BAB I
PENDAHULUAN
Kehamilan merupakan episode dramatis terhadap kondisi biologis, perubahan psikologis dan
adaptasi dari seorang wanita yang pernah mengalaminya. Sebagian besar kaum wanita
menganggap bahwa kehamilan adalah kodrati yang harus dilalui tetapi sebagian lagi
menggapnya, sebagai peristiwa yang menetukan kebidupan selanjutnya.
Perubahan fisik dan emosional yang komplek, memerlukan adaptasi terhadap penyesuaian pola
hidup dengan proses kehamilan yang terjadi. Konflik antara keinginan prokreasi kebanggan yang
ditumbuhkan dari norma-nomra social kultur dan persoalan dalam kehamilan itu sendiri dapat
merupakan pencetus berbagai reaksi psikologis mulai dari reaksi emosional emosional ringan
hingga ke tingkat gangguan jiwa yang berat.
Beberapa penyesuaian dibutuhkan oleh wanita dalam mengahadapi aktivitas dan peran barunya
sebagai ibu pada minggu-minggu atau bulan-bulan pertama setelah melahirkan, baik tetapi
sebagian lainnya tidak berhasil menyesuaikan diri dan mengalami gangguan-gangguan
psikologis dengan berbagai gejala atau sindroma yang oleh para peneliti dan klinisi disebut post-
partum blus.
Post-partum blus. Sendiri sudah dikenal sejak lama. Savage pada tahun 1875 telah menulis
refrensi di literature kedokteran mengenai suatu keadaan disforia ringan pasca salin yang disebut
sebagai milk fewer karena gejala disforia tersebut muncul bersamaan dengan laktasi. Dewasa ini
post-partum blues (PPB) atau serig juga disebut maternity blues atau baby blues dimengerti
sebagai suatu sindroma gangguan efek ringan yang sering tampak dalam minggu petama setelh
persalinan dan ditandai dengan gejala-gejala seperti :reaksi deprsi/sedih/disforia, menangis ,
mudah tersinggung (iritabilitas), cemas, labilitas perasaan, cenderung menyalahkan diri sendiri ,
gangguan tidur dan gangguan nafsu makan . Gejala-gejala ini muncul setelah persalinan dan
pada umumnya akan menghilang dalam waktu antara beberapa jam sampai beberapa hari .
Namun pada beberapa kasus gejala-gejala tersebut terus bertahan dan baru menghilang setelah
beberapa hari. Minggu atau bulan kemudian bahkan dapat berkembang menjadi keadaan yang
lebih berat.
B. TUJUAN
C. MANFAAT
Manfaat kita sebagai seorang calon bidan untuk mempelajari mengenai post
partum blues ini, yaitu : karena kita sebagai seorang calon bidan yang tentunya akan selalu
berhadapan dengan wanita sepanjang daur kehidupannya pastinya harus bisa memberikan asuhan
pada wanita sepanjang daur kehidupannya. Apalagi masalah post partum blues adalah masalah
yang di hadapi oleh wanita pasca persalinan dengan kita mempelajari post partum blues tentunya
kita bisa mencegah agar hal tersebut tidak di hadapi oleh ibu pasca persalinan. Dan bagi ibu yang
sudah terkena gejala post partum blues hendaknya kita sebagai seorang tenaga kesehatan harus
mencegah agar tidak sampai pada tahap selanjutnya yaitu pada yang lebih parah lagi. Dan juga
diharapkan agar kita bisa memberikan asuhan pada ibu-ibu pasca persalinan agar tidak
mengalami post partum blues dan juga memberikan asuhan pada ibu yang mengalami post
partum blues.
BAB II
PEMBAHASAN
Masa nifas (puerperium) dimulai sejak kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat
kandungan kembali seperti keadaan saat sebelum hamil. Masa nifas berlangsung kira-kira selama
6 minggu. Pengawasan dan asuhan post partum masa nifas sangat diperlukan yang tujuannya
adalah menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologis, melaksanakan
sekrining yang komprehensif, mendeteksi masalah, mengobati atau merujuk bila terjadi
komplikasi pada ibu maupun bayinya. Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan
kesehatan diri, nutrisi, KB, menyusui, pemberian immunisasi pada saat bayi sehat, memberikan
pelayanan KB. Reaksi emosional yang biasanya muncul pada perempuan di masa nifas pasca
melahirkan yaitu:
Seorang ibu yang berada pada periode pascapartum mengalami banyak perubahan baik
perubahan fisik maupun psikologi. Perubahan psikologi pascapartum pada seorang ibu yang baru
melahirkan terbagi dalam tiga fase:
taking in dimana pada fase ini ibu ingin merawat dirinya sendiri, banyak bertanya dan bercerita
tentang pengalamannya selama persalinan yang berlangsung 1 sampai 2 hari.
taking hold dimana pada fase ini ibu mulai fokus dengan bayinya yang berlangsung 4 sampai 5
minggu.
fase letting-go dimana ibu mempunyai persepsi bahwa bayinya adalah perluasan dari dirinya,
mulai fokus kembali pada pasangannya dan kembali bekerja mengurus hal-hal lain.
Perubahan tersebut merupakan perubahan psikologi yang normal terjadi pada seorang ibu yang
baru melahirkan. Namun, kadang-kadang terjadi perubahan psikologi yang abnormal. Gangguan
psikologi pascapartum dibagi menjadi tiga kategori yaitu postpartum blues atau kesedihan
pascapartum, depresi pascapartum nonpsikosis, dan psikosis pascapartum.
Postpartum blues dapat terjadi sejak hari pertama pascapersalinan atau pada saat fase taking in,
cenderung akan memburuk pada hari ketiga sampai kelima dan berlangsung dalam rentang
waktu 14 hari atau dua minggu pasca persalinan. Postpartum blues merupakan gangguan suasana
hati pascapersalinan yang bisa berdampak pada perkembangan anak karena stres dan sikap ibu
yang tidak tulus terus-menerus bisa membuat bayi tumbuh menjadi anak yang mudah menangis,
cenderung rewel, pencemas, pemurungdan mudah sakit. Keadaan ini sering disebut puerperium
atau trimester keempat kehamilan yang bila tidak segera diatasi bisa berlanjut pada depresi
pascapartum yang biasanya terjadi pada bulan pertama setelah persalinan. Saat ini postpartum
blues yang sering juga disebut maternity blues atau baby blues diketahui sebagai suatu sindrom
gangguan afek ringan yang sering tampak dalam minggu pertama setelah persalinan.
Etiologi atau penyebab pasti terjadinya postpartum blues sampai saat ini belum diketahui.
Namun, banyak faktor yang diduga berperan terhadap terjadinya postpartum blues, antara lain:
Faktor hormonal yang berhubungan dengan perubahan kadar estrogen, progesteron, prolaktin
dan estradiol. Penurunan kadar estrogen setelah melahirkan sangat berpengaruh pada gangguan
emosional pascapartum karena estrogen memiliki efek supresi aktifitas enzim monoamine
oksidase yaitu suatu enzim otak yang bekerja menginaktifasi noradrenalin dan serotonin yang
berperan dalam perubahan mood dan kejadian depresi.
Tidak mempunyai pengalaman menjadi orang tua dimasa kanak-kanak atau remaja. Misalnya
tidak mempunyai saudara kandung untuk dirawat.
Cycde (Regina dkk, 2001) mengemukakan bahwa depresi postpartum tidak berbeda secara
mencolok dengan gangguan mental atau gangguan emosional. Suasana sekitar kehamilan dan
kelahiran dapat dikatakan bukan penyebab tapi pencetus timbulnya gangguan emosional.
Nadesul (1992), penyebab nyata terjadinya gangguan pasca melahirkan adalah adanya
ketidakseimbangan hormonal ibu, yang merupakan efek sampingan kehamilan dan persalinan.
Sarafino (Yanita dan Zamralita, 2001), faktor lain yang dianggap sebagai penyebab munculnya
gejala ini adalah masa lalu ibu tersebut, yang mungkin mengalami penolakan dari orang tuanya
atau orang tua yang overprotective, kecemasan yang tinggi terhadap perpisahan, dan
ketidakpuasaan dalam pernikahan. Perempuan yang memiliki sejarah masalah emosional rentan
terhadap gejala depresi ini, kepribadian dan variabel sikap selama masa kehamilan seperti
kecemasan, kekerasan dan kontrol eksternal berhubungan dengan munculnya gejala depresi.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Llewellyn–Jones (1994), karakteristik wanita yang
berisiko mengalami depresi postpartum adalah : wanita yang mempunyai sejarah pernah
mengalami depresi, wanita yang berasal dari keluarga yang kurang harmonis, wanita yang
kurang mendapatkan dukungan dari suami atau orang–orang terdekatnya selama hamil dan
setelah melahirkan, wanita yang jarang berkonsultasi dengan dokter selama masa kehamilannya
misalnya kurang komunikasi dan informasi, wanita yang mengalami komplikasi selama
kehamilan.
Pitt (Regina dkk, 2001), mengemukakan 4 faktor penyebeb depresi postpartum sebagai berikut :
a. Faktor konstitusional. Gangguan post partum berkaitan dengan status paritas adalah
riwayat obstetri pasien yang meliputi riwayat hamil sampai bersalin serta apakah ada komplikasi
dari kehamilan dan persalinan sebelumnya dan terjadi lebih banyak pada wanita primipara.
Wanita primipara lebih umum menderita blues karena setelah melahirkan wanita primipara
berada dalam proses adaptasi, kalau dulu hanya memikirkan diri sendiri begitu bayi lahir jika ibu
tidak paham perannya ia akan menjadi bingung sementara bayinya harus tetap dirawat.
b. Faktor fisik. Perubahan fisik setelah proses kelahiran dan memuncaknya gangguan
mental selama 2 minggu pertama menunjukkan bahwa faktor fisik dihubungkan dengan
kelahiran pertama merupakan faktor penting. Perubahan hormon secara drastis setelah
melahirkan dan periode laten selama dua hari diantara kelahiran dan munculnya gejala.
Perubahan ini sangat berpengaruh pada keseimbangan. Kadang progesteron naik dan estrogen
yang menurun secara cepat setelah melahirkan merupakan faktor penyebab yang sudah pasti.
c. Faktor psikologis. Peralihan yang cepat dari keadaan “dua dalam satu” pada akhir
kehamilan menjadi dua individu yaitu ibu dan anak bergantung pada penyesuaian psikologis
individu. Klaus dan Kennel (Regina dkk, 2001), mengindikasikan pentingnya cinta dalam
menanggulangi masa peralihan ini untuk memulai hubungan baik antara ibu dan anak..
d. Faktor sosial. Paykel (Regina dkk, 2001) mengemukakan bahwa pemukiman yang tidak
memadai lebih sering menimbulkan depresi pada ibu – ibu, selain kurangnya dukungan dalam
perkawinan.
Menurut Kruckman (Yanita dan zamralita, 2001), menyatakan terjadinya depresi pascasalin
dipengaruhi oleh faktor :
1. Biologis. Faktor biologis dijelaskan bahwa depresi postpartum sebagai akibat kadar
hormon seperti estrogen, progesteron dan prolaktin yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dalam
masa nifas atau mungkin perubahan hormon tersebut terlalu cepat atau terlalu lambat.
a. Faktor umur. Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi seseorang
perempuan untuk melahirkan pada usia antara 20–30 tahun, dan hal ini mendukung masalah
periode yang optimal bagi perawatan bayi oleh seorang ibu. Faktor usia perempuan yang
bersangkutan saat kehamilan dan persalinan seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental
perempuan tersebut untuk menjadi seorang ibu.
b. Faktor pengalaman. Beberapa penelitian diantaranya adalah pnelitian yang dilakukan oleh
Paykel dan Inwood (Regina dkk, 2001) mengatakan bahwa depresi pascasalin ini lebih banyak
ditemukan pada perempuan primipara, mengingat bahwa peran seorang ibu dan segala yang
berkaitan dengan bayinya merupakan situasi yang sama sekali baru bagi dirinya dan dapat
menimbulkan stres. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Le Masters yang melibatkan suami
istri muda dari kelas sosial menengah mengajukan hipotesis bahwa 83% dari mereka mengalami
krisis setelah kelahiran bayi pertama.
c. Faktor pendidikan. Perempuan yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan sosial dan
konflik peran, antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki dorongan untuk bekerja atau
melakukan aktivitasnya diluar rumah, dengan peran mereka sebagai ibu rumah tangga dan orang
tua dari anak–anak mereka (Kartono, 1992).
d. Faktor selama proses persalinan. Hal ini mencakup lamanya persalinan, serta intervensi
medis yang digunakan selama proses persalinan. Diduga semakin besar trauma fisik yang
ditimbulkan pada saat persalinan, maka akan semakin besar pula trauma psikis yang muncul dan
kemungkinan perempuan yang bersangkutan akan menghadapi depresi pascasalin.
e. Faktor dukungan sosial. Banyaknya kerabat yang membantu pada saat kehamilan,
persalinan dan pascasalin, beban seorang ibu karena kehamilannya sedikit banyak berkurang.
E. INDIVIDU YANG BERESIKO
Secara global diperkirakan terdapat 20% wanita melahirkan menderita post partum blues, di
Belanda diperkirakan sekitar 2-10% ibu melahirkan mengidap gangguan ini. Beberapa kondisi
yang dapat memunculkan depresi post partum blues;
Ibu yang pernah mengalami gangguan kecemasaan termasuk depresi sebelum hamil
Kejadian-kejadian sebagai stressor yang terjadi pada ibu hamil, seperti kehilangan suaminya.
Kondisi bayi yang cacat, atau memerlukan perawatan khusus pasca melahirkan yang tidak
pernah dibayangkan oleh sang ibu sebelumnya.
Kurangnya dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga, suami, dan teman
Kurangnya komunikasi, perhatian, dan kasih sayang dari suami, atau pacar, atau orang yang
bersangkutan dengan sang ibu.
F. PATOFISIOLOGIS
Para wanita lebih mungkin mengembangkan depresi post partum jika mereka terisolasi secara
sosial dan emosional serta baru saja mengalami peristiwa kehidupan yang menekan. Post partum
blues tidak berhubungan dengan perubahan hormonal, bikimia atau kekurangan gizi. Antara 8%
sampai 12% wanita tidak dapat menyesuaikan peran sebagai orang tua dan menjadi sangat
tertekan sehingga mencari bantuan dokter.
Beberapa dugaan kemunculan ini disebabkan oleh beberapa faktor dari dalam dan luar individu.
Penelitian dari Dirksen dan De Jonge Andriaansen (1985) menunjukkan bahwa depresi tersebut
membawa kondisi yang berbahaya bagi perkembangan anak di kemudian hari. De Jonge
Andriaansen juga meneliti beberapa teknologi medis (penggunaan alat-alat obstetrical) dalam
pertolongan melahirkan dapat memicu depresi ini. Misalnya saja pada pembedahan caesar,
penggunaan tang, tusuk punggung,episiotomi dan sebagainya.
Perubahan hormon dan perubahan hidup ibu pasca melahirkan juga dapat dianggap pemicu
depresi ini. Diperikiran sekitar 50-70% ibu melahirkan menunjukkan gejala-gejala awal
kemunculan depresi post partum blues, walau demikian gejala tersebut dapat hilang secara
perlahan karena proses adaptasi dan dukungan keluarga yang tepat.
Faktor biologis yang paling banyak terlibat adalah factor hormonal. Perubahan kadar hormone
pada wanita memegang peran penting ; perubahan suasana hati biasa terjadi sesaaat sebelum
menstruasi sesaat sebelum menstruasi (ketegangan pramenstruasi) dan setelah persalinan
(depresi post partum). Perubahan hormone serupa biasa terjadi pada wanita pemakai pil KB yang
mengalami depresi.
Kelainan fungsi tiroid yang sering terjadi pada wanita, juga merupakan factor factor yang
berperan dalam terjadinya depresi. Depresi juga bias terjadi karena atau bersamaan dengan
sejumlah penyakit atau kelainan fisik. Kelainan fisik bias menyebabkan terjadinya depresi secara
; langsung, misalnya ketika penyakit tiroid menyebabkan berubahnya kadar hormone. Yang bias
menyebabkan terjadinya depresi tidak langsung, misalnya ketika penyakit atritis rematoid
menyebabkan nyeri dan cacat, yang bias menyebabkan depresi.
Ada pula kelainan fisik menyebabkan depresi secara langsung dan tidak langsung. Misalnya
AIDS; secara langsung menyebabkan depresi jika virus penyebabnya merusak otak; secara tidak
langsung menyebabkan depresi jika menimbulkan dampak negative terhadap kehidupan
penderitanya
Secara umum sebagaian besar wanita mengalami gangguan emosional setelah melahirkan.
Clydde (Regina dkk, 2001), bentuk gangguan postpartum yang umum adalah depresi, mudah
marah dan terutama mudah frustasi serta emosional. Gangguan mood selama periode postpartum
merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi pada wanita baik primipara maupun
multipara. Menurut DSM-IV, gangguan pascasalin diklasifikasikan dalam gangguan mood dan
onset gejala adalah dalam 4 minggu pascapersalinan. ada 3 tipe gangguan mood pascasalin,
diantaranya adalah maternity blues, postpartum depression dan postpartum psychosis (Ling dan
Duff, 2001).
Depresi postpartum pertama kali ditemukan oleh Pitt pada tahun 1988. Pitt (Regina dkk, 2001),
depresi postpartum adalah depresi yang bervariasi dari hari ke hari dengan menunjukkan
kelelahan, mudah marah, gangguan nafsu makan, dan kehilangan libido (kehilangan selera untuk
berhubungan intim dengan suami). Masih menurut Pitt (Regina dkk, 2001) tingkat keparahan
depresi postpartum bervariasi. Keadaan ekstrem yang paling ringan yaitu saat ibu mengalami
“kesedihan sementara” yang berlangsung sangat cepat pada masa awal postpartum, ini disebut
dengan the blues atau maternity blues. Gangguan postpartum yang paling berat disebut psikosis
postpartum atau melankolia. Diantara 2 keadaan ekstrem tersebut terdapat kedaan yang relatif
mempunyai tingkat keparahan sedang yang disebut neurosa depresi atau depresi postpartum.
Menurut Duffet-Smith (1995), depresi pascasalin bisa berkaitan dengan terjadinya akumulasi
stres. Ada stres yang tidak dapat dihindari, seperti operasi. Depresi adalah pengalaman yang
negatif ketika semua persoalan tamapak tidak terpecahkan. Persoalan juga tidak akan
terpecahkan dengan berpikir lebih positif, tetapi sikap itu akan membuat depresi lebih dapat
dikendalikan.
Monks dkk (1988), menyatakan bahwa depresi postpartum merupakan problem psikis sesudah
melahirkan seperti labilitas afek, kecemasan dan depresi pada ibu yang dapat berlangsung
berbulan – bulan. Sloane dan Bennedict (1997) menyatakan bahwa depresi postpartum biasanya
terjadi pada 4 hari pertama masa setelah melahirkan dan berlangsung terus 1 – 2 minggu.
Llewellyn–Jones (1994), menyatakan bahwa wanita yang didiagnosa secara klinis pada masa
postpartum mengalami depresi dalam 3 bulan pertama setelah melahirkan. Wanita yang
menderita depresi postpartum adalah mereka yang secara sosial dan emosional merasa
terasingkan atau mudah tegang dalam setiap kejadian hidupnya. Berdasarkan uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa depresi postpartum adalah gangguan emosional pasca persalinan yang
bervariasi, terjadi pada 10 hari pertama masa setelah melahirkan dan berlangsung terus –
menerus sampai 6 bulan bahkan sampai satu tahun.
Gejala – gejala postpartum blues ini bisa terlihat dari perubahan sikap seorang ibu. Gejala
tersebut biasanya muncul pada hari ke-3 atau 6 hari setelah melahirkan. Beberapa perubahan
sikap tersebut diantaranya, yaitu :
Q tidak sabar,
Q penakut,
Q tidak bergairah,
Q merasa tidak mempunyai ikatan batin dengan si kecil yang baru saja dilahirkan,
Gejala – gejala itu mulai muncul setelah persalinan dan pada umumnya akan menghilang dalam
waktu antara beberapa jam sampai beberapa hari. Namun jika masih berlangsung beberapa
minggu atau beberapa bulan itu dapat disebut postpartum depression.
Skrining untuk mendeteksi gangguan mood / depresi sudah merupakan acuan pelayanan pasca
salin yang rutin dilakukan. Untuk skrining ini dapat dipergunakan beberapa kuesioner dengan
sebagai alat bantu. Endinburgh Posnatal Depression Scale (EPDS) merupakan kuesioner dengan
validitas yang teruji yang dapat mengukur intensitas perubahan perasaan depresi selama 7 hari
pasca salin. Pertanyaan-pertanyaannya berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan,
perasaan bersalah serta mencakup hal-hal lain yang terdapat pada post-partum blues . Kuesioner
ini terdiri dari 10 (sepuluh) pertanyaan, di mana setiap pertanyaan memiliki 4 (empat) pilihan
jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih satu sesuai dengan gradasi perasaan yang
dirasakan ibu pasca salin saat itu. Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu dan rata-rata dapat
diselesaikan dalam waktu 5 menit. Cox et. Al., mendapati bahwa nilai skoring lebih besar dari 12
(dua belas) memiliki sensitifitas 86% dan nilai prediksi positif 73% untuk mendiagnosis kejadian
post-partum blues . EPDS juga telah teruji validitasnya di beberapa negara seperti Belanda,
Swedia, Australia, Italia, dan Indonesia. EPDS dapat dipergunakan dalam minggu pertama pasca
salin dan bila hasilnya meragukan dapat diulangi pengisiannya 2 (dua) minggu kemudian.
Penanganan gangguan mental pasca-salin pada prinsipnya tidak berbeda dengan penanganan
gangguan mental pada momen-momen lainya. Para ibu yang mengalami post-partum blues
membutuhkan pertolongan yang sesungguhnya. Para ibu ini membutuhkan dukungan
pertolongan yang sesungguhnya. Para ibu ini membutuhkan dukungan psikologis seperti juga
kebutuhan fisik lainnya yang harus juga dipenuhi. Mereka membutuhkan kesempatan untuk
mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dari situasi yang menakutkan. Mungkin juga
mereka membutuhkan pengobatan dan/atau istirahat, dan seringkali akan merasa gembira
mendapat pertolongan yang praktis.
Dengan bantuan dari teman dan keluarga, mereka mungkin perlu untuk mengatur atau menata
kembali kegiatan rutin sehari-hari, atau mungkin menghilangkan beberapa kegiatan, disesuaikan
dengan konsep mereka tentang keibuan dan perawatan bayi. Bila memang diperlukan, dapat
diberikan pertolongan dari para ahli, misalnya dari seorang psikolog atau konselor yang
berpengalaman dalam bidang tersebut.
Para ahli obstetri memegang peranan penting untuk mempersiapkan para wanita untuk
kemungkinan terjadinya gangguan mental pasca-salin dan segera memberikan penanganan yang
tepat bila terjadi gangguan tersebut, bahkan merujuk para ahli psikologi/konseling bila memang
diperlukan. Dukungan yang memadai dari para petugas obstetri, yaitu: dokter dan bidan/perawat
sangat diperlukan, misalnya dengan cara memberikan informasi yang memadai/adekuat tentang
proses kehamilan dan persalinan, termasuk penyulit-penyulit yang mungkin timbul dalam masa-
masa tersebut serta penanganannya.
Post-partum blues juga dapat dikurangi dengan cara belajar tenang dengan menarik nafas
panjang dan meditasi, tidur ketika bayi tidur, berolahraga ringan, ikhlas dan tulus dengan peran
baru sebagai ibu, tidak perfeksionis dalam hal mengurusi bayi, membicarakan rasa cemas dan
mengkomunikasikannya, bersikap fleksibel, bergabung dengan kelompok ibu-ibu baru. Dalam
penanganan para ibu yang mengalami post-partum blues dibutuhkan pendekatan
menyeluruh/holistik. Pengobatan medis, konseling emosional, bantuan-bantuan praktis dan
pemahaman secara intelektual tentang pengalaman dan harapan-harapan mereka mungkin pada
saat-saat tertentu.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa dibutuhkan penanganan di tingkat perilaku, emosional,
intelektual, sosial dan psikologis secara bersama-sama, dengan melibatkan lingkungannya,
yaitu: suami, keluarga dan juga teman dekatnya.
Cara mengatasi gangguan psikologi pada nifas dengan postpartum blues ada dua cara yaitu :
Tujuan dari komunikasi terapeutik adalah menciptakan hubungan baik antara bidan dengan
pasien dalam rangka kesembuhannya dengan cara :
Beberapa cara peningkatan support mental yang dapat dilakukan keluarga diantaranya :
Sekali-kali ibu meminta suami untuk membantu dalam mengerjakan pekerjaan rumah seperti :
membantu mengurus bayinya, memasak, menyiapkan susu dll.
Memanggil orangtua ibu bayi agar bisa menemani ibu dalam menghadapi kesibukan merawat
bayi
Suami seharusnya tahu permasalahan yang dihadapi istrinya dan lebih perhatian terhadap istrinya
Ibu dianjurkan sering sharing dengan teman-temannya yang baru saja melahirkan
Selain hal diatas, penanganan pada klien postpartum blues pun dapat dilakukan pada diri klien
sendiri, diantaranya dengan cara :
Berolahraga ringan
Bersikap fleksibel
Berikut ini beberapa kiat yang mungkin dapat mengurangi resiko Postpartum Blues yaitu :
Pelajari dan mencari informasi mengenai Postpartum Blues, sehingga Anda sadar terhadap
kondisi ini. Apabila terjadi, maka Anda akan segera mendapatkan bantuan secepatnya.
Diet nutrisi cukup penting untuk kesehatan, lakukan usaha yang terbaik dengan makan dan tidur
yang cukup. Keduanya penting selama periode postpartum dan kehamilan.
3. Olahraga
Olahraga adalah kunci untuk mengurangi postpartum. Lakukan peregangan selama 15 menit
dengan berjalan setiap hari, sehingga membuat Anda merasa lebih baik dan menguasai emosi
berlebihan dalam diri Anda.
Jika memungkinkan, hindari membuat keputusan besar seperti membeli rumah atau pindah kerja,
sebelum atau setelah melahirkan. Tetaplah hidup secara sederhana dan menghindari stres,
sehingga dapat segera dan lebih mudah menyembuhkan postpartum yang diderita.
Jangan takut untuk berbicara dan mengekspresikan perasaan yang Anda inginkan dan butuhkan
demi kenyamanan Anda sendiri. Jika memiliki masalah dan merasa tidak nyaman terhadap
sesuatu, segera beritahukan pada pasangan atau orang terdekat.
Dukungan dari keluarga atau orang yang Anda cintai selama melahirkan, sangat diperlukan.
Ceritakan pada pasangan atau orangtua Anda, atau siapa saja yang bersedia menjadi pendengar
yang baik. Yakinkan diri Anda, bahwa mereka akan selalu berada di sisi Anda setiap mengalami
kesulitan.
Pekerjaan rumah tangga sedikitnya dapat membantu Anda melupakan golakan perasaan yang
terjadi selama periode postpartum. Kondisi Anda yang belum stabil, bisa Anda curahkan dengan
memasak atau membersihkan rumah. Mintalah dukungan dari keluarga dan lingkungan Anda,
meski pembantu rumah tangga Anda telah melakukan segalanya.
Dukungan emosi dari lingkungan dan juga keluarga, akan membantu Anda dalam mengatasi rasa
frustasi yang menjalar. Ceritakan kepada mereka bagaimana perasaan serta perubahan kehidupan
Anda, hingga Anda merasa lebih baik setelahnya.
Dukungan terbaik datang dari orang-orang yang ikut mengalami dan merasakan hal yang sama
dengan Anda. Carilah informasi mengenai adanya kelompok Postpartum Blues yang bisa Anda
ikuti, sehingga Anda tidak merasa sendirian menghadapi persoalan ini.
BAB III
Tetapi setelah ± 3 hari post partum ibu mengatakan kurang tidur karena bayinya yang selalu
menangis, ibu juga mengatakan bahwa ia kurang percaya diri dalam merawat bayinya. Selain
itu : suami ibu juga mengatakn ibu sensitive dan mudah tersinggung dan juga kurang
menyayangi bayinya.
2011 POST PARTUM BLUES DI BPS PRITA YENI SURANTIAH PESISIR SELATAN
I. PENGUMPULAN DATA
A. IDENTITAS / BIODATA
Umur : 23 th
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Umur : 25 th
Agama : Islam
Hubungan : Tetangga
B. ANAMNESA
si
e. Lama persalinan
f. Ketuban
- Jumlah : 250 cc
g. Bayi
- A/S : 9/10
- PB : 48 cm
h. Plasenta
- Ukuran : ±50 cm
- Kala I : ± 25 cc
- Kala II : ± 75 cc
- Kala III : ± 75 cc
- Kala IV : ± 100 cc
4. Riwayat Kontrasepsi
6. Status Perkawinan
d. Pernikahan ke : 1
7. Pola Nutrisi
a. Makan : ada
Menu dan porsi : 1 piring nasi ukran sedang, 1 ptng ikan sbsar kotak korek api, 1
manggkuk sayur bayam ukrn sedang
Frekuensi : 3 x sehari
b. Minum : ada
8. Pola Eliminasi
a. BAK : ada
Frekuensi : 6-8 kali / hari
b. BAB : ada
Konsistensi : lembek
10. Personal Hygiene
a. Mandi : 2 x sehari
11. Olah Raga
14. Keadaan Sosial
C. DATA OBJEKTIF
1. Pemeriksaan umum
c. Tanda vital
· Nadi : 80 x/i
· Pernafasan : 23 x/i
· Suhu : 37°C
2. Pemeriksaan khusus
c. Payudara
d. Abdomen
· Bentuk : tidak ada bekas operasi, ada striae lipid gravidarum,
ada linea nigra
· TFU : ½ pusat-sympisis
· Kontraksi : baik
e. Genitalia
· Lochea
- Warna : kecoklatan
- Jumlah : ±10 cc
f. Ekstremitas
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Darah
BAB IV
PENUTUP
Ø KESIMPULAN
Baby blues atau postpartum blues adalah keadaan di mana seorang ibu mengalami perasaan tidak
nyaman setelah persalinan, yang berkaitan dengan hubungannya dengan si bayi, atau pun dengan
dirinya sendiri. Ketika plasenta dikeluarkan pada saat persalinan, terjadi perubahan hormon yang
melibatkan endorphin, progesteron, dan estrogen dalam tubuh Ibu, yang dapat mempengaruhi
kondisi fisik, mental dan emosional Ibu.
Banyak faktor diduga berperan pada sindroma ini, antara lain adalah faktor hormonal, faktor
demografik yaitu umur dan paritas, pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan, takut
kehilangan bayi, bayi sakit ( kuning, dll ), takut untuk memulai hubungan suami istri (ML), anak
akan terganggu, dan latar belakang psikososial wanita yang bersangkutan.
Penanganan gangguan mental postpartum pada prinsipnya tidak berbeda dengan penanganan
gangguan mental pada momen-momen lainya. Para ibu ini membutuhkan dukungan psikologis
seperti juga kebutuhan fisik lainnya yang harus juga dipenuhi. Mereka membutuhkan
kesempatan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dari situasi yang menakutkan.
Mungkin juga mereka membutuhkan pengobatan dan/atau istirahat, dan seringkali akan merasa
gembira mendapat pertolongan yang praktis.
Inti dari Asuhan yang diberikan mencakup perilaku, emosional, intelektual, sosial dan psikologis
klien secara bersamaan dengan melibatkan lingkungannya, yaitu: suami, keluarga dan juga
teman dekatnya.
Ø SARAN
Dengan pembuatan makalah ini diharapkan pembaca bisa memahami konsep dasar postpartum
blues dan bagaimana penerapan asuhan yang tepat diberikan kepada pasien yang menderita
masalah tersebut. Post-partum blues ini dikategorikan sebagai sindroma gangguan mental yang
ringan oleh sebab itu sering tidak dipedulikan sehingga tidak terdiagnosis dan tidak
ditatalaksanai sebagaimana seharusnya, akhirnya dapat menjadi masalah yang menyulitkan, tidak
menyenangkan dan dapat membuat perasaan perasaan tidak nyaman bagi wanita yang
mengalaminya. Setelah diketahui bagaimana asuhan yang benar maka diharapkan postpartum
blues ini berkurang atau dapat ditangani dengan benar. Selain itu, diharapkan pembaca dapat
membagi informasi ini kepada masyarakat dan dapat mempraktekkan ilmunya saat di lapangan
nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
Suparlan, YB, Rachmanto, W, dan Pardiman, S. 1990. Kamus Istilah Kependudukan dan
Keluarga Berencana. Yogyakarta : Kanisius.
www.bluerider.com/wordseach/primipara. Primipara.
Yanita, A, dan Zamralita. 2001. Persepsi Perempuan Primipara Tentang Dukungan Suami Dalam
Usaha Menanggulangi Gejala Depresi pascasalin. Phronesis. Vol.3. No : 5. 34 – 50.