Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN TUTORIAL LBM 3

“MAWAR YANG MALANG”


BLOK PSIKIATRI

Disusun Oleh:
Anggota Kelompok SGD 5

Zuhri Abdul Gani (018.06.0040)

Tutor:
dr. Aulia Mahdaniyati, S.Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Skenario
1.2. LBM 3
“Mawar Yang Malang”
Mawar 21 tahun dibawa keluarganya ke Puskesmas dengan keluhan selalu
murung sejak 3 minggu terakhir. Pasien juga mudah menangis tanpa sebab
yang jelas dan beberapa kali bercerita pada keluarganya tentang dirinya yang
merasa tidak berharga dan tidak ingin hidup lagi. Diketahui bahwa 1 bulan
sebelumnya pasien baru saja melahirkan anak perempuannya di luar nikah.
Keluarga merasa malu karena ayah bayi melarikan diri tidak bertanggung
jawab. Setelah melahirkan, mawar tanpa pendiam, sering melamun dan
menangis. Pasien juga tidak mau mengurus bayinya. Makan dan minum harus
diingatkan, waktu luang digunakan untuk melamun. Pada pemeriksaan
didapatkan keadaan umum dan tanda vital dalam batas normal. Selain itu
didapatkan orientasi tempat dan waktu baik, psikomotor hipoaktif, tidak
didapatkan adanya waham dan halusinasi.

Deskripsi masalah
Pada diskusi yang dilakukan kelompok SGD 5, dari kasus yang ada
diskenario LBM 3 yang berjudul “Mawar yang malang” kami membahas
mulai dari keluhan keluhan yang dirasakan tatik yang berusia 21 tahun yang
ada di scenario kali ini, dan untuk diskusi yang kami lakukan lebih mengarah
kepada pembahasan pembahasan dari keluhan utama yang dialami, dan hasil
anamnesis yang didapatkan yang nantinya itu menjadi landasan bagi kami
bisa menegakkan diagnosis kerja pada pasien sehingga pasien bisa
mendapatkan penatalaksanaan yang sesuai dengan penyakit yang dideritanya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Identifikasi Masalah

Adapun identifikasi masalah yang kami dapatkan pada diskusi kali ini
yaitu :
1. Apa kemungkinan penyakit yang dialami?

2.2 Klarifikasi Masalah


1. Apa kemungkinan penyakit yang dialami?
Mengacu pada keluhan yang dialami pasien di scenario. Kelompok
kami menentukan beberapa kemungkinan penyakit, yaitu :
a. Postpartum Depresi
b. Baby Blues
c. Postpartum Psychotic

2.3 Learning Issue


1. Pembahasan DD?
2. Definisi?
3. Etiologi?
4. Manifestasi Klinis?
5. Patofisiologi?
6. Epidemiologi?
7. Penegakan diagnosis
8. Penatalaksanaan farmako dan non farmako?
9. Komplikasi dan prognosis?
10. KIE

2.4 Pembahasan Learning Issue


1. Pembahasan DD?
A. Postpartum Depresi
Definisi
Depresi postpartum merupakan istilah yang digunakan pada pasien
yang mengalami berbagai gangguan emosional yang timbul setelah
melahirkan, khususnya pada gangguan depresi spesifik yang terjadi
pada 10%-15% wanita pada tahun pertama setelah melahirkan. Pasien
akan mengalami gejala affektive selama periode postpartum, 4 sampai
6 minggu setelah melahirkan. Depresi postpartum paling sering terjadi
dalam 4 bulan pertama setelah melahirkan, tetapi dapat terjadi kapan
pun pada tahun pertama. Depresi postpartum adalah depresi yang
bervariasi dari hari ke hari dengan menunjukkan kelelahan, mudah
marah, gangguan nafsu makan, dan kehilangan libido (kehilangan selera
untuk berhubungan intim dengan suami). Tingkat keparahan depresi
postpartum bervariasi. Keadaan ekstrem yang paling ringan yaitu saat
ibu mengalami “kesedihan sementara” yang berlangsung sangat cepat
pada masa awal postpartum, ini disebut dengan the blues atau maternity
blues. Gangguan postpartum yang paling berat disebut psikosis
postpartum atau melankolia. Diantara 2 keadaan ekstrem tersebut
terdapat kedaan yang relatif mempunyai tingkat keparahan sedang yang
disebut neurosa depresi atau depresi postpartum.
Postpartum depression merupakan merupakan gangguan depresi
non-psikotik dengan diagnosis mulai empat minggu pasca persalinan.
Hal ini dapat terjadi pada tahun pertama setelah melahirkan (Alligoog
2017). Gangguan mood tersebut bisa terjadi 2-6 minggu setelah
melahirkan pada fase taking hold dengan ciri adanya perasaan depresi,
kecemasan yang berlebihan, insomnia, dan perubahan bentuk tubuh
(Ardiyanti & Dinni 2018).
Etiologi
Depresi postpartum tidak berbeda secara mencolok dengan
gangguan mental atau gangguan emosional. Suasana sekitar kehamilan
dan kelahiran dapat dikatakan bukan penyebab tapi pencetus timbulnya
gangguan emosional. Penyebab nyata terjadinya gangguan pasca
melahirkan adalah adanya ketidakseimbangan hormonal ibu, yang
merupakan efek sampingan kehamilan dan persalinan. Faktor lain yang
dianggap sebagai penyebab munculnya gejala ini adalah masa lalu ibu
tersebut, yang mungkin mengalami penolakan dari orang tuanya atau
orang tua yang overprotective, kecemasan yang tinggi terhadap
perpisahan, dan ketidakpuasaan dalam pernikahan. Perempuan yang
memiliki riwayat masalah emosional rentan terhadap gejala depresi ini,
kepribadian dan variabel sikap selama masa kehamilan seperti
kecemasan, kekerasan dan kontrol eksternal berhubungan dengan
munculnya gejala depresi. Karakteristik wanita yang berisiko
mengalami depresi postpartum adalah : wanita yang mempunyai sejarah
pernah mengalami depresi, wanita yang berasal dari keluarga yang
kurang harmonis, wanita yang kurang mendapatkan dukungan dari
suami atau orang–orang terdekatnya selama hamil dan setelah
melahirkan, wanita yang jarang berkonsultasi dengan dokter selama
masa kehamilannya misalnya kurang komunikasi dan informasi, wanita
yang mengalami komplikasi selama kehamilan.
Depresi pascasalin dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
a. Biologis. Faktor biologis dijelaskan bahwa depresi postpartum
sebagai akibat kadar hormon seperti estrogen, proges teron dan
prolaktin yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dalam masa nifas
atau mungkin perubahan hormon tersebut terlalu cepat atau terlalu
lambat.
b. Karakteristik ibu, yang meliputi :
1) Faktor umur. Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat
yang tepat bagi seseorang perempuan untuk melahirkan pada
usia antara 20–30 tahun, dan hal ini mendukung masalah periode
yang optimal bagi perawatan bayi oleh seorang ibu.
2) Faktor usia perempuan yang bersangkutan saat kehamilan dan
persalinan seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental
perempuan tersebut untuk menjadi seorang ibu.
3) Faktor pengalaman. Depresi pascasalin ini lebih banyak
ditemukan pada perempuan primipara, mengingat bahwa peran
seorang ibu dan segala yang berkaitan dengan bayinya
merupakan situasi yang sama sekali baru bagi dirinya dan dapat
menimbulkan stres.
4) Faktor pendidikan. Perempuan yang berpendidikan tinggi
menghadapi tekanan sosial dan konflik peran, antara tuntutan
sebagai perempuan yang memiliki dorongan untuk bekerja atau
melakukan aktivitasnya diluar rumah, dengan peran mereka
sebagai ibu rumah tangga dan orang tua dari anak–anak mereka.
5) Faktor selama proses persalinan. Hal ini mencakup lamanya
persalinan, serta intervensi medis yang digunakan selama proses
persalinan. Diduga semakin besar trauma fisik yang ditimbulkan
pada saat persalinan, maka akan semakin besar pula trauma
psikis yang muncul dan kemungkinan perempuan yang
bersangkutan akan menghadapi depresi pascasalin.
6) Faktor dukungan sosial. Banyaknya kerabat yang membantu
pada saat kehamilan, persalinan dan pascasalin, beban seorang
ibu karena kehamilannya sedikit banyak berkurang.
Manifestasi Klinis
Gejala atau tanda-tanda dari postpartum depression mirip dengan
gejala pada kasus depresi pada umumnya. Akan tetapi ada gejala yang
paling menonjol dari postpartum depression yang biasa disebut dengan
istilah Trias Depresi yaitu berkurangnya energy, penurunan efek, dan
hilangnya minat (anhedonia). Selain Trias Depresi terdapat juga
karakteristik gejala yang spesifik yaitu mimpi buruk, fobia, kecemasan,
insomnia, meningkatnya sensitivitas dan perubahan mood. Keenam
karakteristik tersebut selalu ditemukan pada kasus postpartum
depression. (Indriyani 2013).
Tanda-tanda secara umum yang perlu diwaspadai antara lain sebagai
berikut (Indriyani 2013) :
a. Emosi tidak stabil
Ibu nifas sering terlihat mudah emosi dan marah untuk masalah
ringan, sulit untuk mengendalikan emosi dan emosi tidak terkontrol.
b. Anoreksia
Anoreksia adalah keluhan tidak nafsu untuk makan. Klien
cenderung hanya makan sedikit bahkan jarang karena klien
didominasi oleh pikiran-pikiran yang tidak menentu.
c. Mudah merasa lelah
Ibu dengan depresi pasca melahirkan enggan untuk melakukan
aktivitas karena merasa sangat lelah meskipun tidak melakukan apa
pun. Hal tersebut bisa terjadi karena pikiran klien didominasi pikiran
yang tidak menentu sehingga menyebabkan klien merasa badannya
sangat Lelah.
d. Sulit untuk tidur (insomnia)
Ibu nifas mengalami insomnia dikarekan teralu banyak hal-hal
yang dipikirkan dan dirasakan tidak menentu. Selain itu, pada saat
tidur, ibu mudah terbangun dikarenakan munculnya mimpi buruk.
Hal tersebut membuat ibu nifa mengalami insomnia.
e. Terlihat bersedih dan tidak gairah untuk hidup
Klien mengalami perasaan sedih yang sangat mendalam.
Perasaan sedih tersebut ada yang bisa diketahui dan tidak diketahui
penyebabnya, namun perasaan tersbut sulit untuk dihilangkan. Klien
juga merasa bahwa hidupnya tidak berharga dan tidak bermakna,
tidak bermakna dan kehilangan gairah untuk melakuka sesuatu.
f. Merasa bersalah
Klien merasakan perasaan sangat bersalah yang tidak diketahui
dari masalah utama yang dihadapi. Perasaan tersebut mengganggu
keseharian klien sehingga klien cenderung berdiam diri dan tidak
melakukan aktivitas apa pun
g. Perasaan benci dan ingin menyakiti bayinya, merasa bayi ini
menjadi penyebab keadaan ibu saat ini
Klien merasa sangat tidak menginginkan kehadiran bayi,
menganggap semua hal yang terjadi pada dirinya dikarenakan oleh
kehadiran bayinya, juga muncul perasaan benci serta ingin membuat
bayinya sengsara. Kondisi ini sangat beresiko karena klien bisa
benar-benar menyakiti bayinya.
h. Tidak menyukai bahkan takut menyentuh bayinya
Klien merasakan takut untuk menyentuh bayinya dan
menganggap bayinya merupakan makhluk mungil yang menjadi
penyebab permasalahan yang dia rasakan sehingga muncul perasaaj
tidak menyukai bayinya.
i. Tidak memperhatikan penampilan diri
Klien merasa enggan untuk melakukan perawatan diri
dikarenakan perasaan dan pikiran klien hal-hal yang tidak menentu
sehingga klien tidak fokus dan mengabaikan diri sendiri termasuk
dalam hal penampilan diri.
j. Punya keingan untuk bunuh diri
Disebabkan merasa bersalah, benci dengan keadaan, perasaan
tidak menentu dan tidak aman, merasa hidup sendiri dan berbagai
pikiran yang berkecamuk membuat klien kadang berniat untuk
mengakhiri mengakhiri hal tersebut dengan bentuk keinginan untuk
bunuh diri.
Diagnosis
Melahirkan, dilihat dari sudut pandang kedokteran psikologi,
merupakan peristiwa kompleks dalam pengalaman seorang manusia.
Ibu yang baru melahirkan rentan mengalami gangguan kejiwaan akibat
pengaruh fisik dan perubahan psikologis saat melahirkan. Maka dari itu
sangat penting untuk melakukan deteksi dan mendiagnosis dini dari
depresi postpartum agar tidak terjadi hal yang lebih buruk (Brockington,
2009).
Evaluasi wanita dengan kemungkinan depresi postpartum
membutuhkan anamnesis yang cermat untuk memastikan diagnosis,
mengidentifikasi apakah ada gangguan lainnya, dan mengelola masalah
medis dan psikososial yang terkontribusi didalamnya. Sekitar 70% dari
ibu yang baru melahirkan memiliki gejala depresi ringan yang
umumnya akan memuncak pada rentang 2 hinggan 5 hari setelah
melahirkan. Gejala tersebut biasanya mulai mereda secara spontan
dalam waktu 2 minggu, namun jika tidak terdeteksi dengan cepat dan
terlambat ditangani, dapat berkembang menjadi depresi yang disebut
depresi postpartum (Stewart & Vigod, 2016).
Kriteria yang digunakan dalam skrining penegakkan diagnosis
depresi postpartum dapat digunakan beberapa instrumen antara lain
(Gjerdingen & Yawn, 2007):
a. Schedule of Afective Disorders and Schizophrenia (SADS)
SADS terdiri dari beberapa pertanyaan terbuka yang berkaitan
dengan gejala dengan penjajakan untuk pertanyaan berikutnya.
Terdapat 11 gejala depresif dalam delapan kategori yaitu gangguan
makan, gangguan tidur, kelelahan, kurang semangat, perasaan
bersalah, gangguan konsentrasi, keinginan bunuh diri, dan gangguan
motorik. Setiap gejala tersebut diberi skor 1-6 oleh pemeriksa
dengan skor minimal 3 (ringan) pada setiap gejalanya. Gejala
tersebut harus minimal terjadi selama 2 minggu.
b. Structured Clinical Interview for DSM-IV-R (SCID)
SCID merupakan wawancara berbasis klinis yang
menggabungkan kriteria diagnosis DSM-IV dan memiliki versi
berbeda yang digunakan untuk pasian rawat inap, rawat jalan,
hingga yang bukan populasi klinis. Instrumen ini terdiri dari enam
modul yang memerlukan 45-60 menit untuk melengkapinya.
c. Standard Psychiatric Interview (SPI)
SPI merupakan wawancara yang digunakan bukan untuk
individu, namun survey komunitas. Instrumen ini terdiri dari 10
gejala psikiatrik.
d. Present State Examination (PSE)
PSE merupakan wawancara yang digunakan untuk mencari
gejala yang terjadi 4 minggu sebelum dilakukan wawancara
tersebut. Biasanya instrumen ini digunakan untuk studi dan
penelitian mengenai depresi postpartum.
e. Hamilton Rating Scale for Depression (HSRD)
HSRD adalah instrumen untuk menilai keparahan depresi bagi
pasien yang sudah terdiagnosa. Terdiri dari 17 gejala depresi dan
sering digunakan pada beberapa literatur yang membahaas depresi
postpartum.
f. Edinburgh Postnatal Depression Scale (EDPS)
EDPS adalah instrument yang berupa kuisioner 10 item yang
mudah dijalankan, dan merupakan alat skrining yang efektif dan
spesifik untuk menskrining depresi postpartum secara internasonal.
Dari 10 pertanyaan tersebut, masing-masing pertanyaan memiliki
nilai 1-3, dengan skor total maksimal 30 poin. Jika seorang
perempuan mendapatkan poin l0 atau lebih dan memiliki pikiran
untuk membahayakan diri sendiri maupun bayinya, maka diperlukan
wawancara lebih lanjut dengan psikiater untuk melihat gejala dan
menentukan diagnosis. Pada umumnya, perempuan yang
mendapatkan hasil EPDS antara 5-9 dengan gejala depresi tanpa ide
bunuh diri harus dievaluasi kembali 2-4 minggu setelah tes
dilakukan (Gondo, 2012).

Instrumen skrining tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan


masing-masing dalam menegakan diagnosis depresi postpartum.
Instrumen yang sering digunakan dalam penegakan diagnosis adalah
EDPS. Sementara untuk yang lainnya lebih sering digunakan dalam
penelitian dan studi mengenai depresi postpartum.
Selain instrumen yang telah disebutkan di atas, dapat juga digunakan
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia
edisi III (PPDGJ-III) skrining gangguan depresi postpartum. Pada
kriteria tersebut, depresi postpartum merupakan gangguan jiwa yang
berhubungan dengan masa nifas (tidak lebih dari 6 minggu setelah
persalinan), yang tidak memenuhi kriteria di tempat lain, serta
memenuhi kriteria episode depresi. Adapun episode depresi tersebut
seperti afek depresif, kehilangan minat, mudah lelah, berkurangnya
konsentrasi, terganggunya waktu tidur, dan nafsu makan berkurang.
Episode tersebut terjadi sekurang-kurangnya selama dua minggu
(Maslim, 2013).
Sedangkan pada kriteria Diagnostic And Statisctical Manual of
Mental Disorders, edisi keempat (DSM-IV) dan juga dibantu oleh uji
Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS), ibu dengan gejala
depresi postpartum didefinisikan dengan beberapa gejala mayor, di
mana salah satunya harus ada mood yang tertekan atau penurunan
kesenangan. Gejala tersebut antara lain gangguan nafsu makan, agitasi
fisik atau pelambatan psikomotor, lemah, menurunnya konsentrasi, dan
adanya keinginan bunuh diri. Ibu juga sering merasakan insomnia
meskipun bayinya telah tertidur. Gejala-gejala tersebut harus ada
sepanjang hari dan terjadi seminimalnya selama dua minggu (Guze,
2014).
B. Baby Blues Syndrome
Definisi
Syndrome baby blues adalah perasaan sedih yang dibawa ibu sejak
hamil yang berhubungan dengan kesulitan ibu menerima kehadiran
bayinya. Perubahan ini sebenarnya merupakan respon alami dari
kelelahan pasca persalinan (Pieter dan Lubis, 2010). Mansyur (2009)
juga mnyebutkan bahwa Syndrome baby blues merupakan perasaan
sedih yang dialami oleh ibu setelah melahirkan, hal ini berkaitan dengan
bayinya. Postpartum baby blues adalah gangguan suasana hati yang
berlangsung selama 3-6 hari pasca melahirkan. Syndrome baby blues ini
sering terjadi dalam 14 hari pertama setelah melahirkan, dan cenderung
lebih buruk pada hari ke tiga dan ke empat.
Baby blues syndrome atau postpartum blues menurut Saleha (2009),
merupakan suatu gangguan psikologis sementara yang ditandai dengan
memuncaknya emosi pada minggu pertama setelah melahirkan. Suasana
hati yang paling utama adalah kebahagiaan, namun emosi penderita
menjadi stabil. Baby blues syndrome atau stress pasca melahirkan
merupakan suatu kondisi umum yang sering di alami oleh seorang
wanita yang baru melahirkan dan biasanya terjadi pada 50% ibu baru.
Etiologi
Beberapa hal yang disebutkan sebagai penyebab terjadinya Baby
Blues 17 Pengalaman Baby Blues Syndrome menurut Ummu (2012), di
antaranya:
a. Perubahan hormonal.
Pasca melahirkan terjadi penurunan kadar estrogen dan
progesterone yang drastis, dan juga disertai penurunan kadar
hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang menyebabkan
inudah lelah, penurunan mood, dan perasaan tertekan.
b. Fisik
Kehadiran bayi dalam keluarga menyebabkan perubahan ritme
kehidupan sosial dalam keluarga, terutama ibu. Mengasuh si kecil
sepanjang siang dan malam sangat menguras energi ibu,
menyebabkan berkurangnya waktu istirahat, sehingga terjadi
penurunan ketahanan dalam menghadapi masalah.
c. Psikis
Kecemasan terhadap berbagai hal, seperti ketidakmampuan
dalam mengurus si kecil, ketidakmampuan mengatasi dalam
berbagai permasalahan, rasa tidak percaya diri karena perubahan
bentuk tubuh dan sebelum hamil serta kurangnya perhatian keluarga
terutama suami ikut mempengaruhi terjadinya depresi.
d. Sosial Perubahan gaya hidup dengan peran sebagai ibu baru butuh
adaptasi. Rasa keterikatan yang sangat pada si kecil dan rasa dijauhi
oleh lingkungan juga berperan dalam depresi.

Penyebab baby blues syndrome diduga karena perubahan hormonal


di dalam tubuh wanita setelah melalul persalinan. Selama menjalani
kehamilan, berbagai hormon dalam tubuh ibu meningkat seinng
pertumbuhan janin. Setelah melalu tahap persalinan, jumlah produksi
berbagai hormon seperti estrogen, progesteron, dan endorphin
mengalami perubahan yang dapat mempengaruhi kondisi emosional
ibu. Kelelahan flsik dan rasa sakit setelah persalinan, air susu yang
belum keluar sehingga bayi rewel dan payudara membengkak, serta
dukungan moril yang kurang dapat menjadi alasan lain timbulnya baby
blues syndrome (Suwignyo, 2010).
Manifestasi Klinis
Ibu yang baru melahirkan dapat merasakan perubahan mood yang
cepat dan berganti-ganti (mood swing) seperti kesedihan, suka
menangis, hilang nafsu makan, gangguan tidur, mudah tersinggung,
cepat lelah, cemas, dan merasa kesepian. (Aprilia, 2010).
Beberapa gejala yang dapat mengindikasikan seorang ibu
mengalami baby blues syndrome Menurut Puspawardani (2011), adalah
sebagai berikut :
a. Dipenuhi oleh perasaan kesedihan dan depresi disertai dengan
menangis tanpa sebab.
b. Mudah kesal, gampang tersinggung dan tidak sabaran.
c. Tidak memiliki atau sedikit tenaga.
d. Cemas, merasa bersalah dan tidak berharga.
e. Menjadi tidak tertarik dengan bayi anda atau menjadi terlalu
memperhatikan dan khawatir terhadap bayinya.
f. Tidak percaya diri.
g. Sulit beristirahat dengan tenang.
h. Peningkatan berat badan yang disertai dengan makan berlebihan.
i. Penurunan berat badan yang disertai tidak mau makan.
j. Perasaan takut untuk menyakiti diri sendiri atau bayinya.

Sedangkan menurut Novak dan Broom (2009) gejala Baby Blues


Syndrome merupakan suatu keadaan yang tidak dapat dijelaskan,
merasa sedih, mudah tersinggung, gangguan pada nafsu makan dan
tidur. Selanjutnya menurut Young dan Ehrhardt (2009) gejala Baby
Blues Syndrome antara lain :
a. Perubahan keadaan dan suasana hati ibu yang bergantian dan sulit
diprediksi seperti menangis, kelelahan, mudah tersinggung, kadang-
kadang mengalami kebingungan ringan atau mudah lupa.
b. Pola tidur yang tidak teratur karena kebutuhan bayi yang baru
dilahirkannya, ketidaknyamanan karena kelahiran anak, dan
perasaan asing terhadap lingkungan tempat bersalin.
c. Merasa kesepian, jauh dari keluarga, menyalahkan diri sendiri
karena suasana hati yang terus berubah-ubah.
d. Kehilangan kontrol terhadap kehidupannya karena ketergantungan
bayi yang baru dilahirkannya.
Diagnosis
a. Perasaan cemas, khawatir ataupun was was yang berlebihan, sedih,
murung, dan sering menangis tanpa ada sebab (tidak jelas
penyebabnya).
b. Seringkali merasa kelelahan dan sakit kepala dalam beberapa kasus
sering migrain.
c. Perasaan ketidakmampuan, misalnya dalam mengurus anak.
d. Adanya perasaan putus asa
Tatalaksana
a. Psikoterapi
Dapat diajarkan mengenai mekanisme pemecahan masalah dan
merencanakan tujuan yang realistis, terapi marital, dan terapi
keluarga juga membantu.
b. Antidepresan
Sangat dianjurkan pemberian antidepresan pada kasus yang
berat. Antidepresan yang digunakan seperti: Fluoxetine (Prozac) 10-
60 mg/hari, Sertraline (Zoloft) 50- 200 mg/hari, Paroxetine (Paxil)
20-60 mg/hari, Citalopram (Celexa) 20-60 mg/hari, atau
escitalopram (Lexapro) 10-20 mg/hari. Bila ibu menyusui
pertimbangkan keuntungan dan efek samping antidepresan.
c. Terapi hormonal
Pergantian hormon esterogen diharapkan dapat mengatasi
penurunan esterogen yang berkaitan dengan kelahiran secara cepat.
Walaupun data yang ada masih terbatas. Dengan terapi yang tepat,
baby blues syndrome dapat diatasi dalam beberapa bulan, beberapa
kasus dijumpai mencapai satu tahun. Penting melanjutkan terapi
walaupun kedaan telah terasi. Terlalu cepat menghentikan
pengobatan dapat menyebabkan relaps.
C. Psikosis Postpartum
Definisi
Psikosis postpartum adalah gangguan psikotik dengan karakteristik
mencakup halusinasi, delusi, agitasi dan kesulitan untuk
tidur,menunjukkan sikap aneh dan tidak masuk akal (irasional).
Meskipun, psikosis postpartum cenderung jarang (1 hingga 2
perempuan per 1000 proses melahirkan), hal ini menunjukkan adanya
emergensi psikiatrik karena baik ibu dan bayi (dan mungkin anak
lainnya) berada dalam kondisi yang mengancam bahaya. Meskipun
psikosis postpartum umumnya dimulai pada minggu pertama
postpartum, gangguan ini cenderung tidak terdeteksi hingga terjadi
cedera serius.
Postpartum psikis adalah masalah kejiwaan serius yang dialami ibu
selepas bersalin dan ditandai dengan agitasi yang hebat, pergantian
perasaan yang cepat, depresi dan delusi.
Kasus depresi berat yang disebut Postpartum Psychosis ini
merupakan keadaan yang paling parah sebagai lanjutan dari depresi
postpartum, yang merupakan gangguan jiwa berat yang ditandai dengan
waham, halusinasi, dan kehilangan rasa kenyataan (sense of reality).
Singkatnya, psikosis pascapartum adalah kondisi kejiwaan dengan
mekanisme onset terkait dengan perubahan fisiologis tertentu (misalnya,
ritme hormonal, imunologis, sirkadian) yang menyebabkan penyakit
pada wanita yang rentan secara genetik.
Etiologi
Para ahli tidak benar-benar yakin mengapa postpartum kejiwaan
terjadi. Namun, mereka menawarkan berbagai penjelasan mengenai
terjadinya disorder dengan perubahan hormone. Alasan yang lain dapat
dikemukakan atau factor yang turut berkontribusi termasuk kurangnya
dukungan social dan emosional, rasa rendah diri karena perempuan
postpartum memiliki rasa kurang memadai sebagai seorang ibu, merasa
terpencil dan sendiri, mengalami masalah keuangan, serta terjadi
perubahanyang besar dalam kehidupan, seperti pindah rumah atau
memulai pekerjaan baru.
Faktor pemicu
Pada kasus psikotik postpartum penderita akan bertingkah laku
aneh, melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada, dan membahayakan
dirinya dan bayinya. Kondisi ini sangat berbahaya dan akan semakin
buruk bila tidak segera dilakukan terapi . Hal ini sebagian besar dipicu
oleh :
a. Adanya riwayat keluarga menderita kelainan psikiatri
b. Riwayat penyakit dahulu menderita penyakit sikiatri
c. Adanya masalah keluarga dan perkawinan.
Faktor risiko yang telah diidentifikasi termasuk memiliki masalah
kesehatan mental yang sudah ada sebelumnya (seperti Bipolar
Disorder), primipara, konflik perkawinan, kurangnya dukungan sosial,
dan adanya peristiwa kehidupan yang penuh tekanan.
Dalam jurnal Florio. A.D, factor yang mempengaruhi psikotik
postpartum ialah :
a. Faktor genetik
Ada bukti kuat bahwa kerentanan terhadap memicu psikosis
afektif oleh agregat kelahiran di Indonesia berhubungan dengan
keluarga dan dapat menentukan subtipe yang relevan secara genetis
dari gangguan bipolar. Bukti dari penelitian dalam keluarga
menunjukkan hal itu episode PP adalah penanda untuk bentuk yang
lebih kekeluargaan dari BD dan bahwa kerentanan spesifik terhadap
pemicu nifas BD bersifat keluarga. Bukti dari studi hubungan
menunjukkan kemungkinan lokasi gen kerentanan pada kromosom.
Gen kandidat tertentu, seperti yang terlibat dalam serotoninergik,
hormonal dan inflamasi jalur.
b. Faktor-faktor hormonal
Kurangnya bukti yang melibatkan faktor psikososial dan
pertimbangan timbulnya tiba-tiba selama waktu utama perubahan
fisiologis menunjukkan bahwa secara biologis, mungkin hormonal
adalah faktor penting. Peran beberapa hormon (termasuk estrogen,
progesteron, prolaktin, hormon perangsang folikel dan hormon
lutein) telah dipertimbangkan, tetapi bukti menunjuk pada hormon
dalam etiologi PP sebagian besar masih bersifat tidak langsung.
c. Kurang tidur
Hipotesis yang masuk akal adalah bahwa kurang tidur selama
persalinan. Para peneliti telah secara konsisten melaporkan bahwa
wanita dengan psikosis memiliki gangguan tidur yang parah, yang
sering menunjukkan gejala psikotik pada periode postpartum.
Gangguan tidur akibat persalinan dan persalinan dapat memulai
gangguan sirkadian dan berkontribusi pada munculnya episode
mania atau keadaan campuran.
Manifestasi Klinis
Postpartum psychosis (PP) adalah gangguan kejiwaan yang parah
yang mempengaruhi sekitar satu atau dua dari setiap 1.000 wanita segera
setelah melahirkan (paling sering dalam 6 minggu). Gejala utama
termasuk halusinasi, delusi, disorganisasi kognitif, dan kelainan suasana
hati . Risiko PP sangat dapat diprediksi, dengan risiko yang baru-baru
ini dilaporkan sebesar 35% untuk wanita dengan riwayat gangguan
afektif bipolar atau PP sebelumnya. Meskipun PP terjadi bersamaan
dengan gejala sisa biologis persalinan, dasar neurobiologisnya masih
kurang dipahami.
Gejala awal atau prodromal dari psikosis pascapartum termasuk
insomnia, fluktuasi suasana hati, dan lekas marah, dengan munculnya
mania, depresi, atau keadaan campuran. Meskipun fluktuasi suasana
hati yang cepat adalah ciri khas dari penyakit ini, wanita yang menderita
psikosis pascapartum sering memiliki gejala yang tidak khas pada
pasien dengan gangguan bipolar. Misalnya, delusi mood yang tidak
selaras adalah umum dan sering terkait dengan tema persalinan. Perilaku
yang tidak teratur, tidak biasa, dan pikiran obsesif mengenai bayi baru
lahir sering terjadi. Psikosis postpartum terkenal karena penampilannya
yang seperti delirium, dengan gejala kognitif seperti disorientasi,
kebingungan, derealization, dan depersonalisasi. Wanita memiliki
insiden gejala yang relatif rendah seperti penyisipan pikiran, penarikan
atau penyiaran, pengalaman pasif, suara halusinasi yang memberikan
komentar berjalan, atau penarikan sosial. Delusi dari pembunuhan
altruistik (seringkali dengan bunuh diri ibu terkait) untuk
"menyelamatkan mereka berdua dari nasib yang lebih buruk daripada
kematian" dapat terjadi dan merupakan eksplorasi penting dalam
pemeriksaan klinis. Psikosis postpartum dikaitkan dengan peningkatan
risiko bunuh diri dan pembunuhan bayi.
Perubahan biologis yang paling intensif dipelajari dalam PP adalah
yang terjadi pada hormon reproduksi ibu yang tak lama setelah
melahirkan; Namun, tidak ada perbedaan dalam kadar absolut estrogen
atau progesteron yang telah diidentifikasi pada wanita yang
mengembangkan episode PP . Tanggung jawab genetik terhadap PP
juga telah disarankan: studi keterkaitan pada wanita dengan afektif
bipolar dan PP melibatkan daerah kromosom 16p dan 8q (daerah yang
sebelumnya terkait dengan kerentanan gangguan bipolar), sementara
studi asosiasi genetik telah memberikan bukti sugestif, meskipun tidak
meyakinkan dan kurangnya bukti. varian risiko dalam gen kandidat
yang terlibat dalam jalur serotonergik, tergantung hormon, atau respons
stres.
Hambatan utama dalam mengidentifikasi risiko biologis dan faktor
protektif untuk PP termasuk prevalensi gangguan rendah, heterogenitas
gejala antar pasien yang tinggi, kurangnya aksesibilitas ke jaringan otak
pasien, dan kurangnya sejarah sistem model yang dapat diterima.
Namun, memahami patofisiologi PP sangat penting untuk
mengidentifikasi target terapi baru (untuk obat yang lebih manjur
dengan efek samping yang lebih sedikit) dan biomarker prediktif (untuk
identifikasi wanita yang paling 'berisiko' sebelum, atau selama,
kehamilan, sehingga memfasilitasi sebelumnya, intervensi klinis yang
lebih individual).
Bukti terbaru telah menyoroti peran penting yang potensial untuk
sistem kekebalan dalam timbulnya PP: wanita dengan gangguan ini
memiliki tingkat disfungsi tiroid autoimun dan pre-eklampsia yang lebih
tinggi (dianggap sebagai penyakit ketidakcocokan ibu-janin yang
imunologis) dan beberapa kasus PP melibatkan respon autoimun
terhadap N-methy l- D reseptor asam -aspartic. Hubungan antara
patofisiologi PP dan sistem kekebalan mungkin tidak mengejutkan,
mengingat bahwa disregulasi sistem kekebalan, ditandai dengan
peningkatan kadar sitokin proinflamasi serum seperti interleukin (IL)-6,
IL-1, dan tumor necrosis factor-α, dan perubahan dalam ekspresi gen
yang terkait sekarang fitur menonjol dalam model patofisiologis depresi
(termasuk dalam periode postp artum) , gangguan afektif bipolar dan
psikosis.
Menurut Widyasih, dkk beberapa gejala yang umumnya ditemukan
pada kasus psikotik postpartum yaitu :
a. Gangguan tidur
b. Cepat marah
c. Gaya bicara yang keras
d. Menarik diri dari pergaulan

Gejala psikosis postpartum


a. Perasaan yang diperintah oleh Tuhan atau kekuatan di luar diri untuk
melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan, seperti merugikan
diri atau bayi
b. Perasaan kebingungan yang intens
c. Melihat atau mendengar hal-hal yang tidak nyata
d. Perubahan mood atau tenaga yang ekstrem
e. Ketidakmampuan untuk merawat bayi
f. Memory lapses (periode kebingungan yang serupa dengan amnesia)
g. Serangan kegelisahan yang tak terkendali
h. Pembicaraannya tidak dapat dipahami atau mengalami gangguan
komunikasi.
Diagnosis
Penilaian suasana hati dan gejala psikotik (termasuk pemikiran
pasien yang membahayakan dirinya sendiri atau anak-anaknya) di
beberapa titik waktu postpartum berguna untuk penilaian diagnostik dan
keselamatan ibu dan bayi. Pertimbangan diagnostik yaitu :.
a. Mania atau episode campuran (dengan atau tanpa fitur psikotik)
b. Episode depresi dengan fitur psikotik
c. Episode psikotik nonafektif (terjadi pada <10% kasus)
Beberapa wanita (diperkirakan 20% -50%) mengalami episode
psikotik hanya selama periode postpartum, tanpa kekambuhan di luar
waktu rentan ini. Gejala psikotik dapat diabaikan karena mereka
berfluktuasi atau disembunyikan. Penting untuk bertanya kepada pasien
dan keluarganya tentang gejala awal psikosis, seperti ide paranoid,
pikiran yang mungkin dianggap tidak biasa oleh orang lain, atau
perasaan bersalah yang kuat. Gejala psikotik yang tertekan sering kali
meliputi pikiran bunuh diri dan pembunuhan bayi (misalnya, anak saya
lebih baik tanpanya), dan pasien seperti itu membutuhkan tingkat
perawatan yang lebih tinggi untuk memastikan keselamatan ibu dan
bayi. Penilaian harus mencakup pertanyaan langsung tentang pemikiran
bunuh diri dan pembunuhan bayi. Pasien mungkin mengalami gangguan
persepsi, baik pendengaran dan visual, dengan perintah langsung untuk
tindakan berbahaya. Pemeriksaan harus mencakup penilaian untuk
penyebab psikosis yang dapat diobati, termasuk infeksi akut, kehilangan
darah dan anemia peripartum, dan eksaserbasi prediksi penyakit
endokrin dan / atau autoimun. Pengujian laboratorium harus mencakup
hitung darah lengkap untuk mengevaluasi proses infeksi (termasuk
mastitis dan endometritis), urinalisis untuk menilai sistitis, dan skrining
metabolik yang komprehensif. Hipoparatiroidisme primer telah
dilaporkan pada wanita postpartum yang mengalami psikosis,
inkontinensia feses, kejang, dan hipokalsemia. Penyakit autoimun tiroid
terjadi pada 5% -7% wanita selama periode postpartum, dan persentase
lebih tinggi pada wanita dengan psikosis postpartum (hingga 20%).
Pemantauan fungsi tiroid disarankan, terutama pada pasien dengan
antibodi positif peroksidase tiroid karena wanita- wanita ini berada pada
risiko tertinggi untuk disfungsi tiroid. Kami merekomendasikan
pengukuran hormon perangsang tiroid, T4 bebas, dan antibodi
peroksidase tiroid baik pada saat diagnosis dan beberapa bulan
kemudian. Ada rebound postpartum yang didokumentasikan dengan
baik dari antibodi peroksidase tiroid selama bulan-bulan pertama
pascapersalinan, dan skrining negatif awal segera pascapersalinan tidak
mengesampingkan penyakit tiroid.
Gejala neurologis, termasuk kejang, penurunan kesadaran,
diskinesia, gejala motorik terbuka, dan gejala ekstrapiramidal
meningkatkan indeks kecurigaan untuk ensefalitis anti- NMDAR.
Skrining primer untuk ensefalitis NMDAR dapat dilakukan dalam
serum, tetapi positif palsu sering terjadi, dan analisis CSF lebih disukai.
Gejala neurologis merupakan indikasi bagi MRI untuk mengevaluasi
apakah ada kelainan otak lainnya.
Dalam penilaian untuk diagnostic pasien psikotik biasanya
mengalami gangguan penilaian realita yang berat dan sering disertai
disabilitas kognitif dan emosi sehingga kemampuan berfungsi normal
sangat terganggu. Pasien sering berbicara dan berperilaku aneh,
mengalami halusinasi, dan mempertahankan ide-ide yang tidak sesuai
dengan fakta (waham). Mereka sering mengalami kebingungan dan
disorientasi serta sering tidak menyadari penyakitnya (tilikan kurang).
Terakhir, melahirkan anak adalah tantangan fisiologis untuk jalur
metabolisme yang mungkin menjadi stres oleh keadaan katabolik pasca
melahirkan yang ekstrim. Kesalahan metabolisme bawaan sejak lahir
yang sebelumnya tidak diketahui dapat muncul dengan gambaran klinis
yang mirip dengan psikosis pascapartum. Informasi klinis yang penting
dalam diagnosis banding adalah pemeriksaan neurologis yang
abnormal, kejang, dan, pada gangguan siklus urea, riwayat
penghindaran konsumsi protein oleh pasien. Konsentrasi serum amonia
akan mengidentifikasi adanya gangguan siklus urea. Tes positif dapat
diikuti dengan analisis asam amino plasma dan studi lebih lanjut.
Tinjauan terhadap penggunaan alkohol dan narkoba serta penapisan
obat harus dilakukan untuk mengidentifikasi sindrom toksik atau
penarikan yang dapat muncul dengan gejala psikotik.
Pada umumnya diagnosis psikosis masa nifas ditegakkan jika wanita
yang depresi mengutarakan pikiran bunuh diri atau mengalami delusi.
Tatalaksana
Postpartum kejiwaan dianggap menjadi darurat kesehatan mental.
Oleh karena itu, memerlukan perhatian segera. Hal ini dikarenakan
wanita yang menderita penyakit kejiwaan tidak selalu mampu atau
bersedia untuk berbicara dengan seseorang tentang disorder-nya,
mereka kadang-kadang membutuhkan pasangan atau anggota keluarga
yang lain untuk membantu mereka mendapatkan penanganan medis
yang mereka butuhkan. Kondisi ini biasanya diatasi dengan pemberian
obat, biasanya obat antipsikosis dan terkadang antidepresan dan/atau
antiansietas. Banyak wanita yang juga dapat merasakan manfaat dari
konseling dan dukungan psikologis kelompok. Dengan perawatan yang
baik, sebagian besar perempuan dapat pulih dari kekacauan.
Penatalaksanaan menurut Widyasih (2012) :
a. Pemberian anti depresan atau lithium
b. Sebaiknya menyusui dihentikan karena anti depresan disekresi
melalui ASI
c. Perawatan di rumah sakit
Penatalaksanaan menurut Sinclair (2010) :
a. Buat rujukan ke psikiater
b. Panduan antisipasif : psikiater akan memprogramkan wanita
dihospitalisasi untuk dievaluasi, sebagai langkah antisipasi bunuh
diri, dan padaawal terapi. Terapi dapat meliputi terapi kejut listrik
(ECT) dan pemberianantidepresan,obat-obatan neuroleptik, SSRI,
dan litium karbonat
c. Pasangan akan membutuhkan dukungan
d. Pengobatan alternatif : beberapa ahli merekomendasikan terapi
homeopatik.

2. Penegakan Diagnosis
Berdasarkan pembahasan dari keluhan yang dialami oleh pasien
pada scenario lbm kali ini yaitu dengan keluhan selalu murung sejak 3
minggu terakhir. Pasien juga mudah menangis tanpa sebab yang jelas
dan beberapa kali bercerita pada keluarganya tentang dirinya yang
merasa tidak berharga dan tidak ingin hidup lagi. Diketahui bahwa 1
bulan sebelumnya pasien baru saja melahirkan anak perempuannya di
luar nikah. Keluarga merasa malu karena ayah bayi melarikan diri tidak
bertanggung jawab. Setelah melahirkan, mawar tanpa pendiam, sering
melamun dan menangis. Pasien juga tidak mau mengurus bayinya.
Makan dan minum harus diingatkan, waktu luang digunakan untuk
melamun. Pada pemeriksaan didapatkan keadaan umum dan tanda vital
dalam batas normal. Selain itu didapatkan orientasi tempat dan waktu
baik, psikomotor hipoaktif, tidak didapatkan adanya waham dan
halusinasi.
Dari keluhan pasien diatas dan hasil anamnesis yang didapati,
kelompok kami memutuskan untuk mengambil diagnosis kerja pada
pasien adalah Postpartum Depresi, yang mana hal ini didasari dari
kolerasi manifestasinya yang sesuai dengan yang ada pada pasien pada
scenario kali ini, selain itu dari onset keluhan yang dialami oleh pasien
ini sendiri yang sudah terjadi 2 bulan pasca pasien melahirkan sehingga
sesuai dengan onset dari postpartum depresi, dan menggugurkan
diagnosis bandingnya yaitu baby blues syndrome, dikarenakan onset
dari baby blues syndrome yang terjadi beberapa hari setelah melahirkan
dan menetap paling lama 2 minggu, dan untuk psikotik postpartum kami
juga menggugurkannya karena pada scenario kali ini didapatkan bahwa
pasien tidak ada mengalami halusinasi maupun waham.
Diagnosis Multiaksial
Aksis I Diagnosis utama pasien F.53.0 Postpartum
depresi

Gangguan kepribadian Belum ada diagnosis


Aksis II
Penyakit non psikiatri Belum ada diagnosis
Aksis III
Keadaan biososial pasien Masalah sosial
Aksis IV
(masalah pekerjaan,
ekonomui)
GAF 50-41 Gejala berat, serta
Aksis V
adanya niat untuk bunuh
diri.

3. Epidemiologi Postpartum Depresi


Secara epidemiologi, depresi postpartum dapat terjadi pada semua
golongan umur persalinan dan di berbagai daerah di dunia, maupun di
Indonesia. Berdasarkan laporan WHO (1999) diperkirakan wanita
melahirkan yang mengalami depresi postpartum ringan berkisar 10 per
1000 kelahiran hidup dan depresi postpartum sedang atau berat berkisar
30 sampai 200 per 1000 kelahiran hidup. Beberapa penelitian juga
mengemukakan bahwa depresi postpartum bervariasi disetiap daerah
penelitian. Hasil penelitian O’Hara dan Swain (1996) menemukan
kejadian depresi postpartum di Belanda sekitar 2%-10%, di
AmerikaSerikat 8%-26%, di Kanada 50%-70%. Hasil penelitian lain
yang dilakukan Wratsangka (1996) di RSUP. Hasan Sadikin Bandung
mencatat wanita yang mengalami depresi dan psikosis postpartum pada
wanita primipara sekitar 50-80%. Dan yang mengalami depresi dan
psikosis pada multipara sekitar 33%. Hasil penelitian yang dilakukan
Alfiben (2000) di Rs.Cipto Mangunkusumo tidak berbeda jauh dengan
yang dilakukan oleh Wratsangka, 70% wanita primipara mengalami
depresi dan psikosis postpartum dan 30 % pada wanita multipara.
4. Patofisiologi Postpartum Depresi
Depresi adalah gangguan di mana keadaan murung setelah 2-3
minggu masih juga bertahan atau bahkan memburuk. Gejala utama yaitu
pada derajat ringan, sedang, dan berat meliputi afek depresif, kehilangan
minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energi yang menuju
meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja
sedikit saja) dan menurunnya aktivitas. Gejala lainnya adalah
konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri
berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan
masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan
membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu makan
berkurang.
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut
diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan
diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala
luar biasa beratnya dan berlangsung cepat. Teori monoamin menyatakan
bahwa depresi diakibatkan oleh terganggunya keseimbangan antara
neurotransmitter didalam otak. Khususnya akibat terutama kekurangan
serotonin (dan atau noradrenalin) di saraf-saraf otak.Setelah melahirkan,
sistem endokrin kembali kepada kondisi seperti sebelum hamil. Hormon
kehamilan mulai menurun segera setelah plasenta keluar. Turunnya
estrogen dan progesteron menyebabkan peningkatan prolaktin dan
menstimulasi air susu. Perubahan fisioligis yang terjadi pada wanita
setelah melahirkan melibatkan perubahan yang progresif atau
pembentukan jaringan-jaringan baru. Selama proses kehamilan dan
persalinan terdapat perubahan pada sistem endokrin, terutama pada
hormon-hormon yang berperan dalam proses tersebut.
5. Penatalaksanaan Postpartum Depresi
a. Terapi psikofarmako.
Indikasi pemberian obat pada pasien depresi post partum adalah
pasien dengan depresi berulang, ada kecenderungan untuk berbuat
mencelakai diri sendiri atau orang lain, depresi berat atau tidak
murni depresi saja semisal bipolar. Hal tersebut dikarenakan
menimbang efek negatif nya bila tidak diberikan obat. Karena pasien
depresi rawan untuk minum-minum alkohol atau berbuat
mencelakai diri dan orang lain dan membahayakan kandungan dan
dirinya, maka lebih baik digunakan pengobatan psikofarmaka.
Apabila pasien hanya mengalami depresi ringan saja maka pilihan
pengobatan psikofarmaka tidak menjadi pilihan utama. Dapat
digunakan terapi lain seperti psikoterapi, meminimalisasi stress,
perbanyak olahraga dan melakukan meditasi.Obat yang umum
digunakan antara lain golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake
Inhibitors), SNRI, dan Tricyclic Antidepressants. Obat anti
depressant tidak dapat digunakan hanya 1-2 minggu, karena efeknya
baru terasa setelah 2 minggu. Obat yang paling baik digunakan pada
depresi post partum adalah dari golongan SSRI, sebagai contoh
adalah sertraline. Menurut penelitian dari Bloch, et.al. yang
melakukan meta analisis mengenai perbandingan terapi
antidepresan terhadap penurunan gejala depresi post partum,
dikatakan bahwa sertraline memiliki efek terbaik dalam
menurunkan gejala depresi post partum.10 Pemberian sertraline
menurut penelitian lain diberikan selama 12 minggu dan diberikan
secara bertahap, yaitu minggu pertama diberikan 25 mg per hari,
minggu kedua-tiga diberikan 50 mg/hari dan sisanya diberikan 100
mg/hari.11 Pada pasien yang sudah mengalami resistensi maka
pilihan terapi pun berbeda. Pilihan pertama tetap diberikan SSRI
terlebih dahulu, bila tidak membaik maka diberikan antidepresan
golongan lain dan bila masih belum membaik maka diberikan
neuromodulasi. Banyak orang tua yang takut mengenai efek
samping pemberian psikofarmaka kepada kesehatan janinnya.
Beberapa resiko terhadap bayi dari ibu yang mengkonsumsi
antidepresan selama kehamilannya yaitu PPHN (Persistent
Pulmonary Hypertension of Newborn), keguguran, preterm, low
birth weight, asfiksia, Beberapa antidepresan yang dapat
menyebabkan hal tersebut adalah paroxetin yang dalam klasifikasi
FDA masuk ke dalam kelas D. Sedangkan yang aman dikonsumsi
adalah sertraline, fluoxetine, citalopram dan amitriptilin masuk ke
dalam kelas C. Menurut FDA, obat terbaik pada ibu hamil yang
mengalami depresi adalah golongan SSRI dan yang terbaik ketika
menyusui adalah sertraline dan paroxetine.
b. Terapi psikologis dan psikososial.
Psikoterapi antara lain talking therapy, terapi interpersonal dan
kognitif/ perilaku dan terapi psikodinamik. Talking therapy
membantu pasien mengenali masalah dan menyelesaikannya
melalui give anta take verbal dengan terapis. Pada terapi
kognitif/perilaku, pasien belajar mengidentifikasi dan mengubah
persepsi menyimpang tentang dirinya serta menyesuaikan perilaku
untuk mengatasi lingkungan sekitar dengan lebih baik. Salah satu
bentuk terapi psikologi adalah Interpersonal Therapy dan Cognitive
Behavior Therapy sedangkan contoh terapi psikososial adalah
Psikodinamik Psikoterapi, Non directive Conseling dan Peer
Support. Baik terapi psikologis dan terapi psikososial dapat
menurunkan gejala dari depresi.
c. Terapi hormonal.
Terdapat penurunan drastis hormon estrogen dan progesteron
dari tubuh ibu yang sedang melahirkan. Hal ini dihipotesiskan dapat
menyebabkan terjadinya depresi post partum. Pada penelitian dari
Gregoire yang memberikan pengobatan menggunakan estrogen
pada wanita yang mengalami depresi post partum, dikatakan bahwa
terdapat perbaikan gejala yang dihitung dari skor EPDS (Edinburgh
Postnatal Depression Scale). Tetapi terapi estrogen dalam jangka
lama dapat menyebabkan hiperplasia endometrial, endometrial
cancer dan tromboembolisme.
d. Terapi lain.
Salah satu terapi alternatif dari depresi post partum adalah
pemberian omega 3 polyunsaturated fatty acid (PUFA).
Docosahexaenoic acid (DHA) dan Eicosapentaenoic Acid (EPA)
adalah sumber dari terbentuknya PUFA. DHA dikonsumsi oleh ibu
hamil sebanyak 300 mg per hari.18 Terdapat perbedaan hasil
penelitian dari pemberian nutrisi ini. Penelitian dari Freeman, et al
mengatakan bahwa terdapat penurunan gejala dari skala EPDS
setelah pemberian omega 3 fatty acid pada pasien dengan depresi
post partum yang diberikan selama peripartum.19 Sedangkan pada
penelitian keduanya mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan pada pemberian depresi post partum selama 8
minggu ke depan.20 Terdapat juga penelitian yang memberikan
terapi berupa gabungan omega 3 fatty acid yang digabung dengan
terapi psikososial terhadap depresi post partum, dan hasilnya
signifikan.
6. Prognosis Postpartum Depresi
Identifikasi dan intervensi secara dini prognosisnya pada wanita
yang mengalami depresi postpartum adalah baik. Beberapa kasus yang
pernah dilaporkan tertangani dengan baik jika efek depresi post partum
ini diketahui sejak awal. Pencegahan yang paling utama adalah
informasi tentang faktor resiko terjadinya depresi postpartum di
masyarakat sebagai nilai penting untuk mencegah terjadinya depresi ini.
Skrining awal terjadinya depresi postpartum ini dapat diketahui saat ibu
membawa bayinya pada tempat pelayanan kesehatan untuk dilakukan
imunisasi sehingga pencegahan terjadinya depresi postpartum dan
depresi secara umum dapat dihindari.
7. KIE
Edukasi Pasien
Faktor paling penting bagi seorang ibu yang baru melahirkan adalah
dukungan sosial, sehingga perlu dilakukan edukasi pada pasangan atau
anggota keluarga lainnya yang berperan sebagai support system.
Edukasi sebaiknya disampaikan setiap pemeriksaan antenatal.
Dukungan sosial ini juga bermanfaat untuk mengatasi rasa bersalah
atau rasa disalahkan karena gangguan yang dialami ibu saat berinteraksi
dan merawat anak. Hal ini sangat penting untuk mencegah komplikasi
depresi postpartum, baik bunuh diri maupun pembunuhan bayi.
Ibu yang mengalami depresi postpartum disarankan untuk tetap
berinteraksi dengan bayinya. Bila memungkinkan, sebaiknya ibu tetap
memberikan ASI kepada bayinya.
Selain itu, ibu disarankan untuk berolahraga karena efektif dalam
menurunkan gejala-gejala depresi postpartum.

Upaya Pengendalian Penyakit


Berbagai intervensi psikososial bisa digunakan sebagai metode
pencegahan depresi postpartum. Intervensi ini bisa diberikan pada
periode antenatal atau segera setelah melahirkan, terutama bagi wanita
yang mempunyai faktor risiko.
Intervensi antenatal yang bisa dilakukan mencakup psikoterapi
keluarga, persiapan dukungan sosial, dan psikoterapi interpersonal.
Intervensi postnatal yang bisa dilakukan adalah home visit oleh perawat
secara intensif pada ibu yang berisiko, sampai 16 minggu pasca
melahirkan. Skrining dan penanganan segera pada periode perinatal
sampai 4 minggu setelah melahirkan oleh bidan juga terbukti efektif.
Menyusui bayi secara eksklusif juga dilaporkan merupakan salah
satu metode yang efektif melindungi ibu dari depresi.
Edukasi mengenai prevalensi, faktor risiko, dan gejala-gejala
depresi postpartum juga bisa digunakan untuk pencegahan atau untuk
memperbaiki outcome, termasuk mempersingkat durasi dan
meringankan gejala depresi postpartum.
.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang kelompok SGD kami lakukan , kami
menetapkan bahwa diagnosis kerja pada mawar usia 21 tahun pada
skenario tersebut mengalami adalah Postpartum depresi, yang mana hal
ini didasari dari kolerasi manifestasinya yang sesuai dengan yang ada
pada pasien pada scenario kali ini, serta onset keluhan yang dirasakan
oleh pasien dan hasil anamnesis yang ada pada scenario.
Pentingnya dilakukan diagnosis dini depresi postpartum adalah
untuk mencegah maupun memperparah gejala yang ditimbulkan.
Banyak instrumen yang dapat digunakan untuk skrining dalam
penegakan diagnosis depresi postpartum, salah satunya yang paling
efektif yaitu instrument EDPS. Ibu dengan depresi postpartum perlu
mendapatkan penatalaksanaan secara luas dan maksimal dari berbagai
pihak, meliputi keluarga, orang terdekat, dan tenaga kesehatan dari
multidisiplin ilmu. Dalam penanganannya, dapat diberikan terapi
nonfarmakologis seperti terapi psikologis dan perubahan perilaku
sehari-hari dan juga terapi farmakologis seperti obat golongan tricyclc
antidepressant (TCAs) yang sebelumnya dikonsulkan ke dokter.
Depresi postpartum merupakan istilah yang digunakan pada pasien
yang mengalami berbagai gangguan emosional yang timbul setelah
melahirkan, khususnya pada gangguan depresi spesifik yang terjadi
pada 10%-15% wanita pada tahun pertama setelah melahirkan. Pasien
akan mengalami gejala affektive selama periode postpartum, 4 sampai
6 minggu setelah melahirkan. Susah berinteraksi dengan perawat dalam
keadaan stres dan bayi meningkatkan resiko pendekatan yang tidak
aman dan terjadinya masalah kognitiv dan sifat pada anak. Penurunan
cepat tingkat reproduksi hormon yang terjadi setelah melahirkan
dipercaya dapat berkembang menjadi depresi pada wanita dengan
depresi postpartum. Walaupun penyebab depresi ini cenderung pada
tingkat penurunan hormon, beberapa faktor mungkin menjadi
peridisposisi pada penderita. Kejadian stress dalam hidup, riwayat
depresi sebelumnya, dan riwayat keluarga yang mengalami gangguan
mood, semua dikenal sebagai prediktor depresi mayor pada wanita.
Kriteria yang digunakan dalam menegakkan diagnosis berdasarkan pada
riwayat dan gejala-gejala yang tampak mengikuti Diagnostic And
Statisctical Manual of Mental Disorders, edisi keempat (DSM-IV).
Secara umum, dalam menatalaksanaan ibu dengan depresi
postpartum diberikan dengan farmakologis, psikoterapi, hormonal
replacement therapy, dan profilaksis treatment. Pasien yang telah
didiagnosis menderita gejala depresi postpartum, diberikan pengobatan
dengan pemberian obat antidepressant. Menyusui tidak hanya untuk
mengurangi stress untuk ibu, namun juga menguragi tingkat stress pada
bayi ketika ibunya mengalami depresi. Menyusui melindungi suasana
hati ibu dengan mengurangi tingkat stress. Ketika tingkat stress rendah,
respon inflamasi ibu tidak aktif dan akan mengurangi resiko depresi.
Pemberian psikoterapi yang berfokus pada interpersonal terapi. sangat
efektif untuk meredakan gejala depresi dan meningkatkan fungsi
psikososial.

DAFTAR PUSTAKA

Alligood, Martha Raile. 2017. Nursing theorists and Their Work, 8th edition.
Indonesia : ELSEVIER (Singapore) Pte Ltd.
Bergink, V., Natalie R., Katherine L.W. 2016. Postpartum Psychosis:
Madness, Mania, dan Melancholia in Motherhood. Journal : American Journal of
Psychiatry.
Cranford, K., Joanna Gedzi and Victoria Su. 2018. 2. Postpartum Psychosis
in a Young VA Patient Diagnosis, Implications, and Treatment Recommendations.
Vol.1, Feb. 2018.
Dazzan, P., M ontserrat F., and Wi l l i am D. 2018. 5. Do Defective Immune
System-Mediated Myelination Processes Increase Postpartum Psychosis Risk.
Holford, N., Sue C., Jessi ca Heron and Ian Jones. 2018. The Impact of
Postpartum Psychosis on Partners. Vol.1, Oct 2018.
Nasri ,Z., Arief W., Endang W.G. 2017. Determinants Factors of Postpartum
Depression in East Lombok. Vol.1, Mar.2017.
Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Jakarta : EGC.
Setiati, E., Sumarni D.W dan Sri S. 2017. Social support and medication
obedience with recurrence of schizophrenia patients in Purworejo. Journal of
Community Medicine and Public Health. Vol. 33 Nomor 6 Halaman 305-310.
Kusuma, P. D. (2017). Karakteristik Penyebab Terjadinya Depresi
Postpartum pada Primipara dan Multipara. Jurnal Keperawatan Notokusumo, 5(1),
36-45.
Diniyah, K. (2017). Gambaran depresi postpartum di rskia sadewa. Media
Ilmu Kesehatan, 6(2), 162-167.
Guze, S. B. (2014). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,
4th ed. (DSM-IV). American Journal of Psychiatry.

Anda mungkin juga menyukai