Anda di halaman 1dari 19

1.

Definisi Gangguan depresi

Gangguan depresif adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood


sebagai masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode
depresif, gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif
unipolar serta bipolar.8
Gangguan depresif merupakan gangguan medik serius menyangkut kerja
otak, bukan sekedar perasaan murung atau sedih dalam beberapa hari. Gangguan
ini menetap selama beberapa waktu dan mengganggu fungsi keseharian
seseorang.8
Gangguan depresif masuk dalam kategori gangguan mood, merupakan
periode terganggunya aktivitas sehari-hari, yang ditandai dengan suasana perasaan
murung dan gejala lainnya termasuk perubahan pola tidur dan makan, perubahan
berat badan, gangguan konsentrasi, anhedonia (kehilangan minat apapun), lelah,
perasaan putus asa dan tak berdaya serta pikiran bunuh diri. Jika gangguan
depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang tersebut
dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia
kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya.

2. Jenis-jenis gangguan depresi

Klasifikasi dan Diagnosis Gangguan Depresi


a. Gangguan depresi mayor
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,
Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR), suatu episode depresi
mayor ditandai dengan munculnya lima atau lebih gejala dibawah ini
selama suatu periode 2 minggu:
1) Mood yang depresi hampir sepanjang hari dan hampir setiap hari
2) Penurunan kesenangan atau minat secara drastis dalam semua
atau hampir semua aktivitas
3) Kehilangan berat badan atau penambahan berat badan yang
signifikan atau suatu penambahan atau penurunan selera makan
4) Mengalami insomnia atau hipersomnia
5) Agitasi yang berlebihan atau melambatnya respon gerakan hampir
setiap hari

6) Perasaan lelah atau kehilangan energi setiap hari


7) Berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi

b. Gangguan distimik
Perbedaan utama antara gangguan distimik dengan gangguan depresi
mayor adalah bahwa gangguan distimik adalah depresi kronis yang
memiliki gejala yang lebih ringan. Keparahan dari depresi kronis ini
berfluktuasi. Banyak penderita gangguan distimik yang juga
mengalami gangguan depresi mayor (Baldwin, 2002).
Gangguan distimik tampaknya disebabkan oleh perkembangan
kronis yang seringkali bermula pada masa kanak-kanak atau masa
remaja. Orang dengan gangguan distimik merasakan keterpurukan
sepanjang waktu, namun mereka tidak mengalami depresi yang
sangat parah seperti yang dialami oleh orang dengan gangguan
depresi mayor. Meskipun gangguan distimik lebih ringan daripada
gangguan depresi mayor, mood tertekan dan self esteem rendah yang
terus-menerus dapat mempengaruhi fungsi pekerjaan dan sosial
orang tersebut (Nevid, 2005).

3. Epidemiologi Gangguan Depresi

Prevalensi penderita depresi di Indonesia diperkirakan 2,5 - 9 juta dari 210


juta jiwa penduduk.9 Pada saat setelah pubertas resiko untuk depresi meningkat 2-
4 kali lipat, dengan 20% insiden pada usia 18 tahun. Perbandingan gender saat
anak-anak 1:1, denga peningkatan resiko depresi pada wanita setelah pubertas,
sehingga perbandingan pria dan wanita menjadi 1:2. Hal ini berhubungan dengan
tingkat kecemasan pada wanita tinggi, perubahan estradiol dan testosteron saat
pubertas, atau persoalan sosial budaya yang berhubungan dengan perkembangan
kedewasaan pada wanita.
Depresi sering terjadi pada wanita dengan usia 25-44 tahun, dan
puncaknya pada masa hamil. Faktor sosial seperti stres dari masalah keluarga dan
pekerjaan. Hal ini disebabkan karena harapan hidup pada wanita lebih tinggi,
kematian pasangan mungkin juga menyebabkan angka yang tinggi untuk wanita
tua mengalami depresi.
Penilaian gejala depresi seperti perasaan sedih atau kekecewaan yang kuat
dan terus menerus yang mempengaruhi aktivitas normal, menunjukan prevalensi
seumur hidup sebanyak 9-20%.(3) Pada kriteria lain yang digunakan pada depresi
berat, prevalensi depresi 3% untuk pria dan 4-9% untuk wanita. Resiko seumur
hidup 8-12% untuk pria dan 20-28% untuk wanita. Sekitar 12-20% pada orang
yang mengalami episode akut berkembang menjadi sindrom depresi kronis, dan
diatas 15% pasien yang mengalami depresi lebih dari 1 bulan dapat melakukan
bunuh diri.

4. Etiologi dan Faktor resiko gangguan depresi

Depresi disebabkan oleh kombinasi banyak faktor. Adapun faktor biologis,


faktor bawaan atau keturunan, faktor yang berhubungan dengan perkembangan
seperti kehilangan orang tua sejak kecil, faktor psikososial, dan faktor lingkungan,
yang menjadi satu kesatuan mengakibatkan depresi.11

1) Faktor biologis
Faktor biologis yang dapat menyebabkan terjadinya depresi
dapat dibagi menjadi dua hal yaitu disregulasi biogenik amin dan
disregulasi neuroendokrin. Abnormalitas metabolit biogenik amin
yang sering dijumpai pada depresi yaitu 5 hydroxy indoleacetic acid
(5HIAA), homovalinic acid (HVA), 3-methoxy 4-hydrophenylglycol
(MHPG), sebagian besar penelitian melaporkan bahwa penderita
gangguan depresi menunjukkan berbagai macam abnormalitas
metabolik biogenikamin pada darah, urin dan cairan serebrospinal.
Keadaan tersebut endukung hipotesis ganggua depresi berhubungan
dengan disregulasi biogenikamin. Dari biogenik amin, serotonin dan
norepinefrin merupakan neurotransmiter yang paling berperan dalam
patofisiologi depresi.12
Penurunan regulasi reseptor beta adrenergic dan respon klinik
antidepresan mungkin merupakan peran langsung sistem
noradrenergik dalam depresi. Bukti lain yang juga melibatkan reseptor
beta2-presinaptik pada depresi, telah mengaktifkan reseptor yang
mengakibatkan pengurangan jumlah pelepasan norepinephrin.
Reseptor beta2-presinaptik juga terletak pada neuron serotonergik dan
mengatur jumlah pelepasan serotonin.13
Serotonin (5-hydroxytryptamine [5-HT]) neurotransmitter sistem
menunjukan keterlibatan dalam patofisiologi gangguan afektif, dan
obat-obatan yang meningkatkan aktifitas serotonergik pada umumnya
memberi efek antidepresan pada pasien . Selain itu , 5 - HT dan / atau
metabolitnya, 5-HIAA, ditemukan rendah pada urin dan cairan
serebrospinal pasien dengan penyakit afektif.14 Hal ini juga dibuktikan
terdapat kadar 5-HT yang rendah pada otak korban bunuh diri
dibandingkan dengan kontrol. Selain itu , ada beberapa bukti bahwa
terdapat penurunan metabolit serotonin, 5 – hydroxyindole acetic acid
(5-HIAA) dan peningkatan jumlah reseptor serotnin postsinaptik 5-
hydroxytryptaminetype 2 (5HT2) di korteks prefrontal pada kelompok
bunuh diri.14-15
Aktivitas dopamin mungkin berkurang pada depresi. Penemuan
subtipe baru reseptor dopamin dan meningkatnya pengertian fungsi
regulasi presinaptik dan pascasinaptik dopamin memperkaya antara
dopamin dan gangguan mood. Dua teori terbaru tentang dopamin dan
depresi adalah jalur dopamin mesolimbic mungkin mengalami
disfungsi pada depresi dan reseptor dopamin D1 mungkin hipoaktif
pada depresi.

2) Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dengan stressful sering mendahului episode
pertama, dibandingkan episode berikutnya. Ada teori yang
mengemukakan adanya stres sebelum episode pertama menyebabkan
perubahan biologi otak yang bertahan lama. Perubahan ini
menyebabkan perubahan berbagai neurotransmiter dan sistem sinyal
intraneuron. Termasuk hilangnya beberapa neuron dan penurunan
kontak sinaps. Dampaknya, seorang individu berisiko tinggi
mengalami episode berulang gangguan mood, sekalipun tanpa stressor
dari luar.15
Orang dengan beberapa gangguan kepribadian seperti, obsesif-
kompulsif, histeris, dan yang ada pada garis batasnya, mungkin
memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terkena depresi dari pada
orang dengan kepribadian antisosial atau paranoid. Pada pengertian
psikodinamik depresi dijelaskan oleh Sigmund Freud dan
dikembangkan oleh Karl Abraham yang diklasifikasikan dalam 4
teori: (1) gangguan pada hubungan bayi dan ibu selama fase oral (10-
18 bulan awal kehidupan) sehinga bisa terjadi depresi; (2) depresi
dapat dihubungkan dengan kehilangan objek secara nyata atau
imajinasi; (3) Introjeksi dari kehilangan objek adalah mekanisme
pertahanan dari stress yang berhubungan dengan kehilangan objek
tersebut (4) karena kehilangan objek berkenaan dengan campuran
cinta dan benci, perasaan marah berlangsung didalam hati.

3) Faktor Genetik
Dari faktor bawaan atau keturunan menerangkan apabila salah
seorang kembar menderita depresi, maka kemungkinan saudara
kembarnya menderita pula sebesar 70 %. Kemungkinan menderita
depresi sebesar 15 % pada anak, orang tua, dan kakak-adik dari
penderita depresi. Apabila anak yang orangtuanya pernah menderita
depresi, sejak lahir diadopsi oleh keluarga yang tidak pernah
menderita depresi, ternyata kemungkinan untuk menderita depresi 3
kali lebih besar dibandingkan anak - anak kandung keluarga yang
mengadopsi.

Faktor resiko

Banyak hal yang bisa menjadi faktor risiko timbulnya depresi, yaitu :
1) Usia
Rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah kira-kira 40
tahun; dan 50% dari pasien memiliki onset anatara usia 20-50 tahun.15
2) Jenis kelamin
Pada pengamatan yang hampir uiversal, terlepas dari kultur atau negara,
terdapat prevalensi gangguan depresif berat yang dua kali lebih besar
pada wanita dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan oleh
rendahnya kesehatan maternal.
3) Pendidikan
Terdapat hubungan yang signifikan pendidikan dengan depresi pada usia
dewasa-tua. Tingkat pendidikan berkaitan dengan kesehatan fisik yang
baik.18 Penelitian di Inggris menyebutkan bahwa lansia yang hanya
menamatkan pendidikan dasar mempunyai risiko terhadap depresi 2,2
kali lebih besar.
4) Status pernikahan
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang
yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat atau yang tercerai
atau berpisah

5. Patofisiologi Gangguan Depresi

1.Hipotesis Amina Biogenik 
a.Menyatakan bahwa depresi disebabkan karena kekurangan (defisiensi) senyawamonoamine
, terutama moradrenalin dan serotonin
 b.Depressi dapat dikurangi oleh obat yang dapat meningkatkan ketersediaan serotonindan no
radrenalin misalnya MAO inhibitor atau antidepresan trisiklik 
c.Namun teori ini tidak dapat menjelaskan fakta mengapa onset obat-obatantidepresan umum
nya lama (6-8)minggu padahal obat2 tadi bias meningkatanketersediaan neurotransmmiter se
cara cepat
d.Muncullah hipotesis sensitivitas reseptor 
 
2. Hipotesis Sensitivitas Reseptor 
a.Teori ini merupakan hasil perubahan patologis pada reseptor yang diakibatkan olehterlalu k
ecilnya stimulasi oleh stimulasi oleh monoamine
 b.Saraf post-sinaptik akan berrespon senagai kompensasi terhadap besar kecilnyastimulasi ol
eh neurotransmitter 
c.Jika stimulasi terlalu kecil saraf akan menjadi lebih sensitive (supersensitivity) atau jumlah 
reseptor eningkat (up-regulation)
d.Jika stimulasi berlebihan saraf akan mengalami desensitisasi atau down-regulasi
e.Obat-obat antidepresan umumnya bekerja meningkatkan neurotransmitter men,meningkatka
n stimulasi saraf, menormalkan kembali saraf yang supersensitive
f. Proses ini membutuhkan waktu, menjelaskan mengapa aksi obat antidepresan tidak  bekerja 
secara segera

3.Hipotesis permisif

 a.Control emosi diperoleh dari keseimbangan antara serotonin dan noradrenalin 
b.Serotonin memiliki fungsi regulasi terhadap noradrenalin , menentukan kondisiemosi, depre
si atau manik
 c.Teori mempostulatkan kadar serotonin yang rendah dapat menyebabkan (permit)kadar nora
drenalinmenjadi tidak nrmal, yang dapat menyebabkan gangguan mood
d.Jika kadar serotonin rendah, noradrenalin rendah, depresi
e.Jika serotonin rendah, noradrenalin tinggi, manik
 f.Menurut hipotesis ini, menigkatkan kadar 5-HT, yang akan memperbaiki kondisisehingga ti
dak muncul bakat gangguan mood

4.Hipotesis disregulasi
a.Gangguan depresi dan psikiatrik disebabkan oleh ketidakteraturan neurotransmitter  
b.Gangguan regulasi mekanisme homeostatis
c.Gangguan pada system regulasi sehingga terjadi penundaan level neurotransmitter untuk ke
mbali ke baseline.

6. Manifestasi klinis

Depresi pada lansia adalah proses patoligis, bukan merupakan proses


normal dalam kehidupan. Umumnya orang-orang akan menanggulanginya
dengan mencari dan memenuhi rasa kebahagiaan. Bagaimanapun, lansia
cenderung menyangkal bahwa dirinya mengalami depresi. Gejala umumnya,
banyak diantara mereka muncul dengan menunjukkan sikap rendah diri, dan
biasanya sulit untuk didiagnosa (Evans, 2000).
Perubahan Fisik
- Penurunan nafsu makan.
- Gangguan tidur.
- Kelelahan dan kurang energy
- Agitasi.
- Nyeri, sakit kepala, otot keran dan nyeri, tanpa penyebab fisik.

Perubahan Pikiran
- Merasa bingung, lambat dalam berfikir, penurunan konsentrasi dan sulit
mengungat informasi.
- Sulit membuat keputusan dan selalu menghindar.
- Kurang percaya diri.
- Merasa bersalah dan tidak mau dikritik.
- Pada kasus berat sering dijumpai adanya halusinasi ataupun delusi.
- Adanya pikiran untuk bunuh diri.
Perubahan Perasaan
- Penurunan ketertarikan ddengan lawan jenis dan melakukan hubungan
suami istri.
- Merasa bersalah, tak berdaya.
- Tidak adanya perasaan.
- Merasa sedih.
- Sering menangis tanpa alas an yang jelas.
- iritabilitas, marah, dan terkadang agresif.
Perubahan pada Kebiasaan Sehari-hari
- Menjauhkan diri dari lingkungan sosial, pekerjaan.
- Menghindari membuat keputusan.
- Menunda pekerjaan rumah.
- Penurunan aktivitas fisik dan latihan.
- Penurunan perhatian terhadap diri sendiri.
- Peningkatan konsumsi alcohol dan obat-obatan terlarang.

7. Diagnosis gangguan depresi

Gangguan depresi pada usia lanjut ditegakkan berpedoman pada


PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III) yang
merujuk pada ICD 10 (International ClassificationDiagnostic 10).
Gangguan depresi dibedakan dalam depresi berat, sedang, dan ringan
sesuai dengan banyak dan beratnya gejala serta dampaknya terhadap
fungsi kehidupan seseorang (Maslim,2000).
Gejala Utama
• Perasaan depresif
• Hilangnya minat dan semangat
• Mudah lelah dan tenaga hilang
Gejala Lain
• Konsentrasi dan perhatian menurun
• Harga diri dan kepercayaan diri menurun
• Perasaan bersalah dan tidak berguna
• Pesimis terhadap masa depan
• Gagasan membahayakan diri atau bunuh diri
• Gangguan tidur
• Gangguan nafsu makan
• Menurunnya libido

Depresi menurut Diagnostic And


Statistical Manual OfMental Disorder, Fifth Edition(DSM-5),yang menggunakan istilah
Major Depressive Disorder (MDD) atau selanjutnya disebut Gangguan Depresi Mayor
(GDM) yaitu harus memenuhi kriteria :
A. Lima atau lebih dari gejala dibawah ini yang sudah ada bersama-sama selama 2
minggu
dan memperlihatkan perubahan fungsi dari sebelumnya; minimal terdapat 1 gejala dari
(1) mood yang depresi atau (2) hilangnya minat.
Catatan : Jangan memasukkan gejala yang merupakan bagian dari gangguan kondisi
medis lainnya.
1. Mood depresi sepanjang hari, hampir setiap hari, yang ditunjukkan oleh baik laporan
subyektif (misalnya perasaan sedih, kosong, tidak ada harapan) atau observasi orang
lain (misalnya terlihat menangis). (Catatan : pada anak-anak dan remaja, bisa mood
yang iritabel).
2. Secara nyata terdapat penurunan minat atas seluruh rasa senang, aktifitas harian,
hampir setiap hari (yang ditandai oleh perasaan subyektif atau objektif).
3. Kehilangan atau peningkatan berat badan yang nyata tanpa usaha khusus (contoh :
perubahan 5% atau lebih berat badan dalam 1 bulan terakhir), atau penurunan dan
peningkatan nafsu makan yang hampir terjadi setiap hari. (catatan : Pada anak-anak,
perhatikan kegagalan mencapai berat badan yang diharapkan).
4. Sulit tidur atau tidur berlebih hampir setiap hari.
5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (teramati oleh orang lain, bukan
semata-mata perasaan gelisah atau perlambatan yang subyektif).
6. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.
7. Perasaan tidak berguna atau rasa bersalah yang mencolok (bisa bersifat waham)
hampir setiap hari (bukan semata-mata menyalahkan diri atau rasa bersalah karena
menderita sakit).
8. Penurunan kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, atau penuh keragu-raguan
hampir setiap hari (baik sebagai hal yang dirasakan secara subyektif atau teramati
oleh orang lain).
9. Pikiran berulang tentang kematian (bukan sekedar takut mati), pikiran berulang
tentang ide bunuh diri dengan atau tanpa rencana yang jelas, atau ada usaha bunuh
diri atau rencana bunuh diri yang jelas.
B. Gejala-gejala ini secara klinis nyata menyebabkan distress atau hendaya dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau area penting kehidupannya.
C. Episodenya tidak terkait dengan efek fisiologis zat atau kondisi medis lainnya.
Catatan : Kriteria A-C menggambarkan episode depresi.
Respon kehilangan yang bermakna (misalnya berduka, masalah financial, lolos dari
bencana, penyakit berat atau disabilitas) termasuk perasaan sedih yang berat, pemikiran
tentang kehilangan, sulit tidur, kehilangan nafsu makan, dan penurunan berat badan
seperti yang terdapat di kriteri A, mungkin menyerupai depresi. Walaupun gejala-gejala
tersebut mungkin dapat dipahami atau dipertimbangkan sebagai respon normal terhadap
kehilangan yang bermakna, harus secara hati-hati tetap dipertimbangkan. Keputusan ini
tidak dapat dipungkiri membutuhkan pelatihan keterampilan klinis berdasarkan riwayat
hidup individu dan norma budaya dalam menentukan distress akibat kehilangan.
D. Keberadaan episode depresi tidak dapat dijelaskan pada gangguan skizoafektif,
skizofrenia, skizofreniform, gangguan waham, atau spektrum skizofrenia lainnya yang
tidak spesifik.
E. Tidak pernah dijumpai episode manik atau hipomanik.
8. Penatalaksanaan Gangguan Depresi

Tujuan terapi depresi adalah untuk mengurangi gejala depresi akut,


meminimalkan efek samping, memastikan kepatuhan pengobatan, membantu
pengembalian ketingkat fungsi sebelum depresi, dan mencegah episode lebih
lanjut ( Sukandar dkk., 2008 ).
Banyaknya jenis terapi pengobatan, keefektivitan pengobatan juga akan
berbeda – beda antara orang yang satu dengan orang yang lain. Psikater
biasanya memberikan medikasi dengan menggunakan antidepresan untuk
menyeimbangkan kimiawi otak penderita.Terapi yang digunakan untuk pasien
dipengaruhi oleh hasil evaluasi riwayat kesehatan serta mental pasien ( Depkes,
2007 )
Untuk melakukan pengobatan pada pasien dengan gangguan depresi
mayor, ada 3 tahapan yang harus dipertimbangkan antara lain :
a. Fase akut, fase ini berlangsung 6 sampai 10 minggu. pada fase ini
bertujuan untuk mencapai masa remisi ( tidak ada gejala ).
b. Fase lanjutan, fase ini berlangsung selama 4 sampai 9 bulan setelah
mencapai remisi. pada fase ini bertujuan untuk menghilangkan gejala sisa
atau mencegah kekambuhan kembali.
c. Fase pemeliharaan, fase ini berlangsung 12 sampai 36 bulan. Pada fase ini
tujuannya untuk mencegah kekambuhan kembali.
Algoritme untuk terapi depresi tanpa komplikasi ( Gambar. 1)
a. Terapi non farmakologi
1) Psikoterapi
Psikoterapi adalah terapi pengembangan yang digunakan untuk
menghilangkan atau mengurangi keluhan – keluhan serta mencegah kambuhnya
gangguan pola perilaku maladatif (Depkes, 2007). Teknik psikoterapi tersusun
seperti teori terapi tingkah laku, terapi interpersonal, dan terapi untuk pemecahan
sebuah masalah. Dalam fase akut terapi efektif dan dapat menunda terjadinya
kekambuhan selama menjalani terapi lanjutan pada depresi ringan atau sedang.
Pasien dengan menderita depresi mayor parah dan atau dengan psikotik tidak
direkomendasikan untuk menggunakan psikoterapi. Psikoterapi merupakan terapi
pilihan utama utuk pasien dengan menderita depresi ringan atau sedang (Teter et
al.,2007)

2) Electro Convulsive Therapy (ECT)


Electro Convulsive Therapy adalah terapi dengan mengalirkan arus
listrik ke otak (Depkes, 2007). Terapi menggunakan ECT biasa digunakan untuk
kasus depresi berat yang mempunyai resiko untuk bunuh diri (Depkes, 2007).
ECT juga diindikasikan untuk pasien depresi yang tidak merespon terhadap obat
antidepresan (Lisanby, 2007).
Terapi ECT terdiri dari 6 – 12 treatment dan tergantung dengan tingkat
keparahan pasien. Terapi ini dilakukan 2 atau 3 kali seminggu, dan sebaiknya
terapi ECT dilakukan oleh psikiater yang berpengalaman (Mann. 2005). Electro
Convulsive Therapy akan kontraindikasi pada pasien yang menderita epilepsi,
TBC miller, gangguan infark jantung, dan tekanan tinggi intra karsial (Depkes,
2007).
b. Terapi Farmakologi
Antidepresan adalah obat yang dapat digunakan untuk memperbaiki
perasaan (mood) yaitu dengan meringankan atau menghilangkan gejala keadaan
murung yang disebabkan oleh keadaan sosial – ekonomi, penyakit atau obat –
obatan ( Tjay & Rahardja, 2007 ).
Antidepresan adalah obat yang digunakan untuk mengobati kondisi serius
yang dikarenakan depresi berat. Kadar NT (nontransmiter) terutama NE
(norepinefrin) dan serotonin dalam otak sangat berpengaruh terhadap depresi dan
gangguan SSP. Rendahnya kadar NE dan serotonin di dalam otak inilah yang
menyebabkan gangguan depresi, dan apabila kadarnya terlalu tinggi menyebabkan
mania. Oleh karena itu antideresan adalah obat yang mampu meningkatkan kadar
NE dan serotonin di dalam otak ( Prayitno,2008 ).
Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) merupakan obat terbaru
dengan batas keamanan yang lebar dan memiliki spektrum efek samping obat
yang berbeda – beda. SSRI diduga dapat meningkatkan serotonin ekstraseluler
yang semula mengaktifkan autoreseptor, aktivitas penghambat pelepasan
serotonin dan menurunkan serotonin ekstraseluler ke kadar sebelumnya. Untuk
saat ini SSRI secara umum dapat diterima sebagai obat lini pertama (Neal, 2006)

1) Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI).


Selective Serotonin Reuptake Inhibitor adalah obat antidepresan yang
mekanisme kerjanya menghambat pengambilan serotonin yang telah
disekresikan dalam sinap (gap antar neuron), sehingga kadar serotonin dalam
otak meningkat. Peningkatan kadar serotonin dalam sinap diyakini bermanfaat
sebagai antidepresan (Prayitno, 2008). SSRI memiliki efikasi yang setara
dengan antidepresan trisiklik pada penderita depresi mayor (Mann, 2005). Pada
pasien depresi yang tidak merespon antidepresan trisiklik (TCA) dapat
diberikan SSRI ( MacGillvray et al., 2003). Untuk gangguan depresi mayor
yang berat dengan melankolis antidepresan trisiklik memiki efikasi yang lebih
besar daripada SSRI, namun untuk gangguan depresi bipolar SSRI lebih efektif
dibandingkan antidepresan trisiklik , hal ini dikarenakan antidepresan trisiklik
dapat memicu timbulnya mania dan hipomania ( Gijsman, 2004).
Obat antidepresan yang termasuk dalam golongan SSRI seperti
Citalopram, Escitalopram, Fluoxetine, Fluvoxamine, Paroxetine, dan Sertraline
(Teter et al.,2007). Fluoxetine merupakan antidepresan golongan SSRI yang
memiliki waktu paro yang lebih panjang dibandingkan dengan anidepresan
golongan SSRI yang lain, sehingga fluoxetine dapat digunakan satu kali sehari
(Mann, 2005). Efek samping yang ditimbulkan Antidepresan SSRI yaitu gejala
gastrointestinal ( mual, muntah, dan diare), disfungsi sexsual pada pria dan
wanita, pusing, dan gangguan tidur. Efek samping ini hanya bersifat sementara
(Teter et al., 2007).
2) Antidepresan Trisiklik (TCA)
Antidepresan trisiklik (TCA) merupakan antidepresan yang mekanisme
kerjanya menghambat pengambilan kembali amin biogenik seperti norepinerin
(NE), Serotonin ( 5 – HT) dan dopamin didalam otak, karena menghambat
ambilan kembali neurotransmitter yang tidak selektif,sehingga menyebabkan
efek samping yang besar ( Prayitno, 2008). Antidperesan trisiklik efektif dalam
mengobati depresi tetapi tidak lagi digunakan sebagai obat lini pertama, karena
efek sampingnya dan efek kardiotoksik pada pasien yang overdosis TCA
(Unutzer, 2007). Efek samping yang sering ditimbulkan TCA yaitu efek
kolinergik seperti mulut kering, sembelit, penglihatan kabur, pusing, takikardi,
ingatan menurun, dan retensi urin. Obat – obat yang termasuk golongan TCA
antara lain Amitripilin, Clomipramine, Doxepin, Imipramine, Desipiramine,
Nortriptyline (Teter et al., 2007).
3) Serotonin /Norepinephrin Reuptake Inhibitor (SNRI)
Antidepresan golongan Serotonin /Norepinephrin Reuptake Inhibitor
(SNRI) mekanisme kerjanya mengeblok monoamin dengan lebih selektif
daripada antidepresan trisiklik, serta tidak menimbulkan efek yang tidak
ditimbulkan antidepresan trisiklik ( Mann, 2005). Antidepresan golongan SNRI
memiliki aksi ganda dan efikasi yang lebih baik dibandingkan dengan SSRI dan
TCA dalam mengatasi remisi pada depresi parah ( Sthal, 2002).
Obat yang termasuk golongan SNRI yaitu Venlafaxine dan Duloxetine.
Efek samping yang biasa muncul pada obat Venlafaxine yaitu mual, disfungsi
sexual. Efek samping yang muncul dari Duloxetine yaitu mual, mulut kering,
konstipasi, dan insomnia (Teter et al., 2007).
4) Antidepresan Aminoketon
Antidepresan golongan aminoketon adalah antidepresan yang memiliki
efek yang tidak begitu besar dalam reuptake norepinefrin dan serotonin.
Bupropion merupakan satu – satunya obat golongan aminoketon(Teter et al.,
2007). Bupropion bereaksi secara tidak langsung pada sistem serotonin, dan
efikasi Bupropion mirip dengan antidepresan trisiklik dan SSRI (Mann, 2005).
Bupropion digunakan sebagai terapi apabila pasien tidak berespon terhadap
antidepresan SSRI (Mann, 2005). Efek samping yang ditimbulkan Bupropion
yaitu mual, muntah, tremor, insomnia, mulut kering, dan reaksi kulit ( Teter et
al., 2007).
5) Antidepresan Triazolopiridin
Trazodone dan Nefazodone merupakan obat antidepresan golongan
triazolopiridin yang memiliki aksi ganda pada neuron seratonergik. Mekanisme
kerjanya bertindak sebagai antagonis 5 – HT2 dan penghambat 5 – HT, serta
dapat meningkatkan 5 – HT1A .Trazodone digunakan untuk mengatasi efek
samping sekunder seperti pusing dan sedasi, serta peningkatan availabilitas
alternatif yang dapat diatasi ( Teter et al., 2007).
Efek samping yang ditimbulkan oleh Trazodone adalah sedasi, gagguan
kognitif, serta pusing. Sedangkan efek samping yang ditimbulkan Nefazodone
yaitu sakit kepala ringan, ortostatik hipotensi, mengantuk, mulut kering, mual,
dan lemas ( Teter et al., 2007).
6) Antidepresan Tetrasiklik
Mirtazapin adalah satu – satunya obat antidepresan golongan tetrasiklik.
Mekanisme kerjanya sebagai antagonis pada presinaptic α2 – adrenergic
autoreseptor dan heteroreseptor, sehingga meningkatkan aktivitas
nonadrenergik dan seratonergik ( Teter et al., 2007). Mirtazapin bermanfaat
untuk pasien depresi dengan gangguan tidur dan kekurangan berat badan
(Unutzer, 2007). Efek samping yang ditimbulkan berupa mulut kering,
peningkatan berat badan, dan konstipasi (Teter et al., 2007).
7) Mono Amin Oxidase Inhibitor ( MAOI )
Mono Amin Oxidase Inhibitor adalah suatu enzim komplek yang
terdistribusi didalam tubuh, yang digunakan dalam dekomposisi amin biogenik
(norepinefrin, epinefrin, dopamin, dan serotonin) (Depkes, 2007).
MAOI bekerja memetabolisme NE dan serotonin untuk mengakhiri kerjanya
dan supaya mudah disekresikan. Dengan dihambatnya MAO, akan terjadi
peningkatan kadar NE dan serotonin di sinap, sehingga akan terjadi
perangsangan SSP (Prayitno, 2008).
MAOI memiliki efikasi yang mirip dengan antidepresan trisiklik. MAOI
juga dipakai untuk pasien yang tidak merespon terhadap antidepresan trisiklik
(Benkert, 2002). Enzim pada MAOI memiliki dua tipe yaitu MAO – A dan
MAO – B. Kedua obat hanya akan digunakan apabila obat – obat antidepresan
yang lain sudah tidak bisa mengobati depresi ( tidak manjur ). Moclobomida
merupakan suatu obat baru yang menginhibisi MAO – A secara ireversibel,
tetapi apabila pada keadaan overdosis selektivitasnya akan hilang. Selegin
secara selektif memblokir MAO – B dan dapat digunakan sebagai antidepresan
pada dosis yang tinggi dan beresiko efek samping. MAO – B sekarang sudah
tidak digunakan lagi sebagai antidepresan ( Tjay & Rahardja, 2007 ).
Obat – obat yang tergolong dalam MAOI yaitu Phenelzine,
Tranylcypromine, dan Selegiline. Efek samping yang sering muncul yaitu
postural hipotensi ( efek samping tersebut lebih sering muncul pada pengguna
phenelzine dan Tranylcypromine ), penambahan berat badan, gangguan sexual
(penurunan libido, anorgasmia) ( Teter et al., 2007).
c. Terapi Tambahan
Digunakannya terapi tambahan yang untuk meningkatkan efek
antidepresan serta mencegah terjadinya mania.
1) Mood Stabilizer
Lithium dan Lomotrigin biasa digunakan sebagai mood stabilizer.
Litium adalah suatu terapi tambahan yang efektif pada pasien yang tidak
memberikan respon terhadap pemberian monoterapi antidepresan. Lomotrigin
adalah antikonvulsan yang mereduksi glutamateric dan juga digunakan sebagai
agen terapi tambahan pada depresi mayor (Barbosa et al., 2003) dan juga
digunakan untuk terapi dan pencegahan relapse pada depresi bipolar (Yatham,
2004).
Beberapa mood stabilizer yang lain yaitu Valproic acid, divalproex dan
Carbamazepin ini semua digunakan untuk terapi mania pada bipolar disorder.
Divalproex dan Valproate digunakan untuk mencegah kekambuhan kembali
(Mann, 2005).
2) Antipsikotik
Antipsikotik digunakan untuk meningkatkan efek antidepresan. Ada 2
macam antipsikotik yaitu typical antipsikotik dan atypical antipsikotik. Obat –
obat yang termasuk typical antipsikotik yaitu Chorpromazine, Fluphenazine,
dan Haloperidol. Antipsikotik typical bekerja memblok dopamine D2 reseptor.
Atypical antipsikotik hanya digunakan untuk terapi pada depresi mayor resisten
(Kennedy, 2003) dan bipolar depresi (Keck, 2005). Obat – obat yang termasuk
dalam Atypical antipsikotik clozapine, olanzapine, dan aripripazole (Mann,
2005).

9. Prognosis Gangguan Depresi

Pengobatan depresi dapat mengatasi gejala dengan baik, namun sebanyak 50% pasien tidak
menunjukkan respon terhadap terapi atau respon parsial dan terjadi rekurensi dengan
gangguan yang lebih berat. Rekurensi terjadi pada gangguan depresi setelah 3 tahun pasca
terapi dan episode rekurensi dapat berlangsung selama rata-rata 1 hingga 1.5 tahun atau
paling lama 3 tahun. Faktor-faktor yang menentukan rekurensi depresi adalah:
 Riwayat rekurensi sebelumnya
 Gejala residual
 Trauma masa kanak-kanak
 Pelecehan seksual
 Kekerasan rumah tangga
 Gejala berat
 Komorbiditas dengan gangguan mental lain
 Komorbiditas dengan gangguan kepribadian
 Usia lebih muda pada saat diagnosis 

10. Komplikasi gangguan Depresi

Komplikasi yang dapat terjadi pada gangguan depresi adalah:


 Penyalahgunaan obat
 Percobaan bunuh diri: perlu dilakukan penilaian risiko bunuh diri
 Obesitas
 Malnutrisi
 Progresi penyakit jantung dan metabolik
 Gangguan psikotik
 Gangguan panik
 Masalah sosial dan ekonomi

Anda mungkin juga menyukai