangguan bipolar yaitu gangguan mood yang kronis dan berat yang ditandai
dengan episode mania dan depresi. Sebelumnya, gangguan bipolar disebut dengan
manic depresif atau gangguan spectrum bipolar.
b. Etiologi
1) Faktor Genetik
Kromosom 11 dan gangguan bipolar.
Pada tahun 1987, satu studi melaporkan hubungan antara gngguan bipolar di
antara anggota keluarga Ordo lama Amish dan penanda genetic lengan pendek
kromosom 11. Dengan perluasan keturunan berikutnya dan timbulnya gangguan
bipolar pada anggota keluarga yang sebelumnya tidak terkena, penerapan hubungan
statistic dihentikan. Peristiwa ini secara efektif mengambarkan derajat kehati-hatian
yang harus digunakan dalam melakukan dan menginterpretasikan studi keterkaitan
genetic pada gangguan jiwa. 1
Keterkaitan telah lama diduga antara gangguan bipolar dan region pada
kromosom X yang berisi gen buta warna dan defisiensi glukosa-6-fosfat
dehidrogenase. Seperti pada sebagian besar studi tentang psikiatri, penerapan teknik
genetic molecular telah memberikan hasil kontradiktif, sejumlah studi menemukan
keterkaitan dan studi lainnya tidak. Interpretasi yang paling konservatif adalah
kemungkinan bahwa gen terkait-X merupakan faktor munculnya gangguan bipolar
pada sejumlah pasien dan keluarga.1
Faktor Organobiologik
Serotonin
Neuron serotonergik berproyeksi dari nukleus rafe dorsalis batang otak ke
korteks serebri, hipotalamus, talamus, ganglia basalis, septum, dan hipokampus.
Proyeksi ke tempat-tempat ini mendasari keterlibatannya dalam gangguan-gangguan
psikiatrik. Ada sekitar 14 reseptor serotonin, 5-HT1A dst yang terletak di lokasi
yang berbeda di susunan syaraf pusat. Sistem serotonin yang berproyeksi ke nukleus
suprakiasma hipotalamus berfungsi mengatur ritmik sirkadian (siklus tidur-bangun,
temperatur tubuh, dan fungsi axis HPA). Serotonin bersama-sama dengan
norepinefrin dan dopamin memfasilitasi gerak motorik yang terarah dan bertujuan.
Serotonin menghambat perilaku agresif pada mamalia dan reptilia.
Serotonin merupakan zat penghantar saraf yang berpengaruh terhadap
munculnya perasaan nyaman dan optimis. Kelainan Serotonin (5HT) berimplikasi
terhadap beberapa jenis gangguan jiwa yang mencakup ansietas, depresi, psikosis,
migren, gangguan fungsi seksual, tidur, kognitif, dan gangguan makan.
Fungsi : Relaksasi, perasaan nyaman, bahagia, optimis, perasaan bugar,
kemampuan memfokuskan konsentrasi dan perhatian, dorongan untuk makan. Jika
kadar serotonin rendah mengakibatkan perasaan tertekan, susah tidur, sulit
konsentrasi, mengalami kelelahan, merasa harga diri rendah. Yang paling sering :
jantung berdebar-debar, halusinasi, sesak napas, gangguan makan, dan gangguan
tidur. Namun jika kadar serotonin ini meningkat akan mengakibatkan meningkatnya
percaya diri, mood elasi (suasana perasaan yang meningkat).2,6
Kelainan pada otak juga dianggap dapat menjadi penyebab penyakit ini. Terdapat
perbedaan gambaran otak antara kelompok sehat dengan penderita bipolar. Melalui
pencitraan magnetic resonance imaging (MRI) dan positron-emission tomography
(PET), didapatkan jumlah substansia nigra dan aliran darah yang berkurang pada
korteks prefrontal subgenual. Tak hanya itu, Blumberg dkk dalam Arch Gen
Psychiatry 2003 pun menemukan volume yang kecil pada amygdala dan hipokampus.
Korteks prefrontal, amygdala dan hipokampus merupakan bagian dari otak yang
terlibat dalam respon emosi (mood dan afek). Penelitian lain menunjukkan ekspresi
oligodendrosit-myelin berkurang pada otak penderita bipolar. Seperti diketahui,
oligodendrosit menghasilkan membran myelin yang membungkus akson sehingga
mampu mempercepat hantaran konduksi antar saraf. Bila jumlah oligodendrosit
berkurang, maka dapat dipastikan komunikasi antar saraf tidak berjalan lancar.1,5,6
c. Diagnosis
Kriteria Diagnosis Menurut PPDGJ III
F31.1 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik Tanpa Gejala Psikotik
Pedoman Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis pasti:
(a) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania tanpa gejala
psikotik (F30.1); dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik, manik,
depresif atau campuran) di masa lampau.3
F31.2 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik Dengan Gejala Psikotik
Pedoman Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis pasti:
(a) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania dengan gejala
psikotik (F30.2); dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik, manik,
depresif atau campuran) di masa lampau.3
F31.3 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Ringan atau Sedang
Pedoman Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis pasti:
(a) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif
ringan (F32.0) ataupun sedang (F32.1); dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atau
campuran di masa lampau.3
F31.4 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat Tanpa Gejala
Psikotik
Pedoman Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis pasti:
(a) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat
tanpa gejala psikotik (F32.2); dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atau
campuran di masa lampau.3
F31.5 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat Dengan Gejala
Psikotik
Pedoman Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis pasti:
(a) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat
dengan gejala psikotik (F32.3); dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atau
campuran di masa lampau.3
F31.6 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Campuran
Pedoman Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis pasti:
(a) Episode yang sekarang menunjukkan gejala-gejala manik, hipomani, dan
depresif yang tercampur atau bergantian dengan cepat (gejala mania/
hipomania dan depresi sama-sama mencolok selama masa terbesar dari
episode penyakit yang sekarang, dan telah berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu); dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik, atau
campuran di masa lampau.3
2. Episode Manik
Mood yang meningkat, ekspansif atau iiritabel adalah tanda khas epsidoe manic.
Mood yang meningkat bersifat euforik. Walaupun orang terlibat mungkin mengenali
sifat mood pasien yang tidak biasa, orang mengenal pasien menyadari bahwa hal
tersebut tidak normal. Mood dapat irritable khususnya ketika rencana seseorang yang
ambisius dengan terang-terangan ditentangi. Kecenderungan menanggalkan pakaian
di temapat umu, menggunakan pakaian serta perhiasan dengan warna mencolok
dengan kombinasi yang tidak biasa atau aneh, serta ketidakpedulian terhadap hal-hal
kecil (misalnya lupa menutup telepon) juga merupakan gejala khas gangguan ini.
[asien bertindak secara impulsive secara bersamaan dengan rasa yakin dan bertujuan.
Pasien manic sering memilki preokupasi terhadap gagasan kegamaan, politik,
keuangan, seksual dapat berubah menjadi system waham yang rumit.1,2,3
F30.0 Hipomania
Pedoman diagnostic
Derajat gangguan yang lebih ringan dari mania, afek yang meninggi atau
berubah disertai peningkatan aktivitas, menetap selama sekurang-kurangnya
beberapa hari berturut-turut, pada suatu derajat intensitas dan yang bertahan
melebihi apa yang digambarkan bagi siklotimia dan tidak disertai halusinasi
atau waham
Pengaruh nyata atas kelancaran pekerjaan dan aktivitas sosial memang sesuai
dengan diagnosis hipomania, akan tetapi bila kekacauan itu berat atau
menyeluruh, maka diagnosis mania (F30.1 atau F30.2) harus ditegakkan.3
F30.1 Mania tanpa Gejala Psikotik
Pedoman diagnosis
Episode harus berlangsung sekurang-kuragnya 1 minggu, dan cukup berat
sampai mengacaukan seluruh atau hamper seluruh pekerjaan dan aktivitas
sosial yang biasa di lakukan.
Perubahan afek harus disertai dengan energy yang bertambah sehingga terjadi
aktivitas berlebihan, percepatan dan kebanyakan bicara, kebutuhan tidur yang
berkurang, ide-ide perihal kebesaran/grandiose ideas dan terlalu optimistic.
Episode harus berlangsung sekurang-kuragnya 1 minggu, dan cukup berat
sampai mengacaukan seluruh atau hamper seluruh pekerjaan dan aktivitas
sosial yang biasa di lakukan.
Perubahan afek harus disertai dengan energy yang bertambah sehingga terjadi
aktivitas berlebihan, percepatan dan kebanyakan bicara, kebutuhan tidur yang
berkurang, ide-ide perihal kebesaran/grandiose ideas dan terlalu optimistic.3
3. Gangguan Depresif
a. Definisi
b. Etiologi
Faktor Organobiologik
Faktor neurotransmiter: Dari biogenik amin, norepinefrin dan serotonin
merupakan dua neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan
mood. Norepinefrin hubungan yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah dasar antara
turunnya regulasi reseptor B-adrenergik dan respon antidepresan secara klinis
memungkinkan indikasi peran sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti-bukti
lainnya yang juga melibatkan presinaptik reseptor adrenergik dalam depresi, sejak
reseptor reseptor tersebut diaktifkan mengakibatkan penurunan jumlah norepinefrin
yang dilepaskan. Presipnatik reseptor adrenergik juga berlokasi di neuron
serotonergik dan mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan. Dopamin juga sering
berhubungan dengan patofisiologi depresi. Faktor neurokimia lainnya seperti gamma
aminobutyric acid (GABA) dan neuroaktif peptida (vasopressin dan opiate endogen)
telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood (Rush et al., 1998).1
Dilaporkan terdapat kelainan atau disregulasi pada metabolik amin biogenic
seperti asam 5-hydroxyindoleacetic (5-HIAA), asam homovanilic (HVA), dan 3-
methoxy-4-hydroxyphenylglicol (MHPG) di dalam darah, urin dan cairan
serebrospinal pasien dengan gangguan mood. 1,2
1) Amin biogenic
Norepinefrin penularan regulasi reseptor beta adrenergic dan respon klinis anti
depresi mungkin merupakan peran langsung system noradrenergic pada depresi.
Bukti lain yang juga melibatkan reseptor b2-presinaptik pada depresi, yaitu
aktifnya reseptor yang mengakibatkan pengurangan jumlah pelepasan norepinefrin
reseptor b2-presinaptik juga terletak pada neuron serotonergik dan mengatur
jumlah pelepasan serotonin.1,2
2) Dopamin
Aktivitas dopamine berkurang pada depresi. Penemuan subtipe baru reseptor
dopamine dan meningkatnya pengertian fungsi regulasi presinaptik dan
pascasinaptik dopamine memperkaya hubungan antara dopamine dan gangguan
mood. Dua teori terbaru tentang dopamine dan depresi adalah jalur dopamine
mesolimbik mungkin mengalami disfungsi pada depresi dan reseptor dopamine D1
mungkin hipoaktif pada depresi. 1,2
3) Serotonin
Aktivitas serotonin berkurang pada depresi. Serotonin bertanggung jawab untuk
kontrol regulasi afek, agresi, tidur dan nafsu makan. Pada beberapa penelitian
ditemukan jumlah serotonin yang berkurang dicelah sinap dikatakan bertanggung
jawab untuk terjadinya depresi. 1,2
Faktor Genetik
faktor yang signifikan dalam perkembangan gangguan mood adalah genetik.
Pada penelitian anak kembar terhadap gangguan depresi berat pada anak, pada anak
kembar monozigot adalah 50%, sedangkan dizigot 10-25% (Sadock & Sadock,
2010). Menurut penelitian Hickie et al., menunjukkan penderita lateg onset depresi
terjadi karena mutasi pada gene methylene tetrahydrofolate reductase yang
merupakan kofaktor yang terpenting dalam biosintesis monoamin. Mutasi ini tidak
bisa diketemukan pada penderita early onset depresi (Hickie et al, 2001). 1,2
Faktor Psikososial
Peristiwa hidup dan stress lingkungan terdapat pengamatan klinis yang bertahan
lama bahwa peristiwa hidup yang penuh tekanan lebih sering timbul mendahului
episode gangguan mood yang mengikuti. Sebuah teori yang diajukan untuk
menerangkan pengamatan ini adalah bahwa stress yang menyertai episode pertama
mengakibatkan perubahan yang bertahan lama di dalam biologic otak. Perubahan
yang bertahan lama ini dapat menghasilkan perubahan keadaan fungsional berbagai
neurotransmitter dan system pemberian signal intraneuron, perubahan yang bahkan
dapat mencakup hilangnya neuron dan berkurangny kontak sinaps yang berlebihan.
Akibatnya, seseorang memiliki resiko tinggi mengalami episode gangguan mood
berikutnya, bahkan tanpa stressor eksternal. 1,2
Data yang paling meyakinkan menunjukkan bahwa peristiwa hidup yang paling
sering menyebabkan timbulnya depresi di kemudian hari pada seseorang adalah
kehilangan orang tua sebelum usia 11 tahun. Stressor lingkungan yang paling sering
menyebabkan awitan episode depresi adalah kematian pasangan. Faktor risiko adalah
PHK seseorang yang keluar dari pekerjaan sebanyak tiga kali lebih cenderung
memberikan laporan gejala episode depresif berat daripada orang yang bekerja. 1,2
Faktor Kepribadian
Tidak ada satupun ciri bawaan atau jenis kepribadian yang secara khas merupakan
predisposisi seseorang mengalami depresi, semua manusia dengan pola kepribadian
apapun, dapat dan mengalami depresi di bawah situasi yang sesuai. Orang dengan
gangguan kepribadian tertentu obsesif kompulsif, histrionic, dan borderline mungkin
memilki resiko yang lebih besar untuk mengalami depresi daripada orang dengan
gangguan kepribadian antisocial atau paranoid. Gangguan kepribadian paranoid dapat
menggunakan mekanisme defense proyeksi dan mekansisme eksternalisasi lainnya
untuk melindungi diri mereka dari kemarahan di dalam dirinya. Tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa gangguan kepribadian tertentu terkait dengan timbulnya
gangguan bipolar 1di kemudian hari, meskipun demikian orang dengan gangguan
distimik dan siklotimik memiliki resiko mengalami gangguan depresi berat atau
gangguan bipolar 1 di kemudian hari. 1,2
Faktor psikodinamik pada depresi
Teori tersebut mencakup 4 hal utama :
1. Gangguan hubungan ibu-anak selama fase oral (10-18 bulan) menjadi faktor
predisposisi untuk rentan terhadap episode depresi berulang.
2. Depresi dapat dihubungkan dengan cinta yang nyata maupun fantasi kehilangan
objek.
3. Introjeksi merupakan terbangkitnya mekanisme pertahanan untuk mengatasi
penderitaan akibat kehilangan objek cinta.
4. Kehilangan objek cinta, diperlihatkan dalam bentuk campuran antara benci dan
cinta, serta perasaan marah yang diarahkan pada diri sendiri. 1,2
c. Diagnosis
Kriteria diagnosis menurut PPDGJ III3
1) Gejala Utama
Afek Depresif
Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas
2) Gejala lainnya:
Konsentrasi dan perhatian berkurang
Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
Tidur terganggu
Nafsu makan berkurang
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut di perlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih
pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
b. Anti-Mania
Antimania yang juga disebut sebagai mood modulator atau mood stabilizer
merupakan obat yang digunakan untuk mengatasi gejala sindrom mania dan
mencegah berubah-ubahnya suasana hati pasien. Episode berubahnya mood pada
umumnya tidak berhubungan dengan peristiwa-peristiwa kehidupan. Gangguan
biologis yang pasti belum diidentifikasi tapi diperkirakan berhubungan dengan
peningkatan aktivitas katekolamin. Berdasarkan hipotesis, sindrom mania
disebabkan oleh tingginya kadar serotonin dalam celah sinaps neuron khususnya
pada sistem limbik.2,7,8
Klasifikasi umum:
1. Lithium Carbonate
2. Carbamazepin (tegretol)
3. Asam Valproate (depakane)
4. Natrium Divalproex (Depakote)
Mekanisme Kerja
Sindrom mania disebabkan oleh tingginya kadar serotonin dalam celah sinaps
neuron, khususnya pada system limbic yang berdampak terhadap dopamine receptore
supersensitivity.8
F. PSIKOTERAPI
Ventilasi : memberikan kesempatan kepada pasien untuk menceritakan keluhan
dan isi hati serta perasaan sehingga pasien merasa lega.1
Terapi berorientasi psikoanalitik
Pendekatan psikoanalitik pada gangguan mood didasarkan pada teori
psikoanalitik mengenai depresi dan mania. Tujuan psikoterapi psikoanalitik
adalah untuk mendapatkan perubahan pada struktur atau karakter kepribadian
seseorang dan bukan semata-mata untuk menghilangkan gejala. Perbaikan dalam
kepercayaan diri, mekanisme coping (mengatasi masalah), kapasitas untuk
berdukacita, dan kemampuan untuk mengalami berbagai macam emosi
merupakan tujuan psikoanalisa.1
Terapi Kognitif
Terapi kognitif yang awalnya dikembangkan Aaron Beck, memfokuskan pada
distorsi kognitif, diperkirakan ada pada gangguan depresi berat. Distorsi tersebut
mencakup perhatian selektif terhadap aspek negative keadaan dan kesimpulan
patologis yang tidak realistis mengenai konsekuensi. Contohnya, apatis atau
kurang tenaga adalah akibat pengaharapan pasien mengenai kegagalan disemua
area. Tujuan terapi kognitif adalah meringankan episode depresif dan mencegah
kekambuhan dengan mengembangkan cara berpikir alternatif, fleksibel dan
positif serta melatih respon perilaku kognitif yang baru.1,2
Terapi Berorientasi Keluarga
Bertujuan untuk melatih emosional keluarga terhadap pasien agar dapat
membantu penyembuhan pasien. Memberikan masukan dan penjelasan kepada
keluarga pasien tentang keadaan pasien agar dapat memberikan dukungan moral
dan menciptakan lingkungan kondusif yang dapat membantu proses
penyembuhan.1
BAB III
KESIMPULAN
Faktor yang berperan sebagai penyebab gangguan mood adalah faktor biologis,
faktor genetika, dan faktor psikososial. Penatalaksanaan untuk gangguan mood adalah
dengan Psikoterapi serta farmakoterapi. Pemilihan agen-agen farmakoterpi untuk
gangguan mood adalah tergantung pada toleransi pasien terhadap efek samping dan
penyesuaian efek samping terhadap kondisi pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan & Sadock. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi.2. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta: 2010.
2. Elvira SD, Hadisukanto G, Buku Ajar Psikiatri, Badan Penerbit FKUI, Jakarta:
2010
3. Maslim R, 2001,Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III, Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, Jakarta
4. Soreff S, McInnes LA. Bipolar Affective Disorder. [Online]. 2010 Feb 9 [cited
2010 June 4]; Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/286342-overview
5. Israr.A.yayan. Jurnal Gangguan Afektif Bipolar. Faculty of Medicine
University of Riau Pekanbaru, Riau.Files of DrsMed FK UNRI
(http://www.Files-of-DrsMed.tk:2009
6. Bonaventura, P., Voom,P., Luyten, WHML, Jurzak M, . 1999. Detailed mapping
of serotonin 5-HT1B and 5-HT-1D reseptor messenger RNA and ligand binding
sites in guinea-pig brain and trigeminal ganlion:clues for fungtion.
Neuroscience.
7. Brunton LL, Blumenthal DK, Parker KL, Buxton ILO. Goodman and Gilman's
Manual of Pharmalogical and Therapeutics: Drug Therapy of Depression and
Anxiety Disordes, Pharmacotherapy of Psychosis and Mania. San Francisco:
McGraw-Hill. 2008. p. 278-318.
8. Maslim, Rusdi, 2007, Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Edisi
3, Bagian ilmu kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya: Jakarta