Anda di halaman 1dari 33

KASUS

I. Identitas Pasien
1. Nama : Tn. R
2. Umur : 30 Tahun
3. JenisKelamin : Laki-laki
4. Alamat : Ds. Korobokan Sari
5. Pekerjaan : Wiraswasta
6. Agama : Hindu
7. Status : Belum menikah
8. Tanggal masuk Rs : 19 Agustus 2017

II. Anamnesis
1. Keluhan Utama :
Kulit melepuh
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien laki-laki umur 30 tahun masuk ke RS Anutapura dengan
keluhan kulit melepuh sejak 8 hari sebelum masuk RS. Awalnya muncul
bintik bintik merah di wajah kemudian menyebar keseluruh tubuh, bintik
merah tersebut makin lama makin membesar dan bersisi cairan dan pecah
dengan mengeluarkan cairan berwarna jernih. kemudian bintik yang sudah
pecah menjadi luka yang terasa nyeri dan berubah menjadi warna hitam.
Selain itu, keluarga pasien mengatakan, pasien juga mengeluh mata merah,
luka pada mulut, bibir pecah-pecah, terdapat luka di beberapa bagian
tubuh lainnya, dan terasa nyeri bila menggerakkan anggota tubuhnya.
Keluarga pasien juga mengatakan sebelum timbul bintik merah pasien
mengkomsusmsi obat-obatan dari rs madani yaitu obat karbamazepine
selama 3 hari.
3. Riwayat penyakit terdahulu :
Pasien sudah 3 kali masuk RS Madani dengan keluhan gangguan jiwa
sejak tahun 2016.
Riwayat Diabetes (-)
Riwayah Hipertensi (-)
Riwayat alergi disangkal
4. Riwayat pengobatan :
Pasien rutin mengkonsumsi obat dari RS Madani
5. Riwayat penyakit keluarga :

1
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama dengan
pasien.

III.Pemeriksaan Fisik
Status Generalis :
1. Keadaan Umum : Sakit sedang
2. Kesadaran : Kompos mentis
3. Status gizi : Normal
4. Tanda Vital :
a. Tekanan darah : 120/80 mmHg
b. Nadi : 76 x/menit
c. Suhu : 36,7C
d. Pernapasan : 19 x/ menit
5. Kepala
a. Sklera : Ikterik (-)
b. Konjungtiva : Anemis (-), Conjungtivitis (+)
c. Bibir : Sianosis (-)
6. Thoraks : Tidak dilakukan pemeriksaan
7. Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
8. Kelenjar limfe : Tidak dilakukan pemeriksaan

IV. Status Lokalis


Ujud kelainan kulit
1. Kepala : Tampak krusta dan erosi
2. Leher : Tampak vesikel dan erosi
3. Dada : Tampak bula dan erosi
4. Perut : Tampak eritema, vesikel dan bula
5. Punggung : Tampak eritema dan vesikel
6. Genitalia : Tampak erosi
7. Bokong : Tampak vesikel disertai erosi dan ulkus
8. Ekstremitas Atas : Tampak vesikel dan erosi
9. Ekstremitas Bawah: Tampak eritema, bula dan erosi

V. Status Dermatologi
Lokasi : Regio Facialis, thoraks anterior dan posterior,
abdomnen, ekstremitas superior dan inferior.
Ukuran : Miliar-plakat
Efloresensi :Tampak kelainan kulit berupa eritema, vesikel, bula
dan erosi disetai ulkus pada bokong

2
VI. Laboratorium

Hematologi Hasil Rujukan

Darah Rutin

WBC 6,2 4,8-10,8 x 103/mm3

RBC 4,95 4,7-6,1 x 106/mm3

PLT 177 150-450 x 103/mm3

HCT 38,4 42-52 %

HGB 12,8 14-18 g/dL

Glukosa

Glukosa Sewaktu 125 80 199 mg/dl

Funsi Hati

SGOT 91 () 0 - 35 U/L

SGPT 75() 0 - 45 U/L

HbsAG Non Reaktif Non Reaktif

ANTI HCV Non Reaktif Non Reaktif

Fungsi ginjal

Ureum 33 18-55 mg/dl

Creatinin 0,85 0,50-1,20 mg/dl

Elektrolit

Kalium 3,63 3,48-5,50 mmol/L


135,58-145,00
Natrium 143,96
mmol/L
Clorida 87,89 () 96,0-106,00 mmol/L

3
VII. Resume
Pasien Tn. R umur 30 tahun masuk ke RS Anutapura dengan
keluhan kulit erosi sejak 8 hari sebelum masuk RS. Awalnya muncul
eritema di facialis dan menyebar ke seluruh tubuh, eritema menjadi
vesikel, bulla makin lama pecah dan menjadi erosi dan ulkus terasa nyeri
dan berubah menjadi krusta kehitaman. Selain itu, keluarga pasien
mengatakan, pasien juga mengeluh konjungtivitis, odinofagia, stomatitis,
bibir pecah-pecah, anoreksia, terdapat ulkus di beberapa bagian tubuh
lainnya, dan pasien mengeluh myalgia. Keluarga pasien juga mengatakan
sebelum eritema pasien mengkomsusmsi obat-obatan dari RS Madani
yaitu karbamazepin selama 3 hari.
Pada pemeriksaan fisik untuk status generalis kesadaran pasien
compos mentis, tekanan darah (120/80), nadi (76 x/ menit) ,suhu (36,7oC),
pernapasan (19x/menit). Untuk status dermatologi didapatkan kelainan
kulit di bagian mata terdapat eritema, pada bagian bibir didapatkan krusta,
dan pada bagian tubuh lainnya terdapat skuama tebal disertai eritema,
erosi, dan ulkus.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan WBC (6,2 x 103/mm3),
RBC (4,95 x 106/mm3), HGB (12,8 g/dL), HCT (38,4 %), PLT (177 x
103/mm3), GDS (125 mg/dl), SGOT (91 U/L), SGPT (75 U/L) HbsAG
(Non Reaktif), ANTI HCV (Non Reaktif), Ureum (33 mg/dl), Creatinin
(0,85 mg/dl), Kalium (3,63 mmol/L), Natrium (143,96 mmol/L), Clorida
(87,89 mmol/L).

VIII. Diagnosis Banding


TEN (Toxic Epidermal Necrolisys)
Fixed drug eruption
IX. Diagnosis Kerja
Sindrom Stevens Johnson
X. Terapi
Non-Medikamentosa
Kompres NACL 0,9% (untuk luka)
Perbaiki keadaan umum pasien
Medikamentosa
Sistemik

4
IVFD RL 24 tpm
Inj. Dexamettasone 5 mg/8 j/ iv
Inj. Gentamicin 8 mg/8 j/ iv
Cetirizine 10 mg ( 1 dd 1)

Topikal

Fulson cr 5g untuk luka


Kenalog oral base } Untuk bibir

XI. Prognosis
Dubia ad bonam

XII. Follow up

Tgl 21 Agustus 2017 (HARI PERTAMA)

S Erosi pada bagian wajah, bula pada bagian dada, vesikel pada bagian ekstremitas
atas, eritema pada bagian ekstremitas bawah dan ulkus pada bagian bokong

O Tanda vital
TD 110/80
Nadi 81x/menit
Suhu 36,8oC
Pernapasan 19x/menit
Status Dermatologi
Generalisata : vesikel, bulla dan erosi
Hasil Laboratorium
-

A Sindrom stevens johnson

P Non-Medikamentosa
Kompres NACL 0,9% (untuk luka di bibir dan genetalia)
Perbaiki keadaan umum pasien
Medikamentosa
Sistemik
- IVFD RL 24 tpm
- Inj. Dexamettasone 5 mg/8 j/ iv
- Inj. Gentamicin 8 mg/12 j/ iv
- Ranitidin amp/12/iv

5
- Cetirizine 10 mg ( 1 dd 1)

Topikal

- Fulson cr 5g untuk luka di badan


- Kenalog oralbase untuk luka di bibir

Dokumentasi

6
Tgl 22 Agustus 2017 (HARI KEDUA)

S Erosi pada bagian wajah, dada, dan punggung,eritema pada bagian ekstremitas
atas dan bawah dan ulkus pada bagian bokong

O Tanda vital

7
TD 120/70
Nadi 78x/menit
Suhu 37,0oC
Pernapasan 20x/menit
Status Dermatologi
Generalisata : eritema, erosi dan ulkus

Hasil Laboratorium
-

A Sindrom stevens johnson

P Non-Medikamentosa
Kompres NACL 0,9% (untuk luka di bibir dan genetalia)
Perbaiki keadaan umum pasien
Medikamentosa
Sistemik
- IVFD RL 24 tpm
- Inj. Dexamettasone 5 mg/8 j/ iv
- Inj. Gentamicin 8 mg/12 j/ iv
- Ranitidin 1 amp/12j/iv
- Cetirizine 10 mg ( 1 dd 1)

Topikal

- Fulson cr 5g untuk luka di badan


- Kenalog oralbase untuk luka di bibir

Dokumentasi

8
9
Tgl 23 Agustus 2017 (HARI KETIGA)

S Erosi dan eritema pada bagian wajah, dada, ekstremitas atas dan bawah serta
ulkus pada bagian bokong

O Tanda vital
TD 110/80
Nadi 81x/menit
Suhu 36,8oC
Pernapasan 19x/menit
Status Dermatologi
Generalisata : erosi, eritema

Hasil Laboratorium
-

A Sindrom stevens johnson

P Non-Medikamentosa
Kompres NACL 0,9% (untuk luka)
Perbaiki keadaan umum pasien
Medikamentosa
Sistemik
- IVFD RL 24 tpm

10
- Inj. Dexamettasone 5 mg/8 j/ iv
- Inj. Gentamicin 8 mg/12 j/ iv
- Ranitidin amp/12 j/iv
- Cetirizine 10 mg ( 1 dd 1)

Topikal

- Fulson cr untuk luka


- Kenalog oralbase untuk luka di bibir

Dokumentasi

11
12
Tgl 24 Agustus 2017 (HARI KEEMPAT)

S Erosi dan eritema pada bagian wajah, dada, ekstremitas atas dan bawah serta
ulkus pada bagian bokong

O Tanda vital
TD 120/80
Nadi 82x/menit
Suhu 36,3oC
Pernapasan 22x/menit
Status Dermatologi
Generalisata : erosi, eritema
Hasil Laboratorium
-

A Sindrom stevens johnson

P Non-Medikamentosa
Kompres NACL 0,9% (untuk luka)
Perbaiki keadaan umum pasien
Medikamentosa
Sistemik
- IVFD RL 24 tpm
- Inj. Dexamettasone 5 mg/12 j/ iv
- Inj. Gentamicin 8 mg/12 j/ iv
- Ranitidin amp/12 j/iv
- Cetirizine 10 mg ( 1 dd 1)

Topikal

13
- Fulson cr untuk luka
- Kenalog oralbase untuk luka di bibir

Dokumentasi

14
X. Diskusi

Pasien Tn. R umur 30 tahun masuk ke RS Anutapura dengan keluhan kulit

melepuh sejak 8 hari sebelum masuk RS. Awalnya muncul bintik bintik merah

berisi cairan di wajah kemudian menyebar keseluruh tubuh dan pecah dengan

mengeluarkan cairan berwarna jernih. kemudian bintik yang sudah pecah menjadi

luka yang terasa nyeri. Selain itu, keluarga pasien mengatakan, pasien juga

mengeluh mata merah, luka pada mulut, bibir pecah-pecah hingga berwarna

15
hitam, terdapat luka di beberapa bagian tubuh lainnya, dan terasa nyeri bila

menggerakkan anggota tubuhnya. Keluarga pasien juga mengatakan sebelum

timbul bintik merah pasien mengkomsusmsi obat-obatan dari RS Madani yaitu

karbamazepin selama 3 hari.


Status dermatologis dari pasien Mata : eritema; Bibir : krusta dan erosi

difus; dada, perut, punggung, ekstremitas atas dan bawah terdapat eritema,

vesikel, bula dan erosi regio universal, ulkus bentuk lonjong, ukuran numular,

batas sirkumskrip. Pasien memiliki riwayat minum obat karbamazepin sehingga

dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosa Sindrom Steven Johnson.
Hal ini sesuai dengan teori dimana Sindrom Steven Johnson adalah suatu

sindroma (kumpulan gejala) yang mengenai kulit, selaput lendir di orificium dan

mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Penyakit ini

bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian, Oleh

karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawat daruratan penyakit kulit.

Sindrom ini dianggap sebagai jenis dari Eritema Multiforme.1

16
Gambar 1.epidemiologi penyakit Sindrom Steven Johnson1

Pasien Tn. R berjenis kelamin laki-lakidan saat ini berumur 30 tahun, hal

ini sesuai dengan teori yaitu tingkat insiden terjadinya Sindrom Steven-Johnson

meningkat sesuai dengan pertambahan umur terutama usia mendekati dan diatas

40 tahun. Rasio terkena untuk laki-laki sama dengan perempuan. Angka mortalitas

untuk penyakit ini 5-12% pertahun dan yang mempunyai factor resiko tinggi

terkena adalah orang yang terinfeksi Human Immunosupresif Virus, penyakit

vascular collagen dan kanker.1

17
Gambar 2. Obat-obatan yang menyebabkan Sindrom Steven Johnson.1

Saat pertama masuk ke rumah sakit pasien dirawat di Instalasi Gawat

Darurat dengan gejala kulit melepuh, mata merah, luka di bibir dan dan luka di

bokong dan kaki. Gejala ini muncul diperkirakan setelah mengkonsusmsi obat

karbamazepin. Hal ini sesuai dengan teori yaitu, penyakit Sindrom Steven

Johnson penyebabnya belum diketahui, tapi konsumsi obat-obatan menjadi faktor

resiko paling sering memicu penyakit ini timbul dan gejala dari kasus diatas

sesuai dengan teori yaitu (1) lesi pada kutaneus adalah adanya eritematous, dusky

red, macula purpura, bentuk ireguler, lesi atipikal dengan warna ditengah yang

hitam, ada lesi nekrotik, skuama dan eritem difus. (2) lesi pada ekstra kutaneus

adalah adanya demam tinggi dan lemas. (3) lesi pada membrane mukosa adalah

erupsi kulit, eritema dan nyeri pada lokasi erupsi di bibir, mata, dan genitalia. Dan

ada fotofobia, konjungtivitis. Pada bibir nyeri hemoragik ditempat erosi dan ada

krusta. (4) salah satu penyebabnya adalah riwayat mengkonsumsi obat-oabatan

seperti : karbamazepin1,2,3

18
Gambar 3. Gejala yang terjadi pada Sindrom Steven Johnson.1

Pada saat pasien dan keluarga di anamnesis awalnya merasa timbul bentol-

bentol di kulit yang besarnya seperti gigitan nyamuk yang kemudian pecah dan

muncul gejala seperti yang diatas. Pasien dan keluarga menyatakan tidak

mempunyai riwayat alergi obat apapun dan pasien baru pertama kali

mengkonsumsi obat karbamazepin, Hal diatas sesuai dengan teori yaitu Meskipun

belum diketahui secara pasti, beberapa penelitian telah menunjukkan hasil yang

membantu menjelaskan pathogenesis SSJ. Sampai saat ini patogenesis SSJ

disangka akibat reaksi hipersensitivitas tipe IV. Pada fase awal timbulnya lesi,

terjadi reaksi sitotoksik yang diperantarai oleh sel (cell mediated cytotoxicity)

terhadap keratinosit yang menyebabkan apoptosis masif. Penelitian

imunopatologis menunjukkan adanya limfosif T CD8+ di epidermis dan dermis

kulit yang terkena. Limfosit tersebut mempunyai aktivitas seperti NK sel pada

awal lesi. Sedangkan pada fase lanjut cenderung didominasi oleh aktivitas

monosit. Limfosit T CD8+ ini mengekspresikan reseptor T dan dipermukaan

19
sel sehingga mampu menghancurkan sel melalui perforin dan granzyme B. Saat

ini diketahui terdapat ekspansi oligoklonal limfosit CD8+ spesifik yang hanya

mempunyai aktivitas sitotoksik terhadap keratinosit.4,5

Limfosit T regulator CD4+CD25+ mempunyai peran yang penting dalam

mencegah kerusakan epidermis akibat reaksi sitotoksik limfosit T. Beberapa

sitokin penting seperti interleukin 6, TNF- dan Fas ligand (Fas-L) juga

ditemukan pada lesi kulit penderita SSJ. Viard dkk menyatakan bahwa apoptosis

keratinosit di lesi kulit berkaitan dengan peningkatan ekspresi Fas dipermukaan

membran dan dapat dihambat oleh human imunoglobulin konsentrai tinggi yang

mengganggu interaksi antara Fas dan Fas-L. TNF- kemungkinan juga berperan

karena ditemukan pada lesi epidermis, cairan bulla dan sel-sel mononuklear dan

makrofag perifer. 4,5

Teori lain menyebutkan adanya reaksi imunologis terhadap metabolit

reaktif, terutama metabolit obat golongan sulfonamid, pada individu dengan

asetilasi lambat. Namun reaksi imunologis cenderung terjadi langsung terhadap

obat aktif dibanding metabolitnya. 4,5

Faktor genetik juga berperan penting, hal ini dapat diamati pada orang

Cina suku Han yang mempunyai HLA-B1502 dengan kejadian SSJ akibat

karbamazepin dan HLA-B5801 dengan kejadian SSJ akibat allopurinol.5

Pemeriksaan penunjang yang dapat dianjurkan pada pasien ini adalah

periksaan laboratorium dimana langkah awal yang harus diperhatikan pada pasien

SSJ di ruang emergensi adalah evaluasi respiratory rate dan oksigenasi. Setiap

ada perubahan yang signifikan sebaiknya dicek ulang dengan pemeriksaan analisa

20
gas darah. Konsentrasi Natrium Bikarbonat kurang dari 20 mEq/L menunjukkan

prognosis yang buruk. Hal ini biasanya disebabkan oleh alkalosis respiratorik

akibat terlibatnya saluran pernafasan. Namun pada pasien ini tidak dilakukan

pemeriksaan gas darah sejak paien masuk rumah sakit sampai pasien pulang.6

Kehilangan cairan transdermal masif dapat menyebabkan gangguan

elektrolit, insufisiensi renal ringan, azotemia prerenal, hipoalbuminemia dan

hipoproteinemia. Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan elektrolit dan yang

terganggu hanya Clorida namun hal ini tidak begitu bermakna. Namun sayangnya

tidak dilakukan pemeriksaan protein total dan albumin-globulin sehingga ada atau

tidaknya hipoalbuminemia dan hipoproteinnya tidak dapat dinilai. Peningkatan

kadar ureum darah juga merupakan tanda beratnya penyakit. Namun pada pasien

ini tidak ada peningkatan kadar ureum darah. Gambaran darah tepi biasanya

didapatkan anemia, lekositosis ringan dan trombositopenia namun pada pasien ini

tidak didapatkan. Limfopenia CD4+ transien hampir selalu ditemukan, dan ini

berkaitan dengan penurunan fungsi sel T. Kadang ditemukan peningkatan ringan

enzim-enzim hepar dan amilase namun ini tidak mempengaruhi prognosis, dan

pada pasien ini didapatkan peningkatan kadar SGOT dan SGPT. Hiperglikemia

sering ditemukan akibat status hiperkatabolik dan resistensi insulin perifer. Kadar

gula darah lebih dari 252 mg/dL merupakan salah satu penanda beratnya penyakit

tapi pada pasien ini tidak didapatkan hiperglikemia karena pada pemeriksaan GDS

pasien 125 mg/dl dari nilai rujukan 80-199 mg/dl 6

Biopsi kulit dan pemeriksaan immunoflouresense sebainya dilakukan pada

setiap kasus SSJ untuk menegakkan diagnosis meskipun secara klinis sudah cukup

21
mencurigakan. Pada tahap awal munculnya lesi kulit ditandai oleh gambaran

apoptosis keratinosit dilapisan suprabasal yang melanjut menjadi nekrosis

epidermal dan pelepsan epidermis. 7

A B

Gambar 4. A. nekrosis eosinofilik epidermis pada stadium puncak,


dengan sedikit respon radang dalam dermis. Tampak pemisahan dalam
junction zone. B. nekrosis epidermis lengkap telah terpisah dari dermis
dan terlipat seperti lembaran.1

Infiltrasi sel mononuklear di papila dermis sering ditemukan, terutama sel-

sel limfosit dan makrofag. Diantara populasi sel T tersebut banyak ditemukan

limfosit T CD8+ dengan aktivitas sitotoksik. Hal tersebut menunjukkan adanya

reaksi imunologis yang diperantarai sel (cell mediated cytotoxicity). Sel eosinofil

jarang ditemukan pada SSJ berat. Hasil pemeriksaan imunofloresence biasanya

menunjukkan hasil negatif. Sayangnya pada pasien ini tidak dilakukan biopsi kulit

dan pemeriksaan immunofluresense.7

Pada pasien ini diagnosis bandingnya adalah :

1. TEN (Toxic Epidermal Necrolisys)

22
Nekrolisis epidermis (NE) adalah sindrom reaksi mukokutan akut ditandai

dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis yang luas dan dapat menyebabkan

kematian. Lesi awal berupa makula eritematosa terutama pada trunkus dan

ekstremitas proksimal, berkembang progresif menjadi lepuh kendur dan

selanjutnya terjadi pengelupasan epidermis. Berdasarkan luas permukaan

tubuh yang terlibat. NE diklasifikasikan menjadi sindrom Stevens-Johnson (SSJ)

< 10%, overlap SSJ/nekrolisis epidermal toksik (NET)10-30% dan NET >30%. 8

Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) umumnya merupakan penyakit berat,

lebih berat dari pada sindrom Stevens-Johnson. Gejala kulit yang terpenting dan

khas adalah epidermolisis yang menyeluruh, dapat disertai kelainan pada selaput

lendir di orifisium dan mata. Kondisi ini ditandai dengan konjungtivitis purulen

yang parah, stomatitis dengan nekrosis mukosa yang luas, dan makula purpura.5,9

Nekrolisis epidermal toksik adalah penyakit kulit yang berpotensi

mematikan yang biasanya disebabkan dari reaksi obat. Seperti Stevens-Johnson

Syndrome, penyakit ini biasanya adalah reaksi obat. Kedua bentuk penyakit dapat

mematikan serta sangat menyakitkan dan menyedihkan. NET dapat diinduksi oleh

obat-obatan tertentu seperti penisilin, sulfonamide, pirazolon, barbiturate, dan

antiepileptic, adalah pemicu paling sering dari NET, meskipun begitu etiologi

lainnya, termasuk infeksi, keganasan, dan vaksinasi, juga bisa menyebabkan

penyakit ini. 5,8,9

Dalam banyak kasus tidak ada penyebab dikenal untuk TEN, meskipun obat

adalah penyebab utama dari penyakit kulit. Kondisi ini bisa sangat serius, dan

dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan rasa sakit, dan dalam beberapa kasus

23
infeksi yang dapat tertular melalui penyakit ini dapat mengakibatkan kematian

pasien. Setiap kelompok usia dapat terkena oleh nekrolisis epidermal toksik.

Namun, biasanya terlihat pada pasien yang lebih tua daripada yang lebih muda,

dan ini adalah karena pasien yang lebih tua cenderung untuk minum obat lebih,

dan karena itu lebih mungkin untuk menemukan obat yang mereka memiliki

reaksi. Ada juga kelompok lain yang lebih rentan ketika datang untuk tertular

nekrolisis epidermal toksik. Ini termasuk mereka dengan AIDS, yang memiliki

kekebalan rendah terhadap infeksi dan penyakit. 2,3

NET merupakan penyakit yang berat dan sering menyebabkan kematian

karena gangguan keseimbangan cairan/elekttrolit atau karena sepsis. Penyakit

mulai secara akut dengan gejala prodromal. Pasien tampak sakit berat dengan

demam tinggi, kesadaran menurun (soporokomatosa). Kelainan kulit mulai

dengan eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan bula, dapat pula

disertai purpura. Lesi pada kulit dan disertai lesi pada bibir dan selaput lender

mulut berupa erosi, ekskoriasi, dan perdarahan sehingga terbentuk krusta

berwarna merah hitam pada bibir. Kelainan semacam itu dapat pula terjadi di

orifisium genitalia eksterna. Juga dapat disertai kelainan pada mata seperti pada

SSJ.

Pada NET yang penting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis

terlepas dari dasarnya yang kemudia menyeluruh. Adanya epidermolisis

menyebabkan tanda Nikolsky positif pada kulit yang eritomatosa, yaitu jika kulit

ditekan dan digeser, maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada

24
tempat yang sering terkena tekanan, yakni pada punggung dan bokong karena

biasanya pasien berbaring.9

Gambar 5. Necrolysis Epidermal Toxic.1

Tujuan penatalaksanaan Sindrom Steven Johnson adalah bila disebabkan

alergi obat, maka yang paling penting adalah penghentian pengobatan yang

diminum. Anamnesis yang teliti sangat membantu meneliti kemungkinan obat

yang dicurigai sambil melihat obat yang diminum sebelumnya atau resep yang

diberikan. Makin cepat menghentikan obat penyebab, makin baik prognosisnya,

25
meskipun agak kurang bermakna pada obat-obat yang mempunyai waktu paruh

yang lama. Pada pasien ini, sebaiknya hentikan pemberian obat carbamazepin dan

dikonsultasikan kembali kepada dokter Kesehatan Jiwa agar dapat diberikan obat

lain yang lebih banyak benefit daripada kerugiannya.7

Terapi simptomatik utamanya sama dengan penatalaksanaan pada luka,

yaitu kontrol temperatur lingkungan, penanganan aseptik dengan teliti, sterilisasi

luka, penghindaran material adesif, pengawasan pemberian cairan intravena jauh

dari area luka, inisiasi nutrisi oral dengan NGT, antikoagulasi, pencegahan stress

ulcer dan pemberian obat untuk nyeri dan gelisah. 7,10

Terapi suportif ditujukan untuk menghindari atau membatasi terjadinya

komplikasi yang timbul. Perhatian dan ketelitian ditujukan pada kelainan mata,

traktus respiratorius, balans elektrolit, nutrisi, infeksi dan nyeri. Biakan kulit,

kencing dan darah dikerjakan periodik. Pemberian cairan sangat tergantung

dengan luasnya lesi dan membran mukosa yang diserang. Monitoring ketat

terutama terhadap kemungkinan sepsis yang sering disebabkan oleh stafilokokus

aureus dan pseudomonas aeruginosa. Pemberian nutrisi dengan kalori dan protein

tinggi lewat NGT pada penderita dengan gangguan mukosa akibat lesi atau karena

keadaan umum yang buruk.7

Pemberian antibiotik baik dan kuratif maupun profilaksi tidak bermanfaat,

justru menjadi resisten dan meningkatkan mortalitas. Antibiotik diberikan bila

sudah ada tanda-tanda sepsis, yaitu perubahan status mental, menggigil,

hipotermia, oliguri, keadaan klinis memburuk. Eksudasi masif dari daerah lesi

26
erosi, sehingga pemberian antibiotik harus lebih tinggi dosisnya karena sebagian

hilang akibat eksudasi.7,10

Manajemen Sistemik

Penatalaksanaan pulmonal termasuk aerosol, aspirasi bronchial dan terapi

fisik. Jika trakea dan bronkus terlibat, maka diperlukan intubasi dan ventilasi

mekanik. Nutrisi enteral awal dan berlanjut menurunkan resiko stress ulcer,

mengurangi translokasi bakteri dan infeksi enterogenik dan memungkinkan

diskontinuitas jalur vena. Level fosfor harus diperiksa dan diperbaiki, jika perlu.

Hipofosforemia yang parah sering terjadi dan menimbulkan perubahan regulasi

glikemia dan disfungsi muscular. Kebanyakan penulis tidak menggunakan

anibiotik profilaksis. Kateter diganti dan dikultur secara teratur. Sampel bakteri

dari lesi kulit dilakukan pada hari pertama dan setiap 48 jam. Indikasi terapi

antibiotik termasuk adanya peningkatan jumlah bakteri kultur dari lesi kulit

dengan strain tunggal, adanya penurunan suhu dan kemunduran kondisi pasien.

Temperatur lingkungan ditingkatkan hingga 30-32 derajat Celcius. Hal ini

mengurangi kehilangan kalori melalui kulit dan akibat menggigil dan stress.

Hilangnya panas juga dibatasi dengan meningkatkan temperature dengan bath

antiseptic hingga 35-38 C dan dengan menggunakan penahan panas, lampu

infrared dan tempat tidur yang lembab. Beberapa obat diperlukan.

Thromboembolism merupakan penyebab penting morbiditas dan kematian;

antikoagulasi efektif dengan heparin direkomendasikan selama perawatan jika

dicurigai akan terjadi thromboembolism. Walaupun hal ini meningkatkan

perdarahan kulit, hal ini biasanya terbatas pada jumlah dan tidak membutuhkan

27
transfusi. Antasid mengurangi insidensi perdarahan lambung. Dukungan emosi

dan psikiatri harus dilakukan. Transquilizers seperti diazepam dan morfin dapat

digunakan bila status respiratori memungkinkan.7

Manajemen Topikal

Tidak ada konsesus mengenai perawatan topikal. Pendekatan yang

memungkinkan dapat konservatif ataupun lebih agresif (operasi debridement

luas). Berdasarkan pengalaman bahwa dengan perawatan konservatif, area dengan

Nikolski positif, secara potensial terbentuk oleh setiap trauma sembuh lebih cepat

dimana masih terdapat epidermis pada lokasi luka dibandingkan dengan epidermis

yang dilekatkan. Epidermis yang terlibat tetap dipertahankan dan hanya

menggunakan dressing untuk melindunginya. Antiseptik topikal (0.5% perak

nitrat atau 0.05% chlorhexidine) digunakan untuk mengecat, bilas atau oleskan

pada pasien. Dressing dapat menggunakan petrolatum, perak nitrat, polyiodine

atau hidrogel. Dalam hal ini pasien diberikan Fuson Cream (asam fucidad) untuk

badan dan Kenalog oral base untuk mukosa dalam hal ini bibir.7

Pencegahan terhadap sekuele pada mata membutuhkan pemeriksaan harian

oleh ophthalmologist. Tetes mata, saline fisiologis atau antbiotik bila dibutuhkan,

diberikan setiap 2 jam dan pencegahan sinekhia dengan peralatan tumpul.

Disarankan untuk menggunakan lensa kontak sclera permeabilitas udara

mengurangi fotofobia dan ketidaknyamanan, lensa ini memperbaiki akuitas visual

dan menyembuhkan defek epitel kornea pada sebagian pasien. Krusta nasal dan

oral diangkat dan mulut diberikan spray dengan antiseptik beberapa kali sehari.7

28
Pengobatan Adjuvan

Hingga saat ini belum ada obat spesifik yang terbukti efektif. Dasar

pengobatan SSJ tetap pengobatan suportif di unit luka bakar serta pemberian

ajuvan sebagai pelengkap.7

Antihistamin
Antihistamin digunakan untuk mengatasi gejala pruritus/gatal, bisa

dipakai feniramin hydrogen maleat (Avil), difenhidramin hidroklorida

(Benadril), dan cetirizin. Pada pasien ini diberikan anti histamin generasi 2

yaitu cetirizine 1x10 mg.7


Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversi. Walaupun pada

penggunaan kortikosteroid masih kontroversi, akan tetapi pada kasus ini tetap

kita lakukan pemberian kortikosteroid dikarenakan menurut beberapa peneliti

setuju menggunakan kortikosteroid sistemik dengan alasan dapat menurunkan

beratnya penyakit, mempercepat konvalensi, mencegah komplikasi berat,

menghentikan progresifitas penyakit, mencegah kekambuhan. Beberapa

literatur menyatakan pemberian kortikosteroid sistemik dapat mengurangi

inflamasi dengan cara memperbaiki integritas kapiler, memacu sintesa

lipokortin, menekan ekspresi molekul adesi. Selain itu, kortikosteroid dapat

meregulasi respon imun melalui down regulation ekspresi gen sitokin. Mereka

yang tidak setuju pemberian kortikosteroid berargumentasi bahwa

kortikosteroid akan menghambat penyembuhan luka, meningkatkan resiko

infeksi, menutupi tanda awal sepsis, perdarahan gastrointestinal dan

meningkatkan mortalitas. Faktor lain yang harus dipertimbangkan yaitu harus

tapering off 1-3 minggu. Bila tidak ada perbaikan dalam 3-5 hari, maka

29
sebaiknya pemberian kortikosteroid dihentikan. Lesi mulut diberi kenalog in

orabase. Pada pasien ini diberikan Dexamethasone amp (5mg)/8 jam untuk 3

hari pertama kemudian di tappering down menjadi per 12 jam pada hari ke 4

lalu pada hari ke lima menjadi per 24 jam. Hal ini sesuai dengan teori yang

mengatakan bahwa pemberian dexametasone dosis awal 1 mg/kg BB IV

dilanjutkan 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam dan harus evaluasi keberhasilan

terapinya lalu diberlakukan tappering down.7


Intravenous immune globulin (IVIG)
Intravenous IgG (IVIG) mengandung berbagai antibodi termasuk

autoantibody terhadap protein Fas.10 IVIG mempengaruhi interaksi Fas-FasL.

Keratinosit manusia sensitif terhadap rekombinan human sFasL. Invitro IVIG

memblok rhsFasL sehingga keratinosit tidak apoptosis. IVIG mengandung anti

Fas IgG yang akan menempel pada reseptor FasL, sehingga akan menghalangi

perlekatan rhsFasL pada reseptor. Pengobatan IVIG meningkatkan tingkat

kelangsungan hidup menjadi 88%. Dosis yang diberikan 1 g/kg/hari selama 3

hari.7
Plasmaferesis

Plasmaferesis adalah pengobatan dengan menggunakan transfuse darah

yang telah dihilangkan plasmanya kemudian ditambahkan dengan albumin

(atau bank plasma) dan kemudian diinfuskan kembali. Tujuannya adalah untuk

menghilangkan bahan pathogen dalam plasma seperti obat, racun, bahan

metabolic, antibody, imun komplek atau penyakit yang memicu sitokin.

Plasmaferesis telah berhasil digunakan untuk TEN dengan prosedur yang

relative sederhana dengan menggunakan 1-8 kali transfusi. Pemberian 1 seri

plasmaferesis dikombinasikan dengan IgG intravenous (IVIG). Survival rate

30
meningkat sampai 77-100%. Namun pada pasien ini belum dilakukan karena

masih butuh pemeriksaan laboratorium lebih lanjut misalnya dalam hal ini

pemeriksaan protein total dan albumin-globulin.

KOMPLIKASI
Sindroma Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi pada mata

berupa simblefaron dan ulkus kornea. Komplikasi lainnya adalah timbulnya

sembab, demam atau malahan hipotermia dan yang terberat adalah sepsis hingga

kematian.7 Komplikasi yang terjadi pada pasien ini adalah konjungtivitis.

Berdasarkan teori, komplikasi yang sangat sering ditemukan pada penyakit ini

diantaranya konjungtivitis akut, edema kelopak mata, eritema dan sekret purulen,

erosi kornea, serta terbentuknya pseudomembran.5

PROGNOSIS

Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi

dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat

dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai.

Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya

disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia,

serta sepsis.1 Pada pasien ini prognosisnya baik. Hal ini dapat dilihat dari

penyembuhan yang dialami dalam waktu kurang dari 2 minggu dan komplikasi

yang dialami pasien tidak berat.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Ramon PF, Maldonado R. Erythema Multiforme, Stevens-Johnson Syndrome,


and Toxic Epidermal Necrolysis. In : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K,
Austen F, Goldsmith LA, Katz S (Editor). Fitzpatrick's Dermatology In
General Medicine 6th edition. New York: McGraw-Hill Professional Pub;
2009.
2. Sassolas B, Haddad C, Mockenhaupt M, et al. ALDEN, an algorithm for
assessment of drug causality in StevensJohnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis: comparison with casecontrol analysis. Clinical
Pharmacology & Therapeutics. 2010 Jul 1;88(1):60-68.
3. Deore SS, Dandekar RC, Mahajan AM, Shiledar VV. Drug induced-Stevens
Johnson syndrome: A case report. Int J Sci Stud. 2014 Jul;2(4):84-87.
4. Wong A, Malvestiti AA, Hafner MD. Stevens-Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis: a review. Revista da Associao Mdica Brasileira.
2016 Oct;62(5):468-473.

32
5. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson
syndrome. Orphanet journal of rare diseases. 2010 Dec 16;5(1):39.
6. Magbri A, Seth H. Drug Rash with Eosinophilia and Systemic Symptoms
(DRESS) or Stevens-Johnson Syndrome (SJS): Does the Name Matter!.
Journal of Clinical Nephrology and Renal Care. 2017; 3(1).
7. Ho H. Diagnosis and management of Stevens-Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis. Medical Bulletin. 2008 Oct;13(10).
8. Thaha MA. Sindrom Stevens-Johnson Pada Kehamilan Diterapi Dengan N-
Acetylcystein. Media Dermato-Venereologica Indonesia. 2012;39:24s-28s.
9. Djuanda A, dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. p. 3-4, 7-8.
10. Griffiths C, Barker J, Bleiker T, Chalmers R, Creamer D, editors. Rook's
Textbook of Dermatology, 4 Volume Set. John Wiley & Sons; 2016 Feb 29.

33

Anda mungkin juga menyukai