Disusun Oleh :
Febriana Siska (213001020118)
Ihza Mahendra (213001020119)
Semester : 5
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perilaku normal merupakan perilaku yang sesuai dengan normanorma yang
berlaku di suatu kalangan masyarakat tertentu sedangkan perilaku abnormal adalah
sesuatu perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di lingkungan
masyarakat tertentu. Perilaku abnormal tersebut dapat memunculkan asumsi
masyarakat bahwa individu yang berperilaku abnormal adalah individu yang tidak
sehat secara psikis atau batiniah. Sebut saja individu yang mengalami gangguan
bipolar yang memunculkan sikap mania dan depresi yang sangat berlebihan
Depresi menurut Beck dan Alford (2009) merupakan sebuah gangguan
psikologis yang ditandai dengan penyimpangan perasaan, kognitif, dan perilaku
individu. Individu yang mengalami gangguan depresi dapat merasakan kesedihan,
kesendirian, menurunnya konsep diri, serta menunjukkan perilaku menarik diri dari
lingkungannya.
Menurut Shastry (Halgin & Whitbourne, 2011) gangguan bipolar adalah
kondisi serius yang jika tidak mendapatkan treatment. Bahkan, resiko terjadinya bunuh
diri pada orang yang menderita gangguan bipolar yang tidak mendapatkan treatment
diperkirakan sebesar 15%.
WHO juga mencatat rata-rata penduduk Indonesia yang meninggal akibat
bunuh diri mencapai 24 per 100.000 penduduk, dengan kata lain sebanyak 50.000
orang dalam satu tahun. Prevalensi ini cenderung meningkat setiap tahunnya. Angka
ini hampir mendekati angka bunuh diri yang terjadi di Cina yakni berjumlah 250.000
dan di India 100.000 dalam waktu setahun. Studi terbaru menunjukan mayoritas bunuh
diri di Indonesia berhubungan dengan masalah kesehatan mental yang dapat membawa
seseorang menuju keputusan bunuh diri. Salah satu sebab adalah gangguan bipolar
yang sedang mengancam dunia termasuk Indonesia. Akan tetapi hal tersebut belum
bisa dikenali secara umum. Usia paling umum dalam onset gangguan bipolar adalah
17 – 21 tahun sehingga gangguan bipolar sering disebut sebagai highly disabling
illness, bahkan sebuah studi yang dilakukan oleh WHO mengidentifikasikan gangguan
bipolar sebagai penyebab utama ke-6 kecacatan diseluruh dunia pada kelompok usia
15 – 44 tahun (www.who.com ). Penelitian Safira (2014) menunjukkan hubungan
1
yang bermakna antara gangguan bipolar dengan resiko bunuh diri pada individu rawat
inap di Rumah Sakit Daerah Sungai Bangkong Pontianak memiliki resiko bunuh diri
4,75 kali lebih tinggi daripada individu gangguan non bipolar (OR=4,75; p=0,004).
Sehingga dalam kesimpulannya, terdapat hubungan yang bermakna antara gangguan
bipolar dengan resiko bunuh diri. Penelitian Putra (2014) mengatakan bahwa
gangguan bipolar yang terdiri dari afek meningkat dan juga aktivitas yang berlebih
(mania atau hipomania) dan dalam jangka waktu yang berbeda terjadi penurunan afek
yang disertai penurunan aktivitas (depresi). Kejadian pada gangguan bipolar berkisar
antara 0,3 – 1,5%. Prevalensi serupa pada pria dan wanita. Gejala gangguan bipolar
episode manik meliputi perasaan sensitif, kurang istirahat, harga diri melonjak naik.
Sedangkan pada episode depresi meliputi kehilangan minat, tidur lebih atau kurang
dari normal, gelisah, merasa tidak berharga dan kurang konsentrasi.
2
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini, yaitu :
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit depresi ?
2. Bagaimana patofisiologi terjadinya penyakit depresi ?
3. Bagaimana gejala klinik pada penyakit depresi ?
4. Bagaimana penatalaksaan pada pasien penderita penyakit depresi ?
5. Bagaimana evaluasi obat penyakit depresi yang digunakan pasien ?
C. Tujuan
Tujuan pada makalah ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui definisi dari penyakit depresi ?
2. Untuk mengetahui patofisiologi terjadinya penyakit depres ?
3. Untuk mengetahui gejala klinik pada penyakit depresi ?
4. Untuk mengetahui penatalaksaan pada pasien penderita penyakit depresi ?
5. Untuk mengetahui evaluasi obat penyakit depresi yang beredar digunakan ?
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Depresi adalah suatu keadaan emosi yang tidak menyenangkan dan dangkal
(low mood) sebagai akibat dari pengaruh peristiwa yang tidak diharapkan, dimana
manifestasi gejala dapat bersifat ringan hingga pada tingkat yang berat (rosenbaum,
2000).
B. Patofisiologi
Model noradrenergik. Model ini menunjukkan bahwa sistem saraf otonomik
pada penderita ansietas, hipersensitif dan bereaksi berlebihan terhadap berbagai
rangsangan. Locus keruleus mempunyai peranan dalam mengatur ansietas, yaitu
dengan mengaktivasi pelepasan norepinephrine (NE) dan merangsang sistem saraf
simpatik dan parasimpatik. Aktivitas berlebihan noradrenergic yang kronik
menurunkan jumlah aZ adrenoreseptor pada penderita gangguan kecemasan
umum/generalized anxiety disorder (GAD) dan gangguan stress pasca trauma/post
traumatic stress disorder (PTSD). Pasien dengan gangguan kecemasan sosial/ social
anxiety disorder (SAD) nampaknya mempunyai respon adrenokortikal yang
berlebihan terhadap tekanan psikologis/kejiwaan.
Model reseptor asam y-aminobutirat (GABA), GABA adalah neurotransmitter
inhibitor utama di sistem saraf pusat (SSP). Umumnya target/sasaran obat- obat
antiansietas adalah reseptor GABAA. Benzodiazepine (BZ) meningkatkan atau
mengurangi efek penghambatan GABA, dimana BZ mempunyai efek pengontrolan
atau penghambatan yang kuat pada sistem serotonin (5-HT), NE, dan dopamine
(DA). Gejala ansietas mungkin berhubungan dengan penurunan aktivitas sistem
GABA atau penurunan jumlah resptor pusat BZ. Pada penderita GAD, ikatan BZ di
lobus temporalis kiri dikurangi. Sensitivitas abnormal terhadap sifat antagonis tempat
4
ikatan BZ dan pengurangan ikatan ditunjukan pada kondisi gangguan kepanikan/
panic disorder. Respon hormon pertumbuhan terhadap baclofen pada penderita SAD
pada umumnya menunjukkan adanya ketidaknormalan pada fungsi resptor GABAB
pusat. Ketidaknormalan penghambatan GABA dapat menyebabkan peningkatan
respon terhadap tekanan/stress pada penderita PTSD.
Model serotonin (5-HT). Gejala-gejala GAD menggambarkan transmisi 5-HT
yang berlebihan atau rangsangan berlebihan pada jalur stimulasi 5-HT. Pasien SAD
mempunyai respon prolactin yang lebih besar terhadap rangsangan Buspiron,
menunjukkan peningkatan respon serotonergic pusat. Peranan 5-HT pada gangguan
kepanikan tidak jelas, tetapi mungkin berperan pada perkembangan anticipatory
anxiety. Data awal menunjukkan bahwa 5-HT dan 5-HTZ metaklorofenilpiperasin
(µPP) antagonis menyebabkan peningkatan
ansietas pada penderita PTSD.
Penderita PTSD mengalami hipersekresi faktor pelepasan kortikotropin, tetapi
menunjukkan tingkat kortisol yang subnormal pada saat trauma dan berlangsung
kronis. Gangguan pengaturan hipotalamus-pituitari-adrenal
merupakan faktor risiko perkembangan akhir PTSD.
Penelitian neuroimaging fungsional menunjukkan bahwa bagian depan dan
posterior (occipital) otak merupakan bagian penting dalam respon ansietas. Penderita
gangguan kepanikan memiliki aktivasi abnormal pada daerah parahippocampal dan
korteks prefrontal dalam keadaan istirahat. Panik kecemasan berhubungan dengan
aktivasi batang otak dan daerah ganglia basal. Penderita GAD mengalami
peningkatan abnormal aktivitas kortikal dan penurunan aktivitas ganglia basal. Pada
penderita SAD, mungkin terdapat ketidaknormalan di amigdala, hippocampus dan
beberapa daerah kortikal. Rendahnya volume hippocampal pada penderita PTSD
mungkin merupakan prekusor perkembangan lanjut PTSD.
C. Gejala Klinik
1. Gangguan Kecemasan Umum / Generalized Anxiety Disorder (GAD)
5
ini berlangsung gejala penyakit memburuk dan membaik secara spontan. GAD
mempunyai prensentase kekambuhan yang tinggi tinggi dan kecepatan pemulihan
kembali yang rendah.
6
ramai, jembatan) yang membuat mereka merasa khawatir serangan panik akan
terjadi. Penderita menjadi orang yang takut keluar rumah.
7
Pada subtipe umum, ketakutan muncul pada situasi-situasi sosial dimana hal yang
memalukan dapat terjadi. Pada subtipe lain, ketakutan hanya terbatas pada satu
atau dua kondisi (contoh: tampil, berbicara di depan umum).
Ciri khas utama yaitu ketakutan yang luar biasa dan terus menerus terhadap
obyek atau situasi tertentu, seperti hujan angin rebut disertai petir dan guruh, hewan
atau ketinggian. Penderita-penderita ini tidak mengalami gangguan serius dalam
8
kehidupan kesehariannya karena mereka hanya perlu menghindari obyek-obyek yang
ditakuti. Fobia spesifik tidak dapat diatasi dengan terapi obat, tetapi lebih memberi
respon terhadap terapi perilaku / psikologis.
5. Gangguan Stres Pasca Trauma / Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Pada PTSD, paparan terhadap suatu kejadian yang traumatik dengan segera
menyebabkan rasa takut yang hebat, tidak berdaya, atau ngeri.
Penderita harus menunjukkan sedikitnya satu gejala yang dialami berulang, tiga tanda
atau gejalamenghindar terus menerus terhadap pemicu trauma, dan sedikitnya dua
gejala-gejala arousal yang meningkat (kepekaan terhadap rangsangan sensoris atau
eksitabilitas, kegiatan yang merangsang untuk siaga atau bertindak). Gejala dari
masing-masing kategori harus terjadi selama lebih dari 1 bulan dan menyebabkan
penderita dalam keadaan yang sukaratau mengalami gangguan dalam keseharian yang
bermakna.
PTSD dapat terjadi pada segala usia dan lamanya bervariasi.
Sepertiga pasien PTSD mempunyai prognosis yang buruk, dan sekitar 80% mengalami
depresi dan kecemasan secara bersamaan. Lebih dari setengah pasien PTSD
mempunyai kecenderungan penyalahgunaan atau nketergantungan alkohol yang
berlangsung secara bersamaan, dan sekitar 20% pasien mencoba bunuh diri.
9
Ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan / anhedonia
Keterasingan dari orang lain
Menahan emosi / redicted affect
Perasaan memiliki masa depan yang pendek (contoh: tidak berharap untuk
mempunyai karir, pernikahan
Gejala hyperarousal
Penurunan konsentrasi
Mudah ketakutan
Kewaspadaan yang berlebihan
Kesulitan tidur / insomnia
Sensitif atau tiba-tiba marah
Subtipe
Akut: lamanya gejala kurang dari 3 bulan
Kronik: gejala berakhir lebih dari 3 bulan
Mula gejala yang tertunda: mula gejala terjadi minimum 6 bulan
E. Penalataksanaan
Penatalaksanaan dalam mengurangi kecemasan diantaranya yaitu :
1) Farmakologi
Menurut Depkes RIxvi(2008) obat-obatan yang dapat mengurangi kecemasan
10
yaitu :
a) Antiansietas
(1) Golongan Benzodiazepin
(2) Buspiron
b) Antidepresi
Golongan Serotonin Norepinephrin Reuptake Inhibitors
(SNRI).Penggolongan yang paling efektif untuk pasien dengan kecemasan
menyeluruh adalah pengobatan yang mengkombinasikan psikoterapi dan
farmakoterapi. Pengobatan mungkin memerlukan cukup banyak waktu bagi
klinisi yang terlibat (Mansjoer,xvii2007)
2) Non farmakologi dengan teknik relaksasi nafas dalam Salah satu penanganan
kecemasan non farmalokogi oleh teknik relaksasi nafas dalam. Pada saat
melakukan latihan relaksasi, pernafasan melambat, tekanan darah menurun,
otototot rileks, sakit kepala memudar dan kecemasan akan berkurang. Efek
relaksasi adalah kebalikan dari gejala fisik kecemasan (Hardvard Medikal
School,xviii2015). Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu usaha
untuk inspirasi dan ekspirasi sehingga berpengaruh terhadap peregangan
kardiopulmonari. Dari peregangan kerdiopulmunari dapat meningkatkan
baroreseptor yang akan merangsang saraf parasimpatis dan menghambat
pusat simpatis. Peningkatan saraf parasimpatis akan menurunkan ketegangan,
kecemasan serta mengendalikan fungsi denyut jantung sehingga membuat
tubuh rileks (Muttaqin & Sari,xix2009). Serta olahraga teratur, mengatur pola
makan, dan istirahat cukup.
Di bawah ini adalah beberapa jenis obat yang termasuk dalam golongan
antiansietas:
11
Benzodiazepine, berguna untuk menangani gangguan kecemasan parah,
mengatasi insomnia berat yang menganggu kehidupan sehari-hari, serta
merilekskan otot.
Antidepresan, mengurangi kecemasan dengan meningkatkan kadar zat kimia
(neurotransmiter) di dalam otak, sehingga suasana perasaan dapat lebih
terkendali.
Antiansietas hanya boleh digunakan sesuai resep dokter. Ada beberapa hal
yang perlu Anda perhatikan sebelum menggunakan antiansietas, antara lain:
Beri tahu dokter tentang riwayat alergi yang Anda miliki. Obat antiansietas
tidak boleh diberikan kepada pasien yang alergi pada setiap jenis obat
golongan ini, termasuk antikonvulsan, barbiturat, antidepresan, dan
benzodiazepine.
Beri tahu dokter jika Anda sedang menggunakan obat, suplemen, atau produk
Beri tahu dokter jika Anda pernah atau sedang menderita penyakit liver,
penyakit ginjal, penyakit jantung, glaukoma, myasthenia gravis, gangguan
kordinasi tubuh, porfiria, kecanduan alkohol, penyalahgunaaan NAPZA,
asma, PPOK, sleep apnea, serta gangguan mental, seperti depresi, psikosis,
atau keinginan untuk bunuh diri.
Beri tahu dokter bahwa Anda sedang menjalani pengobatan dengan
antiansietas sebelum menjalani operasi, termasuk operasi gigi.
Beri tahu dokter jika Anda sedang hamil, menyusui, atau merencanakan
kehamilan.
Jangan mengemudikan kendaraan atau melakukan hal yang membutuhkan
kewaspadaan, selama menjalani pengobatan dengan antiasietas, karena obat ini
dapat menyebabkan pusing atau kantuk.
Jangan menambah, mengurangi, atau menghentikan pengobatan dengan
antiansietas secara sembarangan, karena bisa meningkatkan risiko terjadinya
efek ketergantungan atau efek putus obat.
12
Jangan mengonsumsi minuman beralkohol selama menjalani pengobatan
dengan antiasietas, karena dapat meningkatkan risiko terjadinya efek samping,
Segera temui dokter jika terjadi reaksi alergi obat, efek samping yang serius,
atau overdosis setelah menggunakan antiansietas.
Dosis antiansietas yang diberikan tergantung pada jenis dan bentuk obat, serta
usia dan kondisi pasien. Berikut adalah penjelasannya:
Antikonvulsan
1. Carbamazepine
Merek dagang: Bamgetol 200, Carbamazepine, Tegretol, Tegretol CR.
2. Lamotrigine
Merek dagang: Lamictal, Lamiros 50, Lamiros 100
3. Asam Valproat
Merek dagang: Lepsio, Procifer, Sodium Valproate, Valeptik, Valepsi,
Valkene, Valpi, Valproic Acid
Barbiturat
1. Phenobarbital
Merek dagang: Phenobarbital, Phenobarbital Sodium, Sibital.
2. Butabarbital
Merek dagang: -
3. Pentobarbital
Merek dagang:-
Benzodiazepine
1. Alprazolam
Merek dagang: Alganax, Apazol, Alprazolam, Atarax, Calmlet, Frixitas,
Frixitas XR, Nuzolam, Opizolam, Xanax, Xanax SL, Zypraz
13
2. Clobazam
Merek dagang: Asabium, Anxibloc, Clobazam, Clofritis, Frisium, Proclozam
3. Diazepam
Merek dagang: Analsik, Diazepam, Metaneuron, Neurindo, Neurodial,
Neuroval, Nozepav, Potensik, Stesolid, Trazep, Valdimex, Valisanbe, Valium
4. Lorazepam
Merek dagang: Ativan, Lorazepam, Loxipaz, Merlopam, Renaquil
5. Chlordiazepoxide
Merek dagang: Cliad, Clixid, Librax, Melidox, Sanmag
6. Clonazepam
Merek dagang: Clonazepam.
7. Midazolam
Merek dagang: Anesfar, Fortanest, Hipnoz, Midanest, Midazolam-Hameln,
Midazolam Hydrochloride, Miloz, Sedacum.
8. Estazolam
Merek dagang: Alena, Esilgan, Elgran
Antidepresan
Buspiron
Buspiron merupakan obat untuk meredakan cemas. Obat ini bekerja dengan
cara memengaruhi kadar serotonin yang ada di otak.
14
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan pada makalah ini, yaitu :
1. Gangguan kecemasan (ansietas) meliputi suatu kumpulan gangguan dimana
kecemasan (ansietas) dan gejala lainnya yang terkait yang tidak rasional dialami
pada suatu tingkat keparahan sehingga mengganggu aktivitas/pekerjaan. Ciri-ciri
khasnya yaitu perasaan cemas dan sifat menghindar.
2. Patofisiologi gangguan kecemasan terdiri dari model noradrenergik, model
reseptor asam-y-aminobutirat (GABA), model serotonin, hipersekresi
factorpelepasan kortikotropin, dan studi neuroimaging fungsional.
3. Gejala klinik gangguan kecemasan terbagi menjadi lima yaitu gangguan
kecemasan umum, gangguan panic, gangguan kecemasan sosial, fobia spesifik,
dan gangguan stress pasca trauma umumnya secara psikologis memiliki rasa
cemas dan khawatir berlebihan terhadap sesuatu dan secara fisik memiliki rasa
gemetar, berkeringat, takikardia.
4. Penatalaksanaan terapi secara farmakologi yaitu dengan pemberian pengobatan
dan secara non farmakologi dengan cara terapi relaksasi, olahraga teratur,
mengatur pola makan, dan istirahat cukup.
16
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., Posey, L. M.,
2008, Pharmacotherapy A Physiologic Approach Seventh Edition, McGraw
Hill, USA.
Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. A. P.,
Kusnandar, 2008, ISO Farmakoterapi Buku 1, ISFI Penerbitan, Jakarta.
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2009. Asuhan Keperawatan Perioperatif, Konsep,
Proses, Dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Medika.
17