Gangguan Kecemasan I
Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah masyarakat. Berawal dari
stres yang tidak diatasi, maka seseorang bisa jatuh ke fase depresi. Penyakit ini kerap diabaikan
karena dianggap bisa hilang tanpa pengobatan. Padahal, depresi yang tidak diterapi dengan baik
bisa berakhir dengan bunuh diri. Selain itu, depresi yang berat juga menimbulkan berbagai
penyakit fisik, seperti ganggguan pencernaan, asma, gangguan pada pembuluh darah, penurunan
produktivitas, dan lain-lain.
Isi
Gangguan Anxietas
Gangguan panik mencakup munculnya serangan panik yang berulang dan tidak terduga.
Serangan-serangan panik melibatkan reaksi kecemasan yang intens disertai dengan simtom-
simtom fisik, seperti jantung yang berdebar-debar, nafas cepat, nafas tersengal atau kesulitan
bernafas, banyak mengeluarkan keringat, dan terdapat rasa lemas dan pusing.
Berdasarkan kriteria DSM-V, gangguan ansietas dibagi menjadi beberapa tipe (Bandelow,
Michaelis, Wedekind, 2017), yaitu:
1. Panic Disorder
2. Generalized Anxiety Disorder (GAD)
3. Agoraphobia
4. Sosial Anxiety Disorder (SAD)
5. Spesific Phobia
6. Separation Anxiety Disorder
7. Selective Mutism
Sedangkan menurut PPDGJ yang diringkas oleh Rusdi Maslim (2013: 72), dijelaskan
mengenai klasifikasi gangguan ansietas sebagai berikut:
1. F40 Gangguan Ansietas Fobi
a. F40.0 Agorafobia
F40.00 Agorafobia tanpa Gangguan Panik
F40.01 Agorafobia dengan Gangguan Panik
b. F40.1 Fobia Sosial
c. F40.2 Fobia Khas (terisolasi)
d. F40.8 Gangguan Ansietas Fobik Lainnya
e. F40.9 Gangguan Asietas Fobik YTT (Yang Tidak Tergolongkan/ unspecified)
2. F41 Gangguan Ansietas Lainnya
a. F41.0 Gangguan Panik
b. F41.1 Gangguan Cemas Menyeluruh
c. F41.2 Gangguan Campuran Ansietas dan Depresi
d. F41.3 Gangguan Ansietas Campuran Lainnya
e. F41.8 Gangguan Ansietas Lainnya YDT (Yang Di-Tentukan/ specified)
f. F41.9 Gangguan Ansietas YTT (Yang Tidak Tergolongkan/ unspecified)
Patofisiologi
Stres yang dialami dalam kehidupan telah dikaitkan dengan munculnya kejadian depresi dan
gangguan ansietas. Adanya paparan kronis diikuti dengan respon adaptif yang melibatkan aktivasi
struktur neural yang berbeda pada emosional dan proses kognitif di sistem saraf pusat, aktivasi
lanjutan pada sistem saraf otonom, dan HPA axis. Area pada SSP yang teraktivasi diantaranya
adalah thalamus dan area limbik seperti amigdala dan hipokampus. Proyeksi langsung dari
thalamus ke amigdala merupakan respon hasil stimulus noradrenergik dari locus cereleus. Proyeksi
tidak langsung juga menstimulasi amigdala dari korteks sensorik dan korteks asosiatif. Sedangkan
korteks transisional menghubungkan dengan hipokampus. Lalu, hipokampus meneruskan stimulus
ke nucleus lateral amigdala yakni hypothalamic paraventricular nucleus (PVN). PVN
mengeluarkan CRH untuk merangsang pengeluaran ACTH di pituitary yang akan diteruskan ke
korteks adrenal untuk akhirnya mengeluarkan kortisol. HPA diregulasi oleh aktivitas stimulus
amigdala dan inhibitorik dari hipokampus. Selain itu, PVN juga menerima proyeksi noradrenergik
dari locus cereleus dan proyeksi serotonergik dari nucleus raphe.
PPDGJ III menunjukkan pedoman diagnostik dari gangguan panik sebagai berikut :
1. Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis gangguan utama bila tidak ditemukan
adanya gangguan anxietas fobik
2. Untuk diagnosis pasti harus ditemukan adanya beberapa kali serangan anxietas berat (severe
attacks of autonomic anxiety) dalam masa sekitar satu bulan:
a. Pada keadaan-keadaan di mana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya
b. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga sebelumnya
(unpredictable situations)
c. Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala anxietas pada periode di antara
serangan-serangan panik (tetapi umumnya dapat terjadi juga “anxietas antisipatorik,” yaitu
anxietas yang terjadi setelah membayangkan sesuatu yang tidak diharapkan akan terjadi.
1. Serangan panik tidak terduga berulang. Serangan panik adalah sebuah gelombang ketakutan
yang sangat kuat akan ketidaknyamanan intens yang akan mencapai puncaknya dalam
hitungan menit, selama 4 menit (atau lebih).
Gejala-gejala yang terjadi:
a. Jantung berdetak lebih cepat
b. Berkeringat
c. Gemetaran
d. Sensasi sesak nafas atau rasa tercekik
e. Perasaan tersedak
f. Terasa nyeri di dada dan tidak nyaman
g. Mual atau sakit perut
h. Perasaan pusing atau pingsan
i. Menggigil atau sensasi panas
j. Sensasi geli
k. Perasaan tidak sadar
l. Takut kehilangan kontrol atau “menjadi gila”
m. Takut mati
Tatalaksana
Gangguan ansietas dapat diatasi dengan beberapa pengobatan yang umumnya membutuhkan
waktu kurang lebih 4-6 minggu untuk dapat memberikan efek terapi. Namun, kebanyakan
penderita cenderung menunggu hingga kurang lebih satu tahun sebelum mencari bantuan kepada
tenaga medis. Pengobatan awal harus dipilih secara tepat dan harus melibatkan pasien, dengan
melihat tingkat keparahan dari gangguan, repon terhadap pengobatan yang pernah dijalani
sebelumnya, ketersediaan obat, dan pilihan dari penderita.
1. Psikoterapi
Berbagai terapi psikologis dapat dilakukan, seperti penyelesaian masalah, relaksasi, terapi
interpersonal, modifikasi bias kognitif, perhatian ataupun pendekatan psikodinamik.
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan sebuah terapi yang dapat membantu
pasien mengenali, menyadari, dan merubah disfungsi pikiran, emosi, maupun perilaku yang
menjadi bagian dari rasa takut dan penghindaran yang menunjukkan gangguan yang mereka
alami.
2. Farmakoterapi
Terapi ini banyak direkomendasikan karena memiliki cukup banyak keuntungan,
diantaranya yaitu mudah untuk peresepan pada pengobatan primer, mudah didapatkan dengan
harga yang relatif murah, dan efek terapinya terjamin.
Beberapa pengobatan sesuai dengan guideline terapi gangguan ansietas yaitu:
a. SSRIs dan SNRIs
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) dan Selective Serotonin
Norepinephrine Inhibitors (SNRIs) merupakan rekomendasi obat lini pertama (first-line
drugs). SSRIs bekerja dengan menghambat reuptake serotonin dan SNRIs bekerja dengan
menghambat reuptake serotonin serta norepinephrin. Keduanya menginhibisi reuptake
pada prasinaps sehingga meningkatkan serotonin dan norepinephrin di sinaps.
b. TCAs
Rekomendasi pengobatan lini ke-dua yakni Tricyclic (TCAs). Obat ini memiliki
frekuensi efek samping yang lebih tinggi dibandingkan dengan SSRIs atau SNRIs. Oleh
karena itu, SSRIs dan SNRIs sebaiknya dicobakan terlebih dahulu untuk melihat apakah
obat ini dapat memberikan respon atu tidak sebelum akhirnya beralih menggunakan TCAs.
c. MAOIs
Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs) atau yang disebut juga irreversible
Monoamine Oxsidase Inhibitor ini merupakan pengobatan lini ke-tiga yang
direkomendasikan. Cara kerjanya yaitu dengan menghambat penguraian serotonin
sehingga ketersediaannya meningkat.
Depresi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada :
1. pola tidur dan nafsu makan
2. psikomotor
3. konsentrasi
4. kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya
5. gagasan bunuh diri.
Diperkirakan depresi diderita oleh 350 juta orang di seluruh dunia. The World Mental Health
Survey memperkirakan 1 dari 20 orang mengalami episode depresi. Rasio perempuan dgn laki-
laki 2:1 dgn prevalensi perempuan 10-25% dan laki-laki 5-12%. Kejadian bunuh diri sering terjadi
pada laki-laki terutama usia muda dan tua.
Penyebab depresi multifaktorial. Secara garis besar, etiologi depresi dapat dikelompokkan
menjadi 3 faktor besar , yaitu :
1. Faktor biologis
2. Faktor genetik
3. Faktor psikososial
Terdapat enam aspek atau gejala depresi menurut Beck dan Alford (2009), yaitu:
1. Aspek Emosi
Beberapa perubahan emosi yang mungkin dialami oleh individu yang mengalami
gangguan depresi, yaitu perasaan sedih, perasaan negatif terhadap diri sendiri, perasaan tidak
puas, hilangnya kelekatan emosional dengan orang lain, meningkatnya intensitas menangis,
serta hilangnya rasa humor.
2. Aspek Kognitif
Individu yang memiliki gangguan depresi juga menunjukkan gejala adanya distorsi
kognitif atau kesalahan berpikir terhadap diri sendiri, pengalaman, serta masa depan. Individu
dengan gangguan depresi memiliki harga diri yang rendah, pesimisme, menyalahkan diri
sendiri, kesulitan dalam mengambil keputusan, serta kesalahan dalam menilai penampilan
fisiknya.
3. Aspek Motivasi
Individu dengan gangguan depresi memiliki tingkat motivasi yang rendah. Hal tersebut
dapat dilihat dari perilaku yang dapat menunjukkan tingkat motivasi individu. Individu yang
mengalami gangguan depresi dapat ditandai dengan tidak munculnya keinginan, keinginan
untuk keluar dari rutinitas, keinginan untuk bunuh diri, serta bergantung pada orang lain.
4. Aspek Fisik
Individu yang mengalami depresi akan menunjukkan gejalagejala yang berhubungan
dengan fisik dan perilaku alamiah. Individu dengan gangguan depresi dapat mengalami
gangguan tidur, hilangnya nafsu makan, hilangnya gairah seksual, dan mudah lelah.
5. Delusi
Individu yang mengalami gangguan depresi juga dapat ditandai dengan munculnya delusi
atau distorsi kognitif mengenai dirinya sendiri maupun yang berhubungan dengan orang lain.
Ada beberapa kategori delusi, seperti delusi bahwa dirinya tidak berharga, penuh dosa,
kenihilan, somatik, serta kemiskinan.
6. Halusinasi
Halusinasi juga terkadang muncul sebagai salah satu gejala individu yang mengalami
gangguan depresi. Individu akan melihat, mendengar, ataupun merasakan sesuatu yang
sebenarnya tidak ada atau tidak jerjadi.
DSM V (2013) juga merumuskan aspek-aspek depresi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:
1. Afektif
Aspek afektif menunjukkan penyimpangan emosi yang dialami oleh penderita depresi.
Individu yang memiliki gangguan depresi akan merasakan kesedihan, kehampaan, serta
perasaan yang sering berubah-ubah dan cenderung lebih sensitif.
2. Somatik
Aspek somatik menunjukkan adanya perubahan fisik sebagai salah satu gejala depresi.
Penderita depresi akan merasakan berbagai perubahan fisik, seperti kelelahan, perubahan pola
makan, penurunan kualitas tidur, hingga perubahan berat badan.
3. Kognitif
Aspek kognitif menunjukkan adanya perubahan cara pandang atau kesalahan berpikir pada
penderita depresi. Individu yang memiliki gangguan depresi akan memiliki pikiran bahwa
dirinya tidak berguna,kesulitan untuk berkonsentrasi, hingga munculnya pikiran untuk bunuh
diri.
Patofifiologi
Gangguan terhadap :
Diagnosis
1. Suatu sindrom klinis yang berlangsung selama minimal 2 minggu, selama pasien mengalami
mood depresi atau anhedonia
2. ditambah minimal 5 dari 9 gejala dari DSM-5, setidaknya salah satu gejala (1) mood depresi,
atau (2) kehilangan minat atau kesenangan
a. Mood depresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang ditunjukkan oleh
salah satu laporan subjektif
b. Berkurangnya minat atau kesenangan pada semua hal, atau hampir semua, kegiatan hampir
sepanjang hari, hampir setiap hari.
c. Penurunan berat badan yang signifikan ketika tidak diet atau penurunan berat badan atau
peningkatan nafsu makan hampir setiap hari.
d. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
e. Psikomotor agitasi atau retardasi hampir setiap hari
f. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.
g. Perasaan tidak berharga atau berlebihan atau merasa bersalah hampir setiap hari (bukan
hanya menyalahkan diri sendiri atau rasa bersalah karena menjadi sakit).
h. Berkurangnya kemampuan berpikir atau berkonsentrasi, atau keraguan, hampir setiap hari
(baik secara subjektif atau seperti yang diamati oleh orang lain).
i. Pikiran berulang tentang kematian (bukan hanya takut mati), keinginan bunuh diri berulang
dengan sebuah rencana yang spesifik, atau usaha bunuh diri atau rencana khusus untuk
melakukan bunuh diri.
Penatalaksanaan
Terapi yang digunakan untuk pasien dipengaruhi oleh hasil evaluasi riwayat kesehatan serta
mental pasien. Untuk melakukan pengobatan pada pasien dengan gangguan depresi mayor, ada 3
tahapan yang harus dipertimbangkan antara lain :
1. Fase akut: fase ini berlangsung 6 sampai 10 minggu. Pengobatan pada fase ini bertujuan untuk
mencapai masa remisi (tidak ada gejala).
2. Fase lanjutan: fase ini berlangsung selama 4 sampai 9 bulan setelah mencapai remisi.
Pengobatan pada fase ini bertujuan untuk menghilangkan gejala sisa atau mencegah
kekambuhan kembali.
3. Fase pemeliharaan: fase ini berlangsung 12 sampai 36 bulan. Pengobatan pada fase ini
tujuannya untuk mencegah kekambuhan kembali.
Terapi Farmakologi
1. Antidepresan Trisiklik
2. Antidepresan Tetrasiklik
3. Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
4. Serotonin /Norepinephrin Reuptake Inhibitor ( SNRI)
5. Monoamin Oxidase Inhibitor
Mekanisme obat obat anti depresi adalah : Menghambat reuptake aminergic neurotransmitter.
Menghambat penghancuran oleh enzim monoamine oxidase.
Pemberian anti depresan dilakukan melalui tahapan – tahapan, yaitu dosis initial, titrasi,
stabilisasi, maintenance dan tapering off, dimana dosis dan lama pemberiannya berbeda-beda
Kesimpulan
Kecemasan merupakan suatu sensasi aprehensif atau takut yang menyeluruh yang bersifat
normal pada berbagai kondisi, namun dapat menjadi abnormal jika berlebihan dan tidak sesuai
dengan proporsi ancamannya. Pola-pola tingkah laku terganggu dimana kecemasan menjadi ciri
yang paling menonjol diberi label gangguan kecemasan. Ada beberapa jenis gangguan kecemasan
yaitu gangguan panik, gangguan cemas menyeluruh, gangguan obsesif kompulsif, gangguan fobia
dan stres akut serta stres pasca trauma. Berbagai perspektif teoritis menjelaskan mengenai
terjadinya gangguan kecemasan ini, seperti perspektif psikoanalisa, behavioral, kognitif, dan
biologis. Perbedaan perspektif tersebut juga berdampak pada perbedaan bentuk penanganan yang
diberikan untuk mengatasi gangguan kecemasan.
Dari uraian mengenai depresi serta penanganannya maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Depresi dapat timbul pada diri seseorang karena dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor
endogen, eksogen maupun sikap pribadi tertentu.
2. Terapi depresi dapat dilakukan secara lebih optimal dengan terapi non farmakologi serta
farmakologi.
3. Pemberian obat-obat antidepresi terhadap pasien harus memperhatikan efikasi yang paling
baik namun efek samping yang paling minimal.
4. Pencegahan untuk berulangnya kejadian depresi dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan
positif oleh pasien serta didukung penuh oleh keluarga pasien.
Daftar Pustaka
1. Davison, G.C., Neale J.M., &Kring A.M. (2004). Psikologi Abnormal Edisi ke-9. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
2. Halgin, Richard P. 2012. Psikologi Abnormal Perspektif Klinis pada Ggngguan Psikologis.
Jakarta: Salemba Humanika.
3. Maslim, Rusdi. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJIII dan DSM
5. Cetakan 2 Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. Jakarta: PT Nuh Jaya.
4. Nevid, J.S, Rathus, S.A., & Greene B. (2005). Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.
5. Anderson, P. O., Knoben, J. E., Troutman, W. G. (2002). Handbook of Clinical Data. Edisi 10,
USA : The McGraw-Hill Companies. Hlm. 450
6. Aria. (2005). Penanganan Depresi dengan Medan Magnet. Suara Merdeka Perekat Komunitas
Jawa Tengah. http://www.suaramerdeka.com/
7. Brunton, L., Parker, K., Blumenthal, D., Buxton, I. (2008). Drug Therapy of Depression and
Anxiety Disorder dalam Goodman&Gilman’s Manual of Pharmacology and Therapeutics.
USA : The McGraw-Hill Companies, Inc. Hlm. 288