Anda di halaman 1dari 15

TINJAUAN PUSTAKA

GANGGUAN JIWA PASCA KEHAMILAN

2.2 Depresi Pasca Kehamilan

Sebagian perempuan menganggap bahwa masamasa setelah melahirkan adalah


masamasa sulit yang akan menyebabkan mereka mengalami tekanan secara emosional.
Gangguangangguan psikologis yang muncul akan mengurangi kebahagiaan yang dirasakan,
dan sedikit banyak mempengaruhi hubungan anak dan ibu dikemudian hari. Hal ini bisa
muncul dalam durasi yang sangat singkat atau berupa serangan yang sangat berat selama
berbulanbulan atau bertahun tahun lamanya.

Secara umum sebagaian besar wanita mengalami gangguan emosional setelah


melahirkan. Clydde (Regina dkk, 2001), bentuk gangguan postpartum yang umum adalah
depresi, mudah marah dan terutama mudah frustasi serta emosional.
angguan mood selama periode postpartum merupakan salah satu gangguan yang paling sering
terjadi pada wanita baik primipara maupun multipara. Menurut DSM-IV, gangguan
pascasalin diklasifikasikan dalam gangguan mood dan onset gejala adalah dalam 4 minggu
pascapersalinan.
Ada 3 tipe gangguan mood pascasalin, diantaranya adalah maternity blues, postpartum
depression dan postpartum psychosis ( Ling dan Duff, 2001).

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Paltiel (Koblinsky dkk, 1997), bahwa
ada 3 golongan gangguan psikis pascasalin yaitu postpartum blues atau sering disebut juga
sebagai maternity blues yaitu kesedihan pasca persalinan yang bersifat sementara. Postpartum
depression yaitu depresi pasca persalinan yang berlangsung sampai berminggu minggu atau
bulan dan kadang ada diantara mereka yang tidak menyadari bahwa yang sedang dialaminya
merupakan penyakit. Postpartum psychosis, dalam kondisi seperti ini terjadi tekanan jiwa
yang sangat berat karena bisa menetap sampai setahun dan bisa juga selalu kambuh gangguan
kejiwaannya setiap pasca melahirkan.

Depresi postpartum pertama kali ditemukan oleh Pitt pada tahun 1988. Pitt ( Regina
dkk, 2001 ), depresi postpartum adalah depresi yang bervariasi dari hari ke hari dengan

1
menunjukkan kelelahan, mudah marah, gangguan nafsu makan, dan kehilangan libido
( kehilangan selera untuk berhubungan intim dengan suami ). Masih menurut Pitt ( Regina
dkk, 2001) tingkat keparahan depresi postpartum bervariasi. Keadaan ekstrem yang paling
ringan yaitu saat ibu mengalami kesedihan sementara yang berlangsung sangat cepat pada
masa awal postpartum, ini disebut dengan the blues atau maternity blues. Gangguan
postpartum yang paling berat disebut psikosis postpartum atau melankolia. Diantara 2
keadaan ekstrem tersebut terdapat kedaan yang relatif mempunyai tingkat keparahan sedang
yang disebut neurosa depresi atau depresi postpartum.

SKRINING UNTUK GANGGUAN MOOD POSTPARTUM

Meskipun telah beberapa kali kontak dengan para profesional medis selama periode
pasca-melahirkan, pasien sering mengabaikan penyakit postpartum afektif. Terlalu sering,
depresi pascamelahirkan dianggap sebagai konsekuensi normal atau alami dari melahirkan.
Perempuan sering melaporkan bertahannya gejala depresi selama berbulan-bulan
sebelum memulai pengobatan. Meskipun gejala depresi dapat muncul spontan, banyak
perempuan masih tertekan satu tahun setelah melahirkan.
Memprediksi siapa yang berisiko terkena penyakit jiwa pasca persalinan sangat sulit.
Individu yang berisiko terbesar sering memiliki sejarah depresi terdahulu atau psikosis
pascamelahirkan, sejarah gangguan mood pada diri pasien atau keluarga, atau depresi selama
kehamilan saat ini. Faktor risiko lain termasuk dukungan sosial yang tidak memadai,
ketidakpuasan perkawinan atau perselisihan, dan peristiwa negative yang baru saja terjadi
seperti kematian dalam keluarga, kesulitan keuangan, atau kehilangan pekerjaan. Penyaringan
semua ibu selama periode antepartum dan postpartum sangat diindikasikan.

Penyaringan perempuan untuk gejala depresi selama kehamilan juga dapat membantu
untuk mengidentifikasi perempuan berisiko lebih tinggi untuk depresi pascamelahirkan. The
Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) adalah sebuah kuisioner yang digunakan
secara ekstensif untuk deteksi depresi pasca-melahirkan. Skor 10 atau lebih pada EPDS atau
jawaban afirmatif untuk pertanyaan 10 (kehadiran pikiran untuk bunuh diri) membutuhkan
evaluasi yang lebih menyeluruh. EPDS dapat ditambahkan pada bayi baik rutin dan
kunjungan pediatrik.

2
Tidak ada manfaat lebih telah ditunjukkan dari satu alat skrining atas alat skrining
yang lain. Menggunakan 2 pertanyaan berikut mungkin sama efektifnya dengan alat yang
lebih panjang, meskipun mereka belum divalidasi di latar belakang budaya yang berbeda:
Selama 2 minggu terakhir Anda merasa down, depresi, atau putus asa?
Selama 2 minggu terakhir Anda merasa sedikit ketertarikan atau kesenangan dalam
melakukan sesuatu?

Dalam sebuah studi tentang depresi pascamelahirkan antara perkotaan, ibu yang
berpenghasilan rendah, Chaudron et al menemukan bahwa, meskipun EPDS, Beck
Depression Inventory II (BDI-II), dan Postpartum Depression Screening Scale (PDSS)
memiliki akurasi tinggi dalam mengidentifikasi depresi, skor ini mungkin perlu untuk diubah
dalam populasi ini untuk mengidentifikasi depresi lebih akurat. Dalam penelitian, yang
meliputi 198 ibu dari bayi yang berumur sampai 14 bulan, sensitivitas dan kekhususan
masing-masing alat skrining dihitung dibandingkan dengan diagnosis gangguan depresi
mayor atau depresi minor yang dibuat atas dasar diagnostik wawancara psikiatri. Nilai
optimal untuk BDI-II ( 14 untuk depresi mayor dan 11 untuk depresi minor) dan EPDS (
9 untuk depresi mayor dan 7 untuk depresi minor) lebih rendah dari yang
direkomendasikan saat ini. Untuk PDSS, nilai optimal sesuai dengan pedoman saat ini untuk
depresi mayor ( 80) tetapi lebih tinggi dari yang direkomendasikan untuk depresi minor (
77).

2.2.1 Sindrom Baby Blues/Post Partum Blues

Baby blues dapat terjadi segera setelah kelahiran, namun segera akan menghilang
dalam beberapa hari sampai satu minggu. Kejadian ini terjadi pada sekitar 50%-80% dari ibu-
ibu yang baru melahirkan dan biasanya terjadi dalam sepuluh hari pertama pasca melahirkan.
Ibu yang baru melahirkan dapat merasakan perubahan mood yang cepat dan berganti-ganti
(mood swing), kesedihan, suka menangis, hilang nafsu makan, gangguan tidur, mudah
tersinggung, cepat lelah, cemas dan merasa kesepian. Gejalanya biasanya tidak terlalu berat
dan pengobatan pada fase ini tidak diperlukan. Secara umum gejala ini akan hilang sendiri
dalam waktu 10-14 hari pasca melahirkan.

3
Perubahan hormon dan perubahan hidup ibu pasca melahirkan juga dapat dianggap
pemicu depresi ini. Diperkirakan sekitar 50-70% ibu melahirkan menunjukkan gejala-gejala
awal kemunculan depresi postpartum blues, walau demikian gejala tersebut dapat hilang
secara perlahan karena proses adaptasi dan dukungan keluarga yang tepat.

Sampai saat ini belum ada alat test khusus yang dapat mendiagnosa secara langsung
postpartum blues. Secara medis, dokter menyimpulkan beberapa simtom yang tampak dapat
disimpulkan sebagai gangguan depresi postpartum blues bila memenuhi kriteria gejala yang
ada. Kekurangan hormon tyroid yang ditemukan pada individu yang mengalami kelelahan
luar biasa (fatigue) ditemukan juga pada ibu yang mengalami postpartum blues mempunyai
jumlah kadar tyroid yang sangat rendah.

Angka kejadian postpartum blues di Asia cukup tinggi dan sangat bervariasi antara
26-85% (Iskandar, 2007), sedangkan di Indonesia angka kejadian postpartum blues antara 50-
70% dari wanita pasca persalinan (Hidayat, 2007). Angka kesakitan pada post sectio caesaria
lebih tinggi dibandingkan dengan melahirkan pervagina, sedangkan angka kesakitan pralahir
pada sectio caesaria jauh lebih rendah dibandingkan dengan melahirkan pervagina (Indiarti,
2007).

Kejadian melahirkan section caesaria berisiko mengalami postpartum blues daripada


postpartum normal, maka ibu sectio caesaria perlu dilakukan dukungan fisik dan psikologis
dalam pencegahan postpartum blues, dengan alasan lama perawatan section caesaria.

ETIOLOGI SINDROM BABY BLUES

Beberapa hal yang disebutkan sebagai penyebab terjadinya baby blues syndrome,
diantaranya:

1. Perubahan hormonal. Pasca melahirkan terjadi penurunan kadar estrogen dan


progesterone yang drastis, dan juga disertai penurunan kadar hormon yang dihasilkan
oleh kelenjar tiroid yang menyebabkan mudah lelah, penurunan mood, dan perasaan
tertekan.
2. Fisik. Hadirnya si kecil dalam keluarga menyebabkan pula perubahan ritme
kehidupan sosial dalam keluarga, terutama ibu. Mengasuh si kecil sepanjang siang

4
dan malam sangat menguras energi ibu, menyebabkan berkurangnya waktu istirahat,
sehingga terjadi penurunan ketahanan dalam menghadapi masalah.

3. Psikis. Kecemasan terhadap berbagai hal, seperti ketidakmampuan dalam mengurus si


kecil, ketidak mampuan mengatasi dalam berbagai permasalahan, rasa tidak percaya
diri karena perubahan bentuk tubuh dari sebelum hamil serta kurangnya perhatian
keluarga terutama suami ikut mempengaruhi terjadinya depresi.

4. Sosial. Perubahan gaya hidup dengan peran sebagai ibu baru butuh adaptasi. Rasa
keterikatan yang sangat pada si kecil dan rasa dijauhi oleh lingkungan juga berperan
dalam depresi.

GEJALA

Gejala biasanya bervariasi dari derajat ringan hingga berat. Adapun gejala yang
biasanya muncul antara lain:

1. Perasaan cemas yang berlebihan, sedih, murung, dan sering menangis.


2. Seringkali merasa kelelahan dan sakit kepala.

3. Perasaan ketidakmampuan, misalnya dalam mengurus si kecil.

Seringkali ibu yang pada awalnya mengalami baby blues syndrome kemudian
berkembang menjadi lebih lama dan lebih berat intensitasnya. Apabila gejala yang terjadi
telah mengganggu dalam melaksanakan tugas sehari-hari maka termasuk dalam kategori
depresi pasca melahirkan, biasanya lebih sering terjadi pada wanita dengan riwayat depresi
sebelumnya. Depresi pasca melahirkan disertai dengan tanda-tanda:

1. Kelelahan yang berkepanjangan, susah tidur, dan insomnia.


2. Hilangnya perasaan bahagia dan minat untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan.

3. Tidak memperhatikan diri sendiri dan menarik diri dari keluarga dan teman.

4. Tidak memperhatikan atau bahkan perhatian yang berlebihan pada si kecil.

5. Perasaan takut telah menyakiti si kecil.

6. Tidak tertarik pada seks.

5
7. Perasaan berubah-ubah dengan ekstrim, terganggu proses berpikir dan konsentrasi.

PENATALAKSANAAN

Postpartum blues biasanya ringan dalam keparahan dan akan selesai secara spontan.
Tidak ada pengobatan khusus diperlukan, selain dukungan dan jaminan. Evaluasi lebih lanjut
diperlukan jika gejala berlangsung lebih dari 2 minggu.

PENCEGAHAN SINDROM BABY BLUES

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, antara lain:

1. Mintalah bantuan orang lain, misalnya kerabat atau teman untuk membantu Anda
mengurus si kecil.
2. Ibu yang baru saja melahirkan sangat butuh istirahat dan tidur yang cukup. Lebih
hanyak istirahat di minggu-minggu dan bulan-bulan pertama setelah melahirkan, bisa
mencegah depresi dan memulihkan tenaga yang seolah terkuras habis.

3. Hindari makanan manis serta makanan dan minuman yang mengandung kafein.
Karena kedua makanan ini berpotensi memperburuk depresi.

4. Konsumsilah makanan yang bernutrisi agar kondisi tubuh cepat pulih, sehat dan segar.

5. Cobalah berbagi rasa dengan suami atau orang terdekat lainnya. Dukungan dari
mereka bisa membantu Anda mengurangi depresi.

Agar baby blues syndrome dapat diminimalisir maka yang pertama harus
dipersiapkan oleh sebuah keluarga yang akan menginginkan seorang anak adalah kehamilan
yang terencana yang didukung oleh kesiapan mental, financial, dan sosial dari ayah dan ibu.
Persiapkan pula pengetahuan dasar calon ayah dan calon ibu tentang kehamilan, proses
melahirkan, sampai dengan cara merawat si kecil. Sebaiknya diskusikan juga tentang
pembagian kerja anata ibu dan ayah pada saat kehamilan hingga si kecil dilaharkan sehingga
ibu mempunyai waktu yang cukup untuk beristirahat. Jika diperlukan pertimbangkan pula
untuk mempunyai asisten dalam membantu mengurus rumah tangga.

6
2.2.2 Depresi Post Partum

Depresi postpartum terjadi dalam 10-15% wanita pada populasi umum. Depresi
postpartum paling sering terjadi dalam 4 bulan pertama setelah melahirkan, tetapi dapat
terjadi kapan pun pada tahun pertama. Depresi postpartum tidak berbeda dari depresi yang
dapat terjadi setiap saat lainnya dalam kehidupan wanita. Masa pasca-melahirkan adalah
waktu yang paling rentan bagi wanita untuk mengembangkan penyakit kejiwaan. Wanita
yang menderita 1 episode depresi mayor setelah melahirkan memiliki risiko kekambuhan
sekitar 25%.

Perempuan resiko tertinggi adalah mereka dengan sejarah pribadi depresi, episode
sebelumnya depresi pasca melahirkan, atau depresi selama kehamilan. Selain memiliki
riwayat depresi, kehidupan yang penuh stress akhir-akhir ini, stres sehari-hari seperti
perawatan anak, kurangnya dukungan sosial (terutama dari pasangan), kehamilan yang tidak
diinginkan, dan status asuransi telah divalidasi sebagai faktor risiko.
Biasanya, depresi pascamelahirkan berkembang secara diam-diam selama 3 bulan
pertama pasca melahirkan, meskipun gangguan tersebut mungkin memiliki onset yang lebih
akut. Depresi postpartum lebih persistent dan melemahkan daripada postpartum blues.

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN DEPRESI POST PARTUM

Cycde (Regina dkk, 2001) mengemukakan bahwa depresi postpartum tidak berbeda
secara mencolok dengan gangguan mental atau gangguan emosional. Suasana sekitar
kehamilan dan kelahiran dapat dikatakan bukan penyebab tapi pencetus timbulnya gangguan
emosional.
Nadesul (1992), penyebab nyata terjadinya gangguan pasca melahirkan adalah adanya
ketidakseimbangan hormonal ibu, yang merupakan efek sampingan kehamilan dan
persalinan. Sarafino (Yanita dan Zamralita, 2001), faktor lain yang dianggap sebagai
penyebab munculnya gejala ini adalah masa lalu ibu tersebut, yang mungkin mengalami
penolakan dari orang tuanya atau orang tua yang overprotective, kecemasan yang tinggi
terhadap perpisahan, dan ketidakpuasaan dalam pernikahan. Perempuan yang memiliki
sejarah masalah emosional rentan terhadap gejala depresi ini, kepribadian dan variabel sikap
selama masa kehamilan seperti kecemasan, kekerasan dan kontrol eksternal berhubungan
dengan munculnya gejala depresi.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh LlewellynJones (1994), karakteristik wanita
7
yang berisiko mengalami depresi postpartum adalah : wanita yang mempunyai sejarah pernah
mengalami depresi, wanita yang berasal dari keluarga yang kurang harmonis, wanita yang
kurang mendapatkan dukungan dari suami atau orangorang terdekatnya selama hamil dan
setelah melahirkan, wanita yang jarang berkonsultasi dengan dokter selama masa
kehamilannya misalnya kurang komunikasi dan informasi, wanita yang mengalami
komplikasi selama kehamilan.

Pitt (Regina dkk, 2001), mengemukakan 4 faktor penyebab depresi postpartum


sebagai berikut :

a. Faktor konstitusional. Gangguan post partum berkaitan dengan status paritas adalah
riwayat obstetri pasien yang meliputi riwayat hamil sampai bersalin serta apakah ada
komplikasi dari kehamilan dan persalinan sebelumnya dan terjadi lebih banyak pada wanita
primipara. Wanita primipara lebih umum menderita blues karena setelah melahirkan wanita
primipara berada dalam proses adaptasi, kalau dulu hanya memikirkan diri sendiri begitu bayi
lahir jika ibu tidak paham perannya ia akan menjadi bingung sementara bayinya harus tetap
dirawat.

b. Faktor fisik. Perubahan fisik setelah proses kelahiran dan memuncaknya gangguan
mental selama 2 minggu pertama menunjukkan bahwa faktor fisik dihubungkan dengan
kelahiran pertama merupakan faktor penting. Perubahan hormon secara drastis setelah
melahirkan dan periode laten selama dua hari diantara kelahiran dan munculnya gejala.
Perubahan ini sangat berpengaruh pada keseimbangan. Kadang progesteron naik dan estrogen
yang menurun secara cepat setelah melahirkan merupakan faktor penyebab yang sudah pasti.

c. Faktor psikologis. Peralihan yang cepat dari keadaan dua dalam satu pada akhir
kehamilan menjadi dua individu yaitu ibu dan anak bergantung pada penyesuaian psikologis
individu. Klaus dan Kennel (Regina dkk, 2001), mengindikasikan pentingnya cinta dalam
menanggulangi masa peralihan ini untuk memulai hubungan baik antara ibu dan anak.

d. Faktor sosial. Paykel (Regina dkk, 2001) mengemukakan bahwa pemukiman yang
tidak memadai lebih sering menimbulkan depresi pada ibu ibu, selain kurangnya dukungan
dalam perkawinan.

8
Menurut Kruckman (Yanita dan zamralita, 2001), menyatakan terjadinya depresi
pascasalin dipengaruhi oleh faktor :

1. Biologis. Faktor biologis dijelaskan bahwa depresi postpartum sebagai akibat kadar
hormon seperti estrogen, progesteron dan prolaktin yang terlalu tinggi atau terlalu rendah
dalam masa nifas atau mungkin perubahan hormon tersebut terlalu cepat atau terlalu lambat.

2. Karakteristik ibu, yang meliputi :

a. Faktor umur. Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi
seseorang perempuan untuk melahirkan pada usia antara 2030 tahun, dan hal ini mendukung
masalah periode yang optimal bagi perawatan bayi oleh seorang ibu. Faktor usia perempuan
yang bersangkutan saat kehamilan dan persalinan seringkali dikaitkan dengan kesiapan
mental perempuan tersebut untuk menjadi seorang ibu.

b. Faktor pengalaman. Beberapa penelitian diantaranya adalah penelitian yang


dilakukan oleh Paykel dan Inwood (Regina dkk, 2001) mengatakan bahwa depresi pascasalin
ini lebih banyak ditemukan pada perempuan primipara, mengingat bahwa peran seorang ibu
dan segala yang berkaitan dengan bayinya merupakan situasi yang sama sekali baru bagi
dirinya dan dapat menimbulkan stres. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Le Masters
yang melibatkan suami istri muda dari kelas sosial menengah mengajukan hipotesis bahwa
83% dari mereka mengalami krisis setelah kelahiran bayi pertama.

c. Faktor pendidikan. Perempuan yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan


sosial dan konflik peran, antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki dorongan untuk
bekerja atau melakukan aktivitasnya diluar rumah, dengan peran mereka sebagai ibu rumah
tangga dan orang tua dari anakanak mereka (Kartono, 1992).

d. Faktor selama proses persalinan. Hal ini mencakup lamanya persalinan, serta
intervensi medis yang digunakan selama proses persalinan. Diduga semakin besar trauma
fisik yang ditimbulkan pada saat persalinan, maka akan semakin besar pula trauma psikis
yang muncul dan kemungkinan perempuan yang bersangkutan akan menghadapi depresi
pascasalin.

e. Faktor dukungan sosial. Banyaknya kerabat yang membantu pada saat kehamilan,
persalinan dan pascasalin, beban seorang ibu karena kehamilannya sedikit banyak berkurang.

9
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab depresi
postpartum adalah faktor konstitusional, faktor fisik yang terjadi karena adanya
ketidakseimbangan hormonal, faktor psikologi, faktor sosial dan karakteristik ibu.

GEJALA-GEJALA DEPRESI POST PARTUM

Depresi merupakan gangguan yang betulbetul dipertimbangkan sebagai


psikopatologi yang paling sering mendahului bunuh diri, sehingga tidak jarang berakhir
dengan kematian. Gejala depresi seringkali timbul bersamaan dengan gejala kecemasan.
Manifestasi dari kedua gangguan ini lebih lanjut sering timbul sebagai keluhan umum
seperti : sukar tidur, merasa bersalah, kelelahan, sukar konsentrasi, hingga pikiran mau bunuh
diri.
enurut Vandenberg (dalam Cunningham dkk, 1995), menyatakan bahwa keluhan dan gejala
depresi postpartum tidak berbeda dengan yang terdapat pada kelainan depresi lainnya. Hal
yang terutama mengkhawatirkan adalah pikiran pikiran ingin bunuh diri, wahamwaham
paranoid dan ancaman kekerasan terhadap anakanaknya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ling dan Duff (2001), bahwa gejala depresi
postpartum yang dialami 60 % wanita hampir sama dengan gejala depresi pada umumnya.
Tetapi dibandingkan dengan gangguan depresi yang umum, depresi postpartum mempunyai
karakteristik yang spesifik antara lain :

a. Mimpi buruk. Biasanya terjadi sewaktu tidur REM. Karena mimpi mimpi yang
menakutkan, individu itu sering terbangun sehingga dapat mengakibatkan insomnia.

b. Insomnia. Biasanya timbul sebagai gejala suatu gangguan lain yang mendasarinya
seperti kecemasan dan depresi atau gangguan emosi lain yang terjadi dalam hidup manusia.

c. Fobia. Rasa takut yang irasional terhadap sesuatu benda atau keadaan yang tidak
dapat dihilangkan atau ditekan oleh pasien, biarpun diketahuinya bahwa hal itu irasional
adanya. Ibu yang melahirkan dengan bedah Caesar sering merasakan kembali dan mengingat
kelahiran yang dijalaninya. Ibu yang menjalani bedah Caesar akan merasakan emosi yang
bermacammacam. Keadaan ini dimulai dengan perasaan syok dan tidak percaya terhadap
apa yang telah terjadi. Wanita yang pernah mengalami bedah Caesar akan melahirkan dengan

10
bedah Caesar pula untuk kehamilan berikutnya. Hal ini bisa membuat rasa takut terhadap
peralatan peralatan operasi dan jarum (Duffet-Smith, 1995).

d. Kecemasan. Ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul karena
dirasakan akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi sumbernya sebagian besar
tidak diketahuinya.

e. Meningkatnya sensitivitas. Periode pasca kelahiran meliputi banyak sekali


penyesuaian diri dan pembiasaan diri. Bayi harus diurus, ibu harus pulih kembali dari
persalinan anak, ibu harus belajar bagaimana merawat bayi, ibu perlu belajar merasa puas
atau bahagia terhadap dirinya sendiri sebagai seorang ibu. Kurangnya pengalaman atau
kurangnya rasa percaya diri dengan bayi yang lahir, atau waktu dan tuntutan yang ekstensif
akan meningkatkan sensitivitas ibu (Santrock, 2002).

f. Perubahan mood. Menurut Sloane dan Bennedict (1997), menyatakan bahwa


depresi postpartum muncul dengan gejala sebagai berikut : kurang nafsu makan, sedih
murung, perasaan tidak berharga, mudah marah, kelelahan, insomnia, anorexia, merasa
terganggu dengan perubahan fisik, sulit konsentrasi, melukai diri, anhedonia, menyalahkan
diri, lemah dalam kehendak, tidak mempunyai harapan untuk masa depan, tidak mau
berhubungan dengan orang lain. Di sisi lain kadang ibu jengkel dan sulit untuk mencintai
bayinya yang tidak mau tidur dan menangis terus serta mengotori kain yang baru diganti. Hal
ini menimbulkan kecemasan dan perasaan bersalah pada diri ibu walau jarang ditemui ibu
yang benarbenar memusuhi bayinya.
Menurut Nevid dkk (1997), depresi postpartum sering disertai gangguan nafsu makan dan
gangguan tidur, rendahnya harga diri dan kesulitan untuk mempertahankan konsentrasi atau
perhatian.

Kriteria diagnosis spesifik depresi postpartum tidak dimasukkan di dalam DSM-IV,


dimana tidak terdapat informasi yang adekuat untuk membuat diagnosis spesifik. Diagnosis
dapat dibuat jika depresi terjadi dalam hubungan temporal dengan kelahiran anak dengan
onset episode dalam 4 minggu pasca persalinan.

Menurut DSM IV, simptomsimptom yang biasanya muncul pada episode postpartum
antara lain perubahan mood, labilitas mood dan sikap yang berlebihan terhadap bayi. Wanita

11
yang menderita depresi postpartum sering mengalami kecemasan yang sangat hebat dan
sering panik.

Meskipun belum ada kriteria diagnosis spesifik dalam DSM-IV, secara karakteristik
penderita depresi postpartum mulai mengeluh kelelahan, perubahan mood, memiliki episode
kesedihan, kecurigaan dan kebingungan serta tidak mau berhubungan dengan orang lain.
Selain itu, penderita depresi postpartum memiliki perasaan tidak ingin merawat bayinya,
tidak mencintai bayinya, ingin menyakiti bayi atau dirinya sendiri atau keduanya.
Gejala depresi pascasalin ini memang lebih ringan dibandingkan dengan psikosis pascasalin.
Meskipun demikian, kelainankelainan tersebut memiliki potensi untuk menimbulkan
kesulitan atau masalah bagi ibu yang mengalaminya ( Kruckman dalam Yanita dan Zamralita,
2001).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gejalagejala depresi postpartum antara
lain adalah trauma terhadap intervensi medis yang dialami, kelelahan, perubahan mood,
gangguan nafsu makan, gangguan tidur, tidak mau berhubungan dengan orang lain, tidak
mencintai bayinya, ingin menyakiti bayi atau dirinya sendiri atau keduanya.

PENATALAKSANAAN

Singkirkan penyebab fisik untuk gangguan mood (misalnya, disfungsi tiroid, anemia).
Evaluasi awal termasuk riwayat kesehatan menyeluruh, pemeriksaan fisik, dan tes
laboratorium rutin. Tingkat keparahan penyakit akan menentukan terapi yang tepat.

Strategi pengobatan non-farmakologis berguna untuk wanita dengan gejala depresi


ringan sampai sedang. Psikoterapi individu atau kelompok (kognitif-perilaku dan terapi
interpersonal) adalah sangat efektif.

Psychoeducational atau dukungan kelompok juga dapat membantu. Modalitas ini


dapat sangat menarik bagi ibu yang menyusui dan yang ingin menghindari minum obat.

Strategi farmakologis yang diindikasikan untuk gejala depresi sedang sampai berat
atau ketika seorang wanita tidak merespon pengobatan non-farmakologis. Obat juga dapat
digunakan dalam hubungannya dengan terapi non-farmakologis.

12
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) adalah agen lini pertama dan efektif
pada wanita dengan depresi pasca-melahirkan. Gunakan dosis antidepresan standar, misalnya,
fluoxetine (Prozac) 10-60 mg / hari, sertraline (Zoloft) 50-200 mg / hari, paroxetine (Paxil)
20-60 mg / hari, citalopram (Celexa) 20-60 mg / hari , atau escitalopram (Lexapro) 10-20
mg / hari. Akibat yang merugikan dari obat kategori ini termasuk insomnia, mual, penurunan
nafsu makan, sakit kepala, dan disfungsi seksual.
Serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors (SNRIs), seperti venlafaxine (Effexor)
75-300 mg / hari atau duloxetine (Cymbalta) 40-60 mg / hari, juga sangat efektif untuk
depresi dan kecemasan.

Antidepresan trisiklik (misalnya, Nortriptilin 50-150 mg / hari) mungkin berguna bagi


wanita dengan gangguan tidur, walaupun beberapa studi menunjukkan bahwa perempuan
lebih merespon obat kategori SSRI. Akibat yang merugikan dari antidepresan trisiklik
termasuk mengantuk, berat badan bertambah, mulut kering, sembelit, dan disfungsi seksual.

Biasanya, gejala mulai berkurang dalam 2-4 minggu. Sebuah penyembuhan penuh
dapat berlangsung beberapa bulan. Pada sebagian responden, meningkatkan dosis dapat
membantu.

Agen anxiolytic seperti lorazepam dan clonazepam mungkin berguna sebagai


pengobatan adjunctive pada pasien dengan kecemasan dan gangguan tidur.

Data awal menunjukkan bahwa estrogen, sendiri atau dalam kombinasi dengan
antidepresan, mungkin bermanfaat, namun tetap antidepresan menjadi baris pertama
pengobatan.

Jika ini adalah episode pertama dari depresi, pengobatan selama 6-12 bulan
dianjurkan. Untuk wanita dengan depresi mayor berulang, diindikasikan perawatan
pengobatan jangka panjang dengan antidepresan.

Kegagalan untuk mengobati atau pengobatan yang tidak adekuat dapat


mengakibatkan memburuknya hubungan antara ibu dan bayi atau pasangan. Hal ini juga

13
dapat meningkatkan risiko morbiditas pada ibu dan bayi, serta kompromi sosial dan
pengembangan pendidikan sang bayi.

Semakin cepat pengobatan maka semakin baik prognosisnya. Rawat Inap mungkin
diperlukan untuk depresi pascamelahirkan yang parah.

Terapi electroconvulsive (ECT) adalah cepat, aman, dan efektif untuk perempuan
dengan depresi pascamelahirkan yang parah, khususnya mereka dengan pikiran bunuh diri
yang aktif.

Masih ada terapi yang masih belum terbukti seperti penggunaan cahaya terang dan
terapi gizi (terutama meningkatkan omega-3 bebas asam lemak ).

2.2.3 Psikosis Post Partum

Psikosis post partum adalah penyakit langka, dibandingkan dengan tingkat depresi
postpartum atau kecemasan. Hal ini terjadi pada sekitar 1-2 dari setiap 1.000 kelahiran, atau
sekitar 0,01% dari kelahiran. Onset biasanya tiba-tiba, paling sering dalam melahirkan 4
minggu pertama.

Gejala psikosis postpartum dapat mencakup:

Delusi atau keyakinan aneh

Halusinasi (melihat atau mendengar hal-hal yang tidak ada)

Merasa sangat kesal

Hiperaktif

Penurunan kebutuhan atau ketidakmampuan untuk tidur

Paranoia dan kecurigaan

14
Perubahan mood dengan cepat

Kesulitan berkomunikasi

Faktor risiko paling signifikan untuk psikosis pascamelahirkan adalah sejarah pribadi
atau keluarga gangguan bipolar, atau episode psikotik sebelumnya.

Dari wanita yang mengalami psikosis pasca melahirkan, ada kemungkinan sekitar 5%
untuk terjadi pembunuhan bayi atau bunuh diri sendiri. Hal ini karena perempuan yang
mengalami psikosis sedang lari dari kenyataan. Dalam keadaan psikotik pasien, delusi dan
keyakinan masuk akal baginya, mereka merasa sangat berarti dan sering religius. Perawatan
segera untuk para wanita adalah penting.

Hal ini juga penting untuk mengetahui bahwa banyak korban psikosis postpartum
tidak pernah mendapatkan delusi berisi perintah kekerasan. Delusi mengambil banyak
bentuk, dan tidak semua dari mereka adalah destruktif. Kebanyakan wanita yang mengalami
psikosis postpartum tidak merugikan diri sendiri atau orang lain. Namun, selalu ada risiko
bahaya karena psikosis termasuk delusi berpikir dan pertimbangan tidak rasional, dan inilah
mengapa wanita dengan penyakit ini harus dirawat dan dimonitor dengan baik oleh
profesional kesehatan yang terlatih.

Psikosis postpartum adalah darurat psikiatris yang biasanya membutuhkan perawatan


rawat inap. Kebanyakan pasien dengan psikosis postpartum mengalami gangguan bipolar.
Pengobatan akut termasuk mood stabilizer (misalnya, lithium, asam valproat, carbamazepine)
dalam kombinasi dengan obat antipsikotik dan benzodiazepine.

ECT (biasanya bilateral) ditoleransi dengan baik dan cepat efektif. Risiko bunuh diri
adalah signifikan pada populasi ini.

15

Anda mungkin juga menyukai